Asfinawati
menilai sikap hakim sebagai ironi. Pasalnya, proses peradilan di
pengadilan negeri, sebelumnya, eksaminasi publik yang dilakukan Pusat
Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menilai
peradilan di Pengadilan Negeri Surabaya cacat hukum.
|
“Ini
ngaco sekali, kok malah dilipatkan jadi empat tahun,” kata Asfinawati
kepada Tempo, Jumat 21 September 2012. Tim kuasa hukum heran karena
upaya banding ini sebenarnya adalah untuk meminta pembebasan atas Tajul.
Asfinawati
menilai sikap hakim sebagai ironi. Pasalnya, proses peradilan di
pengadilan negeri, sebelumnya, eksaminasi publik yang dilakukan Pusat
Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menilai
peradilan di Pengadilan Negeri Surabaya cacat hukum.
Ia
menuding pengadilan tidak cukup netral. “Saya mempertanyakan apakah
pengadilan berpolitik dengan mengikuti arus politik sehingga menghukum
Tajul lebih berat,” kata Asfinawati.
Tim
kuasa hukum menyatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun,
sikap untuk banding atau tidak diserahkan kepada Tajul Muluk yang kini
dikurung di Lembaga Pemasyarakatan Delta Sidoarjo. “Hari ini kami akan
menemui Tajul. Kalau Tajul setuju, kami kasasi,” kata Asfinawati.
Pengacara juga menunggu detail salinan putusan hakim untuk dipelajari.
Sebelumnya,
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur “memperbaiki” vonis
pengadilan tingkat pertama. Ajaran Syiah yang disebarkan Tajul dinilai
menyimpang dari ajaran Islam dan terbukti menimbulkan keresahan
masyarakat dan konflik hingga menyebabkan jatuh korban. Hukuman empat
tahun ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum tahun lalu.
Dinilai Cacat Hukum
Majelis
hakim Pengadilan Negeri Sampang, Jawa Timur, yang memvonis Tajul Muluk
dengan hukuman dua tahun penjara dinilai tak profesional dan
proporsional. Putusan terhadap pemimpin Syiah Sampang itu dinilai cacat
hukum.
Kesimpulan
tersebut diperoleh setelah sejumlah pakar hukum dari Yogyakarta
mengeksaminasi putusan tersebut. "Terdapat pelanggaran terhadap unsur
hukum formil dan materiil," ujar Muhammad Arif Setiawan, pakar hukum
dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, salah seorang eksaminator,
kepada wartawan di Cikini, Senin, 17 September 2012.
Selain
Arif, sejumlah pakar dan penegak hukum tercatat pula dalam kelompok
eksaminator. Mereka antara lain Hifdzil Alim dan Supriyadi, yang
merupakan pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Kemudian ada
pula advokat Zahru Arqom dan mantan hakim Sahlan Said.
Dalam hasil eksaminasi putusan setebal tujuh halaman itu, menurut Arif, tim eksaminasi menilai ada kejanggalan terhadap proses peradilan. "Ada alat bukti yang diabaikan oleh majelis hakim," ujar Zahru Arqom.
Dalam hasil eksaminasi putusan setebal tujuh halaman itu, menurut Arif, tim eksaminasi menilai ada kejanggalan terhadap proses peradilan. "Ada alat bukti yang diabaikan oleh majelis hakim," ujar Zahru Arqom.
Arif,
misalnya,menunjuk keterangan terdakwa dan sejumlah saksi yang diabaikan
hakim. "Begitu pula dengan alat bukti berupa Al-Quran dan keterangan
sejumlah saksi ahli," kata Zahru.
Tim juga menilai hakim tak berimbang menghadirkan saksi. "Hampir seluruh saksi yang diminta bersaksi mewakili kelompok," ujarnya. Alhasil, muncul kesan upaya mempertentangkan Sunni-Syiah di pengadilan. Selain itu, tim menemukan hanya ada satu saksi netral. "Namun keterangannya diabaikan," kata
Tim juga menilai hakim tak berimbang menghadirkan saksi. "Hampir seluruh saksi yang diminta bersaksi mewakili kelompok," ujarnya. Alhasil, muncul kesan upaya mempertentangkan Sunni-Syiah di pengadilan. Selain itu, tim menemukan hanya ada satu saksi netral. "Namun keterangannya diabaikan," kata
Tajul
Muluk sendiri oleh majelis hakim dianggap terbukti melanggar Pasal 156 a
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penistaan Agama karena dinilai
telah menyebarkan ajaran sesat. Kecewa dengan vonis itu, Tajul Muluk
kini mengajukan banding.
Hasil
eksaminasi ini, menurut Arif, diharapkan dapat digunakan sebagai
rekomendasi. "Salah satunya agar Pengadilan Tinggi memerintahkan
Pengadilan Negeri Sampang untuk memeriksa saksi-saksi lain yang bersifat
netral," ujar Arif. Tim eksaminator juga meminta Komisi Yudisial untuk
memeriksa majelis hakim yang memutus perkara ini. "Kekeliruan majelis
hakim dapat mencederai harkat dan martabat profesi," kata Arif.
Sumber: Tempo