Seperti diperkirakan sebelumnya, penetapan awal Ramadhan 1434 H tahun
ini cukup ramai. Sebagian umat Islam yang mengikuti Muhammadiyah
menjalankan puasa lebih dulu, berbeda dengan ketetapan pemerintah.
Bahkan jauh sebelum pemerintah menggelar sidang istbat, ormas dimaksud
sudah menetapkan awal Ramadhan dengan metodenya sendiri.
Kontan
perbedaan ini menjadi bahan berita menarik bagi berbagai media massa.
Secara “news” penetapan awal Ramadhan itu sendiri sudah menarik karena
melibatkan rasa ingin tahu masyarakat, apalagi jika ada yang berbeda.
Beberapa
media menyederhanakan perbedaan penetapan awal bulan qamariyah itu
sebagai perbedaan antara kubu hisab dan kubu rukyat. Kubu hisab diwakili
oleh Muhammadiyah yang menjalankan puasa lebih dulu. Sementara kubu
rukyat diwakili oleh NU yang didukung oleh pemerintah dan beberapa
perwakilan ormas yang menghadiri sidang itsbat.
Semestinya
perbedaan tidak bisa disederhanakan hanya persoalan hisab da rukyat
saja. Menempatkan posisi hisab dan rukyat secara berhadapan akan
menjauhkan masyarakat dari akar perbedaan. Kalau diikuti betul, mereka
yang melakukan rukyat pasti juga melakukan hisab atau perhitungan
astronomis. Misalnya untuk mengetahui kapan matahari akan terbenam,
dimana posisi hilal, bagaimana kemiringannya, dimana posisi hilal dan
berapa derajat jaraknya dengan matahari, berapa ketinggian hilal saat
matahari tenggelam, dan berapa lama hilal berada di atas ufuk, semuanya
pasti memerlukan data hisab.
Penentuan awal bulan selalu
menggunakan hisab dan dalam perkembangannya data hisab yang dihasilkan
tidak jauh berbeda antar beberapa metode. Para ahli hisab sudah hampir
menemukan titik akurasi yang sepadan karena didukung berbagai alat yang
canggih.
Perbedaan justru muncul dari bagaimana menyikapi data
hisab. Muhammadiyah memakai data hisab itu sebagai sumber utama
penetapan awal bulan dengan memakai satu teori “wujudul hilal”, yakni
ketika peristiwa ijtima’ atau konjungsi atau bulan baru terjadi sebelum
matahari tenggelam, maka keesokan harinya sudah dinyatakan awal bulan.
Teori ini tidak mengharuskan adanya rukyatul hilal, karena jika dalam
kondisi tertentu saat waktu ijtima’ sangat dekat dengan waktu matahari
tenggelam, posisi hilal sangat rendah sehingga tidak akan bisa dilihat
bumi.
Sementara NU menempatkan data hisab sebagai pendukung
pelaksanaan rukyat. Jadi hisab bukanlah penentu awal bulan, namun hanya
sebagai alat bantu pelaksanaan rukyat. Beberapa ayat Al-Qur’an dan
hadits Nabi Muhammad SAW sudah sangat sharih dan bahkan seperti satu
petunjuk pelaksanaan atau juklak, bahwa penetapan awal bulan qamariyah,
khususnya Ramadhan dan Syawal didahului dengan proses rukyatul hilal.
Dengan demikian teori wujudul hilal tidak bisa diterima karena
mengabaikan proses rukyatul hilal yang jelas-jelas diperintahkan oleh
nash.
Persoalannya saat ini bukan bagaimana menyikapi perbedaan,
karena masyarakat sudah sangat siap dengan berbagai perbedaan. Juga
bukan soal apakah wajib mengikuti pemerintah atau tidak. Karena
bagaimanapun juga Kementerian Agama yang memegang mandat sebagai wakil
dari pemerintah adalah jabatan politis bisa diisi oleh orang yang lebih
dekat dengan satu ormas tertentu. Persoalannya adalah kemauan para ahli
falak dan ahli fikih lintas ormas untuk mempertemukan satu kriteria di
bawah satu payung Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), negara
dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Sidang itsbat juga bukan
solusi, karena metode sidang itsbat yang menggunakan pedoman hisab dan
rukyat sekaligus, pasti akan memenangkan rukyat, tepatnya memenangkan
NU. Kritik yang sempat dilontarkan oleh Muhammadiyah, bahwa sidang
itsbat hanya menghabiskan anggaran ada benarnya juga. Jadi sidang atau
pertemuan antar ormas jika dimaksud untuk menyatukan kriteria penentuan
awal bulan mestinya diselenggarakan jauh hari sebelum datangnya awal
bulan qamariyah, terutama jika data hisab menunjukkan adanya potensi
perbedaan.
Jika perbedaan dalam penetapan awal bulan qamariyah
bisa disederhanakan menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyah,
semestinya solusi ada di tangan para ahli falak/astronomi dari kedua
ormas itu. Dalam sejarahnya kedua ormas juga tidak menggunakan satu
kriteria secara permanen. Sejak awal berdiri, Muhammadiyah juga memakai
metode rukyatul hilal dalam penetapan awal bulan qamariyah. Kriteria
Wujudul hilal baru dipakai pada sekitar tahun 50-an.
NU juga telah
melakukan berbagai terobosan di bidang ilmu falak, antara lain
mengadakan penyerasian berbagai metode hisab yang dipakai di kalangan
pesantren, sehingga hasil perhitungan antara berbagai metode atau
berbagai kitab ilmu hisab bisa ditengah-tengahi. Pada tahun 2006 NU juga
telah menerapkan metode “imkanur rukyat” atau visibilitas pengamatan
dan diaplikasikan dalam almanak yang diterbitkan oleh Lajnah Falakiyah.
penjelasan dari kriteria ini menyebutkan bahwa jika hilal dinyatakan
belum imkanur rukyat maka kesaksian siapa pun melihat hilal akan
ditolak, yang artinya secara tidak langsung NU sudah memakai hisab dalam
penetapan awal bulan. Dan dalam konsisi seperti ini, seperti halnya
dalam penetapan awal Ramadhan tahun ini, sebenarnya bagi NU tidak
diperlukan adanya rukyat.
Artinya titik temu itu sangat mungkin
ada, hanya dengan sedikit mengubah kriteria penetapan awal bulan
qamariyah masing-masing ormas yang berbeda, yang dalam sejarahnya juga
pernah mengalami perubahan. (A. Khoirul Anam)
Sumber: NU Online