Beberapa waktu lalu sempat ribut berita tudingan rohis di sekolah dan
masjid sebagai sasaran teroris. Penyebabnya adalah berita di Metro TV
tentang bibit terorisme di sekolah. Pola rekrutmen teroris, menurut
Metro, ada lima, yakni sasarannya siswa SMP akhir-SMA dari
sekolah-sekolah umum, masuk melalui program ekstra kurikuler di
masjid-masjid sekolah.
Siswa-siswi terlihat tertarik kemudian diajak berdiskusi di luar sekolah, dijejali berbagai kondisi sosial buruk, penguasa korup, keadilan tidak seimbang, dan doktrin penguasa adalah thaghut alias kafir. Dalam waktu singkat, protes terhadap stasiun televisi itu menyeruak. Di Twitter pun datang bertubi-tubi karena kebanyakan aktivis dakwah muda merupakan jebolan rohis.
Lalu bagaimana menurut pandangan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj? Berikut penjelasannya kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com dalam perjalanan semobil menuju sebuah stasiun televisi swasta, Rabu (26/9).
Bagaimana pandangan Anda tentang tuduhan rohis-rohis sekolah sebagai basis menyemai radikalisme Islam?
Sebenarnya ini kelemahan kita, NU atau Muhammadiyah, kurang bisa menampung keiginan pemuda. Mereka bertemu ustad atau guru, dianggap baru dan dinamis. Mereka terperangkap di situ, kalau NU dan Muhammadiyah mungkin dianggap itu-itu saja, jadinya bosan.
Kebanyakan incaran dan dan tuduhan terorisme banyak ditujukan kepada anak-anak muda?
Ya. Biasanya ustad-ustad itu masuk ke kampus-kampus eksak disiplin ilmu pasti, misalnya Intitut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Institut Pertanian Bogor, bukan di IAIN. Karena mereka keilmuanya pasti, hitam putih.
Bagaimana dengan santri muda NU?
Di bawah NU itu ada 21 ribu pesantren, data itu dengan jumlah murid di atas 200 ke atas. Hingga kini tidak ada satupun santri terlibat teroris. Lulusan pesantren Jawa Tegah, Jawa Timur, Jombang, Pasuruan, Kediri, Jember, tidak ada satupun terlibat teroris. Saya kritik juga media, kalau isu teroris dibesar-besarkan, tapi giliran acara istighosah, pengajian, tahlilan, tidak diliput.
Tapi sepertinya pesantren dikaitkan terus?
Ini susah kalau sudah didakwa. Tapi saya tegaskan, lulusan pesantren NU tidak ada yang jadi teroris. Anshor itu misalnya, selama ini aman-aman saja.
Siswa-siswi terlihat tertarik kemudian diajak berdiskusi di luar sekolah, dijejali berbagai kondisi sosial buruk, penguasa korup, keadilan tidak seimbang, dan doktrin penguasa adalah thaghut alias kafir. Dalam waktu singkat, protes terhadap stasiun televisi itu menyeruak. Di Twitter pun datang bertubi-tubi karena kebanyakan aktivis dakwah muda merupakan jebolan rohis.
Lalu bagaimana menurut pandangan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj? Berikut penjelasannya kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com dalam perjalanan semobil menuju sebuah stasiun televisi swasta, Rabu (26/9).
Bagaimana pandangan Anda tentang tuduhan rohis-rohis sekolah sebagai basis menyemai radikalisme Islam?
Sebenarnya ini kelemahan kita, NU atau Muhammadiyah, kurang bisa menampung keiginan pemuda. Mereka bertemu ustad atau guru, dianggap baru dan dinamis. Mereka terperangkap di situ, kalau NU dan Muhammadiyah mungkin dianggap itu-itu saja, jadinya bosan.
Kebanyakan incaran dan dan tuduhan terorisme banyak ditujukan kepada anak-anak muda?
Ya. Biasanya ustad-ustad itu masuk ke kampus-kampus eksak disiplin ilmu pasti, misalnya Intitut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Institut Pertanian Bogor, bukan di IAIN. Karena mereka keilmuanya pasti, hitam putih.
Bagaimana dengan santri muda NU?
Di bawah NU itu ada 21 ribu pesantren, data itu dengan jumlah murid di atas 200 ke atas. Hingga kini tidak ada satupun santri terlibat teroris. Lulusan pesantren Jawa Tegah, Jawa Timur, Jombang, Pasuruan, Kediri, Jember, tidak ada satupun terlibat teroris. Saya kritik juga media, kalau isu teroris dibesar-besarkan, tapi giliran acara istighosah, pengajian, tahlilan, tidak diliput.
Tapi sepertinya pesantren dikaitkan terus?
Ini susah kalau sudah didakwa. Tapi saya tegaskan, lulusan pesantren NU tidak ada yang jadi teroris. Anshor itu misalnya, selama ini aman-aman saja.