Oleh: Muhammad Ma'ruf
Menarik untuk memperhatikan hasil hipotesa Husein Heryanto tentang
kemiripan Agnotisme Imanuel Kant dan Islam Radikal. Beliau mengatakan
terdapat persamaan pemikiran antara Kant (nomenalisme) dan agama radikal
- fenomalis; diantaranya, menolak metafisika, skeptisis terhadap akal,
afinitas yang kuat dengan positifisme dan saintifisme, cenderung
pragmatis, kosmologi sekuler dan mencampakan tradisi. Hal ini
disampaikan dalam makalahnya berjudul "Nomenalisme dan Fenomenaisme; dua
kutub ektrim Kantian yang mengoyak spiritualisme" dalam diskusi yang
diselenggarakan Jurnal Kanz Philosophia, 26/4 di Sekolah Tinggi
Sadra-Jakarta Selatan.
Meski diakui Husein bukan
sebuah faktor dominan, pemikiran Kant yang menolak metafisika karena
roh, jiwa, Tuhan sesuatu nomena (unknown, tidak bisa diketahui)
membawa konsekuensi bagi skeptisisme penggunaan akal bagi kaum radikal.
Sayangnya meskipun Husein menemukan kemiripan corak agnotisme Kant dan
Islam radikal, tidak dijelaskan secara detil kesinambungan gagasanya,
dikarenakan menurutnya makalah yang disampaikan belum selesai. Husein
hanya mengatakan ada kesamaan karakteristik secara epistemologi
agnotisme dan pola pikir Islam radikal.
Menurut
pengamatan saya, akar Islam radikal atau wahabi salafi disebarkan oleh
Muhammad Bin Abdul Wahab pada abad 18 yang menggalakakan pemurnian
aqidah tidak bersentuhan secara langsung dengan filsafat agnotisme
Imanuel Kant. Pengertian Agnotisme disini yang dimaksud, tidak
mengafirmasi akan tetapi juga tidak menolak tentang gagasan tertentu.
Kant menolak metafisika karena merupakan nomena (unknown)
tidak bisa diketahui, dan pengetahuan yang bisa diketahui adalah
fenomena saja dengan perantara pengalaman dan indera melalui akal dengan
12 kategori. Pembicaraan metafisika bagi Kant tidak bermakna karena itu
dia diandaikan saja ada. Inilah yang dimaksud agnotisme Kant.
Sedangkan Wahabi salafi sendiri jelas tidak menolak metafisika sejauh
yang dimaksud percaya pada Tuhan, jiwa, dan roh. Akan tetapi wahabi
menolak menggunaka akal atau filsafat dalam memahami agama. Inilah
kontradiksi wahabi, mempercayai adanya Tuhan (metafisika) akan tetapi
menolak menggunakan filsafat, sedangkan metafisika bagian dari filsafat,
menolak akal dengan menggunakan akal. Ajaibnya meski pemikiran wahabi
dan agnotisme Kant tidak mempunyai hubungan satu rumpun pengetahuan
bahkan bertolak belakang, tetapi secara epistemologi mempunyai
karakteristik yang sama, menolak metafisika.
Kant dan wahabi
sama-sama skeptis dalam menangkap nomena, karenanya keduanya skeptis
terhadap penggunaan akal dalam memahami agama. Kant ragu karena akal
hanya bisa menangkap proposisi yang disusun 12 kategori dan
menggabungkanya dengan pengalaman. Kant mencoba menggabungkan empirisme
David Hume dan rasionalisme Decartes. Dalam bahasa Kant, pengetahuan
merupakan konstruksi mental yang bersifat kategoris terhadap pengalaman
inderawi. Sedangkan Wahabi dalam ajaranya tidak hanya skeptis cenderung
mengharamkan penggunaan akal. Agama dipahami dalam wahabi dengan dogma.
Pandangan metafisika Kant dapat dikategorikan relatifis karena
menganggap persoalan metafisika tidak mempunya realitas yang mandiri di
alam eksternal. Karenanya Tuhan hanya bisa diimani realitasnya persis
seperti wahabi dan karenanya perbuatan baik dan buruk menurut Kant
karena ada instruksi akal (imperatif kategoris). Perbuatan baik dan
buruk bukan karena perintah Tuhan, akan tetapi akal mengatakan bahwa
perbuatan baik dilakukan karena akal mengatakan demikian.
Kant
melihat ruang dan waktu sebagi kunci memahami epistemologinya, 12
kategori Kant dapat ditemukan dalam ruang dan waktu, sedangkan
metafisika di luar ruang waktu karenya tidak bisa diketahui dan
membicarakanya adalah sia-sia.
Skeptisisme dalam Filsafat dan Agama
Sebenarnya, membicarakan sikap skeptis mempunyai makna yang positif
jika diletakkan dalam proses pencarian (discovery) seperti yang
dilakukan oleh Descartes. Akan tetapi sikap skeptis menjadi berhadap
hadapan jika diletakan dalam kontek penyelidikan prinsip-prinsisp agama.
Sehingga muncullah perdebatan ketegangan filsafat dan agama, dan juga
antara agama dan sains pada masa positifisme logis (klaim satu-satunya
kebenaran ilmiah).
Sikap skeptis dalam epistemologi
(filsafat pengetahuan) mempunyai arti menyangsikan kenyataan yang
diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus
sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, tetapi di dalam filsafat
modern, Rene Descartes adalah perintis sikap ini dalam metode ilmiah.
Kesangsian Descartes dalam metode kesangsiannya adalah sebuah sikap
skeptis, tetapi skeptisisme bersifat metodis, karena tujuan akhirnya
adalah untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaitu: cogito atau subjectum sebagai onstansi
akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat David Hume kita bisa
menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan
hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas
akhir yang bersifat tetap.
Dalam filsafat klasik,
"mempertanyakan" merujuk kepada ajaran mengenai "Skeptikoi". Dalam ilmu
filsafat mereka "tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri
saja." (Liddell and Scott). Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau
Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu
keputusan dalam penyelidikan. (Sextus Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism,
Terjemahan R.G. Bury, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts, 1933, 21.)
Dalam agama, skpetisisme digunakan
untuk mempertanyakan, merujuk kepada "keraguan tentang prinsip-prinsip
dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu)."
Skeptisisme Kant dan Wahabi
Jika dilihat dari sisi makna epistemologi, terdapat perbedaan
skeptisisme Kant dan Wahabi. Kant skeptis secara epistemologi, bahwa
metafisika tidak dapat diketahui secara epistemologis, akan tetapi
kesimpulan itu didapat setelah melalui proses penyelidikan dengan
menggunakan akal. Sedangkan skeptisime Wahabi, meragukan akal dapat
dipakai secara maksimal dalam memahami agama, dan cenderung kalaupun
akal dipakai untuk menjustifikasi keyakinan yang eklusif ada dalam
ajaran wahabi.
Wahabi tidak melakukan upaya
skeptisisme dalam menyelidiki prinsip-prinsip dasar agama (seperti
keabadian, pemeliharaan, dan wahyu). Jadi meski outputnya antara wahabi
dan Kant sama-sama keduanya skeptis terhadap akal, akan tetapi diletakan
dalam kasus yang berbeda. Kant sebagai seorang filsuf dan Abdurrahman
bin Abdul Wahab sebagai seorang pendiri gerakan wahabi tidak bisa
dibandingkan secara berhadap-hadapan, karena filsuf berangkat dari akal,
sedangkan Wahabi berangkat dari doktrin literal. Akan tetapi meskipun
demikian, hipotesa Husein Heryanto patut diapresiasi dan perlu dikaji
lebih dalam. Penyelidikan itu bisa dimulai dari melihat fenomena
radikalisme dalam Islam yang memang sudah ada sejak kemunculan Khawarij.
Khawarij seperti yang kita ketahui adalah orang-orang yang keluar dari
komando Imam Ali dalam perang Shiffin. Orang-orang yang gemar larut
dalam lambang-lambang, memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin mereka
Islamkan dengan paksaan, sambil mengatakan "La hukma illallah" tiada
hukum yang dapat diikuti, kecuali kembali kepada hukum Allah. Kelompok
ini dapat dikategorikan falasi (kelompok sesat pikir). Kata Imam Ali
orang-orang Khawarij adalah orang-orang yang senantiasa mencari
kebenaran, tetapi mereka keliru dalam memahaminya, akhirnya mereka
terjerumus dalam kesesatan. Kata kunci memami pola pikir Khawarij adalah
biasanya menggunakan "dugaan-dugaan" dalam memahami apapun terutama
agama.
Kemudian kita juga bisa menyelidiki dengan
melihat kesinambungan perisiwa dan awal lumpuhnya tradisi penggunaan
akal. Fenomena ini bisa dilihat dari awal stagnasinya penggunaan akal
dalam memahami agama seiring dengan penggembosan filsafat akibat
kolaborasi penguasa dan para fuqoha. Fenomena timbulnya akibat
ketegangan antara fuqoha dan filsuf muslim pada zaman aL-Ghozali (lahir
di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505
H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia,
yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat pada abad Pertengahan.
Penyidikan juga bisa digali dari peristiwa apa saja yang terjadi antara
zaman Kant (lahir di Konigsberg, 22 April 1724 – meninggal di
Konigsberg, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun) adalah seorang filsuf
Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft,
1781. Dalam bukunya ini ia "membatasi pengetahuan manusia". Atau dengan
kata lain "apa yang bisa diketahui manusia." Ia menyatakan ini dengan
memberikan tiga pertanyaan: Apakah yang bisa kuketahui? Apakah yang
harus kulakukan? Apakah yang bisa kuharapkan?
Kita
juga bisa melakukan penyelidikan maraknya Wahabi di Timur Tengah pada
abad abad 17- 18 yang tidak bisa lepas dari efek imperialisme. Namun
dari sekian penyelidikan itu satu hal yang pasti bahwa akibat paling
kentara pelemahan akal dalam memahami agama bersamaan dengan suburnya
relatifisme, agnotisme, nihilisme terhadap metafisika dan agama yang
mengiringi perkembangan aliran empirisme, positifisme, filsafat bahasa
dan posmodernisme di barat. Secara filolosif akibat dari gema Filsafat
Kant yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Pengaruh lain
adalah "pembabtisan" Filsafat Aristoteles dalam teologi Kristen abad
pertengahan. Hal ini mengakibatkan pertengkaran gereja dan sains. Hasil
sains banyak yang bertolak belakang dengan keyakinan gereja. Akibatnya
gereja memusuhi filsafat dan sains. Ajaibnya fenomena di Barat ini
ternyata berdampak dalam dunia Islam, menimbulkan ketegangan dan
konflik sains dan Islam. Akibat lebih jauhnya adanya Islamisasi sains.
Sains dan agama dipahami secara tidak tepat.
Kemunduran sains di dunia Islam dalam kaca mata Mehdi Golshani selaras
dengan Sadra akibat pertengkaran sains dan agama yang tidak perlu.
Kekaburan melihat antara kebenaran sains dan agama. Adanya upaya
pemaksaan pencocokan antara kebenaran sains yang berubah-berubah dan
kebenaran al-Quran. Seperti kata Golsani;
Salah
satu penyebab kemunduran sains di dunia Islam karena sebagian kaum
Muslimin dibawah pengaruh kemajuan keilmuan dan teknologi barat dan
tanpa pengetahuan akan keterbatasan ilmu-ilmu empiris, telah menjadi
terikat kepadanya; bahkan sampai pada tingkat mencoba mengintepretasikan
al-Quran dan hadits sesuai dengan pengetahuan ilmu-ilmu empiris
tersebut. Yang lain telah pergi jauh, mengklaim seluruh penemuan ilmiah
modern ada di dalam al-Quran dan tek-teks hadits.
Di lain pihak akibat gereja memusuhi sains dan filsafat di Barat pada
masa abad pertengahan, juga berkontribusi terhadap pola pikir
sekulerisme dalam tubuh Islam hingga sekarang. Filsafat dipakai untuk
memahami Islam sejauh dan sebisa mungkin bisa mensekulerkan agama;
memisahkan agama dari politik, menetralisir agama dari ideologi,
memunculkan wajah agama perdamaian berlawanan dengan agama syariat,
menunjukkan di depan publik ketidakadilan agama dalam gender,
menghadapkan Islam dengan lesbian, homoseksual, poligami dll. Akibatnya
media panen tentang deretan persoalan rapuhnya akal dalam Islam. (IRIB
Indonesia)