Salafiy Wahhabiy Takfiriy Front Al-Nusra |
Jika kita katakan bahwa kita ini bersyahadat, maka sikap yang akan kita
hadapi adalah menolak syahadat kita dan menyatakan bahwa syahadat kita
dengan lisan itu tidak benar-benar bersumber dari hati kita.
LAHIR DARI RAHIM Wahabisme, takfirisme sebenarnya sejenis penyakit
psikosis yang bersumber dari rasisme dan tribalisme laten. Pengamatan
sederhana menunjukkan bibit penyakit ini hadir di semua penganut agama,
terutama bila yang dijangkiti -- suka atau tidak -- terkait erat dengan
ras dan suku tertentu. Inilah alasannya mengapa takfirisme-wahabisme
bisa subur di lingkungan Arab persis sebagaimana tumbuhnya
takfirisme-zionisme di lingkungan Yahudi.
Apa sebenarnya yang
menyatukan keduanya? Jawabannya panjang, berakar dari sejarah nun jauh
di masa lampau. Tapi singkatnya begini: kedua suku ini merasa berhak
memonopoli agama yang turun kepada Nabi dari kalangan mereka. Perasaan
inilah yang kelak berkembang menjadi zionisme dan takfirisme: pola-pikir
menolak yang tidak berasal dari suku bangsa yang sama.
Di
kalangan Yahudi, ada dugaan bahwa mereka merupakan bangsa pilihan karena
besarnya jumlah para nabi yang Allah utus untuk mereka. Dan fakta ini
membuat kaum Yahudi besar hati dan congkak. Setelah datangnya Nabi
Muhammad, perasaan keliru yang sama ternyata juga nyaris menjangkiti
bangsa Arab. Namun kemudian Nabi dengan sigap menghalaunya secara tegas
dan keras. Nabi bersabda bahwa tidak ada beda antara Arab dan non-Arab
(ajam), budak dan merdeka dan sebagainya.
Salah satu contoh
menarik ihwal situasi di atas dapat kita lihat dalam kisah hidup Salman
Al-Farisi. Pada masa hidup Nabi Muhammad ada semacam perasaan di
kalangan Muslim Arab yang "mencurigai" Salman hanya karena dia bukan
dari golongan Arab. Tapi kemudian Nabi Muhammad buru-buru menepis
kecurigaan itu dan memuliakan Salman. Kemudian Salman juga menanggalkan
nama aslinya dan mengambil nama Muslim sebagai namanya--dalam rangka
memperkuat identitas kolektif Islam dan membuang sekat-sekat kesukuan
yang dapat berkembang menjadi penolakan terhadap "yang lain". (Catatan:
Salman adalah yang diberikan Nabi Muhammad kepada Ruzbeh setelah ia
memeluk Islam).
Nah, bukan suatu kebetulan bila sejumlah ayat
Al-Qur’an mencemooh perilaku munafik dan kufur bangsa Arab. Ayat-ayat
itu sepertinya mengisyaratkan bahaya perasaan superior Arab atas
suku-suku bangsa hanya karena Islam dan Nabinya turun di wilayah mereka
dan dari suku bangsa mereka. Sebaliknya, sebagai antisipasi yang jelas
atas bahaya monopoli itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa bahasa Arab yang
lugas dan jelas yang dipakainya berbeda dengan entitas Arab sebagai
suku-bangsa.
Seperti rasisme, takfirisme yang berselubung di
balik kedok Salafisme dan Wahhabisme sebenarnya lebih banyak dipengaruhi
oleh perasaan superioritas ras Arab atas selainnya. Lebih tepatnya,
superioritas suku bangsa Arab yang hidup di gurun sahara Arab Saudi,
khususnya wilayah Nejd, atas seluruh suku bangsa lain. Namun, ironisnya,
superiotitas kosong dan konyol itu mereka selubungi dengan jubah Islam
yang agung dan suci. Bagaimana mungkin agama yang suci bersih ini dapat
diwakili oleh gerombolan fanatik dan tribalistik seperti ini? Tentu
tidaklah mungkin.
Untuk sekedar menunjukkan kekonyolan takfirisme
wahabi ini, kita dapat dengan mudah meneliti berapa banyak karya yang
telah mereka sumbangkan dalam khazanah pemikiran Islam? Atau lebih
tepatnya, betapa sedikit sumbangan mereka terhadap kemajuan umat Islam
baik dalam bidang pemikiran agama maupun pemikiran saintifik secara
umum? Jawabannya cukup mengagetkan: sangat sedikit!
Karena itu,
dengan mudah kita dapat menebak bahwa kekuatan imperialisme telah
membesarkan fenomena takfirisme ini sebagai modus untuk menghancurkan
Islam -- dari dalam. Takfirisme adalah lingkaran setan kerusakan yang
bakal terus mengungkung Islam dan penganutnya dalam kebencian dan
permusuhan internal (sesama Muslim) dan eksternal (munculnya kebencian
dari kelompok yang berada di luar Islam).
Celakanya, takfirisme
senantiasa memberi justifikasi pada invasi kekuatan-kekuatan asing
terhadap negara-negara Muslim. Berkembangnya takfirisme di negara Muslim
mana pun sebenarnya dapat dianggap sebagai aba-aba akan datangnya
serangan asing. Alasannya, karena takfirisme yang mewabah dalam sebuah
masyarakat Muslim niscaya mengakibatkan ketahanan dan kekuatan
masyarakat itu lenyap dan tergerus dalam pertikaian internal yang tiada
habis-habisnya. Nah, pada saat sudah sampai titik nadir, sebagaimana
dalam kasus negara seperti Afghanistan, Somalia, Yaman, dan sebagainya,
maka invasi militer asing terhadap negara itu menjadi mudah.
Selain
menyebabkan pertikaian yang tak berujung, takfirisme juga mampu
membuat kalangan moderat dan waras hidup dalam ancaman dan keputusasaan.
Bayangkan bagaimana mungkin kita dapat berhubungan dengan sekelompok
orang yang sejak semula telah menafikan kita, bersikukuh untuk
menghabisi kita, menolak apapun yang berbeda dengannya, bahkan merasa
memahami keyakinan kita lebih dari kita sendiri? Artinya, kelompok ini
berkeinginan mengambil satu-satunya yang tidak mungkin diambil: apa yang
ada dalam hati dan pikiran kita. Jika kita katakan bahwa kita ini
bersyahadat, maka sikap yang akan kita hadapi adalah menolak syahadat
kita dan menyatakan bahwa syahadat kita dengan lisan itu tidak
benar-benar bersumber dari hati kita. Apa lagi lantas yang tersisa dari
seseorang yang menghadapi sekelompok orang seperti ini selain
mempertahankan diri -- atau mati sia-sia?
Sekali lagi, takfirisme
bukanlah sebuah penyakit yang muncul dalam satu penganut mazhab, agama
atau suku bangsa tertentu saja, melainkan dapat menular kemana-mana.
Bahkan, potensi sikap takfiri yang bersumber dari ekstremisme,
intoleransi, arogansi, dan superioritas yang semu itu dapat timbul dalam
diri tiap-tiap kita. Sikap ini lahir dari rendahnya perikemanusiaan,
hilangnya perasaan, psikosis, dan kebencian yang akut. [IT/MK]
http://www.islamtimes.org/vdcb5zb5arhbzzp.qnur.html