Pengarang : Al-Hadi, Ja’far
Penerjemah : Abu Fathimah S.
Penerbit : al-Mu’ammal
Tahun Penerbitan : Rabiul Tsani 1427 H/Mei 2006 M
PENGANTAR PENERBIT
Syiah adalah sebuah mazhab dalam Islam yang selama ini lebih banyak disalah-mengerti ketimbang dimengerti. Banyak tuduhan miring kerap dialamatkan kepada golongan yang mengaku mencintai Rasulullah saw dan keluarga (Ahlul Bait) beliau ini. Benar atau tidak tuduhan tersebut kemudian menjadi tidak penting lagi bagi sebagian kalangan; mazhab yang satu ini harus dihakimi dan bersedia menanggung akibat dari apa yang
boleh jadi tidak dilakukannya.
Padahal, kalau kita renungkan, perbedaan sebenarnya merupakan kenyataan yang memang ada dalam tubuh masyarakat Islam. Kita tidak pernah melihat, bahkan dalam satu mazhab yang sama, adanya keseragaman dalam detail keimanan, hukum, dan kebiasaan yang berlaku di tengah pemeluknya. Selalu saja terjadi keragaman, perbedaan, dan varian, betapapun kecilnya hal itu. Begitulah, menyeragamkan semua aspek dan sisi kehidupan manusia adalah sebuah upaya yang tidak alami, karena bertentangan dengan fitrah penciptaan manusia, dan oleh karenanya tidak akan abadi.
Lantas, mendalami seluk-beluk ajaran suatu mazhab atau golongan menjadi sangat penting bagi kita, sebelum menjatuhkan vonis yang boleh jadi akan mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Apalagi, di kalangan Muslim, terutama di masa-masa sekarang ini, sangat diperlukan sikap untuk saling memahami dan mempererat jalinan “ukhuwah” yang selama ini hanya menjadi slogan tanpa bukti. Telah teramat banyak darah yang tertumpah, kesempatan yang raib, dan kekuatan yang sirna di tengah umat hanya karena persoalan perbedaan yang terkadang tergolong “sepele”. Sikap lapang dada, sabar, dan berlomba-lomba untuk menjadi hamba yang terbaik di hadapan-Nya mesti ditumbuhkan. Juga, meneliti sebelum memberikan penilaian, adalah sikap ilmiah yang patut dikembangkan pula di tengah umat. Dan untuk tujuan tersebut, buku yang di ada di hadapan pembaca budiman ini adalah upaya yang sangat berharga dari penulis untuk lebih mengenalkan kelompok yang juga merupakan saudara kita seagama ini. Selamat bertekun dalam pembangun persaudaraan!
Pekalongan, Mei 2006
Penerbit Al-Mu’ammal
Dan Kami Jadikan kalian berbagai bangsa dan suku agar saling mengenal.
Islam datang ketika berbagai bangsa di dunia saling bercerai-berai dan bermusuhan. Bahkan, mereka saling bertikai dan berperang. Akan tetapi, berkat ajaran Islam, perceraiberaian itu berganti menjadi sikap saling mengenal, permusuhan berubah menjadi sikap saling membantu, dan pemutusan hubungan persaudaraan menjadi sikap saling membangun hubungan silaturahmi.
Ya, ajaran Islam mampu memberikan pengaruh terhadap kondisi umat, sehingga menjadi umat yang satu; umat yang menyumbangkan kebudayaan nan agung. Sebagaimana, Islam juga telah melindungi berbagai bangsa dari penindasan, sehingga pengikutnya menjadi umat yang terhormat di antara berbagai bangsa di muka bumi ini. Umat yang memiliki kewibawaan di hadapan para penguasa zalim dan pelaku angkara murka itu.
Semua itu terealisasi berkat persatuan dan kesatuan umat, juga sikap saling memelihara hubungan di antara semua bangsa, di bawah naungan panji Islam. Meski terdapat pelbagai pola dan perbedaan jenis budaya serta adat-istiadat, namun dengan kesamaan fondasi dan tanggung-jawab (di antara mereka), persatuan telah menjadi sebuah kekuatan, sementara perpecahan (yang datang kemudian) telah mengubah segalanya menjadi kelemahan.
Ya, perpecahan yang terus berlangsung telah mengubah segalanya; sikap saling mengenal kembali menjadi sikap untuk saling bercerai-berai; saling pengertian menjadi saling curiga; dan setiap kelompok pun saling membenci, sehingga terpautlah jarak yang jauh di antara mereka. Semua itu menjadi penyebab hilangnya kemuliaan, terpecahnya kekuatan, dan lunturnya kewibawaan umat. Para penguasa zalim dan arogan pun mulai berani menyepelekan umat mulia dan agung itu. Hingga, umat itu pun berada di sarang rubah dan srigala. Kawanan srigala dan rubah ini tiada lain adalah makhluk-makhluk biadab, yang dilaknat oleh Allah Swt dan dibenci oleh segenap umat manusia.
Dari situ, akhirnya kekayaan umat pun terampas, norma-norma kesucian mulai dihinakan, dan segala kebutuhan hidup mulai bergantung kepada belas kasih para durjana. Ya, keruntuhan itu datang bertubi-tubi, kekalahan pun mengepungnya. Contoh-contoh di masa lalu tentang ini adalah jatuhnya Andalusia (semenanjung Spanyol), Bukhara, Samarkand, dan Tasykent (di Asia Tengah), dan Baghdad. Sedang pada masa sekarang ini, itu dapat dilihat pada apa yang terjadi di Palestina dan Afghanistan.
Maka, ketika mereka berseru, tiada yang menjawab seruan itu, dan ketika meminta pertolongan, mereka tiada memperoleh pertolongan. Bagaimana mungkin itu terjadi? Sementara, kita tahu bahwa penyakit dan obatnya adalah dua hal yang berbeda. Kita juga tahu bahwa Allah Swt tidak akan menjalankan segala sesuatu kecuali melalui penyebabnya. Bukankah tiada yang dapat menjadi kebaikan bagi umat pada akhir perjalanan hidupnya, melainkan kembali kepada kebaikan yang pernah terjadi di awal kemunculannya?
Saat ini, betapa banyak rintangan buruk yang mesti dihadapi umat Islam, yang dipasang musuh-musuh Islam, untuk menghapus eksistensi dan keyakinan umat ini. Pelbagai kejahatan telah diarahkan untuk menyerang persatuan dan kesatuan mereka. Dalam mewujudkan tujuan itu, para musuh Islam telah menggunakan pelbagai cara, seperti menjauhkan kaum Muslimin dari kehidupan beragama dan konsep ijtihad (upaya keras untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari teks-teks keagamaan–peny.); hampir saja tujuan-tujuan mereka ini membuahkan hasil.
Bukankah pantas jika umat Islam harus lebih berusaha untuk merapatkan barisan dan memperkuat hubungan (di antara mereka)? Walaupun terdapat perbedaan mazhab di kalangan kaum muslimin, akan tetapi bukankah terdapat persamaan dari sisi keyakinan bahwa al-Quran dan al-Sunnah adalah dasar hukum, juga kesamaan dalam masalah akidah (keyakinan), seperti yang berkait dengan ketuhanan (tauhid), kenabian, dan keimanan terhadap hari akhir? Serta, sisi-sisi persamaan dalam persoalan hukum-hukum syariat, seperti yang berkait dengan shalat, puasa, haji, zakat, jihad, dan yang berkait dengan halal-haram? Begitu juga kesamaan dari sisi keharusan mencintai Nabi Suci saw beserta keluarga beliau, dan berlepas diri dari semua musuh-musuh Nabi saw serra keluarga beliau, walau terkadang muncul perbedaan dalam hal-hal yang bersangkut dengannya dari sisi kapasitas kecintaan?
Umat Islam sering diibaratkan sebagai jemari tangan yang bertemu pada satu pergelangan, walau terdapat perbedaan dari sisi panjang, lebar, dan bentuk jari-jari tersebut. Atau, diibaratkan seperti satu jasad, satu sisi jasad mencakup berbagai macam organ tubuh, di mana terdapat reaksi timbal-balik dan kerjasama antar-organ yang ada, walau terdapat perbedaan bentuk.
Boleh jadi, hikmah di balik perumpamaan bahwa umat Islam seperti satu tangan, atau dalam perumpamaan yang lain, diibaratkan sebagai satu jasad adalah untuk menyebutkan hal-hal yang telah diisyaratkan di atas.
Dahulu, para ulama dari berbagai mazhab dan golongan Islam hidup berdampingan tanpa pertikaian dan gesekan, bahkan selalu saling membahu. Di antara mereka saling mensyarahi (memberi komentar) kitab karya pihak lain, baik yang berkait dengan teologi (kalam) maupun pembahasan fikih. Sebagian menjadi murid bagi sebagian yang lain. Mereka saling memberikan ijazah periwayatan hadis, saling memberikan izin untuk menukil riwayat dari kitab-kitab mazhab dan golongan lain. Mereka bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, saling menyerahkan zakat kepada pihak lain.
Mereka juga saling mengakui mazhab lain, bahkan masing-masing golongan yang ada –dengan kapasitas pengikut yang begitu besar– hidup berdampingan dengan berlandaskan sikap saling mencintai dan menghormati. Sehingga, tampak seakan-akan tidak terjadi perbedaan dan pertentangan di antara mereka. Kalaupun terdapat kritikan dan perdebatan, mayoritas mereka mengutarakan sanggahan secara sopan dan santun; debat dilakukan dengan dasar-dasar ilmiah dan sesuai dengan topik pembahasan yang telah ditentukan.
Terlampau banyak sumber sejarah dan bukti otentik yang menyatakan tentang pernah terjadinya hubungan erat semacam itu. Berkat ikatan itu, para ulama Islam telah menghasilkan berbagai peninggalan dan budaya Islam, sebagaimana terlalu banyak pula contoh nyata dalam persoalan kebebasan bermazhab. Berkat jiwa kebersamaan dan saling tolong-menolong itulah, mereka terbukti telah mampu menjadi kelompok yang diperhitungkan dan dihormati di seluruh penjuru dunia.
Tak terlalu sulit untuk mengumpulkan para ulama muslim guna mengdakan diskusi secara tenang, damai, dan dengan pokok bahasan tertentu. Ya, pembahasan yang didasari keikhlasan dan kebersihan niat berkait dengan hal-hal yang menjadi perbedaan di antara golongan yang ada. Itu sangat berguna untuk saling mengenal argumentasi yang mendasari pemikiran setiap golongan.
Tentu saja, akan lebih sempurna dan rasional jika setiap golongan menyampaikan keyakinan-keyakinan (akidah), metodologi pemikiran, dan hukum-hukum fikih yang dimiliki, dengan penuh kebebasan dan keterbukaan. Sebab, hal ini dengan sendirinya akan dapat menangkal segala kebohongan yang diatasnamakan pada golongan tersebut. Seperti, yang telah diakui oleh semua kelompok, “Sebagaimana di sana terdapat sisi-sisi persamaan, terdapat pula beberapa sisi perbedaan”. Mereka tahu, sisi-sisi kesamaan kapasitasnya lebih banyak dibanding sisi-sisi perbedaan. Dengan sisi-sisi persamaan inilah dapat diharapkan terjadinya pembauran dan persatuan kaum muslimin.
Tulisan ringkas ini bertujuan untuk menjadi salah satu benltuk upaya nyata menuju tujuan tersebut. Juga, agar hakikat yang sebagaimana mestinya dikenal menjadi jelas dan diketahui oleh semua orang.
Jika dia bukan termasuk orang yang suka bertasbih, niscaya akan tinggal dalam perutnya sampai hari kebangkitan kelak. (al-Shaffaat: 143-144)
Banyak kalangan ulama Ahlussunnah yang menyatakan keberadaan Imam al-Mahdi af. Mereka juga menyebutkan nama ayah dan sifat-sifat yang beliau miliki, seperti:
1. Abdul Mukmin al-Sablanji yang bermazhab Syafi’i, dalam karya beliau yang berjudul Nur al-Abshar fi Manaqib Aali Bait al-Nabi al-Mukhtar.
2. Ibn Hajar al-Haitami al-Makki yang bermazhab Syafi’i dalam karya beliau yang berjudul al-Shawa’iq al-Muhriqah mengatakan, “Abu al-Qasim Muhammad al-Hujjah ditinggal wafat ayahnya pada usia lima tahun. Akan tetapi, Allah Swt memberinya hikmah sehingga dia disebut al-Qa’im al-Muntadzar.”
3. Al-Qanduzi al-Balkhi, yang bermazhab Hanafi, dalam karya beliau yang berjudul Yanabi’ al-Mawaddah, yang dicetak di Astanah, Turki, pada zaman kekhilafahan Utsmaniah.
4. Sayyid Muhammad Shiddiq Hasan al-Qanuji al-Bukhari dalam karya beliau yang berjudul Al-Idza’ah, Lama Kâna wa Mâ Yakunu baina Yadai al-Sa’ah.
Mereka termasuk contoh dari yang dikategorikan sebagai ulama terdahulu. Adapun contoh ulama kontemporer adalah Doktor Musthafa al-Rafi’i dalam karya beliau yang berjudul Islamuna. Beliau menjelaskan masalah kelahirannya dengan jelas dan panjang lebar, sekaligus menjawab semua pertanyaan dan sanggahan berkait dengan hal tersebut.
21. Para pengikut Syiah Ja’fariyah juga melaksanakan shalat, berpuasa, membayar zakat dan khumus. Mereka juga menunaikan haji ke Baitullah al-Haram di kota suci Mekah. Mereka meyakini akan kewajiban menunaikan umrah dan haji sekali seumur hidup, dan menyunahkannya jika dilaksanakan lebih dari sekali. Mereka juga melaksanakan amar makruf nahi munkar, mencintai dan mengikuti (ber-wilâyah) terhadap para kekasih Ilahi dan kekasih Rasul-Nya, serta berlepas diri dari para musuh Allah dan Rasul-Nya.
Mereka juga melaksanakan jihad di jalan Allall Swt atas orang-orang kafir dan penyekutu Allah (musyrik), yang dengan nyata menyatakan perang terhadap Islam ataupun penjajah umat Islam. Mereka juga melaksanakan segala kegiatan yang berkait dengan jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, perceraian, waris-mewaris, pendidikan, persusuan, berjilbab, dan sebagainya, sesuai dengan hukum syariat Islam sebagai agama yang lurus. Mereka mendapatkan. Hukum-hukum syariat tersebut melalui jalur ijtihad (usaha penggalian dasar hukum dari sumber-sumber agama oleh seorang mujtahid–penerj.) yang dilakukan oleh para pakar hukum syariat Islam (fuqaha’),
yang memiliki ketakwaan dan keterjagaan (wara’) yang tinggi. Ijtihad mereka dilandaskan pada al-Quran, sunah Rasul saw yang sahih, hadis-hadis Ahlulbait yang dapat dipegang (tsabit), akal sehat, serta konsensus para ulama (ijma’).
22. Mereka meyakini bahwa setiap shalat fardhu (shalat wajib yang dilaksanakan lima kali dalam sehari–penerj.) memiliki waktu-waktu yang telah ditentukan. Waktu-waktu shalat harian itu lima macam: waktu fajar, waktu zuhur, waktu asar, waktu maghrib, dan waktu isya. Yang paling utama (afdhal) dalam pelaksanaannya adalah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan secara khusus. Akan tetapi, mereka biasa melaksanakannya dengan cara menggabungkan antara zuhur dengan asar, atau antara maghrib dengan isya. Ini berdasarkan (fakta) bahwa Rasulullah saw pernah menggabungkan antara dua shalat tanpa adanya halangan (uzur), sakit, badai, ataupun dalam keadaan bepergian –seperti hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim dan
selainnya– sebagai tanda dispensasi, mempermudah, dan meringankan beban umat Islam. Dan ini merupakan perkara yang dapat diterima, apalagi dalam situasi zaman seperti sekarang ini.
23. Mereka melantunkan azan, sebagaimana kaum muslimin melantunkannya. Akan tetapi, setelah kalimat:
Marilah menuju kebahagiaan
Mereka menambahkannya dengan kalimat:
Marilah melakukan sebaik-baik pekerjaan
Dikarenakan Rasulullah saw telah mengajarkan dan melakukan hal tersebut. Akan tetapi, lantaran ijtihad Umar bin Khattab, kaiimat itu dihapuskan. Ini diiakukannya dengan alasan bahwa jika kaum muslimin tahu bahwa shalat adalah sebaik-baik perbuatan, niscaya mereka akan lari dan meninggalkan jihad (sebagaimana ditegaskan Allamah al-Qausaji yang bermazhab Asyariyah dalam kitab Syarh al-Tajrid al-I’tiqad, juga sebagaimana tercantum dalam al-Mushannaf karya al-Kindi, kitab Kanz al-Ummal karya Muttaqi al-Hindi, dan kitab-kitab lainnya). Sebagaimana, ijtihad Umar bin Khattablah tambahan kalimat:
Shalat lebih baik dari tidur
padahal ungkapan itu tidak pernah ada pada masa Rasulullah saw. [14]
Islam mengajarkan bahwa semua jenis ibadah beserta mukadimahnya bergantung pada perintah dan izin dari Pemilik Syariat (Allah Swt). Dengan kata lain, segala bentuk peribadatan harus bersandar pada teks keagamaan (nash) –baik yang menunjukkan arti secara Umum maupun khusus– yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunah. Jika tidak ada dasar hukumnya, maka hal itu termasuk katregori bid’ah yang dilarang dan sang pelaku akan mendapatkan celaan dari agama. Oleh karena itu, semua orang dilarang keras menambah dan mengurangi (semua aspek) dalam peribadahan berdasarkan pendapat pribadi (bi al-ra’yi), bahkan segala hal yang berkait dengan syariat.
Adapun tambahan yang dilakukan oleh Syiah Ja’fariyah setelah kalimat:
“Asyhadu annâ muhammadan rasûlullâh” Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan (rasul) Allah
dengan kalimat:
Asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullâh
Aku bersaksi bahwa Ali adalah kekaslh (Wali) Allah
Itu atas dasar beberapa riwayat yang bersumber dari Rasulullah saw dan keluarga suci beliau yang menyatakan, tiada disebut kata: dârrasûlullâh, atau tiada tertulis di atas pintu surga, kecuali dilanjutkan dan digabungkan dengan kata: ‘Aliy waliyullah. Kalimat ini juga menjadi bukti bahwa Syiah tidak meyakini kenabian Ali as, apalagi meyakini ketuhanan beliau, na’uzubillahi min dzalik.
Karenanya, diperbolehkan untuk menyebutkan itu seusai membaca dua kalimat syahadat, dengan niat “pengharapan” (raja’an) kepada Allah Swt agar hal tersebut diterima di sisi-Nya. Bukan dengan niat bahwa hal itu adalah bagian –apalagi memasukkannya dalam kategori wajib– dari azan. Ini sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas mutlak para pakar fikih dari golongan syiah al-Imamiyah al- Ja’fariyah.
Lantaran tambahan tersebut tidak diniatkan sebagai bagian dari azan –sebagaimana yang telah disinggung– maka tambahan tersebut tidak termasuk ke dalam kategori sesuatu yang tidak memiliki dasar hukum (lâ ashla lahu) yang dapat menyebabkannya termasuk dalam kategori bid’ah.
24. Mereka bersujud di atas tanah (permukaan bumi), batu, pasir, atau bagian bumi yang lain, semisal tumbuhan, dan bukan karpet, kain, bahan makanan, atau perhiasan. Semua itu berdasarkan banyak riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab pedoman Ahlussunah maupun Syiah.
Hadis-hadis itu menyatakan bahwa Rasulullah saw selalu terlihat membiasakan diri untuk sujud di atas pasir ataupun tanah, bahkan selalu memerintahkan umatnya melakukan hal yang serupa. Atas dasar itulah,
suatu saat, Bilal al-Habsyi sujud pada ujung serbannya untuk menghindari panas yang membakar. Melihat hal tersebut, tangan suci Rasulullah saw menarik serban Bilal dari keningnya sembari bersabda, “Tempelkan keningmu di atas tanah, wahai Bilal.” Sabda Rasulullah saw itu juga pernah ditujukan kepada Shuhaib dan Ribah. [15]
Di dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda,
“Bumi dijadikan bagiku sebagai tempat sujud dan bersuci.”
Sebab, meletakkan dahi di tanah saat bersujud merupakan bentuk terbaik sujud di hadapan Allah Swt. Dengan begitu, akan lebih
dekat pada khusyuk dan rendah-diri di hadapan Allah Swt. Sebagaimana hal tersebut
juga akan mengingatkan manusia akan asal, muasal penciptaannya. Bukankah Allah Swt berfirman:
Darinya Kami ciptakan diri kalian, dan darinya Kami kembalikan diri kalian, serta darinya pulalah Kami kembalikan diri kalian sekali lagi. (Thaha: 55)
Ya, sujud merupakan puncak perwujudan dari perendahdirian. Sementara puncak ini tidak akan terealisasi dengan meletakkan dahi pada sajadah, permadani, kain, ataupun batu mulia. Puncak dari sikap merendahkan diri hanya akan terwujud dengan meletakkan bagian tubuh manusia yang paling dianggap mulia itu, yaitu dahi, di atas benda yang paling rendah, yaitu tanah. [16]
Tentu saja, tanah sebagai tempat sujud disyaratkan harus suci. Oleh karena itu, para pengikut Syiah selalu membawa potongan tanah yang telah dipadatkan sehingga selalu yakin akan kesuciannya. Terkadang, potongan tanah itu diambil dari tanah kota suci Karbala yang penuh berkah. Di tempat itulah Imam Husain bin Ali as, cucu mulia Rasulullah saw, mencapai kesyahidan, sehingga para Syiah pun mengambil berkah dari tempat mulia tersebut. Ini, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para sahabat; mereka mengambil bebatuan dari kota suci Mekah untuk digunakan dalam bersujud selama masa perjalanan berkah (tabarruk). [17]
Akan tetapi, para pengikut Syiah tidak terlalu berkeras untuk melakukan hat tersebut, sebagaimana mereka juga tidak selalu melakukan halt itu. Yang terpenting bagi mereka adalah sujud di atas pasir yang bersih lagi suci. Mereka pun melakukan sujud di atas lantai masjid Nabawi di kota suci Madinah dan Masjid al-Haram di kota suci Mekah tanpa perasaan ragu sedikit pun.
Semua itu dilakukan oleh para pengikut Syiah Imamiyah al-Ja’fariyah. Sebagaimana, mereka juga tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) sewaktu melakukan shalat. Itu dikarenakan Nabi Muhammad saw tidak pernah mencontohkannya, apalagi melakukannya. Tidak ada teks keagamaan yang secara pasti dan jelas memerintahkan hal tersebut. Oleh karena itu, mazhab Maliki (dari kalangan Ahlussunnah) juga tidak melakukannya sewaktu mengerjakan shalat. [18]
25. Para pengikut Syiah Ja’fariyah melaksanakan wudu dengan cara membasuh tangan mereka dari siku hingga ke ujung jemari, bukan sebaliknya (dari ujung jari ke arah siku–penerj.). Itu dikarenakan mereka mengambil cara berwudu dari para imam Ahlulbait as; yang belajar dari kakek mereka Rasulullah saw. Tentu saja, mereka lebih mengetahui apa yang dilakukan kakek mereka ketimbang orang lain. Dahulu, Rasulullah saw melakukan hal serupa. Mereka menafsirkan huruf ‘ala yang terdapat dalam ayat yang membahas perihal wudu[19] dengan arti ma’a (bersama). Penafsiran serupa juga dapat di lihat pada apa yang dilakukan oleh al-Syafi’i al-Shaghir dalam karya beliau yang berjudul Nihayah al-Muhtaj.
Sebagaimana, mereka mengusap kepala dan kaki, tetapi tidak membasuhnya, juga dengan dasar dan alasan yang sama. Abdullah bin Abbas pernah menjelaskan bahwa berwudu dilakukan dengan dua basuhan dan dua usapan; dua bagian yang harus dibasuh dan dua bagian yang harus diusap. [20]
26. Mereka meyakini diperbolehkannya nikah mut’ah (nikah sementara), sesuai dengan ayat
al-Quran:
Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka bayaran (ajr)nya. (al-Nisa’: 24)
Kaum muslimin juga telah melakukan hal
tersebut semasa hidup Rasulullah saw, sebagaimana para sahabat Rasul saw pun telah melakukannya hingga masa pertengahan kekhalifahan Umar bin Khattab. Ini termasuk kategori pernikahan yang legal (syar’i), di samping bentuk pernikahan permanen (da’im). Nikah mut’ah memiliki kesamaan dengan nikah biasa yang permanen, dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Wanita yang akan dinikahi bukan berstatus istri orang (tidak bersuami). Dan dalam pelaksanaan akad nikah-nya, ijab (kesediaan) adalah dari pihak perempuan dan kabul (penerimaan) adalah dari pihak lelaki.
2. Adanya keharusan (wujub) memberikan harta terhadap wanita tersebut; dalam nikah biasa dan permanen diistilahkan dengan mahar, Sedangkan dalam nikah mut’ah yang temporer diistilahkan dengan ajr.
3. Adanya keharusan (wujub) bagi wanita setelah selesai berpisah dengan suaminya untuk mengambil masa iddah (pembersihan pasca berpisahnya suami-istri–penerj.).
4. Adanya keharusan untuk mengambil masa iddah (bagi istri), keharusan bagi lelaki (suami) untuk memberikan nafkah kepada anak hasil hubungan pernikahan (mut’ah ataupun da’im), dan tidak diperkenankan (bagi wanita)untuk menikahi lebih dari satu orang.
5. Adanya hak waris anak atas bapaknya, juga anak atas ibunya, sebagaimana sebaliknya (ibu atau bapak mewarisi anaknya yang mati–penerj.).
Tetapi, letak perbedaan nikah da’im dengan nikah mut’ah adalah bahwa dalam nikah mut’ah terdapat penentuan tempo pernikahan, tidak ada kewajiban bagi seorang suami untuk memberikan nafkah kepada sang istri, tidak ada pembagian harta gono-gini, tidak ada saling mewarisi antara suami-istri, dan tidak memerlukan praktik perceraian dalam berpisahnya suami-istri, cukup dengan habisnya jangka waktu yang telah disepakati atau pemberian (hibah) sisa jangka waktu pemikahan –yang telah ditentukan sewaktu mengucapkan akad nikah– oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan.
Adapun hikmah di balik disyariatkannya
jenis pernikahan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual –baik perempuan maupun lelaki– dengan cara yang legal (masyru’) bagi siapa saja yang tidak atau belum mampu memenuhi semua tanggung jawab yang terdapat dalam pernikahan da’im. Atau, untuk
pribadi yang berhalangan melakukan hubungan suami-istri, mungkin dikarenakan sang istri meninggal dunia ataupun karena sebab lain. Sebagaimana, hal ini pun juga bermanfaat bagi kaum wanita. Tentu saja –pelaksanaan pernikahan jenis ini– harus dilatarbelakangi oleh keinginan untuk hidup mulia dan terhormat. Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa tujuan utama penghalalan nikah mut’ah adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan kendala kemasyarakatan yang membahayakan; untuk menjaga agar masyarakat Islam tidak terjerumus ke dalam jurang fasad (kerusakan) dan pelanggaran syariat Islam.
Terkadang nikah mut’ah juga digunakan sebagai sarana legal (sesuai dengan syariat Islam) untuk saling mengenal pra-pernikahan. [21] Ini untuk menghindarkan adanya hubungan dengan cara yang haram, perzinaan, pelampiasan libido dan penyaluran hasrat seksual dengan cara yang haram seperti onani dan masturbasi bagi pribadi yang tidak memiliki kesabaran[22] untuk beristri satu, atau bagi orang yang tidak memiliki kepandaian dalam mengatur keluarga –atau beristri lebih dari satu– baik dari sisi perekonomian dan ataupun kebutuhan keluarga, sementara di sisi lain dia tidak ingin terjerumus ke dalam perbuatan haram.
Singkat kata, penghalalan nikah jenis ini memiliki dasar dalam al-Quran dan al-Sunnah, dan sempat beberapa waktu lamanya dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw. Jikalau mut’ah termasuk dalam kategori perzinahan, maka hal ini membawa konsekuensi bahwa al-Quran, Nabi saw, beserta para sahabat Nabi saw telah menghalalkan zina dan sempat mempraktikkannya dalam jangka waktu yang cukup lama, naudzubillah min dzalik.
Sementara itu, argumen tentang penghapusan hukum (naskh) nikah tersebut tidak bersandarkan kepada al-Quran dan al-Sunnah, juga tidak terdapat argumen yang kuat dan jelas tentang pengharamannya.[23]
Walaupun Syiah Imamiyah Ja’fariyah meyakini legalitas dan penghalalan nikah mut’ah berdasarkan al-Quran maupun hadis, namun mereka tetap lebih mengutamakan pelaksanaan nikah da’im, karena di atas fondasi dasar inilah masyarakat yang kuat dan sehat akan terwujud. Mereka kurang memiliki kecenderungan untuk melaksanakan nikah temporer –yang dalam istilah syariat disebut nikah mut’ah– sekalipun dihalalkan dan legal.
Sebagai catatan, Syiah Imamiyah Ja’fariyah –berdasarkan ajaran al-Quran, al-Sunnah, maupun ajaran dan nasihat para imam suci Ahlul-bait as– sangat menghormati kedudukan wanita dan meletakkannya pada posisi penting dan agung. Mereka memberikan kesempatan, peluang, dan hak-hak kepada kaum wanita, khususnya yang berkait dengan persoalan peningkatan kualitas etika dan akhlak, hak kepemilikan, pernikahan, perceraian, perawatan anak, menyusui, peribadahan, interaksi kemasyarakatan, dan pengamalan hukum-hukum penting yang layak diperhatikan secara khusus. Semua ini dapat kita temui dalam berbagai riwayat dari para imam suci Ahlulbait as serta ajaran-ajaran fikih Syiah.
27. Syiah Ja’fariyah mengharamkan zina, perkawinan sesama jenis, mengambil keuntungan secara ilegal (riba), pembunuhan atas jiwa yang tak berdosa, minuman keras, judi, melakukan pelanggaran, niat buruk penipuan, penimbunan barang, berbuat kikir, pencurian, pemakaian tanpa izin (ghashab), pengkhianatan, menyanyi dengan nyanyian haram, menari, memfitnah, menuduh tanpa bukti, mengadu domba, berbuat fasad, mengganggu orang mukmin, mengumpat, mencela, berbohong, mengada-ada, dan hal-hal lain yang termasuk kategori dosa besar maupun kecil. Mereka selalu berusaha untuk menjauhi semua itu sejauh mungkin.
Mereka juga berusaha semaksimal mungkin agar hal-hal tersebut tidak menyebar di tengah masyarakat. Mereka mengupayakan usaha itu melalui media komunikasi yang ada, seperti berbagai karya tulis, penerbitan buku, penulisan transkrip ceramah, diktat, atau silabus yang berkait dengan etika maupun pendidikan, mengadakan acara ilmiah dan ceramah keagamaan, khutbah Jumat, dan sebagainya.
28. Mereka sangat mengutamakan kemuliaan dan keagungan akhlak, menyukai nasihat, dan selalu bergegas untuk mendengarkannya. Mereka mengadakan berbagai acara dan perkumpulan untuk membahas hal tersebut di rumah-rumah, masjid-masjid, maupun aula-aula yang ada. Itu mereka lakukan dalam setiap kegiatan dan peringatan, sebagai bukti akan semangat mereka untuk mendapatkan nasihat keagamaan. Sebagaimana, mereka juga sangat mementingkan pembacaan doa yang indah cara penyampaiannya, agung kandungannya, dan menyentuh kalbu.
Doa-doa itu mereka ambil dari riwayat Rasulullah saw danpara imam suci as dari keluarga beliau, seperti Doa Kumayl, Doa Abi Hamzah, Doa al-Samat, Doa Jausyan al-Kabir,[24] Doa Makarim al-Aklaq dan Doa Iftitah (yang dibaca pada bulan Ramadhan). Mereka membaca doa-doa dan munajat yang memiliki
keagungan makna itu dengan penuh kekhusukan dan suasana spiritual, diiringi tangisan dan rintihan untuk merendahkan diri. Semua itu, mereka yakini akan dapat meningkatkan kebersihan jiwa, kemantapan spiritual, dan kedekatan kepada Allah Swt.[25]
29. Mereka sangat memuliakan makam Nabi saw dan para imam dari keluarga suci beliau, juga para keturunannya yang dikebumikan di pemakaman Baqi’, yang terletak di kota Madinah al-Munawwarah. Di tempat itulah dimakamkan Imam Hasan al-Mujtaba as, Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Muhammad al-Baqir as, dan Imam Ja’far al-Shadiq as. Sedangkan di kota suci Najaf al-Asyraf terdapat makam Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Di kota suci Karbala terdapat makam mulia Imam Husain bin Ali as beserta saudara-saudara, anak-anak, para sepupu, dan sahabat-sahabat beliau yang turut gugur (syahid) dalam tragedi hari Asyura. Di Samarra, terdapat makam Imam Ali al-Hadi as dan Imam Hasan al-‘Askari as. Di kota Kadzimain terdapat makam suci Imam Muhammad al-Jawad as dan Imam Musa al-Kadzim as. Semua kota-kota ini terletak di Irak.
Sedangkan di kota suci Masyhad yang terletak di Iran, terdapat makam suci Imam Ali al-Ridha as. Adapun di kota suci Qum dan
Syiraz terdapat makam-makam putra dan putri mereka. Di Damaskus (Suriah), terdapat makam pejuang wanita Karbala, Sayyidah Zainab as. Dan di Kairo (Mesir) terdapat makam Sayyidah Nafisah (termasuk wanita mulia Ahlulbait as).
Mereka melakukan hal itu dikarenakan penghormatan mereka kepada Rasulullah saw. Menghormati keturunan seseorang merupakan (salah satu) bentuk penghormatan terhadapnya. Sebagaimana, al-Quran memuji keluarga Imran (âli Imran), keluarga Yasin (âli Yasîn), keluarga Ibrahim (âli Ibrahim), keluarga Ya’qub (âli Ya’qub) dan memuji mereka, padahal sebagian di antara mereka bukan termasuk seorang nabi, sebagaimana firman Allah Swt:
(Sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain, (Ali Imran: 34)
Dan, dikarenakan al-Quran tidak mengritik orang-orang yang mengatakan:
Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadahan di atasnya. (al-Kahfi: 21)
Yakni, untuk membangun dan mendirikan masjid di tempat pemakaman para Ashab al-Kahfi, agar dapat beribadah kepada Allah Swt di sisi makam-makam tersebut. Al-Quran tidak menyebut mereka (pelaku ibadah di sisi kuburan) sebagai pelaku syirik (menyekutukan Allah). Itu dikarenakan setiap pribadi muslim yang beriman selalu beribadah hanya untuk Allah Swt semata.
Adapun kenapa mereka melakukan peribadahan di sisi makam suci para kekasih Allah yang dimuliakan, maka hal itu dikarenakan kesucian tempat tersebut lantaran keberadaan makam para kekasih Ilahi tersebut. Sebagaimana, kesakralan dan kemuliaan yang dimiliki oleh maqam Ibrahim (batu tempat pijakan Nabi Ibrahim), sebagaimana firman Allah Swt:
Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. (al-Baqarah: 125)
Tentu saja, tidak dapat dikatakan bahwa siapa saja yang melakukan shalat di belakang maqam Ibrahim berarti telah menyembah maqam tersebut. Sebagaimana orang yang beribadah kepada Allah Swt dengan melakukan sa’i (lari-lari kecil antara Shafa dan
Marwah) tidak berati telah masuk ke dalam penyembahan dua gunung tersebut. Hal itu hanya lebih dikarenakan bahwa Allah Swt telah memilih bagi hamba-hamba-Nya tempat yang penuh barakah nan sakral. Kesucian dan
keberkahan tempat itu dikarenakan hubungan dan pertaliannya dengan Allah Swt. Sesungguhnya terdapat beberapa hari atau tempat yang memiliki kesakralan yang dikhususkan baginya, seperti Hari Arafah, Tanah Mina, Tanah Arafah dan sebagainya. Adapun penyebab kesakralan hal-hal di atas adalah dikarenakan adanya keterkaitan dan hubungan dengan Allah Swt.
30. Atas dasar itu pula (sebagaimana tercantum dalam poin 29 di atas), maka para pengikut Syiah Ja’fariyah –sebagaimana kaum muslimin lain yang mengenal kedudukan luhur Rasulullah saw– sangat mengutamakan ziarah ke makam-makam keluarga Rasul saw, sebagai bentuk penghormatan dan dalam rangka mengambil pelajaran dari mereka, juga untuk memperbaharui kesetiaan kepada mereka, sekaligus sehagai bentuk perhatian atas gerakan yang selama ini telah mereka perjuangkan sehingga gugur di jalan tersebut. Ini dikarenakan para peziarah itu, sewaktu menziarahi makam-makam tersebut, menyebutkan keutamaan-keutamaan, pelaksanaan jihad, penegakan shalat, penunaian zakat, ketangguhan dalam menghadapi semua gangguan dan cobaan, yang telah dilakukan oleh para penghuni kubur itu (semasa hidup mereka dahulu). Sekaligus, untuk mengikuti jejak Rasulullah saw –dalam memberikan rasa hormat terhadap keluarganya yang selalu teraniaya (mazlum)– yang selalu bersedih atas segala yang menimpa mereka. Bukankah dalam peristiwa kesyahidan Hamzah, beliau mengatakan,
“Akan tetapi, Hamzah tiada yang menangisinya...”[26]
Bukankah beliau juga turut menangis waktu Ibrahim, putra tersayang beliau, meninggal? Bukankah beliau juga pergi ke pemakaman Baqi’ untuk berziarah kubur? Bukankah beliau pernah bersabda,
“Ziarahilah kubur; karena hal itu akan mengingatkan kalian pada akhirat.” [27]
Ziarah ke makam para imam ahlulbait nabi saw merupakan perbuatan yang mengingatkan dan mengenang sejarah hidup dan perjuangan mereka dalam menegakkan Islam dan memperjuangkan kehormatan kaum muslimin. Ini sangat bermanfaat bagi generasi-generasi penerus yang akan datang, sekaligus sebagai upaya untuk menanamkan semangat keberanian, pengorbanan, dan perjuangan di jalan Allah Swt.
Semua itu merupakan perbuatan manusiawi, sesuai dengan adab, dan logis.
Karena, setiap komunitas akan selalu mengagungkan para pemuka dan merayakan peringatan-peringatan bersejarah berkait dengan komunitasnya. Semua itu akan memberikan dampak positif, seperti munculnya kebanggaan dan perasaan hormat terhadap komunitasnya, sekaligus menambah persatuan dan kesatuan para pengikut kelompok tersebut. Juga, mempertebal kesetiaan terhadap kelompok tersebut di antara para pengikutnya.
Semua itu sesuai dengan apa yang dikehendlaki al-Quran ketika menyebutkan tentang maqam dan kisah-kisah para nabi dan rasul serta pribadi-pribadi saleh di dalam ayat-ayatnya.
31. Para pengikut Syiah Ja’fariyah juga meminta syafaat dari Rasulullah saw dan para
imam Ahlulbait as. Mereka ber-tawassul (meng-ambil sarana dalam menggapai keinginan–penerj.) kepada manusia-manusia mulia itu dalam menuju Allah Swt, agar Dia mengampuni dosa-dosa, mengabulkan keinginan dan hajat, menyembuhkan penyakit yang diderita, dan sebagainya. Tindakan semacam itu bukan hanya diperbolehkan oleh al-Quran, bahkan sangat ditekankan, sebagaimana dalam sebuah ayat dikatakan:
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (al-Nisaa’:64)
Dan firmah Allah Swt:
Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu kamu menjadi puas. (al-Dhuha: 5)
Yang dimaksud oleh ayat di atas ini adalah otoritas pemberian syafa’at (ampunan atas dosa–penerj.)
Bagaimana mungkin diterima (oleh akal), jika di satu sisi, Allah Swt memberikan kepada Nabi Mulia saw kedudukan dan otoritas untuk memberikan syafa’at bagi para pendosa, juga memberinya kedudukan sebagai penghubung (wasilah) atas semua permohonan hajat hamba-hamba-Nya, lantas di sisi lain, manusia dilarang meminta syafa’at darinya, atau melarang Nabi saw untuk menggunakan otoritasnya dalam memberikan syafa’at?
Bukankah Allah Swt telah menceritakan tentang peristiwa putra-putra Nabi Ya’qub as yang meminta syafaat dari ayah mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa mereka berkata kepada beliau:
Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah. (Yusuf: 97)
Di situ, nabi yang suci dari salah dan dosa (maksum) itu tidak mengritik dan memprotes perbuatan tersebut, bahkan mengatakan:
Aku akan memohonkan ampun bagi kalian. (Yusuf: 98)
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas perbuatan kamu. (al-Baqarah: 143)
Yakni, Rasulullah saw selalu memantau perbuatan umatnya. Dan firman Allah Swt:
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu.” (al-Taubah: 105)
Ayat ini akan terus berjalan dan berlaku hingga hari kiamat kelak, sebagaimana perjalanan matahari dan rembulan, juga pergantian siang dan malam.
Dapat ditambahkan di sini bahwa Nabi Muhammad saw beserta para keluarga suci beliau termasuk dalam kategori sebagai para syuhada’ (orang yang mati di jalan Allah–penerj.), sementara para syuhada’ itu tetap hidup, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Swt dalam beberapa ayat al-Quran.[29]
32. Para pengikut Syiah Ja’fariyah selalu memperingati hari gembira kelahiran Rasulullah saw beserta kelahiran para keluarga suci beliau. Sebagaimana, mereka juga memperingati hari duka wafat rasulullah saw dan para keluarga suci beliau. Semua itu mereka lakukan demi selalu mengenang dan mengingat keutamaan, kemuliaan, dan posisi luhur mereka, sebagaimana yang telah disinggung dalam banyak riwayat sahih, sesuai dengan ajaran al-Quran yang banyak menyinggung keutamaan Nabi saw serta rasul-rasul yang lain. Sebagaimana, teks keagamaan itu juga memerintahkan agar kita selalu memuliakan, mengikuti, mengambil pelajaran dan petunjuk dari mereka, manusia-manusia mulia itu.
Tentu saja, dalam memperingati berbagai kejadian yang ada, Syiah Ja’fariyah melarang pengikutnya melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat, seperti percampuran haram antara lelaki dan perempuan, menikmati hidangan haram, berlebih-lebihan (ghuluw)[30] dalam memberikan pujian dan pengagungan, dan segala hal yang bertentangan dengan ruh syariat Islam yang suci, melanggar batasan-batasan syariat yang jelas, ataupun yang tidak sesuai dengan ayat, riwayat yang sahih, maupun bertentangan dengan kaidah universal yang dihasilkan dari sumber-sumber utama hukum, seperti al-Quran dan haclis, yang tentu dihasilkan melalui metodologi penggalian hukum (istinbath) yang baik dan benar.
33. Para pengikut Syiah Ja’fariyah menggunakan kitab-kitab yang menampung hadis-hadis Rasulallah saw dan para keluarga suci beliau as, seperti kitab al-Kâfi karya Tsiqat al-Islam al-Kulaini, kitab Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih karya Syaikh al-Shaduq, dan kitab al-Istibshar serta al-Tahdzib karya Syaikh al-Thusi, di mana sernuanya merupakan kitab-kitab standar yang berkait dengan kitab hadis.
Kitab-kitab yang telah disebut di atas, walaupun mencakup berbagai hadis sahih, namun, baik para pengarangnya maupun para pengikut Syiah Ja’fariyah tidak menamainya dengan sebutan kitab al-Shahih. Atas dasar itulah, para ulama dan pakar fikih (fuqaha’) Syiah tidak menyatakan dengan jelas bahwa semua hadis-hadis yang terkandung di dalamnya dijamin kesahihannya. Akan tetapi,
mereka hanya mengambil hadis-hadis yang menurut mereka telah terbukti kesahihannya secara jelas. Sebagaimana, mereka akan meninggalkan hadis-hadis yang dianggap tidak sahih dan hadits hasan atau hadis yang memiliki kemungkinan untuk dapat dijadikan pegangan dan disesuaikan dengan disiplin ilmu tentang dasar-dasar pengenalan dan penentuan hadis (‘Ilmu Dirayat al-Hadits), ilmu tentang kepribadian perawi (‘Ilmu Rijâl), dan ilmu tentang kaidah-kaidah umum ilmu hadis (Qawa’id ‘Ilmi al-Hadits).
34. Sebagaimana para pengikut Syiah Ja’fariyah juga –dari sisi ajaran akidah, fikih, doa, dan etika– mengambil dari kitab-kitab lain yang menjelaskan berbagai riwayat para imam Ahlulbait as, seperti kitab Nahj al-Balaghah karya Sayyid al-Radhi ra, kitab kumpulan ceramah, surat, maupun mutiara hikmah ringkas Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Atau kitab Risalah al-Huquq dan al-Shahifah al-Sajjadiyah karya Imam Ali Zainal Abidin as, ataupun al-Shahifah al-‘Alawiyah karya Imam Ali as, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Tauhid, al-Khishal, ‘Ilal al-Syarayi’, Ma’ani al-Akbbar karya Syaikh Shaduq ra.
35. Terkadang, Syiah Ja’fariyah juga menyandarkan argumennya pada hadis-hadis Rasulullah saw yang tercantum dalam kitab-kitab saudara mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah[31] dalam berbagai hal, tanpa didasari fanatisme atau kedengkian. Hal itu dapat dilihat datam karya-karya mereka, baik karya-karya lama maupun kontemporer. Di sana terdapat banyak sekali hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat Nabi saw, istri-istri Nabi saw, pemuka para sahabat Nabi saw, ataupun para pembesar perawi hadis semisal Abu Hurairah, Anas bin Malik dan sebagainya. Tentu saja, mereka mensyaratkan kesahihan dan ketidakbertentangan hadis tersebut dengan al-Quran, hadis sahih lain, akal sehat, dan konsensus ulama.
36. Syiah Ja’fariyah melihat bahwa segala cobaan dan ujian yang menimpa kaum muslimin semenjak dulu hingga kini teringkas dalam dua faktor utama: Pertama, kaum muslimin tidak menerima ataupun meragukan kelayakan Ahlulbait as sebagai pemimpin untuk memegang tampuk kepemimpinan umat. Mereka meremehkan bimbingan dan ajaran-ajaran Ahlulbait, khususnya kemampuan Ahlulbait dalam menafsirkan al-Quran.
Kedua: perpecahan, pertikaian, dan ikhtilaf antar mazhab dan kelompok Islam. Oleh karena itu, Syiah Ja’fariyah selalu berusaha untuk menjaga persatuan barisan kaum muslimin, dengan mengulurkan rasa kasih sayang dan persaudaraan ke segenap kaum muslimin. Mereka menghormati berbagai ijtihad dan hukum yang diberlakukan oleh setiap ulama umat Islam, dari mazhab dan kalangan manapun.
Atas dasar itulah, sejak kurun waktu yang lama para ulama Syiah Ja’fariyah selalu
menyebutkan pendapat-pendapat para pakar fikih di luar Syiah dalam karya-karya mereka, yang berkait dengan fikih, tafsir, maupun teologi (kalam), seperti kitab al-Khilaf dalam bidang fikih karya Syaikh al-Thusi, Majma’ al-Bayan dalam bidang tafsir al-Quran –yang banyak dipuji oleh para ulama terkemuka di al-Azhar– karya al-Thabarsi, Tajrid al-I’tiqad dalam bidang teologi karya Nasiruddin al-Thusi, yang juga disyarah oleh ‘Alauddin al-Qausaji yang bermazhab Asy’ariyah.
37. Para pemuka ulama Syiah Ja’fariyah melihat pentingnya diskusi dan tukar pikiran antar ulama berbagai mazhab Islam, baik dalam bidang fikih, akidah, sejarah, dan membangun sikap saling memahami, sekaligus saling memberikan pemahaman atas setiap kendala kaum muslimin di masa sekarang ini. Juga, dengan menjauhkan diri dari tindakan saling memfitnah dan menghindari pengotoran suasana dari segala jenis celaan, sehingga lahan yang sesuai akan terbina, guna mewujudkan pendekatan logis antar mazhab yang selama ini terhalang oleh pelbagai macam penyekat.
Selain itu, sekaligus sebagai pencegah bagi para musuh agar tidak lagi mengusik ketentraman Islam dan kaum muslimin. Selama ini, musuh-musuh itu selalu mencari-cari celah untuk meraih peluang guna menghancurkan segenap kaum muslimin, tanpa terkecuali.
Oleh sebab itu, Syiah Ja’fariyah tidak pernah mengkafirkan siapapun pribadi yang masih termasuk dalam kategori muslim (ahli al-kiblat), apapun mazhab dan kecenderungan
akidahnya. Kecuali, kelompok yang telah disepakati oleh kaum muslimin akan kekafirannya. Syiah Ja’fariyah tiada akan pernah mengganggu ataupun membiarkan seseorang untuk menguasai mereka (kelompok muslim lain). Syiah Ja’fariyah akan tetap menghormati ijtihad dari kelompok dan mazhab Islam lain, sebagaimana mereka menganggap bahwa segala perbuatan orang yang berpindah dari satu mazhab tertentu ke mazhab Syiah Imamiyah Ja’fariyah yang telah lalu tetap dibenarkan (mujzi), tidak perlu diulang (musqithan li al-taklif), dan merupakan pelepas tanggung jawab bagi pelaksanaan kewajiban Ilahi (mubri’ li al-dzimmah).
Jika ternyata dia pada waktu itu melakukan segala amalan syariat –seperti shalat, puasa, haji, zakat, pernikahan, perceraian, jual-beli, dan sebagainya– sesuai dengan mazhab yang dianutnya, maka tidak diwajibkan atasnya untuk mengulang segala yang telah dilakukannya. Sebagaimana tidak diwajibkan baginya untuk memperbaharui akad nikah atau perceraian, selama hal tersebut sesuai dengan pendapat mazhab yang dianutnya selama ini.
Para pengikut Syiah selalu hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka sesama muslim di manapun mereka berada; hubungan mereka selama ini mirip seperti hubungan sesama saudara atau famili.
Syiah Imamiyah Ja’fariyah tidak bertoleran terhadap mazhab-mazhab yang dibangun oleh para imperialis dan kolonialis, seperti Baha’iyah, al-Babiyah, al-Qadiyaniyah, dan sebagainya. Bahkan Syiah sangat menentang, memerangi, dan mengharamkan penyebaran mazhab-mazhab semacam itu.
Jika terkadang –bukan setiap saat– Syiah mempraktikkan metode taqiyah (menyembunyikan keimanan dan keyakinan), maka hal itu dikarenakan mereka berada dalam rangka menyembunyikan mazhab dan keyakinannya. Ini merupakan perkara yang diperbolehkan oleh syariat Islam, sebagaimana disinyalir oleh al-Quran, dan merupakan suatu hal yang umum di kalangan mazhab-mazhab Islam, jika terjadi pertikaian sengit antar-kelompok. Taqiyah diperbolehkan dalam dua situasi:
1. Menjaga keselamatan jiwa dan menghindari pertumpahan darah.
2. Menjaga persatuan umat Islam dan menghindari pertikaian di antara mereka.
38. Syiah Ja’fariyah melihat bahwa sebab kemunduran kaum muslimin di era sekarang ini, dikarenakan terjadinya penyimpangan pemikiran, budaya, intelektual, dan teknologi. Solusinya tersembunyi dalam diri kaum muslimin sendiri –baik lelaki maupun perempuan. Ya, keluar dari kendala tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas pemikiran intelektual dan budaya upaya tersebut akan dapat terwujud melalui pembangunan pusat-pusat kajian intelektual, semisal perguruan tinggi ataupun pesantren. Hal itu dengan memanfaatkan sarana yang diberikan oleh ilmu-ilmu modern dalam menyelesaikan kendala-kendala ekonomi, pembangunan, perindustrian, ataupun usaha menanamkan kepercayaan kepada segenap masyarakat agar mereka turut serta dan terjun
untuk berkarya. Sehingga, tercapailah swasembada dan tidak lagi tergantung pada pihak asing.
Atas dasar inilah, di mana saja terdapat komunitas Syiah Ja’fariyah, maka pasti terdapat pula pusat-pusat kajian dan peningkatan intelektual, ataupun lembaga-lembaga untuk menelurkan para spesialis dalam berbagai bidang keilmuan. Sebagaimana, mereka juga terjun dan melebur ke dalam berbagai perguruan tinggi serta lembaga-lembaga pendidikan di setiap daerah, untuk mencetak para ilmuwan dan pakar di berbagai disiplin ilmu yang diperlukan oleh masyarakat.
39. Para pengikut Syiah Ja’fariyah selalu mengadakan hubungan dengan para ulama dan pakar fikih (fuqaha’) melalui jalan yang selama ini dikenal di antara mereka dengan sebutan taqlid dalam penentuan hukum syariat. Kepada para pakar itulah mereka merujukkan problema-problema fikih yang ada. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan pendapat (baca: fatwa) salah seorang di antara para pakar fikih itu. Mereka meyakini bahwa para pakar fikih adalah wakil Imam Zaman –al-Mahdi al-Muntazar– secara umum. Lantaran para ulama dan pakar fikih itu, dari sisi kebutuhan ekonomi sehari-hari, tidak bergantung kepada negara dan pemerintah, maka mereka dapat bersuara lantang, penuh percaya diri, dan sangat terpercaya dalam menyampaikan suara hati rakyat.
Lembaga-lembaga intelektual keagamaan (al-Hauzah al-‘Ilmiyah al-Diniyah) –pusat pembentukan para ahli fikih– adalah lembaga yang menjamin kebutuhan perekonomian sehari-hari para guru dan pelajar agama. Dana itu didapatkan dari pengumpulan khumus ataupun zakat yang diserahkan masyarakat kepada para pakar hukum (marja’) secara sukarela dan kesadaran penuh, sebagaimana halnya mereka menjalankan kewajiban syariat seperti shalat dan puasa.
Menurut Syiah Imamiyah Ja’fariyah, membayar khumus merupakan sebuah kewajiban. Khumus dibayarkan dari keuntungan-keuntungan yang dihasilkan dari
usaha yang didapat. Ini juga sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab sahih maupun kitab-kitab sunan yang ada.[32]
40. Syiah Ja’fariyah berpendapat bahwa salah satu hak kaum muslim in adalah menikmati pemerintahan-pemerintahan Islam yang nengamalkan al-Quran dan hadis, menjaga hak-hak kaum muslimin, membuka hubungan secara adil dan baik dengan negara-negara lain, menjaga batas-batas teritorial yang ada, juga menjamin kebebasan kaum muslimin dalam bidang budaya, ekonomi, dan politik. Semua itu agar kaum muslimin mendapatkan kemuliaannya, sesuai dengan Firman Allah:
Dan kemuliaan hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman. (al-Munafiqun: 8)
Serta Firman Allah Swt:
Janganlah kalian merasa hina dan merasa bersedih, sedang kalian adalah luhur jika kalian adalah kaum yang beriman. (Ali Imran: 139)
Syiah juga melihat bahwa Islam –yang menyandang gelar sebagai agama yang paling lengkap dan universal– memuat metode yang cermat dalam mengatur pemerintahan. Hendaknya, para ulama Islam berkumpul di antara mereka guna mendiskusikan (segala sesuatunya) sehingga metode itu akan tampak semakin jelas. Pemerintahan semacam itulah yang akan mampu menghilangkan kebingungan dan berbagai problem umat yang selama ini datang tak kunjung henti. Dan hanya Allah Swt sebaik-baik penolong:
Jika kalian menolong Allah, niscaya Allah akan menolong dan menguatkan (posisi) telapak kaki kalian. (Muhammad: 7)
Ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam ajaran akidah dan syariat Syiah Imamiyah, yang juga dikenal dengan sebutan al-Ja’fariyah.
Pada masa sekarang, golongan ini (Syiah) hidup bermasyarakat di tengah-tengah saudara mereka sesama muslim di berbagai penjuru dunia Islam. Mereka sangat antusias dalam menjaga keutuhan dan kemuliaan kaum muslimin, bahkan siap berkorban dengan jiwa dan raga demi tercapainya tujuan tersebut.
Wallhamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn.
Penerbit Al-Mu’ammal
MUKADIMAH
و جعلناکم شعوبا وقبائل لتعارفوا
Dan Kami Jadikan kalian berbagai bangsa dan suku agar saling mengenal.
Islam datang ketika berbagai bangsa di dunia saling bercerai-berai dan bermusuhan. Bahkan, mereka saling bertikai dan berperang. Akan tetapi, berkat ajaran Islam, perceraiberaian itu berganti menjadi sikap saling mengenal, permusuhan berubah menjadi sikap saling membantu, dan pemutusan hubungan persaudaraan menjadi sikap saling membangun hubungan silaturahmi.
Ya, ajaran Islam mampu memberikan pengaruh terhadap kondisi umat, sehingga menjadi umat yang satu; umat yang menyumbangkan kebudayaan nan agung. Sebagaimana, Islam juga telah melindungi berbagai bangsa dari penindasan, sehingga pengikutnya menjadi umat yang terhormat di antara berbagai bangsa di muka bumi ini. Umat yang memiliki kewibawaan di hadapan para penguasa zalim dan pelaku angkara murka itu.
Semua itu terealisasi berkat persatuan dan kesatuan umat, juga sikap saling memelihara hubungan di antara semua bangsa, di bawah naungan panji Islam. Meski terdapat pelbagai pola dan perbedaan jenis budaya serta adat-istiadat, namun dengan kesamaan fondasi dan tanggung-jawab (di antara mereka), persatuan telah menjadi sebuah kekuatan, sementara perpecahan (yang datang kemudian) telah mengubah segalanya menjadi kelemahan.
Ya, perpecahan yang terus berlangsung telah mengubah segalanya; sikap saling mengenal kembali menjadi sikap untuk saling bercerai-berai; saling pengertian menjadi saling curiga; dan setiap kelompok pun saling membenci, sehingga terpautlah jarak yang jauh di antara mereka. Semua itu menjadi penyebab hilangnya kemuliaan, terpecahnya kekuatan, dan lunturnya kewibawaan umat. Para penguasa zalim dan arogan pun mulai berani menyepelekan umat mulia dan agung itu. Hingga, umat itu pun berada di sarang rubah dan srigala. Kawanan srigala dan rubah ini tiada lain adalah makhluk-makhluk biadab, yang dilaknat oleh Allah Swt dan dibenci oleh segenap umat manusia.
Dari situ, akhirnya kekayaan umat pun terampas, norma-norma kesucian mulai dihinakan, dan segala kebutuhan hidup mulai bergantung kepada belas kasih para durjana. Ya, keruntuhan itu datang bertubi-tubi, kekalahan pun mengepungnya. Contoh-contoh di masa lalu tentang ini adalah jatuhnya Andalusia (semenanjung Spanyol), Bukhara, Samarkand, dan Tasykent (di Asia Tengah), dan Baghdad. Sedang pada masa sekarang ini, itu dapat dilihat pada apa yang terjadi di Palestina dan Afghanistan.
Maka, ketika mereka berseru, tiada yang menjawab seruan itu, dan ketika meminta pertolongan, mereka tiada memperoleh pertolongan. Bagaimana mungkin itu terjadi? Sementara, kita tahu bahwa penyakit dan obatnya adalah dua hal yang berbeda. Kita juga tahu bahwa Allah Swt tidak akan menjalankan segala sesuatu kecuali melalui penyebabnya. Bukankah tiada yang dapat menjadi kebaikan bagi umat pada akhir perjalanan hidupnya, melainkan kembali kepada kebaikan yang pernah terjadi di awal kemunculannya?
Saat ini, betapa banyak rintangan buruk yang mesti dihadapi umat Islam, yang dipasang musuh-musuh Islam, untuk menghapus eksistensi dan keyakinan umat ini. Pelbagai kejahatan telah diarahkan untuk menyerang persatuan dan kesatuan mereka. Dalam mewujudkan tujuan itu, para musuh Islam telah menggunakan pelbagai cara, seperti menjauhkan kaum Muslimin dari kehidupan beragama dan konsep ijtihad (upaya keras untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari teks-teks keagamaan–peny.); hampir saja tujuan-tujuan mereka ini membuahkan hasil.
Bukankah pantas jika umat Islam harus lebih berusaha untuk merapatkan barisan dan memperkuat hubungan (di antara mereka)? Walaupun terdapat perbedaan mazhab di kalangan kaum muslimin, akan tetapi bukankah terdapat persamaan dari sisi keyakinan bahwa al-Quran dan al-Sunnah adalah dasar hukum, juga kesamaan dalam masalah akidah (keyakinan), seperti yang berkait dengan ketuhanan (tauhid), kenabian, dan keimanan terhadap hari akhir? Serta, sisi-sisi persamaan dalam persoalan hukum-hukum syariat, seperti yang berkait dengan shalat, puasa, haji, zakat, jihad, dan yang berkait dengan halal-haram? Begitu juga kesamaan dari sisi keharusan mencintai Nabi Suci saw beserta keluarga beliau, dan berlepas diri dari semua musuh-musuh Nabi saw serra keluarga beliau, walau terkadang muncul perbedaan dalam hal-hal yang bersangkut dengannya dari sisi kapasitas kecintaan?
Umat Islam sering diibaratkan sebagai jemari tangan yang bertemu pada satu pergelangan, walau terdapat perbedaan dari sisi panjang, lebar, dan bentuk jari-jari tersebut. Atau, diibaratkan seperti satu jasad, satu sisi jasad mencakup berbagai macam organ tubuh, di mana terdapat reaksi timbal-balik dan kerjasama antar-organ yang ada, walau terdapat perbedaan bentuk.
Boleh jadi, hikmah di balik perumpamaan bahwa umat Islam seperti satu tangan, atau dalam perumpamaan yang lain, diibaratkan sebagai satu jasad adalah untuk menyebutkan hal-hal yang telah diisyaratkan di atas.
Dahulu, para ulama dari berbagai mazhab dan golongan Islam hidup berdampingan tanpa pertikaian dan gesekan, bahkan selalu saling membahu. Di antara mereka saling mensyarahi (memberi komentar) kitab karya pihak lain, baik yang berkait dengan teologi (kalam) maupun pembahasan fikih. Sebagian menjadi murid bagi sebagian yang lain. Mereka saling memberikan ijazah periwayatan hadis, saling memberikan izin untuk menukil riwayat dari kitab-kitab mazhab dan golongan lain. Mereka bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, saling menyerahkan zakat kepada pihak lain.
Mereka juga saling mengakui mazhab lain, bahkan masing-masing golongan yang ada –dengan kapasitas pengikut yang begitu besar– hidup berdampingan dengan berlandaskan sikap saling mencintai dan menghormati. Sehingga, tampak seakan-akan tidak terjadi perbedaan dan pertentangan di antara mereka. Kalaupun terdapat kritikan dan perdebatan, mayoritas mereka mengutarakan sanggahan secara sopan dan santun; debat dilakukan dengan dasar-dasar ilmiah dan sesuai dengan topik pembahasan yang telah ditentukan.
Terlampau banyak sumber sejarah dan bukti otentik yang menyatakan tentang pernah terjadinya hubungan erat semacam itu. Berkat ikatan itu, para ulama Islam telah menghasilkan berbagai peninggalan dan budaya Islam, sebagaimana terlalu banyak pula contoh nyata dalam persoalan kebebasan bermazhab. Berkat jiwa kebersamaan dan saling tolong-menolong itulah, mereka terbukti telah mampu menjadi kelompok yang diperhitungkan dan dihormati di seluruh penjuru dunia.
Tak terlalu sulit untuk mengumpulkan para ulama muslim guna mengdakan diskusi secara tenang, damai, dan dengan pokok bahasan tertentu. Ya, pembahasan yang didasari keikhlasan dan kebersihan niat berkait dengan hal-hal yang menjadi perbedaan di antara golongan yang ada. Itu sangat berguna untuk saling mengenal argumentasi yang mendasari pemikiran setiap golongan.
Tentu saja, akan lebih sempurna dan rasional jika setiap golongan menyampaikan keyakinan-keyakinan (akidah), metodologi pemikiran, dan hukum-hukum fikih yang dimiliki, dengan penuh kebebasan dan keterbukaan. Sebab, hal ini dengan sendirinya akan dapat menangkal segala kebohongan yang diatasnamakan pada golongan tersebut. Seperti, yang telah diakui oleh semua kelompok, “Sebagaimana di sana terdapat sisi-sisi persamaan, terdapat pula beberapa sisi perbedaan”. Mereka tahu, sisi-sisi kesamaan kapasitasnya lebih banyak dibanding sisi-sisi perbedaan. Dengan sisi-sisi persamaan inilah dapat diharapkan terjadinya pembauran dan persatuan kaum muslimin.
Tulisan ringkas ini bertujuan untuk menjadi salah satu benltuk upaya nyata menuju tujuan tersebut. Juga, agar hakikat yang sebagaimana mestinya dikenal menjadi jelas dan diketahui oleh semua orang.
Wallahu waliyu al-taufiq.
Ja’far Al-Hadi
HAKIKAT SYIAH
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam. Semoga shalawat
serta salam tercurah kepada Penutup para nabi dan rasul dan yang paling
mulia dari semua rasul, Muhammad, beserta keluarganya yang suci, dan
para sahabatnya yang baik dan setia.
1. Mazhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariah, yang juga dikenal dengan sebutan Mazhab Ja’fary, sekarang ini tergolong sebagai mazhab yang besar dalam jajaran kaum muslimin dan memiliki banyak pengikut. Diperkirakan, jumlah mereka kurang lebih seperempat dari jumlah seluruh kaum muslimin. Sejarah kemunculan mazhab ini memiliki akar yang panjang, yang bermula dari awal kemunculan Islam. Kemunculan mazhab ini bersamaan dengan turunnya firman Allah Swt dalam surat al-Bayyinah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka adalah sebaik-baik penghuni bumi. (al-Bayyinah: 7)
Sewaktu ayat ini turun, Rasulullah saw kemudian meletakkan tangan mulia beliau ke pundak Ali bin Abi Thalib as seraya bersabda,
“Wahai Ali, Engkau dan Syiah (pengikut)mu adalah sebaik-baik penghuni bumi.”
Pada saat kejadian itu berlangsung, banyak sahabat Rasul saw ikut hadir di tempat itu dan menyaksikannya.[1]
Semenjak saat itulah kelompok tersebut –yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far al-Shadiq karena mengikuti fikih beliau– disebut dengan Syiah.
2. Pengikut mazhab ini dapat dijumpai dengan jumlah yang sangat besar di beberapa negara seperti Iran, Irak, Pakistan, dan India. Mereka tersebar dengan jumlah yang tak sedikit pula di berbagai negara Teluk Persia, Turki, Suriah, Libanon, Rusia, dan negara-negara pecahan (bekas) Uni Soviet. Mereka pun tersebar di negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Prancis. Keberadaan mereka juga dapat dijumpai di Benua Amerika, Benua Afrika, dan negara-negara Asia Timur. Di negara-negara tersebut, mereka mendirikan banyak masjid, pusat-pusat kajian ilmiah, budaya, dan sosial.
3. Para pengikut mazhab ini terdiri dari ber-bagai macam kewarganegaraan, keturunan, bahasa, dan warna kulit. Mereka hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka sesama muslim dari berbagai kelompok dan mazhab, dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Mereka saling menolong dalam setiap kesempatan dan persoalan, dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Semua itu didasari atas firman Allah Swt:
Sesungguhnya (sesama) orang-orang beriman adalah bersaudara. (al-Hujurat: 10)
Juga firman Allah:
Dan saling tolong-menolonglah dalam perbuatan baik dan ketakwaan. (al-Maidah: 2)
Dan sabda Rasulullah saw,
Orang-orang mukmin bagaikan satu jasad.” [2]
4. Sepanjang sejarah, para pengikut Mazhab Ja’fari menempati posisi yang amat mulia dan memukau dalam usaha membela Islam dan umat muslim. Sebagaimana mereka pernah memiliki beberapa pemerintahan dan negara yang digunakan untuk berkhidmat demi perkembangan budaya Islam, mereka juga memiliki banyak sekali ulama yang sangat berperan dalam memperkaya khasanah peninggalan Islam dengan menulis ratusan ribu karya tulis, baik kitab yang berukuran besar maupun kecil, dalam berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir al-Quran, hadis, akidah, fikih, ushul fikih, akhlak, pengenalan dan klasifikasi haclis (dirayah al-hadis), pengenalan atas perawi hasis (ilmu rijal), filsafat, tata negara dan sosial kemasyarakatan, bahasa dan sastra, hingga disiplin ilmu kedokteran, fisika, kimia, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam lainnya. Mereka juga memiliki peran amat penting dalam penemuan dan berdirinya banyak lagi disiplin ilmu lain. [3]
5. Mereka meyakini bahwa Allah Swt adalah Zat yang Tunggal dan Esa. Dialah tempat bergantung yang tiada beranak dan tiada pula dianakkan. Tiada satu pun kesetaraan bagi-Nya. Mereka menjauhkan dari Allah Swt kepemilikan akan bentuk (jism), arah, tempat, waktu, perubahan, gerak, naik, turun, dan segala atribut yang tak layak disifatkan kepada Allah Swt, Zat yang Mahasuci, Sempurna, dan Indah.
Mereka juga meyakini bahwa Allah Swt adalah satu-satunya yang layak untuk disembah. Mereka yakin, segala hukum dan perundang-undangan haruslah bersumber dan bertumpu pada kebijakan Ilahi. Mereka pun yakin bahwa segala bentuk penyekutuan terhadap Allah Swt (syirik) –baik terang-terangan (jali) maupun tersembunyi (khafi)– merupakan sebentuk kezaliman teramat besar dan termasuk dosa besar yang tak terampuni.
Mereka mengambil semua (dasar) keyakinannya dari akal sehat yang sesuai dengan al-Quran dan hadis yang dijamin kesahihannya, dari mana pun sumbernya.
Kaum Syi’ah tiada mengambil keyakinan mereka dari hadis-hadis israiliyat (pengaruh ajaran Taurat dan Injil yang tidak lagi otentik) atau ajaran Majusi (Zoroaster) yang meyakini bahwa Allah Swt memiliki bentuk sebagaimana manusia (anthro-pomorphisme) dan menyamakan Allah Swt dengan makhluk, makhluk-Nya, seperti menyifati-Nya pernah berbuat lalai, zalim, sia-sia, dan sebagainya. Mahasuci Allah Swt atas segala yang mereka (kaum musyrik) sifatkan. Sebagaimana, mereka juga menyanclarkan dosa-dosa besar dan bermacam-macam keburukan kepada para nabi yang secara mutlak terjaga (maksum) dan suci dari segala perbuatan buruk.
6. Mereka meyakini bahwa Allah Swt Mahaadil dan Bijak, Pencipta segala sesuatu atas dasar keadilan dan hikmah; tiada mencipta apapun dengan kesia-siaan, baik benda mati, tanaman, hewan, manusia, langit, maupun bumi. Itu dikarenakan segala perbuatan sia-sia bertentangan dengan keadilan dan hikmah. Oleh karena itu, melakukan pekerjaan sia-sia bertentangan dengan-sifat ketuhanan. Sebab “menyifati” Tuhan dapat diartikan sebagai menetapkan segala bentuk kesempurnaan bagi Allah Swt dan menjauhkan segala macam kekurangan dari-Nya.
7. Kaum Syiah, meyakini bahwa Allah Swt –atas dasar keadilan dan hikmah-Nya– telah mengutus para nabi dan rasul bagi segenap umat manusia, semenjak awal penciptaan Adam di mukabumi. Mereka yakin, para nabi dan rasul memiliki sifat keterjagaan dari salah dan dosa (ma’sum) dan dibekali dengan ilmu yang luas, melalui anugrah khusus –berupa wahyu– dari Allah Swt. Semua itu, untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, dan sebagai sarana untuk membantunya agar dapat mencapai kesempurnaan sebagai tujuan akhirnya. Juga, sebagai pembimbing menuju ketaatan yang dapat menghantarkan manusia pada kenikmatan surgawi serta beroleh anugrah rahmat dan ridha Allah.
Dari sekian banyak para nabi dan rasul, terdapat beberapa individu yang lebih menonjol ketimbang yang lain. Mereka adalah Adam, Nuh, Ibrahim, Isa, Musa, dan nama-nama lain yang tercantum dalam al-Quran, ataupun hadis Nabi saw.
8. Mereka meyakini bahwa barangsiapa menaati Allah Swt dengan melaksanakan segala perintah dan perundang-undangan-Nya dalam segenap aspek kehidupan, niscaya akan selamat dan sentosa. Pribadi semacam itu akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah Swt, walaupun dia seorang budak hitam (yang dianggap hina). Sebaliknya, barangsiapa bermaksiat kepada Allah Swt, bersikap masa bodoh terhadap perintah-perintah-Nya, mempraktikkan selain hukum-Nya, niscaya akan merugi dan celaka. Pribadi semacam itu meski dia seorang bangsawan terhormat. Semua itu telah disebutkan dalam hadis-hadis sahih dari Nabi saw.
Mereka juga meyakini, bahwa waktu untuk menerima pahala dan siksa adalah pada hari kiamat kelak. Di sanalah akan terjadi proses penghitungan, penimbangan atas beban baik dan buruk, serta balasan surga dan neraka. Semua itu terjadi setelah berlalunya alam kubur (barzakh).
Adapun atas keyakinan tentang reinkarnasi (tanasukh) yang dianut oleh para pengingkar hari kiamat, maka para pengikut Mazhab Syiah dengan tegas menolak keyakinan tersebut dengan dalil bahwa itu bertentangan dengan al-Quran dan sunah Rasul saw.
9. Mereka yakin bahwa akhir dan penutup segenap nabi dan rasul adalah Rasulullah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib saw, nabi dan rasul yang paling utama dari sekian banyak nabi dan rasul. Beliau telah dijaga oleh Allab Swt dari segala bentuk kesalahan dan dosa, baik yang berkait dengan persoalan penyampaian risalah (tabligh) maupun selainnya. Beliau terjaga dari
dosa kecil maupun besar, baik sebelum pengangkatan menjadi nabi maupun setelahnya. Kepada beliau, diturunkan al-Quran sebagai panduan hidup bagi seluruh umat manusia untuk selamanya. Beliau pun telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat dengan penuh kejujuran dan keikhlasan, juga melaksanakan tugas di jalan tersebut tanpa pandang-bulu.
Dalam mencatat sejarah hidup, kepribadian, keadaan, keistimewaan, dan mukjizat Rasulullah saw, kaum Syiah menulis puluhan karya tulis dan pembahasan ilmiah. [4]
10. Mereka meyakini bahwa al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui malaikat Jibril as. Kemudian kitab suci itu dikumpulkan oleh beberapa sahabat besar Rasul saw, khususnya Ali bin Abi Thalib as, semenjak masa hidup Rasulullah saw. Proses penulisan tersebut berada di bawah perintah, bimbingan, dan pantauan Rasulullah saw.
Para sahabat itu kemudian menjaga, menghafal, mencermati setiap huruf, kalimat, ayat, dan suratnya dengan teliti. Lantas, nlereka mewariskan-nya secara turun-temurun kepada setiap generasi, hingga generasi kaum muslimin sekarang ini. Al-Quran itulah yang sampai detik ini dibaca oleh segenap kaum muslimin dari berbagai kalangan dan mazhab, siang dan malam. Al-Quran yang tiada perubahan di dalamnya, baik pengurangan maupun penambahan. Kaum Syiah, sekaitan dengan penetapan hal ini, menghasilkan banyak sekali karya tulis, baik yang ditulis secara ringkas maupun mendetail dan luas.
11. Mereka meyakini bahwa sewaktu mendekati wafatnya, Rasulullah saw mengangkat Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah dan imam bagi segenap kaum muslimin sepeninggal beliau, sebagai pemimpin umat dalam bidang politik, pembimbing umat dalam bidang pemikiran, penyelesai setiap kendala umat, dan pelanjut dalam mendidik dan mensucikan umat Muhammad. Semua itu dilakukan karena perintah dari Allah Swt yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw di tempat yang terkenal dengan sebutan Ghadir Khum. Peristiwa itu terjadi pada tahun terakhir masa hidup Rasulullah saw dan seusai melaksanakan haji terakhir (haji wada’) dari sekian haji yang pernah beliau taksanakan.
Saat itu, berkumpul banyak sekali sahabat yang sebelumnya turut serta dalam ibadah haji bersama beliau. Dalam riwayat dikabarkan bahwa yang ikut serta dalam perkumpulan itu –sebagaimana yang dinukil dalam riwayat yang ada– berjumlah tidak kurang dari seratus ribu sahabat. Dalam peristiwa bersejarah tersebut diturunkan beberapa ayat yang berkenaan dengan momentum itu. [5]
Sebagaimana Rasulullah saw menyuruh hadirin untuk membaiat Ali as dengan berjabat tangan, saat itu para hadirin pun mulai berjabat tangan satu demi satu, di mulai dari para pemuka Muhajirin dan Anshar, juga para pembesar sahabat lainnya. [6]
Lihat kembali kitab al-Ghadir karya Allamah al-Amini yang merupakan kumpulan dari berbagai kitab-kitab rujukan kaum muslimin, baik yang berkait dengan kitab tafsir maupun sejarah.
12. Mereka meyakini bahwa imam –sepeninggal Rasulullah saw– memikul tugas sebagaimana tugas yang diemban Rasulullah saw. Seperti halnya, Rasul saw, imam bertugas sebagai pemimpin, pemberi petunjuk, pendidik, pengajar, penjelas hukum, penuntas segala kendala kesalahan berpikir, dan penyelesai atas perkara penting berkait dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Pribadi seorang imam dan khalifah Rasul saw harus memiliki segala hal (kualifikasi) yang menyebabkan segenap umat mempercayainya. Ini diperlukan karena dia berfungsi sebagai penyelamat umat manusia menuju keselamatan abadi.
Seorang imam juga harus memiiiki keahlian dan sifat-sifat yang dimiliki Rasul saw (seperti kemaksuman dan ilmu yang luas). Semua itu dikarenakan seorang imam adalah penerus Rasul saw dalam melakukan perbaikan dan memenuhi tanggung jawab. Semua tugas dan tanggung jawab imam sama persis dengan tugas dan tanggung jawab Rasul saw, kecuali dalam hal penerimaan wahyu dan kenabian. Lantaran kenabian ditutup dengan diutusnya Muhammad saw, maka beliau merupakan penutup para nabi dan rasul. Konsekuensinya, agama yang dibawa beliau adalah penutup semua agama, syariat beliau adalah akhir segala syariat, kitab suci yang beliau bawa adalah pamungkas semua kitab suci. Tiada nabi setelah beliau, tiada agama setelah agama beliau, tiada lagi syariat yang bakal datang setelah syariat yang dibawa beliau. Berkait dengan persoalan di atas, kaum Syiah memiliki banyak sekali karya-karya (tulis) dengan kapasitas dan metode yang beragam.
13. Mereka meyakini bahwa kebutuhan umat akan kepala dan pemimpin yang mampu memberi petunjuk serya dijamin terjaga dari dosa (maksum) bukan hanya sebatas pada pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan imam pasca Rasulullah saw. Namun, mereka meyakini keharusan adanya kesinambungan mata-rantai kepemimpinan hingga masa yang panjang. Batas mata-rantai kepemimpinan tersebut adalah terealisasinya pemancangan akar Islam secara kuat, asas-asas syariat tiada lagi terabaikan, dan pilar-pilar agama terjaga dengan baik. Selama ini, pihak-pihak tertentu selalu mengusik dan mengancam setiap ajaran akidah Ilahi dan konsep spiritual (Rubbani) yang pernah muncul dipermukaan. Sebagian di antara para
imam –yang telah mempraktikkan beberapa konsep dengan bermacam situasi yang ada– telah memberikan contoh praktis dan berbagai program yang sesuai dengan segala situasi dan kondisi yang ada. Dari sini, umat Islam kelak akan mampu mempraktikkannya.
14. Mereka meyakini bahwa atas dasar hal-hal di atas (keyakinan pada poin 13) dan atas dasar hikmah yang luhur serta berdasarkan perintall Allah Swt, maka Nabi Muhammad bin Abdillah saw menetapkan 11 imam setelah Imam Ali as. Para imam yang seluruhnya berjumlah 12 orang itu telah diisyaratkan jumlah individu dan suku (kabilah)nya, yang semuanya berasal dari suku Quraisy, sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukbari dan Shahih Muslim dengan redaksi yang beragam. Seperti yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw,
“Sesungguhnya agama tetap akan berjalan (tegak, mulia, terjaga) selama pada mereka terdapat 12 penguasa atau khalifah yang semuanya dari (suku) Quraisy.”
Dalam sebagian kitab tercantum kata “Bani Hasyim” (sebagai ganti kata Quraisy–penerj.). Dalam beberapa kitab –di luar kitab-kitab Shahih (Bukhari dan lain-lain) yang ada– selain disebutkan keutamaan (fadha’il), kemuliaan (manaqib), syair, dan sastra (adab) tentang mereka, juga disebutkan secara terperinci nama-nama mereka.
Walaupun hadis-hadis itu tidak menunjuk (misalnya) pada 12 imam –yaitu Ali as dan 11 keturunan beliau– namun hadis-hadis tersebut tidak mungkin diterapkan kecuali sesuai dengan keyakinan Syiah Ja’fariyah (Itsna ‘Asyariyah). Tiada penafsiran dan penerapan yang benar dan sesuai, kecuali sebagaimana keyakinan mereka. [7]
15. Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa ke-12 imam itu adalah:
Imam Ali bin Abi Thalib as (sepupu sekaligus menantu Rasulullah saw karena pernikahannya dengan Sayyidah Fathimah al-Zahra as).
Imam Hasan as dan Imam Husain as (keduanya putra hasil penikahan Ali as dan Fathimah as, cucu Rasulullah saw)
Imam Ali Zainal Abidin bin Husain as (bergelar al-Sajjad).
Imam Muhammad bin Ali as (bergelar al-Bagir).
Imam Ja’far bin Muhammad as (bergelar al-Shadiq).
Imam Musa bin Ja’far as (bergelar al-Kadzim).
Imam Ali bin Musa as (bergelar al-Ridha).
Imam Muhammad bin Ali as (bergelar al-Jawad al-Taqi).
Imam Ali bin Muhammad as (bergelar al-Hadi al-Naqi).
Imam Hasan bin Ali as (bergelar al-‘Askari).
Imam Muhammad bin Hasan af (bergelar al-Mahdi al-Mau’ud al-Muntazar). [8]
Mereka adalah Ahlulbait yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw –sesuai dengan perintah Allah Swt– sebagai pemimpin bagi segenap umat Islam. Dikarenakan keterjagaan dan kesucian mereka dari berbagai kesalahan
dan dosa, juga lantaran mereka memiliki ilmu sangat luas, yang telah diwariskan dari Datuk
suci mereka, maka kita diperintahkan untuk mencintai dan menaati mereka. [9] Ini sesuai dengan firman Allah Swt:
Katakanlah (wahai Muhammad), “Aku tiada meminta (atas segala yang kukerjakan) upah apapun (dari kalian) kecuali berbuat baik terhadap keluarga (ku).”(al-Syura: 23)
Dan ayat:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya kalian bersama orang-orang yang benar. (al-Taubah: 119)
16. Para pengikut Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa para imam suci yang dalam sejarah tidak pernah tercatat melakukan salah dan dosa –baik yang berkait dengan ucapan maupun perbuatan– telah berkhidmat untuk umat Islam. Dengan bekal ilmu yang luas tak bertepi, mereka telah memperkaya khazanah kebudayaan umat dengan pengetahuan yang dalam, pandangan yang sahih dalam bidang akidah, hukum (syariat), akhlak, adab, tafsir, sejarah, hingga persoalan dalam cara menatap
masa depan. Umat telah dididik oleh para imam itu dengan lisan maupun perbuatannya, sehingga banyak pribadi terpuji yang telah menilai secara objektif –baik dari kalangan lelaki maupun perempuan– dan telah mengakui keutamaan pribadi, ketinggian ilmu, dan adiluhungnya akhlak para imam itu.
Walaupun telah menjauhkan para imam dari kedudukan sebagai pemimpin politik, namun mereka (yang menilai secara objektif itu) turut merasakan pengaruh positif ajaran para imam dari sisi pemikiran dan sosial. Mereka pun turut menjaga fondasi-fondasi akidah serta pilar-pilar syariat dari segala macam marabahaya.
Jika saja umat Islam memberikan kesempatan kepada para imam itu untuk mempraktikkan peran politik yang diamanatkan Rasulullah saw kepada setiap imam atas perintah Allah Swt, niscaya umat Islam akan beroleh kebahagiaan, kehormatan, keagungan sempurna, dan tetap bersatu-padu tanpa pertikaian dan persengketaan; tidak dihinakan dan diremehkan. [10]
17. Mereka meyakini –atas dasar argumen akal dan teks keagamaan yang banyak dibahas dalam buku-buku akidah– kewajiban untuk mengikuti Ahlulbait dan berjalan di atas jalur mereka. Ini dikarenakan jalur Ahlulbait adalah jalan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw bagi segenap umatnya. Dalam sebuah wasiatnya, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk melalui jalan itu dan konsisten di atasnya. Ini sebagaimana tercantum dalam
hadis mutawatir “al-Tsaqalain”, di mana Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya kutinggalkan bagi kalian dua hal yang besar (yaitu) kitab Allah (al-Quran) dan keturunanku dari Ahlulbait. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya kalian tiada akan pernah tersesat untuk selamanya.”
Hadis di atas dapat di jumpai dalam kitab Shahih Muslim dan puluhan kitab perawi hadis lainnya, juga karya para ulama di setiap abad. [11]
Wasiat dan peninggalan semacam ini merupakan hal biasa dalam kehidupan para nabi terdahulu. [12]
18. Pengikut Syiah Ja’fariyah meyakini, selayaknya segenap umat Islam meneliti dan mempelajari tentang hal itu, tanpa didasari celaan, cacian, pengaburan, sangkaan, dan pengacauan. Hendaknya segenap ulama dan intelektual dari berbagai golongan dan mazhab Islam berkumpul untuk mengadakan seminar dan muktamar ilmiah, guna mempelajari dan meneliti –dengan penuh keikhlasan dan persaudaraan– topik-topik bahasan tertentu yang diyakini oleh saudara mereka dari golongan Syiah Ja’fariyah. Yaitu, argumen yang sesuai dengan apa yang telah mereka jadikan tumpuan, baik yang bersumber dari al-Quran, sunnah yang sahih, akal sehat, bukti sejarah, serta peristiwa politik dan sosial secara umum, yang terjadi pada zaman kehidupan Rasul saw ataupun setelahnya.
19. Kaum Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa para sahabat adalah pribadi yang hidup di sekitar Rasulullah saw, baik dari kalangan lelaki maupun perempuan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang berkhidmat kepada Islam.
Mereka berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raga demi tersebar dan tegaknya agama Islam. Selayaknya apabila segenap kaum muslimin memuliakan mereka, memberikan penghargaan atas segala khidmat yang mereka lakukan, dan meridhai apa yang mereka kerjakan.
Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa mereka semua –tanpa kecuali– memiliki keadilan (udul), yang menyebabkan setiap posisi dan prilaku mereka tak layak untuk dikritik. Alasannya, para sahabat Nabi saw adalah manusia biasa yang, selain dapat melakukan kebenaran, juga dapat melakukan kesalahan. Sejarah telah mencatat, sebagian di antara mereka telah menyimpang dari jalan (yang semestinya), walaupun kehidupan mereka semasa dengan kehidupan Rasulullah saw. Bahkan al-Quran sendiri menerangkan secara gamblang peristiwa tersebut dalam berbagai surat dan ayatnya, sebagaimana tercantum dalam surat al-Munafiqûn, al-Ahzab, al-Hujurât, at-Tahrîm, al-Fath, Muhammad, dan al-Taubah.
Kritis atas kinerja mereka tidaklah membawa konsekuensi pengafiran atas diri mereka. Sebab, tolok ukur iman dan kafir (dalam Islam) telah sangat jelas, yaitu penafian atas ketuhanan (tauhid), kenabian (risalah), atau kejelasan ajaran agama (dharuriyat al-din), seperti kewajiban shalat, puasa, haji, atau hukum haram atas minuman keras, judi, dan sebagainya.
Memang, kita harus menjaga lisan dari celaan dan cacian. Sebagaimana kita harus pula menjaga pena dari menuliskan hal-hal yang tidak layak. Sebab, semua itu bertentangan dengan etika dan kepribadian seorang muslim yang menjadi pengikut etika Rasulullah Muhammad saw. Padahal, dapat kita telaah, banyak di antara kalangan sahabat Rasul saw yang termasuk dalam kategori manusia salih, baik, dan layak untuk dihormati dan dimuliakan.
Karena itu, para sahabat harus diuji berdasarkan kaidah-kaidah penyaringan kepribadian (al-jarh wa al-ta’dil) guna menentukan hadis Nabi saw yang sahih dan dapat dipegangi. Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat pelbagai macam kebohongan dan hal yang diada-adakan atas nama Rasulullah saw. Peristiwa semacam ini telah diberitahukan sendiri oleh baginda Rasulullah saw dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ulama-ulama dari kalangan, Ahlussunnah maupun Syiah, seperti al-Suyuthi, Ibn Jauzi, dan yang lain yang telah mengarang kitab-kitab yang membedakan antara hadis yang benar-benar bersumber dari
Rasul saw ataupun hadis-hadis buatan yang hanya dinisbatkan kepada Rasul saw.
20. Golongan Syiah Ja’fariyah meyakini keberadaan Imam al-Mahdi al-Muntadzar. Ini
berdasarkan banyak sekali riwayat yang ada. Berbagai hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw menjelaskan bahwa beliau (al-Mahdi) adalah keturunan Fathimah al-Zahra as. Beliau adalah cucu kesembilan dari Imam Husain bin Ali as. Cucu kedelapan Imam Husain as, yaitu Imam Hasan al-‘Askari, telah meninggal dunia pada tahun 260 Hijriah dan tidak memiliki anak lain kecuali hanya seorang putra. Putra beliau ini diberi nama Muhammad. Dan beliau inilah Imam al-Mahdi, yang memiliki julukan (kunyah) Abu al-Qasim. [13]
Sekelompok perawi yang dapat dipercaya (tsuqat) menyaksikan dan mengabarkan akan kelahiran, keistimewaan, imamah (kepemimpinan), dan keberadaan hujjah agama, yang bersumber dari ayahnya serta menjadi penguat posisinya. Beliau menghilang dari pandangan mata lahiriah semenjak berusia lima tahun. Ini terjadi, selain dikarenakan para musuh Islam ingin membunuh dan berkehendak untuk menyembunyikannya, agar beliau kelak dapat menegakkan pemerintahan Islam yang keadilannya menyeluruh di akhir zaman. Sehingga, bumi ini menjadi bersih dari segala kezaliman dan kefasadan, setelah sebelumnya dipenuhi oleh keduanya.
Bukan hal yang mengherankan, bahkan tidak ada alasan untuk heran, jika kita melihat panjangnya umur beliau. Al-Quran telah menjelaskan bahwa Isa al-Masih as masih tetap hidup hingga sekarang ini, padahal beliau telah melalui masa lebih dari 2000 tahun sejak ke lahirannya. Nabi Nuh as telah hidup di tengah-tengah umatnya selama 950 tahun serta menyeru mereka agar beribadah kepada Allah Swt. Nabi Hidhir as pun sampai detik ini diyakini masih menjalani kehidupannya.
Allah Swt Mahamampu atas segala sesuatu. Tiada yang dapat menahan dan menolak kehendak-Nya. Bukankah Allah Swt pernah berfirman, berkenaan dengan Nabi Yunus as,dengan ungkapan:
1. Mazhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariah, yang juga dikenal dengan sebutan Mazhab Ja’fary, sekarang ini tergolong sebagai mazhab yang besar dalam jajaran kaum muslimin dan memiliki banyak pengikut. Diperkirakan, jumlah mereka kurang lebih seperempat dari jumlah seluruh kaum muslimin. Sejarah kemunculan mazhab ini memiliki akar yang panjang, yang bermula dari awal kemunculan Islam. Kemunculan mazhab ini bersamaan dengan turunnya firman Allah Swt dalam surat al-Bayyinah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka adalah sebaik-baik penghuni bumi. (al-Bayyinah: 7)
Sewaktu ayat ini turun, Rasulullah saw kemudian meletakkan tangan mulia beliau ke pundak Ali bin Abi Thalib as seraya bersabda,
“Wahai Ali, Engkau dan Syiah (pengikut)mu adalah sebaik-baik penghuni bumi.”
Pada saat kejadian itu berlangsung, banyak sahabat Rasul saw ikut hadir di tempat itu dan menyaksikannya.[1]
Semenjak saat itulah kelompok tersebut –yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far al-Shadiq karena mengikuti fikih beliau– disebut dengan Syiah.
2. Pengikut mazhab ini dapat dijumpai dengan jumlah yang sangat besar di beberapa negara seperti Iran, Irak, Pakistan, dan India. Mereka tersebar dengan jumlah yang tak sedikit pula di berbagai negara Teluk Persia, Turki, Suriah, Libanon, Rusia, dan negara-negara pecahan (bekas) Uni Soviet. Mereka pun tersebar di negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Prancis. Keberadaan mereka juga dapat dijumpai di Benua Amerika, Benua Afrika, dan negara-negara Asia Timur. Di negara-negara tersebut, mereka mendirikan banyak masjid, pusat-pusat kajian ilmiah, budaya, dan sosial.
3. Para pengikut mazhab ini terdiri dari ber-bagai macam kewarganegaraan, keturunan, bahasa, dan warna kulit. Mereka hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka sesama muslim dari berbagai kelompok dan mazhab, dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Mereka saling menolong dalam setiap kesempatan dan persoalan, dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Semua itu didasari atas firman Allah Swt:
Sesungguhnya (sesama) orang-orang beriman adalah bersaudara. (al-Hujurat: 10)
Juga firman Allah:
Dan saling tolong-menolonglah dalam perbuatan baik dan ketakwaan. (al-Maidah: 2)
Dan sabda Rasulullah saw,
Orang-orang mukmin bagaikan satu jasad.” [2]
4. Sepanjang sejarah, para pengikut Mazhab Ja’fari menempati posisi yang amat mulia dan memukau dalam usaha membela Islam dan umat muslim. Sebagaimana mereka pernah memiliki beberapa pemerintahan dan negara yang digunakan untuk berkhidmat demi perkembangan budaya Islam, mereka juga memiliki banyak sekali ulama yang sangat berperan dalam memperkaya khasanah peninggalan Islam dengan menulis ratusan ribu karya tulis, baik kitab yang berukuran besar maupun kecil, dalam berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir al-Quran, hadis, akidah, fikih, ushul fikih, akhlak, pengenalan dan klasifikasi haclis (dirayah al-hadis), pengenalan atas perawi hasis (ilmu rijal), filsafat, tata negara dan sosial kemasyarakatan, bahasa dan sastra, hingga disiplin ilmu kedokteran, fisika, kimia, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam lainnya. Mereka juga memiliki peran amat penting dalam penemuan dan berdirinya banyak lagi disiplin ilmu lain. [3]
5. Mereka meyakini bahwa Allah Swt adalah Zat yang Tunggal dan Esa. Dialah tempat bergantung yang tiada beranak dan tiada pula dianakkan. Tiada satu pun kesetaraan bagi-Nya. Mereka menjauhkan dari Allah Swt kepemilikan akan bentuk (jism), arah, tempat, waktu, perubahan, gerak, naik, turun, dan segala atribut yang tak layak disifatkan kepada Allah Swt, Zat yang Mahasuci, Sempurna, dan Indah.
Mereka juga meyakini bahwa Allah Swt adalah satu-satunya yang layak untuk disembah. Mereka yakin, segala hukum dan perundang-undangan haruslah bersumber dan bertumpu pada kebijakan Ilahi. Mereka pun yakin bahwa segala bentuk penyekutuan terhadap Allah Swt (syirik) –baik terang-terangan (jali) maupun tersembunyi (khafi)– merupakan sebentuk kezaliman teramat besar dan termasuk dosa besar yang tak terampuni.
Mereka mengambil semua (dasar) keyakinannya dari akal sehat yang sesuai dengan al-Quran dan hadis yang dijamin kesahihannya, dari mana pun sumbernya.
Kaum Syi’ah tiada mengambil keyakinan mereka dari hadis-hadis israiliyat (pengaruh ajaran Taurat dan Injil yang tidak lagi otentik) atau ajaran Majusi (Zoroaster) yang meyakini bahwa Allah Swt memiliki bentuk sebagaimana manusia (anthro-pomorphisme) dan menyamakan Allah Swt dengan makhluk, makhluk-Nya, seperti menyifati-Nya pernah berbuat lalai, zalim, sia-sia, dan sebagainya. Mahasuci Allah Swt atas segala yang mereka (kaum musyrik) sifatkan. Sebagaimana, mereka juga menyanclarkan dosa-dosa besar dan bermacam-macam keburukan kepada para nabi yang secara mutlak terjaga (maksum) dan suci dari segala perbuatan buruk.
6. Mereka meyakini bahwa Allah Swt Mahaadil dan Bijak, Pencipta segala sesuatu atas dasar keadilan dan hikmah; tiada mencipta apapun dengan kesia-siaan, baik benda mati, tanaman, hewan, manusia, langit, maupun bumi. Itu dikarenakan segala perbuatan sia-sia bertentangan dengan keadilan dan hikmah. Oleh karena itu, melakukan pekerjaan sia-sia bertentangan dengan-sifat ketuhanan. Sebab “menyifati” Tuhan dapat diartikan sebagai menetapkan segala bentuk kesempurnaan bagi Allah Swt dan menjauhkan segala macam kekurangan dari-Nya.
7. Kaum Syiah, meyakini bahwa Allah Swt –atas dasar keadilan dan hikmah-Nya– telah mengutus para nabi dan rasul bagi segenap umat manusia, semenjak awal penciptaan Adam di mukabumi. Mereka yakin, para nabi dan rasul memiliki sifat keterjagaan dari salah dan dosa (ma’sum) dan dibekali dengan ilmu yang luas, melalui anugrah khusus –berupa wahyu– dari Allah Swt. Semua itu, untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, dan sebagai sarana untuk membantunya agar dapat mencapai kesempurnaan sebagai tujuan akhirnya. Juga, sebagai pembimbing menuju ketaatan yang dapat menghantarkan manusia pada kenikmatan surgawi serta beroleh anugrah rahmat dan ridha Allah.
Dari sekian banyak para nabi dan rasul, terdapat beberapa individu yang lebih menonjol ketimbang yang lain. Mereka adalah Adam, Nuh, Ibrahim, Isa, Musa, dan nama-nama lain yang tercantum dalam al-Quran, ataupun hadis Nabi saw.
8. Mereka meyakini bahwa barangsiapa menaati Allah Swt dengan melaksanakan segala perintah dan perundang-undangan-Nya dalam segenap aspek kehidupan, niscaya akan selamat dan sentosa. Pribadi semacam itu akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah Swt, walaupun dia seorang budak hitam (yang dianggap hina). Sebaliknya, barangsiapa bermaksiat kepada Allah Swt, bersikap masa bodoh terhadap perintah-perintah-Nya, mempraktikkan selain hukum-Nya, niscaya akan merugi dan celaka. Pribadi semacam itu meski dia seorang bangsawan terhormat. Semua itu telah disebutkan dalam hadis-hadis sahih dari Nabi saw.
Mereka juga meyakini, bahwa waktu untuk menerima pahala dan siksa adalah pada hari kiamat kelak. Di sanalah akan terjadi proses penghitungan, penimbangan atas beban baik dan buruk, serta balasan surga dan neraka. Semua itu terjadi setelah berlalunya alam kubur (barzakh).
Adapun atas keyakinan tentang reinkarnasi (tanasukh) yang dianut oleh para pengingkar hari kiamat, maka para pengikut Mazhab Syiah dengan tegas menolak keyakinan tersebut dengan dalil bahwa itu bertentangan dengan al-Quran dan sunah Rasul saw.
9. Mereka yakin bahwa akhir dan penutup segenap nabi dan rasul adalah Rasulullah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib saw, nabi dan rasul yang paling utama dari sekian banyak nabi dan rasul. Beliau telah dijaga oleh Allab Swt dari segala bentuk kesalahan dan dosa, baik yang berkait dengan persoalan penyampaian risalah (tabligh) maupun selainnya. Beliau terjaga dari
dosa kecil maupun besar, baik sebelum pengangkatan menjadi nabi maupun setelahnya. Kepada beliau, diturunkan al-Quran sebagai panduan hidup bagi seluruh umat manusia untuk selamanya. Beliau pun telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat dengan penuh kejujuran dan keikhlasan, juga melaksanakan tugas di jalan tersebut tanpa pandang-bulu.
Dalam mencatat sejarah hidup, kepribadian, keadaan, keistimewaan, dan mukjizat Rasulullah saw, kaum Syiah menulis puluhan karya tulis dan pembahasan ilmiah. [4]
10. Mereka meyakini bahwa al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui malaikat Jibril as. Kemudian kitab suci itu dikumpulkan oleh beberapa sahabat besar Rasul saw, khususnya Ali bin Abi Thalib as, semenjak masa hidup Rasulullah saw. Proses penulisan tersebut berada di bawah perintah, bimbingan, dan pantauan Rasulullah saw.
Para sahabat itu kemudian menjaga, menghafal, mencermati setiap huruf, kalimat, ayat, dan suratnya dengan teliti. Lantas, nlereka mewariskan-nya secara turun-temurun kepada setiap generasi, hingga generasi kaum muslimin sekarang ini. Al-Quran itulah yang sampai detik ini dibaca oleh segenap kaum muslimin dari berbagai kalangan dan mazhab, siang dan malam. Al-Quran yang tiada perubahan di dalamnya, baik pengurangan maupun penambahan. Kaum Syiah, sekaitan dengan penetapan hal ini, menghasilkan banyak sekali karya tulis, baik yang ditulis secara ringkas maupun mendetail dan luas.
11. Mereka meyakini bahwa sewaktu mendekati wafatnya, Rasulullah saw mengangkat Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah dan imam bagi segenap kaum muslimin sepeninggal beliau, sebagai pemimpin umat dalam bidang politik, pembimbing umat dalam bidang pemikiran, penyelesai setiap kendala umat, dan pelanjut dalam mendidik dan mensucikan umat Muhammad. Semua itu dilakukan karena perintah dari Allah Swt yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw di tempat yang terkenal dengan sebutan Ghadir Khum. Peristiwa itu terjadi pada tahun terakhir masa hidup Rasulullah saw dan seusai melaksanakan haji terakhir (haji wada’) dari sekian haji yang pernah beliau taksanakan.
Saat itu, berkumpul banyak sekali sahabat yang sebelumnya turut serta dalam ibadah haji bersama beliau. Dalam riwayat dikabarkan bahwa yang ikut serta dalam perkumpulan itu –sebagaimana yang dinukil dalam riwayat yang ada– berjumlah tidak kurang dari seratus ribu sahabat. Dalam peristiwa bersejarah tersebut diturunkan beberapa ayat yang berkenaan dengan momentum itu. [5]
Sebagaimana Rasulullah saw menyuruh hadirin untuk membaiat Ali as dengan berjabat tangan, saat itu para hadirin pun mulai berjabat tangan satu demi satu, di mulai dari para pemuka Muhajirin dan Anshar, juga para pembesar sahabat lainnya. [6]
Lihat kembali kitab al-Ghadir karya Allamah al-Amini yang merupakan kumpulan dari berbagai kitab-kitab rujukan kaum muslimin, baik yang berkait dengan kitab tafsir maupun sejarah.
12. Mereka meyakini bahwa imam –sepeninggal Rasulullah saw– memikul tugas sebagaimana tugas yang diemban Rasulullah saw. Seperti halnya, Rasul saw, imam bertugas sebagai pemimpin, pemberi petunjuk, pendidik, pengajar, penjelas hukum, penuntas segala kendala kesalahan berpikir, dan penyelesai atas perkara penting berkait dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Pribadi seorang imam dan khalifah Rasul saw harus memiliki segala hal (kualifikasi) yang menyebabkan segenap umat mempercayainya. Ini diperlukan karena dia berfungsi sebagai penyelamat umat manusia menuju keselamatan abadi.
Seorang imam juga harus memiiiki keahlian dan sifat-sifat yang dimiliki Rasul saw (seperti kemaksuman dan ilmu yang luas). Semua itu dikarenakan seorang imam adalah penerus Rasul saw dalam melakukan perbaikan dan memenuhi tanggung jawab. Semua tugas dan tanggung jawab imam sama persis dengan tugas dan tanggung jawab Rasul saw, kecuali dalam hal penerimaan wahyu dan kenabian. Lantaran kenabian ditutup dengan diutusnya Muhammad saw, maka beliau merupakan penutup para nabi dan rasul. Konsekuensinya, agama yang dibawa beliau adalah penutup semua agama, syariat beliau adalah akhir segala syariat, kitab suci yang beliau bawa adalah pamungkas semua kitab suci. Tiada nabi setelah beliau, tiada agama setelah agama beliau, tiada lagi syariat yang bakal datang setelah syariat yang dibawa beliau. Berkait dengan persoalan di atas, kaum Syiah memiliki banyak sekali karya-karya (tulis) dengan kapasitas dan metode yang beragam.
13. Mereka meyakini bahwa kebutuhan umat akan kepala dan pemimpin yang mampu memberi petunjuk serya dijamin terjaga dari dosa (maksum) bukan hanya sebatas pada pengangkatan Imam Ali as sebagai khalifah dan imam pasca Rasulullah saw. Namun, mereka meyakini keharusan adanya kesinambungan mata-rantai kepemimpinan hingga masa yang panjang. Batas mata-rantai kepemimpinan tersebut adalah terealisasinya pemancangan akar Islam secara kuat, asas-asas syariat tiada lagi terabaikan, dan pilar-pilar agama terjaga dengan baik. Selama ini, pihak-pihak tertentu selalu mengusik dan mengancam setiap ajaran akidah Ilahi dan konsep spiritual (Rubbani) yang pernah muncul dipermukaan. Sebagian di antara para
imam –yang telah mempraktikkan beberapa konsep dengan bermacam situasi yang ada– telah memberikan contoh praktis dan berbagai program yang sesuai dengan segala situasi dan kondisi yang ada. Dari sini, umat Islam kelak akan mampu mempraktikkannya.
14. Mereka meyakini bahwa atas dasar hal-hal di atas (keyakinan pada poin 13) dan atas dasar hikmah yang luhur serta berdasarkan perintall Allah Swt, maka Nabi Muhammad bin Abdillah saw menetapkan 11 imam setelah Imam Ali as. Para imam yang seluruhnya berjumlah 12 orang itu telah diisyaratkan jumlah individu dan suku (kabilah)nya, yang semuanya berasal dari suku Quraisy, sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukbari dan Shahih Muslim dengan redaksi yang beragam. Seperti yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw,
“Sesungguhnya agama tetap akan berjalan (tegak, mulia, terjaga) selama pada mereka terdapat 12 penguasa atau khalifah yang semuanya dari (suku) Quraisy.”
Dalam sebagian kitab tercantum kata “Bani Hasyim” (sebagai ganti kata Quraisy–penerj.). Dalam beberapa kitab –di luar kitab-kitab Shahih (Bukhari dan lain-lain) yang ada– selain disebutkan keutamaan (fadha’il), kemuliaan (manaqib), syair, dan sastra (adab) tentang mereka, juga disebutkan secara terperinci nama-nama mereka.
Walaupun hadis-hadis itu tidak menunjuk (misalnya) pada 12 imam –yaitu Ali as dan 11 keturunan beliau– namun hadis-hadis tersebut tidak mungkin diterapkan kecuali sesuai dengan keyakinan Syiah Ja’fariyah (Itsna ‘Asyariyah). Tiada penafsiran dan penerapan yang benar dan sesuai, kecuali sebagaimana keyakinan mereka. [7]
15. Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa ke-12 imam itu adalah:
Imam Ali bin Abi Thalib as (sepupu sekaligus menantu Rasulullah saw karena pernikahannya dengan Sayyidah Fathimah al-Zahra as).
Imam Hasan as dan Imam Husain as (keduanya putra hasil penikahan Ali as dan Fathimah as, cucu Rasulullah saw)
Imam Ali Zainal Abidin bin Husain as (bergelar al-Sajjad).
Imam Muhammad bin Ali as (bergelar al-Bagir).
Imam Ja’far bin Muhammad as (bergelar al-Shadiq).
Imam Musa bin Ja’far as (bergelar al-Kadzim).
Imam Ali bin Musa as (bergelar al-Ridha).
Imam Muhammad bin Ali as (bergelar al-Jawad al-Taqi).
Imam Ali bin Muhammad as (bergelar al-Hadi al-Naqi).
Imam Hasan bin Ali as (bergelar al-‘Askari).
Imam Muhammad bin Hasan af (bergelar al-Mahdi al-Mau’ud al-Muntazar). [8]
Mereka adalah Ahlulbait yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw –sesuai dengan perintah Allah Swt– sebagai pemimpin bagi segenap umat Islam. Dikarenakan keterjagaan dan kesucian mereka dari berbagai kesalahan
dan dosa, juga lantaran mereka memiliki ilmu sangat luas, yang telah diwariskan dari Datuk
suci mereka, maka kita diperintahkan untuk mencintai dan menaati mereka. [9] Ini sesuai dengan firman Allah Swt:
Katakanlah (wahai Muhammad), “Aku tiada meminta (atas segala yang kukerjakan) upah apapun (dari kalian) kecuali berbuat baik terhadap keluarga (ku).”(al-Syura: 23)
Dan ayat:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya kalian bersama orang-orang yang benar. (al-Taubah: 119)
16. Para pengikut Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa para imam suci yang dalam sejarah tidak pernah tercatat melakukan salah dan dosa –baik yang berkait dengan ucapan maupun perbuatan– telah berkhidmat untuk umat Islam. Dengan bekal ilmu yang luas tak bertepi, mereka telah memperkaya khazanah kebudayaan umat dengan pengetahuan yang dalam, pandangan yang sahih dalam bidang akidah, hukum (syariat), akhlak, adab, tafsir, sejarah, hingga persoalan dalam cara menatap
masa depan. Umat telah dididik oleh para imam itu dengan lisan maupun perbuatannya, sehingga banyak pribadi terpuji yang telah menilai secara objektif –baik dari kalangan lelaki maupun perempuan– dan telah mengakui keutamaan pribadi, ketinggian ilmu, dan adiluhungnya akhlak para imam itu.
Walaupun telah menjauhkan para imam dari kedudukan sebagai pemimpin politik, namun mereka (yang menilai secara objektif itu) turut merasakan pengaruh positif ajaran para imam dari sisi pemikiran dan sosial. Mereka pun turut menjaga fondasi-fondasi akidah serta pilar-pilar syariat dari segala macam marabahaya.
Jika saja umat Islam memberikan kesempatan kepada para imam itu untuk mempraktikkan peran politik yang diamanatkan Rasulullah saw kepada setiap imam atas perintah Allah Swt, niscaya umat Islam akan beroleh kebahagiaan, kehormatan, keagungan sempurna, dan tetap bersatu-padu tanpa pertikaian dan persengketaan; tidak dihinakan dan diremehkan. [10]
17. Mereka meyakini –atas dasar argumen akal dan teks keagamaan yang banyak dibahas dalam buku-buku akidah– kewajiban untuk mengikuti Ahlulbait dan berjalan di atas jalur mereka. Ini dikarenakan jalur Ahlulbait adalah jalan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw bagi segenap umatnya. Dalam sebuah wasiatnya, Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk melalui jalan itu dan konsisten di atasnya. Ini sebagaimana tercantum dalam
hadis mutawatir “al-Tsaqalain”, di mana Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya kutinggalkan bagi kalian dua hal yang besar (yaitu) kitab Allah (al-Quran) dan keturunanku dari Ahlulbait. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya kalian tiada akan pernah tersesat untuk selamanya.”
Hadis di atas dapat di jumpai dalam kitab Shahih Muslim dan puluhan kitab perawi hadis lainnya, juga karya para ulama di setiap abad. [11]
Wasiat dan peninggalan semacam ini merupakan hal biasa dalam kehidupan para nabi terdahulu. [12]
18. Pengikut Syiah Ja’fariyah meyakini, selayaknya segenap umat Islam meneliti dan mempelajari tentang hal itu, tanpa didasari celaan, cacian, pengaburan, sangkaan, dan pengacauan. Hendaknya segenap ulama dan intelektual dari berbagai golongan dan mazhab Islam berkumpul untuk mengadakan seminar dan muktamar ilmiah, guna mempelajari dan meneliti –dengan penuh keikhlasan dan persaudaraan– topik-topik bahasan tertentu yang diyakini oleh saudara mereka dari golongan Syiah Ja’fariyah. Yaitu, argumen yang sesuai dengan apa yang telah mereka jadikan tumpuan, baik yang bersumber dari al-Quran, sunnah yang sahih, akal sehat, bukti sejarah, serta peristiwa politik dan sosial secara umum, yang terjadi pada zaman kehidupan Rasul saw ataupun setelahnya.
19. Kaum Syiah Ja’fariyah meyakini bahwa para sahabat adalah pribadi yang hidup di sekitar Rasulullah saw, baik dari kalangan lelaki maupun perempuan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang berkhidmat kepada Islam.
Mereka berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raga demi tersebar dan tegaknya agama Islam. Selayaknya apabila segenap kaum muslimin memuliakan mereka, memberikan penghargaan atas segala khidmat yang mereka lakukan, dan meridhai apa yang mereka kerjakan.
Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa mereka semua –tanpa kecuali– memiliki keadilan (udul), yang menyebabkan setiap posisi dan prilaku mereka tak layak untuk dikritik. Alasannya, para sahabat Nabi saw adalah manusia biasa yang, selain dapat melakukan kebenaran, juga dapat melakukan kesalahan. Sejarah telah mencatat, sebagian di antara mereka telah menyimpang dari jalan (yang semestinya), walaupun kehidupan mereka semasa dengan kehidupan Rasulullah saw. Bahkan al-Quran sendiri menerangkan secara gamblang peristiwa tersebut dalam berbagai surat dan ayatnya, sebagaimana tercantum dalam surat al-Munafiqûn, al-Ahzab, al-Hujurât, at-Tahrîm, al-Fath, Muhammad, dan al-Taubah.
Kritis atas kinerja mereka tidaklah membawa konsekuensi pengafiran atas diri mereka. Sebab, tolok ukur iman dan kafir (dalam Islam) telah sangat jelas, yaitu penafian atas ketuhanan (tauhid), kenabian (risalah), atau kejelasan ajaran agama (dharuriyat al-din), seperti kewajiban shalat, puasa, haji, atau hukum haram atas minuman keras, judi, dan sebagainya.
Memang, kita harus menjaga lisan dari celaan dan cacian. Sebagaimana kita harus pula menjaga pena dari menuliskan hal-hal yang tidak layak. Sebab, semua itu bertentangan dengan etika dan kepribadian seorang muslim yang menjadi pengikut etika Rasulullah Muhammad saw. Padahal, dapat kita telaah, banyak di antara kalangan sahabat Rasul saw yang termasuk dalam kategori manusia salih, baik, dan layak untuk dihormati dan dimuliakan.
Karena itu, para sahabat harus diuji berdasarkan kaidah-kaidah penyaringan kepribadian (al-jarh wa al-ta’dil) guna menentukan hadis Nabi saw yang sahih dan dapat dipegangi. Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat pelbagai macam kebohongan dan hal yang diada-adakan atas nama Rasulullah saw. Peristiwa semacam ini telah diberitahukan sendiri oleh baginda Rasulullah saw dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ulama-ulama dari kalangan, Ahlussunnah maupun Syiah, seperti al-Suyuthi, Ibn Jauzi, dan yang lain yang telah mengarang kitab-kitab yang membedakan antara hadis yang benar-benar bersumber dari
Rasul saw ataupun hadis-hadis buatan yang hanya dinisbatkan kepada Rasul saw.
20. Golongan Syiah Ja’fariyah meyakini keberadaan Imam al-Mahdi al-Muntadzar. Ini
berdasarkan banyak sekali riwayat yang ada. Berbagai hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw menjelaskan bahwa beliau (al-Mahdi) adalah keturunan Fathimah al-Zahra as. Beliau adalah cucu kesembilan dari Imam Husain bin Ali as. Cucu kedelapan Imam Husain as, yaitu Imam Hasan al-‘Askari, telah meninggal dunia pada tahun 260 Hijriah dan tidak memiliki anak lain kecuali hanya seorang putra. Putra beliau ini diberi nama Muhammad. Dan beliau inilah Imam al-Mahdi, yang memiliki julukan (kunyah) Abu al-Qasim. [13]
Sekelompok perawi yang dapat dipercaya (tsuqat) menyaksikan dan mengabarkan akan kelahiran, keistimewaan, imamah (kepemimpinan), dan keberadaan hujjah agama, yang bersumber dari ayahnya serta menjadi penguat posisinya. Beliau menghilang dari pandangan mata lahiriah semenjak berusia lima tahun. Ini terjadi, selain dikarenakan para musuh Islam ingin membunuh dan berkehendak untuk menyembunyikannya, agar beliau kelak dapat menegakkan pemerintahan Islam yang keadilannya menyeluruh di akhir zaman. Sehingga, bumi ini menjadi bersih dari segala kezaliman dan kefasadan, setelah sebelumnya dipenuhi oleh keduanya.
Bukan hal yang mengherankan, bahkan tidak ada alasan untuk heran, jika kita melihat panjangnya umur beliau. Al-Quran telah menjelaskan bahwa Isa al-Masih as masih tetap hidup hingga sekarang ini, padahal beliau telah melalui masa lebih dari 2000 tahun sejak ke lahirannya. Nabi Nuh as telah hidup di tengah-tengah umatnya selama 950 tahun serta menyeru mereka agar beribadah kepada Allah Swt. Nabi Hidhir as pun sampai detik ini diyakini masih menjalani kehidupannya.
Allah Swt Mahamampu atas segala sesuatu. Tiada yang dapat menahan dan menolak kehendak-Nya. Bukankah Allah Swt pernah berfirman, berkenaan dengan Nabi Yunus as,dengan ungkapan:
فلو لا انه کان من المسبحين للبث في بطن الي يوم يبعثون
Jika dia bukan termasuk orang yang suka bertasbih, niscaya akan tinggal dalam perutnya sampai hari kebangkitan kelak. (al-Shaffaat: 143-144)
Banyak kalangan ulama Ahlussunnah yang menyatakan keberadaan Imam al-Mahdi af. Mereka juga menyebutkan nama ayah dan sifat-sifat yang beliau miliki, seperti:
1. Abdul Mukmin al-Sablanji yang bermazhab Syafi’i, dalam karya beliau yang berjudul Nur al-Abshar fi Manaqib Aali Bait al-Nabi al-Mukhtar.
2. Ibn Hajar al-Haitami al-Makki yang bermazhab Syafi’i dalam karya beliau yang berjudul al-Shawa’iq al-Muhriqah mengatakan, “Abu al-Qasim Muhammad al-Hujjah ditinggal wafat ayahnya pada usia lima tahun. Akan tetapi, Allah Swt memberinya hikmah sehingga dia disebut al-Qa’im al-Muntadzar.”
3. Al-Qanduzi al-Balkhi, yang bermazhab Hanafi, dalam karya beliau yang berjudul Yanabi’ al-Mawaddah, yang dicetak di Astanah, Turki, pada zaman kekhilafahan Utsmaniah.
4. Sayyid Muhammad Shiddiq Hasan al-Qanuji al-Bukhari dalam karya beliau yang berjudul Al-Idza’ah, Lama Kâna wa Mâ Yakunu baina Yadai al-Sa’ah.
Mereka termasuk contoh dari yang dikategorikan sebagai ulama terdahulu. Adapun contoh ulama kontemporer adalah Doktor Musthafa al-Rafi’i dalam karya beliau yang berjudul Islamuna. Beliau menjelaskan masalah kelahirannya dengan jelas dan panjang lebar, sekaligus menjawab semua pertanyaan dan sanggahan berkait dengan hal tersebut.
21. Para pengikut Syiah Ja’fariyah juga melaksanakan shalat, berpuasa, membayar zakat dan khumus. Mereka juga menunaikan haji ke Baitullah al-Haram di kota suci Mekah. Mereka meyakini akan kewajiban menunaikan umrah dan haji sekali seumur hidup, dan menyunahkannya jika dilaksanakan lebih dari sekali. Mereka juga melaksanakan amar makruf nahi munkar, mencintai dan mengikuti (ber-wilâyah) terhadap para kekasih Ilahi dan kekasih Rasul-Nya, serta berlepas diri dari para musuh Allah dan Rasul-Nya.
Mereka juga melaksanakan jihad di jalan Allall Swt atas orang-orang kafir dan penyekutu Allah (musyrik), yang dengan nyata menyatakan perang terhadap Islam ataupun penjajah umat Islam. Mereka juga melaksanakan segala kegiatan yang berkait dengan jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, perceraian, waris-mewaris, pendidikan, persusuan, berjilbab, dan sebagainya, sesuai dengan hukum syariat Islam sebagai agama yang lurus. Mereka mendapatkan. Hukum-hukum syariat tersebut melalui jalur ijtihad (usaha penggalian dasar hukum dari sumber-sumber agama oleh seorang mujtahid–penerj.) yang dilakukan oleh para pakar hukum syariat Islam (fuqaha’),
yang memiliki ketakwaan dan keterjagaan (wara’) yang tinggi. Ijtihad mereka dilandaskan pada al-Quran, sunah Rasul saw yang sahih, hadis-hadis Ahlulbait yang dapat dipegang (tsabit), akal sehat, serta konsensus para ulama (ijma’).
22. Mereka meyakini bahwa setiap shalat fardhu (shalat wajib yang dilaksanakan lima kali dalam sehari–penerj.) memiliki waktu-waktu yang telah ditentukan. Waktu-waktu shalat harian itu lima macam: waktu fajar, waktu zuhur, waktu asar, waktu maghrib, dan waktu isya. Yang paling utama (afdhal) dalam pelaksanaannya adalah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan secara khusus. Akan tetapi, mereka biasa melaksanakannya dengan cara menggabungkan antara zuhur dengan asar, atau antara maghrib dengan isya. Ini berdasarkan (fakta) bahwa Rasulullah saw pernah menggabungkan antara dua shalat tanpa adanya halangan (uzur), sakit, badai, ataupun dalam keadaan bepergian –seperti hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim dan
selainnya– sebagai tanda dispensasi, mempermudah, dan meringankan beban umat Islam. Dan ini merupakan perkara yang dapat diterima, apalagi dalam situasi zaman seperti sekarang ini.
23. Mereka melantunkan azan, sebagaimana kaum muslimin melantunkannya. Akan tetapi, setelah kalimat:
Marilah menuju kebahagiaan
Mereka menambahkannya dengan kalimat:
Marilah melakukan sebaik-baik pekerjaan
Dikarenakan Rasulullah saw telah mengajarkan dan melakukan hal tersebut. Akan tetapi, lantaran ijtihad Umar bin Khattab, kaiimat itu dihapuskan. Ini diiakukannya dengan alasan bahwa jika kaum muslimin tahu bahwa shalat adalah sebaik-baik perbuatan, niscaya mereka akan lari dan meninggalkan jihad (sebagaimana ditegaskan Allamah al-Qausaji yang bermazhab Asyariyah dalam kitab Syarh al-Tajrid al-I’tiqad, juga sebagaimana tercantum dalam al-Mushannaf karya al-Kindi, kitab Kanz al-Ummal karya Muttaqi al-Hindi, dan kitab-kitab lainnya). Sebagaimana, ijtihad Umar bin Khattablah tambahan kalimat:
Shalat lebih baik dari tidur
padahal ungkapan itu tidak pernah ada pada masa Rasulullah saw. [14]
Islam mengajarkan bahwa semua jenis ibadah beserta mukadimahnya bergantung pada perintah dan izin dari Pemilik Syariat (Allah Swt). Dengan kata lain, segala bentuk peribadatan harus bersandar pada teks keagamaan (nash) –baik yang menunjukkan arti secara Umum maupun khusus– yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunah. Jika tidak ada dasar hukumnya, maka hal itu termasuk katregori bid’ah yang dilarang dan sang pelaku akan mendapatkan celaan dari agama. Oleh karena itu, semua orang dilarang keras menambah dan mengurangi (semua aspek) dalam peribadahan berdasarkan pendapat pribadi (bi al-ra’yi), bahkan segala hal yang berkait dengan syariat.
Adapun tambahan yang dilakukan oleh Syiah Ja’fariyah setelah kalimat:
“Asyhadu annâ muhammadan rasûlullâh” Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan (rasul) Allah
dengan kalimat:
Asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullâh
Aku bersaksi bahwa Ali adalah kekaslh (Wali) Allah
Itu atas dasar beberapa riwayat yang bersumber dari Rasulullah saw dan keluarga suci beliau yang menyatakan, tiada disebut kata: dârrasûlullâh, atau tiada tertulis di atas pintu surga, kecuali dilanjutkan dan digabungkan dengan kata: ‘Aliy waliyullah. Kalimat ini juga menjadi bukti bahwa Syiah tidak meyakini kenabian Ali as, apalagi meyakini ketuhanan beliau, na’uzubillahi min dzalik.
Karenanya, diperbolehkan untuk menyebutkan itu seusai membaca dua kalimat syahadat, dengan niat “pengharapan” (raja’an) kepada Allah Swt agar hal tersebut diterima di sisi-Nya. Bukan dengan niat bahwa hal itu adalah bagian –apalagi memasukkannya dalam kategori wajib– dari azan. Ini sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas mutlak para pakar fikih dari golongan syiah al-Imamiyah al- Ja’fariyah.
Lantaran tambahan tersebut tidak diniatkan sebagai bagian dari azan –sebagaimana yang telah disinggung– maka tambahan tersebut tidak termasuk ke dalam kategori sesuatu yang tidak memiliki dasar hukum (lâ ashla lahu) yang dapat menyebabkannya termasuk dalam kategori bid’ah.
24. Mereka bersujud di atas tanah (permukaan bumi), batu, pasir, atau bagian bumi yang lain, semisal tumbuhan, dan bukan karpet, kain, bahan makanan, atau perhiasan. Semua itu berdasarkan banyak riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab pedoman Ahlussunah maupun Syiah.
Hadis-hadis itu menyatakan bahwa Rasulullah saw selalu terlihat membiasakan diri untuk sujud di atas pasir ataupun tanah, bahkan selalu memerintahkan umatnya melakukan hal yang serupa. Atas dasar itulah,
suatu saat, Bilal al-Habsyi sujud pada ujung serbannya untuk menghindari panas yang membakar. Melihat hal tersebut, tangan suci Rasulullah saw menarik serban Bilal dari keningnya sembari bersabda, “Tempelkan keningmu di atas tanah, wahai Bilal.” Sabda Rasulullah saw itu juga pernah ditujukan kepada Shuhaib dan Ribah. [15]
Di dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda,
“Bumi dijadikan bagiku sebagai tempat sujud dan bersuci.”
Sebab, meletakkan dahi di tanah saat bersujud merupakan bentuk terbaik sujud di hadapan Allah Swt. Dengan begitu, akan lebih
dekat pada khusyuk dan rendah-diri di hadapan Allah Swt. Sebagaimana hal tersebut
juga akan mengingatkan manusia akan asal, muasal penciptaannya. Bukankah Allah Swt berfirman:
منها خلقناکم وفيها نعيدکم و منها نخرجکم تارة اخری
Darinya Kami ciptakan diri kalian, dan darinya Kami kembalikan diri kalian, serta darinya pulalah Kami kembalikan diri kalian sekali lagi. (Thaha: 55)
Ya, sujud merupakan puncak perwujudan dari perendahdirian. Sementara puncak ini tidak akan terealisasi dengan meletakkan dahi pada sajadah, permadani, kain, ataupun batu mulia. Puncak dari sikap merendahkan diri hanya akan terwujud dengan meletakkan bagian tubuh manusia yang paling dianggap mulia itu, yaitu dahi, di atas benda yang paling rendah, yaitu tanah. [16]
Tentu saja, tanah sebagai tempat sujud disyaratkan harus suci. Oleh karena itu, para pengikut Syiah selalu membawa potongan tanah yang telah dipadatkan sehingga selalu yakin akan kesuciannya. Terkadang, potongan tanah itu diambil dari tanah kota suci Karbala yang penuh berkah. Di tempat itulah Imam Husain bin Ali as, cucu mulia Rasulullah saw, mencapai kesyahidan, sehingga para Syiah pun mengambil berkah dari tempat mulia tersebut. Ini, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para sahabat; mereka mengambil bebatuan dari kota suci Mekah untuk digunakan dalam bersujud selama masa perjalanan berkah (tabarruk). [17]
Akan tetapi, para pengikut Syiah tidak terlalu berkeras untuk melakukan hat tersebut, sebagaimana mereka juga tidak selalu melakukan halt itu. Yang terpenting bagi mereka adalah sujud di atas pasir yang bersih lagi suci. Mereka pun melakukan sujud di atas lantai masjid Nabawi di kota suci Madinah dan Masjid al-Haram di kota suci Mekah tanpa perasaan ragu sedikit pun.
Semua itu dilakukan oleh para pengikut Syiah Imamiyah al-Ja’fariyah. Sebagaimana, mereka juga tidak meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) sewaktu melakukan shalat. Itu dikarenakan Nabi Muhammad saw tidak pernah mencontohkannya, apalagi melakukannya. Tidak ada teks keagamaan yang secara pasti dan jelas memerintahkan hal tersebut. Oleh karena itu, mazhab Maliki (dari kalangan Ahlussunnah) juga tidak melakukannya sewaktu mengerjakan shalat. [18]
25. Para pengikut Syiah Ja’fariyah melaksanakan wudu dengan cara membasuh tangan mereka dari siku hingga ke ujung jemari, bukan sebaliknya (dari ujung jari ke arah siku–penerj.). Itu dikarenakan mereka mengambil cara berwudu dari para imam Ahlulbait as; yang belajar dari kakek mereka Rasulullah saw. Tentu saja, mereka lebih mengetahui apa yang dilakukan kakek mereka ketimbang orang lain. Dahulu, Rasulullah saw melakukan hal serupa. Mereka menafsirkan huruf ‘ala yang terdapat dalam ayat yang membahas perihal wudu[19] dengan arti ma’a (bersama). Penafsiran serupa juga dapat di lihat pada apa yang dilakukan oleh al-Syafi’i al-Shaghir dalam karya beliau yang berjudul Nihayah al-Muhtaj.
Sebagaimana, mereka mengusap kepala dan kaki, tetapi tidak membasuhnya, juga dengan dasar dan alasan yang sama. Abdullah bin Abbas pernah menjelaskan bahwa berwudu dilakukan dengan dua basuhan dan dua usapan; dua bagian yang harus dibasuh dan dua bagian yang harus diusap. [20]
26. Mereka meyakini diperbolehkannya nikah mut’ah (nikah sementara), sesuai dengan ayat
al-Quran:
Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka bayaran (ajr)nya. (al-Nisa’: 24)
Kaum muslimin juga telah melakukan hal
tersebut semasa hidup Rasulullah saw, sebagaimana para sahabat Rasul saw pun telah melakukannya hingga masa pertengahan kekhalifahan Umar bin Khattab. Ini termasuk kategori pernikahan yang legal (syar’i), di samping bentuk pernikahan permanen (da’im). Nikah mut’ah memiliki kesamaan dengan nikah biasa yang permanen, dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Wanita yang akan dinikahi bukan berstatus istri orang (tidak bersuami). Dan dalam pelaksanaan akad nikah-nya, ijab (kesediaan) adalah dari pihak perempuan dan kabul (penerimaan) adalah dari pihak lelaki.
2. Adanya keharusan (wujub) memberikan harta terhadap wanita tersebut; dalam nikah biasa dan permanen diistilahkan dengan mahar, Sedangkan dalam nikah mut’ah yang temporer diistilahkan dengan ajr.
3. Adanya keharusan (wujub) bagi wanita setelah selesai berpisah dengan suaminya untuk mengambil masa iddah (pembersihan pasca berpisahnya suami-istri–penerj.).
4. Adanya keharusan untuk mengambil masa iddah (bagi istri), keharusan bagi lelaki (suami) untuk memberikan nafkah kepada anak hasil hubungan pernikahan (mut’ah ataupun da’im), dan tidak diperkenankan (bagi wanita)untuk menikahi lebih dari satu orang.
5. Adanya hak waris anak atas bapaknya, juga anak atas ibunya, sebagaimana sebaliknya (ibu atau bapak mewarisi anaknya yang mati–penerj.).
Tetapi, letak perbedaan nikah da’im dengan nikah mut’ah adalah bahwa dalam nikah mut’ah terdapat penentuan tempo pernikahan, tidak ada kewajiban bagi seorang suami untuk memberikan nafkah kepada sang istri, tidak ada pembagian harta gono-gini, tidak ada saling mewarisi antara suami-istri, dan tidak memerlukan praktik perceraian dalam berpisahnya suami-istri, cukup dengan habisnya jangka waktu yang telah disepakati atau pemberian (hibah) sisa jangka waktu pemikahan –yang telah ditentukan sewaktu mengucapkan akad nikah– oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan.
Adapun hikmah di balik disyariatkannya
jenis pernikahan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual –baik perempuan maupun lelaki– dengan cara yang legal (masyru’) bagi siapa saja yang tidak atau belum mampu memenuhi semua tanggung jawab yang terdapat dalam pernikahan da’im. Atau, untuk
pribadi yang berhalangan melakukan hubungan suami-istri, mungkin dikarenakan sang istri meninggal dunia ataupun karena sebab lain. Sebagaimana, hal ini pun juga bermanfaat bagi kaum wanita. Tentu saja –pelaksanaan pernikahan jenis ini– harus dilatarbelakangi oleh keinginan untuk hidup mulia dan terhormat. Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa tujuan utama penghalalan nikah mut’ah adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan kendala kemasyarakatan yang membahayakan; untuk menjaga agar masyarakat Islam tidak terjerumus ke dalam jurang fasad (kerusakan) dan pelanggaran syariat Islam.
Terkadang nikah mut’ah juga digunakan sebagai sarana legal (sesuai dengan syariat Islam) untuk saling mengenal pra-pernikahan. [21] Ini untuk menghindarkan adanya hubungan dengan cara yang haram, perzinaan, pelampiasan libido dan penyaluran hasrat seksual dengan cara yang haram seperti onani dan masturbasi bagi pribadi yang tidak memiliki kesabaran[22] untuk beristri satu, atau bagi orang yang tidak memiliki kepandaian dalam mengatur keluarga –atau beristri lebih dari satu– baik dari sisi perekonomian dan ataupun kebutuhan keluarga, sementara di sisi lain dia tidak ingin terjerumus ke dalam perbuatan haram.
Singkat kata, penghalalan nikah jenis ini memiliki dasar dalam al-Quran dan al-Sunnah, dan sempat beberapa waktu lamanya dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw. Jikalau mut’ah termasuk dalam kategori perzinahan, maka hal ini membawa konsekuensi bahwa al-Quran, Nabi saw, beserta para sahabat Nabi saw telah menghalalkan zina dan sempat mempraktikkannya dalam jangka waktu yang cukup lama, naudzubillah min dzalik.
Sementara itu, argumen tentang penghapusan hukum (naskh) nikah tersebut tidak bersandarkan kepada al-Quran dan al-Sunnah, juga tidak terdapat argumen yang kuat dan jelas tentang pengharamannya.[23]
Walaupun Syiah Imamiyah Ja’fariyah meyakini legalitas dan penghalalan nikah mut’ah berdasarkan al-Quran maupun hadis, namun mereka tetap lebih mengutamakan pelaksanaan nikah da’im, karena di atas fondasi dasar inilah masyarakat yang kuat dan sehat akan terwujud. Mereka kurang memiliki kecenderungan untuk melaksanakan nikah temporer –yang dalam istilah syariat disebut nikah mut’ah– sekalipun dihalalkan dan legal.
Sebagai catatan, Syiah Imamiyah Ja’fariyah –berdasarkan ajaran al-Quran, al-Sunnah, maupun ajaran dan nasihat para imam suci Ahlul-bait as– sangat menghormati kedudukan wanita dan meletakkannya pada posisi penting dan agung. Mereka memberikan kesempatan, peluang, dan hak-hak kepada kaum wanita, khususnya yang berkait dengan persoalan peningkatan kualitas etika dan akhlak, hak kepemilikan, pernikahan, perceraian, perawatan anak, menyusui, peribadahan, interaksi kemasyarakatan, dan pengamalan hukum-hukum penting yang layak diperhatikan secara khusus. Semua ini dapat kita temui dalam berbagai riwayat dari para imam suci Ahlulbait as serta ajaran-ajaran fikih Syiah.
27. Syiah Ja’fariyah mengharamkan zina, perkawinan sesama jenis, mengambil keuntungan secara ilegal (riba), pembunuhan atas jiwa yang tak berdosa, minuman keras, judi, melakukan pelanggaran, niat buruk penipuan, penimbunan barang, berbuat kikir, pencurian, pemakaian tanpa izin (ghashab), pengkhianatan, menyanyi dengan nyanyian haram, menari, memfitnah, menuduh tanpa bukti, mengadu domba, berbuat fasad, mengganggu orang mukmin, mengumpat, mencela, berbohong, mengada-ada, dan hal-hal lain yang termasuk kategori dosa besar maupun kecil. Mereka selalu berusaha untuk menjauhi semua itu sejauh mungkin.
Mereka juga berusaha semaksimal mungkin agar hal-hal tersebut tidak menyebar di tengah masyarakat. Mereka mengupayakan usaha itu melalui media komunikasi yang ada, seperti berbagai karya tulis, penerbitan buku, penulisan transkrip ceramah, diktat, atau silabus yang berkait dengan etika maupun pendidikan, mengadakan acara ilmiah dan ceramah keagamaan, khutbah Jumat, dan sebagainya.
28. Mereka sangat mengutamakan kemuliaan dan keagungan akhlak, menyukai nasihat, dan selalu bergegas untuk mendengarkannya. Mereka mengadakan berbagai acara dan perkumpulan untuk membahas hal tersebut di rumah-rumah, masjid-masjid, maupun aula-aula yang ada. Itu mereka lakukan dalam setiap kegiatan dan peringatan, sebagai bukti akan semangat mereka untuk mendapatkan nasihat keagamaan. Sebagaimana, mereka juga sangat mementingkan pembacaan doa yang indah cara penyampaiannya, agung kandungannya, dan menyentuh kalbu.
Doa-doa itu mereka ambil dari riwayat Rasulullah saw danpara imam suci as dari keluarga beliau, seperti Doa Kumayl, Doa Abi Hamzah, Doa al-Samat, Doa Jausyan al-Kabir,[24] Doa Makarim al-Aklaq dan Doa Iftitah (yang dibaca pada bulan Ramadhan). Mereka membaca doa-doa dan munajat yang memiliki
keagungan makna itu dengan penuh kekhusukan dan suasana spiritual, diiringi tangisan dan rintihan untuk merendahkan diri. Semua itu, mereka yakini akan dapat meningkatkan kebersihan jiwa, kemantapan spiritual, dan kedekatan kepada Allah Swt.[25]
29. Mereka sangat memuliakan makam Nabi saw dan para imam dari keluarga suci beliau, juga para keturunannya yang dikebumikan di pemakaman Baqi’, yang terletak di kota Madinah al-Munawwarah. Di tempat itulah dimakamkan Imam Hasan al-Mujtaba as, Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Muhammad al-Baqir as, dan Imam Ja’far al-Shadiq as. Sedangkan di kota suci Najaf al-Asyraf terdapat makam Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Di kota suci Karbala terdapat makam mulia Imam Husain bin Ali as beserta saudara-saudara, anak-anak, para sepupu, dan sahabat-sahabat beliau yang turut gugur (syahid) dalam tragedi hari Asyura. Di Samarra, terdapat makam Imam Ali al-Hadi as dan Imam Hasan al-‘Askari as. Di kota Kadzimain terdapat makam suci Imam Muhammad al-Jawad as dan Imam Musa al-Kadzim as. Semua kota-kota ini terletak di Irak.
Sedangkan di kota suci Masyhad yang terletak di Iran, terdapat makam suci Imam Ali al-Ridha as. Adapun di kota suci Qum dan
Syiraz terdapat makam-makam putra dan putri mereka. Di Damaskus (Suriah), terdapat makam pejuang wanita Karbala, Sayyidah Zainab as. Dan di Kairo (Mesir) terdapat makam Sayyidah Nafisah (termasuk wanita mulia Ahlulbait as).
Mereka melakukan hal itu dikarenakan penghormatan mereka kepada Rasulullah saw. Menghormati keturunan seseorang merupakan (salah satu) bentuk penghormatan terhadapnya. Sebagaimana, al-Quran memuji keluarga Imran (âli Imran), keluarga Yasin (âli Yasîn), keluarga Ibrahim (âli Ibrahim), keluarga Ya’qub (âli Ya’qub) dan memuji mereka, padahal sebagian di antara mereka bukan termasuk seorang nabi, sebagaimana firman Allah Swt:
ذرية بعضها من بعض
(Sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain, (Ali Imran: 34)
Dan, dikarenakan al-Quran tidak mengritik orang-orang yang mengatakan:
لنتخذ عليه مسجدا
Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadahan di atasnya. (al-Kahfi: 21)
Yakni, untuk membangun dan mendirikan masjid di tempat pemakaman para Ashab al-Kahfi, agar dapat beribadah kepada Allah Swt di sisi makam-makam tersebut. Al-Quran tidak menyebut mereka (pelaku ibadah di sisi kuburan) sebagai pelaku syirik (menyekutukan Allah). Itu dikarenakan setiap pribadi muslim yang beriman selalu beribadah hanya untuk Allah Swt semata.
Adapun kenapa mereka melakukan peribadahan di sisi makam suci para kekasih Allah yang dimuliakan, maka hal itu dikarenakan kesucian tempat tersebut lantaran keberadaan makam para kekasih Ilahi tersebut. Sebagaimana, kesakralan dan kemuliaan yang dimiliki oleh maqam Ibrahim (batu tempat pijakan Nabi Ibrahim), sebagaimana firman Allah Swt:
واتخذوا من مقام ابراهيم مصلی
Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. (al-Baqarah: 125)
Tentu saja, tidak dapat dikatakan bahwa siapa saja yang melakukan shalat di belakang maqam Ibrahim berarti telah menyembah maqam tersebut. Sebagaimana orang yang beribadah kepada Allah Swt dengan melakukan sa’i (lari-lari kecil antara Shafa dan
Marwah) tidak berati telah masuk ke dalam penyembahan dua gunung tersebut. Hal itu hanya lebih dikarenakan bahwa Allah Swt telah memilih bagi hamba-hamba-Nya tempat yang penuh barakah nan sakral. Kesucian dan
keberkahan tempat itu dikarenakan hubungan dan pertaliannya dengan Allah Swt. Sesungguhnya terdapat beberapa hari atau tempat yang memiliki kesakralan yang dikhususkan baginya, seperti Hari Arafah, Tanah Mina, Tanah Arafah dan sebagainya. Adapun penyebab kesakralan hal-hal di atas adalah dikarenakan adanya keterkaitan dan hubungan dengan Allah Swt.
30. Atas dasar itu pula (sebagaimana tercantum dalam poin 29 di atas), maka para pengikut Syiah Ja’fariyah –sebagaimana kaum muslimin lain yang mengenal kedudukan luhur Rasulullah saw– sangat mengutamakan ziarah ke makam-makam keluarga Rasul saw, sebagai bentuk penghormatan dan dalam rangka mengambil pelajaran dari mereka, juga untuk memperbaharui kesetiaan kepada mereka, sekaligus sehagai bentuk perhatian atas gerakan yang selama ini telah mereka perjuangkan sehingga gugur di jalan tersebut. Ini dikarenakan para peziarah itu, sewaktu menziarahi makam-makam tersebut, menyebutkan keutamaan-keutamaan, pelaksanaan jihad, penegakan shalat, penunaian zakat, ketangguhan dalam menghadapi semua gangguan dan cobaan, yang telah dilakukan oleh para penghuni kubur itu (semasa hidup mereka dahulu). Sekaligus, untuk mengikuti jejak Rasulullah saw –dalam memberikan rasa hormat terhadap keluarganya yang selalu teraniaya (mazlum)– yang selalu bersedih atas segala yang menimpa mereka. Bukankah dalam peristiwa kesyahidan Hamzah, beliau mengatakan,
“Akan tetapi, Hamzah tiada yang menangisinya...”[26]
Bukankah beliau juga turut menangis waktu Ibrahim, putra tersayang beliau, meninggal? Bukankah beliau juga pergi ke pemakaman Baqi’ untuk berziarah kubur? Bukankah beliau pernah bersabda,
“Ziarahilah kubur; karena hal itu akan mengingatkan kalian pada akhirat.” [27]
Ziarah ke makam para imam ahlulbait nabi saw merupakan perbuatan yang mengingatkan dan mengenang sejarah hidup dan perjuangan mereka dalam menegakkan Islam dan memperjuangkan kehormatan kaum muslimin. Ini sangat bermanfaat bagi generasi-generasi penerus yang akan datang, sekaligus sebagai upaya untuk menanamkan semangat keberanian, pengorbanan, dan perjuangan di jalan Allah Swt.
Semua itu merupakan perbuatan manusiawi, sesuai dengan adab, dan logis.
Karena, setiap komunitas akan selalu mengagungkan para pemuka dan merayakan peringatan-peringatan bersejarah berkait dengan komunitasnya. Semua itu akan memberikan dampak positif, seperti munculnya kebanggaan dan perasaan hormat terhadap komunitasnya, sekaligus menambah persatuan dan kesatuan para pengikut kelompok tersebut. Juga, mempertebal kesetiaan terhadap kelompok tersebut di antara para pengikutnya.
Semua itu sesuai dengan apa yang dikehendlaki al-Quran ketika menyebutkan tentang maqam dan kisah-kisah para nabi dan rasul serta pribadi-pribadi saleh di dalam ayat-ayatnya.
31. Para pengikut Syiah Ja’fariyah juga meminta syafaat dari Rasulullah saw dan para
imam Ahlulbait as. Mereka ber-tawassul (meng-ambil sarana dalam menggapai keinginan–penerj.) kepada manusia-manusia mulia itu dalam menuju Allah Swt, agar Dia mengampuni dosa-dosa, mengabulkan keinginan dan hajat, menyembuhkan penyakit yang diderita, dan sebagainya. Tindakan semacam itu bukan hanya diperbolehkan oleh al-Quran, bahkan sangat ditekankan, sebagaimana dalam sebuah ayat dikatakan:
و لو اهم اذ ظلموا انفسهم جاووک فاستغفروا وا الله
واستغفر لهم الرسول لجدوا الله توابا رحيما
واستغفر لهم الرسول لجدوا الله توابا رحيما
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (al-Nisaa’:64)
Dan firmah Allah Swt:
و لسوف يعطيک ربک فترضی
Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu kamu menjadi puas. (al-Dhuha: 5)
Yang dimaksud oleh ayat di atas ini adalah otoritas pemberian syafa’at (ampunan atas dosa–penerj.)
Bagaimana mungkin diterima (oleh akal), jika di satu sisi, Allah Swt memberikan kepada Nabi Mulia saw kedudukan dan otoritas untuk memberikan syafa’at bagi para pendosa, juga memberinya kedudukan sebagai penghubung (wasilah) atas semua permohonan hajat hamba-hamba-Nya, lantas di sisi lain, manusia dilarang meminta syafa’at darinya, atau melarang Nabi saw untuk menggunakan otoritasnya dalam memberikan syafa’at?
Bukankah Allah Swt telah menceritakan tentang peristiwa putra-putra Nabi Ya’qub as yang meminta syafaat dari ayah mereka. Dalam kisah itu disebutkan bahwa mereka berkata kepada beliau:
يا ابا نا استغفر لنا ذنوب اناء کناخاطئين
Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah. (Yusuf: 97)
Di situ, nabi yang suci dari salah dan dosa (maksum) itu tidak mengritik dan memprotes perbuatan tersebut, bahkan mengatakan:
سوف استغفر لکم
Aku akan memohonkan ampun bagi kalian. (Yusuf: 98)
Sementara, tak seorang pun yang mengatakan bahwa Rasulullah saw beserta para imam as telah mati,[28]
sehingga meminta doa kepada mereka adalah perbuatan sia-sia dan tak
bermanfaat sedikit pun. Padahal, segenap nabi senantiasa hidup, terlebih
Nabi Muhammad saw, dimana Allah Swt berfirman tentang beliau dengan
ayat-Nya:
و کذالک جعلناکم امة وسطا لتکون شهداء
علی الناس ويکون الرسول عليکم شهيداء
علی الناس ويکون الرسول عليکم شهيداء
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas perbuatan kamu. (al-Baqarah: 143)
Yakni, Rasulullah saw selalu memantau perbuatan umatnya. Dan firman Allah Swt:
و قل اعملوا فسيری الله عملکم و رسوله والمومن
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu.” (al-Taubah: 105)
Ayat ini akan terus berjalan dan berlaku hingga hari kiamat kelak, sebagaimana perjalanan matahari dan rembulan, juga pergantian siang dan malam.
Dapat ditambahkan di sini bahwa Nabi Muhammad saw beserta para keluarga suci beliau termasuk dalam kategori sebagai para syuhada’ (orang yang mati di jalan Allah–penerj.), sementara para syuhada’ itu tetap hidup, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Swt dalam beberapa ayat al-Quran.[29]
32. Para pengikut Syiah Ja’fariyah selalu memperingati hari gembira kelahiran Rasulullah saw beserta kelahiran para keluarga suci beliau. Sebagaimana, mereka juga memperingati hari duka wafat rasulullah saw dan para keluarga suci beliau. Semua itu mereka lakukan demi selalu mengenang dan mengingat keutamaan, kemuliaan, dan posisi luhur mereka, sebagaimana yang telah disinggung dalam banyak riwayat sahih, sesuai dengan ajaran al-Quran yang banyak menyinggung keutamaan Nabi saw serta rasul-rasul yang lain. Sebagaimana, teks keagamaan itu juga memerintahkan agar kita selalu memuliakan, mengikuti, mengambil pelajaran dan petunjuk dari mereka, manusia-manusia mulia itu.
Tentu saja, dalam memperingati berbagai kejadian yang ada, Syiah Ja’fariyah melarang pengikutnya melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat, seperti percampuran haram antara lelaki dan perempuan, menikmati hidangan haram, berlebih-lebihan (ghuluw)[30] dalam memberikan pujian dan pengagungan, dan segala hal yang bertentangan dengan ruh syariat Islam yang suci, melanggar batasan-batasan syariat yang jelas, ataupun yang tidak sesuai dengan ayat, riwayat yang sahih, maupun bertentangan dengan kaidah universal yang dihasilkan dari sumber-sumber utama hukum, seperti al-Quran dan haclis, yang tentu dihasilkan melalui metodologi penggalian hukum (istinbath) yang baik dan benar.
33. Para pengikut Syiah Ja’fariyah menggunakan kitab-kitab yang menampung hadis-hadis Rasulallah saw dan para keluarga suci beliau as, seperti kitab al-Kâfi karya Tsiqat al-Islam al-Kulaini, kitab Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih karya Syaikh al-Shaduq, dan kitab al-Istibshar serta al-Tahdzib karya Syaikh al-Thusi, di mana sernuanya merupakan kitab-kitab standar yang berkait dengan kitab hadis.
Kitab-kitab yang telah disebut di atas, walaupun mencakup berbagai hadis sahih, namun, baik para pengarangnya maupun para pengikut Syiah Ja’fariyah tidak menamainya dengan sebutan kitab al-Shahih. Atas dasar itulah, para ulama dan pakar fikih (fuqaha’) Syiah tidak menyatakan dengan jelas bahwa semua hadis-hadis yang terkandung di dalamnya dijamin kesahihannya. Akan tetapi,
mereka hanya mengambil hadis-hadis yang menurut mereka telah terbukti kesahihannya secara jelas. Sebagaimana, mereka akan meninggalkan hadis-hadis yang dianggap tidak sahih dan hadits hasan atau hadis yang memiliki kemungkinan untuk dapat dijadikan pegangan dan disesuaikan dengan disiplin ilmu tentang dasar-dasar pengenalan dan penentuan hadis (‘Ilmu Dirayat al-Hadits), ilmu tentang kepribadian perawi (‘Ilmu Rijâl), dan ilmu tentang kaidah-kaidah umum ilmu hadis (Qawa’id ‘Ilmi al-Hadits).
34. Sebagaimana para pengikut Syiah Ja’fariyah juga –dari sisi ajaran akidah, fikih, doa, dan etika– mengambil dari kitab-kitab lain yang menjelaskan berbagai riwayat para imam Ahlulbait as, seperti kitab Nahj al-Balaghah karya Sayyid al-Radhi ra, kitab kumpulan ceramah, surat, maupun mutiara hikmah ringkas Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Atau kitab Risalah al-Huquq dan al-Shahifah al-Sajjadiyah karya Imam Ali Zainal Abidin as, ataupun al-Shahifah al-‘Alawiyah karya Imam Ali as, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Tauhid, al-Khishal, ‘Ilal al-Syarayi’, Ma’ani al-Akbbar karya Syaikh Shaduq ra.
35. Terkadang, Syiah Ja’fariyah juga menyandarkan argumennya pada hadis-hadis Rasulullah saw yang tercantum dalam kitab-kitab saudara mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah[31] dalam berbagai hal, tanpa didasari fanatisme atau kedengkian. Hal itu dapat dilihat datam karya-karya mereka, baik karya-karya lama maupun kontemporer. Di sana terdapat banyak sekali hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat Nabi saw, istri-istri Nabi saw, pemuka para sahabat Nabi saw, ataupun para pembesar perawi hadis semisal Abu Hurairah, Anas bin Malik dan sebagainya. Tentu saja, mereka mensyaratkan kesahihan dan ketidakbertentangan hadis tersebut dengan al-Quran, hadis sahih lain, akal sehat, dan konsensus ulama.
36. Syiah Ja’fariyah melihat bahwa segala cobaan dan ujian yang menimpa kaum muslimin semenjak dulu hingga kini teringkas dalam dua faktor utama: Pertama, kaum muslimin tidak menerima ataupun meragukan kelayakan Ahlulbait as sebagai pemimpin untuk memegang tampuk kepemimpinan umat. Mereka meremehkan bimbingan dan ajaran-ajaran Ahlulbait, khususnya kemampuan Ahlulbait dalam menafsirkan al-Quran.
Kedua: perpecahan, pertikaian, dan ikhtilaf antar mazhab dan kelompok Islam. Oleh karena itu, Syiah Ja’fariyah selalu berusaha untuk menjaga persatuan barisan kaum muslimin, dengan mengulurkan rasa kasih sayang dan persaudaraan ke segenap kaum muslimin. Mereka menghormati berbagai ijtihad dan hukum yang diberlakukan oleh setiap ulama umat Islam, dari mazhab dan kalangan manapun.
Atas dasar itulah, sejak kurun waktu yang lama para ulama Syiah Ja’fariyah selalu
menyebutkan pendapat-pendapat para pakar fikih di luar Syiah dalam karya-karya mereka, yang berkait dengan fikih, tafsir, maupun teologi (kalam), seperti kitab al-Khilaf dalam bidang fikih karya Syaikh al-Thusi, Majma’ al-Bayan dalam bidang tafsir al-Quran –yang banyak dipuji oleh para ulama terkemuka di al-Azhar– karya al-Thabarsi, Tajrid al-I’tiqad dalam bidang teologi karya Nasiruddin al-Thusi, yang juga disyarah oleh ‘Alauddin al-Qausaji yang bermazhab Asy’ariyah.
37. Para pemuka ulama Syiah Ja’fariyah melihat pentingnya diskusi dan tukar pikiran antar ulama berbagai mazhab Islam, baik dalam bidang fikih, akidah, sejarah, dan membangun sikap saling memahami, sekaligus saling memberikan pemahaman atas setiap kendala kaum muslimin di masa sekarang ini. Juga, dengan menjauhkan diri dari tindakan saling memfitnah dan menghindari pengotoran suasana dari segala jenis celaan, sehingga lahan yang sesuai akan terbina, guna mewujudkan pendekatan logis antar mazhab yang selama ini terhalang oleh pelbagai macam penyekat.
Selain itu, sekaligus sebagai pencegah bagi para musuh agar tidak lagi mengusik ketentraman Islam dan kaum muslimin. Selama ini, musuh-musuh itu selalu mencari-cari celah untuk meraih peluang guna menghancurkan segenap kaum muslimin, tanpa terkecuali.
Oleh sebab itu, Syiah Ja’fariyah tidak pernah mengkafirkan siapapun pribadi yang masih termasuk dalam kategori muslim (ahli al-kiblat), apapun mazhab dan kecenderungan
akidahnya. Kecuali, kelompok yang telah disepakati oleh kaum muslimin akan kekafirannya. Syiah Ja’fariyah tiada akan pernah mengganggu ataupun membiarkan seseorang untuk menguasai mereka (kelompok muslim lain). Syiah Ja’fariyah akan tetap menghormati ijtihad dari kelompok dan mazhab Islam lain, sebagaimana mereka menganggap bahwa segala perbuatan orang yang berpindah dari satu mazhab tertentu ke mazhab Syiah Imamiyah Ja’fariyah yang telah lalu tetap dibenarkan (mujzi), tidak perlu diulang (musqithan li al-taklif), dan merupakan pelepas tanggung jawab bagi pelaksanaan kewajiban Ilahi (mubri’ li al-dzimmah).
Jika ternyata dia pada waktu itu melakukan segala amalan syariat –seperti shalat, puasa, haji, zakat, pernikahan, perceraian, jual-beli, dan sebagainya– sesuai dengan mazhab yang dianutnya, maka tidak diwajibkan atasnya untuk mengulang segala yang telah dilakukannya. Sebagaimana tidak diwajibkan baginya untuk memperbaharui akad nikah atau perceraian, selama hal tersebut sesuai dengan pendapat mazhab yang dianutnya selama ini.
Para pengikut Syiah selalu hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka sesama muslim di manapun mereka berada; hubungan mereka selama ini mirip seperti hubungan sesama saudara atau famili.
Syiah Imamiyah Ja’fariyah tidak bertoleran terhadap mazhab-mazhab yang dibangun oleh para imperialis dan kolonialis, seperti Baha’iyah, al-Babiyah, al-Qadiyaniyah, dan sebagainya. Bahkan Syiah sangat menentang, memerangi, dan mengharamkan penyebaran mazhab-mazhab semacam itu.
Jika terkadang –bukan setiap saat– Syiah mempraktikkan metode taqiyah (menyembunyikan keimanan dan keyakinan), maka hal itu dikarenakan mereka berada dalam rangka menyembunyikan mazhab dan keyakinannya. Ini merupakan perkara yang diperbolehkan oleh syariat Islam, sebagaimana disinyalir oleh al-Quran, dan merupakan suatu hal yang umum di kalangan mazhab-mazhab Islam, jika terjadi pertikaian sengit antar-kelompok. Taqiyah diperbolehkan dalam dua situasi:
1. Menjaga keselamatan jiwa dan menghindari pertumpahan darah.
2. Menjaga persatuan umat Islam dan menghindari pertikaian di antara mereka.
38. Syiah Ja’fariyah melihat bahwa sebab kemunduran kaum muslimin di era sekarang ini, dikarenakan terjadinya penyimpangan pemikiran, budaya, intelektual, dan teknologi. Solusinya tersembunyi dalam diri kaum muslimin sendiri –baik lelaki maupun perempuan. Ya, keluar dari kendala tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas pemikiran intelektual dan budaya upaya tersebut akan dapat terwujud melalui pembangunan pusat-pusat kajian intelektual, semisal perguruan tinggi ataupun pesantren. Hal itu dengan memanfaatkan sarana yang diberikan oleh ilmu-ilmu modern dalam menyelesaikan kendala-kendala ekonomi, pembangunan, perindustrian, ataupun usaha menanamkan kepercayaan kepada segenap masyarakat agar mereka turut serta dan terjun
untuk berkarya. Sehingga, tercapailah swasembada dan tidak lagi tergantung pada pihak asing.
Atas dasar inilah, di mana saja terdapat komunitas Syiah Ja’fariyah, maka pasti terdapat pula pusat-pusat kajian dan peningkatan intelektual, ataupun lembaga-lembaga untuk menelurkan para spesialis dalam berbagai bidang keilmuan. Sebagaimana, mereka juga terjun dan melebur ke dalam berbagai perguruan tinggi serta lembaga-lembaga pendidikan di setiap daerah, untuk mencetak para ilmuwan dan pakar di berbagai disiplin ilmu yang diperlukan oleh masyarakat.
39. Para pengikut Syiah Ja’fariyah selalu mengadakan hubungan dengan para ulama dan pakar fikih (fuqaha’) melalui jalan yang selama ini dikenal di antara mereka dengan sebutan taqlid dalam penentuan hukum syariat. Kepada para pakar itulah mereka merujukkan problema-problema fikih yang ada. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan pendapat (baca: fatwa) salah seorang di antara para pakar fikih itu. Mereka meyakini bahwa para pakar fikih adalah wakil Imam Zaman –al-Mahdi al-Muntazar– secara umum. Lantaran para ulama dan pakar fikih itu, dari sisi kebutuhan ekonomi sehari-hari, tidak bergantung kepada negara dan pemerintah, maka mereka dapat bersuara lantang, penuh percaya diri, dan sangat terpercaya dalam menyampaikan suara hati rakyat.
Lembaga-lembaga intelektual keagamaan (al-Hauzah al-‘Ilmiyah al-Diniyah) –pusat pembentukan para ahli fikih– adalah lembaga yang menjamin kebutuhan perekonomian sehari-hari para guru dan pelajar agama. Dana itu didapatkan dari pengumpulan khumus ataupun zakat yang diserahkan masyarakat kepada para pakar hukum (marja’) secara sukarela dan kesadaran penuh, sebagaimana halnya mereka menjalankan kewajiban syariat seperti shalat dan puasa.
Menurut Syiah Imamiyah Ja’fariyah, membayar khumus merupakan sebuah kewajiban. Khumus dibayarkan dari keuntungan-keuntungan yang dihasilkan dari
usaha yang didapat. Ini juga sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab sahih maupun kitab-kitab sunan yang ada.[32]
40. Syiah Ja’fariyah berpendapat bahwa salah satu hak kaum muslim in adalah menikmati pemerintahan-pemerintahan Islam yang nengamalkan al-Quran dan hadis, menjaga hak-hak kaum muslimin, membuka hubungan secara adil dan baik dengan negara-negara lain, menjaga batas-batas teritorial yang ada, juga menjamin kebebasan kaum muslimin dalam bidang budaya, ekonomi, dan politik. Semua itu agar kaum muslimin mendapatkan kemuliaannya, sesuai dengan Firman Allah:
ولله العزة ولرسوله وللمومنين
Dan kemuliaan hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman. (al-Munafiqun: 8)
Serta Firman Allah Swt:
و لا تهنوا و لا تخزنوا و انتم الاعلون ان کنتم مومنون
Janganlah kalian merasa hina dan merasa bersedih, sedang kalian adalah luhur jika kalian adalah kaum yang beriman. (Ali Imran: 139)
Syiah juga melihat bahwa Islam –yang menyandang gelar sebagai agama yang paling lengkap dan universal– memuat metode yang cermat dalam mengatur pemerintahan. Hendaknya, para ulama Islam berkumpul di antara mereka guna mendiskusikan (segala sesuatunya) sehingga metode itu akan tampak semakin jelas. Pemerintahan semacam itulah yang akan mampu menghilangkan kebingungan dan berbagai problem umat yang selama ini datang tak kunjung henti. Dan hanya Allah Swt sebaik-baik penolong:
ان تنصروا الله ينصرکم و يثبت اقدامکم
Jika kalian menolong Allah, niscaya Allah akan menolong dan menguatkan (posisi) telapak kaki kalian. (Muhammad: 7)
Ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam ajaran akidah dan syariat Syiah Imamiyah, yang juga dikenal dengan sebutan al-Ja’fariyah.
Pada masa sekarang, golongan ini (Syiah) hidup bermasyarakat di tengah-tengah saudara mereka sesama muslim di berbagai penjuru dunia Islam. Mereka sangat antusias dalam menjaga keutuhan dan kemuliaan kaum muslimin, bahkan siap berkorban dengan jiwa dan raga demi tercapainya tujuan tersebut.
Wallhamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn.
1. Silakan lihat kembali penafsiran ayat tersebut dalam kitab-kitab tafsir semisal Tafsir Jâmi’ al-Bayan karya al-Thabari, Tafsir Durul Mantsur karya Allamah al- Suyuthi yang bermazhab Syafi’i, Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi al-Baghdadi yang juga bermazhab Syafi’i.
2. Musnad Ahmad bin Hambal, jil. I, hal. 215.
3. Lihat kembali dalam buku-buku seperti Ta’sis al-Syi’ah li uluum al-Syi’ah karya al-Shadr, kitab al-Zari’ah ila Tahshanif al-Syi’ah yang ditulis dalam 29 jilid karya Agha Buzurgh, kitab Kasyfu al-Dzunun karya Afandi, kitab Mu’jam al-Muallifin karya Kuhhalah, kitab A’Yan al-Syi’ah karya Sayyid Muhsin al-Amin al-‘Amili, dan kitab-kitab lainnya.
4. Lihat kembali karya-karya seperti al-Irsyad-nya Syaikh Mufid, I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda karya al-Thabarsi, ensiklopedia Bihar al-Anwar karya al-Majlisi, dan Mausu’ah al-Rasul al-Akram karya Sayyid Muhsin al-Khatami.
5. Ayat-ayat itu antara lain:
Surat al-Maidah ayat 67:
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Surat al-Maidah ayat 3:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Surat al-Ma’arij ayat 1-2:
Seseorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir yang tidak seorang pun dapat menolaknya.
6. Lihat kembali kitab al-Ghadir karya Allamah al-Amini yang merupakan kumpulan dari berbagai kitab-kitab rujukan kaum muslimin, baik yang berkait dengan kitab tafsir maupun sejarah.
7. Lihat kembali kitab Khulafa’ an-Nabi karya al-Hairi al-Bahrani. Dapat Anda lihat dalam kitab Aimmah Itsna ‘Asyar karya sejarawan dari kota Damaskus, Syamsuddin Muhammad bin Thulun yang wafat pada tahun 953 Hijriyah, kitab yang diteliti oleh Dr. Shalahuddin al-Munajjid, terbitan Beirut, Libanon.
8. Banyak kalangan sastrawan non-Syiah –Arab maupun non-Arab– yang mengarang syair-syair pujian dengan mencantumkan nama-nama 12 imam secara sempurna. Misalnya, al-Hashkafi, Ibn Thulun, al-Fadhl bin Ruzbahan, al-Jami, al-‘Atthar al-Naisaburi, Maulawi, dan yang lain. Padahal kalau kita teliti, mereka bermazhab Hanafi, Syafi’i, atau yang lain. Di sini akan kita sebutkan dua syair pujian (qasha’id) sebagai contoh:
Pertama, karya al-Hashkafi yang bermazhab Hanafi. Beliau termasuk ulama terkenal abad keenam Hijriah. Dalam bait-bait syairnya, beliau mengatakan:
Haidar (Ali) dan setelahnya al-Hasan
dan aI-Husain
Lantas Ali dan sang putra Muhammad
Dan Ja’far al-Shadiq serta putra Ja’far
Musa dan sang putra Ali seorang
penghulu
Yaitu al-Ridha dan sang putra
Muhammad
Lantas Ali dan sang putra yang
dikukuhkan
Al-Hasan yang datang kemudian, lantas
datang selanjutnya
Muhammad putra Hasan yang
disematkan
Golongan yang merupakan para imam
dan junjunganku
Walau diriku kan dicaci banyak orang
dan didustakan
Para imam yang dimuliakan oleh semua
imam
Nama mereka terukir takkan pernah
sirna
Mereka hujjah Allah atas segenap
hamba
Dan mereka tujuan dan jalan tuk
menuju diri-Nya
Siang hari mereka perhanyak puasa tuk
sang Tuhan
Malam hari rnereka perbanyak rukuk
dan sujud
Kedua, karya Syamsuddin Muhammad bin Thulun, salah seorang ulama terkemuka pada abad kesepuluh Hijriah. Dalam syairnya, beliau mengatakan:
Hendaknya atas kalian dua belas imam
Dari keluarga al-musthafa sebaik-baik
manusia
(Mereka adalah) Abu Turab (Ali)
Hasan, Husain
Dan kebencian atas Zainal Abidin
adalah penyebab celaka
Muhammad al-Baqir pemilik ilmu yang
terpancar
Dan al-Shadiq yang terkenal dengan
sebutan Ja’far
Musa, dialah al-Kadzim dan sang putra
Ali
Gelari dia dengan al-Ridha, sedang
kedudukannya luhur
Muhammad al-Taqi yang hatinya
makmur
Ali al-Naqi yang cahayanya terpancar
Dan al-‘Askari al-Hascln yang disucikan
Muhammad al-Mahdi yang akan
menampakkan diri
Dapat Anda lihat dalam kitab Aimmah Itsna ‘Asyar karya sejarawan dari kota Damaskus, Syamsuddin Muhammad bin Thulun yang wafat pada tahun 953 Hijriyah, kitab yang diteliti oleh Dr. Shalahuddin al-Munajjid, terbitan Beirut Libanon.
9. Lihat kembali kitab-kitab hadis, tafsir, ataupun kitab tentang keutamaan-keutaman, baik yang bersumber dari kitab-kitab Shahih (Bukhari, dan lain-lain) maupun yang tidak berkait dengan kitab-kitab Shahih.
10. Berkait dengan tema ini, lihat kitab al-Imam al-Shadiq wa al-Mazabib al-Arba’ah yang diterbitkan dalam tiga jilid, karya Asad Haidar, serta kitab-kitab lainnya.
11. Lihat kitab Risalah Hadits al-Tsaqalain karya Wasynawi yang telah disetujui oleh al-Azhar, Kairo, Mesir, kurang lebih sejak berlangsungnya tiga kali perjanjian.
13. Lihat kitab Itsbat al-Washiyah karya Mas’udi serta kitab- kitab hadis, tafsir, dan sejarah dari dua kalangan (Ahlussunnah dan Syiah).
14. Lihat kitab-kitab hadis dan sejarah yang berkait dengan hal tersebut.
15. Lihat kembali Shahih Bukhari, Kanz al-‘Ummal, al-Mushannif karya Abdur Razzaq as-Shan’ani, dan kitab al-Sujud ‘ala al-‘Ardh karya Kasyif al-Githa’
16. Lihat kitab-kitab seperti al-Yawaqit wa al-Jawahir karya al-Sya’rani al-Anshari al-Misri, salah seorang ulama terkenal abad ke-10 Hijriah.
17. Lihat kitab al-Mushannif karya al-Shan’ani
18. Lihat kembali kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan al-Baihaqi
Sedangkan untuk mengetahui pendapat mazhab Maliki –dari Ahlussunnah– lihat kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd al-Qurthubi al-Maliki dan selainnya.
19. Al-Ma’idah: 6
20. Lihat kitab-kitab sunan dan musnad-musnad yang ada, juga lihat kembali tafsir al-Kabir karya al-Fakhrurrazi yang berkait dengan ayat wudu.
21. Yang sering diistilahkan dengan masa pacaran–penerj.
22. Tidak merasa cukup dengan beristri satu, mungkin dikarenakan kelebihan hormon seksual atau penyebab lainnya–penerj.
23. Lihat hadis-hadis tentang nikah mut’ah dalam kitab-kitab shahih, kitab-kitab sunan, musnad-musnad yang muktabar menurut mazhab-mazhab Islam.
24. Doa ini mencakup seribu nama-nama Allah Swt yang tersusun rapi dan sangat berkesan.
25. Doa-doa tersebut di atas, dapat ditemui dalam satu ensiklopedia yang berjudul al-Mausu’ah al-Ad’iyah al-Jami’ah yang baru-baru ini diterbitkan. Sebagaimana juga dapat dijumpai dalam kitab-kitab doa yang tersebar dan masyhur di antara mereka.
26. Hal ini tercantum dalam kitab-kitab sejarah dan perjalanan hidup Rasul saw.
27. Lihat kitab Syifa’ al-Saqam, hal. 108, karya al-Sabaki yang bermazhab Syafi’i. Atau mirip dengan hal itu –dengan redaksi berbeda– adalah yang tercantum dalam Sunan Ibn Majah, jil. I, hal. 117.
28. Ungkapan ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh al-Quran dalam Surat Ali lmran ayat 169, di mana Allah berfirman:
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki
• Salah satu bentuk konkrit dari rezeki adalah otoritas pemberian syafa’at
• Jadi, dikarenakan mereka tidak masuk dalam kategori manusia yang mati, maka mereka pun selayaknya seperti orang yang hidup; mendengar, melihat, dan berinteraksi dengan umat. Tentu saja, karena kehidupan mereka bukan sebagaimana kehidupan duniawi yang (bersifat) materi, maka bentuk interaksinya pun berbeda dengan apa yang terjadi di dunia materi. Pen.
29. Maka dari dua premis di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Nabi saw dan Ahlulbaitnya itu hidup, dan akan selalu hidup hingga kiamat kelak–penerj.
30. Ghuluw adalah tindakan mengagungkan manusia sampai pada derajat ketuhanan (uluhiyah wa rububiyah), atau keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan di luar kehendak dan izin Allah Swt; kemandirian dalam melakukan sesuatu. Ini sebagaimana diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani sekaitan dengan para nabi mereka.
31. Perlu dijelaskan di sini bahwa Syiah Imamiyah sendiri tergolong pengikut Ahlussuunah wal Jama’ah
• Mereka juga mengambil apa yang telah diajarkan hadis Nabi saw, baik yang berkait dengan ucapan, perbuatan dan diam (baca: persetujuan) Nabi saw. Salah satu hadis tersebut adalah wasiat-wasiat nabi saw berkait dengan hak-hak yang dimiliki keluarga beliau. Mereka konsisten dengan hadis-hadis tersebut, dengan cara yang sangat teliti dalam bidang praktik, pemikiran akidah, maupun fikih, juga kitab-kitab kumpulan hadis mereka, sebagai bukti nyata atas ungkapan di atas. Baru-baru ini telah diterbitkan secara terperinci ensiklopedia hadis-hadis Rasulullah saw yang terdapat dalam buku-buku Syiah dengan judul Sunan al-Nabi. Ensiklopedia itu diterbitkan dalam lebih dari sepuluh jilid.