Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Kamis, 13 September 2012

Imam Ja'far Shadiq Guru para Imam Mazhab (mengenang khaul Beliau 25 Syawal)

Malik bin Anas (Imam Malik) berkata: “Demi Allah! aku tidak pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah dan kewarakan Ja’far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan beliau sangat memuliakanku”. Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar pada beliau selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, ”Seandainya tidak ada dua tahun, maka Nu’man (Abu Hanifah) pasti binasa”.

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. lahir pada 17 Rabiul Awal 80 H di Madinah Al-Munawwarah.  Ayah beliau adalah Imam Muhammad Al-Baqir as. dan ibunya  bernama Ummu Farrah,  putri  Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.

Bercerita tentang sang ibu,  beliau menuturkan, ”Bundaku adalah wanita beriman, bertaqwa dan  senantiasa berbuat baik, karena sesungguhnya Allah swt. mencintai orang yang senantiasa berbuat baik”.

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. hidup sezaman dengan datuknya Imam Ali Zainal Abidin as. selama 15 tahun, dan dengan ayahnya Imam Muhammad Al-Baqir as. selama 34 tahun.

Beliau memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya: As-Sabir (sang penyabar), Al-Fadl (sang utama), At-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling masyhur adalah As-Shadiq (sang penyampai kebenaran).  Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.

Beliau  sempat menyaksikan datuknya Imam Husain as. baeliau juga menyaksikan kezaliman Bani Umayyah yang justru meruntuhkan kekuasaan mereka sendiri, sekaligus membukakan  jalan  bagi Bani Abbasiyah yang mengatasnamakan Ahlul Bait untuk mengajak masyarakat  bangkit melawan Bani Umayyah. Namun, ketika berhasil meruntuhkan kekuasaan  Bani Umayyah, mereka malah lebih menumpahkan kebenciannya kepada Ahlul Bait as.

Imam Ja’far as. hidup di bawah pemerintahan zalim Bani Umayyah kurang-lebih 40 tahun, dan hidup pada masa permerintahan Abbasiyah sekitar 20 tahun. Selama itu, beliau menghindar dari kehidupan politik. Sementara pemikiran syirik dan penyelewengan berkembang pesat, beliau lebih banyak menghabiskan waktunya pada pengajaran agama, pendidikan akhlak dan aqidah di tengah masyarakat.

Kondisi yang berkembang waktu itu telah menuntut Imam Ja’far as. untuk berjuang melawan pemikiran syirik, sehingga pada masa beliaulah mazhab Ahlul Bait sesungguhnya mengalami perkembangan pesat.


Akhlak Luhur

Zaid bin Tsa’ari Al-Ma’ruf berkata, ”Pada setiap zaman pasti ada seorang dari Ahlul Bait Nabi saw. di antara kita yang menjadi bukti Allah  atas segenap makhluk-Nya. Dan bukti Allah di zaman kami ini ialah anak laki-laki dari saudaraku, Ja’far bin Muhammad yang tidak akan sesat bagi siapa yang mengikutinya, dan tidak akan mendapat petunjuk bagi siapa yang menyimpang darinya.”

Malik bin Anas (Imam Malik) berkata: “Demi Allah! aku tidak pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah dan kewarakan Ja’far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan beliau sangat memuliakanku”.

Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar  pada beliau selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, ”Seandainya tidak ada dua tahun,  maka Nu’man (Abu Hanifah) pasti binasa”.

Salah satu sahabat beliau meriwayatkan, “Pada  suatu hari aku bersama Aba Abdillah (Imam Ja’far) as. Ketika itu, beliau mengendarai keledai menuju Madinah. Tatkala mendekati pasar, Imam turun dari himarnya lalu sujud kepada Allah cukup lama.

“Aku menunggunya, sampai beliau mengangkat kepalanya. Lalu aku  berkata kepadanya, “Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam, aku melihat Anda turun dari keledai lalu sujud”. Beliau membalas, ”Sesungguhnya aku teringat nikmat Allah  yang begitu melimpah kepadaku maka aku segera melakukan sujud syukur”.

Pernah juga sahabat itu berkata, ”Aku melihat  Ja’far bin Muhammad as.  sedang mencangkul di kebunnya. Tampak peluh bercucuran dari tubuhnya yang mulia. Kukatakan kepadanya, ”Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam, berikanlah cangkul itu kepadaku  dan tinggalkanlah pekerjaan ini”.

Beliau berkata kepadaku: ”Sesungguhnya aku senang kepada seseorang yang  bersusah payah dan kulitnya terbakar sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya”.

Suatu hari Imam Ja’far as. meminta seorang pembantunya untuk suatu keperluan. Ketika ia tak kunjung kembali,  beliau keluar mencarinya dan  mendapatinya sedang tidur. Imam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya lalu mengipasinya hingga ia terjaga. Imam mengingatkannya dan berkata kepadanya: ”Engkau tidur siang dan malam? Bagimu waktu malam dan bagi kami waktu siang”.

Imam Ja’far as. pernah mengupah beberapa  orang untuk bekerja di kebunnya. Sebelum mereka  selesai dari pekerjaannya, Imam berkata kepada pembantunya Mu’tab, ”Berikanlah upah mereka  sebelum kering keringatnya”.

Ketika telah lewat tengah malam, beliau membawa kantong yang berisi roti, daging, dan Dirham (uang perak)  yang diletakkan di pundaknya, lalu beliau memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar Madinah, sementara mereka tidak mengetahui siapa yang membagi-bagikan bahan pangan itu. Ketika Imam Shadiq as wafat, mereka baru tahu bahwa yang membagikan bahan pangan kepada mereka selama ini adalah beliau.


Imam Ja’far as. dan Sufyan Ats-Tsaury

Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram, dia melihat Imam Ja’far as. memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya: ”Demi Allah saya akan peringatkan dia”. Lalu  dia mendekati Imam dan berkata kepadanya,” Demi Allah, wahai putra  Rasulullah! aku tidak  menjumpai pakaian seperti ini dipakai  oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun dari bapakmu.

Imam menjawab, “Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran,  dan orang-orang  baiklah yang lebih berhak dari pada orang lain atas nikmat Allah”.

Kemudian beliau membacakan firman Allah, “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk hambanya.“ “Maka, kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah”.

Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian dalamnya yang kasar dan kering. Beliau berkata lagi: “Wahai Sufyan, pakaian ini (mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku”.


Imam Ja’far as. dan Perniagaan


Suatu  hari Imam as. memanggil pelayannya, Musadif dan memberinya 1000 Dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya: ”Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga”.

Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap  untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir   dan mereka menanyakan barang perniagaan  dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat untuk mencari keuntungan.

Setibanya di Mesir mereka menjual barang mereka dengan harga  seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif menjumpai Imam Ash-Shadiq as.  sambil membawa dua kantong uang, masing-masing berisi 1000 Dinar.

Dia berkata kepada Imam as, ” Wahai tuanku,  ini modal uang dan ini keuntungannya”.

Imam berkata, “Alangkah banyak keuntunganmu, bagaimana caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?”

Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap Dinar modal mereka.

Imam as. dengan nada heran berkata, ”Maha Suci Allah, engkau sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian dengan keuntungan satu dinar dari setiap dinar modal kalian”.

Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, ”Ini adalah harta saya dan aku tidak butuh pada keuntungan ini ”.

Kemudian berkata, ”Wahai Musadif, tebasan pedang lebih ringan perkaranya daripada mencari harta halal”.

Seorang fakir pernah suatu waktu meminta bantuan kepada Imam Ja’far as. Lalu beliau berkata kepada pembantunya, ”Apa yang ada padamu? Pembantu itu menjawab: ”Kita punya empat ratus Dirham”.

Imam berkata lagi, ”Berikanlah uang itu kepadanya!” Orang fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur.

Imam meminta kepada pembantunya, ”Panggil dia kembali!” Si fakir itu berkata keheranan, ”Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali.

Imam berkata, ”Rasululah saw. bersabda,  ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi’,  dan kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi, maka ambillah cincin ini, harganya 10 ribu dirham jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini  dengan harga  tersebut”.


Berbakti kepada Ibu
Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen),  yang baru saja  masuk Islam, menjumpai Imam Ja’far Ash-Shadiq. Imam memanggilnya dan berkata, “Katakanlah  apa yang kau butuhkan?”

Pemuda itu berterus terang, ”Sesungguhnya ayah dan ibuku serta seluruh keluargaku beragama Nasrani, ibuku matanya buta dan aku hidup bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka”.

Imam as. berkata, ”Apakah mereka makan daging babi?”

Pemuda itu menjawab, ”Tidak”.

Imam as. berkata, ”Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan penuhilah segala keperluannya”.

Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu  mendapatinya begitu patuh dan soleh, berbeda dengan yang tidak pernah dilihat  sebelumnya.

Dia berkata, ”Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani, lalu gerangan apakah semua yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?”

Pemuda itu menjawab, ”Aku diperintahkan melakukan semua ini oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.”.

”Apakah dia seorang nabi?”, tanya sang ibu.

Pemuda itu menjawab, ”Bukan, ia hanyalah  keturunan nabi”.

Akhirnya, sang ibu pun mengakui, ”Agamamu sungguh sebaik-baiknya agama, ajarkanlah agamamu kepadaku”. Lalu  pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk Islam dan menunaikan solat sesuai yang diajarkan anaknya yang soleh itu.


Imam Ja’far as. dan Penimbun Barang

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata, ”Masa menimbun barang pada musim subur (panen) yaitu 40 hari, dan tiga hari pada musim paceklik. Maka barang siapa yang melampaui 40 hari pada musim subur, sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui  tiga hari ketika musim paceklik, diapun akan terlaknat”.

Beliau berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam keadaan hidup susah, “Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara masyarakat makan makanan yang tidak enak”.

Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu’alli bin Khunais melihat Imam Ja’far as.  menerobos gelapnya malam di bawah guyuran hujan sambil memikul roti sekarung penuh,  lalu dia mengikuti beliau untuk mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh berserakan, Imam as. memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as.  meletakkan dua potong roti di samping kepala mereka.

Mualli mendekati Imam as. Setelah memberi salam,  dia bertanya, “Apakah mereka dari pengikut setiamu? Beliau menjawab, ”Bukan.”

Imam Ja’far as. juga banyak menanggung nafkah sejumlah keluarga.  Beliau membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika beliau wafat, terputuslah santunan yang biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata Imam as.

Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau, gandum begitu langka di pasar. Imam ja,far as. bertanya kepada pembantunya Mu’tab tentang persediaan yang dimiliki. Mu’tab menjawab, ” Kita punya cukup persedian untuk beberapa bulan”.

Beliau memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar. Mu’tab heran dan memprotes, akan tetapi tidak ada faedahnya.

Basyar Makkary meriwayatkan, “Aku mendatangi  Ja’far Ash-Shadiq as.  sementara  tengah memakan kurma yang berada di  tangannya.

Beliau berkata, ”Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami.”

Aku berkata, ”Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan hatiku. Aku melihat tentara  memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk dijebloskan ke penjara”.

Perempuan itu meratap, ”Aku memohon perlindungan kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut. Orang-orang mengatakan,dia tergeletak  di jalan.

Aku berkata, ”Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu duhai Fatimah”.

Imam berhenti makan  dan menangis. Air matanya membasahi sapu tangannya. Lalu beliau bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan itu.

Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara. Imam as.mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping Dinar.


Universitas Islam

Dinasti Umayah, yang diikuti oleh Dinasti  Abbasiyah, senantiasa berusaha menumpas Ahlul Bait as. dan mengusir para pengikut mereka di segala penjuru.

Dalam keadaan buruk demikian itu, masyarakat  menuntut ilmu dan riwayat dari Ahlul Bait dengan sembunyi-sembunyi dan rasa takut.

Ketika keadaan itu berlanjut sampai pada masa Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya Imam Ja’far Ash-Shadiq as, mereka berdua memusatkan perhatian  pada pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat asas keimanan di hati-hati masyarakat.

Pada zaman Imam Ja’far as, begitu banyak pemikiran dan kepercayaan sesat yang  menggoncang keimanan masyarakat, lalu Imam bekerja keras memeranginya.
Dalam rangka itu, beliau mendirikan  sebuah universitas Islam besar pertama, dan berhasil melahirkan lebih dari 4.000 sarjana di berbagai bidang ilmu agama, Matematika, Kimia, hingga Kedokteran.


Tengoklah Jabir bin Hayyan, seorang Ahlul Kimia yang termasyhur itu. Ia mengawali pandangan-pandangan ilmiahnya dengan ungkapan: “Tuanku  Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. telah  mengatakan kepadaku…”.


Imam Ja’far as. sangat memuliakan para ilmuwan yang bertakwa, memberikan semangat,  dan menjelaskan metodologi penelitian dan dialog yang benar kepada mereka dalam menegakkan agama dan memperkokoh dasar-dasar  keimanan.


Beliau merasa sangat sedih tatkala menyaksikan para pemikir yang berusaha mengacaukan keyakinan masyarakat dengan menyebarkan berbagai pemikiran sesat.


Pernah suatu hari empat pemikir sesat berkumpul di Makkah.  Mulailah mereka memperolok para jemaah haji yang sedang bertawaf di seputar Ka’bah.


Selain itu, mereka  berempat sepakat untuk menyanggah Al-Qur’an dengan cara  mengarang kitab yang serupa. Mereka pun membagi tugas yang masing-masing pemikir mempelajari  seperempat dari Al-Qur’an untuk disanggah, dan berjanji untuk bertemu lagi pada musim haji tahun depan.


Genap satu tahun kemudian, empat pemikir itu kembali berkumpul di Makkah. Pemikir pertama mengatakan, ”Saya telah menghabiskan waktu saya selama setahun hanya untuk memikirkan ayat yang berbunyi, ”Maka tatkala mereka putus asa (terhadap hukuman Nabi Yusuf), mereka menyendiri  sambil berunding dengan berbisik-bisik…. (Qs. Yusuf:80), sungguh  kefasihan ayat ini melumpuhkan pikiranku”.


Pemikir kedua menyahut, ”Ya, Aku pun memikirkan ayat yang berbunyi, ”Hai manusia, telah diberikan sebuah perumpamaan, maka simaklah dengan seksama, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kamu sebut selain Allah sama sekali tidak mampu menciptakan  seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. (Qs. Al-Hajj:73), sungguh  Aku tidak sanggup mendatangkan seindah ayat ini”.


Tanpa membuang waktu, pemikir ketiga pun menyambungnya, ”Aku sudah memikirkan ayat ini, ”Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, tentulah keduanya hancur….(Qs. Al-Anbiya:22), sungguh aku begitu lemah untuk membuat padanannya”.


Akhirnya tibalah giliran pemikir keempat menyatakan pengakuannya, ”Sesungguhnya Al-Qur’an ini bukanlah buatan manusia. Aku telah menghabiskan setahun penuh hanya untuk merenungkan ayat ini, “Dikatakan: ‘Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,  dan airpun disurutkan, perintahpun terlaksana, dan bahtera itu pun berlabuh di bukit Judi (dekat Armenia daerah mesopatomia), dan dikatakan binasalah orang-orang Zalim”. (Qs. Al-Hud:44)


Ketika itu,  Imam Ja’far as. lewat di hadapan  mereka. Sejenak memandang mereka, beliau membacakan firman Allah, “Seandainya segenap manusia  dan jin bersatu untuk membuat padanan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu, sekalipun  mereka saling membantu satu sama lain”. (Qs. Al-Isra’:88).

Mazhab Ja’fariyyah


Mazhab Ahlul Bait as berkembang pada masa Imam Ja’far as,  dan pengikutnya terus berbertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syiah dengan mazhab Ja’fariyahyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as.


Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja’fariyah adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as. yang telah dikhianati dan dibunuh oleh kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as. tewas diracun oleh Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as. mencapai syahadahnya pada Hari Asyura (di padang karbala pada 10 Muharram).


Rasulullah saw. telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga beliau (Ahlul Bait as.). Sayang sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah menyimpang jauh sampai merampas hak  kepemimpinan mereka dan menyebarkan kerusakan dan kezaliman. Ada pula  penguasa-penguasa yang  mengasingkan mereka dan para pengikutnya,  bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian terhadap  mereka, seperti yang terjadi di Karbala.


Kaum muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan wasiat Rasulullah saw. Itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama,  mereka takut terhadap ancaman penguasa,  bahkan ada di antara mereka yang menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada Ahlul Bait as. demi keselamatan hidupnya.

Imam Ja’far as. dan Mansur Dawaniqi


Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani Umayyah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada Ahlul Bait Rasul as. demi kepentingan pribadi.


Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai melakukan pembangkangan  terhadap Bani Umayyah dengan membawa-bawa  nama Ahlul Bait. Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan “Kesetiaan pada Ahlul Bait  Muhammad”.


Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah.


Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai mengusir bahkan keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati.


Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Mansur Dawaniqi. Dia  menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya Ibrahim, yang keduanya adalah dari keturunan Imam Hasan as.


Mansur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik Imam Ja’far as.


Pernah suatu kali Mansur mengundang Imam Ja’far as.  dan berkata, “Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang  mendatangi kami?”


“Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu, dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, tidak pula kesusahanmu yang bisa kami sesalkan”, jawab Imam as..


Dengan liciknya, Manshur menawarkan, ” kalau begitu, jadilah temanku agar engkau bisa  menasehatiku?

Imam as. kembali menjawab, “Siapa saja yang menginginkan dunia, ia tidak akan menasehatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia pun tidak  akan menjadi temanmu”.

Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as.  di sana.

Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan mulai mencaci maki Imam Ali as. serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja’far as. bangkit dan berkata, “Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan sahabatmulah (Mansur) yang lebih pantas menjadi sasarannya”.

Lalu Imam as.  menoleh  ke khalayak dan berkata, ”Aku peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya, yaitu orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu adalah  gubernur yang fasik ini”.

Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung segunung rasa malu dan hina.

Dikisahkan, bahwa pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada  seekor lalat bermain-main  di hidung Mansur. Berulang kali dia mengusirnya. Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia berpaling kepada Imam Ja’far as. dan berkata, “Untuk apa Allah menciptakan lalat?

“Untuk menghinakan hidung orang sombong”. Jawab Imam As.

Mansur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan Imam as. di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia  merencanakan pembunuhan atas beliau. Akhirnya, dia pun  berhasil meracuni beliau.

Imam Ja’far as.  Meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi, di Madinah Al-Munawwarah. []


 Mutiara Hadis Imam Ja’far as:

“Waspadalah terhadap tiga orang; pengkhianat, pelaku zalim, dan pengadu domba. Sebab, seorang yang berkhianat demi dirimu, ia akan berkhianat terhadapmu, dan seorang yang berbuat zalim demi dirimu, ia akan berbuat zalim terhadapmu, juga seorang yang mengadu domba demi dirimu, ia pun akan melakukan hal yang sama terhadapmu”.

“Tiga manusia sebagai sumber kebaikan; manusia yang mengutamakan diam (tidak banyak bicara), manusia yang tidak melakukan ancaman, dan manusia yang banyak berdzikir kepada Allah”.

“Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu”. Salah seorang bertanya kepada Imam, ”Apakah tanda-tanda tawadhu itu?” Beliau menjawab: hendaknya kau senang pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran”.

Seorang laki-laki seringkali mendatangi Imam Ja’far as, kemudian dia tidak pernah lagi datang. Tatkala  Imam as. menanyakan keadaannya, seseorang menjawab dengan nada sinis, “Dia seorang penggali sumur”. Imam as membalasnya, ”Hakekat  seorang lelaki ada  pada akal budinya, kehormatannya ada pada agamanya, kemuliannya ada pada ketakwaannya, dan semua manusia sama-sama sebagai bani Adam”.

“Hati-hatilah terhadap orang yang teraniaya, karena doanya akan terangkat sampai ke langit”.

“Ulama adalah kepercayaan para rasul. Dan  bila kau temukan mereka  telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketakwaan mereka”.

“Tiga perkara yang mengeruhkan kehidupan; penguasa zalim, tetangga  yang buruk, dan perempuan pencarut. Dan tiga perkara yang tidak akan damai dunia ini tanpanya, yaitu keamanan, keadilan dan kemakmuran”.


Riwayat Singkat Imam Ja’far as


Nama               : Ja’far


Gelar               : Ash- Shadiq


Panggilan         : Abu Ja’far


Ayah                : Muhammad bin Ali Al-Baqir as.


Ibu                   : Ummu Farwah


Kelahiran         : Madinah, 17 Rabiul Awwal 80 H.


Kesyahidan      : 25 Dzulhijjah 148 H.


Makam                        : Pemakaman Baqi, Madinah

(ABNA.IR)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...