FARAGH FOUDA (ALM), SEORANG MUSLIM, DIBUNUH OLEH KELOMPOK YANG JUGA MENGAKU MUSLIM, KARENA BERBICARA DENGAN LUGAS DAN DASAR YANG KUAT TENTANG KEBENARAN AGAMA ISLAM DALAM BUKUNYA "HAQIQAH WA GHAIBAH" DI TERJEMAHKAN DALAM BAHASA INDONESIA DENGAN JUDUL "KEBENARAN YANG HILANG"
-Red.
Madinat
al-Nasr, sebuah daerah di pinggiran Kairo. Tempat hunian bagi para
mahasiswa/i al-Azhar dari penjuru dunia, terutama dari kawasan Asia.
Tepatnya tanggal 8 Juni 1992, tempat ini menjadi saksi bisu peristiwa
penembakan terhadap seorang pengguncang akar kemapanan dalam dunia
Islam, yang kemudian berusaha ditutup-tutupi kisahnya oleh para ulama
al-Azhar dengan stempel murtad. Bahkan seorang Azharian seperti Muhammad
al-Ghazali tak segan mendukung tindakan para algojo bayaran tersebut,
siapapun orangnya, dan dari kelompok mana. “Tindakan mereka adalah
pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.”
Lalu
siapakah orang yang mati terbunuh ini? Dia adalah Farag Fouda, seorang
yang telah divonis murtad oleh sekelompok ulama al-Azhar, dengan alasan
bahwa Fouda telah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini
berarti darahnya halal untuk dibunuh. Lima bulan sebelumnya, Fouda
sempat mengikuti dialog yang diadakan pada acara Pameran Buku Kairo.
Dialog itu dihadiri oleh beberapa ulama al-Azhar, termasuk Muhammad
al-Ghazali, Ma’mun al-Hudaibi, dan Muhammad Imara. Temanya berkisar pada
persoalan hubungan antara agama dan politik, negara dan agama,
penerapan syariat Islam dan khilafah. Terjadi perdebatan sengit yang
ujung-ujungnya kelompok Azharian ini mengeluarkan fatwa murtad terhadap
Fouda.
Ketika
para pembunuh itu tertangkap, mereka bersaksi bahwa dorongan membunuh
Fouda dikarenakan ada fatwa ulama Azhar. Mereka mengaku berasal dari
kalangan Jama’ah Islamiyah, “al-Azhar menetapkan hukuman, kami
mengeksekusi.” demikian menurut pengakuan mereka. Dalam persidangan itu
Muhammad al-Ghazali bahkan membela para pembunuhnya dengan mengatakan
bahwa dalam Islam orang yang telah murtad halal untuk dibunuh. Ketika
ditanya oleh hakim mengenai siapa yang melakukan eksekusi itu,
al-Ghazali menjawab bahwa jika pemerintah tidak dapat melakukannya, maka
siapa saja dapat bertindak, dan dalam Islam tidak ada hukuman bagi
orang yang melakukan hal tersebut. Namun pengadilan berpendapat berbeda,
dan memutuskan menjatuhkan hukuman mati bagi para pembunuh Fouda.
Dari
sini nampak seolah ada pembagian tugas antara ulama dan algojo, tidak
jauh berbeda dengan di Indonesia. Ketika MUI memvonis sesat terhadap
kelompok-kelompok sesat, maka sejumlah kelompok massa melakukan aksi
kekerasan dengan dalih apologetik bahwa pemerintah tidak dapat menindak
para penghujat agama. Kembali kepada Farag Fouda. Benarkah ia penghujat
agama? Sebenarnya tidak demikian, dia hanya mengkritik kalangan
fundamentalis, revivalis atau islamis yang begitu mengagungkan periode
tiga generasi awal, dari masa sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Atau
dalam hitungan waktunya generasi abad pertama hingga ketiga hijriah
(Abad 7-9 M).
Bila
kaum “revivalis” menggambarkan periode itu sebagai periode salaf, zaman
keemasan yang patut dirindukan. Sebaliknya bagi Fouda, periode itu
tidak banyak kegemilangan, malah lebih banyak jejak memalukan dan kisah
kelam yang berusaha disembunyikan. Dalam bukunya yang berjudul al-Haqiqat al-Ghaybah,
atau kebenaran yang hilang. Fouda membuat para pembacanya merasa tampak
bodoh, korup, tak bermoral, dan juga munafik. Dalam mengkritik
pandangan dan penafsiran kaum Islamis, ia tak semata mengungkapkan fakta
sejarah yang menurutnya telah hilang dari memori mereka, tapi dia
melakukannya dengan gaya penulisan satir yang tajam. Di samping itu
fakta-fakta sejarah tersebut diambil dari referensi kitab-kitab klasik
yang sesungguhnya dihormati, beredar luas, dan tersimpan tak jauh dari
jangkauan pihak-pihak yang ia kritik dan khalayak umum.
Tapi
mungkin karena saking dihormati, maka dianggap sakral, dan tak berani
disentuh, apalagi dibaca atau membayangkan isinya. Lalu apa sih isi
kitab-kitab tersebut. Di sini saya akan menuliskan ulang beberapa contoh
isi buku Farag Fouda berikut referensi sumbernya, yang menceritakan
bagaimana para sahabat Nabi yang katanya dijamin masuk surga, justru
saling mengangkat senjata menumpahkan darah sesama mereka. Dan nyatanya
jelas bahwa tiga di antara empat khalifah pertama semuanya mati
terbunuh. Kita bisa saja bilang dan menempelkan stigma bahwa para
pembunuhnya adalah orang munafik dan murtad. Tetapi apakah kita tidak
mau mengecek semua sentimen keagamaan itu, bahwa di balik peristiwa
selalu ada kepentingan, motif, atau peristiwa lain melatar belakanginya.
Dan itu semua tidak semata persoalan keimanan, atau bisa jadi hal lain
yang berbeda.
1. Kisah pembunuhan orang Murtad yang dilakukan oleh Abu Bakar
Apakah
serangan Khalifah Abu Bakar terhadap orang-orang yang dituduh murtad
dari Islam, hanya karena kemurtadan yang dilakukannya, atau karena
mereka enggan membayar zakat kepada pemerintahan baru yang dipimpin oleh
Abu Bakar? Lalu apakah pembunuhan itu bertumpu pada prioritas politik
atau agama? Karena kalau pembunuhan terhadap orang murtad adalah
prioritas agama, tapi mengapa langkah kebijakan Abu Bakar tidak diikuti
oleh Umar Ibn Khattab. Bagi Fouda, jawabannya adalah karena hal tersebut
merupakan langkah kebijakan politik Abu Bakar yang tidak perlu ditiru
oleh pemerintah selanjutnya.
Dalam kitab Tarikh al-Thabari
yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, juz III,
dalam bab “Tarikh al-Rusul wa al-Muluk,” dikatakan bahwa alasan kelompok
yang tidak mau membayar zakat adalah dikarenakan semasa Nabi hidup,
mereka menyerahkan zakat kepada Nabi sebagai pengakuan kepemimpinan
Nabi. Sedangkan sepeninggal Nabi, mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu
Bakar dan tidak mau menyerahkan zakat kepadanya. Mereka yang dituduh
murtad sejatinya tetap menjalankan shalat, namun hanya saja tidak mau
membayar zakat kepada pemerintah Umar. Hal ini digambarkan oleh puisi
milik al-Huthai’ah:
Kami tunduk kepada Rasulullah selama beliau berada di antara kita
Wahai hamba-hamba Allah, apa pedulinya dengan Abu Bakar
Apakah beliau mewariskannya kepada Abu Bakar setelah beliau meninggal
Demi Allah, itu merupakan kehancuran (Tarikh al-Thabari, juz III, hlm. 246)
Qarrah
Ibn Hubairah dari Amman berkata pada Amr Ibn al-Ash, “Sesungguhnya
bangsa Arab tidak menyukai kamu lantaran memunguti pajak. Jika kalian
menghapuskan pajak dari mereka, niscaya mereka akan taat dan patuh
kepada kalian. Dan jika kalian berkeras, saya tidak akan pernah merasa
menyetujui kalian (sebagai pemimpin).” Amr berkata: “Kamu telah
membangkang hai Qarrah.” Sementara di belakang mereka ada suku Bani
Amir, jika timbul perang di sana, maka gejolak baru akan timbul. Lalu
Amr berkata: “Apakah kamu akan mengancam kami dan menakut-nakuti kami
dengan bangsa Arab? Janji kamu adalah kehormatan ibumu. Demi Allah, aku
pasti akan menginjakkan kuda kepada kamu.” (Tarikh al-Thabari, juz III, hlm. 259)
Sementara
jawaban Abu bakar tegas: “Jika mereka semua menolak membayar zakat,
saya pasti memerangi mereka karena alasan itu.” Peperangan terhadap
mereka yang dituduh murtad karena tidak mau membayar zakat kepadanya
tidak hanya dilakukan sekali waktu, tetapi beberapa kali, dan ada
sejumlah riwayat yang menceritakannya.
Umar
Ibn Khattab berkata kepada Abu Bakar ketika dia hendak memerangi
Musailamah: “Apakah anda hendak memerangi mereka, sementara anda
mendengar Rasulullah melarang memerangi orang yang telah
mengucapkannya?” Lalu Abu Bakar menjawab teguran itu: “Demi Allah, saya
tidak membedakan antara shalat dan zakat. Saya akan memerangi saja siapa
yang membedakan antara keduanya.” (musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, juz I, hlm. 181)
Dalam
riwayat lain Abu Bakar mengirimkan surat pada kabilah-kabilah
“pengemplang pajak” yang dinyatakan murtad olehnya: “Sungguh saya
mengirimkan kepada kalian si fulan yang memimpin pasukan yang terdiri
dari sahabat Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti
mereka. Saya memerintahkan agar mereka tidak memerangi siapa pun, dan
tidak membunuhnya sampai ia meminta orang tersebut kembali kepada seruan
Nabi Allah. Siapa saja yang menerima, mengakui, menahan diri, dan
berbuat baik maka ia akan diterima dan dibantu. Sementara siapa saja
yang membangkang maka saya memerintahkan untuk memeranginya sampai tidak
ada yang tersisa di antara mereka. Saya juga memerintahkan agar
membakar mereka, dan menjadikan anak serta istri mereka sebagai tawanan.
Mereka akan diterima hanya apabila mereka kembali kepada Islam.” (Tarikh al-Thabari, Juz III, hlm. 251)
Lalu
Abu Bakar mengirimkan Khalid Ibn Walid ke daerah Bithah, namun
sesampainya di sana, ia tak menemukan seorang pun. Ia mendapatkan Malik
Ibn Nuwaira ternyata telah memerintahkan kelompoknya untuk membawa harta
mereka masing-masing untuk mengungsi. Lalu Khalid berkata kepada Malik:
“Hai Bani Yarbu’, dahulu kita pernah membangkang kepada para pemimpin
kita ketika mereka mengajak kita menerima agama ini, dan kita
memengaruhi masyarakat untuk tidak melayani seruan itu, ternyata kita
tidak beruntung dan tidak pernah berhasil. Oleh karena itu,
berhati-hatilah, jangan kalian melawan kelompok yang diciptakan untuk
mereka (keberhasilan). Bubarlah kalian, pergilah menuju rumah kalian dan
bersatulah dalam masalah (pembayar zakat) ini.”
Kemudian
Malik dan anggota kelompoknya kembali pulang ke rumah-rumah mereka.
Meskipun demikian, Khalid Ibn Walid tetap membunuh mereka semua,
sekalipun mereka telah meneriakkan Azan dan shalat. Pasukan Khalid
menjadikan kepala mereka yang terbunuh kaki tungku dan membakar tempat
tinggal mereka. Setelah Malik bin Nuwairah tewas, Khalid mengambil istri
Malik sebagai istrinya, yaitu Ummu Tamim puteri al-Mihal. Ketika berita
perkawinan itu tersebar, Umar Ibn Khattab berang dan berkata padanya:
“Musuh Allah telah memerangi orang muslim, kemudian si muslim
membunuhnya, setelah itu si muslim merampas istrinya.” Meskipun
demikian, Abu Bakar menerima alasan tindakan Khalid Ibn Walid tersebut. (Tarikh al-Thabari, juz III, hlm. 277-280).
2. Musyawarah ala Umar Ibn Khattab
Banyak
yang mengatakan bahwa dewan musyawarah yang terdiri dari enam sahabat
senior adalah cikal bakal demokrasi dalam Islam. Walaupun sesungguhnya
musyawarah yang dipraktikkan kala itu adalah warisan sistem konsensus
kesukuan sebelum masa pra-Islam, dan berbeda dengan sistem demokrasi
modern. Dalam sistem permusyawaratan suku, hasil majelis merupakan
putusan tertinggi yang tidak dapat diganggu gugat bahkan oleh seorang
pemimpin kabilah atau ketua suku. Bahkan yang menentang boleh dibunuh.
Dewan
permusyawaratan yang dibentuk Umar terdiri dari Ali Ibn Thalib, Utsman
Ibn Affan, Abdurrahman Ibn Auf, Sa’ad Ibn Abi Waqash, Zubair Ibn
al-Awwam, dan Thalhah. Sementara salah seorang sahabat Ibn Abbas
menyadari susunan tersebut, dia memperingatkan kepada Ali: “Jangan masuk
bersama mereka.” Namun Ali menjawab: “Saya tidak suka perselisihan.”
Abbas mengatakan: “Kalau demikian, kamu akan melihat apa yang tidak kamu
sukai.” Dan itulah yang terjadi. Dalam suatu waktu, Umar pernah berkata
kepada Shuhaib: “Lakukan Shalat bersama orang banyak selama tiga hari.
Kemudian masukkan juga Ali, Utsman, Zubair, Sa’ad, Abdurrahman, dan
Thalhah apabila dia datang. Libatkan pula anakku Abdullah Ibn Umar,
namun ia tidak memiliki hak apa pun. Kemudian pimpinlah (musyawarah)
bersama mereka. Jika lima di antara mereka sepakat dan merestui
seseorang, sementara yang satu menolak maka pecahkanlah kepalanya, atau
tebaslah dengan pedang. Jika empat di antara mereka sepakat dan dua di
antara mereka menolak maka penggallah leher mereka berdua. Jika tiga di
antara mereka merestui salah satu, dan tiga lainnya merestui orang lain.
Maka serahkan keputusannya kepada Abdullah Ibn Umar, mana di antara dua
kelompok tersebut yang dia putuskan. Hendaklah mereka memilih salah
seorang di antara mereka. Jika mereka tidak puas dengan keputusan
Abdullah Ibn Umar, maka hendaklah mereka bersama dengan kelompok di mana
Abdurrahman Ibn Auf berada, dan bunuhlah sisanya yang tidak mengikuti
kesepakatan orang banyak. (Tarikh al-Thabari, juz IV, hlm. 229).
3. Pemberontakan Terhadap Usman Dari Kalangan Sahabat
Keenam
dewan yang dibentuk oleh Umar seolah menandakan bahwa para sahabat
senior ibarat kesatuan korps yang seirama dan sejalan. Tetapi ketika
Usman terbunuh ketika dirinya menjabat sebagai Khalifah, banyak yang
menunjukkan jarinya kepada seseorang bernama Amr Ibn Hamiq al-Khuza’i
yang kemudian dijustifikasi sebagai oportunis munafik. Tapi tahukah
siapa Amr Ibn Hamiq tersebut?
Amr
Ibn Hamiq Ibn Kahin Ibn al-Khuza’i memeluk Islam sebelum fathul Makkah
dan peristiwa Hijrah, ada pula yang mengatakan kalau ia memeluk Islam
pada Haji Wada. Rasulullah pernah berdoa untuknya: “Semoga Allah
memberimu usia yang baik.” Ia hidup sampai umur 80 tahun, dan tidak ada
sehelai uban di rambutnya. Namun dia adalah salah satu dari empat orang
yang menerobos rumah Usman, dan melompat ke dada Usman lalu menikam
dengan sembilan tikaman seraya berkata: “Adapun tiga tikaman karena
Allah, dan enam tikaman karena dendam di dalam dadaku.” (Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII, hlm. 208 & juz VIII, hlm. 48 )
Amr Ibn Hamiq adalah salah seorang sahabat Nabi yang disebutkan oleh Ibn Hajar dalam al-Tahzib, juz VIII, no. 37 dan al-Taqrib, juz I, hlm. 733.
Hadis yang diriwayatkan olehnya dikodifikasi dalam Sunan Ibn Majah dan
Sunan al-Nasa’I, dan dibenarkan oleh Ibn Hatim perihal posisinya sebagai
sahabat Nabi dalam kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, juz VI, no. 1248.
Tapi
ternyata konspirasi pembunuhan Usman tidak berhenti sampai pada
penunjukkan siapa yang mengangkat senjatanya. Para aktor yang
merencanakan dan merekayasa pemberontakan tersebut juga dipelopori oleh
Sahabat, dan di antara mereka adalah orang-orang yang berdiri bersama
Usman dalam dewan permusyawaratan bentukan Khalifah sebelumnya, yakni
Umar.
Abdurrahman
Ibn Auf, misalnya menyerukan kepada Ali: “Ali, Kalau engkau berkenan.
Silahkan angkat senjata. Akupun akan angkat senjata. Ia (Usman) telah
mengambil kembali apa yang telah ia berikan kepadaku.” Kemudian ketika
Abdurrahman Ibn Auf jatuh sakit, ia sempat berkata kepada sahabat yang
mengelilinginya: “Bersegeralah kalian untuk memberontak terhadap Usman,
sebelum kekuasaannya yang akan menindas kalian.” Demikian pula Thalhah
juga memprovokasi para pemberontak, sampai-sampai Ali tidak mempunyai
pilihan lain kecuali membuka akses Baitul mal, lalu membagi-bagikan
kepada mereka. Tetapi, saat itu Usman justru membenarkan tindakan Ali
sebagai tindakan untuk meredam konflik. Namun Usman tetap saja terbunuh.
Anehnya, justru kemudian Thalhah yang tampil sebagai orang yang
menuntut balas atas kematian Usman dalam kelompok tentara Aisyah melawan
tentara Ali dalam perang Jamal. Thalhah terbunuh oleh rekannya sendiri,
Marwan Ibn Hakam, di saat Marwan melontarkan tombaknya yang dimaksud
untuk mengenai musuh. Tatkala tombak itu mengenainya, ia berkata:
“Inilah tombak yang ditikamkan Allah kepadaku, Ya Tuhan, ambillah
balasan untuk Usman dariku, sampai engkau ridha.” (Thaha Husein, al-A’mal al-Kamilah li Taha Husein, bagian al-Fitnah al-Kubra, vol. IV, hlm. 360-367).
Menurut
Sejarawan al-Thabari, jenazah Usman terpaksa bertahan dua malam karena
tidak dapat dikuburkan. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang
yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyhalatinya. Jasad
orang tua berumur 83 tahun itu kemudian dikuburkan di Hisy Kaukab,
wilayah pekuburan Yahudi.
4. Berbalas Tuduhan Sesama Sepupu
Abdullah
Ibn Abbas dan Ali Ibn Abi Thalib merupakan saudara sepupu. Sewaktu ia
menjabat sebagai Khalifah, Ali mendapatkan surat dari pengurus Baitul
Mal di Bashrah, yakni Abu al-Aswad al-Duwali. Surat itu memberitahukan
bahwa orang kepercayaan Ali sekaligus sepupunya telah mengambil apa yang
bukan menjadi haknya tanpa sepengetahuannya. Lalu Ali mengirimkan surat
kepada Ibn Abbas, “Telah sampai padaku berita tentang dirimu. Jika
engkau benar-benar melakukannya, sungguh engkau telah membuat murka
Tuhan, jauh dari amanat, melawan pemimpinmu, dan khianat pada umat. Aku
mendengar engkau telah mengkavling tanah dan menikmati apa yang engkau
kuasai. Tunjukkan padaku laporanmu sebelum perhitungan Tuhan yang lebih
keras menimpamu.”
Namun
datang jawaban dari Ibn Abbas, “Yang sampai kepadamu tak lebih dari
kebohongan. Aku senantiasa menghitung dan menjaga apa-apa yang berada di
bawah wewenangku. Karena itu janganlah kau memercayai rumor belaka.
Semoga rahmat Tuhan menyertaimu.”
Tetapi
Ali bersikeras ingin mengetahui laporan penggunaan uang milik Ibn
Abbas, ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali sanggahan terhadap tuduhan
dan ucapan salam. Lalu ia mengirimkan surat balasan: “Saya tidak kuasa
meninggalkan perkaramu sampai engkau memberitahuku apa yang kau ambil
dari pajak; dari mana engkau dapat, dan engkau kemanakan harta itu.
Bertakwalah kepada Allah dalam perkara yang aku mandatkan kepadamu
karena aku memintamu untuk menjaganya.”
Sebenarnya
Ibn Abbas masih menjawab, namun tetap tidak menyentuh soal sumber
penghasilan dan pengeluaran. Lantas perseteruan itu semakin meruncing,
Ali melemparkan tuduhan pada Ibn Abbas telah menggelapkan keuangan
negara, sementara Ibn Abbas menuduh Ali telah menumpahkan banyak darah
umat Islam demi meraih kekuasaan. Ibn Abbas menulis surat: “Saya
memahami mengapa anda terlalu membesar-besarkan perkara kebun yang
mendasari tuduhan anda. Demi Tuhan, dilontarkan Tuhan segala yang ada
dalam perut bumi ini kepadaku lebih baik bagiku daripada aku harus
menumpahkan darah umat hanya demi merebut kekuasaan dan kepemimpinan.
Kirimkanlah kepadaku pengganti yang engkau sukai!”
Surat
pengunduran diri yang aneh tersebut membuat Ali sangat marah, “Apakah
Ibn Abbas tidak ikut menumpahkan darah?” katanya. Tetapi yang membuat
Ali meledak-ledak adalah setelah mengundurkan diri, Ibn Abbas justru
menghimpun semua yang tersisa di Baitul Mal yang jumlahnya sekitar 6
juta dirham. Lalu mengumpulkan sanak keluarganya dan juga kalangan Bani
Hilal di Bashrah untuk mencari perlindungan. Tetapi para penduduk
Bashrah yang marah mengancam Bani Hilal untuk meninggalkan harta yang
diberikan oleh Ibn Abbas sebagai upah mereka, hal itu guna menghindari
pertumpahan darah. Tetapi akhirnya Ibn Abbas melarikan diri ke Mekkah,
dan di sana dia membeli tiga orang budak, masing-masing tiga ribu dinnar
untuk melayaninya. Ironisnya adalah, orang yang katanya meriwayatkan
ratusan hadis ini sampai sekarang dianggap sebagai periwayat hadis yang
produktif, sementara Ali Ibn Abi Thalib justru menyebutnya telah memakan
yang haram dan minum dari yang haram. (Tarikh al-Thabari, juz IV, hlm. 107-109.
Lalu
apa yang tertinggal bagi kita? Inilah dunia manusia, bukan malaikat.
Tidak ada kesucian yang mutlak, dunia nyata yang tak pernah terlepas
dari salah dan dosa. Lalu di mana masa keemasan itu, masa yang
diibaratkan seperti alam surgawi. Seperti ketika ada seorang tokoh di
acara TV berjudul Islam KTP, tokoh itu bilang bahwa ada manusia-manusia
yang tidak bisa tersentuh oleh setan, dia adalah empat khalifah pertama.
Tapi mungkin tokoh itu tidak bisa baca kitab-kitab klasik atau hanya
mengikuti skenario belaka. Padahal empat khalifah pertama sama
manusianya dengan kita, yang dapat tergoda dan terpuruk.
Sementara
dinamika perubahan terus terjadi tatkala agama bertautan dengan
kekuasaan. Orang memakai dalih agama untuk memertahankan tahta atau
untuk menjatuhkan si penguasa, tetapi sebenarnya mereka tahu: tak ada
yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di
lain pihak, mereka tahu mereka buta. (Goenawan Mohamad, epilog dalam al-Haqiqat al-Ghaibah versi terjemah Indonesia.)
Sumber: http://media.kompasiana.com/buku/2011/03/03/kebenaran-yang-hilang-kekelaman- yang-disembunyikan/