Siapa Azhari Siapa Salafi-Wahabi?
Oleh: Zulfahani Hasyim*
Tulisan
ini tertulis setelah kegelisahan penulis yang berlangsung sejak lama
dan membuncah saat penulis menyaksikan wawancara Dr. Ahmad Karimah,
salah satu pengajar di Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar
Kairo di staisun televisi Mesir, Al-Masriyah. Beliau mengungkapkan
kegelisahan beliau akan serangan-serangan baik dalam bentuk fisik atau
opini publik terhadap Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan
di Mesir oleh dua kelompok radikal Islam di Mesir yaitu Ikhwanul
Muslimin dan Jama’ah Salafi. Sebelumnya penulis pernah mendapati sendiri
di kampus, seorang mahasiswa Mesir yang berkoar-koar tentang
“kekeliruan” akidah yang dianut Al-Azhar. Melabeli
pengajar-pengajarAl-Azhar dengan label sesat dan bahkan kafir. Saat itu
penulis langsung menegur dia dan mengajaknya diskusi. Namun bukan
diskusi yang baik yang terjadi tapi justru debat kusir yang tidak ada
ujungnya.
Selain itu penulis juga ‘meraba’ lewat jejaring sosial
dan aktivitas keseharian mahasiswa Al-Azhar terutama yang berasal dari
Indonesia dan Malaysia. Dari sana penulis mendapati beberapa mahasiswa
Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar justru mempunyai pola
pikir yang berseberangan dengan Al-Azhar, baik dalam segi ideologi
maupun pandangan politiknya. Ini sangat aneh, karena mereka berjalan di
luarmainstream yang ada. Sudah sama-sama kita ketahui bahwa
Al-Azhar berdiri sebagai institusi pendidikan dan keagamaan dalam posisi
moderat dengan mengusung ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah demi bisa
merangkul berbagai golongan dalam tubuh Islam. Memang bukan hal baru
jika murid berbeda pandangan dengan gurunya, namun tentu itu sebatas
berbeda dalam masalah� furu’iyah,bukan� ushuliyah.
Keanehan ini muncul lantaran mereka menyelisihi Al-Azhar sebagai tempat
dia belajar dalam hampir keseluruhan kurikulum Al-Azhar.
Padahal
jika kita mau menengok ke dalam alur pendidikan mereka ini, mereka yang
menyelisihi Al-Azhar rata-rata mendapat beasiswa dari Al-Azhar, mendapat
fasilitas asrama gratis, dan bahkan mendapat lisensi Al-Azhar ketika
merekalulus.
Fenomena ini juga tidak hanya berlaku sebatas mereka
yang masih berstatus mahasiswa namun juga mereka yang sudah berstatus
alumni. Justru yang sudah berstatus alumni ini yang saya golongkan
sebagai golongan paling “berbahaya” bagi nama baik Al-Azhar. Kenapa?
Karena mereka-mereka inilah yang sudah menyentuh masyarakat lewat
berbagai interaksi sosial.
Dari sini akan penulis jelaskan secara
singkat tentang beberapa hal. Pertama, siapa mahasiswa Al-Azhar yang
berseberangan dengan Al-Azhar, kedua posisi Al-Azhar sebagai lembaga
pendidikan dan keagamaan, ketiga ideologi dan kurikulum yang diusung
Al-Azhar, keempat alumni yang seperti apa yang diharapkan oleh Al-Azhar.
Pertama,
siapa mereka yang berseberangan dengan Al-Azhar? Perlu diketahui
Al-Azhar tidak pernah pilah-pilih dalam mengambil murid dan mahasiswa,
tidak pernah melihat warna kulit dan negara asal, tidak melihat dari
suku apa dia berasal, dan tidak melihat dari golongan apa mereka
berangkat ke Al-Azhar. Al-Azhar dengan senang hati membuka diri untuk
semua orang yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah dan Baginda
Muhammad adalah utusan Allah. Al-Azhar dengan senang hati merangkul
mereka semua tanpa membeda-bedakan dari bangsa apa dia, dari organisasi
apa dia, dan dari golongan apa dia. Al-Azhar dengan sabar mendidik
mereka dengan kurikulum pilihan Al-Azhar yang tentunya sudah melewati
proses ijtihad para dosen dan syeikh-syeikh petinggi Al-Azhar.
Meski
Al-Azhar memilih jalur moderat dan membuka diri dengan semua golongan
dan menghormatinya, namun Al-Azhar tetap punya prinsip terutama dalam
hal akidah.Al-Azhar dalam hal ini memilih akidah Asy’ariyah dan
Maturidiyah sebagai pedomannya, memilih empat madzhab fikih (Syafi’iyah,
Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah) sebagai acuan ibadah dan
muammalahnya, serta memilih tariqah Sufiyah Islamiyah sebagai pegangan
ajaran budipekertinya.
Sampaidi sini ternyata semua pedoman dan
acuan Al-Azhar yang seharusnya bisa merangkul semua golongan Islam
tersebut justru mendapat tentangan dan perlawanan dari anak didik
Al-Azhar sendiri. Mereka ini adalah mahasiswa-mahasiswa atau
alumni-alumni yang secara organisasi berasal dari segolongan kader
partai yang sejalan dengan Ikhwanul Muslimin (selanjutnya ditulis IM)
dan yang berasal dari golongan Salafi-Wahabi. Atau juga mereka
yangsebenarnya bukan kader partai yang sejalan dengan IM atau dari
golongan Salafi-Wahabi namun terkena “virus” dari dua golongan ini, bisa
dikatakan mereka ini “korban”. Atau mereka yang memang sudah punya
genetika Salafi-Wahabi sejak dari Indonesia atau Malaysia, atau genetika
partai-partai yang sejalan dengan IM.
Mahasiswa dan alumni
Al-Azhar yang seperti disebut di atas inilah yang berseberangan dengan
Al-Azhar baik secara perilaku maupun ideologi. Penulis tidak tahu menahu
tentang mengapa dan bagaimana mereka bisa masuk Al-Azhar, yang penulis
tahu mereka ini memakai atribut dan label Al-Azhar atau lulusan Al-Azhar
untuk merebut simpati dan perhatian masyarakat awam ketika mereka
berdakwah dan terjun ke masyarakat. Namun begitu, apa yang mereka
dakwahkan tidaklah sama dengan apa yang Al-Azhar ajarkan. Mereka hanya
seperti numpang nama keren Al-Azhar yang sudah mendunia dan diakui
keunggulan keilmuannya. Dengan begitu mereka bisa menyisipkan
ajaran-ajaran IM dan Salafi Wahabi.
Al-Azhar sendiri meski tidak
pernah secara eksplisit menyatakan permusuhan dengan golongan IM dan
Salafi-Wahabi, namun Al-Azhar menentang ajaran-ajaran takfir(pengkafiran
tanpa peninjauan ulang), ajaran pencampuran kepentingan politik dengan
agama, ajaran fanatisme buta terhadap satu madzhab atau personal, dan
ajaran-ajaran Islam yang tidak berlandaskan madzhab fikih yang empat
(Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah). Dan ajaran-ajaran
tersebut dihukumi oleh Al-Azhar sbagai ajaran yang menyimpang dari
ajaran Islam yang sebenarnya yang mengajarkan toleransi dan merupakan
rahmat bagi sekalian alam. Dengan begitu Al-Azhar meski secara institusi
tidak menyatakan “perang” dengan IM dan Salafi-Wahabi, namun Al-Azhar
memegang prinsip untuk menentang ajaran-ajaranyang kebetulan dianut oleh
IM dan Salafi-Wahabi. Meskipun bertentangan dan berlawanan Al-Azhar
masih menghormati dan respek terhadap penganut-penganut
pemikiran-pemikiran tersebut di atas.
Pada babakan selanjutnya
ternyata mahasiswa-mahasiswa dan alumni-alumni Al-Azhar“aspal” (asli
tapi palsu) semacan ini tidak berhenti hanya dalam memakai
danmemanfaatkan nama Al-Azhar untuk mensukseskan kepentingan-kepentingan
mereka, namun berlanjut pada menyerang Al-Azhar baik dalam bentuk
fisik, politik,maupun opini publik. Mereka seperti penghianat yang
menikam gurunya sendiri dari belakang. Mereka tak lagi memikirkan
nilai-nilai moral apalagi syariat. Mereka menyerang Al-Azhar dengan
segala daya dan upayanya.
Dari sini, masyarakat Indonesia penulis
ajak untuk berhati-hati dengan banyaknya alumni Al-Azhar yang “aspal”
semacam ini. Mereka menyodorkan ijazah Al-Azhar kepada anda tapi mereka
tidak mengikuti dan mendalami apa yang Al-Azhar ajarkan baik ketika di
Mesir maupun ketika sudah berada di kampung halaman masing-masing.
Mereka ini bisa dipastikan selama berada di Mesir tidak belajar kepada
para dosen Al-Azhar dan para masyayikhnya. Mereka jauh dari aktivitas
talaqi di ruwaq-ruwaq masjid Al-azhar. Dan malah sebaliknya, mereka
belajar dengan ulama-ulama Mesir yang berseberangan dengan Al-Azhar,
baik dari sisi ideologi atau pun pandangan politik. Mereka hanya
mempelajari diktat Al-Azhar sekedar agar bisa menjawab soal ujian, tanpa
mengamalkan dan membenarkannya. Mereka menipu masyarakat awam bahwa
Al-Azhar sudah mengajarkan apa yang mereka dakwahkan padahal selama di
Mesir mereka menghujat dan mencaci Al-Azhar.
Lantas bagaimana
posisi Al-Azhar di dunia Islam secara global? Sudah sama-sama kita
ketahui bahwa Al-Azhar adalah institusi pendidikan Islam yang moderat.
Al-Azhar tidak mengajarkan fanatik buta pada anak didiknya. Setiap hal
yang Al-Azhar ajarkan maka anak didiknya diperbolehkan menelitinya dan
mengkoreksinya jika ada kesalahan tentu dengan argumen-argumen yang kuat
dan bisa dipertanggungjawabkan. Al-Azhar berdiri di semua lapisan dan
golongan masyarakat Islam. Al-Azhar tidak berpihak pada satu partai atau
kepentingan politik manapun. Al-Azhar tulus mendidik putra-putri
terbaik Islam untuk dijadikan kader bagi umat Islam yang moderat yang
membawa misi� rahmatan lil ‘alamin.
Dari sini sudah jelas
bahwa Al-Azhar berada di pihak yang moderat. Namun begitu Al-Azhar tetap
memiliki prinsip dan pedoman untuk dijalankan oleh mahasiswa dan
alumninya. Al-Azhar pun memilih beberapa ideologi yang sudah penulis
sebut diatas.
Ideologi dan kurikulum Al-Azhar berpedoman menurut
tiga sisi, dari sisi akidah Al-Azhar berpedoman pada madzhab yang
didirikan oleh Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari(selanjutnya disebut
Asy’ariyah atau Asya’irah) dan madzhab yang didirikan oleh Abu Mansur
Al-Maturidi (selanjutnya disebut Maturidiyah). Dari sisi fikih (ibadah
dan muammalah) Al-Azhar memakai empat mazdhab fikih yang ada di dalam
Islam yaitu Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah. Dan dari
sisi akhlak Al-Azhar berpegang pada tariqah Sufiyah Islamiyah,
tariqah-tariqah sufi yang masih sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Sekarang
muncul pertanyaan jika memang moderat kenapa mengambil madzhab teologi
Asy’ariyah dan Maturidiyah? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis
mencoba membawa pembaca menelusuri secara singkat perkembangan ilmu
akidah atau bisaa disebut ilmu kalam di dunia Islam. Pada abad pertama
Islam perselisihan masalah akidah atau kalam tidaklah kentara, yang ada
hanya perselisihan politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib kw., dan
Muawwiyah berujung munculnya madzhab Syiah, Khawarij, dan Murji’ah.
Namun seiring meluasnya wilayah Islam dan masuknya beberapa penganut
agama lain ke dalam Islam yang tentu masih menyisakan dalam pikiran
mereka sebagian ajaran-ajaran agama mereka sebelumnya, dan juga gerakan
penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab sebagai
bahasa negara Islam saat itu mulailah muncul beberapa aliran pemikiran
dalam Islam. Hinggapada abad kedua Hijriyyah muncul Wasil bin Atha’
dengan pemikiran Muktazilahnya sebagai reaksi atas tiga madzhab besar
yang menghegemoni Dinasti Ummayah saat itu yaitu Qadariyah, Jabariyah,
dan Murji’ah. Aliran yang didirikan Wasil binAtha’ ini bisa disebut
sebagai aliran rasionalis Islam yang mencoba menengahi problem� naql (teks) dan� ‘aql (akal)
saat itu. Karena pada generasi-generasi setelah Wasil bin Atha’ para
ulama Muktazilah lebih cenderung mendewakan akal dari pada nas, maka Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari yang notabene murid dari salah satu tokoh
Muktazilah yang bernama Al-Juba’i, menyatakan diri keluar dari
Muktazilah setelah beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. dan
dalam mimpi tersebut Rasulullah saw. menasihati Abu Al-Hasan Al-Asy’ari
untuk menggunakan nas (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dengan tetap menggunakan
akal pikiran sebagai penyeimbang akidahnya. Dan barangkali karena
Asy’ariyah berada pada titik tengah di mana tetap menggunakan nas
Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai acuan akidah serta menyeimbangkannya
dengan rasionalitas, maka Al-Azhar memilih memakai madzhab kalam
Asy’ariyah dan Maturidiyah yang notabene mempunyai banyak kesamaan
dengan Asy’ariyah.
Jika di atas sudah penulis jelaskan bagaimana
posisi Al-Azhar dan bagaimana ideologinya, maka pertanyaan terakhir
adalah alumni seperti apa yang diharapkanAl-Azhar? Al-Azhar tidak pernah
membaiat alumninya untuk menjadi dai, tapi mewajibkan alumninya untuk
menyebarkan Islam yang moderat di setiap lini kehidupan. Artinya alumni
Al-Azhar tidak harus jadi dai atau pengajar. Mereka boleh saja jadi
bisnisman, wirausahawan, pejabat pemerintahan, dan lain sebagainya.
Namun yang terpenting adalah mereka bisa membawa dan menunaikan misi
Al-Azhar yaitu menyiarkan Islam moderat yang� rahmatan lil ‘alamin.
Alumni Al-Azhar haruslah berpandangan luas tentang Islam dan
peradabannya. Harus dalam menguasai ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an
dan Hadits. Meski harus mengambil salah satu madzhab alumni Al-Azhar
harus jauh dari fanatisme mebuta. Alumni Al-Azhar harus tampil moderat
di tengah masyarakat Islam dan memberikan banyak solusi kepada mereka.
Bukan sebaliknya mengkafir-kafirkan golongan yang tidak sepaham
dengannya atau membid’ahkan amalan-amalan suatu kelompok masyarakat yang
sebenarnya merupakan bagian dari tradisi Islam lokal.
Maka dari
itu jika ada alumni yang tidak sesuai dengan ciri-ciri di atas, bisa
dipastikan mereka adalah alumni yang tidak diharapkan oleh Al-Azhar.
Namun meski mereka berseberangan dengan Al-Azhar, Al-Azhar masih berbaik
hati dengan memberikan berbagai gelar kepada mereka, mulai dari Lc, MA,
hingga Dr. Ini adalah bukti kemoderatan dan ajarah kasih-sayang
Al-Azhar kepada umat Islam, dimana walau sudah ditikam dari belakang dan
bahkan diserang secara terang-terangan Al-Azhar masih tetap memaafkan
dan bahkan masih mau memberikan ijazah pada mereka. Semakin mereka
menyerang Al-Azhar semakin nampak betapa tolerannya Al-Azhar. Dan
akhirnya nampak siapa yang sebenar-benarnya memperjuangkan Islam dan
siapa yang memperjuangkan hawa nafsunya sendiri.
Penulis secara
pribadi menghimbau kepada seluruh elemen mahasiswa Al-Azhar dan alumni
Al-Azhar yang masih berpegang pada ideologi asli Al-Azhar untuk
menyampaikan kepada masyarakat tentang hakikat Al-Azhar, membuat opini
publik sebanyak-banyaknya melalui media apapun tentang hakikat ideologi
Al-Azhar yang orisinal, agar almamater kita tercinta ini terhindar dari
fitnah IM dan Salafi-Wahabi.
Dan bagi masyarakat awam yang
kebetulan mendapat bimbingan agama dari salah satu alumni Al-Azhar mohon
dicek kembali apakah dia masih memegang prinsip-prinsip Al-Azhar yang
saya sebutkan di atas atau tidak. Sehingga nantinya masyarakat bisa
memilah mana permata mana kerikil, mana Azhari mana Salafi-Wahabi?
“Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk(munafik)
dari yang baik (mukmin).” (QS: Ali ‘Imran: 179)
*Mahasiswa tingkat akhir, fakultas Ushuluddin, Akidah Filsafat. Universitas Al-Azhar
Nasr City, Kairo 28 April 2013
http://www.mosleminfo.com/index.php/opini/siapa-azhari-siapa-salafi-wahabi/