Sulit untuk merasa simpati kepada AS dan pejabatnya, mengingat
dukungan Washington selama ini kepada pendudukan Israel dan sejarahnya
dalam mempertahankan kediktatoran brutal di Arab Saudi, Bahrain, Mesir,
hingga Libya.
Oleh Nureddin Sabir*
PROTES telah meletus di seluruh dunia Muslim terhadap “Innocent of Muslim”,
sebuah film tentang Nabi Muhammad. Di kota terbesar kedua Libya,
Benghazi, orang-orang bersenjata, yang diyakini Salafi, dari kelompok
yang disebut “Katibat Ansar al-Syariah” (Kelompok Brigade Hukum Islam)
menyerbu konsulat AS, membakarnya, dan membunuh duta besar serta tiga
staf.
Sementara itu, di Mesir, perusuh memanjat dinding kedutaan AS di
Kairo, merobohkan bendera Amerika dan membakarnya. Dilihat dari
kemunculan bendera hitam dan sekelompok pria berjanggut tak terawat di
antara demonstran, mereka juga tampaknya Salafi, atau setidaknya
dipelopori oleh Salafi.
Sulit untuk merasa simpati kepada AS dan pejabatnya, mengingat
dukungan Washington selama ini kepada pendudukan Israel dan sejarahnya
dalam mempertahankan kediktatoran brutal di Arab Saudi, Bahrain, Mesir,
hingga Libya.
Namun, reaksi pertama saya terhadap kejadian di Benghazi dan Kairo
adalah keputusasaan dan perasaan jijik. “Nah ini dia,” pikir saya dalam
hati, “Muslim mengamuk, membakar dan membunuh atas nama agama yang
justru mengajarkan perdamaian dan kasih sayang sebagai pilar utama.
Semuanya tampak seperti pengulangan dari protes berdarah terhadap
pembakaran al-Quran oleh sekelompok orang Amerika , sebuah catatan yang
dimainkan lagi dan lagi. Tak ada sesuatu yang baru untuk dikatakan bagi
diri sendiri. Dan tak ada sesuatu yang baru untuk ditawarkan kepada
orang lain.
Tapi kemudian hal-hal itu berubah ketika saya menemukan lebih lanjut tentang film tersebut dan si pembuatnya.
Pertama, ini bukanlah versi digital dari kontroversi kartun Denmark. Film berdurasi dua jam, “Innocence of Muslim”,
menggambarkan Muhammad sebagai penipu menyedihkan, seorang penganiaya
anak. Dia bajingan yang kelahirannya bahkan tak diinginkan. Dia baru
memperoleh kepercayaan diri setelah seorang wanita tua memanggil dia dan
mendorong kepalanya ke bawah rok. Ketika muncul, ia pun mendapatkan
visi. Film itu juga menggambarkan al-Quran sebagai jiplakan dari Taurat
Yahudi dan Alkitab Kristen.
Andrew Brown menulis dalam The Guardian bahwa film itu
“murni hasutan untuk kebencian agama” dan “benar-benar propaganda dusta
dan jahat”: sesuatu yang pantas disebut kebencian. Sebab, kebencian
menjadi inspirasinya dan penyebaran kebencian adalah tujuannya”.
Film itu juga sama sekali bukan gagasan dari seorang remaja sakit
jiwa yang berjuang untuk berdamai dengan hormonnya. Film ini ditulis dan
disutradarai oleh Sam Bacile, pengusaha properti (sekaligus pembuat
film) Israel berusia 56 tahun yang tinggal di California. Menurut
Bacile, biaya pembuatan film mencapai 3,1 juta dolar AS dan dibiayai
oleh bantuan dari lebih 100 donor Yahudi.
Ini memunculkan sejumlah pertanyaan dan beberapa kecurigaan. Pertama,
apa tujuan dari film ini? Ini bukan film cerdas, menghibur, atau
menginspirasi. Jadi, apa yang ingin dicapai pembuat dan pemodalnya?
Menurut Bacile, film ini dimaksudkan sebagai pernyataan politik
provokatif yang mengutuk dan mengekspos kelemahan Islam, yang ia
gambarkan sebagai “kanker”. Namun, yang Bacile tak pernah pikirkan
adalah bahwa sebuah fabrikasi dan penghinaan yang disengaja serta
provokasi tak akan mengekspos apa pun selain kefanatikan dari si
pengekspos.
Kedua, apa hubungan fakta bahwa Bacile seorang Yahudi-Israel dengan
kebencian keji terhadap Islam yang diwakili oleh sampah digital itu?
Selanjutnya—dan ini pertanyaan yang media Barat harus jawab—mengapa 100
donor Yahudi mendanai produksi sepotong film yang berisi kefanatikan
murni, sesuatu yang melampaui tuduhan anti-Semitisme yang diteriakan
siang dan malam oleh kelompok-kelompok seperti Liga Anti Defamasi AS dan
Dewan Deputi Yahudi Inggris?
Ketiga, mengingat hubungan Israel dan Yahudi dengan film fanatik
buatan Bacile itu, lantas bagaimana Israel, orang Yahudi pada khususnya
dan media Barat pada umumnya, bereaksi jika ada sebuah film yang
dihasilkan oleh orang Arab Muslim dengan fanatisme yang diarahkan kepada
orang-orang Yahudi dan Yudaisme?
Kecurigaan saya adalah bahwa tujuan dari Bacile dan 100 donor
Yahudi-nya adalah hanya untuk memprovokasi reaksi yang telah kita
saksikan di Kairo dan Benghazi, untuk menodai citra Arab dan Muslim.
Tujuan lain mungkin adalah untuk memprovokasi serangan balasan
terhadap orang-orang Yahudi di Amerika Serikat dan Eropa, dan dengan
demikian memberi bukti kepada industri anti-Semitisme untuk mendukung
propaganda bahwa Yahudi yang hidup di dunia gentile selalu rentan terhadap kekerasan dan karena itu perlu sebuah “negara Yahudi” eksklusif, setidaknya sebagai surga terakhir.
Jika saya benar tentang salah satu atau dua kemungkinan di atas, maka
Si Tuan Fanatik Bacile dan 100 donor Yahudi-nya harus berterima kasih
kepada sekutu Salafi mereka di Benghazi dan Kairo untuk pekerjaan yang
telah mereka lakukan dengan baik. (Penulis asal Libya dan editor Redress Information & Analysis)