Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 05 September 2012

Pokok-Pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah Bag: 1 (Keimanan Syi'ah Terhadap Tuhan)

Oleh Sinar Agama pada 29 Oktober 2010 jam 19:32

Pokok-Pokok  dan Ringkasan Ajaran Syi’ah

Mukaddimah:

 (1)Bagi yang memang belum beragama Islam, maka tulisan ini bisa langsung jadi panduan untuk mengetahui keimanan Islam secara madzhab Syi’ah.

 (2)-Bagi yang sudah muslim, baik Syi’ah atau Sunni, maka perlu diketahui bahwa tulisan ini ditulis untuk meningkatkan iman yang ada secara temurun. Artinya, iman yang kita warisi dari orang tua kita adalah iman yang baik dan diterima Allah. Akan tetapi ianya tidak terlalu tinggi sehingga dalam istilah ilmu Kalam/Tiologi, berdasarkan kepada QS: 49:14, diistilahkan sebagai Muslim. Yakni, mukminin yang dalam katagori muslim, yakni iman yang berdasarkan kepada “menerima” yang dikatakan orang lain, baik orang tua, guru atau nabi sekalipun, alias belum beragumentasi. Oleh karenanya sangat dianjurkan untuk menelusuri argumentasi keimanannya hingga sampai ke tingkat iman yang sesungguhnya (tidak ikut-ikutan) dan nantinya bisa sampai ke tingkat Yakin. Allah berfirman:



قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ



“Orang-orang pinggiran berkata: Kami telah beriman. Katakan (Muhammad): Kalian belum beriman, tapi katakanlah: Kami telah menerima (muslim). Sebelum iman itu masuk ke dalam akal/qalb kalian. Kalau kalian taati Allah dan Rasul, Dia tidak akan mengurangi (pahala) dari perbuatan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang”



Belum masuknya iman ke dalam hati, setidaknya disebabkan 2 hal.

Pertama, karena mereka masih belum memahmi Islam dengan akal mereka. Hingga masih terdolong orang yang hanya ikut-ikutan Nabi saww saja (misalnya karena Nabi saww adalah orang yang jujur, baik....dst hingga kata-katanya diterima mereka), dimana karenanya Allah mengatakan bahwa meraka hanya baru menerima Islam. Memang, mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam, dan mengikuti Nabi saww karena kesadaran mereka. Akan tetapi kesadarannya sebatas semacam mengikuti Nabi saww karena kejujurannya, kebaikannya, keadilannya dan semacamnya. Nah, iman seperti selama tidak akan memberikan keyakinan pada hati manusia, karena belum ditopang dan didasari dengan pengertian.



Jadi, walaupun dari luar diri mereka tidak ada pemaksaan, tapi dalam diri mereka sendiri, semacam ada pemaksaan itu yang, datangnya dari kepercayaan mereka kepada Nabi saww itu. Jadi, iman mereka berdasar pada kepercayaan tsb, bukan pada kepahaman akan kebenaran ajaran Nabi saww.



Ke dua, karena memang hati/qalbu dalam ayat ini memiliki makna akal sebagaimana banyak sekali ayat-ayat yang lain dimana dalam bahasa Arabpun, Qalbu juga bermakna akal. Jadi makna ayat itu menjadi jelas, bahwa selama mereka salam mengikuti Nabi saww itu tidak berdasar pada pemahaman akal terhadap kebenaran ajarannya, dari tauhid sampai maad, maka mereka masih tergolong muslim dalam istilah ke-imanan, bukan mukmin. Dimana mukmin artinya mengimani dan meyakini kebenarannya. Nah, kalau sesuatu itu belum dipahami dengan akalnya, bagaimana mungkin bisa diyakini kebenarannya? Contoh  ayat yang menggunakan Qalbu untuk akal sbb:



وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا ...



“Dan Kami telah jadikan untuk neraka, manusia dan jin yang banyak, mereka memiliki qalb/hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, punya mata tetapi tidak untuk melihat/memperhatikan.....” (QS: 7: 179)



أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ



“Apakah mereka tidak menelusuri bumi, hingga mereka memiliki qalb/hati yang dipergunakan untuk berakal (ya’qilun = memahami dengan akal), dan telinga yang dipergunakan untuk mendengar, karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada” (QS: 22: 46).



Sudah tentu qalbu, baik yang bermakna akal atau perasaan, tempatnya bukan di dada. Dan yang di dada itu adalah hati yang bermakna pemompa darah, bukan perasa, apalagi pemaham. Jadi, qalbu, baik bermakna akal pemaham atau hati perasa, tempatnya adalah di ruh kita, bukan di dada. Jadi, kata dada dalam ayat ini adalah, semacam dalam diri, dalam hidup dan hakikat manusia. Karena hati yang di dada adalah untuk memompa darah dimana tanpa itu berarti tidak ada kehidupan bagi manusia.



كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ



“Begitu pula Allah mengunci qalb/hati-hati yang tidak memahami” (QS: 30: 59) ...dll ayat.



(3)-Argumen yang dimaksud dalam point sebelumnya adalah argumentasi gamlang atau berpremis/dalil ilmu mudah yang tidak perlu perenungan terhadap kebenarannya. Dan argument ini sudah tentu akalauiah dan bukan Qur aniah. Tentu saja bukan karena kita tidak percaya Qur an, tetapi karena posisi kita sekarang memposisikan diri sebagai orang yang ingin mencari Tuhan, maka sudah tentu harus membuktikan dulu keberadaanNya, kemudian kebenaran utusanNya sebelum mengimani bawaan nabiNya seperti Qur an.



(4)-Mungkin dengan point 3 itu akan ada orang berkata bahwa akal terbatas dan Qur an tidak terbatas karena dari Tuhan. Jwbnya,

pertama, justru karena Qur an dari Tuhan itulah maka ia bermula dan karenaya menjadi terbatas.

ke dua, kalau Qur an tidak terbatas dan akal sebaliknya, maka Qur an akan menjadi sia2 diturunkan karena tidak akan dipahami siapapun.

ke tiga, dan kalaulah akal yang terbatas ini dipaksakan untuk memahaminya, maka pahamannya akan jelas menjadi terbatas, dimana kalau karena keterbatasan akal, membuatnya harus ditinggalkan, maka pahamannya tentang Qur an ini juga harus ditinggalkan.

ke empat, pernyataan “akal itu terbatas maka tidak boleh diikuti”, ini pernyataan dari mana. Kalau dari akal, berarti dia juga pernyataan yang kebenarannya terbatas dan tidak boleh diikuti. Dan kalau tidak diikuti berarti kita harus ikut akal yang terbatas.



Dan kalau pernyataannya itu dari Qur an, maka justru Qur an di puluhan tempat dan ayat, menuruh kita menggunakan akal. Dan kalaulah dipaksakan juga bahwa pernyataan itu dari Qur an, maka mengapa kita mengambil Qur an ini dan tidak mengambil kitab-kitab lain. Kalau karena Qur an juga, berarti kita telah menyandarka sesuatu pada dirinya sendiri alias ber-putar-putar. Dan kalau karena akal dalam memilih Qur annya, maka berarti hal ini harus ditinggalkan juga. Yakni berarti harus ikut akal. Jadi, mau lari kemana saja, tetap larinya ke akal.



Apalagi, keterbatasn akal bukan berarti tidak mengertinya dia dalam banyak hal, dimana jutaan atau milyarand hal yang dapat diketahui akal itu sudah teramat cukup untuk dijadikan bekal hidup.

Contoh paling gamblangnya adalah bahwa kita dengan akal telah memilih agama dan madzhab serta pemahaman-pahaman tentangnya.



Atau akan berkata bahwa akal itu relatif dan Qur an itu hakikat, maka kita harus ikuti Qur an dan meninggalkan akal. Jwbnya adalah,

pertama, kita pasti akan mengikuti Qur an, tetapi setelah membuktikan Tuhan dan kenabian Muhammad saww. Sementara tahap kita sekarang ini adalah dalam tahap pembuktian wujud Tuhan dan belum sampai ke Qur an.

ke dua, kalau kita tidak ikut akal, berati kita tidak bisa ikut Qur an. Karena Qur an yang akan kita ikuti adalah Qur an yang kita pahami dengan akal kita yang katanya relatif ini. Jadi, menolak akal, sama dengan menolak Qur an.

ke tiga, kalau kita tidak ikut akal, maka kita tidak bisa ikuti Qur an, karena kita memilih Qur an dan bukan kitab lain seperti Injil, Weda ..dst, dikarenakan akal kita. Jadi, menolak akal, berarti harus menolak pilihannya juga.

Ke Empat, pernyataan “akal itu relatif maka harus ditinggalkan dan sebagai gantinya harus ikuti Qur an saja” ini, dari mana? Kalau dari Qur an, jelas tidak mungkin, karena puluhan ayatnya menyuruh kita menggunakan akal. Kalau dari akal, maka harus ditinggalkan karena kerelatifannya itu. Dan kalau ditinggalkan berarti kita harus ikut akal sebagai lawan dari pernyataan tsb.



Lagi pula, betapa banyaknya ilmu akal yang sampai ke tingkat Hakiki atau pasti dan bukan relatif. Yakni, keberannya mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Seperti isi dari ilmu-ilmu matemati, kedokteran, fisika, anatomi, kimia, arkeologi, psikologi, logika, tafsir, rijal, matan hadits, filsafat, ushul fiqih, antariksa .....dst.



Dengan demikian, maka kita tidak bisa memukul rata -dikarenakan belum sampainya akal kepada pengetahuan benar yang mutlak dalam beberapa pengetahuan- dengan mengatakan bahwa ilmu manusia itu tidak pasti. Pernyataan ini jelas salah besar. Karena banyak sekali pengetahuan manusia itu yang pasti dan mutlak kebenarannya, sekalipun yang tidak diketahuinya secara pasti, lebih banyak dari yang sudah diketahuinya. Tapi yang diketauinya secara pasti itu, sudah sangat lebih dari cukup untuk mencapai jalan selamat dan Ridha serta Ampunan Tuhannya.



Dengan demikian pula, dengan alasan relatif, kita tidak bisa mengatakan bahwa ilmu-ilmu manusia yang relatif itu harus ditinggalkan. Karena ilmu-ilmu relatif tsb adalah ibarat akar dihadapan ilmu benar mutlak yang diibaratkan rotan. Jadi, manusia harus memperhatikan dan mengamalkan ilmu-ilmu relatifnya itu sambil mencari rotannya. Karena kalau tidak demikian, maka akan terjadi kehingar bingaran dalam masyarakat manusia dan kehidupan tanpa aturan dan hukum seperti binatang di hutan rimba. Lihat catatan kami yang berjudul “Islam Hakiki dan Relatif”.



Ketahuilah, bahwa Qur an diturunkan kepada manusia karena manusia memiliki akal. Jadi, akal tidak bisa dipertentangkan dengan Qur an karena ia adalah alat untuk memahminya. Sudah tentu yang dikatakan akal di sini adalah “akal-umum/normal” yang tentu tidak lepas dari kerelatifan dimana akan menghasilkan dua kemungkina, benar atau salah dalam memahaminya. Namun demikian Allah tetap saja menurunkan agamaNya itu untuk manusia. Tentu kemungkinan salahnya ini sudah diusahakan oleh agama supaya banyak terkurangi, seperti suruhan merenungi (bukan hanya mendengarnya sepintas), bertanya ke Rasul saww, bertanya ke imam maksum as dan ulil albab serta ulama yang telah mempelajari agama secara akademis.



Sedang akal-pasti, yaitu yang memiliki pijakan ilmu mudah tadi (nessecery knowlege), maka ianya sudah pasti cocok dengan Qur an. Hal ini, bukan karena akal menguatkan Qur an atau sebaliknya. Tapi karena akal dan Qur an, sebagai alat atau petunjuk mencapai ilmu benar dan sesuai hakikatnya, telah sama-sama sampai kepadanya dan bertemu di titik itu. Beda keduanya hanyalah bahwa Qur an yang Qur an, yakni yang sesuai dengan yang dimaksudkan Allah (bukan yang kita pahami yang belum tentu sesuai dengan maksudNya dan kalaulah benar dibarengi dengan proses pencapaian) adalah ilmu kebenaran yang tidak melalui proses pencapaian. Karena Qur an adalah bagian kecil dari ilmu Allah yang pasti benar mutlak dan tidak terbatas itu. Sedang akal-pasti ini melalui proses pencapaian. Seperti ilmu anak kecil yang mulai mengeri bahwa dirinya ada secara pasti, 1+1=2, 3+3 =6, ayah dan ibunya serta lingkungannya adalah ada secara pasti...dst. Dan beda lainnya adalah, kalaupun keduanya sama-sama terbatas, tapi Qur an tetap lebih luas dari capaian manusia dengan akal pastinya itu. Dekaplah erat-erat yang satu ini (hbungan Qur an dan akal-pasti), karena ianya adalah kunci dari banyak hal dan pemecah dari banyak kebingungan.



(5)-Pokok keimanan dalam Syi’ah ada 5 perkara, Ke-Tuhan-an, ke-Adilan Tuhan, kenabian, keimamahan/kepemimpinan dan hari akhirat.



Di sini ada 3 perbedaan dengan keimanan saudara-saudara kita Ahlussunnah yang menerakan keimanan pada Malaikat-malaikat, Kitab-kitab (QS: 4:136) dan Takdir baik-buruk dari Allah (tidak ada sumber Qur annya, yang ada adalah Qur an yang sudah diijtihadi sebagaimana yang akan jelas dalam mslh ke-Adilan Tuhan nanti, inysaAllah).



Dalam Syi’ah kedua pertama itu adalah bagian dari keimanan-keimanan yang tidak termasuk “Dasar Agama”, jadi mereka adalah keimanan yang “Cabang Dasar Agama”. Keimanan yang “Dasar Agama” adalah suatu keimanan yang kalau tanpanya agama tidak bisa ditegakkan atau diimani dan diamalkan. Yakni, yang menjadi dasar dari sebuah agama hingga bisa diimani dan diamalkan.

Oleh karenanya konsep dan unsure-unsurnya berupa konsep dan unsure-unsur Akalauiah, bukan Qur aniah, walaupun bisa dinisbahkan kepadanya kerena kepencapaian dan keargumennya yang terlepas dari segala macam doktrin ke-Ilahiahan (bc: Qru an yang berdalil dengan dalil akal). Hal tsb karena keimanan “Dasar Agama” (Ushuluddin) ini diwujudkan untuk meneliti kebenaran sebuah agama, baik yang diwarisi atau yang memang baru dihadapi dan ditelitinya. Oleh karenanya, kalau konsep tsb diambil dari Qur an, maka akan menyimpang dari tujuan asalnya dan kembali menjerumuskan sang pewaris yang ingin keluar dari takalauid, ke dalam pewarisan dan ketakalauidan lagi, dan membuat sang pencari yang baru, dipaksa mempercayai Firman-firman Tuhan sebelum percaya kepada Tuhan dan UtusanNya. Jelas hal ini sulit dicerna, apalagi diterima.



Ke-Dasaran “Dasar Agama” atau “Ushulu al-Din” ini, dapat Anda lihat dari contoh berikut ini. Yaitu, org yang tidak percaya bahwa Tuhan itu Ada dan Adil (mis yang baik dimasukkan ke surga dan bgt sebaliknya); Atau tidak percaya bahwa nabi itu harus ada dan Muhammad saww adalah nabi; Atau tidak percaya bahwa setelah Nabi saww ada imam-imam maksum; Atau tidak percaya bahwa akan ada akhirat dan surga-neraka; maka orang tersebut tidak akan mau mengamalkan agama. Inilah yang dimaksud “Dasar Agama”. Atau kalaulah mengamalkannya tidak dengan kemantapan yang sebenarnya.



Misalnya orang-orang yang tidak percaya akan adanya imam maksum setelah Nabi saww. Bagaimana mereka bisa meyakini akan adanya Shiratu al-Mustaqim, yakni jalan Islam yang 100% lengkap dan lurus serta tidak memiliki kesalahan/ketersesatan sedikitetapiun (wa laa al-Dhaalliin)???!!! Dan kalau mrk tidak meyakini adanya Jalan Lurus tersebut di dunia ini setelah Nabi saww (karena bg mrk hanya Nabi saww yang maksum), bagaimana mereka akan mantap memintanya dengan membaca surat al-Fathihah (Tunjukkan kepada kamu Jalan yang Lurus) dan mantap mencarinya serta mengamalkannya?



Sedang keimanan terhdp malaikat-malaikat dan kitab-kitab, dalam Syi’ah, tidak beda dengan keimanan kepada adanya Jin, Syethan, Lauhu al-Mahfuzh, Isra’ Mi’roj, Bidadari, Air susu di surga yang tidak pernah basi, Di surga tidak buang kotoran besar-kecil .... dst. Yakni, keimanan-keianan  ini adalah cabang dari keimanan Dasar tadi, khususnya dari keimanan pada Rasul utusan. Karena kalau seseorang sudah mempercayi seorang rasul yang maksum, maka sudah pasti akan menerima apa saja yang dibawa dan diberitakannya. Akan tetapi keimanan-keimanan tsb bukanlah Dasar Agama hingga kalau ada seseorang yang tidak tahu terhadap keberadaannya dalam Islam, maka orang tersebut tidak akan mengamalkan syariat agama atau tidak mantap dalam pengamalannya.



Misalnya, kalau Tuhan tidak mengirimi nabi Muhammad al-Qur an, atau dalam Qur an tidak diceritakan akan adanya kitab-kitab terdahulu, malaikat-malaikat, bidadari-bidadari ...dst., maka hal tsb tidak akan membuat seseorang tidak mempercayai dan tidak mengamalkan agama yang diajarkan Nabi Muhammad saww setelah meyakini kerasulannya.



Akan tetapi sebaliknya, barang siapa yang tidak mempercayai keimanan-keimanan  cabang tersebut, setelah dia beriman kepada Allah, nabi Muhammad saww dan Islam yang dibawanya, dan stlh tahu bahwa keimanan-keimanan itu dibawa nabi Muhammad saww, baik dalam Qur an atau hadits-hadits  yang mutawatir atau shahih dan tidak bertentangan dengan akal dan Qur an, dan tahu bahwa



(6)-Tiga hal yang perlu diketahui oleh segenap pembaca:



(a).Bahwa dalam keyakinan Syi’ah, Shiratu al-Mustaqim pada masa sekarang adalah imam Mahdi as. Orang-orang yang mengimaninya dan tentu saja 11 imam as sebelumnya juga, adalah orang-orang  yang berada dalam naungan imam-imam maksum as atau jalan-lurus (Shiratu al-Mustaqim). Artinya mrk sudah ada pada posisi yang benar dan terarah ke jalan lurus itu. Karena mrk memang telah mengimani jalan-lurus itu (dengan mengimani adanya penjelas yang maksum, yaitu Nabi saww dan 12 imam maksum) dan selalu mendengar bimbingannya (kalau hadir bersama mrk as), atau mengumpulkan data-data bimbingannya sejak jaman maksum pertama (Rasul saww) sampai ke maksum ke 11 as dan ke 12 as sebelum ghaibnya, yang sudah tentu lebih baik perawian dari perawian golongan lain, karena diawasi para maksum dalam 2 abad lebih. Oleh karenanya orang-orang itu layak untuk selalu meminta kepada Allah jalan-lurus ini. Jadi, orang-orang tsb adalah orang-orang Islam yang benar, diridhai, diampuni dan diterima Allah swt. Lebih rincinya lihat catatan saya tentang Islam Hakiki dan Relatif.



(b) Dalam pandangan Syi’ah, agama lain dari Islam atau juga kelompok lain dari Syi’ah, adalah agama dan/atau kelompok yang salah. Setidaknya, mrk memiliki kesalahan dalam ajaran agama atau kelompoknya itu. Namun demikian, kalau kebenaran Islam/Syi’ah belum sampai kepada mereka secara benar (melalui muballigh-muballigh, tulisan-tulisan dan sarana-saran yang benar) dan kalau mereka belum memahaminya dengan benar, dan kalau mereka tidak terhitung malas/anti/tak-perduli untuk mencari yang benar, maka mereka-mereka itu masih dimaafkan Allah dan bisa masuk surga melalui pintu maaf tsb.



 Jadi, di mata orang-orang Syi’ah, yang bisa masuk surga adalah org yang benar yang, mengamalkan kebenarannya itu, dan orang-orang yang salah tapi tidak layak diazab karena tidak ada dalil/hujjah terhdpnya karena belum sampai dan belum dipahaminya kebenaran Islam/Syi’ah. Dan orang yang salah ini, jg bisa dari golong Syi’ah itu sendiri, yaitu orang-orang yang belum dan/atau salah memahmi Syi’ah tsb atau bagian-bagian ajaran tertentunya.



Jadi, semua yang salah itu, kalau tidak sengaja, dan tidak terhitung sengaja (misalnya: yang bukan Syi’ah malas mencari yang benar sementara peluang itu ada; atau yang Syi’ah malas mencari pemahaman yang benar, atau sengaja mencarinya dengan tidak profesional, misalnya belajar Syi’ah/agama kepada orang-orang yang tidak belajar secara akademik dan meninggalkan yang akademik), maka akan dimaafkan Allah swt. Allah berfirman:



وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا



“...dan barang siapa keluar dari rumahnya untuk berhijarah kepada Allah dan RasulNya, kemudian dia mati (sbelum sampai), maka telah ditetapkan pahalanya di sisi Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Pemaaf” (QS: 4: 100)



Hijrah menuju Allah swt, jelas tidak bisa diartikan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu maksud dari hijrah kepada Allah dan Rasul saww, setidaknya, adalah agamaNya dan ajarannya. Berarti rumah di sini adalah rumah ketidaktahuan (kalau belum tahu), atau kesalahan (kalau sudah tahu tetapi keliru), dan/atau kekurang sempurnaan (kalau kebenarannya belum lengkap dalam ilmu dan aplikasinya). Kesalahan-kesaahan dan kekurangan-kekurangan itu, akan dimaafkanNya, karenanya mengatakan bahwa Dia Maha Pengampun. Dan bahkan dipahalaiNya, karena sudah berusaha keluar dari kesalahan dan kekurangan-kekurangan itu. Oleh karenanya Dia mengatakan bahwa Dia Maha Penyayang.



Oleh karena itu, dengan hanya alasan relatif, baik dalam sanad/penukilan atau matan/arti dari agama (Qur an-Hadits) dan seluruh ajaran-ajarannya itu, tidak bisa kita katakan bahwa info-info agama itu tidak bisa diterima dan diamalkan. Justru sebaliknya, sampai dimana dan di derajat manapun info dan pemahaman itu dicapai dengan profesional, maka di sana pulalah hujjah dan argumentasi Tuhan untuk memahalai pencapai dan pengamalnya atau mendosai pencapai yang tidak mengamalkannya. Inilah yang dikatakan “Munajjiziyyat” dalam peristilah ilmiahnya. Yakni “Penjelas/Pembeda”, karena kebenaran sudah sampai dan dipahami dengan benar pula. Dan disana pulalah Tuhan akan akan menjadikannya dalil dan argumen untuk memaafkan yang belum mencapainya tetapi sudah berusaha secara profesional, baik dalam pencapaian info/sanadnya atau pemahaman/matannya. Dan ketidak sampaiannya itu pula akan menjadi dalil bagi hambaNya untuk menerima ampunanNya, karena kalau tidak diampuniNya berarti Dia telah memerintahkan manusia tidak sesuai kemampuannya. Hujjah Tuhan untuk mengampuni dan hujjah manusia untuk memohon ampun itulah yang diistilahkan dalam bahasa ilmiahnya dengan “Mu’adzdziriyyat”, yakni “Peng-uzuran”.



Begitu pula sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak menerima dan/atau tidak mengamalkan kebenaran yang sampai kepadanya sesuai dengan ukuran usaha dan profesionalismenya itu (relatif), maka ia akan didosa dan dihukum, sekalipun pada kenyataannya yang ia ketahui itu adalah kesalahan. Karena kalau Tuhan tidak memahalai pengamalnya dan tidak mendosai atau menghukum pelanggarnya, maka berarti sama dengan menyuruh kita hidup tanpa aturan dan hukum sedikit pun.



Karena pengetahuan kita terhadap kebenaran Islam itu sangat terbatas. Yakni sebatas sejauh mana kita telah mendudukkan argumentasinya itu di atas ilmu-mudah dan gamblang. Yakni yang diterima semua akal-normal dan tidak bisa ditolak siapapun. Dan hal ini, akan sangat sedikit kalau dibanding dengan Islam secara keseluruhan. Karena yang bisa dibangun di atas ilmu2 mudah dan gamblang itu, paling-paling  hanya pokok-pokok  ajarannya, dan akan sedikit kalau sudah sampai pada detail-detail dan tingkatan-tingkatannya.



Begitu pula tentang penerapan Islamnya. Misalnya, kita harus selalu melaboratoriumakaan masakan istri sebelum dimakan, tubuh istri sebelum dikumpuli, makanan restoran....dst supaya dapat diketahui secara hakiki (bukan relatif) bahwa mereka atau makannya bersih dari najis, penyakit yang mudharat, bukan bangkai ..dst karena akan menjadikan keharaman dan dosa. Hal itu karena, sekalipun mereka tsiqah secara akal-normal dalam sanad, tetapi belum tentu jujur kala itu, dan kalau jujur juga kala itu dalam sanadnya, belum tentu benar dalam pemahaman atau matannya, hingga info dan pemahaman dan perbuatannya masih tergolong relatif. Begitu pula harus melaboratoriumakaan laboratoriumnya setiap saat supaya dapat diyakini secara pasti, bukan relatif, bahwa ianya tidak rusak. Begitu pula laboratoriun ke dua, ke tiga ..dst dimana pada akhirnya kita tidak bisa makan apapun dan mati kelaparan.



Dengan demikian maka jelaslah bahwa meninggalkan akal-umum atau akal-normal yang relatif ini, baik dari sisi sanad atau matan, sama dengan hidup barbarian atau mati sama sekali.



Namun sebaliknya, tidakalauah dengan alasan kerelatifan dalam sanad dan matan itu, kita bisa membolehkan ajaran sesat yang dikenal dengan “Pluralisme” yang dikemas rapi oleh Bapak Pluralisme John Hick dalam bukunya “Problems of Religious Pluralism” itu. Karena Pluralisme bukan Plural sebagaimana arti kata dasarnya. Tetapi bermakna “Semua agama dan pandangan –sekalipun seperti atheis komunis liberalis- adalah benar di hadapan Tuhan”.



Pada awalnya, Pluralisme ini hanya fokus pada kebenaran agama-agama, tetapi pada kelanjutannya menyebar sampai pada kebenaran pahaman-pahaman dan ide-ide. Memang, bagi Islam atau Syi’ah, orang kafir juga bisa masuk ke dalam surga, tetapi lewat pintu maafNya, bukan kebenaranNya. Jadi, Islam atau Syi’ah adalah agama yang Toleran dan menerima ke-Pluralan, baik dalam agama, madzhab dan pahaman-pahaman tentangnya, akan tetapi tidak menerima Pluralisme. Karena bagaimana mungkin hal yang kontradiktif itu bisa bertemu dalam kebenaran dan hakikat, hingga dikatakan sama-sama banar dan dikatakan bahwa kebenaran itu satu tetapi jalannya banyak, seperti yang dikatakan Syurus di Iran yang menafsirkan Jalan Lurus itu dengan Jalan-jalan yang Lurus, dimana telah membuat para ulama Iran menjawabnya dalam berbagai buku, makalah dan lain-lainnya. Lihat tentang pluralisme ini dalam “Islam Hakiki dan Relatif” (catatan Sinar Agama).



(c) Persatuan antara kaum muslimin, menurut Syi’ah, adalahh wajib hukumnya. Terutama dengan dijarahnya Negara-negara dan hak-hak muslimin oleh kafirin sejak ratusan tahun lalu sampai dengan hari ini. Begitu pula dengan adanya alasan adanya konsep yang sama dalam aliran-aliran Islam bahwa “tidak ada paksaan dalam agama”.



Namun demikian, bukan berarti tidak boleh bedialog, berdebat dan salah-salahan. Semua itu boleh asal tidak dengan saling emosi, memaksa, berpecah dan bermusuhan serta tidak saling menolong. Karena ketika saling beda sudah pasti saling menyalahkan, tidak bisa tidak. Tetapi karena diantara kita tidak ada yang nabi/rasul, maka penyalahan-penyalahan kita itu, bukanlah menjadi tolok ukur kafirnya seseorang secara hakiki dan masuknya org tsb ke neraka secara hakiki pula. Karena yang menyalahkan, mengafirkan dan memasukkan ke neraka, adalah sesama kita yang bukan nabi yang maksum dan bukan Tuhan yang punya neraka-surga.



Namun demikian pula, sebagaimana makalauum di atas, penyalahan dan penghakiman itu akan terjadi di akhirat dengan sesungguhnya. Dan dalil yang akan dipakai Allah, sebagaimana makalauum di atas, adalah kebenaran yang dicari dan dicapai secara profesional dan diamalkan dengan ikhlash serta dipergaulkan secara Toleran dan Plural, tetapi bukan secara Pluralisme.



(7)-Bahwa yang saya tulis disini –dan dimana saja- adalah sejauh pengetahuan saya tentang Islam secara Syi’ah. Dan karena saya bukan orang yang mewakili Syi’ah, sekalipun saya seorang Syi’ah yang sudah lama sekali memeluki dan mempelajarinya, maka seluruh kesalahannya –kalau ada- adalah dari kekeliruan saya sendiri. Oleh karena itu janganlah dinisbatkan kesalahan-kesalahan itu kepada Islam dan Syi’ah, tetapi nisbahkanlah kepada saya pribadi. Dan saya memohon ampun kepada Allah, memohon maaf pada seluruh Maksumin as bgt pula pada seluruh ulama dan segenap kaum muslimin, baik Sunni atau Syi’i, kalau hal itu terjadi.



Namun demikian, kalaulah yang saya tulis ini mengandung kebenaran, baik sebagian atau keseluruhannya, maka itupun juga bukan dari saya sama sekali. Akan tetapi pasti dariNya. Baik yang melalui tajalliNya yang berupa Qur an, Rasul saww (hadits), Imam-imam Maksum as (hadits), Ulama-ulama, Guru-guru, Akal, Fitrah, Lingkungan sekitar dan Alam Semesta.



Pokok-pokok Ke-Imanan Syi’ah:



1). Keimanan Syi’ah Terhadap Tuhan



a). Tentang Adanya Tuhan



Orang Syi’ah mengimani akan Adanya Tuhan. Dan yang dimaksud AdaNya, adalah Adanya Tuhan yang tidak terbatas yang telah menciptakan alam ini dimana Dia, karena ketidak terbatasanNya itu, berarti selalu ada dan jadi, serta tidak pernah terjadi dan bermula.



Dalilnya adalah, kita dan lingkungan kita adalah wujud-wujud terbatas. Dan karena alam ini rangkapan dari wujud-wujud terbatas itu, maka alam ini juga pasti terbatas. Keterbatasan alam ini membuatnya memiliki awal dan akhir. Dan karenanya, sebelum awal ia tidak mungkin ada (tiada). Dan karena sbelum awal ia tidak ada, lalu kemudian stlh awal itu ia menjadi ada, maka ia, pasti diadakan. Karena yang tak ada, tak mungkin mengadakan siapapun, terlebih dirinya sendiri.



Pengada alam ini, memiliki dua kemungkinan, terbatas atau tidak terbatas. Kalau terbatas, maka ia mestilah memiliki pengada sebagaimana alam ini. Kalau tidak terbatas, maka Ia-lah yang kita katakan Tuhan. Karena tidak berawal dan berakhir dimana karenya pula maka Dia selalu ada dan tidak diadakan.



Pengada ini, seandainya memiliki rantaian, bagaimanapun juga, harus bermuara pada Pengada yang tidak terbatas. Karena kalau semua mata tantainya terbatas, berarti semuanya memiliki batasan yang, membuat mrk memiliki awal dan akhir, sehingga sebelum awal, mrk semua, adalah tidak ada atau tiada. Dan kalau semuanya tiada, lalu dari mana keberadaan kita dan alam kita ini?



Dengan ini semua maka terbuktilah bahwa Tuhan Yang Tidak Terbatas itu adalah kenyataan yang tidak bisa diingkari. Dia adalah Ada Yang Tak Berpangkal/Berawal (Qadim) dan Tidak pula Berujung/Berakhir (Azali).



Sedang tentang EsaNya (Tauhid), memiliki beberapa pengertian. Esa dalam Zat, Sifat, Penciptaan, Pengaturan alam dan manusia dan Esa dalam Ibadah dllnya.



b). Tentang Esa Tuhan dalam AdaNya



Esa dalam Zat adalah tunggal/satu dalam WujudNya. Dalilnya adalah, ketika kita sudah buktikan bahwa keberadaan Tuhan itu tidak terbatas, maka sudah tentu tidak mungkin lebih dari satu. Karena kalau lebih dari satu, pasti semua tuhan-tuhan itu menjadi terbatas, karena sudah pasti, secara otomatis, masing-masing keberadaan mereka (bc: dr sisi eksistensi/adanya) akan saling membatasi. Dan kalau saling membatasi, berarti masing-masingnya menjadi terbatas. Dan kalau sudah terbatas, berarti semua mereka adalah makhluk, karena pernah tiada sebagaimana makalauum di atas.



c). Tentang Esa Tuhan dalam SederhanaNya (tidak terangkap)



Maksud Esa dalam SederhanaNya adalah, Tidak Terangkap dari Apapun. Baik dari zat dan zat atau zat dan sifat.



Dalil SederhanaNya atau Ketidak BerangkapanNya itu, jg sama seperti dalil ke-Esa-anNya dalam wujudNya, yakni ke-Tidak TerbatasanNya. Karena, ketika Dia adalah wujud yang tidak terbatas, maka sudah pasti tidak akan terdiri dari bagian-bagian. Karena masing-masing bagian akan saling membatasi, dan karenaya semua bagiannya akan menjadi terbatas. Dan kalau Tuhan terdiri dari bagian-bagian dan batasan-batasan, maka Ia pasti juga terbatas sebagaimana makalauum. Karena gabungan keterbatasan hasilnya juga keterbatasan seperti alam ini. Dan kalau demikian, maka Ia tidak lagi bisa dikatakan Tuhan, karena Ia pasti memiliki awal-akhir, hingga sebelum awal Ia pasti tidak ada, dan kalau ada setlah itu, maka pasti diadakan seperti alam ini. Oleh karena itulah apa yang dikatakan Masehi bahwa Tuhan itu tiga dalam satu dan satu dalam tiga, tidak bisa dibenarkan akal-gamblang. Karena membuat ketiganya dan gabungan mrk menjadi terbatas yang, sudah pasti pernah tiada yang, kalau ada pasti diadakan. Sementara kita tahu yang diadakan itu adalah makhluk, bukan Tuhan.



d). Tentang Esa Tuhan dalam SifatNya



Pengertian Esa dalam sifat adalah meyakini bahwa seluruh sifat-sifatNya itu adalah berhakikat sama, begitu pula dengan ZatNya. Oleh karenanya mereka adalah hakikat yang satu, bukan kesatuan dan rangkapan.



Dalilnya adalah ketidak terbatasanNya juga. Yakni, manakala Ia adalah wujud yang tidak terbatas, maka sudah pasti tidak akan terdiri dari rangkapan-rangkapan. Dengan demikian, sifat-sifatNya itu, sebenarnya, berhakikat yang sama dan satu. Sementara keberbedaanya hanyalah dalam pahaman kita yang tidak mungkin menggapai hakikat ketidak terbatasan tsb. Memang kita memahami arti tidak terbatas, tetapi kita tidak mungkin menggapai ketidak terbatasan itu. Karena keberadaan akal kita terbatas, dan kalau mencapaiNya, maka Ia akan menjadi terbatas pula.



Namun demikian, kita bisa mengerti arti ketidakterbatasan dan konsekwensinya, yakni sebagai wujud yang mustahil berangkap. Dengan demikian, maksud pensifatanNya dalam Qur an terhdp DiriNya sendiri, bukan berarti membuat DiriNya terangkap. Tetapi hanya ingin menerangkan kepada manusia bahwa Dia tidak kurang suatu apapun alias wujud tak terbatas. Dia tidak memiliki kekurangan ilmu, makanya Maha Alim, tidak kekurangan kekuasaan, makanya Maha Kuasa, tidak mati, makanya Maha Hidup ....dst.



Kepada manusia yang tidak mengenal apapun dari kebaikan kecuali terbatas dan tidak mampu mengenali apapun kecuali yang terbatas karena keterbatasan akalnya, maka Tuhan mengenalkan DiriNya dengan yang terbaik dari pahaman-pahaman yang terbatas itu. Sebab kalau tidak demikian, maka manusia sama sekali tidak akan terbimbing untuk mengenaliNya sama sekali. Oleh karenaya, Ia tetap mengatakan bahwa Ia tidak sama dengan apapun dan menyuruh manusia untuk menggunakan akal. Seandainya maksud Tuhan dalam pensifatanNya dalam Qur an itu sebagai rangkapan, maka Tuhan akan menjadi sembilan puluh sembilanitas atau seratusnita (sesuai dengan jumlah AsmaulhusnaNya), na’udzubillah.



Tentu saja, tidak semua sifatNya memiliki ciri demikian, yakni tidak terbatas (Qodim-Azali) sehingga dikatakan bahwa semua sifatNya adalah hakikat ZatNya dan tidak berbeda. Karena sebagian sifat-sifatNya ada yang bisa dipahami tanpa menisbahkan atau menghubungkan DiriNya dengan makhlukNya dimana sifat-sifat ini diistilahkan dengan Sifat-Zat, dan ada pula yang harus dihubungkan dengan makhlukNya yang kemudian diistilahkan dengan Sifat-Perbuatan. Sifat-Perbuatan ini adalah bermula dan baru (Haaditsun). Misalnya sifat Pencipta, Pemberi rejeki, petunjuk, pengampun dan sebagainya. Karena sbelum ada makhluk, maka Dia tidak bisa dikatakan Pencipta, Pemberi rejeki, petunjuk, dst. Karena arti Pencipta adalah yang mencipta, Pemberi rejeki adalah yang memberi rejeki bgt pl strsnya. Namun demikian Dia pasti Mampu dan Kuasa untuk melakukan semua itu.

Dengan demikian maka sifat-sifat seperti itu harus dikembalikan dulu pd sifat Zat sebelum kemudian di-sama/esa-kan dengan ZatNya.



e). Tentang Esa Tuhan dalam PenciptaanNya



Tauhid dalam Penciptaan maksudnya adalah semua yang ada ini, baik yang baik dan/atau kelihatan buruk, semuanya adalah ciptaanNya dan tidak ada yang bisa mencipta kecuali DiriNya. Sudah tentu, penciptaan yang dimaksud bukan berarti harus langsung dari Tangan dan DiriNya. Karena bisa saja, dan bhkan kenyataannya, alam ini tidak langsung dariNya. Kita saja sebagai manusia, badan kita berasal dari janin, janin dari segumpal daging, daging dari darah, darah dari mani, mani dari makanan .....dst sampai kepadaNya.



Dalilnya adalah, akibatnya akibat, akibat pula bagi sebabnya. Oleh karenanya, semua yang ada ini adalah bersumber dari DiriNya. Dan karena kesebabanNya tidak disebabkan siapapun, berbeda dengan kesebaban yang lainNya yang dikarenakan DiriNya baik langsung atau tidak, maka sebenarnya hanya Dialah Sebab yang hakiki itu. Inilah arti tauhid dalam penciptaan. Apalagi kalau ditambahkan suatu kenyataan bahwa akibat tidak akan pernah berpisah/mandiri dari sebabnya, maka sudah pasti bahwa semua akibat yang diakibatkan oleh akibatNya, juga merupakan akibatNya.



Oleh karena itu kenyataan filosofis tentang makhluk –sebagaimana telah dibuktikan di filsafat (lihat Wahdatu al-Wujud 1-6)- bahwasannya hanya Akal-satu yang dicipta langsung oleh Allah, dan yang lainnya dengan perantaraan, maka sama sekali tidak merusak konsep tauhid ilmu Kalam ini, yakni ketauhidan dan ke-EsaanNya dalam penciptaan. Oleh karena itu, tidak ada sekutu bagiNya.



f). Tentang Esa Tuhan dalam PengaturanNya



Maksud tauhid dalam pengaturan alam dan manusia ini adalah hanya Tuhan yang mampu dan berhak mengatur manusia dan alam semesta ini.



Dalilnya jelas, yaitu ketika hanya Dia yang tidak terbatas, berarti hanya Dia yang tidak kurang sesuatu apapun. Oleh karenanya hanya Dia yang tahu alam/kita ini dari mana, dalam mana dan hendak kemana, apa maslahat dan tidak maslahatnya, bagaimana seharusnya hidup ..dst. Dengan demikian barang siapa yang tidak meyakini hal ini, artinya ia merasa bahwa dalam kehidupan ini merasa ada peraturan/hukum lain yang lebih baik dari yang datang dari DiriNya, atau ada peraturan lain yang diyakini keberannya dan mesti diikutinya, atau dirinya merasa mampu membuat peraturan dalam kehidupan ini, maka ia telah melakukan ketidak tauhidan dalam pengaturan ini. Yakni kafir dalam Esa-Pengaturan ini, sehingga ia dalam istilah ilmu Kalam disebut dengan Musyrik, yakni menyekutukan Tuhan dalam kepengaturanNya itu.



Karena itulah Allah dalam Qur an mengatakan bahwa siapapun yang menghukum tidak dengan hukumNya maka ia telah kafir (QS: 5:44). Tentu saja, maksudnya di sini adalah kafir dalam pengaturan ini, bukan kafir dalam zat dimana hukumannya adalah dibunuh kalau tidak taubat (bc: kalau murtad, bukan kalau belum masuk Islam), Allahu A’lam. Tetapi kalau kekufurannya itu disertai dengan keyakinan bahwa hokum-hukum selain hokum-hukum Tuhan tersebut diyakini lebih baik dari hukumNya dan apalagi dia memerangi hokum-hukumNya, maka sangat dimungkinkan bahwa orang seperti ini, telah benar-benar  membawa kekufuran dalam pengaturanNya itu, ke dalam kekufuran terhadap ZatNya. Karena berarti ia meyakini bahwa Allah telah salah dalam kepengeturanNya itu, atau mengatur tidak dengan hukum yang terbaik dan semacamnya, dimana pada akhirnya mengusik kesucian dan kesempurnaan Zat dan Sifat-sifatNya.



g). Tentang Esa Tuhan dalam Ibadah



Maksud Tauhid dalam Ibadah adalah, bahwa kita harus beribadah dan/atau mengabdi dan/atau taat hanya kepadaNya.



Dalilnya juga jelas, yaitu ketika kita melihat bahwa Dia Ada, Tidak Terbatas dan telah memberi banyak kebaikan kepada kita seperti kehidupan dan segala yang menyertainya (dari nikmat badaniah, ruhaniah, akal, agama dan sampai ke alam dunia-akhirat), maka sudah selayaknya kita mengagungkan dan bersyukur kepadaNya dengan menaatiNya. Terlebih ketika kita tahu bahwa hanya Dia yang berhak dan mampu mengatur kita, maka sudah tentu kita wajib menaatiNya untuk mengagungkan dan mensyukuriNya.



Apalagi kita juga sudah tahu bahwa karena ketidak terbatasanNya maka Dia tidak memerlukan apapun, dimana membuat kita sadar bahwa semua peraturan yang dibuatNya demi kepentingan dan kebaikan kita sendiri, maka sudah tentu kita mengerti dengan sepenuh pengertian bahwa kita wajib menaatiNya. Karenanya rukuk dan sujud kita, tidak akan menambah sdktetapiun dari keutamaan dan kekayaanNya, karena Dia adalah wujud yang tidak terbatas. Dengan demikian tauhid dalam ibadah yakni menaatiNya sesuai dengan peraturan yang tlh dibuatNya.



Tentu saja –tauhid dalam ibadah dan taat ini- harus ditambah dengan niat karena DiriNya. Sebenarnya, ikhlash yang benar dan profesional, adalah dua unsur ini, yakni taat kepadaNya sesuai aturanNya dan dilakukan karena DiriNya semata. Inilah yang disebut dengan Tauhid/Esa dalam Ibadah.



h). Tentang Esa Tuhan dalam sifat2 dan hal2 Negasi (yang harus dinafikan dariNya)



Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu, yakni ketidak terbatasan Tuhan, maka dapat dipastikan bahwa Tuhan:



1). Bukan bendawi hingga terikat (seperti ‘Arsy) seperti yang diyakini sebagian golongan.



2). Bukan bendawi hingga turun dari ‘Arsy ke langit dunia tiap sepertiga akhir malam seperti yang di Sunni (Bukhari hadits ke 1145; 6321; 7494; Muslim hadits ke 1265; 1813). Karena kalau hal ini terjadi, berarti Tuhan akan terikat dengan ruang dan waktu dan tidak akan pernah naik lagi ke ‘Arsy karena 1/3 malam itu terus berputar di bumi sampai kiamat.



3). Bukan bendawi hingga terlihat dengan mata di surga seperti bintang purnama atau matahari seperti yang ada dikeyakinan saudara Sunni (Bukhari hadits ke 4581; 6573; 7437; 7439; Muslim 5270; 7628). Padahal kalau terlihat, akan menjadi terikat dengan surga dan depan, karena peristiwa melihatNya itu di surga dan di depan yang melihat, dimana berarti di tempat lain tidak akan ada. Sementara di lain tempat Allah berfirman pd nabi Musa as bahwa ia tidak akan pernah melihatNya (QS: 7:143 ). Dan ari tidak akan pernah, adalah sampai kapanpun sekalipun di surta.



4). Bukan bendawi hingga dikatakan punya betis untuk ditunjukkan sebagaiai bukti ke-TuhanNya di akhirat hingga orang-orang yang tadinya menolakNya menjadi menerima dan bersujud padaNya setelah betisNya ditnjukkan (Bukhari hadits ke 7439; 6886; Muslim hadits ke 209; 302; 472).



5). Bukan bendawi hingga dikatakan punya kaki untuk dimasukkan ke neraka yang selalu kurang hingga neraka berkata “cukup-cukup” (Bukhari hadits ke 4848; 4849; 4850; 6661; 7449; Muslim hadits ke 5082; 5083; 5084; 5085; 7354; 7356; 7358; dll).



6). Bukan bendawi hingga dikatakan punya rumah di akhirat dimana nanti Nabi saww akan mengunjungiNya di rumahNya itu (Bukhari hadits ke 7002; 7440; 6886).



7). Bukan bendawi hingga dikatakan tertawa ketika memperlihatkan DiriNya di akhirat (Muslim hadits ke 278; 316; 489) dan lain sebagainya.



Subhanallahi ‘anma yashifuun, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan kepadaNya.



Berlanjut ke: 2- Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan (insyaAllah)

 wassalam

Shalawat!!!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...