Oleh Ustad Sinar Agama
بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل علي محمد وآله الطاهرين
(d-1-3) Hakikat Lauhu al-Mahfuzh
Dalam
tulisan-tulisan saya tentang Filsafat, Irfan dan Wahdatu al-Wujud,
telah sering menerangkan tentang hakikat Lauhu al-Mahfuzh ini secara
filsafat dan irfan. Artinya tekanan bahasannya adalah pada dimensi
wujudnya. Akan tetapi di sini, saya akan menerangkan kitab Lauhu
al-Mahfuzh ini yang berfokus pada fungsinya, bukan pada esensi,
substansi dan keberadaannya. Sekalipun, sudah tentu, akan memiliki
sentuhan pula terhadapnya.
Kalau kita mau memperhatikan
bunyi ayatnya dan menjauhkan diri dari kecenderungan hati yang telah
didekte oleh budaya pemahaman Islam selama ini, dan benar-benar hanya
memperhatikan bunyi ayatnya, maka saya merasa bahwa sungguh-sungguh
tidak akan terlalu sulit untuk menyentuh makna ayat yang menerangkan
tentang kitab Lauhu al-Mahfuzh ini. Terlebih lagi setelah kita tahu dan
yakin secara akal-gamblang bahwa penentuan nasib manusia itu adalah
suatu yang sangat tidak bisa diterima akal sihat manapun.Perhatikan
bunyi ayat berikut ini:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ
الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا
حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي
كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan Dia memiliki kunci-kunci
keghaiban, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia tahu yang
di daratan dan lautan, dan tidaklah jatuh satu daunpun dari pohonnya
kecuali Dia mengetahuinya, dan tidaklah jatuh pula satu bijipun di
kegelapan bumi dan tidaklah sesuatu yang basah dan kering, kecuali sudah
ada di Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 6: 59)
وَمَا
تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ
مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ
وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا
فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي
كِتَابٍ مُبِينٍ
“Kamu tidak berada dalam suatu
keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur an dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih
kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua
tercatat) dalam Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 10: 61)
وَإِنَّ
رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ (74) وَمَا
مِنْ غَائِبَةٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
(75)
“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka
nyatakan (74) Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi,
melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 27:
74, 75)
..... لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ
ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ
وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“....Tidak
ada yang tersembunyi daripadaNya seberat zarrahpun yang ada di langit
dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan
yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhu
al-Mahfuzh)” (QS: 34: 3)
Dalam ayat-ayat di atas, terasa
sekali bahwa yang ingin disampaikan Tuhan itu adalah masalah ke-Maha
PengetahuanNya yang mengetahui yang terang dan yang ghaib atau
tersembunyi, bukan tentang penentuan nasib manusia. Dari seluruh
ayat-ayat di atas itu, sebelum Allah membicarakan tentang keberadaan dan
keadaan semua hal di Lauhu al-Mahfuzh, selalu mengatakan bahwa Dia
mengetahui semua keberadaan dan keadaannya, baik dari keberadaan dan
keadaan manusia atau selainnya.
Setelah diketahui dengan
mukaddimahNya itu bahwa Allah Maha Tahu, maka hal ini dapat mengantarkan
kita untuk memahami Lauhu al-Mahfuzh. Yaitu, bahwa kitab Lauhu
al-Mahfuzh itu tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan salah satu
gudang keghaiban tentang ilmu-ilmuNya. Itulah mengapa Allah mengatakan
memiliki kunci-kunci keghaiban pada ayat pertama di atas.
Adalah sangat keliru ketika seseorang memaknai ayat-ayat di atas itu dengan mengatakan bahwa “Allah Maha Mengetahui Segala Hal Karena Sudah Ditulis di Lauhu al-Mahfuzh”. Kalau Allah mengatakan bahwa “Semua hal ada di Lauhu al-Mahfuzh oleh karenanya Aku mengetahui semuanya”,
maka mungkin masih ada lowongan atau peluang untuk memahami bahwa
pengetahuan Tuhan itu karena disebabkan penulisanNya dalam Lauhu
al-Mahfuzh. Walaupun peluang ini, jelas bukan satu-satunya. Karena
peluang lainnya justru lebih besar. Yaitu karena ilmuNyalah Tuhan
menulisnya. Hal itu karena ilmu itu lebih dulu dari pada penulisan,
bukan sebaliknya.
Akan tetapi, Tuhan dengan telaten dan
lembut membimbing manusia supaya tidak keliru memahami hidayah dan
ayat-ayatNya. Oleh karenanya didahului dengan penekanan pada pemberitaan
terhadap ilmu dan ke-Maha PengetahuanNya. Itu semua supaya manusia tahu
bahwa yang diinginkan dalam ayat-ayat itu adalah IlmuNya. Ini yang pertama.
Yakni mendahulukan pengkabaran tentang tentang ilmuNya sebelum
mengkabarkan tentang adanya kitab “nyata” atau Lauhu al-Mahfuzh itu.
Yang ke dua,
sudah diisyaratkan diatas bahwa antara penulisan dan ilmu, sudah pasti
didahului dengan ilmu, bukan sebaliknya. Memang, kalau yang menulis itu
orang lain, maka pembaca yang membaca tulisan itu yang akan mendapatkan
ilmu kemudian. Akan tetapi pembahasan kita ini adalah penghubungan
kepada penulisnya itu sendiri. Di sini, sudah tentu sang penulis,
memiliki ilmu dulu baru menuliskannya, bukan sebaliknya.
Yang ke tiga, pendahuluan ilmu itu sangat bermamfaat bagi menutup kemungkinan lainnya. Yaitu Kuasa atau Qudrat.
Karena bisa saja seseorang memahami bahwa yang mendahului penulisan itu
adalah Kuasa. Yakni yang dimaksudkan Tuhan adalah kependahuluan
KuasaNya, bukan kependahuluan IlmuNya, walaupun dua-duanya mendahului
penulisanNya.
Nah, kalau yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah bahwa penulisan itu didahului KuasaNya, maka jelas akan melahirkan “Determinis” atau “Jabariah” alias
rukun iman yang ke enam bagi saudara-sauadara kita Ahlussunnah. Karena,
apapun yang terjadi di alam ini, tergantung pada penulisanNya, dan
penulisanNya tergantung kepada KuasaNya. Dan karena segala hal yang
menyangkut manusia itu termasuk bagian dari alam ini, maka sudah pasti
semua yang menyangkut baik buruknya setiap manusia, tergantung kepada
Lauhu al-Mahfuzh yang bersumber dari Kuasa dan KehendakNya itu.
Betapa
luar bisanya Tuhan kita, betapa luar biasanya, dan Dia lebih besar dari
yang kita ketahui. Karena banyak sekali yang mendahului penulisanNya
itu. Seperti Wujud, Qadim, Hidup, Kuasa, Kehendak, Ilmu dan semacamnya.
Dan di ayat-ayat di atas itu, Allah hanya menyentuhkan Ilmu dan ke-Maha
TahuNya kepada telinga, mata dan akal kita manusia. Di sini, jelas dapat
dipahami bahwa yang difokus olehNya adalah ke-Maha Pengetahuannya itu,
bukan semacam Kuasa dan KehendakNya.
Dengan semua
penjelasan di atas itu, dapat dipahami dengan mudah dan gamblang bahwa
maksud ayat-ayat yang memberitahukan tentang Lauhu al-Mahfuzh itu adalah
ingin memberitahukan kepada kita bahwa Allah Maha Mengetahui apapun di
alam ini termasuk apapun tentang kita manusia sekalipun tersimpan dalam
lubuk hati yang paling dalam.
Dengan demikian maka Lauhu
al-Mahfuzh itu adalah tulisan-tulisan tentang ilmu Allah (bc: ilmu
Allah) yang berkenaan dengan apa saja, terutama tentang alam materi ini
dan perbuatan manusia.
Allah yang ilmuNya tidak terbatas,
sudah pasti mengetahui apapun yang akan terjadi di alam ini sebelum
penciptaannya, seperti daun yang akan jatuh dari pohonnya, biji-bijian
yang jatuh di malam hari dan semacamnya. Perbuatan manusia yang
dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri itu, sudah pasti tidak lepas dari
ilmuNya tersebut. Nah, ilmuNya itulah yang ditulis olehNya di Lauhu
al-Mahfuzh.
Oleh karena itulah, maka jelas sekali bahwa
penulisan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dan tidak akan
menyangkut, dengan masalah Determinis (Jabariah) atau penentuan nasib
dan takdir. Karena yang ditulisNya adalah perbuatan manusia yang
dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri yang telah diketahuiNya sekalipun
sebelum penciptaan.
Kalau dikatakan bahwa “ilmuNya
pasti benar, dan karena ilmu benarnya itu ditulis sebelum penciptaan,
berarti perbuatan dan apapun yang menyangkut kita, akan sangat
tergantung kepadanya, dimana hal ini bisa dikatakan sebagai nasib dan
takdir manusia”. Maka jawabannya adalah bahwa yang diketahuiNya itu adalah perbuatan manusia yang didahului dengan ikhtiarnya sendiri.
Jadi, kepastian benarnya ilmuNya tentang ikhtiar manusia ini, justru
keniscayaan ikhtiar manusia itu, bukan sebaliknya. Yakni bukan menjadi
terbaliknya masalah dan membuat manusia yang diketahui berikhtiar itu
menjadi tidak berikhtiar karena harus mengikuti kebenaran ilmuNya itu.
Akan
halnya kadar-kadar yang difirmankanNya maka maknanya adalah pengkadaran
terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan-ketentuannya, bukan
pengkadaran nasib manusia. Misalnya Allah berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ (49)
“Sesungguhnya Kami mencipta segala sesuatu sesuai dengan kadar/ukurannya” (QS: 54: 49).
Dengan
demikian pengkadaran semua makhluk ini tidak bertentangan sama sekali
dengan ikhtiar manusia, karena ikhtiar manusia ini adalah salah satu
dari takdir manusia. Jadi, pengkadaran bagi manusia adalah bahwa manusia
diberi akal, berpanca indra, berfitrah, berfikir, bersosal, berkaki
dua, bermata dua, berbuat sesuai ikhtiar dan pilihannya, memiliki
balasan sesuai dengan niat dan perbuatannya....dst., bukan dikadar
tentang nasibnya.
Jadi, yang ditulis Allah di Lauhu
al-Mahfuzh itu adalah ilmu-ilmu dan ketentuan-ketentuanNya tentang
semesta dan apapun yang akan terjadi, sekecil apapun. Namun, yang
berkenaan dengan perbuatan manusia adalah ketentuan-ketentuanNya yang
berupa peng-ikhtiran manusia dan jenis balasannya, dan ilmuNya tentang
detail-detail pilihan masing-masing manusia dan juga balasannya, bkn
menentukan nasibnya sebagaimana yang diyakini oleh saudara-saudara
Ahlussunnah yang mengambil dari Asy’ariyah.
Jadi, maksud takdir
dlm ayat-ayat dan riwayat-riwayat, adalah ketentuan-ketentuan Allah
tentang makhluk dan alam semesta (seperti api panas; pohon kering akan
terbakar kalau terkena api; dan semacamnya) dan tentang
perbuatan-perbuatan manusia yang ditentukan/ditakdirkan bahwa
perbuatannya sesuai dengan pilihannya sendiri (ikhtiar) dan
ditentukan/ditakdirkan bahwa akan menerima balasan sesuai dengan
pilihannya itu. Bgt pl bahwa diri dan ikhtiar manusia ini juga
ditakdirkan saling berhubungan dengan alam dan ikhtiar manusia lain di
sekitarannya. Dan maksud Lauhu al-Mahfuzh adalah
ilmuNya yang meliputi segala hal termasuk pilihan, ikhtiar manusia dalam
detail-detail kehidupannya sampai kepada balasannya.
Dan
ketika salah satu ketentuanNya adalah saling berinteraksinya ikhtiar
manusia yang satu dengan inkhtiar manusia yang lainnya, dan
pengkabaranNya tentang ilmuNya terhadap segala sesuatu, maka Allah dan
agamaNya sering menyuruh kita sabar dan pasrah serta yakin menerima
takdir kita.
Artinya, harus teliti dlm memilih setiap
perbuatan kita karena sangat bisa terganjal oleh lingkungan dan
ikhtiar-ikhtiar orang lain atau lingkungan sekitar, seperti hujan,
dimana kalau hal itu terjadi,.maka harus lapang dada, sabar dan ulet
mencari jalan keluarnya. Bgt pula, harus teliti dlm memilih lingkungan
yang akan banyak mempengaruhi pilihan-pilihan dan ikhtiar-ikhtiar kita
itu. Bukan sabar menerima takdir dan nasib kita yang ditentukan secara
paksa dari atas di Luahu al-Mahfuzh, karena hal itu, yakni penentuan dan
penulisan itu, tidak ada.
Bahkan agama tidak jarang
menyuruh manusia/kita membuat lingkungan yang indah dan Islami. Hal itu
tidak lain supaya manusia bisa tidak terlalu banyak menghadapi pengaruh
atau rintangan yang akan muncul dari lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar
selainnya.
Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa sama
sekali Tuhan dan agama tidak ingin mengatakan bahwa nasib menusia itu
sudah ditentukan dari sananya dan menyuruh kita pasrah terhadapnya.
Karena itulah maka “Jabariah” yang diyakini sebagai rukun iman ke 6 oleh
saudara-saudara Ahlussunnah, hingga sering muncul perkataan semacam “Tuhan adalah paling bagusnya penyusun skenario”, atau “Kita hanya bisa berusaha tp Tuhanlah yang menentukannya”
.....dst. tidak bisa diterima sama sekali dalam pandangan Islam yang
dibawa dan diwariskan oleh Ahlulbait Nabi saww yang wajib dishalawati
dalam shalat kita sehari-hari itu.
Tidak jarang
saudara-saudara kita Ahlussunnah mengatakan pernyataan yang ke dua itu,
untuk lari dari Jabariahnya Asy’ariyah. Mereka tidak mengerti bahwa “berusaha” itu adalah “perbuatan”, bukan “keyakinan”. Sementara “Tuhan menentukan” adalah “keyakinan” dan “Jabariah”.
Sebenarnya, mau lari kemanakah mereka? Mau ambil Mu’tazilah yang freewill,
takut ingkar pada ayat yang menerangkan tentang “Lauhu al-Mahfuzh”, tp
mau ambil Jabriah, sepertinya tidak enak di hati, karena bertentangan
dengan fitrahnya. Tentu saja, dengan rukun iman ke 6 mereka itu, sudah
dapat dipastikan bahwa pilihan mereka adalah “Jabariah”. Berarti, langsung atau tidak, berarti mereka menolak fungsi akal dan agama serta menolak ke-Adilan Tuhan sebagaimana maklum.
Di
sinilah fungsi terpenting dari iman kpd ke-Adilan Tuhan ini. Karena,
bagaimana mungkin Allah menyuruh semua manusia untuk berusaha menjadi
baik, berhasil, masuk surga, beriman, takwa, berjuang dan mati syahid,
silaturrahmi supaya panjang umur, bersih supaya sehat dan tidak sakit,
sukses dan kaya supaya bisa naik haji dan membantu yang lemah, cari
pasangan yang takwa supaya harmonis dan berketurunan yang baik ...dst,
tp di lain pihak Dia sudah menentukan baik-buruknya, berhasil-gagalnya,
masuk surga-nerakanya, iman-kufurnya, takwa-bejatnya,
berjuang-khianatnya, syahid-ketabrak mobilnya, silaturrahmi-tidaknya,
panjang-pendek umurnya, bersih-kotornya, sehat-sakitnya, kaya-miskinnya,
haji-tidaknya, membantu-dibantunya, jodoh-tidaknya, harmonis-tidaknya,
talaq-tidaknya, punya keturunan-tidaknya, turunan yang baik-tidaknya
...dst.??!!
Bagaimana mungkin seseorang bisa meyakini
ke-AdilanNya kalau dia juga meyakni semuanya sudah ditentukanNya?
Karena, tidak diragukan, bahwa saudara-saudara Ahlussunnah juga meyakini
ke-AdilanNya. Tp dengan meyakini rukun iman ke 6 itu, yang entah dari
mana datangnya (tentu dari al-Asy’ari), maka mereka secara langsung atau
tidak, sudah menolak ke-AdilanNya tersebut. Ada benarnya juga manakala
orang awam berkata:
“Kasihan sekali Tuhan. Karena
Dia sering difitnah membuat orang sakit, jodoh tak serasi, cerai,
tabrakan, bunuh diri, bangkrut, gagal, kafir, bejat, judi, gaul bebas,
pendek umur, mabok, judi, dan akhirnya masuk neraka, atau difitnah
dengan belum memberi hidayah hingga dikatakan bahwa orang-orang kafir
atau yang tidak takwa itu belum mendapatkan hidayahNya”
Bersambung pada pembahasan: ( d-1-4 ) : Hakikat Ikhtiar Manusia