Rusdi Mathari
Mendatangi
lokasi rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran,
Sampang, Jawa Timur yang dibakar massa pada Kamis 29 Desember 2011,
ternyata bukan pekerjaan mudah. Bukan saja letak lokasi kejadian yang
cukup jauh dari pusat kota Sampang, melainkan yang terutama, sudah
berkembang kecurigaan di masyarakat setempat kepada setiap pendatang.
Rumah-rumah
itu terletak di dua desa dan kecamatan berbeda. Rumah Tajul Muluk di
Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Kecamatan Omben; dan rumah Iklil Al
Milal di Bluuran, Kecamatan Karang Penang. Iklil dan Tajul adalah
kakak-beradik dan dikenal sebagai ustad Syiah. Sejak kasus pembakaran
rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah dari Omben, Januari silam;
Tajul lalu dipersalahkan. Dia ditahan, diadili lalu divonis penjara dua
tahun oleh majelis hakim PN Sampang, Juli silam karena dianggap
mengajarkan aliran sesat.
Dari
jalan raya Trunojoyo [arah Sampang-Ketapang], dua desa itu terletak di
sebelah timur. Jaraknya sekitar 20-an kilometer ke arah utara kota
Sampang. Kendaraan roda empat harus berhenti di tepi jalan raya
Sampang-Ketapang itu karena jalan kecil menuju dua desa bisa dilalui
hanya oleh kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Ada sebatang sungai
yang melintas di jalan kecil itu, dan rumah Tajul Muluk dan Iklil berada
di sisi timur sungai.
Polisi
dan beberapa tentara dari Koramil/Kodim Sampang terlihat berjaga, mulai
dari jalan kecil itu hingga lokasi rumah Tajul dan Iklil. Beberapa
penduduk yang ditemui di sekitar lokasi memandang curiga kepada setiap
pendatang. Apalagi pendatang dengan penampilan yang berbeda dari warga
sekitar. Mereka kuatir yang masuk ke desa mereka adalah penyusup; intel
yang sedang mencari tahu pelaku pembakaran; atau orang-orang Syiah yang
sedang mengumpulkan informasi. “Sampean Syiah ya Mas? Kok pintar
ngomong? Sampean bisa lihat sendiri di sini aman. Saya heran kenapa
orang-orang Jakarta meributkan kasus ini,” kata Hali.
Dia
anak muda, berbadan gempal. Munif, bapaknya adalah tokoh masyarakat
yang disegani di Karang Gayam dan masih kerabat jauh [paman] dari Tajul
dan Iklil. Dari Hali pula diperoleh informasi, warga di Karang Gayam
banyak yang tidak suka dengan Syiah yang diajarkan Tajul. “Mereka
mengagung-agungkan Sayidinah Ali tapi memaki-maki tiga sahabat Nabi yang
lain. Siti Aisyah disebut pelacur. Itu disiarkan lewat pengeras suara,”
kata dia.
Hali
akan tetapi mengaku, tidak mendengar langsung soal itu melainkan hanya
dari yang dia dengar dari orang lain. “Kakak ipar saya tetangga Iklil,
dia tahu persis dan bisa bercerita,” katanya.
Kakak
ipar Hali bernama Dailami. Wajahnya terlihat tua dari usia yang
diakuinya, 35 tahun. Dia antara lain bercerita, ajaran Syiah yang dibawa
Tajul dan Iklil membolehkan berhubungan badan meskipun istri sedang
datang bulan, dan melakukan salat hanya tiga waktu. “Tapi saya juga
hanya mendengar dari orang,” katanya.
Dailami
menyarankan untuk menghubungi Ahmadussowi alias Sowi di Bluuran. Dia
anak muda, usianya baru 28 tahun lewat 3 bulan. Rumahnya di Bluuran
berada persis di sebelah timur-utara rumah Iklil. Berjarak kurang-lebih
200-an meter. Orang tua Sowi [bapak] dan orang tua Iklil dan Tajul masih
sepupu.
Sama
seperti Hali dan Dailami, Sowi pun bercerita tentang ajaran Syiah yang
dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam. Kata dia, Syiah mengharamkan
tarawih dan tadarus Alquran. Ketika ditanya apakah dia mendengar
langsung ajaran seperti itu disampaikan oleh Tajul atau Iklil, dia
menjawab mendengar langsung dari Muhammad Nur. “Dia pengikut Syiah, tapi
sekarang jadi anak buah Rois,” kata Sowi.
Nur yang dimaksud Sowi, bertemu dengan saya di kantor Radar Madura,
Jalan Diponegoro, Sampang. Dia datang menemani Roisul Hukamah alias
Rois, yang datang menemui saya untuk wawancara. Rois adalah adik Iklil
dan Tajul, dan disebut-sebut paling menentang ajaran Syiah yang
diajarkan kakak-kakaknya. Dia mengenalkan Nur sebagai eks ustad Syiah
yang sudah kembali ke Sunni.
Dari
mulut Nur inilah, meluncur banyak cerita menyangkut tata cara ritual
ajaran Syiah. Orangnya cenderung demonstratif dan pintar berbicara. Dia
mengaku ikut Syiah sejak 2006 dan baru keluar empat tahun silam [2008]
karena katanya, ajaran Syiah tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Saya
saksi hidup,” kata Nur.
Iklil
yang dikonfirmasi soal pengakuan Nur itu, hanya tertawa. Dia
membenarkan, Nur sebelumnya adalah pengikut Syiah. “Saya bilang ke dia,
kalau mau ikut Syiah jangan karena Abah,” kata Iklil.
Abah
yang dimaksud Iklil adalah KH Makmun, bapaknya. Dia kiai besar yang
pernah hidup dan berpengaruh di Omben dan Karang Penang. Makmun punya 13
anak, tapi yang hidup hanya delapan, yaitu Iklil, Tajul, Rois, Ummu
Kulsum, Hani, Fatimah,
Achmad, dan Bujur. Delapan bersaudara itu kini pecah karena soal paham
Sunni-Syiah. Tajul, Iklil dan Hani satu kelompok [Syiah], Rois dan Ummu
Kulsum, kelompok lainnya [Sunni]. Achmad, Bujur dan Fatimah tidak jelas
ikut yang mana. Dari pengakuan Rois, Achmad kini stres karena
perseteruan keluarga itu.
Iklil
bercerita, Nur keluar dari kelompok Syiah bukan karena soal
benar-salahnya ajaran Syiah seperti yang selalu dia ceritakan ke
mana-mana melainkan karena faktor ekonomi. Seingat Iklil, suatu hari Nur
pernah mengutarakan maksud untuk memondokkan anaknya di pesantren tapi
tidak punya biaya. Dia mengutarakan hal itu kepada Iklil. Lalu oleh
Iklil, Nur diminta bersabar menunggu giliran karena iuran yang
dikumpulkan dari jemaah terbatas. Sayangnya Nur tidak sabar dan malah
memutuskan keluar dari kelompok Syiah. “Saya tahu siapa Nur,” kata
Iklil.
Sunni-Syiah di Madura
Seorang kiai pengasuh pondok pesantren di Kajuk, Sampang menjelaskan, orang Madura yang NU adalah pengikut ahlus sunnah wal jamaah atau
Sunni. “Madura itu ya NU. Orang Madura itu toleran. Kalau ada keyakinan
di luar itu, silakan. Yang penting tidak menimbulkan keresahan di
masyarakat,” katanya.
Dia
lalu bercerita tentang pengikut Syiah di Tanjung Bumi, Bangkalan
[sebelah barat Sampang] yang dianut oleh keluarga kiai terpandang.
Mereka tetap bisa menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka dan tidak
ada masalah dengan warga sekitar. Awalnya, kiai itu menyekolahkan
anak-anaknya ke Timur Tengah. Ketika anak-anaknya itu pulang ke Tanjung
Bumi, mereka mengajarkan Syiah lewat pesantren milik orang tuanya. Para
santri dan warga sekitar yang tahu, anak-anak kiai itu mengajarkan Syiah
yang dianggap berbeda dengan ajaran Sunni, menarik anak-anak mereka dan
meninggalkan pesantren itu.
“Tidak
ada kejadian apa-apa tapi para santri dan masyarakat yang tidak setuju
dengan ajaran Syiah, satu per satu keluar dari pesantren, dan menjauh.
Ini bukti, masyarakat Madura tidak ada persoalan dengan perbedaan. Kalau
memang mau mempersoalkan Syiah, mestinya Syiah di Tanjung Bumi,
Bangkalan itu sudah lebih dulu ‘meletus’ karena lebih dulu muncul
sebelum Syiah di Omben,” kata dia.
Pengikut
Syiah di Tanjung Bumi yang dimaksud adalah Keluarga Haidar Syarif dan
Habib Ibrahim. Belum jelas benar, kapan mereka mulai mengajarkan Syiah
di Tanjung Bumi. Sepekan setelah rumah-rumah orang-orang Syiah di Omben
dibakar dan para pengikutnya diusir, pengikut Syiah di Bangkalan
diundang Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron ke pendopo kabupaten. Mereka
diajak bermusyawarah dengan para kiai di Bangkalan agar kejadian di
Karang Gayam dan Bluuran tidak merembet ke Tanjung Bumi.
Dari
cerita Iklil, Syiah mulai masuk ke Karang Gayam sekitar 1979 menyusul
Revolusi Islam Iran. Orang tuanya [KH Makmun], waktu itu mendapat
kiriman bacaan dan buletin tentang Syiah, juga poster-poster bergambar
Khomeini. Sejak itu, orang tuanya menjadi pengikut Syiah. Keterangan
Iklil dibenarkan Fanan Hasyib, Wakil Bupati Sampang yang juga seorang
kiai.
Fanan
menerangkan, Makmun [ayah Iklil, Tajul dan Rois] adalah penganut Syiah
tapi keyakinan Makmun tidak diajarkan kepada orang lain. Fanan mengaku
sudah sering mendengar sepak terjang Makmun termasuk dalam hal ibadah.
Salah satunya tidak pernah salat Jumat. Alasan Makmun kata Fanan,
seseorang yang akan menunaikan salat Jumat harus bersih dan wangi
sehingga tidak ada alasan bagi orang yang kotor dan bau untuk menunaikan
salat Jumat. “Celakanya, Kiai Makmun sejak Rabu sudah tidak mandi
sehingga punya alasan untuk tidak salat Jumat,” katanya.
Dia menerangkan, ajaran Syiah yang dianut Makmun lantas ditularkan kepada anak-anaknya.
Lalu
Iklil [yang tertua], Tajul dan Rois disekolahkan ke pesantren Yayasan
Pesantren Islam atau YAPI di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang oleh
warga Omben dikenal sebagai pesantren Syiah. Lulus dari YAPI,
kakak-beradik itu disekolahkan ke Timur Tengah. “Rois dan Tajul itu
masih bersaudara, begitu juga ulama-ulama di Karang Gayam, semua masih
berkerabat,” kata dia.
Dari
catatan Pemda Sampang, Tajul bersekolah ke Arab Saudi dan menikah
dengan Ummu Kulsum asal Malang Jawa Timur. Ketika kembali ke Karang
Gayam pada 1999, Tajul dan keluarganya mulai berdakwa tentang Syiah dan
mendirikan pesantren Misbahul Huda. Mulanya Rois juga ikut dan bergabung
dengan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia atau IJABI yang diketuai oleh
Jalaluddin Rakhmat. Ada kabar, Rois bahkan sempat menjadi bendahara
IJABI Sampang tapi Rois membantah hal ini. “Saya hanya menjadi
penasihat,” kata Rois.
Iklil
bercerita, justru Rois yang paling aktif dan mewakili mereka ke
acara-acara yang diselenggarakan oleh IJABI termasuk ketika organisasi
mengadakan kongres di Makassar. Rois mengaku keluar dari Syiah, karena
menilai ajaran Syiah melenceng dari ajaran Islam. Dia menyebutkan
sejumlah alasan. Antara lain soal pernyataan Tajul tentang Alquran yang
dianggap sudah tidak otentik. Namun, “Saya tidak pernah mendengar
langsung, juga tidak ada saksi,” kata Rois.
Dan
menurut Tajul, Rois keluar dari kelompok Syiah karena merasa tidak
mendapat posisi dan kesempatan. “Dia itu ditaruh di depan tidak mau,
ditaruh di belakang menyeruduk,” kata Tajul.
Di
Karang Gayam dan Bluuran, para pengikut Syiah disebut kompolan
[kumpulan]. Di masyarakat Madura, sebutan ini diberikan kepada
sekelompok orang yang rajin mengikuti acara pengajian. Suatu kegiatan
yang sebetulnya jarang dilakukan oleh para santri di pesantren NU.
Dengan sebutan itulah, para pengikut Syiah hidup di tengah-tengah
masyarakat Omben dan Karang Penang yang mengagungkan kiai dan
dikelilingi ratusan pesantren.
Di
Omben dan di kecamatan sekitarnya, warga setempat memang hidup dengan
petuah kiai dan syariat Islam yang ketat. Sebagian besar dari mereka,
hanya bisa berbahasa Madura dan Arab. Ada sebuah madrasah yang
murid-muridnya bahkan tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan
tidak tahu cara melaksanakan upacara bendera. “Sampang itu NU, dan Omben
adalah pusarnya NU,” kata Hamid, tokoh pemuda dan eks petugas Pencatat
Pemilih di Kecamatan Omben.
Cincin akik dan dua hokum
Di
Omben dan sekitarnya, masjid dan pesantren memang seperti berbaris di
sepanjang jalan Sampang-Ketapang. Itu belum termasuk yang ada di
pelosok, di balik-balik perbukitan yang jauh dari jalan raya
Sampang-Ketapang. Bila waktu salat tiba, sebelum azan akan terdengar
suara orang mengaji yang diputar dari recorderdan disiarkan lewat
pengeras suara, seolah sahut-menyahut antara masjid yang satu dengan
masjid yang lain. Di masjid-masjid itu, orang-orang yang salat akan
tetapi bisa dihitung dengan jari, hanya satu-dua orang.
Sunardi
Hamid, Ketua Pusat Kajian HAM dan Lingkungan di Pamekasan menjelaskan,
salah satu ciri orang Madura yang NU adalah suka mengenakan cincin akik,
membaca qunnut bila subuh, suka tahlilan dan membawa jimat.
“Kalau sudah seperti itu, sampean NU sejati, dan kalau ada yang
mengatakan jimat itu syirik, itu bukan NU dan pasti dicap Muhammadiyah,”
katanya.
Laki-laki
yang juga menjadi ketua Himpunan Petani Garam Indonesia dan ketua
Lembaga Pertanian NU Pamekasan itu bercerita, di Madura, saat ini banyak
politik kepentingan yang dijalankan para kiai. Karena kepentingan itu,
seseorang atau kelompok bisa dengan mudah dicap sesat atau alim.
Misalnya
jika kepentingan seseorang atau kelompok tertentu berbenturan dengan
kepentingan kiai, maka seseorang atau kelompok itu bisa dicap sesat,
atau kiai itu akan mengeluarkan fatwa haram. Sebaliknya bila
menguntungkan dan mendukung kepentingan kiai, seseorang atau kelompok
bisa dicap alim, atau para kiai itu akan mengeluarkan fatwa halal.
“Di
dunia ini, siapa yang kuat itu yang menang. Meski pun saya melihat
kuning benar, tapi karena orang banyak bilang merah yang benar, saya
bisa kalah,” katanya.
Kenyataan
itu kata Sunardi berbeda dengan zaman ketika dia masih muda. Dulu para
kiai masih menggunakan empat hukum: halal, haram, makruh, dan mubah.
Sekarang yang digunakan hanya dua hukum: halal dan haram, dan tidak ada
yang membantah. Paham orang lain lalu dengan mudah dicap kafir, dan
paham yang mereka anut dianggap paling benar.
Maka
tidak usah heran, jika ada warga NU yang suka tahlilan, meski pun tidak
pernah salat bisa dianggap sebagai orang alim. Sebaliknya kalau ada
orang Muhammadiyah atau yang lain, yang rajin salat dan menjalankan
semua ritual ibadah Islam tapi tidak suka tahlilan dan tidak suka jimat,
mereka bisa dicap sesat atau kafir. “Semua karena kepentingan dan
kebutuhan hidup,” kata Sunardi.
Celakanya,
politik kepentingan dan hubungan kiai-umat seperti itu kemudian
dipraktikkan oleh umat dengan serta-merta. Contohnya bila ada orang yang
meninggal dunia.
Kebiasaan
orang Madura bila ada tetangga yang ditimpa musibah kematian, akan
membawa segantang beras atau sebungkus gula sebagai tanda ikut berduka.
Lalu ketika pulang, pihak keluarga yang berduka akan menitipkan
bingkisan berupa nasi dan sebagainya. Kalau ada pihak keluarga yang
berduka lupa, atau tidak memberikan bingkisan kepada orang-orang yang
ikut melawat, maka dengan mudah orang-orang akan memberi cap keluarga
yang berduka itu sebagai pengikut Muhammadiyah, sesat atau kafir. “Saya
pernah mencoba menjelaskan bahwa jangan mudah menuduh orang, tapi kiai
dan ulama tidak mendukung, saya mau apa?” kata Sunardi.
Pak
Ong, sopir yang mengantar saya berkeliling Sampang membenarkan cerita
Sunardi. Dia mengaku, di hari ketiga pamannya meninggal, keluarga
besarnya sudah menghabiskan tiga ekor sapi untuk selamatan. “Saya tidak
tahu, bagaimana nanti kalau selamatan tujuh hari,” katanya.
Pak
Ong bukan asli Sampang. Dia berasal dari Sumenep. Dia menetap di
Kedungdung, Sampang [tetangga kecamatan Omben] karena istrinya berasal
dari Kedungdung.
Dari
Pak Ong pula keluar cerita tentang bagaimana perilaku kiai, pada saat
bulan Maulid. Di Sampang, kata dia, acara memperingati hari ulang tahun
Nabi Muhammad saw. diperingati bukan hanya di masjid atau musala
melainkan di setiap rumah penduduk. Dalam satu hari, bahkan bisa ada 11
rumah yang mengadakan maulid meski waktunya tidak bersamaan.
Setiap
istri dan setiap ibu, lalu sibuk memasak untuk menjamu undangan dan
kiai, tapi makanan yang sudah dimasak oleh mereka pada akhirnya menjadi
sia-sia karena tidak ada yang makan. “Bagaimana mau dimakan, dalam satu
hari, setiap orang harus menghadiri acara maulid di banyak tempat,”
katanya.
Musim
Maulid itu biasanya juga menjadi musim panen bagi para kiai. Setiap
rumah seolah berlomba-lomba mengundang para kiai, yang tentu saja harus
diberi diberi uang saku. Dari uang saku yang diberikan oleh umat itu,
para kiai minimal bisa membeli sepeda motor. Namun yang menyedihkan kata
Pak Ong, umat yang tidak punya cukup uang untuk merayakan Maulid akan
meminjam uang ke tetangga [atau bahkan ke kiai], tentu berikut bunganya
meskipun dikemas dengan cara lain.
Tak
usah heran jika kemudian, banyak warga yang kemudian terjebak utang
hingga musim Maulid tahun berikutnya. “Itulah keadaannya di Sampang.
Menyedihkan. Makanya ada orang yang sudah mulai berani bilang, lebih
enak ikut Muhammadiyah atau Syiah, tidak repot-repot,” kata Pak Ong.
Muqtadir,
aktivis muda NU Sampang punya cerita lain soal hubungan kiai dan umat.
Dia adalah salah satu satu santri seorang kiai di Sampang yang dianggap
netral melihat kasus Syiah di Omben dan Karang Gayam. Kata dia, di
Sampang, banyak kiai yang tidak mau datang bila diundang oleh
orang-orang miskin, termasuk pada saat acara kematian. Sebaliknya bila
yang mengundang orang kaya, mereka akan datang dan memimpin doa.
Persoalan
utamanya adalah uang saku atau bingkisan yang akan diterima oleh para
kiai: orang kaya dianggap pasti memberi uang saku lebih banyak,
sementara orang miskin akan memberi bingkisan sekadarnya. Tentu tdak
semua kiai berperilaku seperti itu, tapi Muqtadir memastikan, hal
semacam itu sudah menjadi gejala umum di Sampang dan daerah lain di
Madura.
“Kalau
ada undangan bersamaan, para kiai akan mengutamakan undangan dari si
kaya ketimbang si miskin. Padahal hal itu dilarang oleh agama, karena
yang harus diutamakan adalah undangan yang lebih dulu datang,” kata
Muqtadir.
Sunardi
Hamid mengungkapkan, besar-kecilnya uang saku untuk para kiai itu juga
ditentukan oleh kendaraan yang digunakan para kiai. Uang saku untuk kiai
yang datang hanya dengan menggunakan sepeda motor misalnya, akan
berbeda dengan uang saku yang diterima para kiai yang menggunakan mobil.
Kiai yang bermobil pun ada kelas-kelasnya. Kalau mobilnya jelek, uang
sakunya akan lebih sedikit. Kiai yang datang dengan mobil yang lebih
mahal atau mewah, uang sakunya akan semakin tebal. “Kiai sekarang beda
mas dengan kiai-kiai dulu,” kata Sunardi.
Dia
memberi contoh. Dulu, jika pemerintah membantu pondok pesantren untuk
membangun kelas atau lokal madrasah, katakanlah dua kelas, maka kiai
akan menjual sapi atau harta benda lainnya agar bantuan pemerintah bisa
berwujud menjadi enam kelas. Sekarang, jika kiai dibantu membangun dua
kelas, yang dibangun hanya satu kelas. “Sisanya masuk ke kantong kiai,”
katanya.
“Dengan
kejadian di Karang Gayam ini, Syiah jadi pusat perhatian. Kalau tidak
ada kejadian, Syiah tidak akan naik. Para kiai itu sekarang tidak ada
yang berani ngomong, tapi kalau ngomong proyek Rp 100 juta mereka mau.
Mereka itu maunya kan menambah istri dan beli mobil baru,” kata Hamid.
Pilkada dan asal-usul konflik
Isu
NU dan non-NU di Sampang memang menjadi isu sensitif dan bisa dijadikan
alat kepentingan. Di kota itu, bahkan seorang bupati hari-harinya harus
disibukkan oleh unjuk rasa dari para demonstran yang mengatasnamakan
NU. Gara-garanya, perkataan Noer Tjahja. Bupati Sampang itu dituding
telah melecehkan NU. Noer yang sewaktu musim Pilkada berpasangan dengan
Fanan Hasyib, lalu dituding sebagai pengikut Muhammadiyah. Asal-usul
keturunannya juga dipersoalkan. Dianggap bukan keturunan Panji,
bangsawan dari Sampang.
“Kalau
satu kali mungkin dia salah omong, dua kali dimaklumi. Kalau
berkali-kali, pasti ada sesuatu. Muhammadiyah di Sampang ini tidak ada
pengikutnya. Dulu masjid Muhammadiyah di sini dilempari batu,” kata
Fanan sembari menganggap Noer sudah berkali-kali melecehkan NU.
Fanan
dan Noer memang tidak akur. Beberapa pegawai di Pemda Sampang
menuturkan, keduanya bahkan sudah tidak kompak setelah enam bulan mereka
dilantik 26 Februari 2008. Fanan kini lebih banyak tinggal di rumah
dinasnya, dan praktis bisa dikatakan tidak bekerja sebagai wakil bupati.
Pada musim Pilkada 2013, Fanan berniat maju sebagai calon bupati,
menantang Noer, dan KH Sholahurrobbani [sepupu Fanan] yang dikabarkan
juga akan maju sebagai calon bupati.
Fanan
menuturkan, dirinya mengikuti berita kasus pembakaran rumah-rumah
pengikut Syiah di Karang Gayam dan Bluuran. Sebagai pemimpin di daerah,
dia mengaku pembakaran itu bertentangan dengan HAM, tapi sebagai
pengikut Sunni dia menentang keras ajaran Syiah berkembang di Sampang.
Dia
bahkan setuju, kalau pengikut Syiah seluruhnya dipulangkan ke Iran.
“Seperti kata Habib Tohir dari Pekalongan, sebaiknya orang-orang Syiah
itu dikembalikan saja ke Iran. Selesai. Tidak usah diajarkan di
[Sampang] sini,” kata Fanan.
Di
tengah masyarakat dan kiai di Sampang yang mudah memberi cap kepada
orang lain yang tidak sepaham sebagai kafir dan sesat itulah, muncul
Tajul dengan Syiah. Habib Umar Albayyiti, dari Desa Temoran, Omben,
menggambarkan Tajul sebagai orang yang alim, dan suka membantu.
“Wajahnya ganteng. Pintar. Dia banyak tamunya, dan punya banyak santri.
Kiai lain, sepi. Kiai-kiai di Karang Gayam itu sebetulnya masih kerabat
semua dengan Tajul,” kata Umar.
Umar
bercerita, apa yang menimpa Tajul dan pengikutnya sebetulnya bisa jadi
dipicu oleh faktor cemburu dari para kiai setempat. Tajul dianggap
merongrong pamor para kiai yang mulai kehilangan wibawa. Kejadian itu
kata dia mirip dengan yang menimpanya pada awal 1999.
Saat
itu tengah malam, ratusan orang mendatangi rumah Umar di Temoran. Massa
yang membawa obor dan senjata tajam berteriak-teriak meminta Umar
keluar dari rumahnya. Umar yang kebetulan berada di sebuah warung yang
tak jauh dari rumahnya, segera mendatangi kerumunan massa itu. Dia
menanyakan maksud kedatangan orang-orang itu, yang lalu dijawab dengan
tuduhan: Umar menyembunyikan maling di rumahnya. Umar mempersilakan
orang-orang yang marah itu masuk ke rumahnya untuk memeriksa tapi mereka
tidak menemukan yang dicari.
Sampai
sekarang Umar mengaku tidak tahu, mengapa orang-orang itu datang ke
rumahnya dengan marah. Dia hanya bisa menduga, kedatangan orang-orang ke
rumahnya malam itu bisa jadi karena dipicu oleh rasa cemburu dari para
kiai di sekitar rumahnya. Pemicunya, rumah Umar sering dan banyak
kedatangan tamu. Dari mana saja. Ada yang minta tolong, ada yang cuma
silaturahmi dan macam-macam.
“Kejadian
[pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah] di Karang
Gayam itu, saya kira juga demikian. Ada faktor kecemburuan dari salah
satu pihak. Siapa yang iri? Dari cerita Husein kepada saya, Rois itu
yang cemburu,” kata Umar.
Husein
yang dimaksud Umar adalah salah satu orang kepercayaan Tajul yang
menurut Umar sering datang berkunjung ke rumah Umar. Namun menurut
Munif, terlalu jauh kalau dikatakan para ulama dan kiai di Omben
tersinggung karena Tajul punya banyak pengikut.
Feri Ferdiansyah, Kepala Biro Radar Madura di
Sampang menuturkan, Tajul memang beda dengan Rois adiknya. Bukan saja
lebih pintar, tapi penampilan Tajul juga lebih tenang. “Nanti kalau
bertemu dengan keduanya, sampean bisa lihat sendiri,” kata Feri.
Secara
tidak langsung, Mas’udi Cholili Sekretaris PCNU Sampang juga mengakui
perilaku dan kepintaran Tajul. Pernah dalam sebuah perdebatan dengan
para ulama di Omben, Tajul bahkan hampir mematahkan semua argumen para
kiai yang menyesatkan Syiah. Tajul kata Mas’udi menjawab semua
pertanyaan kiai, tapi tidak bisa menjawab satu hal. Mas’udi mengaku
lupa, satu hal yang tidak bisa dijawab Tajul.
Umar
bercerita, suatu hari dirinya menerima undangan dari para kiai di Omben
untuk melakukan musyawarah. Undangan itu berkali-kali disampaikan ke
Umar tapi Umar tidak pernah memenuhinya karena musyawarah yang diadakan
di rumah mendiang Haji Sa’bi [tokoh masyarakat Omben] dinilainya hanya
bertujuan untuk mendesak Tajul agar kembali ke Sunni. “Kiai-kiai yang
tidak mau ikut dianggap sama dengan Tajul, tapi saya tidak pernah
datang. Saya tidak mau,” kata Umar.
Umar
tidak ingat kapan pertemuan di rumah Sa’bi dilakukan tapi dari
keterangan yang disampaikan Zainal Hambali, Sekretaris Intelijen Daerah
Sampang; pertemuan di rumah Sa’bi, kali pertama terjadi pada 20 Februari
2006. Konon hadir para kiai se-Madura dan pejabat Muspika. Penggagasnya
adalah KH Ali Kharrar Sinhaji, pengasuh PP Darul Tauhid di Propon,
Sampang. Dia masih terbilang paman dari Iklil, Tajul dan Rois.
Belum
jelas, mengapa para kiai itu berkumpul di rumah Sa’bi kecuali dengan
satu alasan: ajaran Syiah yang dibawa Tajul dianggap telah meresahkan
masyarakat. Juga tidak terang mengapa Ali Kharar menggagas pertemuan itu
dan Sa’bi kemudian bersedia menjadi tuan rumah pertemuan. Iklil
melarang saya menghubungi Ali Kharar.
Satu
hal yang agak jelas, pertemuan di rumah Sa’bi itu adalah pertemuan
pertama yang khusus menyoal Tajul dan Syiah di Omben dan Karang Penang.
Hasil dari pertemuan itu adalah para kiai sepakat untuk meminta Tajul
kembali ke Sunni dan melarangnya melakukan aktivitas dakwah [Syiah]
untuk sementara waktu. Tajul diberi waktu seminggu untuk menjawab
keputusan para kiai itu dan diharuskan datang ke rumah Sa’bi.
Tanggal
26 Februari 2006, Tajul tidak datang ke rumah Sa’bi seperti yang
diminta para kiai. Dia mewakilkan dirinya kepada Busry dan KH. Wahab
[pamannya]. Dua orang yang mewakili Tajul itu membawa pesan, Tajul
bersedia kembali ke Sunni. Selesai.
Masalah
muncul kembali pada musim Maulid 2007. Saat itu Tajul berniat
mengundang beberapa ustad untuk berceramah di acara Maulid di rumahnya,
tapi sebelum acara berlangsung, massa sudah lebih dulu mendatangi rumah
Tajul dan meminta para penceramah tidak berceramah di desa mereka. Tajul
tidak mengerti, alasan warga menolak para penceramah Maulid yang
didatangkan olehnya.
Di
bulan puasa dua tahun kemudian, terjadi kasus ancam-mengancam antara
pengikut Tajul dan Rois. Dari catatan Zainal, pemicunya adalah ancaman
dari Mat Siri, salah seorang pengikut Tajul kepada Amin. Nama yang
terakhir adalah seorang ustad yang berniat mengadakan pengajian Ramadan.
Rumah Amin kebetulan berdekatan dengan Mat Siri. Kepada tetangganya
itu, Mat Siri kabarnya menyampaikan ancaman, kalau pengajian di rumah
Amin menyinggung-nyinggung soal ajaran Syiah, maka dia dan yang lain
akan berunjuk rasa ke rumah Amin.
Kasus
Mat Siri itu tidak ada kelanjutannya, tapi sebulan kemudian muncul
perselisihan antara Zainul Jakfar [anak asuh Rois] dan Mudawi [anak asuh
Tajul]. Konon, Mudawi mengacungkan celurit kepada Zainul. Kejadian itu
disaksikan oleh para tetangga, sehingga hampir memicu bentrok antara
pengikut Rois dan Tajul.
Lalu
entah apa hubungannya, FPI Pamekasan dan Ikatan Santri Karang Gayam
melaporkan Tajul ke Polwil Madura pada 16 Oktober 2009. Alasan laporan
mereka, ajaran Syiah yang dibawa Tajul telah membuat resah masyarakat.
Laporan FPI ke polisi itu disertai ancaman, jika polisi tidak memberikan
keputusan soal Tajul dan ajarannya, maka mereka akan berunjuk rasa
mendatangi kediaman Tajul. Karena laporan FPI itu, kapolres Sampang
bersama pejabat lain di Sampang membuat lima keputusan, yang intinya
melarang Tajul menyebarkan ajaran Syiah.
Kasus
berikutnya muncul 21 Januari 2011 di Bluuran. Gara-garanya, seorang ibu
bernama Mitsirah menolak pemberian Rustami, anaknya yang Syiah. Rustami
tersinggung dan kabarnya mengucapkan kata-kata yang intinya memutuskan
hubungan silaturahmi antara orang tua dengan anak. Saudara Rustami
bernama Mistari, yang mendengar ucapan Rustami kepada ibunya, tidak
terima. Dia mengancam membunuh Rustami. Para tetangga datang untuk
melerai tapi kasus itu tidak berkelanjutan, hingga terjadi kasus pada
Kamis 29 Desember 2011: rumah-rumah dibakar dan orang-orang Syiah
diusir.
Sembilan Perempuan
Rudy
Setiadhi, Kepala Bakesbangpol Pemkab Sampang menjelaskan, kasus
pembakaran di Karang Gayam dan Bluuran hanya puncak dari perseteruan
panjang antara satu keluarga: Tajul dan Rois. Kali ini yang menjadi akar
masalah adalah perempuan. “Bukan cuma satu perempuan, tapi masih ada
sembilan perempuan. Halimah itu salah satunya. Dia itu masih anak-anak,
masih SD. Rois itu suka kawin cerai, begitulah. Tajul itu tahu kebiasaan
Rois, dan Rois tahu isi dapur Syiah,” kata Rudy.
Dia
menjelaskan, pihaknya sudah berkali-kali berusaha mendamaikan keduanya,
tapi perseteruan terus berlangsung. Beberapa hari setelah Lebaran tahun
lalu, keduanya bahkan dipertemukan di ruang kerja Rudy. “Saya bilang ke
mereka, ‘Ayolah rukun, tak usah berantam, kalian kan bersaudara’,” kata
Rudy.
Rois
mengaku tidak tahu persis, penyebab atau pemicu pembakaran rumah-rumah
milik saudaranya, di Kamis yang nahas itu. Dia hanya mengatakan,
penyebabnya banyak. “Saudara saya Tajul sering mengkhianati perjanjian
musyawarah dengan pemerintah dan masyarakat,” katanya.
Terakhir,
kata Rois perjanjian itu dibuat di Kecamatan Omben, 17 Desember 2011
atau 12 hari sebelum terjadi pembakaran. Pihak Tajul diwakili oleh
Iklil. Isinya berupa pernyataan dari Tajul yang berjanji tidak akan
mengadakan aktivitas dakwah demi kemaslahatan umat. Tajul mengonfirmasi
surat pernyataan yang dibuat di Kantor Kecamatan Omben sebagai
tulisannya, tapi menolak mengakui pernyataan-pernyataan lain karena
dianggap rekayasa dan dibuat sepihak oleh orang-orang yang tidak senang
kepada dirinya.
Rois
akan tetapi tidak menolak, masalah kali ini bisa jadi juga dipicu soal
perempuan bernama Halimah yang disebutkan oleh Rudy. Halimah adalah
putri Mat Badri. Rois mengaku, perempuan itu telah dipinangnya karena
permintaan istrinya Kholifah. Sewaktu dipinang, usia Halimah baru 12
tahun, masih duduk di bangku SD. “Saya sudah tidak mau, tapi istri saya
yang meminta agar saya menikahi Halimah,” kata Rois.
Kholifah
membenarkan bahwa Halimah sudah dipinang olehnya untuk suaminya.
Belakangan, menurut Rois, Tajul meminta dirinya untuk melepaskan Halimah
karena mau dinikahi oleh Tajul. “Saya mengalah,” katanya.
Tentu
saja cerita Rois dan Kholifah dibantah oleh Tajul, Iklil, dan Mat Badri
[orang tua Halimah]. Tajul menjelaskan, Halimah sebetulnya hanya
diminta membantu di rumah Rois, bukan dipinang. Karena Rois dikenal
sebagai kiai, orang tua Halimah mengizinkan anaknya ikut Rois.
Suatu
hari, Tajul didatangi Zainal yang meminta tolong agar meminangkan
Halimah untuk Dul Azid, anaknya. Tajul memenuhi keinginan Zainal
tersebut dan pinangannya diterima oleh Mat Badri. Karena mengetahui
Halimah telah dipinang oleh orang lain, Rois tidak terima dan memanggil
Mat Badri, Zainal dan Dul Azid.
Sebelum
memenuhi panggilan Rois, tiga orang itu meminta pendapat Tajul: apakah
memenuhi panggilan Rois atau tidak. Tajul menyarankan agar tidak
memenuhi panggilan Rois, dengan alasan Rois adalah orang yang
temperamental dan suka memukul orang. “Saya kuatir mereka dipukul, dan
mereka tidak memenuhi panggilan Rois,” kata Tajul.
Kini
Halimah tinggal bersama suaminya di Surabaya. Iklil meminta anak
perempuan itu tidak usah diekspos, karena kuatir mengganggu sekolahnya.
Preman dan adu jangkrik
Rudy
menjelaskan, pembakaran rumah-rumah orang Syiah di Karang Gayam dan
Bluuran juga diprovokasi oleh Rois. Dari catatan Zainal yang intel dari
Pemda Sampang itu, Rois selama ini memang sering memutar rekaman video
soal ajaran Syiah dan mempertontonkannya kepada warga yang ikut
pengajian rutin di rumahnya. Rekaman video itu, antara lain berisi soal
pembantaian pengikut Sunni oleh pengikut Syiah, dan ritual salat yang
konon dilakukan pengikut Tajul di sebuah gereja di Malang.
Dari
cerita Iklil, pembakaran atas rumahnya, rumah Tajul dan rumah Saiful
adik ipar Iklil [suami Hani] terjadi sistematis. Awalnya dia mendapat
kabar dari Bu Misnawi bahwa ada sekelompok orang bersenjata tajam yang
menuju rumah Tajul. Itu sekitar jam 9 pagi. Misnawi adalah tetangga
Tajul, dia mendapat informasi dari Bu Ali yang melihat ada sekelompok
orang bergerombol di jalan menuju rumah Tajul.
Mereka
pura-pura memperbaiki jalan, tapi menurut Iklil, sebetulnya justru
merusak jalan. Tujuannya agar polisi tidak segera tiba ke lokasi. “Saat
itu saya sudah berusaha menghubungi kapolsek Omben tapi tidak ada di
tempat. Saya lalu menghubungi kapolsek Karang Penang agar segera datang
ke Karang Gayam. ‘Tolong ke sini, karena saya mendengar informasi ada
orang-orang yang hendak datang ke rumah Tajul’,” kata Iklil.
Upaya
Iklil sia-sia, karena massa sudah muncul di rumah Tajul dan langsung
merusak dan membakarnya. Dari jarak 20 meter, dia melihat dan mengenali
beberapa orang yang ikut membakar. Antara lain Hosen dan Hasbullah.
Orang-orang itu mengacungkan celurit kepada Iklil.
Di
rumah Saiful yang juga ikut dibakar, Iklil mengenali Arifin, Sahrudin,
Hudali, Masdi sebagai orang yang ikut membakar. Mereka semua menghunus
celurit. Sebelum dibakar, tiga anak Saiful masih berada di dalam rumah.
Berkat pertolongan tetangga, tiga anak itu bisa diselamatkan.
Hamid,
tokoh pemuda Omben itu bercerita, sebelum massa membakar rumah Iklil,
pada siang harinya, rumah itu sebetulnya sudah dijaga 13 polisi tapi
karena kalah jumlah dengan massa, polisi itu tidak berdaya. Kapolres
Sampang yang datang ke lokasi pada saat kejadian, bahkan juga ikut
diancam. Hamid mengaku mengetahui semua itu dari cerita iparnya yang
polisi dan ikut berjaga di rumah Iklil. Sementara Munif menjelaskan,
salah seorang anak Rois juga ikut membakar.
Hali dan Daila
mi
bercerita, orang-orang yang membakar itu mengenakan tutup wajah. Mereka
tiba-tiba muncul dari balik bukit. Munif mendengar, anak Rois ikut pula
membakar.
Umar
menduga, mereka yang membakar rumah Tajul dan saudaranya bukan hanya
berasal dari Karang Gayam, melainkan juga dari Karang Penang. “Mereka
itu bukan santri. Itu para bromocorah. Mana ada, santri bawa-bawa
celurit dan membakar rumah orang?” kata Umar.
Seorang
pengurus PCNU Sampang punya cerita lain soal pelaku pembakaran. Dia
mendengar, KH Syafiuddin Wahid, Rois Syuriah PCNU menyampaikan kasus
pembakaran itu ada indikasi berhubungan dengan pembebasan Gunjeg dari
tahanan polisi. Syafiuddin tak mau memberi penjelasan.
Gunjeg
adalah tokoh preman. Dia warga Kecamatan Camplong, Sampang yang
ditangkap polisi karena kasus judi sabung ayam. Kono, beberapa politisi
berusaha membebaskan Gunjeg dari tahanan tapi Kapolres Sampang, Solehan
bersikukuh tak mau melepaskan Gunjeg. Entah bagaimana ceritanya, Gunjeng
kemudian bebas. Itu terjadi beberapa hari sebelum peristiwa pembakaran
rumah-rumah milik orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran.
Seorang
tokoh di Omben yang rumahnya sering dijadikan tempat berkumpul kepala
desa mengungkapkan, setidaknya ada delapan kepala desa yang berpatungan
masing-masing Rp 5 juta untuk membebaskan Gunjeng, tapi dia tidak
melihat ada hubungan Gunjeg dengan kasus pembakaran di Karang Gayam dan
Bluuran. Tajul dan Rois mengaku tahu siapa Gunjeg, tapi Rois menolak
keras anggapan dirinya kenal dan berkawan dengan Gunjeg. Iklil
mengungkapkan kebiasaan Rois adalah mengadu jangkrik.
Munif
punya cerita berbeda. Dia mengaku pernah diminta untuk mendamaikan Rois
dan Tajul oleh pihak kepolisian, tapi dia menolak. Alasannya,
perseteruan kakak-beradik itu sudah ditunggangi kepentingan politik
menjelang Pilkada 2013.
Kiai
dari Kajuk Sampang, juga berpendapat, kasus di Karang Gayam dan Bluuran
itu telah menjadi dagangan banyak pihak. Dari semula hanya persoalan
keluarga, lalu ditarik atau digiring menjadi isu Syiah dan Sunni. Dengan
menggiring perselisihan keluarga menjadi isu Syiah-Sunni, ada yang
berharap mendapat dukungan.
Dia
bercerita, kasus antara Rois dan Tajul sebetulnya sudah berkali-kali
dicoba didamaikan tapi tidak selesai, dan sekarang menjadi semakin
terbuka. Maka ketika persoalan keluarga ditarik menjadi persoalan paham,
yang diuntungkan kata dia, adalah pihak yang selama ini tidak
diuntungkan dari sengketa keluarga itu.
“Saya
menduga Rois mendapat keuntungan. Dia tahu, masyarakat Madura adalah
Sunni. Ini bombastis. Kalau kami, para kiai di Sampang sudah tahu dan
paham ada perbedaan antara Syiah dan Sunni, tapi masyarakat yang awam
sekarang mulai bertanya-tanya: Syiah itu apa, dan apa perbedaannya
dengan Sunni?” kata dia.
Kasus
[pembakaran] rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran
kata dia sudah diprovokasi. “Sudah ada dan terjadi penggiringan opini
kepada masyarakat dan berhasil. MUI Sampang, kemarin sudah menyatakan
Syiah ajaran sesat. Loh, kenapa baru sekarang setelah terjadi
pembakaran?” katanya.
NU dan Albayyinat
Menyusul
kasus pembakaran rumah-rumah orang-orang Syiah dan pengusiran mereka,
MUI dan PCNU Sampang, juga PWNU Jawa Timur mengambil kesimpulan dan
menyebutkan ajaran Syiah sesat. Benar, PCNU dan PWNU tidak secara khusus
menyebut Syiah dan hanya menyebutkan ajaran yang dibawa Tajul. Namun
pernyataan itu hanya permainan semantik, yang intinya menolak Syiah
karena faktanya Tajul adalah pengikut paham Syiah.
Seorang
pengurus PCNU pernah mendengar, ada kesepakatan antara PWNU Jatim dan
kapolda Jatim untuk tidak lagi menyebut Syiah melainkan hanya akan
menyebut ajaran sesat. Informasi ini belum dikonfirmasi. “Kalau menyebut
Syiah, itu berbahaya karena ada organisasinya,” katanya.
PCNU
dan PWNU mengaku punya alasan mengeluarkan pernyataan ajaran Tajul
sesat. M Faidhol, Ketua Tanfiziah PCNU Sampang yang ditunjuk menjadi
juru bicara menjelaskan, alasan PCNU antara lain karena masyarakat luas
menunggu, pendapat dan sikap NU terhadap ajaran dan provokasi Tajul.
Alasan lainnya, agar tidak memperluas wilayah konflik akibat ajaran
sesat Tajul dan provokasinya di masyarakat. “Kami meminta Pemkab Sampang
mengeluarkan perda sesat karena tujuannya, agar tidak ada keresahan dan
konflik atas nama agama,” kata Faidhol.
Dia
menyampaikan hal itu dalam pertemuan di pendopo kabupaten Sampang,
Selasa 3 Januari 2012. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain, Irjen
Hadiatomo [Kapolda Jatim], Palty Simanjuntak [Kajati Jatim], Noer Tjahja
[Bupati Sampang], Kapolres Sampang, KH. Abdus Samad Bukhori [Ketua MUI
Jatim], KH. Miftahul Akhyar [Rois Syuriah PWNU Jatim], KH. Mutawakil
Alallah [Ketua PWNU Jatim], KH. Muhaimin Abdul Bari [Ketua PCNU
Sampang], dan Faidol Mubarok [pengurus PCNU Sampang.
Miftahul
Akhyar menjelaskan, PWNU Jatim memang mendukung pernyataan PCNU
Sampang. Dia mengaku, sudah menurunkan tim ke Sampang untuk mencari tahu
akar masalah. Hasilnya: Tajul dinilai mengajarkan aliran sesat, karena
antara lain mengajarkan salat hanya 3 kali sehari semalam, mengecam para
auliya Batu Ampar Madura, ulama dan kiai dianggap anak zina. “Ini hasil
sebagian investigasi Tim kami. Manakala ada kesalahan, kurang akurat,
kami siap memperbaiki,” kata Miftah.
Dia
menolak anggapan, PCNU dan PWNU sedang berpolitik dalam kasus ini. Dia
juga membantah, bahwa PWNU mendapat dukungan dana dari al Bayyinat.
“Tolong sebutkan, siapa yang menfitnah tentang dukungan dana itu? NU
lebih kaya daripada al Bayyinat. Boleh diaudit, kalau perlu diperiksa
KPK. Kebenaran tetap kebenaran. Anda dapat cerita darimana?” katanya.
Al
Bayyinat adalah organisasi yang dipimpin Achmad Zein Alkaf. Dia juga
pengurus di PWNU Jawa Timur. Kelompok Syiah di Indonesia menuding,
organisasi itu sangat anti-Syiah dan paling aktif menggalang dukungan
untuk menentang Syiah.
Lewat
wawancara melalui email, Zein tidak menjawab soal dukungan dana kepada
NU. Namun, apakah al Bayyinat dirancang khusus untuk mewaspadai dan
menentang Syiah di Indonesia?
“Para
pendiri al Bayyinat kebanyakan alumni Mesir, Mekah, Madinah, Yaman dan
dari dalam negeri, didukung tokoh tokoh habaib di Indonesia dan luar
Indonesia. Kami berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar [mengajak kebaikan dan mencegah perbuatan keji], ” kata Zein.
Dia
pun menolak anggapan bahwa mengusir Syiah dari Indonesia dan
menyatakannya sebagai aliran sesat bertentangan dengan Pansila dan UUD
1945. “Yang berbahaya bagi Pancasila dan UUD 45 adalah Syiah, karena
mereka patuh hanya kepada Imam mereka di Iran,” kata Zein.
Dari
semua teori dan penyebab konflik, kemarin kembali pecah kerusuhan di
Karang Gayam dan Bluuran. Dua pengikut Syiah tewas, 3 luka-luka. Di
kelompok penyerang, dikabarkan 2 orang luka berat. Orang-orang Syiah itu
diserang ketika bersikeras kembali ke kampung halaman mereka untuk
berlebaran dan bersilaturahmi dengan sanak famili, setelah terusir
sekian bulan.
Karena
kasus di Omben dan Karang Gayam itu, kini warga awam pun mulai dengan
mudah memberi cap orang-orang Syiah sebagai penganut aliran sesat.
Mereka menilai paham mereka benar, sementara paham orang lain yang tidak
sama adalah keliru dan kafir. Seperti kata Zein, mereka juga mengaku
mengajak ke kebaikan dan mencegah kekejian.
Padahal kata seorang kiai di Omben, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tentu dan pasti tidak membakar, tidak merusak, dan tidak membunuh. Dalam ungkapan bahasa Madura, kiai itu berkata: emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamaccok [mereka hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam].