Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Minggu, 09 September 2012

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah bag: 2 :Seri 7 : Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan


Oleh Ustad Sinar Agama
بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل علي محمد وآله الطاهرين


(d-4) Adil Juga Bermakna Tidak Mengambil Hak Orang Lain

Ketika kita sudah tahu, bahwa ketidak samaan itu adalah keadilan yang nyata, dan kesamaan itu adalah keanehan dan kezaliman yang nyata pula, yakni pada obyek-obyek yang memang tidak memiliki kesamaan yang memadahi dan mencukupi, maka menuntut keadilan di sini adalah memaksa keluar dari fitrah dan keniscayaan yang nyata dan dihadapi.


Namun demikian, ada beberapa ketidaksamaan global yang dirasa merupakan kezaliman dan kesamannya merupakan keadilan. Misalnya, sama-sama punya mata, kaki, tangan, telinga, cantik, tanpan, putih, hitam, tinggi, pendek .....dst. Di sini, kita melihat banyak terjadi ketidak samaan. Pertanyaannya adalah, apakah ketidak samaan di sini adalah keadilan atau sebaliknya?

Jawabnya adalah tetap merupakan keadilan. Hal itu, setidaknya, ada dua sebab:

1). Sebab pertamanya adalah bahwa ketidak samaan itu tidak diciptakan Allah secara langsung. Semua yang terjadi di bawah, atau di alam sosial dan lingkungan manusia, tidak bisa dilepaskan dari manusianya itu sendiri. Oleh karenanya masih berhubungan dengan ikhtiar manusia. Walau, dalam hal ini, berhubungan dengan manusia lainnya.

Seorang ayah yang hitam, ketika ia berikhtiar kawin, dan memilih isti yang hitam pula, maka sangat mungkin anaknya akan menjadi hitam. Bagitu pula yang pendek, cantik, jelek dan semacamnya itu. Jadi, kekurang puasan seseorang mengenai tubuh dan dirinya, tidak bisa dilarikan ke Tuhan.

Tentang cacat juga demikian. Ketika ayah yang suka gaul bebas dan terkena penyakit yang membuat maninya rusak, maka kalau memilih kawin dan berikhtiar memiliki anak, maka sangat dimungkinkan anaknya akan cacat. Atau seorang ibu yang mengandung, ketika kurang teliti terhadap makanan dan semacamnya, bisa saja membuat anaknya lahir dalam keadaan cacat.

Jadi, ketidak puasan seseoarang akan diri, tubuh dan mentalnya, tidak bisa dilarikan ke Tuhan untuk mendapatkan keadilanNya. Karena penyebab langsung dari semua itu bukan Tuhan, tapi ikhtiar manusia lain selain dirinya. Yakni orang tuanya. Atau bisa saja karena lingkungan alam yang tidak sihat. Walaupun dalam hal ini juga telah menjadi bagian dari ikhtiar orang tuanya karena telah memilih tempat yang tidak sihat itu sebagai tempat tinggalnya.

Namun demikian, kita tidak bisa juga langsung menyalahkan orang tua kita. Karena bisa saja mereka tidak menyadarinya atau terpaksa memakan sesuatu yang kurang sehat atau tinggal di lingkungan yang tidak sehat karena. Itulah mengapa Tuhan dan agama menyuruh kita sabar dalam menghadapi ujian hidup. Misalnya, si cacat tadi, jangan marah-marah pada orang tuanya, karena belum tentu orang tuanya sengaja dalam melakukan kesalahan itu.

2). Sebab ke duanya, adalah karena kita tidak bisa menuntut apapun kesamaan dari Tuhan. Hal itu karena kita tidak memiliki hak apapun ke atasNya. Tadi sudah dikatakan bahwa sama rata itu adalah keadilan manakala semua kondisinya adalah sama. Di sini, kita sebagai manusia tidak memiliki hak apapun dari Tuhan apalagi kesamaan hak diantara kita terhadap Tuhan. Misalnya punya hak untuk memiliki dua mata dari Tuhan. Tidak demikian.

Hak seseorang bisa ada dan eksis manakala ia telah memberikan sesuatu kepada yang mau diambil haknya itu. Misalnya ia telah bekerja dan sekarang menuntut haknya untuk meminta bayarannya. Akan tetapi, manusia dengan Tuhannya, tidak bisa digambarkan sama sekali kalau manusia mempunyai hak. Karena manusia tidak melakukan apapun untuk Tuhannya di awal penciptaannya. Dan kalau setelah dicipta ia melakukan suatu kebaikan seperti shalat dan semacamnya, itupun tidak bisa dikatakan untuk Tuhannya,karena Dia tidak terbatas hingga tidak perlu tambahan apapun.

Dengan demikian maka dapat dipastikan bahwa pemberian yang tidak sama itu adalah hadiah dari Tuhan kepada kita yang tidak didahului oleh pengabdian apapun untukNya. Karena kita baru dicipta, dan kalau setelah diciptapun, juga tidak bisa dikatakan bahwa pangabdian kita itu untukNya. Dan kalau merupakan hadiah, maka sudah semestinya disyukuri, apakah pemberianNya itu sama atau sama, banyak atau sedikit.

Jadi, yang lahir dalam keadaan cacat itu, bukan hanya tidak bisa menuntut keadilan dari Tuhan, tapi bahkan harus mensyukuri pemberianNya kepadanya walau lebih sedikit dari yang diberikan kepada orang lain. Begitu pula seandainya benar bahwa siti Hawa as dicipta dari tulang rusuk nabi Adam as. Karena semua itu adalah hadiah dariNya yang tanpa didahului oleh kepemilikan hak dari manusia ke atasNya.

(d-5) Semua Perbedaan Sesuai Takaran Sebab-akibat Umum Yang Digariskan Allah

Setelah kita mengerti bahwa ketidaksamaan itu adalah bukan akibat dari Tuhan secara langsung hingga tidak bisa dihubungkan padaNya, dan setelah kita tahu bahwa perbedaan itu sebenarnya adalah rahmat dan bukan kezaliman, dan bahwasannya rahmat-rahmat itu wajib disyukuri, maka sekarang perlu saya tekankan bahwa pada akhirnya, semua perbedaan itu juga merupakan akibat dan makhlukNya.

Dalil untuk hal di atas ini sangat mudah. Yaitu, sebabnya sebab, sebab pula bagi akibatnya. Manusia adalah sebab bagi pilihan dan perbuatannya, dan Allah adalah sebab bagi adanya manusia (tentu tidak langsung juga dan kita ambil seperti langsungannya karena pembahasan kita sekarang adalah antara Tuhan, manusia dan ikhtiar manusia), oleh karena itu maka Allah juga sebab bagi pilihan dan perbuatan manusia.

Nah, ketika dari satu sisi, pilihan dan perbuatan manusia ini juga makhluk Allah (walaupun yang harus bertanggung jawab adalah manusia sebagaimana maklum), maka secara global, maka Tuhan juga semacam ikutan bertanggung jawab, karena semua itu terjadi dalam takdir/kadar/ketentuan hukum-hukum alamNya.

Oleh karena itu Allah memberikan pahala bagi penderita ketidak samaan yang diakibatkan oleh ikhtiar orang lain itu. Misalnya, orang buta, maka kepadanya akan diberikan pahala sesuai penderitaannya itu. Dan kalau ia berhasil mempelajari satu surat Qur an, maka pahala yang diberikan kepadanya akan melebihi dari orang yang tidak buta. Hal itu karena ke-Maha SantunNya dan juga karena derita dan usaha hambaNya yang tercederai akibat hukum-hukum alamNya itu.

Jadi, segala macam perbedaan sudah sesuai dengan aturan hukum alamNya yang mengkadari semua hal sesuai sebabnya yang diatur dengan kebijakanNya. Misalnya orang malas akan bodoh, orang rajin akan pintar ...dst. Namun demikian, kalau keperbedaan manusianya itu diakibatkan oleh ikhtiar orang lain (seperti ayah) atau alam, maka sekalipun Tuhan sudah berbuat Adil karena tidak mengambil haknya, tetap saja berbuat keutamaan dengan memberikan pahala-pahala. Itulah ke-Maha MurahanNya dan ke-Maha LembutanNya.

Bersambung pada pembahasan : (d-6) Musibah dan Bencana Alam Adalah Anugrah dan Bukan Kezaliman
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...