Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Minggu, 09 September 2012

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah bag: 2 Seri 1: Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan


 Oleh Ustad Sinar Agama

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل علي محمد وآله الطاهرين

Semoga Pahala Dilimpahkan Allah Kepada Para Penduka Atas Syahidnya Imam Ke 9, Muhammad Jawad as Oleh Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (Khalifah Bani Abbas)
(pada tgl: 30-Dzilqo’dah-220 H)

2). Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan

(a). Iman terhadap ke-Adilan Allah.

Orang Syia’ah mengimani ke-Adilan Allah swt. Adil ini sebenarnya merupakan cabang bahasan dari Tauhid, khususnya Tauhid-Sifat. Akan tetapi karena sangat memiliki unsur penting dalam kehidupan beragama, maka ia telah menjadi point tersendiri setelah bab Tauhid tsb.


Orang Syi’ah (bc: muslim) diseyogyakan untuk mengimani ke-Adilan Allah, karena tanpa keimanan itu, maka akan memporak porandakan seluruh nilai ke-Islaman, baik dari sisi keimanan atau hukum-hukum syariatnya. Artinya, tanpa keyakinan terhadap ke-AdilanNya itu, maka agama Islam akan menjadi sama dengan agama-agama lainnya atau bahkan kehidupan tanpa agama. Atau kalaulah ia beragama sekalipun, maka agamanya tidak lebih dari sebuah kegersangan dan kehancuran yang nampak hijau dan teratur secara lahiriahnya. Begitu pula kalau seorang muslim mengimani ke-AdilanNya, namun dengan makna yang salah, sebagaimana nanti akan lebih jelas.

(b). Arti Adil Allah

Adil, artinya tidak melakukan kezhaliman dan/atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan/atau tidak mengambil hak orang lain, bukan sama rata yang pada umumnya tidak masuk akal.

Misalanya, kalau jenis kelamin manusia sama, maka tidak akan ada perkawinan; atau wajahnya sama, maka tidak akan bisa dikenali; atau sifat-sifatnya sama, maka tidak akan ada saling mengisi; atau hobinya sama, juga tidak akan ada saling mengisi dan kehidupan manusia akan menjadi sangat monoton; atau pekerjaannya sama misalnya pateni, maka tidak akan ada pabrik baju dan pabrik cangkul; atau bayarannya sama, maka yang sekolah dan pangkatnya lebih tinggi akan merasa dianiaya; atau posisi sosialnya sama, misalnya presiden, maka siapa yang mau jadi rakyatnya? ......dst.

(c). Dalil ke-Adilan Allah

Dalil dari ke-AdilanNya ini juga mudah seperti point-point di atas. Yaitu berangkat dari ketidak terbatasanNya. Karena kalau Tuhan tidak terbatas, maka Dia tidak akan kekuarangan apapun; atau tidak akan tidak tahu terhadap sesuatu; atau tidak akan lengah; atau tidak akan lelah, ngantuk, bosan, jengah ... dst., hingga perlu melakukan aniaya, penipuan, mengambil hak orang lain, pembakhilan dan semacamnya.

(d). Hikmah atau sasaran dari keimanan pada ke-Adilan Allah

(d-1). Tidak mungkin adanya penggarisan nasib atau takdir bagi manusia.

Maksud dari nasib disini adalah seperti yang dipercayai oleh agama selain Islam, seperti Arab Jahiliyyah sebelum Islam, Hindu, Budha dan lain-lainnya. Yaitu keyakinan terhadap sudah ditentukannya nasib masing-masing manusia sejak dari lahir atau bahkan dari sejak sebelum lahirnya.

Dalam Islam (bc: Syi’ah), dengan ke-Adilan Allah, maka tidak mungkin Dia menakdirkan nasib masing-masing orang, baik dlm umur, jodoh, rejeki, baik-buruk, celaka-selamat, hidayah-sesat, dan semacamnya. Keyakinan seperti ini hanya ada di agama-agama lain seperti yang sudah disebut di atas. Kalau untuk masa-masa Jahiliyyah di dalam naql atau sejarah kita, dipenuhi dengan itu, sampai dibawa-bawa pada masa setelah Islam oleh Umar ketika lari dari perang Uhud ketika ditanya oleh para wanita Madinah, dimana Nabi saww dan mengapa kamu lari? Ia menjawab “Ini adalah takdir”. Kalau agama Hindu atau Budha bisa dilihat di serial-serial Kungfu Cina yang melimpah di Indonesia.

(d-1-1). Dalil ketidakmungkinan ditentukannya nasib manusia.

Karena kalau Allah menakdirkan nasib masing-masing manusia, berarti tidak ada gunanya akal diciptaNya dan agama diturunkanNya yang, mengajarkan: kesihatan dan panjang umur, takwa dan masuk surga, mencari pasangan yang takwa, mati syahid, mencari rejeki hingga menjadi tangan di atas (karena lebih baik dari tangan di bawah) dan semacamnya.

Tidak berfungsinya akal, karena tujuan penciptaannya adalah untuk memahami banyak hal dan memecahkan kesulitan-kesuliatan yang dihadapi, hingga selamat dalam kehidupan dunia-akhirat serta hidup sihat, harmonis, teratur, berbudaya tinggi dalam sosial-politik, sukses dalam segala hal ..dst. Akan tetapi kalau semua sudah dinasibkanNya, maka daya pikir akal untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia, akan menjadi sia-sia dimana akan berakhir kepada kesia-siaan penciptaannya.

Tidak adanya kegunaan agama, karena agama diturunkan Allah untuk mengatur manusia supaya selamat di dunia dan akhirat. Oleh karenanya agama mengajari keimanan dan mengatur masalah-masalah kehidupan yang dimulai dari masuk kamar mandi sampai ke masalah-masalah negara, ekonomi, teknologi dan politik internasional yang makro. Akan tetapi, kalau nasib masing-masing manusia, dari sejak dirinya, rumah tangganya, sosialnya dan negaranya, sudah ditentukan olehNya, maka syariat yang diturunkanNya itu jelas tidak akan berfungsi sedikitpun.

Agama akan menjadi seseuatu yang paling tidak dapat dipahami dan akan menjadi paling tidak masuk akal, kalau ia mengatakan:

“Berimanlah supaya masuk surga; Bertakwalah supaya tidak masuk neraka; Berhati-hatilah dalam sertiap perbuatan karena setiap sebutir atompun darinya akan dicatat dan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak; Bersihlah supaya sihat; Silaturrahmilah supaya panjang umur; Berjuanglah supaya mati syahid; Dasarilah pada ketakwaan seseorang dalam mencari pasangan hidup; Saling santun dan harmonislah dalam rumah tangga supaya langgeng; Jangan katakan penceraian dalam kemusykilan rumah tangga karena ‘Arsy Allah akan goncang mendengarnya; Jangan cerai karena tidak disukai Allah; Jujurlah dan berusahalah dengan baik dalam bisnis supaya sukses dan tidak bangkrut”
atau berkata:

“ Berdoalah kepadaKu tentang iman, sakinah, takwa, taufik, sihat, panjang umur, mati syahid, pasangan hidup yang baik, keharmonisan rumah tangga, kesuksesan bisnis dan rejeki....dll”,

akan tetapi dilain pihak agama juga berkata:

“Baik-buruk kalian sudah ditakdirkan dan ditentukan dari sononya (asalnya) oleh Allah, baik dari iman-tidaknya, takwa-bejatnya, surga-nerakanya, sihat-sakitnya, mati-tidaknya, syahid-tabrakannya, panjang-pendekumurnya, siapa jodohnya, harmonis-cerainya, kaya-miskinnya, jumlah rejekinya....dst”.

Lagi pula kalau Tuhan yang menentukan semuanya, berarti Dia yang akan bertanggung jawab. Bahkan kesalahanNya dua kali. Pertama, karena Dia yang menjadi pelaku hakiki dari setiap perbuatan manusia. Ke dua, karena telah membohongi manusia. Karena setelah menentukan semuanya, masih pula menyuruh manusia supaya menjaga kesihatannya, berusaha panjangkan umurnya, mati syahid, mencari rejeki, mencari pasangan yang takwa, ..dst.
Padahal Allah sendiri sudah berfirman bahwa sesiapa yang berbuat seatom kebaikan/keburukan akan melihatnya. Dan “berbuat”, yakni “melakukan”, bukan “yang dibuat berbuat/melakukan”. Atau menyuruh kita menggunakan akal, hingga dalam Qur an ada sekitar 24 ayat yang menggunakan kata “Ta’qilun” (kalian memahami, berakal..dan semacamnya), 22 kata “Ya’qilun” (mereka memahami, berakal..dst), 13 kata “Yafhamun” (mereka memahami dengan akal). Atau menyuruh kita bertakwa sampai-sampai perintah puasapun diturunkanNya supaya manusia bisa mencapai derajat takwa itu.

(d-1-2). Lauhu al-Mahfuzh.dan nasib manusia.

Dengan dalil-dalil akal yang gamblang di atas itu, yakni dalil-mudah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun itu, dapat dipahami dan dipastikan bahwa penentuan nasib manusia itu sangat mustahil adanya. Dilain pihak, dalam Qur an, banyak sekali bukti-bukti tentang ke-ikhtiaran manusia ini, baik langsung atau tidak. Dan sebagiannya sudah saya muat di atas sebagai contoh, walau tidak menyebutkan alamat ayatnya karena hal-hal tersebut adalah hal-hal mudah yang sudah diketahui semua muslimin.

Tentu saja, pemakaian Qur an disini sekedar pendekatan dan pelengkap saja. Karena, sebagaimana sudah diterangkan di bagian pertama Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah ini, bahwa Qur an itu akan bisa dijadikan dalil setelah kita membuktikan kenabian nabi Muhammad saww dan kebenarannya.

Karena itu pulalah, maka saya ingin melengkapi hal nasib atau takdir ini dengan masalah Lauhu al-Mahfuzh. Yang demikian itu disebabkan oleh dijadikannya Lauhu al-Mahfuzh tersebut sebagai landasan utama bagi orang-orang yang mengimani ditentukannya nasib manusia ini. Karena di Qur an dikatakan bahwa di Lauhu al-Mahfuzh itu sudah tertulis apapun mengenai makhluk ini sekalipun daun yang jatuh dari pohonnya. Dan, kata mereka, kalau sudah ditulis di Lauhu al-Mahfuzh dari sejak sebelum penciptaan, dan karena penulisnya adalah Allah, maka sudah pasti seluk-beluk kehidupan manusia yang dikenal dengan nasib atau takdir ini, ditentukan oleh Allah. Jadi, sambung mereka, kita hanya bisa berusaha dan Allahlah yang akan menentukannya.

Pernyataan seperti ini, sudah tentu sangat dipaksakan pada permulaannya, dan sangat berupa taklid menurun (termasuk wahhabi yang anti taklidpun) yang diterima secara buta pada tahap berikutnya yang, hanya berdalil dengan baik sangka kepada leluhur atau salaf atau umat yang telah lalu. Padahal mereka saling sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan, berperang dan saling menumpahkan darah. Atau dengan dalil penyandaran tak akademis pada ayat-ayat Qur an tersebut.

Apa maksud pernyataan yang menyatakan “Kita hanya bisa berusaha dan Tuhan pulalah yang akan menentukannya” ??!

a). Kalau maksudnya bahwa Allah akan menentukannya kemudian, maka berarti ketentuan itu di Lauhu al-Mahfuzh belum tertulis. Ini berarti takdir itu belum ada alias takdir itu tidak ada dalam wujud nyatanya.

b). Kalau maksudnya adalah Allah sudah metentukannya, maka berarti takdir itu tidak ada dalam wujud keyakinannya. Karena, dalam kenyataannya, mereka sama-sama berjuang dalam hidup, dan dalam perbedaan, sama-sama merasa benar dan melakukan amr makruf dan nahi mungkar, serta saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan. Ini berarti takdir dan nasib itu tidak ada dalam hati mereka, karena tidak memiliki tanda-tanda apapun dalam kehidupan mereka itu.

Karena kalau ada, mestinya, masing-masing orang dan golongan harus meyakini bahwa yang ada pada masing-masing orang dan golongan lain dan dirinya adalah takdir masing-masing yang sudah ditentukan Allah yang tidak boleh ada orang berani mengganggunya. Karena sudah ketentuan dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa, sementara manusia adalah makhluk lemah. Dan karena sudah ketentuanNya, maka tidak akan bisa dirubah siapapun juga.

Begitu pula, takdir dan nasib itu akan menjadi terjauhkan dari kehidupan mereka manalaka mereka saling bertengkar, saling menyalahkan, beradu argumentasi, beradu dalil di pengadilan, saling perang, saling serang, saling hukum, menulis buku agama, ceramah agama, menulis buletin-buletin agama,nasihat menasihati serta membaca doa.

Karena kalau semua sudah ditentukan Tuhan, maka yang salah itu Tuhan, bukan manusia yang kita salahkan itu dimana sudah tentu argumen apapun tidak akan ada gunanya lagi. Dan kalau terjadi kesalahan yang mengharuskan adanya penghukuman, maka Tuhan-lah yang selayaknya dihukum.

Bagitu pula, kalau semuanya sudah ditentukan Tuhan dari sisi ketakwaan dan masuk surga-nerakanya, maka penulisan atau ceramah-ceramah agama itu sama sekali sudah tidak akan berfungi lagi.

Ada orang yang mau bergaya-gaya pakai gaya kecerdasan akal orang-orang Syi’ah, dengan mengatakan bahwa ada seorang murid bertanya kepada gurunya: “P Guru, apa takdir itu?”. Sang Guru langsung menamparnya dan berkata: “Inilah takdirmu”. Lah,,,,apakah P Guru lupa bahwa pertanyaan si murid itu juga takdir? Lalu mengapa ia kesal dan ,menamparnya? Lagi pula, enak saja main tanpar dan dosanya dilimpahkan ke takdir Allah. Kalau begitu mengapa mereka membuat persidangan perkara dan hukuman untuk menegakkan keadilan dan ketentraman masyarakat? Toh yang menggampar dan yang digampar, atau yang membunuh dan yang dibunuh, atau yang memperkosa dan yang diperkosa, atau yang menabrak dan yang ditabrak mobil,...dst semuanya sudah ditentukan takdir. Lalu mengapa para polisi dan penegak hukum pada mengejar, menangkap, memperkarakan dan menghukum meraka?

c). Kalau dikatakan bahwa mengejar, menangkap, menyidang dan memenjarakan atau memotong tangan pencuri itu juga karena takdir, maka pernyataan ini sangat dipaksakan. Karena sudah benar-benar menjauhi fitrah dan kesadaran yang ada manakala melakukan pengejaran dan seterusnya itu. Memangnya, pencopet HP di pasar yang sampai bengkak-bengkak dipukuli orang sepasar itu, karena orang-orang pasar berniat melaksanakan takdir Tuhan? Atau karena merasa marah, jengkel dan melampiaskan kejengkelannya? Memangnya P Hakim dan pelaksana hukum itu melakukan penyidangan dan penghukuman (penjara atau potong tangan) karena ingin mengejawantahkan takdir Tuhan? Atau karena ingin menegakkan keadilan dan supaya si pencuri jera/kapok dan yang lainnya tidak meniru???!!!

Kalau semuanya karena takdir, berarti Tuhan yang harus dihukum. Dan tentang kapok tidaknya si pencuri, jelas akan sangat tergantung kepada takdirnya kemudian yang, kalau ditulis tidak kapok maka akan tetap mencuri dan kalau ditulis kapok, maka ia pasti akan berhenti mencuri. Begitu pula orang lain yang diharapkan tidak meniru itu. Karena mereka juga akan sangat tergantung kepada takdir mereka sendiri. Apakah sudah ditulis di Lauhi al-Mahfuzh bahwa meraka mencuri (sekali, dua kali ...dst) hingga meraka akan mencuri sesuai takdirnya itu, atau tidak tertulis demikian hingga tidak akan mencuri dan tidak perlu peringatan apapun seperti pemotongan tangan pencuti tersebut.

Hal seperti ini semestinya tidak perlu diterangkan sampai sedemikian rupa, namun karena hal jelas ini sering diisukan sebagai hal yang teramat gelap dengan mengatakan bahwa “Masalah takdir adalah daerah gelap yang tidak terjangkau siapapun” dan isu ini sudah membudaya ratusan tahun, maka saya merasa perlu menjelaskannya secara rinci dengan contoh-contoh yang juga sangat jelas itu. Jadi, saya mengharapkan pembaca untuk kembali kepada fitrah kita masing-masing dalam menanggapi masalah takdir ini.

d). Kalau dikatakan bahwa maksud perkataan “Kita hanya bisa berusaha dan hanya Allah-lah yang akan mentukannya” adalah bahwa hanya Tuhan yang bisa merubahnya, berarti ketentuan nasib itu, pada hakikatnya, tidak ada. Artinya, keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Karena apa arti dan guna dari ketentuan kalau bisa dirubah juga? Artinya ketentuan itu hanya akan menjadi dan berfungsi sebagai rancangan saja, bukan ketentuan.

e). Kalau dikatakan bahwa Tuhan akan merubahnya manakala hambaNya merubahnya, maka berarti ketentuan Tuhan itu kalah dengan usaha manusia. Hal inilah yang biasa kita lihat di serial-serial Kungfu China yang sering mengatakan sebagai memerangi ketentuan langit dan memerangi ketentuan Tuhan.

Dan kalaulah manusia tidak merubahnya, yang harus bertanggung jawab terhadap ketentuan nasib manusia itu, tetap harus Tuhan, sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Yakni kalau manusia tidak mau merubah racangan Tuhan itu, maka yang salah bukan manusianya, tapi Tuhan yang telah membuat rancangan itu.

f). Kalau dikatakan “Salah kamu tidak merubah rancanganNya”, maka bisa dijawab dengan perkataan “Salah Tuhan yang telah merancangkannya”. Itupun kalau ada bukti bahwa Tuhan telah menentukan takdir atau rancangan ini. Dimana kalau ketentuan itu berupa takdir, maka tidak akan bisa dirubahnya. Sedang kalau berupa rancangan, maka sekalipun bisa dirubahnya, akan tetapi disamping tidak adanya bukti dari adanya penulisan rancangan itu, juga memiliki konsekwensi-konsekwensi yang sangat tidak masuk akal sebagaimana akan dijelaskan berikuti ini.

g). Kalau dikatakan “Tuhan merancang karena ada hikmah didalamnya”, maka disamping tidak ada bukti dari adanya rancangan itu, bisa dijawab dengan perkataan “Biarkan aku ikuti hikmatnya, maka aku tidak boleh dihukum”.

h). Kalau dikatakan “Hikmahnya adalah supaya kamu berusaha”, maka disamping dalil-dalil di atas itu, bisa dijawab dengan perkataan “Hikmah yang kamu katakan ini adalah karanganmu”, atau “Hikmah seperti ini persis dengan yang ada di serial-serial Kungfu atau Dewa-dewa agama Hindu/Budha yang karena gigihnya penentangan manusia atau seseorang di bumi maka tuhan di langit menarik ketentuannya”, atau “Hikmah itu akan sangat tergantung pada ketentuanNya juga, yakni kalau Tuhan menentukanku berusaha maka aku akan berusaha dan kalau tidak, maka bagaimana aku bisa berusaha?”

Berlanjut Ke Pembahasan :               
(d-1-3) Hakikat Lauhu al-Mahfuzh
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...