Bagian Pertama
Kaidah bashît al-hakîkah (non-composite, simple reality) merupakan kaidah yang paling urgen di antara kaidah-kaidah dalam filsafat Hikmah al-Mut'aliyah. Mulla Shadra beranggapan bahwa argumentasi dengan kaidah ini adalah kekhususan dari filsafatnya dan orang-orang yang mendapatkan ilmu dan hikmah dari sisi Tuhan. Ia berkata, "Di antara tingkatan-tingkatan yang dilewati oleh para pesuluk menuju Tuhan dan juga malaikat-malikat-Nya… sesungguhnya mereka itu melihat seluruh maujud berada pada titik yang satu dan kami telah jelaskan bahwa bashît al-hakîkah adalah seluruh "asyyâ" (jamak dari syai atau sesuatu)…."[1]
Menurut kami, kunci untuk memahami kandungan kaidah bashît al-hakîkah adalah pengetahuan terhadap makna bashît al-hakîkah; akan tetapi sebelum membahasnya, harus diketahui terlebih dahulu makna dari basîth (non-komposisi, tak berangkap) dan murakkab (komposisi, berangkap, atau berampur) itu sendiri, sebagai dua istilah filsafat dengan makna yang saling berhadapan.
Bashîth (tak berangkap) adalah tidak mempunyai bagian dan di dalam dzatnya tidak terdapat komposisi. Sedangkan komposisi adalah dzat yang memiliki bagian dan dapat menerima pembagian menjadi bagian-bagian[2]. Dua istilah ini mempunyai makna yang beragam, hal ini muncul dari kenyataan bahwa bagian-bagian itu mempunyai penggolongan yang bermacam-macam atau makna yang menjadi tinjauan terhadap bagian itu adalah berbeda. Dengan kata lain, komposisi dari dimensi bahwa ia tersusun dari jenis bagian-bagian apa dan juga basîth yang terlepas dari jenis bagian-bagian yang mana, ini mempunyai pengertian yang beragam.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa berkumpulnya komposisi dan basîth, pada satu tinjauan, dalam satu subyek adalah mustahil; sebab keduanya saling bertentangan, dan pertentangan keduanya merupakan pertentangan jenis afirmasi dan negasi, dan mungkin juga jenis pertentangan tadhâyuf (mutual correlation). Kendatipun terdapat pertentangan di antara keduanya, namun mungkin terdapat satu obyek luar (mishdâq) dua komprehensi ini, tapi tidak pada tinjauan yang sama.
Bagian-bagian dari suatu komposisi adalah bagian-bagian yang terwujud di luar dalam bentuk satu wujud atau dalam bentuk wujud-wujud yang jamak. Pada kondisi pertama, bagian-bagian itu diposisikan di pikiran dalam bentuk tak bersyarat sama sekali (lâ bisyarth,non-conditioned), bagian-bagian ini disebut bagian-bagian predikasi atau bagian-bagian batasan, seperti genus dan diferensia. Atau diposisikan di pikiran dalam bentuk bersyarat tapi bukan dengan sesuatu tertentu (bisyarth lâ, negatively-conditioned), bagian-bagian itu disebut bagian-bagian pikiran atau bagian-bagian rasional, seperti bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran (wujud mental). Sementara pada kondisi kedua, adalah bertentangan, seperti bagian-bagian kuantitas yang mesti dalam bentuk benda. Atau tidak bertentangan, dimana mereka itu disebut bagian-bagian eksternal, yakni materi dan bentuk (forma).[3]
Dengan demikian, bagian-bagian tersebut terbagi ke dalam empat bagian: batasan, rasional, kuantitas dan eksternal. Dengan ungkapan lain, bagian-bagian dalam suatu komposisi yang maujud secara potensial disebut bagian-bagian kuantitas yang mesti berbentuk benda, atau yang maujud secara aktual. Bagian-bagian yang aktual ini, bisa dalam bentuk wujud luar, seperti materi dan bentuk (forma), dimana dikhususkan untuk benda-benda. Mungkin juga bagian-bagian aktual ini dalam bentuk kuiditas pikiran, seperti genus-genus dan diferensia-diferensia yang ditinjau dari sesuatu yang tak bersyarat sama sekali (lâ bisyarth,non-conditioned) dan bisa juga seperti materi-materi dan forma-forma rasional bila ditinjau dari bisyarth lâ (negatively-conditioned).
Perlu dijelaskan bahwa genus dan diferensia pada dasarnya adalah materi dan forma luar itu sendiri bila ditinjau secara lâ bisyarth. Materi yang berada di alam luar itu jika berada dalam pikiran disebut genus, begitu pula forma yang terwujud di alam eksternal itu bila berada di alam pikiran dikatakan diferensia.
Apabila suatu maujud luar diasumsikan memiliki kuiditas yang basîth dan secara esensial tidak sama dengan kuiditas lainnya, maka komposisi kuiditas yang berada di alam pikiran tidak dapat dikonsepsi; tetapi akal bisa mengurai maujud itu menjadi kuiditas dan wujud, dengan syarat bahwa maujud tersebut adalah mumkinul wujud (wujud kontingen, makhluk), karena setiap mumkinul wujud terangkap dari wujud dan kuiditas.[4]
Berdasarkan uraian di atas, bagian-bagian yang membentuk komposis terbagi kedalam empat unsur:
1. Bagian-bagian kuantitas;
2. Bagian-bagian luar (materi dan forma);
3. Bagian-bagian rasional atau bagian-bagian batasan (genus dan differensia yang diambil dari materi dan forma atau akal manusia mengkonsepsi suatu maujud yang memiliki genus dan diferensia);
4. Bagian-bagian analitik (wujud dan kuiditas).
Adapun maujud komposisi dibagi atas dua bagian, yaitu hakiki dan non-hakiki ('iktibari), dan setiap dari keduanya dibagi lagi menjadi eksternal dan rasional, sebagai berikut:
Suatu yang memiliki bagian-bagian dan di antara bagian-bagiannya memiliki hubungan kausalitas dan saling membutuhkan. Kekhususan komposisi ini adalah bahwa salah satu bagiannya adalah kesatuan hakiki. Komposisi itu sendiri mempunyai efek-efek khusus yang berbeda dengan efek-efek dari bagian-bagian yang membentuknya, tapi efek-efek khusus dari komposisi ini bukan berasal dari efek bagian-bagian itu sendiri. Komposisi hakiki terdiri atas dua bagian:
Adalah komposisi yang tersusun dari bagian-bagian eksternal dan bagian-bagian tersebut saling berbeda satu sama lain di alam luar (tidak hanya di alam pikiran), untuk setiap bagian memiliki identitas dan wujud yang mandiri dimana jika salah satu dari mereka musnah maka bagian-bagian lain tidak ikut musnah dan tetap pada kondisinya masing-masing, seperti hubungan jiwa dan badan, dimana manusia tersusun dari jiwa dan badan, ini adalah komposisi hakiki dan setiap individu manusia merupakan kesatuan hakiki yang memiliki efek-efek khusus. Dapat dirumuskan bahwa di antara materi dan forma dalam berbagai substansi-substansi materi yang sangat berpengaruh dan memiliki efek adalah komposisi hakiki.[5]
Komposisi hakiki rasional adalah komposisi yang tersusun dari bagian-bagian rasional (genus dan diferensia). Bagian-bagian komposisi ini yang berpengaruh adalah kesatuan hakiki yang merupakan parameter dari setiap komposisi hakiki, walaupun di luar alam pikiran mereka tidak berbeda satu sama lain dan tidak mempunyai identitas dan wujud yang mandiri, mereka adalah satu maujud, seperti segitiga yang memiliki tiga sudut, ketiga sudut segitiga itu di alam pikiran memiliki perbedaan, tapi di alam luar tidak memiliki identitas sendiri-sendiri yang mandiri.[6]
Komposisi yang terwujud dari gabungan bagian-bagian yang di antara mereka tidak terdapat hubungan kausalitas dan saling membutuhkan serta tidak ada kesatuan hakiki yang berpengaruh atas bagian-bagian. Komposisi non-hakiki tidak sebagai realitas baru yang mempunyai efek-efek khusus. Komposisi non-hakiki ini juga mempunyai dua bagian:
Komposisi yang mempunyai bagian-bagian di alam luar, seperti rumah yang tersusun dari kapur, semen, besi, kayu. Di antara bagian-bagian pembentuk rumah itu tidak terdapat hubungan kausalitas, efek komposisi (dalam hal ini adalah rumah) adalah hasil dari keseluruhan efek bagian-bagian pembentuknya sendiri dan wujud komposisi itu sendiri adalah suatu wujud yang non-hakiki dimana bagian-bagian pembentuknya adalah wujud hakiki dan memiliki efek.
Komposisi yang dibentuk dari bagian-bagian rasional yang tidak memiliki realitas di luar alam pikran dan merupakan suatu wujud-wujud yang tidak berbeda dan juga tidak mandiri.[7]
Istilah komposisi juga digunakan di alam benda-benda. Dengan makna bahwa filosof memandang terhadap benda yang tersusun dari benda-benda yang berbeda secara alami, seperti hewan, tumbuhan dan barang tambang. Ketiga benda-benda ini tersusun dari empat jenis unsur (benda) yakni: air, udara, api, dan tanah.[8]
Urgen diungkapkan di sini bahwa pembagian dan defenisi yang berhubungan dengan alam kebendaan berdasarkan ilmu alam kuno dan bukan ilmu fisika dan kimia moderen. Zaman sekarang, komposisi kimia dan matematika telah menjadi tema pembicaraan. Dengan demikian seluruh pembagian komposisi dapat dirumuskan secara singkat dalam bentuk sebagai berikut:
1. Komposisi benda dari materi dan forma;
2. Komposisi wujud dan kuiditas (eksistensi dan kuiditas), dimana hanya berlaku bagi setiap mumkin al-wujud;
3. Komposisi kuiditas dari genus dan diferensia;[9]
4. Komposisi dari bagian-bagian aktual, seperti komposisi rumah dari semen, besi, kapur, kaca dan…;
5. Komposisi dari unsur-unsur kimia, dalam ilmu kimia moderen menjadi bahan analisa, seperti komposisi air yang tersusun dari hidrogen dan oksigen;
6. Komposisi matematika, seperti komposisi sebuah garis satu meter yang tersusun dari dua garis 50 centi meter atau komposisi angka 10 dari dua angka 5;
7. Komposisi wujud dan ketiadaan, menurut filosof Mulla Sabzwari merupakan komposisi yang paling rendah, sebab komposisi-komposisi selainnya terbentuk dari bagian-bagian yang berwujud. Sementara dalam komposisi wujud dan ketiadaan adalah salah satunya adalah wujud dan "lainnya" adalah non-eksistensi.[10]
Pembagian ini berasaskan bahwa basîth adalah hampa dan kosong dari bagian-bagian. Basîth dibagi atas tiga bagian:
1. Basîth eksternal. Basîth yang tidak tersusun dari bagian-bagian yang aktual, seperti materi dan forma atau sembilan kategori aksiden.
2. Basîth rasional. Basîth yang tidak mempunyai bagin-bagian di alam pikiran, seperti genus dan diferensia. Semua konsep-konsep badihi dan aksioma terhitung sebagai Basîth rasional, seperti konsep eksistensi dan konsep lain yang tidak mempunyai batasan. Materi pertama dan forma benda adalah Basîth, sebab tidak tersusun dari bagian-bagian rasional dan bagian-bagian eksternal; dikarenakan materi pertama adalah potensi murni dan kosong dari segala bentuk keaktualan. Forma juga tidak bercampur dengan materi pertama (potensi).
3. Basîth hakiki atau Basîth al-Hakîkah. Basîth ini merupakan basîth yang paling tinggi, dimana secara total bersih dari segala bentuk percampuran, multiplisitas esensial dan komposisi, baik komposisi materi dan forma, eksistensi dan aksiden, genus dan differensia, bagian-bagian kuantitas dan komposisi matematika, komposisi unsur-unsur kimia, dan komposisi wujud dan ketiadaan. Satu-satunya obyek luar dari basîth hakiki adalah Wajibul Wujud.
Terkadang basîth hakiki juga digunakan untuk akal dan jiwa, ini bukan penafian komposisi eksistensi dan kuiditas, sebab selain Wajibul Wujud adalah wujud-wujud kontingen baik itu bersifat materi dan non-materi. Sebagaimana filosof mengatakan, "Setiap mumkin al-wujud terangkap dari kuiditas dan eksistensi".[11]
Dalam filsafat Islam terdapat berbagai teori universal yang berhubungan dengan basîth dan komposisi, di antara teori-teori tersebut adalah:
a. Basîth hakiki adalah meliputi dan mencakup segala sesuatu tapi bukanlah segala sesuatu itu sendiri. Makna ini secara detail akan dibahas kemudian.
b. Basîth itu sendiri mustahil sekaligus sebagai pelaku (fâ'il) dan sebagai penerima (qâbil), yakni maujud basîth mustahil memiliki sisi pelaku dan sisi penerima secara bersamaan. Jika maujud basîth adalah pelaku dan juga penerima, maka niscaya terdapat dua sisi dan dua dimensi pada dzatnya yang keduanya memiliki perbedaan, dan ini berarti ia adalah maujud non-basîth (wujud bercampur). Jika diasumsikan bahwa maujud basîth, dari dimensi ia sebagai pelaku dan pada dimensi itu juga ia sebagai penerima, maka pada aspek ia sebagai pelaku dan ia sebagai penerima adalah satu sama lain bertentangan, hal ini adalah mustahil karena meniscayakan berkumpulnya dua hal yang bertolak belakang.
c. Setiap basîth yang tidak memiliki dimensi penerima baginya maka tidak akan meniada. Ssetiap maujud basîth yang tidak memiliki penerima tidak akan meniada selamanya. Syeikh Isyraq dalam hikmah al-isyrâq memuat teori ini, dan Quthubuddin Syirazi dalam komentarnya terhadap teori ini memandang bahwa muatan dan manfaat kaidah ini adalah menetapkan keabadian akal, materi pertama (hayûlâ), dan setiap maujud sederhana yang esensial[12]. Mulla Shadra dalam Asfar juga untuk menetapkan keabadian jiwa dan ruh manusia (nafs nâtiqah) berdasarkan kaidah ini, dan berkata, "Karena jiwa adalah dzat yang basîth dan setiap yang basîth secara esensial tak akan menerima kefanaan dan ketiadaan, jika tidak demikian akan meniscayakan jiwa terangkap (ia) dari kepotensian wujud dan ketiadaan atau keaktualan wujud dan ketiadaan, dan ini adalah menyalahi asumsi.[13]
d. Setiap yang basîth di alam pikiran pasti basîth di alam eksternal, tapi tidak sebaliknya. Segala sesuatu yang basîth secara rasional niscaya basîth di alam nyata; sebab sesuatu yang tak terangkap dari genus dan diferensia di alam pikiran mesti tak terangkap dari materi dan forma di alam eksternal. Mulla Shadra, dalam menafikan bagian-bagian eksternal dari dzat Tuhan, berpegang pada kaidah ini dan mengatakan, "Tuhan tidak memiliki bagian-bagian rasional dan setiap yang ternegasikan dari bagian-bagian rasional pasti ternegasikan dari bagian-bagian eksternal; karena setiap sesuatu yang basîth dalam alam akal niscaya basîth di alam luar, tapi tidak sebaliknya[14]. Tidaklah benar bila dikatakan: "Setiap yang basîth di alam luar mesti basîth di alam akal"; sebab mungkin saja suatu maujud basîth di alam luar, tapi non-basîth di alam akal karena memiliki genus serta diferensia, seperti sembilan kategori aksiden. Menurut pandangan Mulla Shadra, genus dan diferensia dan kategori-kategori aksidensi adalah persepsi mental dan bukanlah hakiki; karena aksiden-aksiden di alam luar adalah basîth dimana tidak mempunyai materi dan forma hakiki, dan setiap maujud yang demikian ini tidak akan memiliki genus dan diferensia hakiki[15]. Kaidah ini juga diaplikasikan dalam menetapkan ke-basîth-an Wajibul Wujud.
e. Kaidah tentang bolehnya terwujud basîth dari sesuatu yang berkomposisi. Adalah memungkinkan maujud basîth terwujud dari suatu sebab yang berkomposisi.
Basîth al-hakikah (basîth hakiki) merupakan salah satu kaidah yang mendasar dan utama dalam Hikmah Muta'aliyah. Mulla Shadra memandang bahwa kaidah ini merupakan hal yang baru dalam bidang filsafat dan sekaligus sebagai kebanggaan bagi aliran filsafat Sadrian. Bunyi kaidah ini adalah, "Basîthul hakikah kullul asy-yâ wa laisa bisyain minhâ" (basîth hakiki adalah segala sesuatu dan ia bukan dari segala sesuatu). Pengertian kaidah ini akan dibahas secara mendetail dan sekaligus akan ditelusuri latar belakang sejarahnya, tapi di bawah ini akan kami paparkan maksud dan maknanya secara global.
Makna kaidah basîth hakiki adalah bahwa ia merupakan segala sesuatu, ia meliputi dan mencakup segala sesuatu, dan ia pun bersama dengan segala sesuatu, tapi ia tidak berasal dari segala sesuatu dan juga bukan segala sesuatu itu sendiri; ini berarti bahwa ia memiliki kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial segala sesuatu, tapi bersih dan suci dari kekurangan, keterbatasan dan determinasi segala sesuatu.
Mulla Shadra memandang bahwa kaidah ini sebagai aspek yang rumit dalam ilmu ketuhanan, karena itu sangat sedikit orang yang dapat memahaminya, dalam al-Asfar ia menuliskan: "Dengan ketentuan Tuhan dan malaikat-malaikat-Nya yang tinggi dan agung, kami berhasil menemukan suatu argumen transenden (baca: kaidah basîth al-hakikah) untuk menegaskan ketauhidan Wajibul Wujud ...[16]
Menurut Mulla Shadra, kaidah basîth al-hakikah merupakan murni hasil kontemplasi dan pikirannya. Mulla Hadi Sabzwâri juga menambahkan bahwa di antara para filosof terdahulu, hanya Aristoteles yang pernah mengungkapkannya, tapi dalam bentuk yang sangat global.[17]
Dengan demikian telah diketahui bahwa kaidah ini merupakan buah perenungan Mulla Shadra dan bukan pikiran dari filosof-filosof sebelumnya. Mulla Hadi Sabzwâri dalam komentarnya atas al-Asfar menjelaskan secara global bahwa maksud dari kaidah ini adalah kejamakan dalam ketunggalan itu sendiri dan bukan ketunggalan dalam kejamakan. Sebenarnya Mulla Hadi ingin mengisyaratkan bahwa hakikat kandungan kaidah ini - dengan ungkapan-ungkapan yang beragam - dapat ditemukan di dalam karya-karya para urafa sebelum Mulla Shadra dimana juga berkontemplasi tentangnya. Dari perspektif ini, maka kaidah tersebut mempunyai latar belakang sejarah sebelum Mulla Shadra; karena ditemukan dalam karya-karya urafa ungkapan-ungkapan seperti "penyaksian mendetail dalam keuniversalan", "penyaksian universal dalam kemendetailan", dan "kejamakan dalam ketunggalan".
Dalam hal ini, Mulla Shadra tetap memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan para filosof dan pemikir Islam lainnya dalam mengutarakan kaidah basîth al-hakikah; sebab ia mampu mengkonstruksi kaidah ini menjadi sebuah argumentasi filosofis yang dapat diaplikasikan dalam berbagai masalah-masalah di bidang filsafat dan ketuhanan. Dengan perantaraan kaidah ini Mulla Shadra melakukan inovasi baru dalam bidang filsafat, sebagaimana ditegaskan oleh Mulla Hadi Sabzwâri.[18]
Apakah Aristoteles mengisyaratkan kaidah ini walaupun dalam bentuk yang global? Dan apakah kaidah ini dapat ditemukan dalam karya-karyanya?
Dari ungkapan Mulla Shadra dapat diperoleh gambaran bahwa tak seorangpun yang mendapatkan pengetahuan tentang kaidah basîth al-hakikah kecuali ia; akan tetapi Mulla Hadi Sabzwâri, dalam komentarnya atas al-Asfar, mengklaim bahwa Aristoteles juga mengetahui secara global kaidah tersebut.
Mulla Shadra ,dalam al-Asfar, ketika meneliti ucapan Amirul Mukminin Ali as yang mengatakan bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an tersimpulkan dalam huruf "bâ"nya Bismillah dan aku adalah titik di bawah huruf bâ", dan ini mengisyaratkan tentang kaidah basîth al-hakikah, lebih lanjut Mulla Sadra mengutarakan bahwa guru filsafat Peripatetik, dalam kitab otsologia-nya, berkata bahwa tunggal (wâhid) murni merupakan sebab segala sesuatu; akan tetapi Dia tidak serupa dengan satupun dari segala sesuatu itu, namun ia adalah Pemula dari segala sesuatu dan Dia juga bukan segala sesuatu itu sendiri, bahkan segala sesuatu itu ada padanya.
Kesalahan penisbahan kaidah ini kepada Aristoteles pada dasarnya dikarenakan kesalahan penisbahan kitab Otsologia kepada Aristoteles, kitab ini bukan karya Aristoteles, tetapi karya Plutin. Aristoteles secara prinsipil tidak memiliki keyakinan terhadap kaidah ini; karena, berdasarkan suatu penelitian yang mendalam, diketahui bahwa kaidah ini secara fundamental tidak sesuai dengan pikiran-pikiran Aristoteles sendiri. Gagasan-gagasan filsafat Aristoteles lebih sesuai dengan kaidah prinsipalitas kuiditas (ashalah al-mahiyah), sementara konsep-konsep filsafat Sadrian berpijak pada teori prinsipalitas wujud (ashalah al-wujud). Dan dalam filsafat Aristoteles kesatuan, komprehensi wujud dan kesempurnaannya merupakan perkara yang non-hakiki dan 'iktibari. Sebaliknya, Mulla Shadra memandang wujud, kesatuan dan kesempurnaan adalah bersifat hakiki dan bukan kuiditas, dengan demikian bisa dikatakan bahwa pemikiran filsafat Mulla Sadra tidak sejalan dengan sebagian konsep dan gagasan filsafat Aristoteles. Sebagai contoh, Aristoteles dalam kitab Metafisikanya, berkata, "Wujud bukanlah genus bagi segala sesuatu dan dalam setiap kategori ia bermakna sesuai dengan kategori itu sendiri."[19]
Oleh karena itu, pemikiran Aristoteles sewarna dengan pemikiran yang memandang bahwa kejamakan dan keragaman sebagai hal yang mendasar dan fundamental, pandangannya lebih berpijak pada prinsipalitas kuiditas. Berdasarkan hal ini, maka mustahil ia sepaham dengan kaidah basîth al-hakikah yang digagas Mulla Sadra dimana berpijak pada teori prinsipalitas eksistensi.
Mazhab neo Plato berdiri di Iskandariyah dan berasaskan pandangan Plato dan filosof lainnya dari Yunani, Iran, dan India. Mazhab berkembang dan menyempurna ditangan filosof bernama Plutin (203-270 M). Pengajaran-pengajarannya dikumpulkan oleh murid istimewanya bernama Furfriyus, ia menyusun enam kitab dimana setiap kitab terdiri dari sembilan bagian. Satu bagian dari kitab tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang kemudian diberi nama Otsologia. Sebagian filosof Islam keliru memandang bahwa Otsologia itu merupakan karya Aristoteles.
Plutin, dalam kitab Otsologia, melontarkan satu kajian bertemakan: Kausa prima dan segala sesuatu yang terwujud darinya. Dalam pembahasan ini bisa dilihat bagaimana perhatian ia terhadap kaidah basîth al-hakikah. Dan Mulla Shadra salah menganggap bahwa Aristoteles mempunyai perhatian secara global terhadap kaidah ini, sebenarnya yang dimaksud adalah Plutin.
Untuk mengenal lebih dalam pandangan Plutin, kita berupaya mengulas secara singkat beberapa pandangan-pandangannya:
Menurut pandangan Plutin, Tuhan adalah tunggal murni dan sebab segala sesuatu, tetapi tak serupa dengan segala sesuatu itu. Tuhan adalah awal dan permulaan segala sesuatu. Plutin memiliki ungkapan yang dapat ditafsirkan bahwa "tunggal murni adalah segala sesuatu" (segala sesuatu adalah tunggal murni): "Tunggal murni adalah sebab segala sesuatu…tapi Dia sendiri bukan segala sesuatu; akan tetapi segala sesuatu adalah dari-Nya, karena segala sesuatu mendapatkan emanasi dari-Nya dan keberlangsungan eksistensi mereka bergantung pada-Nya serta semuanya kembali kepada Dia."[20]
Lebih lanjut ia mengurai permasalahan dalam bentuk tanya dan jawab, pertanyaannya adalah bagaimana segala sesuatu yang beragam dapat terwujud dari tunggal murni yang basîth dimana tidak memiliki satu dimensi kejamakan? Ia menjawab, sesuatu yang tanpa perantara mendapatkan emanasi dari tunggal murni basîth adalah wujud akal. Kemudian maujud-maujud lainnya yang berada di alam paling tinggi hingga alam paling rendah mendapatkan emanasi dengan perantara wujud akal[21]. Pada hakikatnya, Plutin menjawab pertanyaan itu dengan teori ketunggalan (al-wâhid).
Dengan demikian, ia secara gamblang telah mengungkapkan bahwa "segala sesuatu bersumber dari tunggal murni basîth" dan perhatiannya terhadap aplikasi kaidah basîth al-hakikah.
Mengkaji karya-karya kaum 'arif Islam akan bertemu dengan kenyataan bahwa mereka dalam beberapa pembahasan berpijak pada kaidah tersebut, seperti konsep tentang "penyaksian universal dalam dimensi partikular", "penyaksian partikular dalam universal", "multiplisitas dalam unitas" dan "hakikat Muhammadiyah".
Asytiyânî, dalam Syarh-e Mukaddimah Qaishari bar Fushûsh al-Hikam Ibnu Arabi, menuliskan: "Kaidah ini sebenarnya juga dijelaskan oleh para urafa Islam dalam karya mereka; akan tetapi karena pandangan para urafa ini tentang kesatuan wujud individual (wahdah asy-syakhshi) dalam wujud, maka mereka, karena situasi dan kondisi, sementara mengikuti pandangan Aristoteles dalam menjabarkan berbagai permasalahan filsafat. Sesungguhnya para urafa mendapatkan ilham tentang kaidah ini dalam kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi saw.[22]
Doktor Syahâbi, dalam kitab an-Nazharah ad-Daqîqah fî Qâidah Basîth al-Hakikah, mengutarakan sebagian riwayat yang menunjukkan kandungan kaidah tersebut.[23] Substansi kaidah ini adalah bahwa dzat basîth Tuhan meliputi seluruh hakikat-hakikat eksistensi, para 'urafa mengungkapkan bahwa "Tak ada sesuatupun yang keluar dari cakupan wujud-Nya. Kaidah ini sesuai dengan firman-Nya yang berbunyi, "Dia Maha Perkasa atas hamba-Nya"[24] dan "Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu"[25]. Ahli irfan juga memiliki gagasan bahwa "Dia lah yang tampak dan Dia pulalah penampakan itu sendiri ", hal ini sesuai dengan firman Tuhan: "Dia adalah yang awal dan yang akhir serta yang lahir dan yang batin"[26].
Menurut urafa Islam, maujud pertama yang teremanasi dari dzat Tuhan adalah ruh Muhammad, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Saw: "Yang pertama diciptakan Tuhan adalah cahayaku", ruh Muhammad ini dikenal dikalangan filosof dengan akal pertama. Jadi hakikat Muhammad ini merupakan emanasi pertama Tuhan dalam penciptaan. Akal pertama ini sebagai perantara emanasi maujud-maujud lainnya. Perlu diperhatikan bahwa dalam tipologi irfan teoritis Islam hakikat Muhammad adalah segala sesuatu itu sendiri, yakni ia memiliki seluruh kesempurnaan maujud-maujud yang berada di bawahnya dalam bentuk yang lebih sempurna.
Dengan demikian, hakikat Muhammad adalah manifestasi sempurna nama-nama Tuhan dan sekaligus menjadi wadah tajalli seluruh nama Tuhan itu di alam penciptaan.
Oleh sebab itu, tidak diragukan jika urafa Islam dalam menguraikan masalah-masalah irfan bersandar pada kaidah basîth al-hakikah, kendatipun mereka tidak mengungkapkannya dalam bentuk satu kaidah tersendiri yang argumentatif.
Salah satu inti persoalan dalam filsafat ketuhanan yang dibahas serius oleh para filosof, urafa, dan teolog adalah masalah ilmu Tuhan terhadap seluruh maujud sebelum dan sesudah penciptaan dan bagaimana ilmu Tuhan berkaitan dengan partikular-partikular dan universal-universal dalam dzat-Nya. Mulla Shadra menjelaskan ilmu Tuhan dengan menggunakan kaidah basîth al-hakikah. Para filosof sebelumnya, jika mereka memahami kaidah ini, niscaya menafsirkan ilmu Tuhan juga dengan kaidah tersebut; sebagaimana urafa Islam menjelaskan ilmu Tuhan memanfaatkan kaidah ini.
Seluruh filosof Islam – baik dari mazhab Peripatetik maupun dari mazhab Iluminasi - sepakat tentang ke-basîth-an dzat Wajibul Wujud dan mengkonstruksi dalil untuk menegaskan ke-basîth-an dzat-Nya, juga secara detail membahas ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya dan selain-Nya. Dengan demikian, apakah dapat diklaim bahwa mereka juga memahami kandungan kaidah basîth al-hakikah?
Abu Nashr Muhammad Farabi (wafat 339 H) pendiri filsafat Islam mazhab Peripatetik, dalam kitab Fushush al-Hikam tentang metafisika dan tauhid, menjelasan tentang ilmu Wajibul Wujud terhadap dzat-Nya dan selain-Nya. Tanpa bermaksud meneliti konsep Farabi tentang ilmu Tuhan secara mendetail, kami mengutip pandangannya di pasal tujuh puluh dari kitab tersebut dimana membahas tentang ilmu Tuhan, berkata: "Jika Tuhan ditinjau dari dzat dan sifat-sifat-Nya maka segala sesuatu berada dalam satu kesatuan. Maka dari itu, segala sesuatu adalah sama dalam kodrat dan ilmu-Nya. Kodrat dan ilmu Tuhan sebagai hakikat keseluruhan yang tetap. Oleh karena itu, Tuhan dari sisi sifat-Nya meliputi segala sesuatu dan berada di atas keseluruhan, sementara kesatuan dzat-Nya meliputi sifat-sifat tersebut."[27]
Menurut pandangan Farabi, sifat-sifat-Nya meliputi segala sesuatu dan sisi lain dzat-Nya meliputi sifat-sifat-Nya. Konklusinya adalah dzat-Nya yang meliputi segala sesuatu; dengan makna bahwa segala sesuatu "terkumpul" dalam dzat-Nya dan tanpa ada kekosongan atas kesatuan dzat-Nya.[28]
Demikian pula Farabi, dalam risalah Fî al-ilmi al-Ilâhi, menisbahkan segala sesuatu dan keseluruhan kepada akal. Menurut ia, akal adalah segala sesuatu dan segala sesuatu itu ada padanya; ini sebagaimana keyakinan Plutin terhadap gagasan ini. Farabi berkata, "Akal universal meliputi seluruh potensi segala sesuatu, seperti meliputinya panca indra atas gambaran-gambaran dan mencakupnya keseluruhan atas bagian-bagian".[29]
Farabi dalam kitab tersebut mengungkapkan pandangan tentang ke-basîth-an tunggal murni dan berpandangan bahwa Dia adalah Pelaku Pertama di atas segala substansi dan di atas potensi segala sesuatu. Dia adalah paling awal dan hadir dengan segala sesuatu, akan tetapi segala sesuatu tidak terwujud pada-Nya.[30]
Dengan observasi singkat terhadap karya Farabi ini, maka bisa diklaim bahwa ia memahami kaidah basîth al-hakikah, kendatipun tak sesempurna pemahaman Mulla Shadra tentangnya.
Ibnu Sina, dalam karya-karyanya seperti Ilâhiyyât asy-syifa, membahas tauhid, ke-basîth-an dzat Tuhan, kesucian-Nya dari kuiditas, kebaikan murni, dan kesempurnaan mutlak Wajibul Wujud. Konklusi pembahasan adalah terdapat ungkapan yang dapat ditafsirkan sebagai kandungan dari kaidah basîth al-hakikah, dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kuiditas, kualitas, kuantitas, genus, dan…tidak memiliki sekutu, lawan, batasan, dan penjelas, tetapi Dia adalah penjelas segala sesuatu, maka dari itu, segala sesuatu bersumber dari-Nya dan Dia tidak bersekutu dengan mereka satupun. Dia adalah permulaan (mabda) segala sesuatu, sedangkan Dia tidak serupa dengan mereka.[31]
Dari ungkapan di atas dapat ditafsirkan dan diarahkan kepada kaidah basîth al-hakikah bahwa Tuhan adalah segala sesuatu dan Dia juga bukan segala sesuatu itu sendiri dari mereka dalam.
Demikian pula Ibnu Sina menguraikan ilmu Wajibul Wujud terhadap segala sesuatu dimana kemudian Syekh Isyrâq dan Mulla Shadra juga mengkaji masalah tersebut. Menurut pandangan Ibnu Sina, ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu adalah dalam bentuk akal basîth.[32]
Jika pandangan Ibnu Sina bahwa ilmu Tuhan diposisikan sebagai akal basîth, maka hal ini mungkin mengilhami Mulla Shadra dan berpandangan bahwa Wajibul Wujud dalam tataran dzat memiliki ilmu terhadap segala sesuatu dimana hal tidak berefek pada kejamakan dzat-Nya.[33] Ibnu Sina memandang bahwa karena Tuhan adalah akal basîth, maka Tuhan mengetahui segala sesuatu dalam bentuk yang basîth dan universal, tanpa membuat dzat-Nya menjadi jamak.[34]
Penjelasan Ibnu Sina di atas mungkin dapat dipandang dekat dengan konsep irfan tentang multiplisitas dalam unitas dimana pandangan irfan ini sesuai dengan kandungan kaidah basîth al-hakikah. Yang pasti bahwa Ibnu Sina secara tegas tidak pernah mengungkapkan tentang teori basîth al-hakikah, dan apa yang disebutkan di atas hanya berupa tafsiran atas ungkapan-ungkapan Ibnu sina.[35]
Gagasan Syekh Syihabuddin Suhrawardi (945-987 H) bahwa Tuhan adalah sumber segala cahaya-cahaya dan Dia adalah Cahaya di atas cahaya-cahaya. Konsep ini memecahkan kerumitan tentang ilmu Tuhan dengan metode iluminasi. Ia, dalam kitab Hikmah al-Isyrâq, berkata, "Tuhan adalah Cahayanya segala cahaya, ini berarti bahwa Dia cahaya bagi diri-Nya sendiri dan mencahayai selain-Nya, dan tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tersembunyi dari ilmu-Nya.[36]
Selain ungkapannya yang disebutkan di atas, tidak ditemukan ungkapan-ungkapan lain dalam kitab Hikmah al-Isyrâq dan karya-karyanya yang lain yang sesuai dengan kandungan kaidah basîth al-hakikah.
Mir Dâmâd, dalam kitab Ufuq al-Mubîn, mengungkapkan tentang peliputan Tuhan atas segala sesuatu. Menurutnya, Wajibul Wujud secara esensial adalah tunggal dan basîth al-hakikah dari seluruh dimensi serta dzat-Nya tidak mungkin dapat diurai menjadi dimensi-dimensi yang beragam. Seluruh dimensi sifat pensucian harus mengandung satu dimensi keagungan dan kesucian, dimana pada hakikatnya satu dimensi ini mencakup seluruh dimensi kesempurnaan. Dimensi kesempurnaan ini tidak lain adalah dimensi keniscayaan eksistensial Tuhan.[37]
Dengan memperhatikan semua penjelasan di atas, diketahui bahwa meskipun sebagian filosof, seperti Plutin, Farabi dan urafa Islam memahami substansi kaidah basîth al-hakikah, akan tetapi yang menjadikan kaidah ini sebagai suatu prinsip universal dalam bidang filsafat adalah filosof agung Mulla Shadra.[]
[1] . Mulla Shadra, Al-Asfar jld.6, Hal.257.
[2] . Fakhrurrâzi, al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, jld.1, hal. 51.
[3] . Mulla Hadi Sabzwâri, Syarh al-Manzhûmah, hal.155-156.
[4] . Muhammad Taqi Mishbah, catatan kaki Nihâyah al-Hikmah, hal. 408.
[5] . Mulla Hadi Sabzwâri, Syarh al-Manzhûmah, hal. 104.
[6] . Fakhrurrazi, al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, jld. 1, hal. 56-58.
[7] . Mulla Abdullah Zanuzi, Luma'ât al-Ilahiyyah, hal. 97-99.
[8] . Ibnu Sina, Isyârât, jld.2, hal. 107-108.
[9] . Seperti wujud manusia di alam luar yang tersusun dari badan (materi) dan jiwa (forma), sementara kuiditas manusia di alam pikiran tersusun dari hewan (genus) dan berpikir (diferensia).
[10] . Doktor Ali Ashgar Zakawi, Basith al-Hakikah az Didgâh Mulla Shadra, Hal. 130.
[11] . Shadruddin Syirâzi, Al-Asfar, jld.1, hal. 187.
[12] . Quthubuddin Syirazi, Syarh Hikmah al-Isyrâq, Hal.245.
[13] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 7, hal. 334.
[14] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 103.
[15] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 2, hal. 28.
[16] . Shadruddin Syirazi, Al-Asfar, jld. 1, hal. 135.
[17] . Ibid, catatan kaki Hakim Sabzwâri, hal.111.
[18] . Catatan kaki Hakim Sabzwari, Al-Asfar Jld. 6, Hal.111.
[19] . Ali Ashgar Zakawi, Basith Al-hakikah Az Didgoh Mulla Shadra, Hal. 146.
[20] . Plutin, Otsologia, hal. 134.
[21] . Ibid.
[22] . Sayyid Jalaluddin Asytiyâni, Syarh-e Mukaddimah Qaishari bar Fushûsh al-Hikam, hal. 173 dan 174.
[23] . Mahmud, Syahâbi, an-Nazharah ad-Daqîqah, hal. 87, 125 dan 131.
[24] . Q.S: al-An'am: 18.
[25] . Q.S: al-Fusshilat: 54.
[26] . Q.S: al-Hadid: 3.
[27] . Hasan Zadeh Amuly, Fushush al-Hikam bar Fushush al-Hikam Farabi, hal. 534.
[28] . Ibid, hal. 534-539.
[29] . Farabi, Risalah fî al-Ilm al-Ilâhi, hal. 168 dan 169.
[30] . Ibid, hal. 178-180.
[31] . Ibnu Sina, Ilâhiyyât as-Syifa, hal. 379.
[32] . Ibid. Hal. 389.
[33] . Murtadha Muthahari, Majmu' A^tsâr, Jld. 8, Hal. 338-340.
[34] . Ibnu Sina, Ilâhiyyât as-Sifa, Hal. 389.
[35] . Ali Ashgar Zakawi, Basith Al-Hakikah az Didgâh Mulla Shadra, Hal. 162.
[36] . Suhrawardi, Hikmah Al-Isyrâq, Hal. 150.
[37] . Mir Dâmâd, Ufuq Al-Mubîn (dengan nukilan dari: Syahâbi, Mahmud, An-Nazharah ad-Daqîqah, Hal. 140).
Pendahuluan
Kaidah bashît al-hakîkah (non-composite, simple reality) merupakan kaidah yang paling urgen di antara kaidah-kaidah dalam filsafat Hikmah al-Mut'aliyah. Mulla Shadra beranggapan bahwa argumentasi dengan kaidah ini adalah kekhususan dari filsafatnya dan orang-orang yang mendapatkan ilmu dan hikmah dari sisi Tuhan. Ia berkata, "Di antara tingkatan-tingkatan yang dilewati oleh para pesuluk menuju Tuhan dan juga malaikat-malikat-Nya… sesungguhnya mereka itu melihat seluruh maujud berada pada titik yang satu dan kami telah jelaskan bahwa bashît al-hakîkah adalah seluruh "asyyâ" (jamak dari syai atau sesuatu)…."[1]
Menurut kami, kunci untuk memahami kandungan kaidah bashît al-hakîkah adalah pengetahuan terhadap makna bashît al-hakîkah; akan tetapi sebelum membahasnya, harus diketahui terlebih dahulu makna dari basîth (non-komposisi, tak berangkap) dan murakkab (komposisi, berangkap, atau berampur) itu sendiri, sebagai dua istilah filsafat dengan makna yang saling berhadapan.
Bashîth (tak berangkap) adalah tidak mempunyai bagian dan di dalam dzatnya tidak terdapat komposisi. Sedangkan komposisi adalah dzat yang memiliki bagian dan dapat menerima pembagian menjadi bagian-bagian[2]. Dua istilah ini mempunyai makna yang beragam, hal ini muncul dari kenyataan bahwa bagian-bagian itu mempunyai penggolongan yang bermacam-macam atau makna yang menjadi tinjauan terhadap bagian itu adalah berbeda. Dengan kata lain, komposisi dari dimensi bahwa ia tersusun dari jenis bagian-bagian apa dan juga basîth yang terlepas dari jenis bagian-bagian yang mana, ini mempunyai pengertian yang beragam.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa berkumpulnya komposisi dan basîth, pada satu tinjauan, dalam satu subyek adalah mustahil; sebab keduanya saling bertentangan, dan pertentangan keduanya merupakan pertentangan jenis afirmasi dan negasi, dan mungkin juga jenis pertentangan tadhâyuf (mutual correlation). Kendatipun terdapat pertentangan di antara keduanya, namun mungkin terdapat satu obyek luar (mishdâq) dua komprehensi ini, tapi tidak pada tinjauan yang sama.
Komposisi dan Bagian-Bagiannya
Bagian-bagian dari suatu komposisi adalah bagian-bagian yang terwujud di luar dalam bentuk satu wujud atau dalam bentuk wujud-wujud yang jamak. Pada kondisi pertama, bagian-bagian itu diposisikan di pikiran dalam bentuk tak bersyarat sama sekali (lâ bisyarth,non-conditioned), bagian-bagian ini disebut bagian-bagian predikasi atau bagian-bagian batasan, seperti genus dan diferensia. Atau diposisikan di pikiran dalam bentuk bersyarat tapi bukan dengan sesuatu tertentu (bisyarth lâ, negatively-conditioned), bagian-bagian itu disebut bagian-bagian pikiran atau bagian-bagian rasional, seperti bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran (wujud mental). Sementara pada kondisi kedua, adalah bertentangan, seperti bagian-bagian kuantitas yang mesti dalam bentuk benda. Atau tidak bertentangan, dimana mereka itu disebut bagian-bagian eksternal, yakni materi dan bentuk (forma).[3]
Dengan demikian, bagian-bagian tersebut terbagi ke dalam empat bagian: batasan, rasional, kuantitas dan eksternal. Dengan ungkapan lain, bagian-bagian dalam suatu komposisi yang maujud secara potensial disebut bagian-bagian kuantitas yang mesti berbentuk benda, atau yang maujud secara aktual. Bagian-bagian yang aktual ini, bisa dalam bentuk wujud luar, seperti materi dan bentuk (forma), dimana dikhususkan untuk benda-benda. Mungkin juga bagian-bagian aktual ini dalam bentuk kuiditas pikiran, seperti genus-genus dan diferensia-diferensia yang ditinjau dari sesuatu yang tak bersyarat sama sekali (lâ bisyarth,non-conditioned) dan bisa juga seperti materi-materi dan forma-forma rasional bila ditinjau dari bisyarth lâ (negatively-conditioned).
Perlu dijelaskan bahwa genus dan diferensia pada dasarnya adalah materi dan forma luar itu sendiri bila ditinjau secara lâ bisyarth. Materi yang berada di alam luar itu jika berada dalam pikiran disebut genus, begitu pula forma yang terwujud di alam eksternal itu bila berada di alam pikiran dikatakan diferensia.
Apabila suatu maujud luar diasumsikan memiliki kuiditas yang basîth dan secara esensial tidak sama dengan kuiditas lainnya, maka komposisi kuiditas yang berada di alam pikiran tidak dapat dikonsepsi; tetapi akal bisa mengurai maujud itu menjadi kuiditas dan wujud, dengan syarat bahwa maujud tersebut adalah mumkinul wujud (wujud kontingen, makhluk), karena setiap mumkinul wujud terangkap dari wujud dan kuiditas.[4]
Berdasarkan uraian di atas, bagian-bagian yang membentuk komposis terbagi kedalam empat unsur:
1. Bagian-bagian kuantitas;
2. Bagian-bagian luar (materi dan forma);
3. Bagian-bagian rasional atau bagian-bagian batasan (genus dan differensia yang diambil dari materi dan forma atau akal manusia mengkonsepsi suatu maujud yang memiliki genus dan diferensia);
4. Bagian-bagian analitik (wujud dan kuiditas).
Adapun maujud komposisi dibagi atas dua bagian, yaitu hakiki dan non-hakiki ('iktibari), dan setiap dari keduanya dibagi lagi menjadi eksternal dan rasional, sebagai berikut:
a. Komposisi hakiki.
Suatu yang memiliki bagian-bagian dan di antara bagian-bagiannya memiliki hubungan kausalitas dan saling membutuhkan. Kekhususan komposisi ini adalah bahwa salah satu bagiannya adalah kesatuan hakiki. Komposisi itu sendiri mempunyai efek-efek khusus yang berbeda dengan efek-efek dari bagian-bagian yang membentuknya, tapi efek-efek khusus dari komposisi ini bukan berasal dari efek bagian-bagian itu sendiri. Komposisi hakiki terdiri atas dua bagian:
1. Hakiki eksternal.
Adalah komposisi yang tersusun dari bagian-bagian eksternal dan bagian-bagian tersebut saling berbeda satu sama lain di alam luar (tidak hanya di alam pikiran), untuk setiap bagian memiliki identitas dan wujud yang mandiri dimana jika salah satu dari mereka musnah maka bagian-bagian lain tidak ikut musnah dan tetap pada kondisinya masing-masing, seperti hubungan jiwa dan badan, dimana manusia tersusun dari jiwa dan badan, ini adalah komposisi hakiki dan setiap individu manusia merupakan kesatuan hakiki yang memiliki efek-efek khusus. Dapat dirumuskan bahwa di antara materi dan forma dalam berbagai substansi-substansi materi yang sangat berpengaruh dan memiliki efek adalah komposisi hakiki.[5]
2. Hakiki rasional.
Komposisi hakiki rasional adalah komposisi yang tersusun dari bagian-bagian rasional (genus dan diferensia). Bagian-bagian komposisi ini yang berpengaruh adalah kesatuan hakiki yang merupakan parameter dari setiap komposisi hakiki, walaupun di luar alam pikiran mereka tidak berbeda satu sama lain dan tidak mempunyai identitas dan wujud yang mandiri, mereka adalah satu maujud, seperti segitiga yang memiliki tiga sudut, ketiga sudut segitiga itu di alam pikiran memiliki perbedaan, tapi di alam luar tidak memiliki identitas sendiri-sendiri yang mandiri.[6]
b. Komposisi non-hakiki ('iktibari, mentally-posited).
Komposisi yang terwujud dari gabungan bagian-bagian yang di antara mereka tidak terdapat hubungan kausalitas dan saling membutuhkan serta tidak ada kesatuan hakiki yang berpengaruh atas bagian-bagian. Komposisi non-hakiki tidak sebagai realitas baru yang mempunyai efek-efek khusus. Komposisi non-hakiki ini juga mempunyai dua bagian:
1. Non-hakiki eksternal.
Komposisi yang mempunyai bagian-bagian di alam luar, seperti rumah yang tersusun dari kapur, semen, besi, kayu. Di antara bagian-bagian pembentuk rumah itu tidak terdapat hubungan kausalitas, efek komposisi (dalam hal ini adalah rumah) adalah hasil dari keseluruhan efek bagian-bagian pembentuknya sendiri dan wujud komposisi itu sendiri adalah suatu wujud yang non-hakiki dimana bagian-bagian pembentuknya adalah wujud hakiki dan memiliki efek.
2. Non-hakiki rasional.
Komposisi yang dibentuk dari bagian-bagian rasional yang tidak memiliki realitas di luar alam pikran dan merupakan suatu wujud-wujud yang tidak berbeda dan juga tidak mandiri.[7]
Istilah komposisi juga digunakan di alam benda-benda. Dengan makna bahwa filosof memandang terhadap benda yang tersusun dari benda-benda yang berbeda secara alami, seperti hewan, tumbuhan dan barang tambang. Ketiga benda-benda ini tersusun dari empat jenis unsur (benda) yakni: air, udara, api, dan tanah.[8]
Urgen diungkapkan di sini bahwa pembagian dan defenisi yang berhubungan dengan alam kebendaan berdasarkan ilmu alam kuno dan bukan ilmu fisika dan kimia moderen. Zaman sekarang, komposisi kimia dan matematika telah menjadi tema pembicaraan. Dengan demikian seluruh pembagian komposisi dapat dirumuskan secara singkat dalam bentuk sebagai berikut:
1. Komposisi benda dari materi dan forma;
2. Komposisi wujud dan kuiditas (eksistensi dan kuiditas), dimana hanya berlaku bagi setiap mumkin al-wujud;
3. Komposisi kuiditas dari genus dan diferensia;[9]
4. Komposisi dari bagian-bagian aktual, seperti komposisi rumah dari semen, besi, kapur, kaca dan…;
5. Komposisi dari unsur-unsur kimia, dalam ilmu kimia moderen menjadi bahan analisa, seperti komposisi air yang tersusun dari hidrogen dan oksigen;
6. Komposisi matematika, seperti komposisi sebuah garis satu meter yang tersusun dari dua garis 50 centi meter atau komposisi angka 10 dari dua angka 5;
7. Komposisi wujud dan ketiadaan, menurut filosof Mulla Sabzwari merupakan komposisi yang paling rendah, sebab komposisi-komposisi selainnya terbentuk dari bagian-bagian yang berwujud. Sementara dalam komposisi wujud dan ketiadaan adalah salah satunya adalah wujud dan "lainnya" adalah non-eksistensi.[10]
Pembagian Basîth
Pembagian ini berasaskan bahwa basîth adalah hampa dan kosong dari bagian-bagian. Basîth dibagi atas tiga bagian:
1. Basîth eksternal. Basîth yang tidak tersusun dari bagian-bagian yang aktual, seperti materi dan forma atau sembilan kategori aksiden.
2. Basîth rasional. Basîth yang tidak mempunyai bagin-bagian di alam pikiran, seperti genus dan diferensia. Semua konsep-konsep badihi dan aksioma terhitung sebagai Basîth rasional, seperti konsep eksistensi dan konsep lain yang tidak mempunyai batasan. Materi pertama dan forma benda adalah Basîth, sebab tidak tersusun dari bagian-bagian rasional dan bagian-bagian eksternal; dikarenakan materi pertama adalah potensi murni dan kosong dari segala bentuk keaktualan. Forma juga tidak bercampur dengan materi pertama (potensi).
3. Basîth hakiki atau Basîth al-Hakîkah. Basîth ini merupakan basîth yang paling tinggi, dimana secara total bersih dari segala bentuk percampuran, multiplisitas esensial dan komposisi, baik komposisi materi dan forma, eksistensi dan aksiden, genus dan differensia, bagian-bagian kuantitas dan komposisi matematika, komposisi unsur-unsur kimia, dan komposisi wujud dan ketiadaan. Satu-satunya obyek luar dari basîth hakiki adalah Wajibul Wujud.
Terkadang basîth hakiki juga digunakan untuk akal dan jiwa, ini bukan penafian komposisi eksistensi dan kuiditas, sebab selain Wajibul Wujud adalah wujud-wujud kontingen baik itu bersifat materi dan non-materi. Sebagaimana filosof mengatakan, "Setiap mumkin al-wujud terangkap dari kuiditas dan eksistensi".[11]
Teori Basîth
Dalam filsafat Islam terdapat berbagai teori universal yang berhubungan dengan basîth dan komposisi, di antara teori-teori tersebut adalah:
a. Basîth hakiki adalah meliputi dan mencakup segala sesuatu tapi bukanlah segala sesuatu itu sendiri. Makna ini secara detail akan dibahas kemudian.
b. Basîth itu sendiri mustahil sekaligus sebagai pelaku (fâ'il) dan sebagai penerima (qâbil), yakni maujud basîth mustahil memiliki sisi pelaku dan sisi penerima secara bersamaan. Jika maujud basîth adalah pelaku dan juga penerima, maka niscaya terdapat dua sisi dan dua dimensi pada dzatnya yang keduanya memiliki perbedaan, dan ini berarti ia adalah maujud non-basîth (wujud bercampur). Jika diasumsikan bahwa maujud basîth, dari dimensi ia sebagai pelaku dan pada dimensi itu juga ia sebagai penerima, maka pada aspek ia sebagai pelaku dan ia sebagai penerima adalah satu sama lain bertentangan, hal ini adalah mustahil karena meniscayakan berkumpulnya dua hal yang bertolak belakang.
c. Setiap basîth yang tidak memiliki dimensi penerima baginya maka tidak akan meniada. Ssetiap maujud basîth yang tidak memiliki penerima tidak akan meniada selamanya. Syeikh Isyraq dalam hikmah al-isyrâq memuat teori ini, dan Quthubuddin Syirazi dalam komentarnya terhadap teori ini memandang bahwa muatan dan manfaat kaidah ini adalah menetapkan keabadian akal, materi pertama (hayûlâ), dan setiap maujud sederhana yang esensial[12]. Mulla Shadra dalam Asfar juga untuk menetapkan keabadian jiwa dan ruh manusia (nafs nâtiqah) berdasarkan kaidah ini, dan berkata, "Karena jiwa adalah dzat yang basîth dan setiap yang basîth secara esensial tak akan menerima kefanaan dan ketiadaan, jika tidak demikian akan meniscayakan jiwa terangkap (ia) dari kepotensian wujud dan ketiadaan atau keaktualan wujud dan ketiadaan, dan ini adalah menyalahi asumsi.[13]
d. Setiap yang basîth di alam pikiran pasti basîth di alam eksternal, tapi tidak sebaliknya. Segala sesuatu yang basîth secara rasional niscaya basîth di alam nyata; sebab sesuatu yang tak terangkap dari genus dan diferensia di alam pikiran mesti tak terangkap dari materi dan forma di alam eksternal. Mulla Shadra, dalam menafikan bagian-bagian eksternal dari dzat Tuhan, berpegang pada kaidah ini dan mengatakan, "Tuhan tidak memiliki bagian-bagian rasional dan setiap yang ternegasikan dari bagian-bagian rasional pasti ternegasikan dari bagian-bagian eksternal; karena setiap sesuatu yang basîth dalam alam akal niscaya basîth di alam luar, tapi tidak sebaliknya[14]. Tidaklah benar bila dikatakan: "Setiap yang basîth di alam luar mesti basîth di alam akal"; sebab mungkin saja suatu maujud basîth di alam luar, tapi non-basîth di alam akal karena memiliki genus serta diferensia, seperti sembilan kategori aksiden. Menurut pandangan Mulla Shadra, genus dan diferensia dan kategori-kategori aksidensi adalah persepsi mental dan bukanlah hakiki; karena aksiden-aksiden di alam luar adalah basîth dimana tidak mempunyai materi dan forma hakiki, dan setiap maujud yang demikian ini tidak akan memiliki genus dan diferensia hakiki[15]. Kaidah ini juga diaplikasikan dalam menetapkan ke-basîth-an Wajibul Wujud.
e. Kaidah tentang bolehnya terwujud basîth dari sesuatu yang berkomposisi. Adalah memungkinkan maujud basîth terwujud dari suatu sebab yang berkomposisi.
Kaidah Basîth al-hakikah dan Sejarahnya
Basîth al-hakikah (basîth hakiki) merupakan salah satu kaidah yang mendasar dan utama dalam Hikmah Muta'aliyah. Mulla Shadra memandang bahwa kaidah ini merupakan hal yang baru dalam bidang filsafat dan sekaligus sebagai kebanggaan bagi aliran filsafat Sadrian. Bunyi kaidah ini adalah, "Basîthul hakikah kullul asy-yâ wa laisa bisyain minhâ" (basîth hakiki adalah segala sesuatu dan ia bukan dari segala sesuatu). Pengertian kaidah ini akan dibahas secara mendetail dan sekaligus akan ditelusuri latar belakang sejarahnya, tapi di bawah ini akan kami paparkan maksud dan maknanya secara global.
Makna kaidah basîth hakiki adalah bahwa ia merupakan segala sesuatu, ia meliputi dan mencakup segala sesuatu, dan ia pun bersama dengan segala sesuatu, tapi ia tidak berasal dari segala sesuatu dan juga bukan segala sesuatu itu sendiri; ini berarti bahwa ia memiliki kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial segala sesuatu, tapi bersih dan suci dari kekurangan, keterbatasan dan determinasi segala sesuatu.
Mulla Shadra memandang bahwa kaidah ini sebagai aspek yang rumit dalam ilmu ketuhanan, karena itu sangat sedikit orang yang dapat memahaminya, dalam al-Asfar ia menuliskan: "Dengan ketentuan Tuhan dan malaikat-malaikat-Nya yang tinggi dan agung, kami berhasil menemukan suatu argumen transenden (baca: kaidah basîth al-hakikah) untuk menegaskan ketauhidan Wajibul Wujud ...[16]
Menurut Mulla Shadra, kaidah basîth al-hakikah merupakan murni hasil kontemplasi dan pikirannya. Mulla Hadi Sabzwâri juga menambahkan bahwa di antara para filosof terdahulu, hanya Aristoteles yang pernah mengungkapkannya, tapi dalam bentuk yang sangat global.[17]
Dengan demikian telah diketahui bahwa kaidah ini merupakan buah perenungan Mulla Shadra dan bukan pikiran dari filosof-filosof sebelumnya. Mulla Hadi Sabzwâri dalam komentarnya atas al-Asfar menjelaskan secara global bahwa maksud dari kaidah ini adalah kejamakan dalam ketunggalan itu sendiri dan bukan ketunggalan dalam kejamakan. Sebenarnya Mulla Hadi ingin mengisyaratkan bahwa hakikat kandungan kaidah ini - dengan ungkapan-ungkapan yang beragam - dapat ditemukan di dalam karya-karya para urafa sebelum Mulla Shadra dimana juga berkontemplasi tentangnya. Dari perspektif ini, maka kaidah tersebut mempunyai latar belakang sejarah sebelum Mulla Shadra; karena ditemukan dalam karya-karya urafa ungkapan-ungkapan seperti "penyaksian mendetail dalam keuniversalan", "penyaksian universal dalam kemendetailan", dan "kejamakan dalam ketunggalan".
Dalam hal ini, Mulla Shadra tetap memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan para filosof dan pemikir Islam lainnya dalam mengutarakan kaidah basîth al-hakikah; sebab ia mampu mengkonstruksi kaidah ini menjadi sebuah argumentasi filosofis yang dapat diaplikasikan dalam berbagai masalah-masalah di bidang filsafat dan ketuhanan. Dengan perantaraan kaidah ini Mulla Shadra melakukan inovasi baru dalam bidang filsafat, sebagaimana ditegaskan oleh Mulla Hadi Sabzwâri.[18]
Selanjutnya, di bawah ini akan kami utarakan latar belakang sejarah kaidah basîth al-hakikah lewat pendekatan tokoh-tokoh filsafat:
1. Aristoteles
Apakah Aristoteles mengisyaratkan kaidah ini walaupun dalam bentuk yang global? Dan apakah kaidah ini dapat ditemukan dalam karya-karyanya?
Dari ungkapan Mulla Shadra dapat diperoleh gambaran bahwa tak seorangpun yang mendapatkan pengetahuan tentang kaidah basîth al-hakikah kecuali ia; akan tetapi Mulla Hadi Sabzwâri, dalam komentarnya atas al-Asfar, mengklaim bahwa Aristoteles juga mengetahui secara global kaidah tersebut.
Mulla Shadra ,dalam al-Asfar, ketika meneliti ucapan Amirul Mukminin Ali as yang mengatakan bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an tersimpulkan dalam huruf "bâ"nya Bismillah dan aku adalah titik di bawah huruf bâ", dan ini mengisyaratkan tentang kaidah basîth al-hakikah, lebih lanjut Mulla Sadra mengutarakan bahwa guru filsafat Peripatetik, dalam kitab otsologia-nya, berkata bahwa tunggal (wâhid) murni merupakan sebab segala sesuatu; akan tetapi Dia tidak serupa dengan satupun dari segala sesuatu itu, namun ia adalah Pemula dari segala sesuatu dan Dia juga bukan segala sesuatu itu sendiri, bahkan segala sesuatu itu ada padanya.
Kesalahan penisbahan kaidah ini kepada Aristoteles pada dasarnya dikarenakan kesalahan penisbahan kitab Otsologia kepada Aristoteles, kitab ini bukan karya Aristoteles, tetapi karya Plutin. Aristoteles secara prinsipil tidak memiliki keyakinan terhadap kaidah ini; karena, berdasarkan suatu penelitian yang mendalam, diketahui bahwa kaidah ini secara fundamental tidak sesuai dengan pikiran-pikiran Aristoteles sendiri. Gagasan-gagasan filsafat Aristoteles lebih sesuai dengan kaidah prinsipalitas kuiditas (ashalah al-mahiyah), sementara konsep-konsep filsafat Sadrian berpijak pada teori prinsipalitas wujud (ashalah al-wujud). Dan dalam filsafat Aristoteles kesatuan, komprehensi wujud dan kesempurnaannya merupakan perkara yang non-hakiki dan 'iktibari. Sebaliknya, Mulla Shadra memandang wujud, kesatuan dan kesempurnaan adalah bersifat hakiki dan bukan kuiditas, dengan demikian bisa dikatakan bahwa pemikiran filsafat Mulla Sadra tidak sejalan dengan sebagian konsep dan gagasan filsafat Aristoteles. Sebagai contoh, Aristoteles dalam kitab Metafisikanya, berkata, "Wujud bukanlah genus bagi segala sesuatu dan dalam setiap kategori ia bermakna sesuai dengan kategori itu sendiri."[19]
Oleh karena itu, pemikiran Aristoteles sewarna dengan pemikiran yang memandang bahwa kejamakan dan keragaman sebagai hal yang mendasar dan fundamental, pandangannya lebih berpijak pada prinsipalitas kuiditas. Berdasarkan hal ini, maka mustahil ia sepaham dengan kaidah basîth al-hakikah yang digagas Mulla Sadra dimana berpijak pada teori prinsipalitas eksistensi.
2. Plutin
Mazhab neo Plato berdiri di Iskandariyah dan berasaskan pandangan Plato dan filosof lainnya dari Yunani, Iran, dan India. Mazhab berkembang dan menyempurna ditangan filosof bernama Plutin (203-270 M). Pengajaran-pengajarannya dikumpulkan oleh murid istimewanya bernama Furfriyus, ia menyusun enam kitab dimana setiap kitab terdiri dari sembilan bagian. Satu bagian dari kitab tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang kemudian diberi nama Otsologia. Sebagian filosof Islam keliru memandang bahwa Otsologia itu merupakan karya Aristoteles.
Plutin, dalam kitab Otsologia, melontarkan satu kajian bertemakan: Kausa prima dan segala sesuatu yang terwujud darinya. Dalam pembahasan ini bisa dilihat bagaimana perhatian ia terhadap kaidah basîth al-hakikah. Dan Mulla Shadra salah menganggap bahwa Aristoteles mempunyai perhatian secara global terhadap kaidah ini, sebenarnya yang dimaksud adalah Plutin.
Untuk mengenal lebih dalam pandangan Plutin, kita berupaya mengulas secara singkat beberapa pandangan-pandangannya:
Menurut pandangan Plutin, Tuhan adalah tunggal murni dan sebab segala sesuatu, tetapi tak serupa dengan segala sesuatu itu. Tuhan adalah awal dan permulaan segala sesuatu. Plutin memiliki ungkapan yang dapat ditafsirkan bahwa "tunggal murni adalah segala sesuatu" (segala sesuatu adalah tunggal murni): "Tunggal murni adalah sebab segala sesuatu…tapi Dia sendiri bukan segala sesuatu; akan tetapi segala sesuatu adalah dari-Nya, karena segala sesuatu mendapatkan emanasi dari-Nya dan keberlangsungan eksistensi mereka bergantung pada-Nya serta semuanya kembali kepada Dia."[20]
Lebih lanjut ia mengurai permasalahan dalam bentuk tanya dan jawab, pertanyaannya adalah bagaimana segala sesuatu yang beragam dapat terwujud dari tunggal murni yang basîth dimana tidak memiliki satu dimensi kejamakan? Ia menjawab, sesuatu yang tanpa perantara mendapatkan emanasi dari tunggal murni basîth adalah wujud akal. Kemudian maujud-maujud lainnya yang berada di alam paling tinggi hingga alam paling rendah mendapatkan emanasi dengan perantara wujud akal[21]. Pada hakikatnya, Plutin menjawab pertanyaan itu dengan teori ketunggalan (al-wâhid).
Dengan demikian, ia secara gamblang telah mengungkapkan bahwa "segala sesuatu bersumber dari tunggal murni basîth" dan perhatiannya terhadap aplikasi kaidah basîth al-hakikah.
3. Kaum 'Arif Islam
Mengkaji karya-karya kaum 'arif Islam akan bertemu dengan kenyataan bahwa mereka dalam beberapa pembahasan berpijak pada kaidah tersebut, seperti konsep tentang "penyaksian universal dalam dimensi partikular", "penyaksian partikular dalam universal", "multiplisitas dalam unitas" dan "hakikat Muhammadiyah".
Asytiyânî, dalam Syarh-e Mukaddimah Qaishari bar Fushûsh al-Hikam Ibnu Arabi, menuliskan: "Kaidah ini sebenarnya juga dijelaskan oleh para urafa Islam dalam karya mereka; akan tetapi karena pandangan para urafa ini tentang kesatuan wujud individual (wahdah asy-syakhshi) dalam wujud, maka mereka, karena situasi dan kondisi, sementara mengikuti pandangan Aristoteles dalam menjabarkan berbagai permasalahan filsafat. Sesungguhnya para urafa mendapatkan ilham tentang kaidah ini dalam kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi saw.[22]
Doktor Syahâbi, dalam kitab an-Nazharah ad-Daqîqah fî Qâidah Basîth al-Hakikah, mengutarakan sebagian riwayat yang menunjukkan kandungan kaidah tersebut.[23] Substansi kaidah ini adalah bahwa dzat basîth Tuhan meliputi seluruh hakikat-hakikat eksistensi, para 'urafa mengungkapkan bahwa "Tak ada sesuatupun yang keluar dari cakupan wujud-Nya. Kaidah ini sesuai dengan firman-Nya yang berbunyi, "Dia Maha Perkasa atas hamba-Nya"[24] dan "Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu"[25]. Ahli irfan juga memiliki gagasan bahwa "Dia lah yang tampak dan Dia pulalah penampakan itu sendiri ", hal ini sesuai dengan firman Tuhan: "Dia adalah yang awal dan yang akhir serta yang lahir dan yang batin"[26].
Menurut urafa Islam, maujud pertama yang teremanasi dari dzat Tuhan adalah ruh Muhammad, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Saw: "Yang pertama diciptakan Tuhan adalah cahayaku", ruh Muhammad ini dikenal dikalangan filosof dengan akal pertama. Jadi hakikat Muhammad ini merupakan emanasi pertama Tuhan dalam penciptaan. Akal pertama ini sebagai perantara emanasi maujud-maujud lainnya. Perlu diperhatikan bahwa dalam tipologi irfan teoritis Islam hakikat Muhammad adalah segala sesuatu itu sendiri, yakni ia memiliki seluruh kesempurnaan maujud-maujud yang berada di bawahnya dalam bentuk yang lebih sempurna.
Dengan demikian, hakikat Muhammad adalah manifestasi sempurna nama-nama Tuhan dan sekaligus menjadi wadah tajalli seluruh nama Tuhan itu di alam penciptaan.
Oleh sebab itu, tidak diragukan jika urafa Islam dalam menguraikan masalah-masalah irfan bersandar pada kaidah basîth al-hakikah, kendatipun mereka tidak mengungkapkannya dalam bentuk satu kaidah tersendiri yang argumentatif.
4. Filosof Islam
Salah satu inti persoalan dalam filsafat ketuhanan yang dibahas serius oleh para filosof, urafa, dan teolog adalah masalah ilmu Tuhan terhadap seluruh maujud sebelum dan sesudah penciptaan dan bagaimana ilmu Tuhan berkaitan dengan partikular-partikular dan universal-universal dalam dzat-Nya. Mulla Shadra menjelaskan ilmu Tuhan dengan menggunakan kaidah basîth al-hakikah. Para filosof sebelumnya, jika mereka memahami kaidah ini, niscaya menafsirkan ilmu Tuhan juga dengan kaidah tersebut; sebagaimana urafa Islam menjelaskan ilmu Tuhan memanfaatkan kaidah ini.
Seluruh filosof Islam – baik dari mazhab Peripatetik maupun dari mazhab Iluminasi - sepakat tentang ke-basîth-an dzat Wajibul Wujud dan mengkonstruksi dalil untuk menegaskan ke-basîth-an dzat-Nya, juga secara detail membahas ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya dan selain-Nya. Dengan demikian, apakah dapat diklaim bahwa mereka juga memahami kandungan kaidah basîth al-hakikah?
Abu Nashr Muhammad Farabi (wafat 339 H) pendiri filsafat Islam mazhab Peripatetik, dalam kitab Fushush al-Hikam tentang metafisika dan tauhid, menjelasan tentang ilmu Wajibul Wujud terhadap dzat-Nya dan selain-Nya. Tanpa bermaksud meneliti konsep Farabi tentang ilmu Tuhan secara mendetail, kami mengutip pandangannya di pasal tujuh puluh dari kitab tersebut dimana membahas tentang ilmu Tuhan, berkata: "Jika Tuhan ditinjau dari dzat dan sifat-sifat-Nya maka segala sesuatu berada dalam satu kesatuan. Maka dari itu, segala sesuatu adalah sama dalam kodrat dan ilmu-Nya. Kodrat dan ilmu Tuhan sebagai hakikat keseluruhan yang tetap. Oleh karena itu, Tuhan dari sisi sifat-Nya meliputi segala sesuatu dan berada di atas keseluruhan, sementara kesatuan dzat-Nya meliputi sifat-sifat tersebut."[27]
Menurut pandangan Farabi, sifat-sifat-Nya meliputi segala sesuatu dan sisi lain dzat-Nya meliputi sifat-sifat-Nya. Konklusinya adalah dzat-Nya yang meliputi segala sesuatu; dengan makna bahwa segala sesuatu "terkumpul" dalam dzat-Nya dan tanpa ada kekosongan atas kesatuan dzat-Nya.[28]
Demikian pula Farabi, dalam risalah Fî al-ilmi al-Ilâhi, menisbahkan segala sesuatu dan keseluruhan kepada akal. Menurut ia, akal adalah segala sesuatu dan segala sesuatu itu ada padanya; ini sebagaimana keyakinan Plutin terhadap gagasan ini. Farabi berkata, "Akal universal meliputi seluruh potensi segala sesuatu, seperti meliputinya panca indra atas gambaran-gambaran dan mencakupnya keseluruhan atas bagian-bagian".[29]
Farabi dalam kitab tersebut mengungkapkan pandangan tentang ke-basîth-an tunggal murni dan berpandangan bahwa Dia adalah Pelaku Pertama di atas segala substansi dan di atas potensi segala sesuatu. Dia adalah paling awal dan hadir dengan segala sesuatu, akan tetapi segala sesuatu tidak terwujud pada-Nya.[30]
Dengan observasi singkat terhadap karya Farabi ini, maka bisa diklaim bahwa ia memahami kaidah basîth al-hakikah, kendatipun tak sesempurna pemahaman Mulla Shadra tentangnya.
Ibnu Sina, dalam karya-karyanya seperti Ilâhiyyât asy-syifa, membahas tauhid, ke-basîth-an dzat Tuhan, kesucian-Nya dari kuiditas, kebaikan murni, dan kesempurnaan mutlak Wajibul Wujud. Konklusi pembahasan adalah terdapat ungkapan yang dapat ditafsirkan sebagai kandungan dari kaidah basîth al-hakikah, dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kuiditas, kualitas, kuantitas, genus, dan…tidak memiliki sekutu, lawan, batasan, dan penjelas, tetapi Dia adalah penjelas segala sesuatu, maka dari itu, segala sesuatu bersumber dari-Nya dan Dia tidak bersekutu dengan mereka satupun. Dia adalah permulaan (mabda) segala sesuatu, sedangkan Dia tidak serupa dengan mereka.[31]
Dari ungkapan di atas dapat ditafsirkan dan diarahkan kepada kaidah basîth al-hakikah bahwa Tuhan adalah segala sesuatu dan Dia juga bukan segala sesuatu itu sendiri dari mereka dalam.
Demikian pula Ibnu Sina menguraikan ilmu Wajibul Wujud terhadap segala sesuatu dimana kemudian Syekh Isyrâq dan Mulla Shadra juga mengkaji masalah tersebut. Menurut pandangan Ibnu Sina, ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu adalah dalam bentuk akal basîth.[32]
Jika pandangan Ibnu Sina bahwa ilmu Tuhan diposisikan sebagai akal basîth, maka hal ini mungkin mengilhami Mulla Shadra dan berpandangan bahwa Wajibul Wujud dalam tataran dzat memiliki ilmu terhadap segala sesuatu dimana hal tidak berefek pada kejamakan dzat-Nya.[33] Ibnu Sina memandang bahwa karena Tuhan adalah akal basîth, maka Tuhan mengetahui segala sesuatu dalam bentuk yang basîth dan universal, tanpa membuat dzat-Nya menjadi jamak.[34]
Penjelasan Ibnu Sina di atas mungkin dapat dipandang dekat dengan konsep irfan tentang multiplisitas dalam unitas dimana pandangan irfan ini sesuai dengan kandungan kaidah basîth al-hakikah. Yang pasti bahwa Ibnu Sina secara tegas tidak pernah mengungkapkan tentang teori basîth al-hakikah, dan apa yang disebutkan di atas hanya berupa tafsiran atas ungkapan-ungkapan Ibnu sina.[35]
Gagasan Syekh Syihabuddin Suhrawardi (945-987 H) bahwa Tuhan adalah sumber segala cahaya-cahaya dan Dia adalah Cahaya di atas cahaya-cahaya. Konsep ini memecahkan kerumitan tentang ilmu Tuhan dengan metode iluminasi. Ia, dalam kitab Hikmah al-Isyrâq, berkata, "Tuhan adalah Cahayanya segala cahaya, ini berarti bahwa Dia cahaya bagi diri-Nya sendiri dan mencahayai selain-Nya, dan tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tersembunyi dari ilmu-Nya.[36]
Selain ungkapannya yang disebutkan di atas, tidak ditemukan ungkapan-ungkapan lain dalam kitab Hikmah al-Isyrâq dan karya-karyanya yang lain yang sesuai dengan kandungan kaidah basîth al-hakikah.
Mir Dâmâd, dalam kitab Ufuq al-Mubîn, mengungkapkan tentang peliputan Tuhan atas segala sesuatu. Menurutnya, Wajibul Wujud secara esensial adalah tunggal dan basîth al-hakikah dari seluruh dimensi serta dzat-Nya tidak mungkin dapat diurai menjadi dimensi-dimensi yang beragam. Seluruh dimensi sifat pensucian harus mengandung satu dimensi keagungan dan kesucian, dimana pada hakikatnya satu dimensi ini mencakup seluruh dimensi kesempurnaan. Dimensi kesempurnaan ini tidak lain adalah dimensi keniscayaan eksistensial Tuhan.[37]
Dengan memperhatikan semua penjelasan di atas, diketahui bahwa meskipun sebagian filosof, seperti Plutin, Farabi dan urafa Islam memahami substansi kaidah basîth al-hakikah, akan tetapi yang menjadikan kaidah ini sebagai suatu prinsip universal dalam bidang filsafat adalah filosof agung Mulla Shadra.[]
Catatan Kaki:
[1] . Mulla Shadra, Al-Asfar jld.6, Hal.257.
[2] . Fakhrurrâzi, al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, jld.1, hal. 51.
[3] . Mulla Hadi Sabzwâri, Syarh al-Manzhûmah, hal.155-156.
[4] . Muhammad Taqi Mishbah, catatan kaki Nihâyah al-Hikmah, hal. 408.
[5] . Mulla Hadi Sabzwâri, Syarh al-Manzhûmah, hal. 104.
[6] . Fakhrurrazi, al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, jld. 1, hal. 56-58.
[7] . Mulla Abdullah Zanuzi, Luma'ât al-Ilahiyyah, hal. 97-99.
[8] . Ibnu Sina, Isyârât, jld.2, hal. 107-108.
[9] . Seperti wujud manusia di alam luar yang tersusun dari badan (materi) dan jiwa (forma), sementara kuiditas manusia di alam pikiran tersusun dari hewan (genus) dan berpikir (diferensia).
[10] . Doktor Ali Ashgar Zakawi, Basith al-Hakikah az Didgâh Mulla Shadra, Hal. 130.
[11] . Shadruddin Syirâzi, Al-Asfar, jld.1, hal. 187.
[12] . Quthubuddin Syirazi, Syarh Hikmah al-Isyrâq, Hal.245.
[13] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 7, hal. 334.
[14] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 103.
[15] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 2, hal. 28.
[16] . Shadruddin Syirazi, Al-Asfar, jld. 1, hal. 135.
[17] . Ibid, catatan kaki Hakim Sabzwâri, hal.111.
[18] . Catatan kaki Hakim Sabzwari, Al-Asfar Jld. 6, Hal.111.
[19] . Ali Ashgar Zakawi, Basith Al-hakikah Az Didgoh Mulla Shadra, Hal. 146.
[20] . Plutin, Otsologia, hal. 134.
[21] . Ibid.
[22] . Sayyid Jalaluddin Asytiyâni, Syarh-e Mukaddimah Qaishari bar Fushûsh al-Hikam, hal. 173 dan 174.
[23] . Mahmud, Syahâbi, an-Nazharah ad-Daqîqah, hal. 87, 125 dan 131.
[24] . Q.S: al-An'am: 18.
[25] . Q.S: al-Fusshilat: 54.
[26] . Q.S: al-Hadid: 3.
[27] . Hasan Zadeh Amuly, Fushush al-Hikam bar Fushush al-Hikam Farabi, hal. 534.
[28] . Ibid, hal. 534-539.
[29] . Farabi, Risalah fî al-Ilm al-Ilâhi, hal. 168 dan 169.
[30] . Ibid, hal. 178-180.
[31] . Ibnu Sina, Ilâhiyyât as-Syifa, hal. 379.
[32] . Ibid. Hal. 389.
[33] . Murtadha Muthahari, Majmu' A^tsâr, Jld. 8, Hal. 338-340.
[34] . Ibnu Sina, Ilâhiyyât as-Sifa, Hal. 389.
[35] . Ali Ashgar Zakawi, Basith Al-Hakikah az Didgâh Mulla Shadra, Hal. 162.
[36] . Suhrawardi, Hikmah Al-Isyrâq, Hal. 150.
[37] . Mir Dâmâd, Ufuq Al-Mubîn (dengan nukilan dari: Syahâbi, Mahmud, An-Nazharah ad-Daqîqah, Hal. 140).