Geys Abdurrahman Assegaf Lc.*
Para Sahabat Rasulullah saw
adalah murid-murid Beliau Saw yang terdidik dan tertempa secara
langsung. Mereka adalah panglima dakwah yang menuntut Ilmu secara
langsung kepada Rasulullah saw, sebagaimana para sahabat sepeninggal
Rasulullah saw mengajarkannya secara bersambung pula kepada para Tabi’in
dan seterusnya kepada para Ulama Pewaris Nabi. Oleh karenanya Beliau
Saw bersabda, “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik
bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya.
Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal
perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik
kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR.
al-Bazzar/1925).
Namun demikian, ternyata tidak semua
orang yang hidup pada zaman Rasulullah saw menaati beliau. Ada
segolongan orang dari bangsa A’rabi/Baduwi yang memiliki karakter
membangkang bahkan pada masa Rasulullah saw masih hidup sekalipun.
Cukuplah sebagai contoh kelakuan mereka saat menarik kain burdah
Rasulullah saw karena mereka memaksa untuk meminta bagian Ghanimah
Hawazin dari perang Hunayn yang diperuntukkan untuk orang-orang Muallaf
dari suku Qurays agar hati mereka terikat pada Islam. Namun orang-orang
ini bahkan membuntuti Rasulullah saw dan menarik kain burdahnya sehingga
menimbulkan gesekan di leher Rasulullah saw sambil berkata,
“Perintahkan orang untuk membagikan kekayaan Allah yang ada padamu.”
Sedangkan golongan Anshar yang tadinya mempertanyakan Rasulullah saw
menangis tersedu-sedu hingga jenggot mereka basah, setelah mendapatkan
petunjuk Rasulullah saw, bahwa akhirat lebih utama bagi mereka.
Rasulullah
saw telah wafat, namun kelakuan mereka justru semakin menjadi-jadi.
Pada masa pemerintahan sayyiduna Utsman Ra memang berbeda dengan masa
sayyiduna Umar ra. Pada awal pemerintahannya Sayyiduna Utsman memang
diterima layaknya kepemimpinan Sayyiduna Umar. Tetapi perubahan besar
terjadi dalam kurun waktu 6 tahun masa pemerintahan beliau, dimana
Futuhat sudah tidak dilakukan karena kondisi yang tidak memungkinkan
lagi.
Setelah terhentinya hal ini, maka menimbulkan kelas baru
dalam masyarakat Islam pada saat itu, mereka adalah orang arab Baduwi
(A’rabi) yang sudah murtad dari Islam. Sebagai kilas balik, sungguh
tepat gerakan sayyiduna Abu Bakar ra yang tidak mengirimkan pasukan
untuk futuhat terdiri dari orang-orang A’rabiy Baduwi ini. Hal ini
ternyata juga dilakukan sayyiduna Umar bin Khattab ra yang tidak
bersikap lunak sedikitpun kepada orang-orang ini. Yakni golongan bangsa
yang menarik leher Rasulullah saw dengan lancangnya karena meminta
ghanimah perang hunayn.
Namun pada masa pemerintahan sayyiduna
Utsman, beliau terpaksa mengirim kabilah-kabilah baduwi dalam ekspansi
perluasan daerah. Mereka sebagian besarnya adalah orang-orang yang sudah
murtad. Daerah yang dibuka sungguh sangat luas sehingga tidak bisa
menyertakan pasukan dari orang-orang yang islamnya sudah baik, yang mana
mereka juga difokuskan membangun daerah-daerah yang sudah maftuh.
Maka
bergegaslah orang-orang ini untuk melakukan ekspansi demi Ghanimah
harta dan budak serta kekuasaan. Jadi jika sejarah Islam dicela orang,
celaan ini harus kembali kepada orang-orang ini. Dan tidak ada celaan
bagi orang-orang Islam awal masuk Islam dan melakukan futuhat dengan
tujuan menyiarkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Mereka menyiarkan
Islam bukan untuk tujuan duniawi, kekuasaan dan jabatan. Dan mereka yang
terbunuh dalam perang sangatlah besar jumlahnya, yaitu mereka yang
berperang tanpa haus dunia dan kekuasaan. Inilah yang membuat musuh
Islam tunggang langgang. Sebuah motiv yang sudah dilupakan oleh kita
dalam berkehidupan.
Setelah terhentinya futuhat, maka mulailah
muncul fenomena A’rabiy dan orang-orang yang murtad. Ketika harta-harta
rampasan sudah tidak ada lagi, mereka mulai bertanya-tanya, “Kemana
harta-harta rampasan yang dahulu? Semua diserahkan ke Baitul Mal dan
Utsman membagikannya kepada para Sahabat-sahabatnya saja.” Padahal
memang Baitul Maal bukan hanya untuk Fatihin saja, namun disana banyak
hak-hak kaum muslimin, terutama dari kalangan fakir dan miskin.
Situasi
yang demikian adalah situasi yang membakar bagi orang-orang yang
berdarah panas, terbiasa berperang, haus konflik, pemahamannya terhadap
Islam dan Ruh Syariatnya dangkal. Keadaan seperti ini sangat rawan atas
masuknya pemikiran-pemikiran dan pikiran-pikiran buruk. Kondisi ini
sudah cukup untuk menyulut fitnah apabila ada yang menyalakannya. Hal
ini pula dapat mendorong orang-orang baduwi untuk bersatu dalam suara
yang lebur, sehingga menjadi pengacau dan siap menghabisi siapa saja.
Badui
ini juga berhubungan dengan para pemberontak di Madinah, binaan
Abdullah bin Saba’. Hal ini bahkan disaksikan sendiri oleh sayyiduna
Utsman bin ‘Affan pada suratnya kepada para penduduk diberbagai kota,
“Mereka telah menyerang kami yang sedang berada di sisi Rasulullah Saw
di Haramnya (Masjidnya) dan ditanah Hijrah, dan mereka dibantu oleh para
Arab Baduwi.”
Bukan hanya sayyiduna Utsman, namun juga sayyidah
‘Aisyah ra menyaksikan hal tersebut, “Para pengacau dari beberapa
penduduk kota dan orang-orang asing dari beberapa kabilah arab baduwi
telah menyerang masjid Rasulullah saw, mereka membuat kerusuhan dan
melindungi para pelaku makar di rumah-rumah mereka. Mereka telah
membunuh imam Muslimin tanpa ampun, dan seterusnya…”
Muncullah kemudian perkataan sayyiduna Ali ra saat berkhutbah kepada masyarakat pasca Ightiyal atas
Utsman ra, “Wahai masyarakat, usirlah orang-orang baduwi dari
daerahmu.” Dan berkata pula, “Wahai arab baduwi, kembalilah
kerumah-rumah kalian.” Para pengikut Ibnu Saba’ tidak menghiraukan
sedangkan orang-orang arab mengikuti perkataan sayyiduna Ali bin Abi
Thalib ra.
Para Arab baduwi ini hanya mencari kekayaan dan
dikendalikan oleh hawa nafsu dan ketamakan semata. Mereka sudah dikuasai
dendam tak berdasar kepada sayyiduna Utsman sehingga mudah sekali
memprovokasinya. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh Ibnu Saba’ untuk
menyusun, mengerahkan, dan mengirim mereka untuk menyulut fitnah di
Madinah. Mereka mengaku mendapatkan surat dari Sadatuna Ali, Thalhah,
Zubair, dan ‘Aisyah Ra sebagai legitimasi mereka. Yang mana setelah
bertemu sayyiduna Utsman ra mereka tidak sanggup untuk menuntut, karena
ternyata tidak ada hak mereka sama sekali untuk menuntut. Mereka semata
datang karena terprovokasi untuk menuntut apa yang bukan menjadi hak
mereka. Kejadian fitnah ini diabadikan dalam riwayat yang berasal dari
Ahnaf Bin Qays, Sahm Al-Azdi, dan Abu Said Al-Anshari, yang mana
ketiganya diterima oleh para Ulama dan ahli riwayat seperti Imam
Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Abu Hatim Al-Razi, Imam Al-Hakim
Al-Naisaburi dan lain-lain setelah menyeleksi beberapa riwayat lainnya
seperti dari Abu Mikhnaf, Al-Waqidy dan lain-lainnya.
Peristiwa
ini adalah akibat munculnya generasi/genre baru di masyarakat yang
menginginkan kedudukan diantara mereka. Mereka ini digerakkan oleh
orang-orang jahat yang bertujuan menjerumuskan Islam kedalam petaka.
Para sahabat di madinah tidak sampai berfikir bahwa orang-orang ini akan
melampai batas sehingga membunuh Sayyiduna Utsman ra dengan
mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena tipologi mereka adalah
orang-orang yang rajin beribadah dan cenderung fanatik buta, namun
pemahaman keberagamaan mereka dangkal, berbeda dengan para sahabat ra
yang dididik langsung oleh Rasulullah saw.
Menurut riwayat Abu
Said Al-Anshari, maka bertemulah utusan dari mesir dengan sayyiduna
Utsman ra. Tatkala Utsman mendengar bahwa utusan penduduk Mesir telah
menuju kepadanya, maka ia ingin menyambut di sebuah kampung yang
terletak diluar kota Madinah. Karena beliau tidak senang jika ditemui di
kota Madinah oleh orang-orang tersebut. Maka mereka mendatangi beliau
dan berkata, “Buka surat ke Tujuh!” Disini mereka menyebut surat Yunus
dengan surat ke Tujuh, maka dibacakan oleh sayyiduna Utsman surat
tersebut sampai pada ayat berikut:
“Katakanlah: “Apakah kalian
tidak melihat keadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”.
Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini)
atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59).
Lalu
mereka berkata, “Berhenti! Bukankah engkau melarang para pengembala
mengembalakan hewan dimana Untamu ada didalamnya??? Apakah Allah yang
mengizinkanmu ataukah kamu yang berdusta??” Maka sayyiduna Utsman
menjawab, “Saya akan tetap melaksanakannya, ayat tersebut turun dalam
hal ini dan ini. Sedang tentang wilayah terlarang yang kalian maksud itu
sebenarnya Umar telah telah menetapkannya sebelumku untuk unta
sedekahan. Adapun ketika aku memerintah bertambahlah jumlah untanya,
maka aku tambahkan tempatnya sesuai dengan bertambahnya unta sedekahan
tadi. Dan saya akan tetap melaksanakannya.”
Akan tetapi meski
demikian orang-orang ini tetap ngotot dan mengkritik sayyiduna Utsman
hingga beliau akhirnya berkhutbah, “Sungguh demi Allah tidak pernah saya
melihat utusan dimuka bumi ini yang lebih tahu tentangku daripada
utusan yang datang kepadaku ini.” Dan beliau melanjutkan, “Aku khawatir
akan utusan dari penduduk Mesir ini, dan barangsiapa yang memiliki
tanaman maka hendaklah ia mnyusulnya. Dan barangsoapa memiliki hewan
perahan maka segeralah ia memerah susunya. Ingatlah! Tidak ada harta
kalian pada kami, karena harta ini diperuntukkan bagi yang berperang
atau para pendahulu dari sahabat Rasulullah saw.” Maka marahlah
orang-orang tersebut, dan mereka berkata, “Ini adalah makar orang-orang
Bani Umayyah.” Singkatnya
Disini dapat kita lihat bagaimana kedalaman ilmu pengetahuan Agama Sayyiduna Utsman ketika menjelaskan kepada para baduwi yang merasa sebagai hamba Allah yang paling mulia. Beliau berusaha menjelaskan Asbabunnuzul serta ketetapan Khalifah Umar bin Khattab ra sebelumnya. Perlu diketahui bahwa Khalifah Umar ra adalah orang yang menyusun sistem ekonomi dan membentuk Diwan Al-’Atha untuk membagikan harta Baitul Maal yang terdiri dari zakat, sedekah, jizyah, ghanimah dan mengatur pendistribusiannya, termasuk kepada para penduduk Madinah. Maka sungguh mengherankan orang-orang ini ingin menggembala ditempat dimana unta sedekahan digembalakan, dan hasilnya dibagikan sebegitu adilnya. (Untuk penjelasan lengkapnya silahkan baca tulisan saya: Sayyiduna Umar Bin Khattab Dan Kekhalifahannya).
Disini dapat kita lihat bagaimana kedalaman ilmu pengetahuan Agama Sayyiduna Utsman ketika menjelaskan kepada para baduwi yang merasa sebagai hamba Allah yang paling mulia. Beliau berusaha menjelaskan Asbabunnuzul serta ketetapan Khalifah Umar bin Khattab ra sebelumnya. Perlu diketahui bahwa Khalifah Umar ra adalah orang yang menyusun sistem ekonomi dan membentuk Diwan Al-’Atha untuk membagikan harta Baitul Maal yang terdiri dari zakat, sedekah, jizyah, ghanimah dan mengatur pendistribusiannya, termasuk kepada para penduduk Madinah. Maka sungguh mengherankan orang-orang ini ingin menggembala ditempat dimana unta sedekahan digembalakan, dan hasilnya dibagikan sebegitu adilnya. (Untuk penjelasan lengkapnya silahkan baca tulisan saya: Sayyiduna Umar Bin Khattab Dan Kekhalifahannya).
Akan tetap
sebagian penduduk Iraq dan Mesir mengetahui bahwa perkara ini akan
berakhir dengan kematian Utsman, karena mereka semua mengetahui kondisi
Arab Baduwi secara historis, psikologis, dan sosialis yang
melatarbelakangi mereka. Mereka juga mengetahui sikap Utsman ra yang
sederhana dan welas asih, tidak ingin menumpahkan setetes
darahpun/membunuh seorang muslim. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat
Ahnaf Bin Qays, Sahm Al-Azdy, dan Abu Sa’id Al-Anshari. Utusan yang
bertemu dengan sayyiduna Utsman itu umurnya 30 tahunan. Masih muda namun
sudah sangat lancang.
Terlalu panjang untuk saya tuliskan disini.
Namun singkatnya, sayyiduna Utsmanpun terbunuh secara sadis, dimana
satu riwayat dikatakan bahwa beliau dipotong tangannya, dan dalam
riwayat lainnya beliau ditebas, padahal antara beliau dan sang pembunuh
ada Al-Qur’an (Maksudnya beliau mengatakan, “Diantara diriku dan dirimu
ada Kitabullah”). Setelah kematian Sayyiduna Utsman, maka Madinah
dipimpin oleh seorang pengacau yaitu Al-Ghafiqi bin Harb. Selama lima
hari berkuasa mereka lantas mencari-cari siapakah orang yang mau dan
mampu menggantikan Utsman ra. Orang-orang mesir lantas datang menemui
sayyiduna Ali ra. Disini dapat kita lihat bahwa sayyiduna Ali justru
menghindari mereka. Ketika mereka menemukannya, sayyiduna Ali ra lantas
mengusir mereka dan tidak bertanggung jawab terhadap apa yang mereka
lakukan sedikitpun. Orang-orang kufah juga mencari Sayyiduna Zubair bin
Awwam ra namun tidak menemukannya, merekapun mengirim utusan untuk
menemui beliau. Sayyiduna Zubair juga melakukan hal yang sama dengan
Sayyiduna Ali ra, begitupula Sayyiduna Thalhah ra yang mengusir
orang-orang ini. Maka setelah mendengar jawaban ketiga Sahabat ra tadi,
mereka seenaknya berkata, “Kami tidak akan mengangkat mereka bertiga.”
Mereka
lalu mengutus orang kepada Sayyiduna Sa’d bin Abi Waqqash dan berkata,
“Engkau termasuk ahli syura maka majulah untuk kami bai’at.” Ia
menjawab, “Saya dan Ibnu Umar tidak menerimanya, aku tidak membutuhkan
menjadi khalifah sedikitpun.” Mereka lantas bergegas menemui Sayyiduna
Ibnu Umar ra dan berkata, “Engkaulah putra Umar bin Khattab, maka
majulah ambil tampuk kekhalifahan ini.” Beliau malah menjawab, “Sungguh
hal ini akan mendapat balasan, demi Allah aku tidak akan mengambilnya,
carilah orang selain aku.”
Pada hari kamis, genap 5 hari setelah
kematian Utsman ra, para pengacau tersebut mengumpulkan penduduk
Madinah. Mereka tidak menemukan sayyiduna Sa’ad dan Zubair karena telah
keluar meninggalkan madinah, dan menemukan sayyiduna Thalhah ra di
kebunnya. Mereka mengetahui bahwa keturunan bani Umayyah telah keluar
madinah kecuali orang yang sudah lemah. Setelah penduduk madinah
berkumpul, penduduk mesir berkata, “Kalian semua adalah ahli syura,
kalianlah yang menentukan pemimpin, dimana pemimpin kalian akan diikuti
oleh yang lain. Pilihlah orang yang cocok dan kami akan mengikutinya.”
Maka sebagian besar berteriak, “Pilihlah Ali bin Abi Thalib, kami ridha
dengannya.”
Singkatnya, maka pada hari Jum’at sayyiduna Ali datang
ke masjid dan berkhutbah, “Wahai para hadirin, ini adalah perkara
kalian. Tidak ada yang berhak mengambilnya kecuali orang yang kalian
pilih semata, dimana kita telah berselisih kemarin. Jika kalian
menghendakiku untuk duduk maka aku akan duduk. Namun jika tidak maka aku
tidak akan mencela seorangpun.”
Orang-orang itu menjawab, “Kami
masih berselisih seperti kemarin.” Kemudian datanglah orang-orang
bersama sayyiduna Thalhah ra yang sebelumnya dijemput oleh utusan yang
dikirim oleh orang-orang Bashrah. Sayyiduna Thalhah ra berkata,
“Sesungguhnya aku membai’at untuk menumpas tipu daya ini.” Yang mana
pernyataan ini adalah pengakuan bahwa sayyiduna Ali adalah orang yang
sanggup untuk menggantikan sayyiduna Utsman, serta tidak akan termakan
oleh orang-orang pengacau ini.
Kemudian datanglah setelah itu
sayyiduna Zubair yang sebelumnya dijemput oleh utusan dari Kufah.
Beliaupun membai’at sebagaimana bai’at sayyiduna Thalhah ra. Lalu
didatangkanlah orang-orang yang berselisih sebelumnya dan mereka
berkata, “Kami membai’at untuk ditegakkannya Kitab Allah ditempat yang
dekat maupun yang jauh, terhadap orang mulia maupun orang yang hina.”
Mereka kemudian membai’at sayyiduna Ali bin Abi Thalib ra dan berdirilah
masyarakat seluruhnya untuk membai’at beliau.
Pada hari ketiga,
Sayyiduna Ali ra keluar menemui para pengacau dan berkhutbah, “Wahai
masyarakat, keluarkan orang-orang Arab (baduwi) dari kotamu!” Mereka
menyambutnya dengan mengatakan, “Wahai para Arab badui, kembalilah ke
daerah-daerahmu.” Seperti dijelaskan sebelumnya, pengikut Ibnu Saba’
menolak seruan ini, sementara orang-orang Baduwi menemui sayyiduna Ali
ra di rumahnya. Mereka juga menemui Sayyiduna Thalhah dan Zubair serta
juga sebagian sahabat sambil menantang, “Tunjukkan balas dendammu kepada
kami!” Maka sebagian sahabat menasihati Sayyiduna Ali untuk tidak
menanggapi mereka dengan balas dendam atau menuntut hukuman atas
kejahatan mereka sekarang. Sayyiduna Thalhah mengatakan, “Biarkan kita
berfikir sejenak.” Sayyiduna Zubair juga menjawab demikian kepada
mereka.
Mereka melegalkan pembunuhan kepada sayyiduna Utsman
dengan alasan bahwasannya menurut para ahli Ibadah dari kalangan mereka
Utsman telah salah, dan karena keyakinan mereka bahwa mereka mempunyai
hak di Baitul Maal yang harus didapatkannya. Keterpaksaan sayyiduna Ali
ra bisa jadi didorong faktor bahwa beliau melihat orang-orang ini sangat
tekun dan khusyu’ dalam beribadah, sehingga Ali ra berharap Allah swt
akan mengampuni mereka walaupun pemahaman mereka dangkal.
Namun
justru hal inilah sumber petaka bagi Ummat, dimana sayyiduna Utsman
akhirnya justru terbunuh. Sayyiduna Ali ra sendiri sebelumnya pernah
ditemui oleh orang-orang mesir ini dan mengatakan kepada mereka, “Apakah
kalian hendak berperang hanya alasan seperti ini?” Kemudian beliau
pergi meninggalkan mereka. Sayyiduna Ali tidak sampai berfikir bahwa
orang-orang seperti inilah yang berani menghabisi nyawa sayyiduna Utsman
bin ‘Affan ra.
Kaum Baduwi yang gemar berperang ini termakan
hasutan Ibnu Saba’ disaat sayyiduna Ali ra ingin berdamai dengan Thalhah
dan Zubair, serta menyulut peperangan dari dalam kubu kaum Muslimin.
Hasutan ini terjadi setelah pihak Sayyiduna Ali, Thalhah dan Zubair
bertemu serta bersepakat untuk damai. Hembusan fitnah ini dilakukan
dengan cara mengobarkan pertempuran secara rahasia oleh orang-orang
Baduwi dari bani Muhdar, kabilah Rabi’ah, dan orang-orang yaman menyusup
kepada kabilah mereka masing-masing yang ada di pihak sayyidah ‘Aisyah
dan menyulut pertikaian. Hingga keluarlah Sayyiduna Zubair dan Thalhah
berkata, “Ada apakah ini?” Sedangkan didepan mereka ada orang-orang bani
Muhdar yang mengatakan, “Kami diserang pada malam hari.” Lalu keduanya
berkata, “Sekarang kita mengetahui bahwa Ali tidak mau berhenti kecuali
dengan pertumpahan darah. Kemudian mereka kembali ke pasukan Bashrah,
yang kemudian mereka memerangi para penyerang malam itu hingga penyerang
tersebut melarikan diri ke tempat mereka masing-masing.
Hal ini
diketahui oleh Sayyiduna Ali bin Abi Thalib dan penduduk Kufah, dimana
orang-orang jahat dan ahli makar sudah dipersiapkan berada di sisi
sayyiduna Ali untuk menghasutnya. Sayyiduna Ali berkata, “Ada apa ini?”
Orang tersebut menjawab, “Kami tiba-tiba diserang oleh kaum yang tinggal
bersama kami hingga kami mengusir mereka ke kemah-kemah mereka
masing-masing.” Sayyiduna Ali lalu berkata kepada orang disebelah
kanannya, “Datangkanlaah pasukan dari sebelah kanan saya.” Lalu berkata
pula dengan hal yang sama kepada sebelah kirinya, dan berkata. “Aku
akhirnya mengetahui bahwa Thalhah dan Zubair tidak akan berhenti kecuali
dengan pertumpahan darah.”
Namun dapat dilihat bahwa sebenarnya
Sayyiduna Ali tidak terpengaruh dengan hasutan tersebut saat berpidato
didepan pasukannya kemudian, “Wahai Manusia! Tenanglah! Tidak terjadi
apa-apa.” Karena Sayyiduna Ali percaya bahwa kesepakatan mereka tidak
akan terkhianati begitu saja, kecuali diplomasi sudah buntu, dimana
sayyiduna Ali memerintahkan agar tidak membunuh orang yang lari, serta
tidak menganiaya orang yang terluka atau mempercepat kematiannya. Akan
tetapi peperangan sudah tidak bisa dielakkan lagi. Hasutan Abdullah bin
Saba’ beserta orang-orang Baduwi berhasil memecah kaum muslimin. Hingga
singkatnya pasukan Zubair dari Bashrah kalah, sayyiduna Zubair ra
terluka dengan tusukan panah, sedangkan Thalhah kembali ke Bashrah
setelah terkena tusukan panah juga. Sementara orang-orang baduwi
pengikut Ibnu Saba’ ini masih terus menyerang pasukan Sayyidah Aisyah,
Thalhah dan Zubair ra. hingga mereka kalah.
Yang terjadi
setelahnya adalah sayyidah Aisyah ra berkata kepada Ka’ab, “Angkatlah
kitab Allah dan ajaklah mereka untuk menegakkan kitab Allah, lalu ia
menyerahkannya kepada Ka’ab. Para pasukan Sayyiduna Ali menerima hal ini
namun ternyata pasukan Ibnu Saba’ masih takut akan terjadinya
perdamaian dan melempar Ka’ab dengan panah hingga terbunuh. Mereka juga
secara bejat melempari Sayyidah Aisyah yang berada di unta dengan
senjata-senjata mereka hingga beliau berteriak, “Wahai bekas-bekas
pasukanku! Ingatlah kepada Allah dan hari Perhitungan!” Namun mereka
mengabaikannya hingga ia berkata lagi, “Ya Allah, laknatilah para
pembunuh Utsman dan para pembantu-pembantunya.” Dan seruan inipun
diamini oleh sayyiduna Ali seraya meyerukan hal yang sama dengan
Sayyidah Aisyah sebagaimana riwayat dari Muhammad bin Hanafiyah.
Bagaimanapun
bentuk penafsirannya, yang jelas Sayyidah Aisyah tidak menginginkan
peperangan ini. Karena sedari awal mereka bertiga sudah sepakat bahwa
Ali bin Abi Thaliblah pengganti Ustman disaat Utsman terlihat akan
mengalami pembunuhan, sebagaimana bisa dilihat pada periwayatan Ahnaf
bin Qays, yang mana adalah pelaku sejarah itu sendiri sekaligus yang
menanyakan Bai’at pada mereka bertiga secara langsung sebelum kematian
Sayyiduna Utsman. Ahnaf bin Qays ra termasuk ahli hikmah di kalangan
bangsa Arab. Ia dikenal dengan kepemurahannya, sehingga sering dijadikan
permisalan dalam hal itu. Beliau termasuk sempat hidup pada masa
Rasulullah saw, dan wafat pada tahun 70 H. Darinya pula Imam Al-Nasa’i
pernah mengutip satu bagian riwayat darinya, lalu diriwayatkan secara
panjang dan singkat mengenai Maqtal Utsman.
Orang-orang ini juga
seenaknya menyalahkan Sayyiduna Ali serta keluar dari barisan Pasukan
beliau sebanyak 12.000 orang, dengan alasan Sayyiduna Ali dianggap gagal
berundung pada pengangkatan Mushaf/Tahkim. Maka sayyiduna Ali menjawab,
“Demi Allah, apakah engkau tau bahwa mereka mengangkat mushaf dan kamu
menjawab, “Kami menerima kitab Allah.” Kemudian beliau juga berkata,
“Yang menghukumi adalah Al-Qur’an dan inilah Al-Qur’an yang tertulis dan
tidak berbicara. Yang berbicara adalah manusia.” Hingga akhirnya mereka
mengaku bahwasannya mereka keluar karena ketidakpuasan mereka kepada
hasil pengangkatan Mushaf yang mana adalah mereka terima sendiri.
Sebagian mereka taubat sedang sebagian lagi memberontak atas pimpinan
Abdullah bin Wahab Al-Rasibi, yang menganggap bahwa orang-orang selain mereka adalah kafir. Sayyiduna Ali ra tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memerangi mereka, yang terkenal dengan istilah perang Harura’.
Adapun
yang disebutkan dalam kitab-kitab Fiqih guna menjelaskan pasal Qital
Ahli Al-Baghyi, adalah ketetapan sayyiduna Ali mengutus seorang Ahli
Al-’Adl sebelum memerangi kaum Khawarij, yaitu sayyiduna Ibnu ‘Abbas ra
untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang-orang ini, hingga kembalilah
yang sadar sebanyak 4000 orang dimana sisanya tetap membangkang, maka
Sayyiduna Ali memerangi mereka.
Renungkanlah perkataan Malik Al-Asytar, Seorang baduwi yang ikut memakari pembunuhan Sayyiduna Utsman ra,
“Demi Tuhan yang Esa, jika Ali dan Aisyah berdamai, maka mereka pasti
akan bersepakat menumpahkan darah kita. Untuk itu marilah sekarang kita
bunuh Ali supaya mengikuti nasib Utsman. Dan kita hembuskan Fitnah lagi
sehingga manusia lupa akan urusan mereka membunuh kita.” Abdullah
bin Saba’ menjawab, “Pendapatmu adalah paling konyol, kami dari penduduk
kufah berangkatlah bersama Dzi Qar dengan membawa 2500 atau 2600
pasukan, sedangkan Ibnu Hanzalah dan sahabat-sahabatnya membawa 5000
pasukan, jangan memancing pertempuran. Jagalah diri kalian, janganlah
mengangkat beban yang kalian tidak kuat mengangkatnya.” Kemudian orang
selain Al-Asytar berbicara sehingga Ibnu Saba’ langsung bicara kembali, “Wahai
kaum! Sesungguhnya kemuliaan kamu adalah selama kamu bergabung dengan
manusia. Maka bergabunglah dengan mereka. Jika orang-orang sudah
berkumpul besok pagi maka mulailah peperangan, dan jangan jadikan
manusia sampai berkomunikasi sesama mereka.”
Wal ‘Iyadzu Billah.
Kita
cukupkan sampai disini kisah diatas walaupun statusnya adalah s3 atau
sangat secuil sekali dari lembaran-lembaran sejarah yang ditulis dalam
kitab-kitab Tarikh oleh para Ulama yang mulia, dimana mereka membahas
rentetannya kisah fitnah pada masa Sahabat yang agung dengan begitu
mendetail sekali. Namun hendaknya kita bisa mengambil beberapa poin
krusial guna memantapkan pandangan kita berkenaan dengan hal ini dan apa
yang memiliki kaitan ‘Ibrah daripadanya:
1. Sudah
selayaknya kita berdoa memohon kepada Allah swt agar tidak digolongkan
kedalam manusia-manusia seperti ini. Dan semoga kita diberikan cukup
ilmu serta kekuatan untuk menghalau pemahaman yang menghancurkan Islam
yang datangnya dari dalam dan mengatasnamakan amar makruf, namun justru
sebenarnya merusak. Fa’tabiruu Yaa Ulil Abshaar, Maka carilah I’tibar wahai orang-orang yang memiliki pengelihatan.” (Al-Hasyr : 2).
Apakah yang dimaksud dengan I’tibar dalam ayat yang mulia diatas? Yang dimaksudkan adalah Qiyas. Karena kata I’tibar diambil dari kata Al-’Ubuur Mashdar ‘Abara-Ya’buru yang berarti Mujawazah, yakni Mujawazah Bil Hukmi ‘An Al-Ahsl Ilaa Al-Fara’/Perumpamaan/Analogi
yang memiliki kesesuaian dan ketetapan sebagaimana Ta’rif/definisi dari
para Ahli Ushul. Maka hendaknya kita menganalogikan sebuah masalah yang
terlebih dahulu terjadi, kemudian mencari keserupaan ‘Illat/Cause,
sehingga dapat menarik kesimpulan yang sesuai dengan Syari’at,
sebagaimana para Sahabat Rasulullah saw sehingga tidak terjatuh dalam
pembacaan text agama yang sempit, dangkal, dan menjerumuskan sebagaimana
orang-orang baduwi diatas.
2. Telah jelas bahwa penduduk
Madinah sangat konsisten untuk mengakhiri fitnah ini. Sayyiduna Ali
merelakan dirinya menerima tanggung jawab guna melepaskan fitnah.
Sayyiduna Zubair dan Thalhah membaiat pula guna melepaskan ummat dari
fitnah.
3. Kemudian dapat kita saksikan, sikap orang-orang
baduwi yang kurang ajar, mencari dunia dengan mengatasnamakan Allah swt
hingga Rasulullah saw yang Mulia tak luput dari manusia-manusia ini.
Kita lihat pula, bahwa orang-orang baduwi yang pada awalnya merasa gagah
dan hebat hingga menghalalkan darah sayyiduna Utsman ra pun
kebingungan. Mereka mencari figur-figur yang mampu memimpin mereka
karena sejatinya mereka bingung mau berbuat apa? Semata karena mereka
tidak memiliki ilmu yang cukup dan memadai terhadap pemahaman Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulillah saw.
4. Dari sini pula kita dapat
tegaskan, bahwa semua kibar sahabat menolak dan tidak mau untuk
diba’iat. Karena mereka menyadari benar, bahwa tanggung jawab tersebut
amatlah besar dihadapan Allah swt. Karena pemerintahan tersebut adalah
hasil persimbahan darah seorang muslim dan ahli kiblat, serta khalifah
mereka yang hakiki. Mereka juga enggan untuk bersengketa, terbukti
beberapa kali dihasut, mereka tetap memilih persatuan, walaupun akhirnya
peperangan pecah karena ulah orang-orang jahat.
5. Dalam
kisah ini juga terlihat sekali kekurangajaran orang-orang baduwi yang
merasa diri merekalah pemimpin sejati karena mayoritas kepada para
Sahabat Rasulullah saw yang mulia. Sahabat yang mendapatkan pendidikan
langsung dari Rasulullah saw. Dalam cerita ini pula dapat diketahui
bahwasannya Sayyiduna Ali ra ingin menghukum mereka tetapi pada saat itu
para sahabat tidak sependapat.
6. Kita juga dapat mengambil ‘Ibrah, bagaimana orang-orang ini gemar mengatasnamakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan
ayat-ayat Allah, namun hal ini tidak melebihi kerongkongan mereka
karena pemahaman mereka yang dangkal. Terbukti ketika bertemu dengan
Utsman ra kali pertama untuk menuntut, mereka tidak bisa menjawab dan
kembali pulang karena apa yang mereka tuntut sebenarnya adalah kebodohan
mereka sendiri (Seperti menuntut Lahan unta sedekah agar dijadikan
lahan umum bagi unta-unta dan ternak mereka dsb yang mana sudah
ditetapkan sayyiduna Umar ra sebelumnya).
7. Kemudian hal
ini meniscayakan keberadaan penyusup yang memanfaatkan keadaan
orang-orang baduwi tersebut yang terbiasa berperang satu sama lain serta
tidak mendapatkan bimbingan langsung dari Rasulullah saw. Sehingga
orang-orang ini mudah sekali menerima hasutan. Penyusup ini mempunyai
rancangan jahat, yaitu menghembuskan kebencian terhadap para Ulama
sahabat kepada orang-orang baduwi agar mereka melakukan makar
berdasarkan kitab Allah. Inil Hukmu Illa Lillah, itulah seruan mereka.
8.
Kita juga dapat mengambil pelajaran, bagaimana manusia saat ini berebut
kekuasaan mengatasnamakan Islam. Namun pada sejatinya mereka
menghalalkan darah sesama kaum muslim. Mereka memerangi ulama, dan
menganggap terbunuhnya Ulama adalah sesuatu yang patut dirayakan. Apakah
Rasulullah saw tidak bersabda, “Ingatlah kebaikan-kebaikan orang yang
sudah meninggal diantara kalian.” Orang-orang seperti ini yang dikatakan
oleh sayyiduna Ibnu Umar, “Mereka menjadikan ayat-ayat yang turun
kepada orang kafir, dan mengithlaqkan (menisbatkannya) kepada kaum
muslimin.” Padahal Rasulullah saw telah mewanti-wanti, “Tidaklah
seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiq, dan menuduhnya dengan
kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh jika
orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan.” (HR. Bukhari). Dan
juga Sabda Beliau Saw, Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya “Hai
orang kafir,” maka kata itu akan menimpa salah satunya. Jika benar apa
yang diucapkan (berarti orang yang dituduh menjadi kafir); jika tidak,
maka tuduhan itu akan menimpa orang yang menuduh.” (HR. Muslim).
8.
Orang-orang seperti inilah yang diwanti-wanti oleh Rasulullah saw dalam
Hadistnya yang masyhur, Beliau saw bersabda: “Sepeninggalanku akan ada
sekelompok orang yg membaca al Qur’an tidak melampaui tenggorokannya.
Mereka membunuh pemeluk2 Islam dan membiarkan para penyembah berhala.
Mereka itu orang-orang yang jauh menyimpang dari rel agama, demikian
jauhnya spt anak panah yg tidak mengena pada sasarannya. Sekiranya aku
mengalami mereka, pasti akan kuperangi sebagai orang durhaka.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
10. Kita saksikan pula hari ini begitu
banyak orang memerangi saudaranya demi kekuasaan semata, sementara
mereka melupakan penindasan kaum kafir dan thaghut Israel kepada bangsa
Palestina. Mereka berlomba-lomba saling menghujat, mengafirkan selain
mereka tanpa Haqq. Berhala bisa berupa kekuasaan, wanita, jabatan, dan
lain sebagainya. Ketika sesuatu sudah disembah dan dipuja melebihi Allah
swt dan melewati batas Petunjuk-Nya yang terdapat dalam Al-Kitab Wa
Al-Sunnah, sehingga mendorong mereka untuk membid’ahkan hingga
menghalalkan darah sesama muslim dengan mudahnya.
11.
Kemudian, hendaknya tidak serta merta memerangi suatu kaum sebelum
mengirimkan juru runding yang ‘Adil (Dalam beragama) dan ‘Arif (Dalam
pemahaman Ilmu agama), sebagaimana sayyiduna Ali ra mengirim sayyiduna
Ibnu Abbas ra untuk berunding kepada Khawarij hingga 4000 dari mereka
sadar dan kembali. Barulah setelah perundingan gagal, peperangan oleh
seorang sulthan yang sah dilakukan. Maka bedakan disini antara
peperangan dengan posisi kekuasaan yang sah, ilmu yang mumpuni, serta
usaha mendamaikan terlebih dahulu, dengan orang-orang yang berperang
tanpa dasar ilmu yang jelas, hanya mengikuti hawa nafsu menumpahkan
darah sesama orang muslim, dan menganggapnya kafir. Hal ini juga
dilakukan oleh Sayyiduna Ali ra ketika mengutus Al-Qa’qa’ bin ‘Amru
untuk berunding menemui Sahabat Thalhah dan Zubair, mengajak Ishlah dan
perdamaian dan mereka berdua menyetujuinya. Hal ini juga menandakan
bahwa Sayyiduna Ali hendak terus melacak pelaku pembunuhan Sayyiduna
Utsman, namun kekhawatiran beliau terhadap kelanjutan fitnah jauh lebih
besar, dan perpecahan ummat Islam akan semakin kentara. 12.
Hal ini juga menjawab tuduhan orang-orang Syi’ah atas klaim mereka bahwa
Ahlusunnah memasukkan figur Ibnu Saba’. Maka perlu diketahui, bahwa
Periwayatan ini datang dari Saif bin Umar Al-Tamimi adalah bisa diterima
setidaknya oleh para sejarawan. Sebab Saif berasal dari bani Tamim yang
terkenal sekali dengan keahlian mereka dalam bidang sejarah. Dan Bani
Tamim adalah orang-orang yang tidak terlibat dalam persengketaan fitnah
perang Jamal bersama tuan mereka Ahnaf bin Qays, tidak satupun dari
mereka ikut dalam pembunuhan Utsman, kemudian mereka ikut kedalam
barisan Ali bin Abi Thalib, dan berperang bersama Sayyiduna Ali bin Abi
Thalib. Sebagian mereka juga ada yang masuk kedalam Khawarij sehingga
mengetahui bahwa kaum Khawarij sebagian mereka ada yang terlibat
pembunuhan sayyiduna Utsman Ra bukan karena salah niat, namun karena
mereka ingin menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar. Keberadaan Ahnaf
bin Qays dan periwayatannya yang diterima oleh kalangan Ahli hadist,
serta Saif bin Umar Al-Tamimi secara detil dan jelas karena kabar-kabar
yang ada dari kabilahnya, serta riwayatnya sejalan dengan riwayat Ahnaf
bin Qays.
13. Rasulullah saw dan para sahabat bahkan tidak luput
dari perlakuan orang-orang seperti ini yang merasa bahwasannya Al-Qur’an
secara tertulis adalah hak bagi semua orang untuk menafsirinya
serampangan. Lihatlah bagaimana mereka menarik burdah Rasul, membentak
dan menasehati Sayyiduna Utsman menyoal agama, keluar dari jamaah
sayyiduna Ali atas apa yang mereka pinta sendiri dengan dalih
‘Kitabullah’. Inilah yang juga dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzy, “Ada
orang-orang yang memendekkan pakaian mereka (agar tidak isbal), namun
dihati mereka bersemayam kesombongan Fir’aun.”
Maka penulis tutup dengan kalimat, Laa Nuriid Bi Al-Kitab wa Al-Sunnah Rasman Aw Kitaabatan, Bal Nuriid Man Afham Bihimaa. Kami
tidak menginginkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang semata tercetak maupun
tertulis begitu saja (Karena dapat menimbulkan paham yang berbahaya).
Namun kami menginginkan para Ulama Pewaris Para Nabi Yang Hakiki untuk
mengajarkan kami apa maksud daripada Al-Kitab dan Al-Sunnah agar kami
tidak tersesat.
Semoga kita dijauhkan dari perpecahan ummat dan
tidak tergolong orang-orang yang membuat makar kepada pada Sahabat
Rasulullah saw, menghalalkan darah sesama muslim, serta mudah sekali
mengafirkan selain golongan mereka, Amin.
Hadanallah Wa Iyyakum Ajma’iin.
* Alumnus Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
http://www.mosleminfo.com/index.php/islamia/artikel/potret-kaum-baduwi-dan-ibnu-saba-pada-masa-sahabat/