Oleh: Dr. Zainal Abidin Baqir*
Bagaimana mendeskripsikan peristiwa Sampang kemarin? Memang tidak mudah.
Sebelum yang lain-lain, yang perlu dikomentari adalah komentar Ketua
DPR kita, Marzuki Alie, yang paling ceroboh, tidak jelas, sehingga
paling sedikit dia tidak membantu, lebih jauh dia mungkin kontra
produktif, dan ada kemungkinan menyesatkan.
Dari
Antara: "Ketua DPR RI Marzuki Alie mengajak semua pihak untuk cerdas
dalam menyikapi informasi dan isu terkait konflik di masyarakat terutama
yang disampaikan melalui media sosial. "Semua pihak harus cerdas
menyikapi berita media khususnya media sosial yang menggambarkan seolah
konflik agama. Padahal jelas, dilandasi oleh persoalan warisan dengan
memakai isu agama untuk menyesatkan umat."
Siapa yang
menyesatkan umat? Rois menganggap Tajul sesat, atau Tajul menyesatkan
umat? Apa gunanya analisis ini, yang dikeluarkan beberapa jam setelah
satu orang mati dan ada yang sedang sekarat serta 3 orang kritis akibat
diserang senjata tajam? Media sosial apa yang menggambarkan ini sebagai
konflik agama? Satu-satunya yang bisa menjelaskan komentar ini adalah:
marzuki ingin meredam, demi mengatakan tidak ada konflik agama, yang ada
toleransi. Lagi-lagi soal pencitraan—bukan penyelesain masalah. Tidak
mudah memang mendeskripsikan peristiwa ini, tapi saya berharap DPR yang
menggaji banyak staf ahli atau media yang urusannya adalah melaporkan
fakta bisa berbuat lebih baik.
Faktanya: satu orang
terbunuh, empat dalam kondisi kritis, sekian luka-luka, sekian rumah
terbakar. Korban parah (manusia harta benda) semuanya berasal dari
kelompok Syiah, yang gurunya adalah Tujul Maluk. Peritiwa apa ini?
Kenapa terjadi?
Peristiwa Apa?
Sebagian besar media (termasuk Kompas dan Republika cetak hari ini)
menyebutnya sebagai "bentrok warga". Jakarta Post menyebutnya "melee",
yang berarti kerusuhan atau perkelahian massal. Tapi kalau melihat
jumlah tak berimbang di antara kedua pihak itu, ratusan orang (menurut
Antara, lebih dari seribu orang yang membawa senjata tajam!) menyerbu
kelompok lain, dan korban mati atau kritis serta luka-luka, serta
puluhan rumah terbakar (dibakar) semuanya dari pihak warga pengikut
Tajul Muluk, maka ini bukan bentrok, tapi penyerangan.
Kenapa Terjadi?
Ada kesepakatan beberapa sumber (polisi, media, LSM) bahwa ini dimulai
dengan penghadangan sekelompok anak/remaja yang akan meninggalkan
kampung mereka untuk kembali belajar ke pesantren di luar Sampang
setelah libur lebaran usai. Tapi ada cerita lain yang bermula dari
rombongan ibu dan istri Tajul Muluk yang akan membesuk anak/suaminya di
penjara Sampang, dihadang sekelompok orang, gagal membesuk, lalu pergi
ke sisa-sisa rumah mereka (yang tersisa dari pembakaran pada Desember
2011), dibuntuti, lalu beberapa waktu kemudian terjadi peristiwa
penyerangan dan pembakaran itu. Korban mati diserang ketika mencoba
melindungi kelompok yang akan diserang dari para penyerang.
Siapa Para Penyerang?
Ada yang menyebut sekadar "kelompok warga", ada yang menambahinya
dengan "anti-Syiah" (atau "rusuh massa Sunni vs. Syiah"), ada pula
"massa intoleran". Semua penyebutan ini tidak ada yang "netral".
"(Kelompok) warga" adalah sebutan paling "netral"—tepatnya paling aman,
tapi tidak memberikan penjelasan apa-apa. "Anti-Syiah" mengisyaratkan
ini adalah perselisihan yang dipicu perbedaan paham. "Massa intoleran"
bisa tidak berarti apa-apa, kalau mereka disebut "intoleran" karena
penyerangan kemarin itu saja, paling jauh mengimplikasikan juga bahwa
pemicunya adalah tiadanya toleransi terhadap perbedaan (perbedaan
mazhab?); bisa juga berarti banyak, kalau kelompok yang menyerang adalah
kelompok yang sama yang terlibat dalam penyerangan sebelumnya dan sudah
terbukti motivasi mereka (dulu) adalah intoleransi. Saya tidak yakin
dalam hitungan jam siapa pun dapat memastikan motivasi mereka,
setidaknya khsusus menyangkut penyerangan hari Minggu kemarin.
(Analisis lebih jauh, tentu bisa seperti Haris Azhar dari Kontras hari
ini: "Akar masalahnya adalah kebencian terhadap perbedaan." Tapi juga
perlu berhati-hati—apakah penyebab penyerangan adalah perbedaan, atau
kapitalisasi atas perbedaan? – Lihat di bawah, soal lapis-lapis
peristiwa.)
Mencoba mensterilkan deskripsi agar
faktual, objektif bisa mudah terjatuh pada tak menyampaikan banyak
informasi, atau bahkan bertindak tidak adil (misalnya dengan menyebut
"bentrok" yang mengimplikasikan kesalahan atas peristiwa itu ditanggung
kedua pihak secara seimbang). Jadi bagaimana?
Fakta dan Analisis
Beberapa fakta bisa dengan cepat dipastikan, yang lain bisa dijelaskan
hanya dengan menggoogle berbagai versi latar belakang peristiwa sejak
tahun lalu. Pertama, ini bukan bentrok, tapi penyerangan, karena alasan
di atas.
Kedua, identifikasi penyerang bisa disebut
dengan menyebut latarbelakangnya: misalnya, dimulai dengan menyebut
secara "netral" kelompok penyerang sebagai "kelompok warga", lalu
dikualifikasi dengan tambahan info bahwa kelompok yang diserang sudah
pernah diserang oleh kelompok warga yang diprovokasi Rois Hukama (adik
tajul Muluk) pada Desember 2011 dan provokasi itu terus berlanjut pada
bulan-bulan sebelumnya; dan bahwa Rois melaporkan kakaknya (Tajul Muluk)
ke pengadilan atas tuduhan penodaan agama, dan Tajul seudah diadili dan
dihukum atas tuduhan penodaan agama (tepatnya klaim bahwa Quran umat
Muslim sekarang tidak otentik—bukan karena dia mengajarkan Syiah, bukan
karena Syiah sesat, meskipun salah satu alat bukti dari MUI Sampang
mengatakan itu). Ini semua sudah merupakan established facts; para wartawan seharusnya tinggal melakukan search dalam database media mereka sendiri (saya bisa melakukannya melalui Google).
Deskripsi latar belakang itu sekaligus bisa menambah informasi soal
motivasi (yang belum bisa diperoleh secara cepat tanpa mewawancarai para
penyerang).
Terakhir, perlu dicatatat bahwa
pengadilan atas Tajul Muluk menggunakan pasal Penodaan Agama (KUHP
156A), yang logikanya adalah penodaan dapat dihukum karena menimbulkan
keresahan/kerusuhan dalam masyarakat. Nah, sekarang si tersangka
penyebab kerusuhan ada dalam penjara, kok masih terjadi kerusuhan?
Berarti yang bikin rusuh adalah provokator yang terang-terangan
menyebut Tajul sebagai sesat (dan tak sepenuhnya terbukti di pengadilan,
masih dalam proses banding), mengancam dia dan para pengikutnya, dan
menyarankan mereka untuk tidak berhenti menyerang para pengikut Tajul
(termasuk keluarganya, ibunya, istrinya), bahkan ketika Tajul sudah
dipenjara. (Perlu diingat pula, ketika penyerangan Desember 2011
terjadi, Tajul juga sudah meninggalkan Sampang selama berbulan-bulan.)
Ujaran kebencian dan hasutan untuk kekerasan sudah merupakan tindak
pidana bahkan sebelum itu dilaksanakan.
Yang terakhir
ini adalah contoh terbalik-baliknya logika pengadilan penodaan agama.
Dalam kasus-kasus yang belakangan terjadi (khususnya menyangkut Jemaah
Ahmadiyah), ketidaktertiban sosial dikatakan terganggu karena ada yang
menodai; tapi sesungguhnya ketidaktertiban—secara faktual—terjadi
setelah ada provokasi yang menggunakan pretxt penodaan, dimana si
"penoda" adalah korban. (Setiap mengatakan hal ini, saya selalu teringat
pada Mahfudz MD, Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya
cerdas tapi kok ya menalan argumen ini mentah-mentah, yaitu ketika
memutuskan uji materi UU Penodaan Agama tahun 2012 dulu. Kalau Hakim
Konstitusi menelan argumen itu, tak mengherankan para hakim di
pelosok-pelosok pedesaan termakan oleh argumen itu juga, apalagi ketika
dibumbui kepentingan politik lokal atau nasional.)
Lapis-Lapis Peristiwa
Di luar peristiwa hari Minggu kemarin, dalam kasus Tajul Muluk ada lapis-lapis peristiwa yang mesti dipahami.
- Ada perseteruan kakak-beradik Tajul dan Rois yang dipicu macam-macam
hal (ada persoalan keluarga, dikonfirmasi oleh ibu mereka sendiri di
pengadilan), tapi Rois, yang kalah kharismatik dari Tajul, menyebut
ajaran Syiah sebagai ajaran sesat dan menyulut penyerangan atas Tajul;
- lalu ada Bupati Sampang yang menggebu-gebu ingin peristiwa ini
disidangkan, mungkin dia berpikir ini bisa jadi amunisi untuk Pilkada
berikutnya.
- Lalu ada pula kelompok anti-Syiah yang
sudah bertahun-tahun memusuhi Syiah memancing di air keruh ingin
menjadikan kesempatan ini untuk mengilegalkan Syiah di Indonesia;
- dan kemudian beberapa kelompok ulama lokal (termasuk MUI, konon juga
NU) yang (mungkin naif, mungkin simpati pada tujuan Rois, Bupati, atau
anti-Syiah) mendukungnya dengan mengeluarkan fatwa.
Lapis-lapis seperti ini hampir selalu muncul dalam peristiwa "penodaan agama".
Beberapa link berita yang saya sebut di atas:
http://www.antaranews.com/berita/329549/marzuki-kita-harus-cerdas-menyikapi-informasi
http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/26/two-shia-followers-reportedly-killed-sampang-melee.html
http://www.antaranews.com/berita/329518/warga-syiah-sampang-diserang-satu-tewas
Silahkan juga dilihat beberapa foto di Tempo yang di antaranya
menunjukkan seseorang yang tengah membakar dan wajahnya saya kira tak
sulit dikenali;
http://www.tempo.co/read/beritafoto/3234/Kaum-Syiah-di-Sampang-Kembali-Diteror.
(Keterlaluan kalau Polisi kesulitan melacak para penyerang. Tapi,
apakah demi "keadilan", selain penyerang harus ada pengikut Syiah yang
dihukum juga—seperti dalam kasus pembunuhan tiga orang Ahmadiyah di
Cikeusik tahun lalu?)
Untuk sekarang, kita hanya
berharap penegak hukum menjalankan pekerjaannya; para pejabat
pemerintah, parlemen dan tokoh masyarakat setidaknya mengeluarkan
pernyataan politik yang menyebut bahwa peristiwa seperti ini adalah
kriminalitas telanjang yang seharusnya tak terjadi, mendorong polisi
sigap menanganinya segera. (IRIB Indonesia/PH)
*) Direktur CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) Yogyakarta