Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Minggu, 09 September 2012

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah bag: 2 :Seri 4 : Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan

Oleh Ustad Sinar Agama

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل علي محمد وآله الطاهرين


(d-1-5) Rejeki, Umur dan Ajal

Dengan penjelasan diatas itu sudah dapat dipahami dengan baik dan mudah bahwa Lauhu al-Mahfuzh adalah ilmu-ilmu Allah tentang semua hal, termasuk takdir dan hukum-hukum alam semesta dimana di dalamnya termasuk takdir menusia bahwa ia berbuat sesuai ikhtiar dan pilihannya, dan juga termasuk ilmuNya tentang detail-detail pilihan masing-masing manusia sesuai ikhtiarnya.


Dengan ini, maka akan lebih mudah memahami tentang masalah rejeki dan umur manusia ini. Yakni bahwa Allah menentukan takdir dan kadar serta takaran masing-masing. Namun, jangan disalah pahami, bahwa takaran ini maksudnya adalah si fulan memiliki umur dan rejeki “sekian”. Bukan seperti itu. Akan tetapi pengkadaran yang bersifat umum.

Misalnya paru-paru tertentu kalau tekena rokok 100 bungkus akan menjadi terluka dan dalam kondisi tertentu akan membuat pemiliknya mati dalam waktu setahun setelah itu. Atau dalam kondisi tertentu dari pasar, masyarakat, cuaca dan semacamnya, maka harga cabe rawit akan menaik dalam sehari dua kali lipat.

Jadi, dalam pengkadaran itu tidak ada sama sekali penulisan tentang si fulan paru-parunya harus jebol karena rokok 100 bungkus, dan si fulan harus untung karena cabenya akan naik dua kali lipat. Tidak demikian.

Namun begitu, Allah mengetahui siapa-siapa yang akan berikhtiar merokok 100 bungkus dan yang akan bisnis cabe dalam kondisi tadi itu.

Jadi, maksud dari pernyataan bahwa “Rejeki manusia dan semua makhluk itu sudah ditentukan Allah”, adalah ditentukannya kadar atau ukuran sebab-akibatnya, bukan rejeki per-individunya. Dan maksud dari “Ajal itu tidak bisa dimajukan dan diundurkan” adalah sebab-sebab kematian, bukan penentuan jumlah umur dan cara mati seseorang/makhluk.

Jadi, umur seseorang itu sesuai dengan datangnya sebab kematiannya yang bersangkut paut dengan ikhtiarnya sendiri. Apakah ia menjaga kesihatan atau tidak, makan bergizi atau tidak, ugal-ugalan di jalan atau tidak, hidup di lingkungan yang berpolusi atau tidak atau lingkungan berpenyakit atau tidak....dst.

Nah, kalau seseorang itu telah memilih salah satunya, maka umurnya tidak akan bertambah dan berkurang dari takdir atau jalan yang telah dipilihnya itu. Hal itu karena akibat, yang dalam hal ini umur atau mati atau ajal, akan selalu sesuai dengan sebabnya yang, dalam hal ini adalah cara hidup tertentu yang telah dipilih oleh masing-masing manusia itu sendiri. Dengan demikian bukanlah Tuhan yang telah memilihkan umur itu untuknya.

Namun, demikian, Tuhan mengetahui semua pilihan masing-masing manusia dan terhadap hasil dari pilihannya itu. Oleh karena itu, Tuhan tahu umurnya si fulan itu berapa dan begitu pula rejekinya yang, keduanya merupakan akibat dari pilihan-pilihannya sendiri yang mengakibatkan jumlah umur dan rejekinya itu.

Jadi, disamping umur itu akan sesuai dengan ikhtiar manusia, ia juga akan diketahui oleh Allah. Perhatikanlah ayat berikut ini:

....وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلَا تَضَعُ إِلَّا بِعِلْمِهِ وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلَا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (11)

“...Dan tidak ada seorang perempuan mengandung dan tidak (pula) melahirkan, melainkan dengan sepengetahuanNya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauhu al-Mahfuzh) sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah” (QS: 35: 11)

Karena terjemahan di atas diambil dari DEPAG yang mengimani nasib dan takdir ini, maka terjemahnya menjadi seperti yang pembaca lihat ini. Dan terjemahan tersebut akan membuat buntut dari ayat di atas, tidak memiliki fungsi sama sekali. Karena Allah menutupnya dengan “mudah”, yakni “....yang demikian itu mudah bagi Allah”.

Kalau orang bertanya “Apanya yang mudah?”, maka sulit untuk menjawabnya. Karena kalau dijawab “mudah menentukan umur”, maka tidak klop dengan potongan sebemunya yang mengatakan bahwa Allah mengetahui kandungan dan kelahiran. Kalau dikatakan “mudah mengetahui dan menentukan”, maka serasa kurang seirama hingga dimungkinakan bisa mengurangi nilai sastranya.

Akan tetapi kalau kita maknai bahwa Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ilmu Allah atau kumpulan ilmuNya, maka “mudah” maksudnya adalah “mudah untuk mengetahuinya”. Yakni bahwa kandungan di perut dan hari kelahiran, serta panjang-pendeknya umur seseorang itu, sudah diketahui olehNya dengan mudah.

Dengan demikian maka panjang-pendek umur seseorang itu tidak ditentukan olehNya. Sedang arti tidak bertambah dan berkurangnya umur itu, sudah dijelaskan di atas, bahwasannya tidak akan bergeser dari sebab kematian yang telah dipilih oleh masing-masing ikhtiar manusia. Jadi, ajal dalam ayat-ayat Qur an adalah penghabisan waktu (mati) yang disebabkan oleh sebab-sebab kematian, bukan ketentuan umurnya karena Tuhan tidak menentukannya. Allah berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat memiliki batas waktu (jaya dan hancurnya) maka apabila telah datang waktunya mereka, tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS: 7: 34)

Kata “ajal” banyak dipakai dalam Qur an, yaitu sekitar 28 kata. Dan sebagiannya dipakai pada kedatangan kejayaan atau kehancuran pada suatu kaum, seperti ayat di atas. Ini sangat jelas, bahwa “ajal” di dalam Qur an, bermakna sampai kepada suatu titik yang disebabkan atau dihantarkan oleh sebab yang dipilih oleh suatu kaum atau bangsa atau manusia itu sendiri. Apakah sebab-sebab yang membuat kemajuan atau kehancuran.

Karena menghukum dan menghancurkan umat yang durhaka tapi dengan kedurhakaan yang telah ditakdirkan Allah, adalah suatu pernyataan yang tidak akan mungkin dapat dipahami oleh siapapun, kecuali oleh orang-orang yang telah didektte dalam budaya seperti itu yang diiringi dengan penakut-nakutan masuk neraka. Karena kalau tidak beriman kepada rukun yag ke 6 maka hukumnya kafir dan masuk neraka. Tidak perduli rukun itu datang dari mana dan juntrungannya apa. Disini, mainnya hanya “pokoknya”, yakni “pokoknya begitu” tidak bisa tidak.

Memang, ada juga kata “ajal” itu yang dipakai pada batas waktu dari kehidupan suatu bangsa atau atau kelompok atau seseorang yang diiringi dengan penungguan dimana seakan-akan dapat dipahami bahwa disana (ketentuan Tuhan) ada yang namanya ketentuan umur dari Tuhan. Akan tetapi, dengan mengkoperasikannya dengan ayat-ayat lain, seperti ayat-ayat yang menyuruh kita mati syahid, menjalankan hukum qishash dan rajam ...dst, ditambah dengan dalil akal gamblang di atas, maka dapat dipahami bahwa “ajal” adalah batas waktu kehidupan yang dihantarkan oleh sebab-sebab kematian yang muncul dari ikhtiar kita atau setidaknya berhubungan dengan ikhtir kita sebagai manusia.

Maksud berhubungan dengan ikhtiar kita adalah karena kadang-kadang kita telah memilih hati-hati di jalanan, akan tetapi karena ada sopir yang memilih atau berikhtiar menyetir dalam keadaan mengantuk, maka kita ditabraknya. Di sini, tetap merupakan ikhtiar kita. Karena kita tahu bahwa sekalipun kita hati-hati di jalanan, bisa saja tabrakan itu terjadi manakala ada orang yang tidak hati-hati.

Tapi keikhtiaran kita disini tidak langsung, karena yang langsungnya adalah pada kehati-hatian kita. Namun, karena kita tahu kecelakaan itu tetap saja bisa terjadi, dan kita tetap memilih ke jalanan, maka berarti kita menginginkannya pula secara hakikatnya walau hati kita tidak menginginkannya. Inilah yang dikatakan resiko.

Jadi, pilihan disini adalah pilihan filosofis atau hakiki, bukan pilihan perasaanis alias bukan pilihan yang disukai perasaan kita.

Simpulan: Ketika kita sudah benar memahami Lauhu al-Mahfuzh dan Takdir ini, maka sudah jelas bahwa akal, agama, usaha dan doa, akan benar-benar memiliki arti yang hakiki dan memiliki fungsi asasi dalam kehidupan manusia. Tapi kalau dimaknai dengan yang salah, yaitu ditentukannya nasib manusia oleh Tuhan, baik umur, rejeki dan jodohnya dan lain sebagainya, maka akal, agama, usaha dan doa, sama sekali tidak akan berfungsi dan berguna.


Bersambung pada pembahasan : (d-2) Tuhan Tidak Mencipta Yang Buruk
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...