Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Sabtu, 15 September 2012

Lapis-Lapis Peristiwa Sampang

Oleh: Dr. Zainal Abidin Baqir*
Bagaimana mendeskripsikan peristiwa Sampang kemarin? Memang tidak mudah. Sebelum yang lain-lain, yang perlu dikomentari adalah komentar Ketua DPR kita, Marzuki Alie, yang paling ceroboh, tidak jelas, sehingga paling sedikit dia tidak membantu, lebih jauh dia mungkin kontra produktif, dan ada kemungkinan menyesatkan.
Dari Antara: "Ketua DPR RI Marzuki Alie mengajak semua pihak untuk cerdas dalam menyikapi informasi dan isu terkait konflik di masyarakat terutama yang disampaikan melalui media sosial. "Semua pihak harus cerdas menyikapi berita media khususnya media sosial yang menggambarkan seolah konflik agama. Padahal jelas, dilandasi oleh persoalan warisan dengan memakai isu agama untuk menyesatkan umat."

Siapa yang menyesatkan umat? Rois menganggap Tajul sesat, atau Tajul menyesatkan umat? Apa gunanya analisis ini, yang dikeluarkan beberapa jam setelah satu orang mati dan ada yang sedang sekarat serta 3 orang kritis akibat diserang senjata tajam? Media sosial apa yang menggambarkan ini sebagai konflik agama? Satu-satunya yang bisa menjelaskan komentar ini adalah: marzuki ingin meredam, demi mengatakan tidak ada konflik agama, yang ada toleransi. Lagi-lagi soal pencitraan—bukan penyelesain masalah. Tidak mudah memang mendeskripsikan peristiwa ini, tapi saya berharap DPR yang menggaji banyak staf ahli atau media yang urusannya adalah melaporkan fakta bisa berbuat lebih baik.
Faktanya: satu orang terbunuh, empat dalam kondisi kritis, sekian luka-luka, sekian rumah terbakar. Korban parah (manusia harta benda) semuanya berasal dari kelompok Syiah, yang gurunya adalah Tujul Maluk. Peritiwa apa ini? Kenapa terjadi?
Peristiwa Apa?
Sebagian besar media (termasuk Kompas dan Republika cetak hari ini) menyebutnya sebagai "bentrok warga". Jakarta Post menyebutnya "melee", yang berarti kerusuhan atau perkelahian massal. Tapi kalau melihat jumlah tak berimbang di antara kedua pihak itu, ratusan orang (menurut Antara, lebih dari seribu orang yang membawa senjata tajam!) menyerbu kelompok lain, dan korban mati atau kritis serta luka-luka, serta puluhan rumah terbakar (dibakar) semuanya dari pihak warga pengikut Tajul Muluk, maka ini bukan bentrok, tapi penyerangan.
Kenapa Terjadi?
Ada kesepakatan beberapa sumber (polisi, media, LSM) bahwa ini dimulai dengan penghadangan sekelompok anak/remaja yang akan meninggalkan kampung mereka untuk kembali belajar ke pesantren di luar Sampang setelah libur lebaran usai. Tapi ada cerita lain yang bermula dari rombongan ibu dan istri Tajul Muluk yang akan membesuk anak/suaminya di penjara Sampang, dihadang sekelompok orang, gagal membesuk, lalu pergi ke sisa-sisa rumah mereka (yang tersisa dari pembakaran pada Desember 2011), dibuntuti, lalu beberapa waktu kemudian terjadi peristiwa penyerangan dan pembakaran itu. Korban mati diserang ketika mencoba melindungi kelompok yang akan diserang dari para penyerang.
Siapa Para Penyerang?
Ada yang menyebut sekadar "kelompok warga", ada yang menambahinya dengan "anti-Syiah" (atau "rusuh massa Sunni vs. Syiah"), ada pula "massa intoleran".  Semua penyebutan ini tidak ada yang "netral". "(Kelompok) warga" adalah sebutan paling "netral"—tepatnya paling aman, tapi tidak memberikan penjelasan apa-apa. "Anti-Syiah" mengisyaratkan ini adalah perselisihan yang dipicu perbedaan paham. "Massa intoleran" bisa tidak berarti apa-apa, kalau mereka disebut "intoleran" karena penyerangan kemarin itu saja, paling jauh mengimplikasikan juga bahwa pemicunya adalah tiadanya toleransi terhadap perbedaan (perbedaan mazhab?); bisa juga berarti banyak, kalau kelompok yang menyerang adalah kelompok yang sama yang terlibat dalam penyerangan sebelumnya dan sudah terbukti motivasi mereka (dulu) adalah intoleransi. Saya tidak yakin dalam hitungan jam siapa pun dapat memastikan motivasi mereka, setidaknya khsusus menyangkut penyerangan hari Minggu kemarin.
(Analisis lebih jauh, tentu bisa seperti Haris Azhar dari Kontras hari ini: "Akar masalahnya adalah kebencian terhadap perbedaan." Tapi juga perlu berhati-hati—apakah penyebab penyerangan adalah perbedaan, atau kapitalisasi atas perbedaan? – Lihat di bawah, soal lapis-lapis peristiwa.)
Mencoba mensterilkan deskripsi agar faktual, objektif bisa mudah terjatuh pada tak menyampaikan banyak informasi, atau bahkan bertindak tidak adil (misalnya dengan menyebut "bentrok" yang mengimplikasikan kesalahan atas peristiwa itu ditanggung kedua pihak secara seimbang). Jadi bagaimana?
Fakta dan Analisis
Beberapa fakta bisa dengan cepat dipastikan, yang lain bisa dijelaskan hanya dengan menggoogle berbagai versi latar belakang peristiwa sejak tahun lalu. Pertama, ini bukan bentrok, tapi penyerangan, karena alasan di atas.
Kedua, identifikasi penyerang bisa disebut dengan menyebut latarbelakangnya: misalnya, dimulai dengan menyebut secara "netral" kelompok penyerang sebagai "kelompok warga", lalu dikualifikasi dengan tambahan info bahwa kelompok yang diserang sudah pernah diserang oleh kelompok warga yang diprovokasi Rois Hukama (adik tajul Muluk) pada Desember 2011 dan provokasi itu terus berlanjut pada bulan-bulan sebelumnya; dan bahwa Rois melaporkan kakaknya (Tajul Muluk) ke pengadilan atas tuduhan penodaan agama, dan Tajul seudah diadili dan dihukum atas tuduhan penodaan agama (tepatnya klaim bahwa Quran umat Muslim sekarang tidak otentik—bukan karena dia mengajarkan Syiah, bukan karena Syiah sesat, meskipun salah satu alat bukti dari MUI Sampang mengatakan itu). Ini semua sudah merupakan established facts; para wartawan seharusnya tinggal melakukan search dalam database media mereka sendiri (saya bisa melakukannya melalui Google).
Deskripsi latar belakang itu sekaligus bisa menambah informasi soal motivasi (yang belum bisa diperoleh secara cepat tanpa mewawancarai para penyerang).
Terakhir, perlu dicatatat bahwa pengadilan atas Tajul Muluk menggunakan pasal Penodaan Agama (KUHP 156A), yang logikanya adalah penodaan dapat dihukum karena menimbulkan keresahan/kerusuhan dalam masyarakat. Nah, sekarang si tersangka penyebab kerusuhan ada dalam penjara, kok masih terjadi kerusuhan?
Berarti yang bikin rusuh adalah provokator yang terang-terangan menyebut Tajul sebagai sesat (dan tak sepenuhnya terbukti di pengadilan, masih dalam proses banding), mengancam dia dan para pengikutnya, dan menyarankan mereka untuk tidak berhenti menyerang para pengikut Tajul (termasuk keluarganya, ibunya, istrinya), bahkan ketika Tajul sudah dipenjara. (Perlu diingat pula, ketika penyerangan Desember 2011 terjadi, Tajul juga sudah meninggalkan Sampang selama berbulan-bulan.) Ujaran kebencian dan hasutan untuk kekerasan sudah merupakan tindak pidana bahkan sebelum itu dilaksanakan.
Yang terakhir ini adalah contoh terbalik-baliknya logika pengadilan penodaan agama. Dalam kasus-kasus yang belakangan terjadi (khususnya menyangkut Jemaah Ahmadiyah), ketidaktertiban sosial dikatakan terganggu karena ada yang menodai; tapi sesungguhnya ketidaktertiban—secara faktual—terjadi setelah ada provokasi yang menggunakan pretxt penodaan, dimana si "penoda" adalah korban. (Setiap mengatakan hal ini, saya selalu teringat pada Mahfudz MD, Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya cerdas tapi kok ya menalan argumen ini mentah-mentah, yaitu ketika memutuskan uji materi UU Penodaan Agama tahun 2012 dulu. Kalau Hakim Konstitusi menelan argumen itu, tak mengherankan para hakim di pelosok-pelosok pedesaan termakan oleh argumen itu juga, apalagi ketika dibumbui kepentingan politik lokal atau nasional.)
Lapis-Lapis Peristiwa
Di luar peristiwa hari Minggu kemarin, dalam kasus Tajul Muluk ada lapis-lapis peristiwa yang mesti dipahami.
- Ada perseteruan kakak-beradik Tajul dan Rois yang dipicu macam-macam hal (ada persoalan keluarga, dikonfirmasi oleh ibu mereka sendiri di pengadilan), tapi Rois, yang kalah kharismatik dari Tajul, menyebut ajaran Syiah sebagai ajaran sesat dan menyulut penyerangan atas Tajul;
- lalu ada Bupati Sampang yang menggebu-gebu ingin peristiwa ini disidangkan, mungkin dia berpikir ini bisa jadi amunisi untuk Pilkada berikutnya.
- Lalu ada pula kelompok anti-Syiah yang sudah bertahun-tahun memusuhi Syiah memancing di air keruh ingin menjadikan kesempatan ini untuk mengilegalkan Syiah di Indonesia;
- dan kemudian beberapa kelompok ulama lokal (termasuk MUI, konon juga NU) yang (mungkin naif, mungkin simpati pada tujuan Rois, Bupati, atau anti-Syiah) mendukungnya dengan mengeluarkan fatwa.
Lapis-lapis seperti ini hampir selalu muncul dalam peristiwa "penodaan agama".
Beberapa link berita yang saya sebut di atas:
http://www.antaranews.com/berita/329549/marzuki-kita-harus-cerdas-menyikapi-informasi
http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/26/two-shia-followers-reportedly-killed-sampang-melee.html
http://www.antaranews.com/berita/329518/warga-syiah-sampang-diserang-satu-tewas
Silahkan juga dilihat beberapa foto di Tempo yang di antaranya menunjukkan seseorang yang tengah membakar dan wajahnya saya kira tak sulit dikenali; http://www.tempo.co/read/beritafoto/3234/Kaum-Syiah-di-Sampang-Kembali-Diteror. (Keterlaluan kalau Polisi kesulitan melacak para penyerang. Tapi, apakah demi "keadilan", selain penyerang harus ada pengikut Syiah yang dihukum juga—seperti dalam kasus pembunuhan tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik tahun lalu?)
Untuk sekarang, kita hanya berharap penegak hukum menjalankan pekerjaannya; para pejabat pemerintah, parlemen dan tokoh masyarakat setidaknya mengeluarkan pernyataan politik yang menyebut bahwa peristiwa seperti ini adalah kriminalitas telanjang yang seharusnya tak terjadi, mendorong polisi sigap menanganinya segera. (IRIB Indonesia/PH)
*) Direktur CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) Yogyakarta
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...