Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Sabtu, 08 September 2012

Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah Karya: Sayyid Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi

Sayyid Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi
Sayyid Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi dilahirkan pada tahun 1290 H di kota Kazhimiah, Irak, dari kedua ibu-bapak yang silsilah keturunannya bersambung kepada Rasulullah SAWW. Sejak usia delapan tahun, ia telah mempelajari berbagai ilmu tentang bahasa Arab, balaghah, logika, fiqh, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lain, di kota Amila, sebelah selatan Libanon. Mencapai usia tujuh belas tahun, ia pun berkeliling ke kota-kota Najaf, Samira, dan kota lain di Irak, untuk melanjutkan pelajarannya. Sejak itulah ia kemudian dikenal sebagai seorang pemuda yang disegani di kalangan terpelajar karena pengetahuannya yang luas, kecerdasannya yang memikat, ketelitiannya dalam pembahasan, keunggulannya dalam berdiskusi, di samping watak santun dan akhlaknya yang mulia. Dalam usia tiga puluh dua tahun ia kembali ke tempat kelahirannya, atas perintah ayahnya. Kedatangannya disambut dengan hangat oleh penduduk termasuk para alim-ulama dan para pemuka daerah setempat. Kefasihannya berpidato, ketegasannya membela kebenaran, kasih-sayangnya kepada kaum lemah, dan keteguhannya dalam beramru bil ma'ruf, nahi 'anil munkar, serta sikap tawadhu'nya di hadapan para ulama, membuatnya menjadi seorang mujtahid yang amat disegani. Pada tahun 1329 H, di saat memuncaknya tekanan-tekanan pemerintah kolonial yang kejam terhadap dirinya, ia pun memutuskan untuk pergi ke Mesir. Sesampainya di Mesir, ia pun disambut meriah oleh para alim-ulama, dan bahkan berkesempatan pula bertemu dengan Rektor Al-Azhar waktu itu, Syaikh Salim Al-Bisyri Al-Maliki. Pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan perbincangan-perbincangan menarik antara keduanya, yang akhirnya membuahkan buku Dialog Sunnah-Syi'ah yang sangat terkenal itu. Walaupun kehidupannya sarat akan kesulitan-kesulitan, tapi ia tetap bergiat dalam bidang ilmu pengetahuan. Ada berpuluh-puluh karyanya, yang tema-tema bahasannya kebanyakan mengutamakan persatuan ataupun pendekatan antara kelompok-kelompok yang saling berbeda paham, di antaranya: Al-Kalimah Al-Gharra' fi Tafdhil Al-Zahra', Al-Nash wa Al-Ijtihad, Abu Hurairah, dan Masail Fiqhiyyah. la meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 1957, dalam usia delapan puluh tujuh tahun, di Amila, Libanon. la dimakamkan di pemakaman keluarga di Najaf, Irak.


Pengantar Penerbit

 Buku karya A. Syarafuddin Al-Musawi yang berada di hadapan Anda ini merupakan buku kedua dalam edisi Indonesia yang kami terbitkan, setelah buku pertamanya, Dialog Sunnah-Syi'ah, terbit pada tahun 1983. Dalam edisi aslinya yang berbahasa Arab, buku ini telah mengalami cetak ulang lebih dari enam kali dan terdapat penambahan-penambahan di sana-sini yang dilakukan oleh pengarangnya.

 Untuk lebih memberikan kenyamanan Anda dalam membaca buku ini, kami, Penerbit Mizan, melakukan beberapa pengubahan sistematika isi buku tanpa mengubah kandungan pokoknya. Yang kami ubah hanyalah Pasal VIII — dalam terbitan ini kami menggunakan istilah Bab — dengan memecahnya menjadi tiga bagian. Kemudian, sub-sub bab dari masing-masing Bab VIII tersebut kami kelompokkan sesuai dengan kemiripan soal-soal yang dibahas. Sehingga, buku aslinya yang semula terdiri atas dua belas pasal, sekarang ini menjadi empat belas pasal atau bab.

 Selain perubahan di atas, dalam Bab IX buku ini, kami memuatkan satu lampiran yang berisi pendapat Sayyid Sabiq — salah seorang tokoh fiqih ahlus-sunnah — tentang nikah mut'ah, yang kami ambil dari buku-karyanya, Fiqh As-Sunnah. Pemuatan ini, kami maksudkan sebagai bahan studi perbandingan.

 Harapan kami, semoga dengan adanya perubahan ataupun penam-bahan di atas, buku ini akan dapat lebih banyak menyumbangkan manfaatnya bagi para pembaca.

Selamat membaca.


Mukadimah

 Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam atas pribadi paling utama di antara semua makhluk-Nya, Muhammad serta keluarganya yang diberkati.

 Tak seorang pun meragukan bahwa persaudaraan dan kerukunan di antara sesama umat, merupakan faktor utama dalam penciptaan keserasian dalam pembangunan, pendorong ke arah peningkatan kualitas, pembangkit gairah menuju kemajuan, pembawa kebahagiaan sempuma serta pembebas dari kehinaan akibat aneka penjajahan asing.

 Tanpa adanya kesatuan pandangan, pendekatan dalam pikiran dan perasaan dan tanpa kekuatan tekad bersama untuk bangkit membela kepentingan umat serta menegakkan kalimat Allah, mustahil bumi kita ini akan bergetar dalam kegcmbiraan, langit akan menurunkan hujan kemakmvuran, memancarkan mata air rahmat dan kebahagiaan yang mengalir memenuhi lembah-lembah cinta dan kasih sayang serta ladang-ladang kedamaian dan ketenteraman.

 Hanya dengan itu jiwa kemanusiaan akan bangkit kembali dari kematiannya, fitrah keagamaan akan muncul kembali dari persembunyiannya. Keadilan akan memancarkan cahayanya. Kebijakan dan kearifan mengibarkan panji-panjinya, menaungi pemimpin negeri yang memperhatikan urusan rakyat bagaikan seorang ayah dengan penuh kasih sayang memenuhi kebutuhan putranya. Di saat itulah rakyat akan terdorong untuk membantu dan mendukungnya. Agar ia menyuburkan kembali tanah-tanah yang gersang, memakmurkan kembali sawah ladang yang ditinggal merana, menghijaukan kembali pohon-pohon yang menderita kekeringan, memperbaiki prasarana dan sarana yang rusak, merapatkan kembali yang retak, menunjuki jalan bagi yang tersesat, memerangi yang melahggar batas, menolong yang lemah dan mengajari yang bodoh.

 Adapun jika umat bercerai-berai dalam permusuhan, berpecah-belah dalam berbagai kelompok dan golongan, saling membenci dan mendengki, memfitnah dan mencaci, tenggelam dalam keterlenaan dan kesia-siaan, lalai akan tuntutan kemajuan zaman, maka ia akan menjadi umat yang hina-dina dan terkebelakang, terombang-ambing oleh badai dan gelombang kehancuran, mangsa tak berdaya di hadapan penjajah yang kejam, sasaran para penindas yang tak berperikemanusiaan. Dan jadilah ia umat yang mati, yang tidak lagi merasakan kehinaan yang menimpanya atau kemalangan yang mengurungnya. Tak ada suaranya yang didengar atau keluhannya yang diperhatikan.

 Keadaan itulah yang mendorong kami mengingatkan dan memperingatkan, agar kita (kaum Muslim) segera meninggalkan perpecahan dan permusuhan, lalu menyatukan gerak dan tindak, mendekatkan antara sesama saudara, seraya mendengarkan dengan saksama seruan Allah Ta'ala:

 “. . . dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah ddtdng keterangan-keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (Ali 'lmran 105)

 “. . . dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” (Ali 'lmran 103)

 “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya lalu mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung-jawabmu (wahai Muhammad) terhadap mereka. Urusan mereka hanyalah terpulang kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahu mereka akibat dari yang telah mereka perbuat”. (Al-An'am 159)

 Bukankah kita kini berada di suatu masa yang dikuasai oleh ilmu dan dikendalikan oleh kecerdasan dan kepandaian? Mata air kearifan memancar dalam diri para pemikir yang piawai. Matahari kebajikan memantulkan cahayanya di wajah-wajah mereka. Tidakkah mereka merasa terpanggil untuk menggerakkan pena-pena mereka dan mencurahkan isi hati dan pikiran mereka, untuk memulai perjuangan melawan kefanatikan golongan, mematahkan kekuatannya, menghapus bekas-bekasnya? Dan agar menggantikan hal itu dengan mendesakkan tugas-tugas kemanusiaan serta peningkatan sarana-sarana kemajuan. Juga agar mereka tak henti-hentinya menyerukan persatuan dan toleransi di antara para penganut aliran Sunnah dan Syi'ah. Dengan penjelasan-penjelasan yang berkesan sepanjang masa serta ucapan-ucapan penyesalan yang mampu melumatkan batu cadas yang paling keras sekali pun.

 Kapankah mereka akan melepaskan kendali-kendali pena mereka, untuk menulis serangan-serangan tak kenal lelah terhadap keberingasan yang ditonjolkan oleh sebagian manusia, lalu menyerukan kesatuan hati dan persatuan umat, mengajak mereka menggunakan segala perangkat canggih menuju kebangkitan dan kemajuan, dan mengingatkan mereka akan bahaya-bahaya yang mengancam apabila mereka membiarkan pelbagai penyebab perpecahan dan pertengkaran terus merajalela di tengah-tengah mereka. Padahal Allah SWT telah berfirman:

 “Taatlah kamu sekalivm kepada Allah dan Rasul-Nya dan jangan berbantah-bantahan yang (hanya akan) menyebabkan kamu menderita kekalahan serta hilangnya kekuatanmu . . .” (Al-Anfal 46)

 Demikianlah, seraya menulis mukadimah ini, aku memohon pertolongan Allah SWT agar diberi kekuatan untuk dapat menyusun buku ini, yang kuberi judul Al-Fushul Al-Muhimmah fi Ta'lif Al-Ummah.* Aku tiada bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan sepanjang aku masih berkesanggupan. Dan sungguh tiada taufik melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada-Nya aku bertaivakal dan hanya kepada-Nya aku kembali. (Hud : 88) ?

 * Arti harfiahnya, Pasal-Pasal yang Muhim dalam Rangka Mendekatkan Hati Umat. Selanjutnya, terjemahan bahasa Indonesianya kami beri judul Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah — penerj.



Persatuan dan Persaudaraan Di Antara Kaum Muslim

 Cukup banyak imbauan dalam Al-Quran dan As-Sunnah untuk menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan di antara kaum Muslim. Antara lain, firman-firman Allah SWT dalam kitab suci-Nya:

 Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. (Al-Hujurat: 10)

 Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain'. (At-Taubah: 71)

 Muhammad Rasulullah, dan orang-orang yang bersamanya, mereka bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang di antara sesama mereka. (Al-Fath:. 29)

 Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan siksa yang berat. (Ali lmran: 105)

 Dan berpegang-teguhlah pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. (Ali Imran: 103)

 Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu (wahai Muhammad) terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terpulang kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahu mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al-An'am: 159)

 Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Al-Hujurat: 13)

 Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran seperti itu.

 Rasulullah SAWW bersabda:

 Kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu benar-benar beriman. Dan kamu tidak benar-benar beriman, sebelum kamu saling berkasih-sayang. Sukakah kamu saya tunjuki sesuatu jika kamu mengamalkannya, niscaya akan timbul kasih-sayang di antara sesamamu? Sebarkanlah salam di antara kamu!

 Agama itu adalah ketulusan. Kami bertanya: Terhadap siapa? Jawab Nabi SAWW, Terhadap Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan pemimpin-pemimpin kaum Muslim serta rakyat Muslim pada umumnya. Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya; tidaklah seorang benar-benar beriman, sampai ia menyukai bagi saudaranya yang Muslim, segala yang ia sukai bagi dirinya sendiri.

 Janji keselamatan bagi kaum Muslim :berlaku atas mereka semua, Dan mereka semua seia-sekata delam menghadapi orang-orang selain mereka. Barang siapa melanggar janji keamanan seorang Muslim, maka kutukan Allah, Malaikat dan manusia sekalian tertuju kepadanya dan tidak diterima darinya tebusan atau pengganti apa pun, pada Hari Kiamat kelak.

 Hindarkan dirimu dari prasangka busuk, sesungguhnya yang demikian itu adalah sebohong-bohong omongan. Jangan mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan bersaingan menawar barang dengan maksud merugikan orang lain, jangan saling menghasut, jangan saling bermusuhan dan jangan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiami (menolak menyapa) saudaranya, sesama Muslim, lebih dari tiga hari.

 Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia menganiayanya, dan tidak pula membiarkannya dianiaya. Barangsiapa mengurusi hajat saudaranya, sesama Muslim, niscaya Allah akan memenuhi hajatnya sendiri. Dan barangsiapa membebaskan beban penderitaan seorang Muslim, maka Allah akan membebaskan penderitaannya di Hari Kiamat kelak. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat.

 Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq berkata: "Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim. Dia adalah matanya, cerminnya dan penunjuk jalannya. Dia tidak akan mengkhianati, memperdayakan, menganiaya, membohongi, dan mengumpatnya." Beliau (a.s.) berkata pula kepada sekelompok orang dari para pengikut dan peticintanya: "Bertakwalah kalian kepada Allah. Dan jadilah kamu sekalian saudara-saudara yang senantiasa berbuat baik kepada sesamanya, saling mencintai karena Allah, saling menghubungi, saling merendahkan diri, saling mengasihani, saling mengunjungi dan saling bertemu, serta hidup-kan (siarkan) ajaran kami (Ahlul-Bayt)."

 Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah SAWW: Sesungguhnya yang terdekat — di antara kamu — tempat duduknya dari sisiku ialah orang-orang yang terbaik budi pekertinya, yang senantiasa merendah, saling menyayangi dan disayangi.

 Sabda beliau pula:

 Seorang Mukmin ttu senantiasa menyayang dan disayang. Maka tidak ada kebaikan dalam diri siapa saja yang tidak menyayang dan disayang.

 Dalam hadis lain, beliau bersabda:

 Sesungguhnya orang-orang yang paling dicintai oleh Allah — di antara hamu — ialah mereka yang saling sayang-menyayangi. Dan yang paling dibenci oleh Allah adalah mereka yang gemar menyebarkan fitnah dan memecah-belah di antara sesama saudara.

 Sabdanya lagi:

 Orang-orang yang saling mencmtai karena Allah, akan berkedudukan di bagian teratas bangunan yang terbuat dari batu permata merah delima. Di puncak bangunan itu terdapat tujuh puluh ribu kamar; dari sana mereka memandang ke arah surga di bawah. Wajah-wajah mereka bersinar-sinar bagaikan cahaya mentari. Mereka mengenakan pakaian yang terbuat dari kain sutera berwarna hijau, di atas dahi-dahi mereka tertulis: 'lnilah orang-orang yangsaling mencintai karena Allah.'

 Sabda beliau pula:

 Di Hari Kiamat kelak, akan disediakan kursi-kursi di sekitar 'Arsy untuk sekelompok manusia. Wajah-wajah mereka laksana sinar bulan purnama di malam hari. Manusia dalam suasana ketakutan, namun mereka tenang-tenang saja. Mereka itu adalah wali-wali Allah yang tiada ketakutan atas diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Para sahabat bertanya: Siapakah gerangan mereka itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi SAWW: Mereka itu adalah orang-prang yang saling mencintai karena Allah.

 Sabda beliau pula:

 Sungguh telah berfirman Allah SWT: "Pastilah kasih-sayang-Ku tercurah atas diri mereka yang saling rnengunjungi karena Aku. Pastilah kasih-sayang-Ku tercurah atas diri mereka yang saling memberi karena Aku. Dan pastilah kasih-sayang-Ku tercurah atas diri mereka yang saling menolong karena Aku."

 Dan telah bersabda Rasulullah SAWW:

 Pada Hari Kiamat kelak, Allah SWTakan berfirman: "Di manakah orang-orang yang saling mengasihi demi keagungan-Ku? Kini akan Kunaungi mereka di bawah naungan-Ku!"

 Dari sebuah hadis panjang yang diriwayatkan oleh Al-lmam Muhammad Al-Baqir, dari para leluhurnya, para khalifah yang bijak; dari Nabi SAWW, datuk mereka; Penghulu para utusan Allah (salam sejahtera atas mereka semuanya), katanya: Apabila datang Hari Kiamat, ada suara memanggil: "Di manakah tetangga-tetangga Allah?" Maka berdirilah sekelompok manusia yang segera disambut oleh para Malaikat seraya bertanya kepada mereka: "Amalan-amalan apakah yang telah kalian kerjakan sehingga kalian bisa memperoleh kedudukan sebagai 'tetangga-tetangga Allah di tempat kediaman-Nya'?" Jawab mereka: "Kami dahulu di dunia, saling mencintai karena Allah, saling memberi karena Allah dan saling mengunjungi karena Allah SWT." Lalu berkata Rasulullah SAWW: Maka terdengarlah suara menyeru: "Hamba-hamba-Ku itu telah berkata sebenarnya. Biarkanlah mereka langsung pergi menuju tempat di sisi Allah, tanpa melalui hisab."

 Berkata 'Abdul-Mukmin Al-Anshary: Aku pernah mengunjungi Al-Imam Musa Al-Kazhim yang pada saat itu sedang duduk bersama Muhammad bin 'Abdillah Al-Ja'fari. Ketika melihat aku tersenyum kepada Al-Ja'fari, beliau (Musa Al-Kazhim) bertanya kepadaku: "Kau mencintainya?" Aku menjawab: "Ya, sungguh aku mencintainya semata-mata karena kalian (Ahlul-Bayt)" Kata beliau selanjutnya: "Memang benar. Ia adalah saudaramu. Seorang Mukmin adalah bagaikan saudara kandung bagi Mukmin lainnya. Terkutuklah orang yang melontarkan tuduhan kepada saudaranya. Terkutuklah orang yang menipu saudaranya. Terkutukfah orang yang tidak bertindak jujur terhadap saudaranya. Terkutuklah orang yang tidak mementingkan saudaranya. Dan terkutuklah orang yang mengumpat saudaranya."

 Dalam memuji jalinan persaudaraan antara sesama Muslim, Rasulullah pernah bersabda:

 Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka akan dikaruniai-Nya seorang sahabat karib yang saleh; jika ia terlupa niscaya akan diingatkan olehnya dan jika ia teringat kepedanya niscaya ia membantunya. Dan perumparmaan dua saudara yang sedang bertemu adalah bagaikan dua belah tangan yang satu sama lain saling mencuci. Dan tidaklah berjumpa dua orang Mukmin kecuali Allah SWT memberikan salah seorang dari mereka kebaikan dari temannya.

 Berkata Amirul-Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib a.s.: Jagalah hubungan baik dengan saudara-saudaramu. Sungguh mereka itu sangat diperlukan, di dunia dan akhirat. Tidakkah kamu dengar ucapan penghuni neraka (seperti tersebut dalam firman Allah): "Maka kami tidak mempunyai penolong, dan tidak pula, mempunyai teman sejati."

 Berkata Jarir bin Abdillah r.a.: Aku berbay'at kepada Rasulullah SAWW untuk tetap menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, dan berlaku jujur terhadap semua Muslim.

 Demikianlah! Sungguh amat banyak hadis sahih tentang hal persatuan dan persaudaraan antara sesama Muslim. Jika saja Anda mau menelaah hadis-hadis ini yang dirawikan melalui kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah), niscaya terbitlah kebenaran bagaikan fajar menyingsing di hadapan Anda. Dan kiranya hal ini cukup bagi siapa saja yang beroleh hidayah Allah SWT.?

Penjelasan Tentang Makna Islam dan Iman

 Telah diketahui dengan pasti bahwa hanya dengan Islam dan Iman, seorang hamba dapat meraih puncak keridhaan Allah SWT. Semua perbuatannya bergantung pada nilai-nilai keduanya. Betapa pun jelasnya hal ini, namun saya tetap merasa perlu menekankan hal tersebut dalam buku saya ini, semata-mata demi menyadarkan sebagian orang yang fanatik, yang senantiasa ingin membangkitkan kembali semangat kesukuan dan kepartaian jahiliah.

 Padahal, saudara-saudara kita, Ahlus-Sunnah, telah sepakat bahwa hakikat Islam dan Iman ialah pengucapan dua kalimat syahadat, pembenaran adanya Hari Kebangkitan, lima shalat sehari semalam menghadap kiblat, pelaksanaan ibadah haji, puasa di bulan Ramadhan, serta pengeluaran zakat serta seperlima (khumus) dari harta perolehan (ghanimah) yang diwajibkan.[1] Hal ini tercantum dengan jelas sekali dalam keenam kitab kumpulan hadis (ash-shihah as-sittah) maupun kitab-kitab hadis lainnya.

 Dalam Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya, dicantumkan sabda Ratulullah SAWW:

 Barangsiapa bersaksi bahwa "tiada Tuhan selain Allah", menghadap kiblat kita, mengerjakan shalat kita, dan memakan hasil sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama sebagai Muslim lainnya.

 Al-Bukhari juga merawikan dari Anas r.a., bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda:

 Barangsiapa menunaikan shalat kita, menghadap kiblat kita, serta makan hewan sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya dzimmah (jaminan keamanan) Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu mengkhianati janji Allah dalam dzimmah-Nya.[2]

 Masih dalam Shahih Bukhari, dengan sanad dari Thalhah bin Ubaidillah:[3] Pernah datang seorang laki-laki dari Nejed kepada Rasulullah SAWW. Orang itu kepalanya penuh debu. Kami mendengar suaranya yang keras namun tak mengerti apa yang ia bicarakan, sampai ia mendekat kepada Rasulullah SAWW. Maka terdengarlah ia bertanya tentang beberapa kewajiban dalam Islam. Jawab Rasulullah SAWW: "Shalat lima kali dalam sehari semalam!" Orang itu bertanya lagi: "Adakah shalat yang wajib atas diriku selain yang lima itu?" Jawab Nabi: "Tidak, kecuali jika kamu mau berbuat yang sunnah." Dan Rasulullah SAWW melanjutkan: "Juga wajib puasa di bulan Ramadhan." Orang itu bertanya lagi: "Ada jugakah puasa yang wajib bagiku selain dari itu." Jawab Nabi: "Tidak, kecuali kalau engkau mau berbuat yang sunnah." Rasulullah SAWW lalu menyebutkan tentang kewajiban zakat, dan laki-laki itu bertanya lagi: "Adakah pengeluaran harta yang wajib bagiku selain dari zakat itu." Jawab Rasulullah: "Tidak, kecuali kalau engkau suka berbuat yang sunnah." Kemudian laki-laki itu pergi seraya berkata: "Demi Allah, tidak akan kutambah dari semua ini dan tidak pula akan kukurangi. Mendengar itu, Rasulullah SAWW bersabda: "Beruntunglah ia jika ia jujur dalam ucapannya itu."

 Juga dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadis dengan sanad sampai kepada Nafi' bahwa seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar seraya bertanya: "Hai Abu Abdur-Rahman, gerangan apakah yang mendorongmu untuk — setiap tahunnya — menunaikan ibadah haji atau umrah, sedangkan Anda meninggalkan jihad fi sabilillah? Padahal Anda tahu betapa kuatnya Allah menekankan tentang keutamaannya!" Jawab Ibnu Umar: "Hai anak saudaraku, agama Islam itu ditegakkan atas lima perkara: Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, shalat lima kali sehari semalam, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji."

 Dalam Shahih Bukhari pula diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Pada suatu hari Rasulullah SAWW sedang duduk bersama-sama dengan orang banyak, ketika datang kepadanya seorang laki-Iaki, lalu bertanya: "Apakah Iman itu?" Jawab beliau: "Iman ialah percaya kepada Allah, malaikat-Nya, dan Hari Kebangkitan." Tanya laki-Iaki itu selanjutnya: "Apakah Islam itu?" Jawab Nabi SAWW: "Islam adalah menyembah Allah dantidak mempersekutukan-Nya, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan ..." Sesudah itu laki-laki (si penanya) tersebut pergi. Namun, Rasulullah segera berkata: "Panggil laki-laki itu kembali!" Tetapi mereka tak melihat seorang pun. Lalu Nabi SAWW bersabda: "Itulah malaikat Jibril, datang untuk mengajari manusia tentang agama mereka."

 Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dengan sanad yang berbeda, sebagian dari Umar bin Khaththab, sebagian dari putranya (Abdullah bin Umar), dan sebagian lagi dari Abu Hurairah, dengan sedikit tambahan dan kekurangan.

 Al-Bukhari juga telah meriwayatkan di beberapa tempat dalam kitab Shahih-nya dengan sanad sampai kepada Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAWW pernah berkata kepada delegasi Abdul Qais (yakni tatkala beliau SAWW menyuruh mereka agar beriman kepada Allah yang Mahaesa saja): "Tahukah kamu apa arti Iman kepada Allah yang Mahaesa?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Sabda Rasulullah SAWW: "Itulah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan memberikan seperlima (khumus) dari harta perolehan (maghnam)."[4]

 Hadis-hadis yang mengandung makna seperti ini tak dapat dihitung karena banyaknya. Siapa saja yang ingin mengetahuinya, silakan mengkaji dan mendalaminya dalam kitab-kitab shahih yang enam dan kitab-kitab lainnya, terutama sekali dalam pasal keimanan dalam Shahih Muslim. Di dalam kitab tersebut, terdapat banyak bab yang memberikan kepastian bahwa definisi "Islam" dan "Iman" seperti yang dipahami oleh Ahlus-Sunnah tidak lain adalah seperti yang telah diutarakan di atas; sedangkan yang akan diuralkan dalam dua pasal mendatang akan lebih memperjelas lagi. Oleh karena itu, renungkanlah baik-baik.?

 [1] Mungkin sebagian kaum Muslim ada yang membedakan antara "Islam" dan "Iman", berdasarkan apa yang dapat dipahami dari ayat 14 Surah Al-Hujurat di bawah ini:

 Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, namun katakanlah 'kami telah Islam'."

 Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan "Islam" itu hanya merapakan pernyataan masuk agama (Islam) dan berserah diri kepada Nabi Muhammad SAWW Adapun "Iman" adalah keyakinan yang teguh di dalam hati sanubari kaum beriman seraya mengikrarkannya dengan lisan. Dengan demikian, "Iman" lebih khusus daripada "Islam". Adapun kami (kaum Syi'ah) menambah satu hal lagi, yakni wilayah (pengakuan kedua belas Imam sebagai peraimpin-pemimpin umat).

 [2] Sudah tentu hadis ini dan sebelumnya terikat dengan penyaratan puasa, zakat dan haji.

 [3] Hadis ini juga terdapat dalam Shahih Muslim dengan sanad yang sama.

 [4] Muslim juga telah meriwayatkan hadis ini dalam beberapa tempat dari kitab Shahih-nya. Jelaslah, hal ini merupakan dalil bahwa kewajiban mengeluarkan seperlima (khumus) dari hasil perolehan merupakan salah satu rukun Islam seperti halnya shalat dan zakat. Dengan demikian, hadis tenebut merupakan pengikat atau penjelas bagi hadis-hadis seperti ini yang tidak mencantumkan perihal kewajiban mengeluaikan khumus. Memang hal ini tidak mengherankan, karena Al-Quran dan As-Sunnah berkaitan satu sama lain.    

    

Jaminan Keselamatan Bagi Pengucap La Ilaha Illallah

 Di bawah ini kami akan menukilkan beberapa hadis yang disahihkan oleh kalangan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah yang menegaskan bahwa barangsiapa mengucapkan "Lailaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah”, maka terjaminlah keselamatan jiwa, harta, serta kehormatan dirinya (di antara masyarakat Muslim).

 Kami hendak menukilkan di sini demi menyadarkan sebagian orang yang lalai dan memberikan pengertian kepada mereka yang tidak mengerti. Juga agar diketahui bahwa keadaan kaum Muslim tidaklah seperti yang diwakili dan digambarkan oleh kautn pendengki dan pendendam yang hendak membangkitkan kerhbali 'ashabiyah jahiliyah. Mereka itulah yang telah mencerai-beraikan persatuan, dan kesatuan umat dan menyalakan api pertikaian dan fitnah di antara sesama mereka, sehingga mereka terpecah-belah dan bergolong-golongan, saling mengkafirkan dan saling berlepas tangan, tanpa sebab yang masuk akal. Semua itu semata:mata karena bujuk rayu setan, atau embusan tipu daya manusia-mahusia iblis yang ternyata lebih jahat dan lebih keji terhadap Islam daripada keturunan si wanita "pemakan hati."* Padahal masa sekarang adalah era ilmu, era keadilan dan kebenaran, era pencerahan yang seharusnya membuat orang meneliti hakikat segala sesuatu dengan pikiran kritis dan terbuka, meninggalkari kepicikan dan kefanatikan buta, lalu kembali berpegang teguh kepada Kitab Allah yang suci serta Sunnah Nabi-Nya yang mulia.

 Nah, di bawah ini, beberapa hadis Nabi SAWW yang kami maksud:

 Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadis dari Ibn Abbas r.a., bahwa Rasulullah SAWW pernah berpesan kepada Mu'adz bin Jabal ketika mengutusnya sebagai gubernur ke negeri Yaman:

 Engkau akan mendatangi suatu kelompok dari Ahlul-Kitab, maka ajaklah mereka bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Jika mereka bersedia mengikutimu dalam hal itu, beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari semalam. Apabila mereka menerimanya, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka, untuk diberikan kepada kaum fakir-miskin di kalangan mereka. Jika mereka bersedia mematuhimu, berhati-hatilah, janganlah engkau menyengaja mengambil dari milik mereka yang paling berharga.[1]

 Perhatikanlah, betapa Nabi SAWW menetapkan keislaman mereka semata-mata dengan kepatuhan mereka kepada Mu'adz (utusan beliau) dalam hal-hal tersebut. Sedemikian sehingga dengan itu terjaminlah keselamatah harta-harta mereka, dan lebih-lebih lagi kehormatan diri serta nyawa mereka, seperti halnya anggota-anggota masyarakat Muslim lainnya.

 Dalam Shahih Muslim, juz II, bab "Fadha`il (Keutamaan-keutamaan) Ali a.s.", juga disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:[2]

 Sungguh akan kuberikan panji ini kepada seorang lelaki yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya (dalam riwayat lain, yang juga tercantum dalam kitab-kitab Shahih, beliau menambahkan: . . . dan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya), yang ditangannya Allah akan menurunkan kemenangan bagi kaum Muslim.

 Berkata Umar bin Khaththab r.a.: "Aku tidak pernah berambisi untuk memperoleh kepemimpinan kecuali hari itu. Aku pun sungguh-sungguh berupaya agar dipanggil untuk tugas itu!" Kemudian ia berkata: "Lalu Rasulullah SAWW memanggil Ali bin Abi Thalib dan menyerahkan panji itu kepadanya seraya berpesan: “Berangkatlah, dan jangan menoleh ke belakang!" Kata perawi hadis itu: Maka Ali segera berangkat, tetapi beberapa langkah kemudian, ia berhenti dan — tanpa menoleh ke belakang — ia berteriak: "Ya Rasulullah, atas dasar apa aku harus memerangi mereka?" Jawab Nabi SAWW: "Perangilah mereka sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah melakukannya, haramlah bagimu darah mereka."

 Bukhari dan Muslim, dalatn kitab Shahih-nya. meriwayatkan dari Usamah bin Zaid, yang berkata: Kami diutus Rasulullah SAWW ke suatu tempat bernama Harqah. Kami langsung menyerbu mereka di waktu pagi, dan kami kalahkan mereka. Kemudian aku dan seorang dari kaum Anshar mengejar seorang laki-laki dari mereka. Ketika kami sampai kepadanya, ia berucap: La ilaha illa Allah. Mendengar itu, temanku, si orang Anshar, segera berhenti dan membiarkannya. Tetapi aku langsung menikamnya dengan tombakku sehingga ia mati. Ketika hal ini kemudian diketahui Nabi SAWW, beliau berkata kepadaku: Hai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan "La ilaha illa Allah"? Jawabku: Ya, karena ia sekadar berlindung saja. (Kata Usamah selanjutnya: Rasulullah SAWW tak henti-hentinya mengulangi pertanyaan itu, sehingga aku berharap alangkah baiknya seandainya aku belum menjadi Muslim sebelum peristiwa hari itu).

 Tentunya Usamah tidak akan berangan-angan seperti itu, seandainya ia tidak merasa sangat khawatir bahwa semua amalan yang telah dikerjakan sebelum peristiwa ini (baik yang berupa keimanannya, persahabatannya dengan Rasulullah SAWW, shalatnya, puasanya, zakatnya, hajinya, dan lain-lain) semua itu tidak akan mampu menghapus dosa tindakan kecerobohan ini. Bahkan mungkin saja semua amal salehnya — yang bagaimanapun juga — telah terhapus dan menjadi sia-sia. Jelas bahwa ucapannya itu menunjukkan bahwa ia takut dosanya itu tak terampuni. Karenanya ia berangan-angan seandainya ia baru masuk Islam setelah peristiwa tersebut sehingga dapat tergolong dalam sabda Nabi SAWW:

Agama Islam itu menghapus semua dosa yang diperbuat sebelumnya (yakni sebelum memeluk Islam).

 Cukuplah bagi Anda hal ini sebagai dalil kuat akan kehormatan kalimat "La ilaha illa Allah" dan para pengikutnya. Jika sedemikian itu keadaan orang yang mengikrarkan syahadat hanya sekadar menghindar dari pembunuhan, maka bagaimanakah pendapat Anda mengenai orang yang bahkan sejak berupa nuthfah telah terikat dengan kalimat itu; kemudiari menyusunya bersama air susu ibunya, sehingga tulang. belulang dan dagingnya tumbuh menguat dan terbentuk bersama kalimat itu?! Kalbunya penuh dengan cahayanya. Seluruh anggota tubuhnya dipengaruhi oleh kekuatannya.

 Karena itu, hendaklah kaum keras kepala berhenti dari perbuatan mengkafirkan sesama Muslim. Hendaknya mereka takut akan kemurkaaan Allah serta kemarahan Nabi mereka (SAWW).

 Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan sanad sampai kepada Miqdad bin 'Amr, bahwasanya ia pemah bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda seandainya aku berperang dengan orang-orang kafir. Lalu aku berkelahi dengan seorang dari mereka dan ia memukul salah satu tanganku dengan pedang sehingga terputus, kemudian ia menghindar dariku dan berlindung di balik pohon seraya berucap: "Aslamtu lillah." (Aku Islam kepada Allah). Bolehlah aku membunuhnya setelah ia mengucapkan kalimat itu, ya Rasulullah? Sabda Rasul SAWW: Jangan kau bunuh ia. Apabila engkau membunuhnya juga, maka ia berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya (yakni sebagai Muslim) sedangkan engkau berada dalam kedudukannya sebelum ia mengucapkan kalimat itu (yakni sebagai kafir).

 Tidak ada susunan perkataan, dalam bahasa Arab atau lainnya, yang lebih jelas dalam menunjukkan penghargaan dan penghormatan Islam terhadap penganut-penganutnya, daripada hadis yang mulia ini. Ucapan yang bagaimanakah yang dapat menandinginya? Ditandaskan di dalamnya bahwa Miqdad, kendati tergolong dalam kelompok orang yang terdahulu memeluk Islam dan amat besar jasa-jasanya, tetapi sekiranya ia membunuh orang tadi, maka kedudukannya akan setara dengan kedudukan orang-orang kafir yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan orang yang terbunuh tersebut, akan memperoleh kedudukan yang sama dengan tokoh-tokoh besar kaum Muslim terdahulu, pahlawan-pahlawan perang Badr dan Uhud. Sungguh inilah puncak penghormatan bagi Ahlut-Tauhid sejauh yang dapat mereka bayangkan. Maka takutlah kepada Allah wahai orang-orang yang keterlaluan dalam ketegaran sikapnya!

 Al-Bukhari meriwayatkan dalam bab "Pengutusan Ali dan Khalid bin Walid ke Negeri Yaman": Seorang laki-laki berdiri seraya berkata, "Ya Rasulullah, takutlah kepada Allah! (Bertindaklah secara adil!)." Jawab Nabi SAWW: "Celakalah engkau, bukankah aku orang yang paling berhak dari penduduk bumi ini untuk takut kepada Allah?!" Mendengar itu Khalid berkata: "Ya Rasulullah, izinkan daku memenggal lehernya?" Jawab Nabi Muhammad SAWW: "Tidak, barangkali ia mengerjakan shalat."[3]

 Alangkah kuatnya hadis ini sebagai dalil untuk menghormati ibadah sembahyang dan orang-orang yang menunaikannya. Apabila adanya persangkaan bahwa seseorang mengerjakan shalat sudah cukup untuk melindunginya dari hukuman mati, padahal orang tersebut telah menyanggah dan menuduh Nabi SAWW secara terang-terangan, maka bagaimanakah kiranya kedudukan (seorang Muslim) yang senantiasa mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, mengikuti sepenuhnya sabda Rasulullah SAWW serta perilaku dan persetujuannya, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mencintai Rasulullah SAWW dan keluarganya secara tulus, mengharapkan rahmat Allah melalui syafaatnya, berpedoman pada Kitab Allah dan 'itrah Rasul-Nya, dan berpegang teguh pada kedua tali itu serta mendukung wali-Nya walaupun seandainya (wali Allah itu) adalah "pembunuh ayahnya" seraya memusuhi musuh-Nya walaupun seandainya musuh Allah itu termasuk kerabatnya sendiri.*

 Dalam bab "Al-Bai'ah wal-Ittifaq 'ala Utsman", Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang panjang. Disebutkan di dalamnya tentang peristiwa terbunuhnya Umar bin Khaththab r.a. Di antaranya, ketika Umar terluka, ia berkata kepada Ibn Abbas: "Selidikilah, siapa orang yang membunuhku?" Setelah pergi sebentar, Ibn Abbas datang kembali dari langsung berkata kepadanya: "Pembunuhmu adalah budak Mughirah." Umar bertanya: "Apakah dia si tukang pengrajin tangan?" "Ya," jawabnya. Kemudian Umar r.a. berkata: "Semoga Allah membunuhnya! Sebelum ini aku telah memperlakukannya dengan baik. Puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku melalui tangan orang yang mengaku beragama Islam. Memang, di masa lalu, engkau dan ayahmu pernah menginginkan bertambah banyaknya orang-orang 'ajam yang kafir itu di kota Madinah." Kata Ibn Abbas: "Jika Anda ingin, kami akan membunuh mereka semua." Jawab Umar: "Anda telah berkata bohong! Tak mungkin membunuh mereka setelah banyak dari mereka berbicara dengan bahasamu (yakni mengucapkan kalimat syahadat), shalat menghadap kiblatmu, dan menunaikan ibadah haji ..."

 Yang mungkin dapat dipahami dari ucapannya "puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku melalui tangan orang yang mengaku beragama Islam" — sesuai dengan riwayat yang akan Anda simak dari Ibn Qutaibah dan Ibn 'Abdil Bar — ialah bahwa Umar khawatir bahwa pembunuhnya itu seorang Muslim sehingga mungkin memperoleh ampunan dari Allah disebabkan keislamannya. Tetapi, setelah mengetahui bahwa pembunuhnya itu bukan seorang pemeluk Islam, maka kini ia yakin bahwa Allah SWT pasti akan mengambil haknya dari si pembunuh itu (yakni menghukumnya).

 Sungguh amat cukup keterangan ini sebagai petunjuk yang pasti tentang baiknya akhir kehidupan kaum Muslim secara keseluruhan.

 Kemudian, bila Anda perhatikan bagaimana Umar menyanggah ucapan Ibn Abbas dengan menyebutnya "telah berkata bohong", padahal semua orang tahu betapa tingginya kedudukan Ibn Abbas, dapatlah Anda menyadari betapa terhormatnya para pengikrar kalimat syahadatain yang mengerjakan shalat dan menunaikan haji, dari mana pun mereka berasal.

 Dalam kitab Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Qutaibah[4] (wafat tahun 370 H) menyebutkan bahwa ketika Umar r.a. diberitahu bahwa pembunuhnya adalah sahaya Mughirah bin Syu'bah, secara spontan ia berkata: "Alhamdulillah, yang membunuhku bukanlah seorang yang akan berhujah melawan aku dengan 'La ilaha illa Allah' pada Hari Kiamat kelak."

 Dalam bukunya Al-Isti'ab, Al-Hafizh Abu 'Amr Yusuf bin Abdil-Bar Al-Qurthubi, di bagian "Riwayat Hidup Umar", meriwayatkan bahwa Umar berkata kepada putranya, Abdullah: "Puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan pembunuhan atas diriku melalui tangan seorang yang akan berhujah melawan aku dengan 'La ilaha'illa Allah'."

 Coba Anda perhatikan, jika seorang yang mengucapkan "La ilaha illa Allah" membunuh Umar bin Khaththab, Khalifah kedua, dapat berhujah melawannya dengan kalimat tersebut, maka jelaslah bahwa perkara orang-orang yang tergolong Ahlut-Tauhid amatlah mudah. Demikianlah, semoga orang-orang tertentu yang kegemarannya menimbulkan perpecahan dan permusuhan dl kalangan sesama Muslim, kini bersedia menghentikan kebiasaan jelek itu, Dan semoga tokoh-tokoh yang gandrung kepada persatuan dan perdamaian umat segera meningkatkan upaya-upaya mereka. Tidakkah kita menyadari betapa bangsa-bangsa Barat sedang giat-giatnya memasang perangkap-perangkapnya untuk kita, melemparkan bom-bom mereka ke arah kita, menaungi angkasa kita dengan pesawat-pesawat terbangnya serta memenuhi lautan sekitar kita dengan armada kapal mereka untuk mengepung kita dari segala penjuru?!

 Maka apabila umat Islam tidak berpegang teguh pada tali persatuan dan kesatuan dan tidak berlindung diri kepada Allah dari akibat pertikaian ini, pastilah mereka akan menjadi orang-orang hina dina bagaikan budak-budak yang tak berdaya. Di mana saja dijumpai, mereka akan ditangkap dan dibunuh dengan sekeji-kejinya ...

 Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda:

 Aku diperintah agar memerangi manttsia sehingga mereka mengucapkan "La ilaha illa Allah". Apabila mereka telah mengucapkannya, menunaikan shalat seperti kita, menghadap arah kiblat kita, menyembelih dengan cara penyembelihan kita, maka haram bagi kita melanggar darah dan harta mereka.

 Sesudah hadis-hadis sahih ini serta nash-nash yang gamblang ini, masih adakah peluang untuk suatu keributan yang dikobarkan oleh para pengacau, atau adakah tempat bergabung bagi para pembenci keluarga Nabi SAWW? Tentu tidak, demi Tuhannya Muhammad! Agama Islam tidak bertanggung jawab sedikit pun atas provokasi-provokasi yang disebarluaskan oleh para pembuat fitnah. Perbuatan mereka itu sungguh sangat bertentangan dengan semangat serta ajaran Agama. Padahal Al-Quran menyatakan: Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir.

 Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan sanad sampai Ibn Umar r.a., diriwayatkan: Ketika berada di Mina, Rasulullah SAWW bersabda, seraya menunjuk ke arah kota Makkah: 'Tahukah kalian, negeri apakah ini?" Jawab mereka: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Maka beliau SAWW benabda: "Sesungguhnya ini adalah negeri yang disucikan. Tahukah kalian hari apakah ini?" Jawab mereka: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Sabda Rasulullah SAWW: "Sesungguhnya ini adalah hari yang disucikan. Dan tahukah kalian, bulan apakah ini?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Sabda Nabi SAWW lagi: "Bulan yang disucikan." Dan beliau melanjutkan lagi: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasmu darahmu, harta kekayaanmu dan kehormatanmu, sebagaimana kesucian hari ini, pada bulan ini, di negeri ini."

 Keenam kitab Shahih dan lainnya, penuh dengan hadis-hadis seperti ini yang telah dikenal lebih terang daripada matahari di siang hari.

 Sungguh aku tidak tahu, alasan apakah yang masih dipegangi oleh mereka yang mengandalkan kitab-kitab Shahih tersebut seraya mencukupkan diri dengan menyimpulkan hukum-hukum agama berdasarkan yang tercantum di dalamnya saja, namun kemudian mereka justru mengingkari hukum-hukumnya dan mencampakkan ajaran-ajarannya.[5] •

 * Wanita yang dimaksud ialah Hindun istri Abu Sufyan, dan ibu Muawiyah yang karena kedengkian dan permusuhannya yang sangat terhadap kaum Muslim, telah berusaha makan hati Hamzah, paman Nabi SAWW., seusai perang Uhud — penerj.

 [1] Muslim dalam kitab Shahih-nya telah mencantumkan hadis ini juga dengan sanad yang sama pula.

 [2] Juga hadis seperti itu terdapat dalam bab "Ghazwah Khaibar" (Prang Khaibar),
 dalam kitab Shahih Bukhari, juz III. Juga disebutkan dalam bab "Manaqib (Keutamaan-
 keutamaan) Ali a.s." dari kitab yang sama, juz II, dengan sedikit perubahan kata-kata.

 [3] Ahmad bin Hambal meriwayatkannya juga dari hadis Abu Sa'id Al-Khudri dalam Musnad-nya, jilid III, hal. 4. Seperti yang dinukilkan pula oleh Al-‘Asqallani dalam kitab Al-Ishabah di bagian biografi Sarhuq si Munafik, yaitu ketika ia dihadapkan untuk dibunuh, Rasulullah SAWW bertanya: "Apakah ia mengerjakah shalat?" Jawab mereka: "Hanya bila dilihat orang." Sabda Rasulullah SAWW: "Sungguh aku dilarang membunuh orang yang raenegakkan shalat!" Demikian pula yang diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam biografi 'Amir bin Abdullah bin Yasaf dalam kitab Mizan-nya dengan sanad yang dha'if, dari Anas, yang berkata: "Pemah diceritakan kepada Nabi SAWW tentang seorang laki-laki yang disebut sebagai 'Pelindung kaum Munafik'. Ketika laporan-laporan makin banyak tentang orang tersebut, akhimya Rasulullah SAWW mengizinkan mereka untuk membunuhriya. Namun segera Rasulullah SAWW bertanya lagi: 'Apakah ia shalat?' Meieka menjawab: 'Ya, tapi shalatnya itu hanya pura-pura saja.' Tetapi Rasulullah SAWW berkata: 'Sungguh aku telah dilarang membunuh orang yang menegakkan shalat'."

 Nah, jika demikian itu berkenaan dengan orang-orang munafik, yang hanya mengharapkan pujian-pujian (riya') dari shalatnya, maka bagaimanakah kiranya pendapat Anda tentang orang-orang yang senantiasa menunaikan salat dengan khusyuk serta ikhlas semata-mata karena Allah SWT?!

 * Yang dimaksud dengan "pembunuh ayahnya" ialah ayah si Muslim tersebut di atas yang senantiasa shalat, puasa, dan seterusnya. Penulis buku ini menuryuk kepada sabda Nabi SAWW berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib r.a.: Ya Allah, perwalikanlah siapa yang memperwalikannya (yakni Ali) dan musuhilah siapa yang memusuhinya — penerj.

 [4] Al-Imamah wa As-Siyasah, hal. 26.

 [5] Salah seorang dari mereka ialah Syaikh Nuh Al-Hanafi yang - kendati adanya hadis-hadis di atas dan yang serupa dengannya — namun ia tetap memfatwakan tentang kafirnya kaum Syi'ah, lalu mewajibkan memerangi mereka, menghalalkan pembunuhan terhadap mereka serta menawan anak-anak .dan wanjta-wanita mereka untuk dijadikan budak! Fatwanya berlaku baik mereka (kaum Syi'ah) telah bertobat atau belum!

 Silakan Anda membaca fatwanya itu dalam buku yang terkenal, berjudul Al-Fatawa Al-Hamidiyah, bab "Hukuman atas Orang Murtad." Kami akan menukilkan secara lengkap sesuai dengan susunan kalimatnya, di Bab XI dari buku ini. Di sana kami akan menyanggahnya dengan dalil-dalil yang pasti icrta bukti-bukti yang terang benderang. Memang, kesepuluh Bab yang sebelumnya, pada hakikatnya merupakan pendahuhian bagi penyanggahan terhadap fatwa yang amat keji itu. Kami justru menyusun buku ini demi tujuan tersebut. Hal ini mengingat bahwa sampai hari ini belum juga ada orang yang telah menunaikan kewajiban tersebut. Segala puji bagi Allah atai taufik dan hidayah-Nya.


Keterangan Para Imam Ahlul-Bayt tentang Sahnya Keislaman Ahlussunnah

 Dalam bab ini, akan dinukilkan sekelumit nash-nash Imam kami (kaum Syi'ah) tentang sahnya keislaman Ahlus-Sunnah, dan bahwa kedudukan mereka sama seperti kaum Syi'ah, dalam segala konsekuensi yang timbul akibat keislamannya itu.

 Memang, pandangan mazhab kami mengenai hal ini sungguh amat jelas. Tak seorang pun dari kami yang berpandangan adil dan moderat, meragukannya. Karena itu, kami tak merasa perlu menukilkan nash-nash itu semuanya dalam bab ini. Menurut hemat kami, tidaklah bijaksana menjelaskan sesuatu yang sudah amat jelas. Kami cukupkan sekadarnya saja, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh judul di atas.

 Al-Imam Abu Abdillah, Ja'far Ash-Shadiq a.s., berkata, sebagaimana dirawikan oleh Sufyan bin As-Samath: "Agama Islam itu ialah seperti yang tampak pada diri manusia (yakni kaum Muslim secara umum), yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji dan berpuasa di bulan Ramadhan."

 Berkata pula beliau sebagaimana dirawikan oleh Sama'ah: "Agama Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah SAWW. Atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itulah berlangsung pernikahan dan pewarisan dan atas dasar itu pula terbina kesatuan jamaah (kaum Muslim)."

 Al-Imam Abu Ja'far, Muhammad Al-Baqir a.s., berkata, seperti tercantum dalam Shahih Hamran bin A'yan: "Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan."

 Masih banyak lagi riwayat dari para imam itu yang mengandung makna-makna seperti tersebut di atas, yang tak mungkin dinukilkan semuanya. Namun kiranya cukup sekian untuk memenuhi tujuan kami dalam bab ini.?

Jaminan Masuk Surga bagi Setiap Muslim

 Di bawah ini kami sebutkan beberapa hadis yang disahihkan oleh kalangan Ahlus-Sunnah dan yang menegaskan keselamatan bagi kaum Muslim, secara umum. Hadis-hadis ini memberi jaminan surga bagi mereka semua, baik yang berasal dari kalangan Syi'ah maupun Sunnah.

 Adapun tujuannya ialah mengimbau kaum Muslim agar mau bersatu serta mengingatkan mereka tentang akibat buruk pertengkaran di antara mereka. Dan bahwa permusuhan antara mereka benar-benar merupakan tindakan kejahilan dan perbuatan sia-sia, bahkan "menimbulkan kerusakan di bumi serta penghancuran sawah ladang dan keturunan".

 Tidak syak lagi, selama Agama Islam telah menandaskan bahwa kedua kelompok itu telah memenuhi persyaratan keimanan dan bahwa kedua-duanya akan memperoleh tempat tertinggi di surga-surga, maka tidak ada lagi alasan pertengkaran di antara mereka yang dapat diterima oleh orang-orang yang bijak dan berakal sehat.

 Namun sungguh menyedihkan, ketnalangan telah menimpa kaum Muslim dengan adanya sekelompok dari mereka yang lalai akan tujuan kebaikan agama mereka dan lupa akan hadis-hadis Nabi mereka dalam kumpulan hadis Shahih. Di bawah ini kami kutipkan sebagiannya:

 Al-Bukhari[1] dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari r.a., bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAWW: 'Tunjukkan kepadaku amalan apa yang dapat memasukkan aku ke dalam surga?" Beberapa dari yang hadir bertanya: "Gerangan siapa dia?" Jawab Nabi SAWW: "la adalah seorang cerdik pandai," seraya melanjutkan sabdanya: "Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, menegakkan shalat, membayar zakat dan menghubungi sanak kerabat."

 Demikian pula Al-Bukhari meriwayatkan bahwa seorang Arab Badui datang menghampiri Nabi SAWW seraya bertanya: "Beritahukan kepadaku tentang suatu amal perbuatan; bila kulaksanakan, aku dapat masuk surga." Jawab Rasulullah SAWW: "Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, mendirikan shalat yang fardhu, mengeluarkan zakat yang wajib, serta berpuasa di bulan Ramadhan." Maka orang itu berkata: "Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, aku tidak akan berbuat lebih dari ini!" Setelah orang itu pergi, Nabi SAWW berkata: "Barangsiapa ingin melihat seorang ahli surga, lihatlah ia."

 Berdasarkan beberapa hadis dan berita lainnya, saya memperkirakan bahwa orang Badui yang dimaksud adalah Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi.[2]

 Dalam Shahih Bukhari, dengan sanad sampai Ubadah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda:

 Barangsiapa bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa (yang terjadi dengan) kalimat-Nya, yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah haq (benar) dan neraka haq, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan amalan apa pun yang telah ia perbuat.

 Juga dalam Shahih Bukhari melalui riwayat dari Junadah, disebutkan pula seperti riwayat sebelumnya, hanya ditambahkan sedikit di dalamnya, ... melalui kedelapan pintu surga, dari mana pun ia hendak memasukinya.

 Juga dalam Shahih Bukhari dari Abu Dzar r.a. yang berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah SAWW ketika beliau sedang tidur dan mengenakan baju putih. Kemudian aku mendatanginya lagi, dan beliau sudah terjaga. Maka bersabdalah beliau SAWW: Barangsiapa di antara hamba Allah yang menyebut "La ilaha illa Allah" kemudian meninggal dunia, dan ia tetap dalam keadaan ikrarnya itu, maka ia akan masuk surga. Aku bertanya: "Bagaimana kalau ia pernah berzina atau mencuri?" Jawabnya: "Walaupun ia pemah berzina atau mencuri." Tanyaku lagi: "Walaupun ia pernah berzina dan mencuri?" Jawab Rasulullah SAWW: "Ya, walaupun ia pemah berzina dan mencuri, dan betapa pun Abu Dzar tidak menyukai (ucapan ini)."

 Dalam Shahih Bukhari, melalui Abu Dzar pula disebutkan: Telah berkata Nabi SAWW kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: "Barangsiapa, di antara umatmu, meninggal dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga (atau ia tak akan masuk neraka)." Kemudian aku bertanya: "Kendatipun ia pernah berzina dan mencuri?" Jawab Nabi Muhammad SAWW: "Ya, walaupun ia pernah berbuat hal itu."

 Disebutkan di dalamnya dengan sanad dari Abu Dzar, yang berkata: Aku keluar pada suatu malam, dan kulihat Rasulullah SAWW berjalan sendirian, tidak seorang pun bersamanya. Ketika itu aku kira beliau sedang tidak ingin seseorang berjalan menyertainya. Maka aku pun berjalan di belakangnya, di bawah sinar bulan. Namun tiba-tiba beliau menoleh dan melihatku lalu bertanya: "Siapa ini?" Kujawab: "Abu Dzarl Semoga aku dijadikan penebus jiwamu."*Dan beliau memanggilku: "Hai Abu Dzar, kemarilah!" Maka aku pun berjalan bersamanya sebentar, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang banyak hartanya di dunia ini, akan menjadi orang-orang yang sedikit pahalanya, pada Hari Kiamat kelak. Kecuali siapa yang diberi Allah rezeki yang banyak lalu ia menyedekahkan dengan tangan kanan dan kirinya, dari depan dan belakangnya, serta berbuat kebaikan dengan hartanya itu." Kata Abu Dzar selanjutnya: Kemudian aku berjalan lagi sebentar bersamanya, dan beliau berkata kepadaku: "Tunggu di sini sampai aku kembali!" Lalu beliau pergi ke balik bukit berbatu sehingga aku tak dapat melihatnya. Aku pun menantinya cukup lama, sehingga kudengar beliau kembali seraya mengucapkan: "Walaupun ia mencuri dan berzina." Setelah Rasulullah tiba, aku tak sabar untuk menanyakan kepadanya: "Ya Rasulullah, semoga diriku dijadikan tebusan bagi jiwamu, siapakah gerangan yang engkau ajak bicara di balik kegelapan malam itu, padahal aku tidak mendengar seseorang berbicara kepadamu?" Jawab Nabi SAWW: "Dia itu Jibril, yang menampakkan diri padaku di balik bukit di sana, dan ia berkata: 'Beritahukanlah kepada umatmu kabar gembira, bahwa barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk surga.' Kemudian aku bertanya kepadanya: 'Ya Jibril, sekalipun ia mencuri dan berzina?' Jawabnya: 'Ya, walaupun begitu.' Tanyaku lagi: “Walaupun ia mencuri dan berzina?' 'Ya, kendatipun begitu,' jawabnya. Aku bertanya lagi: "Walaupun ia mencuri dan berzina?' Jawab Jibril: 'Ya, walaupun ia pernah minum khamr'."

 Mungkin yang dimaksud dengan zina, mencuii dan minum khamr dalam hadis di atas ialah sebagai ungkapan tentang semua dosa besar (kaba’ir). Maka maksudnya ialah barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Allah Tuhan Yang Mahaesa, ia akan masuk surga atau tidak masuk neraka, walaupun ia pernah mengerjakan dosa besar. Hal ini sesuai pula dengan hadis riwayat Ubadah, sebelum ini, yakni ucapan beliau: "... dengan amalan apa pun yang pemah ia perbuat..."

Catatan Tambahan

 Harus diketahui bahwa orang-orang Mukmin yang berbuat maksiat, kelak pada hari Kiamat, akan diazab sekadar besar-kecilnya dosa-dosa mereka, kemudian setelah itu, mereka akan beroleh kemuliaan di surga. Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') Ahlul-Bayt serta Syi'ah (para pengikut dan pendukung) mereka. Yang demikian itu sudah menjadi pengetahuan setiap orang tanpa keraguan sedikit pun.

 Oleh sebab itu, hadis-hadis yang menyatakan adanya jaminan keselamatan bagi kaum Muslim, apa pun juga amalan-amalan mereka, tidaklah berarti bahwa orang-orang yang telah berbuat maksiat dari mereka, secara mutlak tidak akan memperoleh siksaan dari Allah SWT. Tetapi, maksud yang sebenarnya ialah bahwa mereka tidak diazab secara abadi dan langgeng sebagaimana yang dialami orang-orang kafir. Oleh sebab itu, hadis-hadis ini atau yang serupa dengannya tidak boleh menjadi pegangan satu-satunya bagi mereka. Mengenai kejahatan-kejahatan mereka yang telah lalu, tidak ada sesuatu yang dapat mereka lakukan kecuali bertobat dan menyesal atau menerima azab di neraka Jahannam, sekadar yang patut mereka terima, atau adakalanya mereka mendapat ampunan dan maghfirah dari Allah SWT dan memperoleh syafaat dari para pemberi syafaat (yang beroleh izin dari-Nya).

 Tersebut dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Mu'adz bin Jabal yang berkata: Aku pernah membonceng kendaraan Rasulullah SAWW, dan jarak antara aku dengan beliau hanya bagian belakang untanya. Lalu beliau berkata kepadaku: "Hai Mu'adz!” Jawabku: "Labbaik wa Sa'daik, ya Rasulullah." Sejenak kemudian beliau berkata lagi: "Hai Mu'adz!" "Labbaik wd Sa'daik, ya Rasulullah", jawabku. Lalu beliau berkata: "Tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Aku menjawab: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Sabda beliau: "Hak Allah aias hamba-hamba-Nya ialah menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun." Kemudian setelah berjalan sebentar, beliau berkata: "Ya Mu'adz bin Jabal!" "Labbaik wa Sa'daik, ya Rasulullah," jawabku. Beliau bertanya lagi: "Tahukah engkau apakah hak hamba atas Allah jika mereka telah melakukannya?" Jawabku: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau pun melanjutkan: "Hak hamba atas Allah ialah bahwa la tidak menyiksa mereka."

 Tercantum dalam Shahih Bukhari dari 'Utbah, yang berkata: Rasulullah SAWW pernah bersabda:

 "Tak seorang hamba pun datang — pada Hari Kiamat — dengan ucapan 'La ilaha illa Allah' semata-mata demi keridhaan Allah kecuali diharamkan atasnya api neraka."

 Juga di dalamnya dari 'Utban bin Malik Al-Anshari pula, bahwa ia mengunjungi Rasulullah SAWW dan meminta agar beliau singgah ke rumahnya dan shalat di sana, karena ia ingin menjadikannya sebagai mushalla[3] Kemudian 'Utban berkata: Lalu Rasulullah SAWW berangkat dan shalat dua rakaat bersama kami dan sesudah itu kami suguhkan hidangan Harirah (tepung yang dimasak dengan susu). Berkata 'Utban selanjutnya: Sesaat kemudian, beberapa orang datang ke rumahku, lalu salah seorang dari mereka berkata: "Mana Malik bin Ad-Dukhsyun?"[4] Dan seorang lainnya berkata: "Dia adalah seorang munafik. la tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah SAWW bersabda: "Jangan berkata demikian, tidaklah kamu melihatnya telah berucap 'La ilaha illa Allah' semata-mata demi keridhaan Allah?" Jawab orang itu: "Sungguh kami sering melihatnya pergi dan berkawan dengan orang-orang munafik." Sabda Nabi SAWW selanjutnya: "Allah mengharamkan api neraka bagi siapa saja yang mengucapkan 'La ilaha illa Allah' semata-mata karena berharap ridha Allah."

 Muslim juga meriwayatkan hadis ini dalam kitab Shahih-nya dengan pelbagai saluran. Akan tetapi, akhir kalimat hadis yang diriwayatkan itu, sebagai berikut: "Bukankah ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah?" Mereka menjawab: "Ya, memang ia mengucapkan hal itu, namun tidak disertai dengan ketulusan hatinya." Maka Rasulullah SAWW bersabda: "Tiada seorang pun bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan' bahwa aku adalah Rasul Allah akan dimasukkan ke dalam api neraka atau menjadi umpannya." Anas berkata: "Hadis ini betul-betul membuatku kagum sedemikian sehingga kusuruh anakku menulisnya."

 Perhatikaniah, adakah susunan kalimat lain yang lebih jelas daripada ini yang menetapkan keselamatan bagi segenap umat yang beriman akan keesaan Allah? Adakah berita gembira yang lebih besar daripada berita bahwa surga disediakan bagi umat Islam secara keseluruhan? Sungguh mengherankan, dengan masih adanya orang yang tidak meragukan kesahihan hadis tersebut, tetapi ia tetap saja menetapkan penilaian yang berlawanan dengan petunjuk di dalamnya. Tidakkah ia ingat firman Allah:

 . . . hendaknya orang-orang yang melanggar perintah-Nya takut akan ditimpa bencana atau azab yang pedih . . . (An-Nur: 63)

 Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, dari Anas, yang berkata: Rasulullah SAWW pernab bersabda: "Allah menujukan firman-Nya kepada penghuni neraka yang paling ringan azabnya, pada hari Kiamat: 'Seandainya kau memiliki segala suatu yang ada di bumi, bersediakah engkau menebus dirimu dengan semua itu?' Maka orang itu akan berkata: 'Ya!' Allah pun akan berfirman: 'Dahulu Aku hanya menginginkan sesuatu darimu yang jauh lebih ringan dari ini, ketika engkau masih dalam sulbi Adam, yaitu agar kau tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, namun engkau mengabaikannya dan tetap menyekutukan-Ku'."

 Mungkin, yang dapat disimpulkan dari hadis ini ialah bahwa sesungguhnya orang itu diazab dengan api neraka semata-mata karena ia tidak mau kecuali menyekutukan Allah. Seandainya bukan karena hal itu, ia pasti akan selamat. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlut-Tauhid (yakni semua kaum Muslim) pasti akan selamat.

 Hadis tersebut menunjukkan pula bahwa penghuni neraka yang paling ringan azabnya ialah si musyrik. Maka dapatlah disimpulkan bahwa tidak seorang pun muwahhid (orang yang mengesakan Allah) akan berada di sana. Sebab, seandainya di sana ada seorang muwahhid, niscaya azabnya lebih ringan dari si musyrik. Tentunya hal terakhir ini bertentangan dengan kandungan hadis tersebut.[5]

 Dalam keenam kitab Shahih, Musnad Ahmad, kitab-kitab Ath-Thabrani, dan lain-lain, banyak dijumpai hadis seperti ini. Terutama dalam kelompok hadis-hadis syafaat, antara lain — seperti dalam — Shahih Bukhari dan Muslim bahwa kelak (pada Hari Kiamat) akan dikatakan kepada Nabi Muhammad SAWW: "Keluarkan dari neraka siapa yang mempunyai iman dalam kalbunya walau seberat biji sawi."

 Dan seandainya kami hendak mengetengahkan semua hadis syafaat yang mengandung kabar gembira yang amat mengagumkan, terutama yang tercantum dalam kedua kitab Shahih itu, niscaya persoalannya akan berkepanjangan. Tetapi kami hanya mengisyaratkan, agar dapat diteliti kembali oleh siapa saja yang menginginkannya. Bahkan, lebih dari yang telah dinukilkan sebelum ini, Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari 'Utsman bin 'Affan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mengetahui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah, maka ia akan masuk surga."

 Jelas sekali — menurut hadis ini — bahwa sekadar mengetahui (secara sadar) akan keesaan Allah, dapat menyebabkan seseorang masuk surga.

 Begitu juga sebuah hadis serupa, yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al-Kabir, dari 'lmran bin Hushain yang berkata: Rasulullah SAWW pemah bersabda:

 Barangsiapa mengetahui (menyadari) bahwa Allah adalah Tuhannya, dan bahwa aku adalah Nabi-Nya dengan disertai ketulusan hatinya, maka Allah akan mengharamkan tubuhnya dari jilatan api neraka.

 Riwayat-riwayat ini lebih terang-benderang daripada cahaya matahari di siang hari. Dan kesahihannya lebih dikenal daripada "api di atas gunung yang tinggi." Di dalamnya tercantum berita-berita yang menggembirakan, yang mungkin agak meringankan diri seorang Muslim dari akibat perbuatan dosa-dosa besar yang menjerumuskan.

 Nah, silakan mengkajinya kembali dalam kitab-kitab hadis Ahlus-Sunnah, agar Anda memahami betapa semua itu menetapkan surga bagi Anda maupun mereka (yakni kaum Syi'ah).[6] Semua yang telah kami sebutkan, tidaklah lebih dari serpihan sebutir biji atau setitik air dari gelombang samudera. Kami cukupkan di sini apa yang telah disebutkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya. dan diulang-ulanginya dalam beberapa bab dari kitabnya itu dengan pelbagai saluran sanad yang berbeda-beda. Kami pun tidak merasa perlu menyuguhkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Shahih lainnya, sebab dengan kadar yang kami paparkan di atas, telah cukup jelas bagaikan cahaya yang menyingsing di pagi hari.

 Lebih dari itu, kami memiliki banyak hadis shahih lainnya yang kami peroleh melalui kedua belas Imam kami:

 Diriwayatkan oleh para Imam penunjuk jalan

 Ucapan dan hadis mereka selalu dimulai dengan:

 Datuk kami (Nabi SAWW) meriwayatkan dari

 Jibril, yang menerimanya dari Allah Tuhan Maha Pencipta.

 Itulah As-Sunnah yang kedudukannya langsung setelah Al-Kitab. Dan itulah perisai yang menyelamatkan dari azab. Simaklah dari kitab Ushul Al-Kafi dan lainnya, hiadis-hadis yang mengumandangkan berita-berita gembira bagi mereka yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir. Walaupun banyak di antaranya yang mengkhususkan keterangan-keterangan di atas yang bersifat umum dengan persyaratan walayah* terhadap keluarga Rasulullah dan 'itrah-nya. yang suci. Yaitu mereka yang oleh Rasulullah SAWW dikaitkan secara langsung dengan Al-Quran, dan dijadikan panutan bagi ulul-albab, bagaikan bahtera-bahtera penyelamat apabila gelombang-gelombang fitnah dan bencana datang menerjang. Mereka itu laksana bintang-bintang penunjuk jalan apabila kegelapan kesesatan menghalangi pandangan, pintu pengampunan satu-satunya bagi siapa saja yang ingin memperolehnya atau buhul tali yang kuat erat tempat bergabung seluruh umat demi kesatuan. Maka tidak syak lagi bahwa walayah mereka merupakan bagian dari Ushul Ad-Din (pokok-pokok agama). Untuk menjelaskan hal itu, kami telah cukup banyak menyebutkan argumentasi amat kuat serta bukti-bukti yang terang benderang, baik berupa dalil-dalil 'aqliyah maupun naqliyah. Kami mempersilakan para peneliti menelaahnya dalam kitab karangan kami berjudul Sabil Al-Mu'minin yang di dalamnya telah kami jelaskan setiap jalan menuju kebenaran dan kami singkapkan dengan kekuatan logikanya setiap awan kegelapan yang menghadang. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.?

 [1] Dalam kitab Shahih Muslim terdapat banyak hadis yang serupa dengan ini. Silakan Anda pelajari pada jilid I, bab "Keimanan yang Membawa Seseorang Masuk ke dalam Surga" dan bab "Tentang Oiang yang Menghadap Tuhannya dengan Kebulatan Iman yang Mantap, Akan Dimasukkan dalam Surga dan Dihindarkan dari Api Neraka". Dan juga pada jilid yang sama ini akan Anda temukan kabar-kabar gembira yang memuaskan hati seoiang Mukmin yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir.

 [2] Dia adalah seorang kaya raya, pemurah dan mulia serta kawan bepergian para raja. Sehingga ia dijadikan contoh teladan atau perumpamaan dalam kemuliaan seperti dalam bait di bawah ini:

 Tiada tempat menggembala lebih baik daripada Sa'dan

 Tiada air lebih jernih daripada Shaddâ`

 Tiada pemuda kesatria seperti Malik

 Mengenai Malik ini akan kami nukilkan peristiwa yang terjadi padanya bersama Khalid bin Walid pada Bab VII yang akan datang.

 * Sebuah ungkapan yang biasa diucapkan oleh seseorang kepada orang lain yang sangat dicintainya — penerj.

 [3] Bagaimanakah pendapat para pengikut mazhab Wahhabi tentang isi hadis shahih ini yang
 bertentangan dengan doktrin mazhab mereka? (Yakni bahwa para sahabat meminta Nabi
 SAWW shalat di tempat itu, demi memperoleh berkahnya — penerj.).

 [4] Demikianlah yang termaktub dalam Shahih Bukhari yang naskahnya ada pada saya.
 Mungkin yang benar ialah Malik bin Dukhsyum (dengan m) bukan Dukhsyun (dengan n).
 Nama lengkapnya: Malik bin Ad-Dukhsyum bin Ghunm bin 'Auf bin 'Amr bin 'Auf,
 yaitu salah seorang yang pemah turut serta dalam peperangan Badr dan peperangan-
 peperangan sesudahnya. Dia pulalah yang menawan Suhail bin 'Amr pada peiang Badr.
 Kendatipun demikian ia dikenal tebagai seorang munafik. Hanya Allah saja yang lebih
 tahu tentang keadaannya yang sebenarnya.

 [5] Karena seorang muwahhid, dari kalangan Muslim, walaupun ia melakukan dosa terbesar pun, tidak akan mendapat siksaan sepedih orang-orang musyrik (meskipun seandainya si musyrik ini tidak melakukan dosa apa pun selain kemusyrikannya).

 [6]Karena setiap penganut mazhab Imamiyah maupun Sunnah, kedua-duanya beriman kepada Allah, membenarkan Rasulullah SAWW, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji, berpuasa di bulan Ramadhan, beriman kepada Hari Kebangkitan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, sebagumana yang disaksikan oleh perkataan dan perbuatan mereka, dan seperti yang dapat disimpulkan
 secara pasti dari buku-buku mereka, yang lama maupun yang baru, dan yang ringkas
 maupun yang terinci.

 * Yang dimakmd dengan walayah atau wilayah ialah mendukung, mencintai dan menjadikan keluarga Rasulullah sebagai wali atau pemimpin yang diikuti -- penerj.   

    

Larangan Pengkafiran terhadap Para Pengucap Syahadatain

 Di bawah ini kami ketengahkan sekelumit fatwa ulama Ahlus-Sunnah mengenai sahnya keimanan Ahlut-Tauhid secara keseluruhan dan keselamatan seinua pengucap dan pengikrar dua kalimat syahadat.

 Hal ini kami lakukan agar diketahui akan adanya keserasian antara nash dan fatwa tentangnya, dan demi mengutuhkan kembali keretakan yang telah dialami kaum Muslim. Sebab, setiap orang berakal bilamana dapat membaca nash-nash dalam buku-buku hadis yang sahih serta fatwa-fatwa para ulama yang menegaskan tentang sahnya keimanan semua Ahlut-Tauhid serta terjaminnya keselamatan bagi mereka secara keseluruhan, maka sesudah itu tidak mungkin timbul suatu perasaan yang mampu merenggangkan hubungannya dengan sesama Muslim lainnya ataupun merintanginya dari persatuan dan kesatuan.

 ... orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. (At-Taubah: 71).

 Mengapa mereka bercerai-berai dan saling mempertentangkan mazhab-mazhab mereka, padahal mereka adalah sama-sama "saudara dalam Agama"? Apa sebabnya api permusuhan membakar segala hubungan baik di antara mereka?

 Kalau saja mereka mau kembali kepada fatwa-fatwa para alim ulama mereka yang adil dan lurus, pasti mereka akan yakin dan percaya sepenuhnya bahwa masalahnya sangat bertentangan dengan omong kosong kaum penyebar fitnah. Nah, kini perhatikanlah keterangan-keterangan di bawah ini.

 Pada pasal 58 dalam kitab Al-Yawaqit wa Al-Jawahir , Asy-Sya'rani menyebutkan bahwa ia pernah melihat tulisan tangan Asy-Syaikh Syahabuddin Al-Adzra'i, penulis buku Al-Qut, sebuah pertanyaan yang disampaikannya kepada Syaikh Al-Islam Taqiyuddin As-Subki, sebagai berikut: "Bagaimanakah pandangan paduka yang mulia Syaikh Al-Islam tentang perbuatan melontarkan tuduhan sebagai 'kafir' terhadap para ahli bid'ah (dalam hal akidah)?"

 Kemudian datanglah jawaban (dari As-Subki) kepadanya: "Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa keberanian mengkafirkan orang-orang yang beriman[1] adalah sesuatu yang amat serius. Setiap orang yang menyimpan keimanan dalam kalbunya, akan merasa sangat takut melontarkan ucapan pengkafiran terhadap para ahli bid'ah itu, sementara telah mengikrarkan kalimat La ilaha illa Allah Muhammad Rasul Allah. Sungguh, pengkafiran adalah perkara yang amat serius dan sangat berbahaya...," demikian seterusnya sampai akhir keterangannya yang panjang lebar serta sangat mengkhawatirkan akibat pengkafiran yang sangat buruk itu.

 Bacalah Al-Yawaqit wa Al-Jawâhir buah karya Asy-Sya'rani tersebut. Kitab itu telah memikil jawaban terinci yang disampaikan oleh As-Subki yang pada akhirnya ia mengingatkan: "Maka demi menjaga adab dan sikap lurus, setiap prang Mukmin hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan raengkafirkan siapa pun dari para ahli bid'ah itu, kecuali apabila mereka secara terang-terangan berlawanan dengan nash-nash yang jelas dan pasti dan yang tidak mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan."

 Begitulah jawabannya. Tak diragukan lagi, bahwa ia hanya dapat membenarkan tindakan pengkafiran, semata-mata terhadap orang yang menyimpang dari nash-nash yang amat jelas dan tergolong ma'lum min ad-din bi adh-dharurah (sesuatu yang secara pasti diketahui sebagai bagian tak terpisahkan dari Agama). Itu pun jika penyimpangannya itu berdasarkan sikap kepala batu serta pengingkaran terang-terangan.

 Dengan fatwanya ini, As-Subki telah meremukkan tulang punggung para penyebar berita-berita bohong, menyumbat mulut-mulut berdosa orang yang "sok pintar" dan membuyarkan impian orang-orang yang ingin memecah-belah kesatuan kaum Muslim.

 Dalam kitab Ath-Thabaqat karya Asy-Sya'rani, halaman 10, disebutkan: Yang mulia Syaikh Al-Islam Taqiyuddin As-Subki pernah ditanya tentang hukum pengkafiran orang-orang ahli bid'ah yang ekstrem serta mereka yang hobinya memperbincangkan sifat dan zat Allah SWT yang Mahasuci. Beliau r.a. menjawab: "Ketahuilah, bahwa setiap orang-orang yang takut kepada Allah SWT niscaya menganggap pengkafiran terhadap orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah sebagai tuduhan yang amat besar dosanya!" Kemudian Asy-Sya'rani mengutip jawaban As-Subki selanjutnya yang pada penutupnya ia berkata: ". . . maka hukum pengkafiran hanyalah boleh ditujukan kepada orang yang mengingkari dua kalimat syahadat dan keluar dari agama Islam secara keseluruhan ..."

 Pada hemat saya, adanya beberapa perbedaan dalam kedua pertanyaan dan jawaban di atas menunjukkan bahwa memang telah terjadi dua kali pertanyaan dan dua kali jawaban, seperti tampak jelas dalam susunan kalimatnya.

 Jelas sekali, bahwa Imam besar ini membatasi dibolehkannya pengkafiran hanya terhadap orang yang secara terang-terangan mengingkari dua kalimat syahadat. Jelas pula bahwa ia tidak menyetujui adanya pengkafiran terhadap kaum Muslim walaupun yang tergolong ahli bid'ah atau yang mempunyai kebiasaan memperbincangkan sifat dan zat Allah Yang Maha Suci.

 Nah, setelah penjelasan ini, masihkah kita perlu mempedulikan omong kosong orang-orang yang memang sengaja hendak mengobarkan api permusuhan atau para pembuat fitnah? Jika seperti itu penilaian Imam tersebut terhadap orang-orang yang gemar memperbincangkan sifat dan zat Allah SWT, betapa pula kira-kira penilaiannya terhadap orang-orang Muslim yang ".. . biasa bertobat, beriman, beramal saleh kemudian beroleh hidayah .. ."?

 Berkata Asy-Syaikh Ibn Arabiy pada bab "Wasiat" dalam bukunya Al-Futuhat Al-Makkiyah: "Jauhkanlah dirimu dari memusuhi para pengikrar 'La ilaha illa Allah'. Mereka itu memiliki kedudukan walayah 'ammah (perwalian umum) dan mereka adalah wali-wali (kekasih) Allah. Kalau pun mereka pernah bersalah dan datang menghadap Allah dengan dosa-dosa sebanyak isi bumi, sementara mereka tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka Allah SWT akan menyambut mereka dengan ampunan dan maghfirah sebayyak itu pula.[2] Dan barangsiapa telah memiliki kedudukan walayah, haram memeranginya." (Demikian ucapannya seterusnya sampai ia ber kata): "Apabila salah seorang dari kamu berbuat suatu dosa yang diancamkan oleh Allah dengan api neraka, maka hendaknya ia menghapusnya dengan kalimat Tauhid. Sungguh, kalimat Tauhid pasti akan menyelamatkan orang yang mengikrarkannya."

 Demikianlah ucapannya. Seperti yang Anda lihat, dengan ucapannya itu, Ibn Arabiy telah menetapkan walayah (kewalian) bagi semua Ahlut-Tauhid. Juga penggembiraannya dengan ampunan bagi orang-orang yang melakukan kesalahan atau dosa, di samping pernyataannya bahwa Tauhid menghapus dosa-dosa besar dan menyelamatkan pengikrarnya. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

 Sayyid Rasyid Ridha, dalam majalah Al-Manar (jilid 17, halaman 44) mengatakan: "Sesungguhnya malapetaka paling hebat yang menimpa firqah-firqah (kelompok-kelompok) Islam ialah kebiasaan saling melontarkan tuduhan kefasikan dan kekafiran di kalangan mereka. Padahal tujuan dari semua firqah itu ialah demi mencapai kebenaran yang mereka perjuangkan dengan segala upaya sungguh-sungguh dalam mendukung, menghayati dan menyeru kepadanya. Maka seorang mujtahid (yakni yang telah berdaya upaya secara tulus untuk mencapai kebenaran) akan terampuni apabila ia bersalah ..."

 Demikianlah uraiannya yang panjang mengenai hal ini sehingga mencapai halaman 50 dari majalahnya itu. Silakan menelitinya kembali.

 Dan berkatalah An-Nabhani dari Beirut dalam permulaan bukunya Syawahid Al-Haq:[3] "Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak ber-i'tiqad dan tidak membenarkan pengkafiran terhadap salah seorang dari kaum Muslim, baik golongan Wahhabi ataupun yang lainnya. Mereka semuanya adalah Muslim yang disatu-padukan dengan Muslim lainnya oleh kalimat Tauhid dan keimanan kepada Nabi Muhammad SAWW serta ketetapan-ketetapan yang disyariatkan dalam agama Islam . . . dan seterusnya."

 Asy-Sya'rani dalam kitab Al-Yawaqit wa Al-Jawahir, jilid II, telah menulis dalam pembahasan yang ke-58 secara panjang lebar tentang sahnya iman setiap Muslim yang melakukan shalat menghadap kiblat. Pada akhir tulisan itu ia berkata: ". .. Telah Anda ketahui, wahai saudaraku, dari pernyataan kami dalam pembahasan ini, bahwa seluruh ulama yang bertanggung jawab senantiasa menahan diri dari menujukan pengkafiran kepada siapa pun di antara Ahlul-Qiblah (yakni kaum Muslim).

 Dinukilkan oleh sekelompok besar tokoh terkemuka Muslim, di antaranya Asy-Sya'rani dalam pembahasan yang tersebut di atas, dari Abu Al-Mahasin Ar-Rauyani dan lainnya dari ulama-ulama Baghdad semuanya, bahwa mereka mengatakan: "Tidak dibenarkan mengkafirkan (mencap sebagai kafir) seorang di antara penganut mazhab-mazhab Islam, mengingat bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: Barangsiapa menunaikan salat seperti kita, menghadap kiblat kita, makan daging sembelihan kita, maka berlakulah hak dan kewajiban atasnya seperti kita.

 Dalam bab-bab yang lalu telah kami sebutkan tentang sejumlah nash yang mengandung makna tersebut. Kitab-kitab kumpulan hadis sahih cukup sarat dengannya. Silakan menelitinya kembali. Syaikh Abu Tahir Al-Qazwini dalam kitabnya Siraj Al-'Uqul telah melampaui para penulis lainnya dengan menetapkan keislaman setiap orang per orang yang termasuk Ahlul-Qiblat serta memastikan keselamatan bagi semua golongan (firqah) Islam. Untuk itu, ia menakwilkan hadis yang masyhur yang mengatakan: "Akan terpecah-pecah umatku menjadi 73 golongan, satu golongan di antaranya yang selamat dan sisanya masuk neraka." Berkenaan dengan itu ia berkata bahwa dalam beberapa riwayat dan saluran, teks hadis tersebut berbunyi: ". . . semuanya di surga kecuali satu firqah”.[4]

 Selanjutnya, Al-Qazwini dalam pembahasannya itu telah menetapkan (mengabsahkan) keimanan setiap orang yang mengikrarkan syahadatain dengan tulus, termasuk dari kelompok-kelompok menyimpang serta golongan ahli bid'ah, seperti golongan Mu'tazilah, An-Najariah, Rawafidh,[5] Khawarij, Musyabbihah, dan sebagainya. la juga menilai bahwa mereka menetapkan semua akan beroleh keselamatan pada Hari Kiamat, kelak. la juga telah menukilkan dari mayoritas ulama dan para khalifah sejak masa para Sahabat sampai masa hidupnya sendiri, tentang keislaman mereka semuanya. la berkata: Mereka tergolong Ahl Ijabah (yakni orang-orang yang memenuhi seruan dakwah Nabi SAWW). Maka barangsiapa berani mengkafirkan mereka, berarti ia betul-betul telah berbuat zalim dan melewati batas ..." Demikian sampai akhir ucapannya sebagaimana telah disampaikan kepada kami oleh sebagian dari guru-guru kami secara langsung dari kitab Siraj Al-'Uqul. Asy-Sya'rani secara lengkap membentangkannya dalam pembahasan ke-58 dari Yawaqit-nya. yang merupakan kutipan dari kitab itu juga. Silakan menelitinya.

 Berkata Ibn Taimiyah pada permulaap risalah "Al-Istighatsah", yaitu risalah ke-12 dari kumpulan Ar-Rasail Al-Kubra, halaman 470, juz I, yang isinya demikian: Ahlus-Sunnah wal Jamaah sepakat bahwa Rasulullah SAWW akan memberikan syafaat bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar (al-kaba-ir), dan tidak seorang pun dari Ahlut-Tauhid akan kekal dalam neraka.[6]

 Berkata Ibn Hazm, ketika membahas mengenai orang yang boleh dikafirkan (dicap sebagai kafir) dan yang tidak berhak dikafirkan dalam kitab Al-Fishal fi Al-Ahwa' wa Al-Milal wa An-Nihal, halaman 247, di akhir jilid III, seperti berikut: "Ada sekelompok (ulama) berpendapat bahwa tidak boleh dikafirkan atau difasikkan seorang Muslim hanya karena ucapannya yang berkaitan dengan salah satu aspek akidah atau fatwa yang dikeluarkannya. Dan bahwa setiap orang yang mempunyai pendapat tertentu berdasarkan ijtihadnya lalu ia melaksanakan hasil ijtihadnya yang dianggapnya benar (haq) maka ia akan memperoleh pahala. Jika hasil ijtihadnya itu benar, ia akan memperoleh dua pahala. Tetapi jika salah, ia akan memperoleh satu pahala saja."

 Kemudian Ibn Hazm melanjutkan: "Demikianlah pendapat Ibn Abi Laila, Abu Hanifah, Syafi'i, Sufyan Ats-Tsauri dan Dawud bin Ali. Dan seperti itu pula pendapat para Sahabat yang kami ketahui mempunyai pendapat dalam masalah ini, tak ada pendapat lain selain itu."

 Demikianlah, fatwa yang datangnya dari para imam itu seyogianya menghentikan keributan yang selalu dibangkitkan oleh para perusuh. Hal ini mengingat bahwa lawan-lawan pendapat mereka (dari kelompok Syi'ah) yang juga tergolong Ahlul-Qiblah, tidak pernah mengatakan suatu pendapat atau ber-i'tiqad tentang sesuatu, kecuali setelah mereka berijtihad secara sempuma, memeras tenaga dan pikiran sejauh kemampuan, demi menyimpulkan (istimbath) hukumnya dari Al-Quran, As-Sunnah dan ucapan-ucapan para imam dari keluarga Muhammad SAWW Dan mereka tidak pernah mengerjakan sesuatu kecuali yang mereka ketahui dan yakini bahwa itulah yang haq dan inti kebenaran. Dan berdasarkan kesimpulan dan penilaian para tokoh tersebut di atas (yang merupakan imam-imam kalangan salaf dan khalaf) maka mereka (kaum Syi'ah) tetap mendapat pahala, baik hasil ijtihad mereka benar ataupun salah. Sungguh hal itu berlawanan dengan ulah sebagian orang yang gemar mengkafirkan kaum Mukmin dan selalu berkeras hati untuk memecah belah persatuan dan kesatuan kaum Muslim.

 Ahmad bin Zahir As-Sarkhasi, yang tergolong sahabat utama Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari (sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Sya'rani di akhir pembahasan ke-58 dalam Yawaqit-nya), berkata: Ketika Asy-Syaikh Abu Al-Hasan Al-Asy'ari sedang menjalani detik-detik terakhir dari hidupnya di rumahku di Baghdad, beliau menyuruhku mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Ketika mereka telah berkumpul, ia berkata: "Saksikanlah bahwa aku tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslim (ahlul-qiblat) hanya karena suatu dosa yang dilakukannya. Sebab, mereka semuanya menunjuk kepada Al-Ma'bud yang satu, yakni Allah Tuhan Yang Mahaesa; sedangkan agama Islam meliputi mereka semuanya."

 Demikianlah ucapan Imam utama kalangan Ahlus-Sunnah. Cukuplah ini menjadi hujjah yang membatalkan ucapan-ucapan kaum tak bertanggungjawab.

 Amat sering pula kita mendengar ucapan Imam Asy-Syafi'i tentang terlarangnya pengkafiran terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dan ahli bid'ah, selama mereka masih tergolong Ahlul-Qtblat. Salah satu ucapannya tentang hal ini (seperti dalam bagian penutup kitab Ash-Shawa’iq: "Aku bersedia menerima kesaksian para ahli bid'ah kecuali kelompok Al-Khattabiyah."[7]

 Telah berkata Syaikh Al-Islam Al-Makhzumi (Seperti dikutip oleh Asy-Sya'rani dalam pembahasan ke-58 dari kitab Yawaqit-nya): Imam Syafi'i, dalam Risalah-nya., telah menandaskan penolakannya terhadap pengkafiran ahli bid'ah. Tentang ini ia berkata: "Aku tidak akan mengkafirkan ahli bid'ah hanya karena suatu dosa yang mereka lakukan." Dan menurut riwayat lainnya ia pernah berkata: "Aku tidak akan mengkafirkan seseorang dari kaum Muslim (Ahlul-Qiblat) karena dosa yang diperbuatnya." Dalam riwayat lainnya lagi ia berkata: "Aku takkan mencap para ahli takwil yang berlawanan dengan makna yang zhahir, sebagai orang kafir, hanya lantaran dosanya."

 Para pengikut mazhab Syafi'i telah sepakat untuk tidak mencap kaum Khawarij sebagai orang-orang kafir. Dalam usaha pembenaran atas sikap ini disebutkan bahwa mereka (kaum Khawarij) telah melakukan penakwilan (usaha penafsiran) namun keliru dalam penyimpulan. Oleh sebab itu, pehdirian mereka masih mengandung kesamaran (syubhat) tertentu sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai batil secara gath'iy (pasti). Keterangah seperti ini dapat dibaca pada bagian penutup kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah.[8]

 Al-Allamah ibn Abidin pada bab "Kemurtadan" dalam kitab Radd Al-Mukhtar, berkata sebagai berikut: "Tersebut dalam kitab Fath Al-Qadir bahwa kaum Khawarij, yang menghalalkan darah dan harta kaum Muslim serta mengkafirkan para Sahabat, maka menurut jumhur al-fuqaha (mayoritas ahli fiqih) dan ahli hadis, ditetapkan hukum mereka sebagai bughat."[9]

 Kata Ibn Abidin selanjutnya: "Sebagian ahli hadis berpendapat bahwa mereka (kaum Khawarij) adalah orang-orang murtad." Tetapi Al-Munzir berkata: "Aku tidak pernah mengetahui seorang pun yang setuju dengan para ahli hadis yang mengkafirkan mereka itu." Katanya lagi: "Berdasarkan ini, dapatlah dikatakan adanya ijma' fugaha tentang tidak diperkenankannya pengkafiran terhadap kaum Khawarij."

 Demikian itulah, kendatipun Rasulullah SAWW telah menandaskan bahwa sesungguhnya mereka itu telah keluar dari agama laksana melesatnya anak panah dari busumya. Dan bahwa mereka adalah makhluk terjahat seluruh jagat ini. Dan bahwa mereka itu tidak memiliki kaitan apa pun dengan Allah SWT. Dan bahwa orang yang membunuh mereka atau mati dibunuh oleh mereka akan memperoleh thuba (yakni nama surga atau keberuntungan amat besar).

 Nah, jika orang-orang (Khawarij) yang sifat-sifatnya seperti itu tetap dianggap sebagai Muslim, secara ijma', maka bagaimana kiranya peniaian Anda tentang orang "yang masuk lewat pintu pengampunan, ikut berlayar di atas bahtera-bahtera penyelamat, berpegang teguh pada tali Allah, mengikuti ats-tsaqalain (yakni Al-Quran dan keluarga Rasul-ullah), memasuki kota ilmu melalui pintunya dan berlindung kepada jaminan keamanan umat dari perselisihan dan pertengkaran."*

 Dan jika orang-orang Khawarij itu dianggap tetap tergolong kaum Muslim, maka siapakah selain mereka dari Ahlul-Qiblat (umat Islam) yang bisa dicap sebagai kafir? Dan pengikut aliran yang manakah di antara kaum Muslim yang tidak memiliki syubhat (kesamaran dalam pendiriannya antara sesat dan tidak) seperti syubhat-nya kaum Khawarij?!

 Pemah kubaca keterangan yang serupa dan semakna seperti di atas, yang ditulis oleh salah seorang pemuka kalangan Hanafiyah, Muhammad Amin, yang lebih dikenal dengan nama Ibn 'Abidin, pada pasal "Orang murtad", dari bab "Jihad", halaman 302, jilid III, kitab Radd Al-Mukhtar. Di dalamnya ia menandaskan, tanpa keraguan sedikit pun, tentang masih tetapnya keislaman orang yang mencaci-maki para Sahabat berdasarkan penakwilan (atau ijtihad)-nya. Secara terang-terangan ia menyatakan bahwa pendapat yang membolehkan pengkafiran orang-orang yang bertakwil itu adalah pendapat yang berlawanan dengan ijma' fugaha dan tidak sesuai sama sekali dengan keterangan-keterangan fuqaha itu dalam kitab-kitab mereka. Dan bahwa pengkafiran terhadap mereka itu, kalau pun ada, maka hal itu datangnya dari para pengikut suatu mazhab, bukan dari tokoh-tokoh besar fuqaha yang disebut sebagai para mujtahid.

 Kata Ibn 'Abidin selanjutnya: "Apa yang dinukilkan dari para tokoh fugaha ialah seperti yang telah kami sebutkan di atas. Adapun pendapat dari selain fugaha, tidak terlalu penting untuk dihiraukan . . . dan seterusnya."

 Keterangan tentang hal itu cukup luas memuat dalil-dalil serta contoh-contoh yang sangat memuaskan bagi siapa saja yang membacanya.

 Di samping itu, Ibn 'Abidin juga pernah membahas masalah ini dengan cara yang lebih ringkas daripada yang telah disebutkan di atas. Bagi mereka yang berkepentingan, silakan membacanya dalam kitabnya yang lain, yakni Tanbih Al-Wulat wa Al-Hukkam. Meskipun demikian, pembahasannya dalam kitabnya, Radd Al-Mukhtar, lebih memuaskan bagi para ulama peneliti.

 Al-Allamah Al-Mulla 'Ali Al-Qari Al-Hanafi telah menyusun sebuah makalah yang menyanggah pendapat orang-orang yang mengkafirkan para penakwil itu, sebagaimana telah ditandaskan oleh Ibn 'Abidin pada keterangan yang lalu.

 Ibn Hazm dalaiji kitabnya Al-Fishal, pada bagian akhir jilid III, halaman 257, berkata sebagai berikut: "Adapun orang yang mencerca salah seorang dari para Sahabat (semoga ridha Allah terlimpah atas mereka); jika ia seorang bodoh mengenai hal itu, maka ia dapat dimaklumi (dimaafkan). Tetapi, jika ia sudah diberitahu dengan dalil yang cukup namun ia terus saja melakukan pencercaan, tanpa sikap raelawan Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah seorang fasik, seperti orang yang berzina atau mencuri. Tetapi, sekiranya ia sengaja melawan Allah dan Rasul-Nya dalam hal itu, maka ia adalah seorang kafir."

 Selanjutnya Ibn Hazm berkata: "Umar bin Khaththab r.a. pernah berucap di hadapan Nabi Muhammad SAWW mengenai pribadi Hatib (seorang dari kalangan Muhajirin dan pemah mengikuti perang Badr): 'Biarkan aku memenggal leher orang munafik ini!' Dengan ucapan mengkafirkan Hatib ini, Umar tidak bisa dianggap telah kafir, tetapi dalam hal ini ia dinilai sebagai tersalah dalam penakwilan (pemahaman)-nya."

 Menurut hematku, Ibn Hazm hendak menjelaskan bahwa pokok masalah dalam hal pengkafiran ini ialah sikap menentang Allah dan Rasul-Nya. Sikap seperti ini tak mungkin terwujud pada orang yang menjadikan Islam sebagai Agamanya.

 Walaupun demikian, memang adakalanya si pencaci itu seorang jahil atau diliputi syubhat (keraguan) yang mendorongnya melakukan pencacian itu (semoga Allah melindungi kita). Dalam keadaan seperti itu tentunya dapat dimaklumi dan dimaafkan kesalahannya itu.

 Masih ada lagi dalil lain yang menunjukkan tidak kafirnya seorang Muslim yang melakukan pencercaan seperti itu. Yakni hadis-hadis Nabi SAWW yang menetapkan keislaman seseorang, tanpa menyinggung soal pencercaan tersebut, sebagaimana telah Anda baca pada Bab-bab II, III, IV dan V dalam buku ini.

 Sebagai tambahan, dapatlah disebutkan pula sebuah hadis yang disampaikan oleh Al-Qadhi 'lyadh dalam bukunya Asy-Syifa (Bab I, Pasal IV) dan dinukilkan dari Al-Qadhi Ismail dan beberapa tokoh ulama lainnya, bahwa seorang laki-laki mencerca Abu Bakar r.a. di hadapannya. Maka berkatalah Abu Barzah Al-Aslami: "Wahai Khalifah, perkenankanlah aku memenggal lehernya. Namun Abu Bakar berkata kepadanya: 'Duduklah, hal itu tidak berlaku untuk siapa pun kecuali (cercaan) yang ditujukan kepada Rasulullah SAWW'"[10]

 Dalam kitab Asy-Syifa disebutkan puk bahwa seorang pejabat Umar bin Abdul-Aziz di Kufah meminta pertimbangannya untuk menjatuhkan hukuman mati atas seorang laki-laki yang telah mencerca Umar r.a. Maka melalui surat yang dikirimnya, Umar bin Abdul-Aziz menulis kepadanya: "Tidak dihalalkan membunuh seorang Muslim hanya karena ia mencerca seseorang, kecuali orang yang mencerca Rasulullah SAWW Barangsiapa mencerca beliau, maka dihalalkan darahnya."

 Nah, rupa-rupanya pembicaraan kita telah menyimpang dari yang dimaksudkan sebenamya. Padahal tujuan utamanya tak lain kecuali mendekatkan antara sesama kaum Muslim serta mengingatkan bahwa mereka adalah saudara dalam agama. Kami tak sedikit pun meragukan bahwa mencerca siapa pun di antara kaum Mukmin dapat mendatangkan kebinasaan dan kefasikan. Apalagi bila cercaan itu ditujukan kepada seseorang dari salaf (para pendahulu) kita yang saleh dari kalangan Sahabat dan Tabi'in. Sedangkan Rasulullah SAWW telah bersabda: "Mencerca seorang Mukmin adalah bagian dari kefasikan dtm membunuhnya adalah bagian dari kekufuran."

 Kini, marilah kita kembali kepada topik pembicaraan semula. Telah dikutip oleh Ali bin Hazm Azh-Zhahiri (lebih dikenal dengan nama Ibn Hazm) dari sejumlah tokoh mazhab Al-Asy'ari, pendapat-pendapat mereka yang mehgarah kepada tidak dibenarkannya pengkafiran kepada siapa pun. Perhatikanlah ucapan (Ibn Hazm) dalam rangka kecamaiinya yang keras terhadap kaum Murji`ah, dalam bukunya, Al-Fishal, jilid IV, halaman 206, sebagai berikut: "Adapun kaum Asy'ariyah, mereka mengatakan bahwa pencercaan yang dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai Muslim, terhadap Allah dan Rasulullah, walaupun dengan cercaan yang paling keji sekali pun serta mendustakan Allah dan Rasul-Nya secara terang-terangan, tanpa ditutupi, tanpa pernyataan: 'telah mendengarnya dari orang lain,' atau bahkan mengakui bahwa itu dilakukannya dengan penuh kesadaran; semua itu tidak termasuk kekafiran."

 Dalam kitab Al-Fishal pula pada jilid yang sama, halaman 204, Ibn Hazm menisbahkan kepada Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari dan para muridnya, bahwa mereka berpendapat "Iman itu adalah akad dalam hati walaupun (orang itu) mengumumkan kekafiran dengan ucapannya — tanpa tagiyah (yakni bukan karena terdorong oleh rasa takut) — dan walaupun ia menyembah berhala atau menganut paham Yahudi atau Nasrani, sedangkan ia hidup di negara Islam, atau ia menyembah salib dan menyatakan menganut paham trinitas, sedangkan ia hidup di negara Islam. Seandainya ia melakukan itu semua seraya mengikrarkan keimanan di dalam hatinya, maka ia adalah seorang Mukmin yang sempurna keimannannya di sisi Allah dan termasuk ahli surga."

 Jelas, kalau pendapat seperti tersebut di atas memang benar berasal dari Al-Imam Al-Asy'ari dan para pengikutnya — sedangkan mereka itu merupakan keseluruhan dari saudara-saudara kami, Ahlus-Sunnah, di masa sekarang — maka masalah yang sedang kita perbincangkan ini menjadi mudah dan ringan. Apabila mereka, karena im, tidak dapat mengkafirkan orang yang mengucapkan kekufuran secara terang-terangan, maka betapa pula mereka dapat mengkafirkan orang yang hati sanubarinya penuh dengan pengkudusan (taqdis) terhadap Allah Azza wa Jalla, jiwanya terpaut erat dengan pensucian terhadap-Nya, pembuluh-pembuluh darahnya bergetar dengan tasbih kepada-Nya, dagingnya tumbuh dan tulangnya mengeras dalam pengesaan (tauhid) kepada-Nya, otak dan darahnya bercampur dengan iman yang mengalir dalam semua unsur yang membentuk dirinya, sedemikian sehingga lidahnya bersaksi atas semua itu, anggota-anggota tubuhnya patuh merunduk, gerak dan diamnya mengakuinya sepenuhnya, seraya beriman kepada Rasul-Nya, yakin seyakinnya bahwa semua yang diajarkan olehnya benar-benar datang dari Allah, maka ia menghidupkan apa yang dihidupkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah dan mematikan apa yang dimatikan oleh kedua-duanya?!

 Tetapi sungguh menyedihkan, bahwa kita (kaum Muslim) diuji dengan adanya manusia-manusia yang tekadnya hanya memecah belah kaum Muslim dan kegemarannya hanya menyebar permusuhan di kalangan kaum muwahhidin, seraya (. . . mereka menduga bahwa yang dilakukannya itu adalah perbuatan baik . . . [Al-Kahfi: 104] . . . akan tetapi sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang berbuat kerusakan, namun mereka tidak menyadarinya ... [Al-Baqarah: 12]).

 Berkata Al-Auza'i: "Demi Allah, seandainya tubuhku digergaji sekali pun, aku takkan mengucapkan pengkafiran terhadap para pengucap syahadatain."

 Ibn Sirin berkata: "Seluruh ahli giblat (kaum Muslim) akan selamat."

 Al-Hasan Al-Bashri ketika dimintai keterangan tentang para penganut aliran sesat (ahlul-akwa'), berkata: "Semua ahli Tauhid dari umat Nabi kita, Muhammad SAWW, pasti masuk surga."

 Pernah ditanyakan kepada Az-Zuhri mengenai seorang yang terlibat dalam pertikaian-pertikaian antara sesama Muslim dan ikut berperang di dalamnya? Jawabnya: "Si pembunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk surga, sebab kedua-duanya adalah dari golongan pengucap La ilaha illa Allah."

 Sufyan Ats-Tsauri berkata: "Janganlah engkau ikut atau mendukung perbuatan permusuhan terhadap seorang ahli Tauhid, walaupun ia telah diselewengkan dari kebenaran oleh hawa nafsunya sendiri. Sebab ia tidak akan binasa karenanya." (Yakni tidak akan diperlakukan oleh Allah seperti seorang kafir — penerj.).

 Sa'id bin Al-Musayyib mengatakan: "Janganlah engkau memusuhi seorang yang menganut agama Islam walaupun ia salah (dalam akidah, ibadah atau muamalahnya) sebab setiap Muslim pasti memperoleh ampunan Allah."

 Berkata Ibn 'Uyainah: "Seandainya binatang buas mencabik-cabik diriku, lebih kusukai daripada menghadap Allah Ta'ala seraya memendam permusuhan terhadap seseorang yang menganut keimanan kepada keesaan Allah dan kenabian Muhammad SAWW".

 Pada hakikatnya, hikmah atau hasil apakah yang akan diperoleh dari sikap memusuhi seseorang yang berbeda pandangan dengan kita sendiri? Bukankah sikap seperti itu justru akan mendorongnya untuk dengan sengaja mengungkapkan sesuatu yang menyakitkan hati Anda atau menambah ketegarannya dalam hal-hal yang berlawanan dengan pendapat Anda. Sedangkan kebebasan mazhab dan agama memberinya hak untuk berbeda pendapat. Padahal, seandainya Anda mendekatkan diri kepadanya lalu berdiskusi dengannya dengan cara yang bijaksana, mudah-mudahan akan tampak baginya kebenaran pendapat Anda sehingga ia akan mengikuti Anda, atau barangkali justru dialah yang menunjukkan kebenaran bagi Anda sehingga Anda bersepakat dengannya. Betapapun juga, tentunya ia tidak berbeda pendapat dengan Anda karena sikap ingin menentang kebenaran, atau karena lebih menyukai kebatilan. Sebab, sikap seperti tidak sekali-kali akan dimiliki oleh seorang yang berakal sehat dalam upayanya untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

 Memang, sesungguhnya lawan pendapat Anda itu telah digiring — tanpa kemauannya sendiri — untuk berbeda (atau berlawanan) dengan Anda dalam sebagian hukum furu' (cabang Agama) oleh pelbagai dalil yang pasti serta argumentasi yang terang benderang. Bahkan jika pertentangannya dengan Anda itu dianggap sebagai hal-hal yang samar-samar (syubhat), itu pun harus Anda maklumi atau Anda maafkan. Sebab, selain hal itu berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, dalil-dalil dan argumen-argumen itu telah membimbingnya ke arah kesimpulan yang diyakininya. Dalam hal ini, jika hasil pemahamannya itu benar, maka ia akan beroleh dua pahala. Atau, kalau tidak, maka kaum Muslim telah sepakat (ijma') untuk memaklumi atau memaafkan orang yang telah bertakwil (berijtihad) — dalam hal-hal di luar pokok agama atau Ushul Ad-Din — walaupun ia keliru (dalam hasil ijtihadnya itu). Demikian itulah yang dapat dibaca dalam tulisan-tulisan mereka atau disaksikan dalam ucapan dan perbuatan mereka.?

 [1] Perhatikan bagaimana ia menyebutkan "orang-orang beriman" untuk menunjuk kepada para ahli bid’ah itu!

 [2] Keterangannya itu merupakan kutipan dari hadis yang disahihkan dan dikeluarkan oleh At-Tirmidzi, dan dirawikan oleh Anas r.a., yang berkata: Aku pemah mendengar Rasulullah SAWW bersabda, bahwa Allah SWT berfirman: "Wahai anak Adaml Selama engkau berdoa dan mengharap (ampunan)-Ku, maka Aku pasti mengampuni apa saja yang telah engkau lakukan dan Aku tak perduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu itu mencapai ketinggian langit, kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku berikan ampunan padamu. Wahai anak Adam! Seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa-dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menghadap Aku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun, maka Aku pasti akan memberikan ampunan kepadamu sebanyak itu pula."

 Hadis ini telah disebutkan pula oleh An-Nawawi dalam kitab hadis Arba’in-nya. Yaitu hadis terakhir dari kumpulan empat puluh hadis sahih.

 [3] Kitab ini telah dicetak, dan pada hamisy (tepi)-nya tercetak pula sebuah risalah oleh An-Nabhani tersebut tentang keutamaan-keutamaan Mu'awiyah yang diberinya judul Al-Badi'ah fi igna' Asy-Syi'ah. Kami telah menyanggahnya dengan sebuah kitab setebal tiga kali lipatnya yang kami beri judul Adz-Dzari'ah ila naqdh Al-Badi'ah.

 [4] Dirawikan oleh Ibn An-Najjar, Asy-Sya'rani menukilkan dalam pembahasan ke-58 dari Yawaqit-nya, beberapa pendapat para ulama, bahwa yang dimaksud dengan "satu golongan yang masuk neraka" itu adalah kaum zindiq.

 [5] Demikianlah susunan kata-katanya, kami kutip tanpa perubahan.

 [6] Dengan demikian Ahlus-Sunnah sepakat bahwa kaum Syi'ah akan masuk surga juga. Hal ini tak diliputi keraguan sedikit pun mengingat bahwa mereka termasuk Ahlut-Tauhid dan mereka beriman kepada segala yang dibawa oleh Nabi SAWW.

 [7] Al-Khattabiyah adalah paia pengikut Abu Al-Khattab Muhamad bin Miqlash Al-Ajda' — semoga laknat dan kutukan Allah, para malaikat dan seluruh manusia, tertimpa kepadanya dan kepada mereka semuanya. Ia adalah seorang yang ekstrem (dari kelompok Ghulat) yang ruuak akidahnya berkenaan dengan Imam Ja'far Ash-Shadiq a.s.*) Menganut kepercayaan yang sangat menyimpang serta mazhab yang busuk. Tidak diragukan kekafirannya serta kekafiran pengikut-pengikutnya, sedemikian sehingga Al-Imam Ash-Shadiq telah berlepas tangan terhadapnya serta mengutuknya. Beliau juga memerintahkan kepada kaum Syi'ah agar berlepas tangan terhadapnya serta mengutuknya. Ucapan serta kutukannya mengenai mereka ini sungguh amat keraa dan tegas. Siapa laja ingin mengetahui ucapan beliau berkenaan dengan manusia laknat ini, hendaknya membaca buku karangan Al-Kissyi dan buku-buku biografi lain karangan tokoh-tokoh kami (kaum Imamiyah). Banyak perbuatan bid'ah yang berasal dari si kafir ini. Antara lain, mengundurkan shalat Maghrib sampai tampak jelas bintang-bintang di langit. Orang-orang yang tidak mengerti, telah menisbahkan bid'ah ini kepada kami (Syi'ah Imamiyah). Padahal kami jauh sekali darinya. Kepada Allah kami menyatakan berlepas tangan dari bid'ah ini dan penciptanya. Adapun yang menjadi pegangan kami dalam hal ini ialah bahwa waktu Maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari dari semua ufuk di hadapan orang yang shalat. Hal itu terwujud dengan hilangnya wama kemerah-merahan di langit, sebagaimana dapat diketahui oleh orang yang merujuk kitab fiqh kami.

 *) Menurut As-Syahrastani dalam bukunya, Al-Milal wa An-Nihal, Abu Al-Khattab ini melukiskan Imam Ja'far Ash-Shadiq as dengan sifat-sifat ke-Tuhanan. Ketika hal ini diketahui oleh Imam Ja'far, ia memanggilnya dan sangat marah kepadanya. Namun ia kembali lagi kepada bid'ah-nya itu sehingga Imam Ja'far melaknatnya dan berlepas tangan darinya — penerj.

 [8] Cukup mengherankan sikap ragu-ragu seperti itu kendatipun ada sebuah hadis sahih yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari pada bab "Mendesak Kaum Murtad dan Pembangkang Agar Bertobat atau Memerangi Mereka" (Shahih Bukhari, jilid IV) dengan lanad sampai Abu Sa*id Al-Khudri; suatu hadis yang di dalamnya disebutkan tentang kaum Khawarij: Telah bersabda Rasulullah SAWW: "... mereka itu keluar dari agama laksana anak panah melesit dari busurnya. Bila diteliti bulu panahnya, tak ada bekas yang tampak padanya. Bila diteliti ujung panahnya tak ada bekas yang tampak padanya. Bila diteliti lubang busurya, tempat anak panah dimasukkan, tak ada bekas yang tampak padanya. Kemudian bila diteliti sandaran busurnya, tak suatu bekas pun tampak padanya. (Ini merupakan kiasan tentang hilangnya agama dari diri mereka sehingga tak sedikit pun bekasnya yang tertinggal— penerjemah). Namun anak panah itu telah menembus tubuh, melalui darah dan kotoran. Tanda (atau ciri) mereka ialah seorang laki-laki dari mereka, salah satu tangannya (atau satu payudaranya) seperti payudara wanita (dalam riwayat lain: seperti sepotong daging yang kenyal). Mereka itu muncul pada saat manusia (kaum Muslim) sedang bercerai-berai."

 Al-Bukhari berkata selanjutnya bahwa telah berkata Abu Sa'id: "Aku bersaksi telah mendengarnya dari Rasulullah. Dan aku bersaksi bahwa Ali telah memerangi mereka. Aku bersamanya ketika dihadirkan ke hadapannya (mayat) orang itu dengan ciri-ciri seperti yang dilukiskan oleh Nabi SAWW" (Al-Hadits).

 Hadis tersebut juga disebutkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya, juz I, pada pasal "Kaum Khawarij dan Sifat-sifat Mereka" di akhir bab "Zakat". Begitu pula Ahmad dalam Musnad-nya telah merawikannya dari Abu Sa*id. Bersama mereka, juga mayoritas para ahli hadis lainnya.

 Muslim dalam kitab Shahih-nya, pada pasal "Kaum Khawarij adalah Manuaia atau Makhluk Terjahat", pada bab "Zakat", telah mengeluarkan sebuah hadis dari Abu Dzar yang berkata bahwa Rasulullah SAWW pemah bersabda: "Sepeninggalku, kelak, akan muncul satu kaum dari umatku; mereka membaca Al-Quran tapi tidak dapat melampaui tenggorokan-tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama laksana lepasnya anak panah dari busurnya dan kemudian mereka tidak kembali ke dalamnya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk."

 Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, juz III, halaman 224, telah merawikan sebuah hadis dari Anas bin Malik dan Abu Sa’id, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Apabila sedang terjadi penelisihan dan perpecahan di antara umatku, akan muncul satu kelompok yang pandai berbicara tetapi buruk perbuatannya ..." demikian seterusnya, sampai ucapan beliau: "Mereka itu keluar dari agama bagaikan melesatnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak kembali lagi ke dalamnya, tetapi makin lama makin menjauh. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk. Beruntunglah orang yang membunuh mereka atau dibunuh oleh mereka. Mereka mempunyai kebiasaan mengajak manusia untuk kembali kepada Kitab Allah, sementara mereka tidak sedikit pun mempunyai bagian di dalamnya."

 [9] Yaitu orang-orang yang memberontak terhadap kepala pemerintahan Islam. Mereka wajib diperangi sehingga mereka kembali patuh kepadanya. Jika telah mematuhi perintah-perintahnya, maka bagi mereka berlaku hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban seluruh kaum Muslim.

 * Yang dimaksud dengan mereka yang memiliki sifat-sifat itu ialah Ahlul-Bayt sesuai dengan beberapa hadis Rasulullah SAWW. — penerj.

 [10] An-Nasai merawikan melalui Abu Barzah Al-Aslami yang mengatakan: Pernah aku datang ke tempat Abu Bakar ketika ia sedang berbicara keras kepada seorang laki-laki. Orang itu membantahnya dengan keras pula sehingga aku berkata: "Ya Khalifah, perkenankanlah aku memenggal lehemya." Jawab Abu Bakar: "Duduklah! Hal itu tidak boleh dilakukan kecuali cercaan yang ditujukan kepada Rasulullah SAWW."   

    

Hadis-hadis Nabi SAWW yang Menggembirakan Kaum Syi’ah

 Amat banyak hadis sahih mengenai hal ini yang disalurkan melalui Al-'Itrah (keluarga suci Rasulullah SAWW). Inilah sebagian yang diriwayatkan pula oleh para ahli hadis Ahlus-Sunnah melalui saluran-saluran sanad mereka.

 Sebagaimana yang tertera pada halaman 96, kitab Ash-Shawa'ig Al-Muhriqah karangan Ibn Hajar, Al-Hafizh Jamaluddin Az-Zarnadi meriwayatkan dari Ibn Abbas r.a.: Ketika Allah SWT menurunkan ayat,

 Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-Bayyinah: 7-8). Rasulullah SAWW berkata kepada Ali r.a.: "Mereka itu adalah kamu dan syi'ah (pendukung-pendukung)-mu. Pada Hari Kiamat kelak, kamu dan mereka akan datang dalam suasana ridha dan diridhai. Sedangkan musuh-musuhmu akan datang dalam keadaan gelisah dan terbelenggu."

 Al-Hakim telah pula meriwayatkan dalam kitab Syawahid At-Tanzil, dari Ibn Abbas r.a.: "Ayat ini (Al-Bayyinah : 7-8) diturunkan berkenaan dengan Ahlul-Bayt." Begitu juga Ibn Hajar, pada Pasal I, Bab XI dari Ash-Shawa'iq, telah menggolongkannya dalam ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan mereka.

 Dalam kitabnya, Syawahid At-Tanzil pula, ia (Al-Hakim) telah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: Pada detik-detik terakhir ketika Rasulullah SAWW hendak mengembuskan napasnya yang terakhir, seraya bersandar di dadaku, beliau berkata, "Hai Ali, tidakkah kau dengar firman Allah SWT, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh itu adalah sebaik-baik makhluk (Al-Bayyinah: 7)? Mereka itu adalah syi'ah (pendukung-pendukung)-mu. Kelak, tempat janji pertemuanku dengan kau dan mereka sekalian adalah telaga Al-Haudh. Mereka akan dipanggil dalam keadaan putih bersih dan bersinar wajah-wajahnya."

 Ad-Dailami merawikan, seperti termaktub pada halaman 96, kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Hai Ali, sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni engkau, anak-anakmu, keturunanmu, keluargamu, syi'ah (pengikut-pengikut)-mu dan para pencinta syi'ah-mu."

 Ath-Thabrani dan banyak ahli hadis lainnya meriwayatkan bahwa pada hari "peristiwa Basrah" dihadapkan kepada Ali r.a. sejumlah emas dan perak (hasil rampasan perang). Ali berkata: "Hai 'kuning dan putih', perdayakanlah orang-orang selain aku. Perdayakan orang-orang Syam jika mereka memperolehmu, kelak!" Ucapannya ini membuat gelisah banyak orang dari pengikutnya. *) Ketika hal ini disampaikan kepada Ali r.a., ia memanggil mereka dan berkata: "Sesungguhnya kekasihku, Rasulullah SAWW, pernah bersabda: 'Hai Ali, sesungguhnya kamu dan syi'ah (para pengikut)-mu akan menghadap Allah SWT dalam keadaan ridha dan diridhai. Sebaliknya, musuh-musuhmu akan menghadap-Nya dalam keadaan gelisah dan terbelenggu lehemya.' (Ketnudian Ali mengangkat tangannya dan menggenggamkannya di lehernya seolah-olah belenggu yang membuat lehernya tertengadah ke atas).

 Ibn Hajar telah menukil hadis ini di halaman 92, dalam Ash-Shawa'iq-nya., seraya mengomentarinya dengan ucapan-ucapan yang amat menggelikan sedemikian hingga membuat seorang ibu yang kematian anaknya tertawa. Kami hanya mengambil apa yang diriwayatkannya dan berp aling dari komentarnya itu.**)

 Ath-Thabrani meriwayatkan, dalam Ash-Shawa'iq, halaman 96, bahwa Rasulullah bersabda kepada Ali: "Empat orang pertama yang memasuki surga adalah aku, engkau, Hasan, Husain, dan kemudian anak keturunan kita di belakang serta syi'ah (pengikut-pengikut) kita di samping kanan dan kiri kita." Ahmad bin Hanbal dalam Manaqib-nya — seperti tercantum dalam Ash-Shawa'iq, halaman 96 — juga telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda kepada Ali r.a.: "Tidakkah engkau merasa puas bahwasanya engkau dan aku berada di surga, sedangkan Hasan dan Husain serta syi'ah (pendukung-pendukung) kita berada di sisi kanan dan kiri kita."

 Al-Hakim merawikan — sebagaimana yang tertera dalam kitab tafsir Majma' Al-Bayan tentang ayat "al-mawaddah fil-qurba" (kasih sayang terhadap sanak keluarga Rasulullah SAWW — Asy-Syura: 23), bahwa Abul-Bahili berkata, Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan aku dan Ali dari satu pohon. Maka aku adalah pokoknya, Ali cabangnya, Fathimah serbuk sarinya, Al-Hasan dan Al-Husain buahnya dan para syi'ah (pengikut) kita adalah dedaunannya. Oleh sebab itu barangsiapa bergantung pada salah satu dahannya, ia pasti selamat, dan barangsiapa menyimpang darinya akan terjatuh. Meskipun seorang hamba menyembah Allah SWT sepanjang seribu tahun, kemudian seribu tahun lagi sehingga menjadi seperti tempat air dari kulit yang sudah keriput, sementara ia tidak mencintai kita, maka Allah SWT akan mengempaskannya di atas batang hidungnya ke dalam neraka." (Kemudian beliau SAWW membaca firman Allah):

 Katakanlah: "Tiada apa pun yang kuminta dari kamu atas seruanku ini selain kasih sayang kepada kerabatku." (Asy-Syura: 23).
 Siapakah yang Dimaksud dengan Syi'ah Ali?

 Tiada keraguan sedikit pun, bahwa syi'ah (para pendukung) Ali dan Ahlul-Bayt adalah orang-orang Muslim yang rriengikuti mereka (Ahlul-Bayt) dalam urusan agama dan mendukung mereka. Alhamdulillah, kami telah mengikuti mereka sepenuhnya dalam seluruh cabang agama dan akidahnya, ushul-fiqh serta kaidah-kaidahnya, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis dan Al-Quran serta ilmu akhlak, perilaku dan sopan santun. Semua itu sebagai manifestasi ketundukan kami sepenuhnya kepada kepemimpinan mereka serta demi pengakuan atas perwalian mereka. Kami pun selalu mendukung para pencinta mereka dan menjauhi musuh-musuh mereka sebagai perwujudan kaidah-kaidah kecintaan serta penerapan norma-norma akhlak dalam hal kasih sayang terhadap keluarga Rasulullah SAWW Dengan demikian kami selalu bertindak sebagai syi'ah (pendukung) mereka sementara mereka selalu kami jadikan sebagai wasilah dan perantara. Segala puji bagi Allah atas petunjuk-Nya kepada kami untuk mengikuti agama-Nya serta taufik-Nya atas kami untuk memenuhi seruan yang disampaikan oleh Rasulullah SAWW agar berpegang teguh pada Ats-Tsaqalain (Al-Quran suci dan 'itrah, keluarga suci Nabi SAWW), serta memasuki "kota ilmunya" melewati "pintunya". Yaitu "pintu pengampunan dosa", "jaminan keamanan bagi segenap penghuni bumi", serta "bahtera-bahtera penyelamat bagi umat ini". Dan sekali lagi, segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami jalan ini. Sungguh kami tiada akan memperoleh hidayah seandainya Allah SWT tiada memberinya kepada kami.

 Dalam kitab Ash-Shawa'ig, halaman 91, diriwayatkan dari Ibn Sa'ad bahwa Ali berkata: Rasulullah SAWW pernah mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya orang pertama yang masuk surga adalah aku, Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Aku bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimana dengan para pencinta-pencinta kita?" Jawab beliau: "Mereka berada di belakang kalian."

 Ad-Dailami meriwayatkan — seperti yang tersebut dalam kitab di atas — sebuah hadis marfu': "Putriku Fathimah diberi nama seperti itu karena Allah SWT telah memisahkannya serta para pencintanya dari jilatan apineraka."[1]

 Pada halaman dan kitab yang sama, Ahmad bin Hanbal dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW menggandeng tangan Hasan dan Husain seraya bersabda: "Siapa pun yang mencintaiku dan mencintai kedua anak ini, serta ayah dan ibu mereka berdua, maka ia akan bersamaku pada derajatku di Hari Kiamat kelak."[2]

 Dalam At-Tafsir Al-Kabir, Ats-Tsa'labi meriwayatkan dengan sanad kepada Jarir bin Abdullah Al-Bajali, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan men-cintai keluarga Muhammad,[3] maka ia mati syahid. Barangsiapa mati dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, niscaya ia akan terampuni. Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka ia mati dalam keadaan bertobat. Barangsiapa mati dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka berarti ia mati dalam keadaan beriman yang sempurna. Barangsiapa mati dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka Malaikat Al-Maut beserta Munkar dan Nakir akan mengabarinya dengan surga. Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad akan diantar ke surga laksana pengantin perempuan yang diantar ke rumah suaminya. Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka Allah SWT akan menjadikan kuburannya sebagai tempat kunjungan Malaikat rahmat. Barangsiapa wafat dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka ia mati (sebagai pengikut) sunnah (Muhammad) dan anggota jamaah (kaum Muslim). Adapun Orang yang meninggal dunia dalam keadaan membenci keluarga Muhammad, maka, di Hari Kiamat kelak, akan tertulis di antara kedua matanya 'Orang ini telah putus asa dari rahmat Allah '. " ( Al-Hadits)

 Az-Zamakhsyari telah menukilkan hadis ini, secara mursal, dalam tafsir ayat "Al-Mawaddah fi Al-Qurba", surah Asy-Syura: 23, dalam kitab tafsir Kasysyaf-nya, sebagai hadis yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Demikian pula para penyusun tulisan mengenai "Manaqib" dan "Fadha`il" telah meriwayatkan hadis ini, adakalanya dengan menyebutkan sanadnya, namun adakalanya secara mursal, yakni tanpa merasa perlu menyebutkan sanadnya.

 Anda pun pasti tahu bahwa martabat yang mulia ini dikaruniakan kepada mereka, mengingat bahwa mereka adalah "bukti-bukti Allah" yang amat kuat, tempat menimba air syariat-Nya yang jernih dan bersih. Mereka adalah orang-orang kepercayaan-Nya sepeninggal Nabi Muhammad SAWW Dan mereka adalah duta-duta-Nya dalam penyampaian amar ma'ruf nahi munkar. Itulah sebabnya, barangsiapa mencintai mereka karena hal tersebut, maka ia adalah pencinta AUah dan siapa membenci mereka maka ia adalah pembenci Allah SWT Mengingat hal inilah, Al-Farazdaq menyenandungkan bait-bait syairnya tentang mereka (Ahlul-Bayt):

 . . . Mereka itu dari keluarga mulia

 kecintaan terhadap mereka adalah sebagian dari agama

 kebencian terhadap mereka adalah kekafiran

 Dekat kepada mereka berarti keselamatan!

 Jika dihitung-hitung orang yang bertakwa

 Merekalah pemuka-pemukanya!

 Atau, bila ada orang yang bertanya:

 Siapa penghuni bumi paling utama?

 Jawabnya pasti: Itulah mereka!

 Dalam kitab Ash-Shawa'iq, Bab IX, di bagian akhir Pasal 2, halaman 75, disebutkan bahwa Imam Ahmad merawikan dari Ali, yang berkata: Pemah Rasulullah SAWW mencariku lalu menemuiku di sebuah kebun. Beliau bersabda; "Bangkitlah, demi Allah, sungguh aku akan membuatmu ridha! Engkau adalah saudaraku dan ayah putra-putraku. Engkau berjuang demi tegaknya sunnahku. Barangsiapa mati dalam keadaan berpegang teguh pada pesanku, maka ia tergolong ahli surga. Dan barangsiapa wafat dalam keadaan mencintaimu, maka ia telah memenuhi kewajibannya. Dan siapa pun meninggal dunia dalam keadaan mencintaimu sesudah kematianmu, niscaya Allah SWT akan menjamin keselamatan dirinya serta keimanannya selama matahari masih terbit dan terbenam."

 Pada penjelasan makna kedua dari makna-makna yang disebut dalam penafsiran ayat "al-mawaddah fi al-qurba", dalam kitabnya Ash-Shawa'iq, Ibn Hajar menyebutkan sebuah hadis:[4]

 Nabi Muhammad SAWW pada suatu hari muncul di hadapan sahabat-sahabatnya dengan wajahnya yang berseri-seri laksana bulan purnama. Abdur-Rahman bin Auf bertanya mengenai itu. Maka Rasul SAWW bersabda: "Berita gembira disampaikan Tuhanku kepadaku mengenai saudaraku, sepupuku serta putriku. Yaitu bahwa Allah mengawinkan Ali dengan Fathimah, dan memerintahkan malaikat Ridwan, penjaga pintu surga, untuk menggerakkan pohon thuba (di surga) sehingga menumbuhkan lembaran-lembaran — sejumlah para pencinta Ahlu-Bayt-ku. Dan la menciptakan di bawahnya malaikat dari cahaya, lalu menyampaikan satu lembar kepada setiap malaikat. Maka apabila tiba Hari Kiamat, berserulah para malaikat di antara seluruh makhkik. Dan tidak terkecuali seorang pun dari pencinta-pencinta Ahlul-Bayt melainkan disodorkan sehelai surat kepadanya sebagai tanda keselamatan dari azab neraka. Dengan demikian, jadilah saudaraku, sepupuku dan putriku sebagai pembebas dari api neraka bagi sejumlah besar laki-laki dan wanita dari umatku."

 Hadis-hadis seperti ini tidak mungkin tercakup semuanya dalam tulisan ini. Namun cuplikan sebagiannya di atas, mudah-mudahan cukup memuaskan bagi siapa saja yang dikaruniai Allah SWT hidayah dan inayah-Nya.

 Dan mudah-mudahan sesudah keterangan ini, setiap Syi'i mengerti bahwa kalangan Ahlus-Sunnah telah berkata yang sebenarnya serta mengakui. Begitu pula semoga orang Sunni mengetahui bahwa sesudah adanya berita-berita yang menggembirakan ini, tidak akan muncul lagi perasaan kurang senang terhadap saudara-saudara mereka dari kalangan Syi'ah.

 Salam sejahtera serta rahmat Allah dan berkah-Nya atas mereka yang senantiasa mengikuti sunnah dan menjauhi segala bentuk fitnah.?

 *) Mereka tadinya mungkin mengharapkan emas dan perak (yang diperoleh sebagai hasil rampasan perang Jamal) akan dibagi-bagikan kepada mereka, dan tidak dimasukkan ke dalam Bayt Al-Mal — Penerj.

 **) Komentar Ibn Hajar (dalatn Shawa'iq-nya), setelah menyebutkan hadis-hadis tentang keutamaan Ali r.a. dan Syi’ah-nya, tersebut di atas adalah: "... Janganlah hendaknya kaum Rafidhah dan Syi'ah mengira, dengan adanya hadis-hadis sepetti ini, bahwa merekalah yang dimaksud dengan para ‘para pencinta Ahlul-Bayt (keluarga Nabi)'. Sebab mereka telah melampaui batas dalam kecintaan terhadap Ahlul-Bayt sedemikian sehingga terjerumus kepada pengkafiran para sahabat dan penyesatan umat. Sedangkan Ali r.a. pemah berkata: 'Akan binasa siapa melampaui batas dalam mencintaiku...'"

 Selanjutnya Ibn Hajar berkata: "... yang dimakaud dengan syi'ah (atau para pendukung dan pencinta) Ali r.a. dalam hadis-hadis seperti ini ialah Ahlus-Sunnah, kaiena meiekalah yang benar-benar mencintai Ali dan Ahlul-Bayt pada umumnya serta syi'ah (para pendukung) mereka, seperti diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang-orang selain mereka, pada hakikatnya, adalah musuh-musuh. Sebab, kecintaan yang keluar dari batas syariat dan yang menyimpang dari jalan kebenaran, adalah permusuhan terbesar yang membawa kepada kebinasaan ..." — penerj.

 [1] Begitu pula An-Nasai telah merawikan seperti itu, sebagaimana yang terdapat pada halaman 96 kitab Ash-Shawa’iq.

 [2] Abu Dawud telah pula merawikannya seperti tertulis pada halaman 103 dalam Ash-Shawa’iq dan ditambahkan di dalamnya: “... dan mati dalam keadaan mengikuti sunnahku ..." Dengan ini, dapat diketahui bahwa mengikuti sunnah beliau tidaklah akan tercapai kecuali dengan mencintai mereka (keluarga Rasulullah SAWW).

 [3] Yang dimaksud dengan “keluarga Muhammad” dalam hadis ini dan semacamnya adalah keseluruhan mereka yang diwakili oleh Imam-imam mereka. Yaitu mereka yang merupakan para khalifah (pengganti) Rasulullah SAWW, pengemban wasiatnya, wali-walinya serta pewaris-pewaris kekuasaannya. Dan mereka adalah yang disebut oleh beliau sebagai satu di antara dua tsaqal (benda amat berharga) di samping tsagal lainnya, yaitu Al-Quran, yang kedua-duanya tidak akan berpisah lampai Hari Kiamat. Maka, siapa saja berpegang teguh pada kedua-duanya, pasti takkan tersesat, dan siapa saja yang meninggalkan keduan-duanya, pasti tak beroleh petunjuk.

 Jadi yang dimaksud dengan “keluarga Muhammad" di sini bukanlah mencakup semua orang perorang dari mereka. Karena martabat yang amat tinggi ini tidak akan diperoleh kecuali — secara khusus — oleh para wali Allah yang teguh menjalankan perintah-perintah-Nya. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis shahih yang mutawatir daii saluran al-'itrah, keluarga suci Rasulullah SAWW. Namun, memang benar bahwa mencintai semua keluarga Rasulullah SAWW dan semua anak keturunannya merapakan kewajiban, mengingat bahwa mereka itu adalah ranting-ranting yang berasal dari pohon Rasulullah SAWW yang suci. Hanya dengan cara teperti ini, akan diperoteh derajat yang dekat kepada Allah SWT serta syafaat dari datuk mereka, Rasulullah SAWW. Sehubungan dengan ini, aku pernah mewasiatkan kepada anak-anakku supaya mcnuliskan hadis ini di atas kain kafanku, sesudah dua kalimat syabadat, agar aku dapat berjumpa dengan Allah SWT bersamanya. Kini kuulang-ulang lagi dan kutandaskan wasiatku kepada mereka. Dan hendaknya dituliskan puli di atas serbanku.

 [4] Baca kitab Ash-Sahawa’iq, halaman 103. Hadis ini juga dirawikan oleh banyak dari kalangan para penulis masalah managib dan fadha-il (keutamaan para sahabat).



Berbeda Pendapat dengan Mayoritas adalah Wajar


Kasus-kasus Penakwilan

 Dalam bab ini kami akan menyebutkan nama beberapa orang atau tokoh yang menyalahi pendapat mayoritas kaum Muslim, namun hal itu tidak mengurangi 'adalah (kredibilitas dan integritas) mereka.

 Tujuan yang ingin kami capai dalam hal ini ialah demi menjelaskan alasan-alasan para "penakwil" di antara kaum Muslim.*)

 Nah, apabila Anda melihat seseorang yang berasal dari kalangan salaf (pendahulu)-mu yang baik-baik, atau orang yang darinya Anda pelajari urusan agama Anda dan Anda jadikan ia sebagai penghubung antara Anda dan Rasulullah SAWW (dalam mempelajari sunnah beliau). Apabila Anda mendapatinya dalam suatu masalah, telah bertentangan dengan Anda, berdasarkan ijtihadnya, atau tidak searah-sejalan dengan Anda, berdasarkan pemahaman (atau penakwilan)-nya, lalu Anda dapat "memaklumi" atau "memaafkannya" dalam perbedaan pendapat dengan Anda, maka sudah barang tentu Anda juga dapat "memaklumi" seseorang dari generasi sekarang ini yang ternyata berbeda pendapat dengan Anda, berdasarkan hasil ijtihad atau penakwilannya.

 Jika demikian itu keadaannya, di sini aku sangat mengharapkan dari saudara-saudaraku — kaum Muslim yang kepada mereka buku ini kupersembahkan — agar memandang dengan pandangan yang adil, apakah ada hubungan kekerabatan antara Allah dan seseorang dari manusia sedemikian sehingga Dia memperlakukannya tidak seperti orang-orang lainnya? Tentu tidak! Allah SWT tidak akan sekali-kali menghukum suatu kaum karena perbuatan yang jika dilakukan oleh suatu kaum lainnya, la justru memberi mereka pahala atasnya. Kita meyakini bahwa hukum-Nya yang berlaku atas orang-orang terdahulu, pastilah berlaku juga atas mereka yang datang kemudian.

 Sungguh banyak jumlah para penakwil yang berselisih pendapat dengan mayoritas para Sahabat serta Tabi’in.Tidak mungkin kami dapat menyebut nama mereka semua. Cukuplah kiranya menyebut sebagian dari mereka saja sekadar mencapai tujuan yang kami sebutkan di atas.

Beberapa Sahabat yang Menolak Bay'at kepada Abu Bakar

 Di antara mereka, Sa'd bin Ubadah, seorang sahabat Nabi SAWW dan peserta perang Badr, pemuka dan pemimpin suku Khazraj, dan salah seorang dermawan serta tokoh kaum Anshar. la menolak memberikan bay'at kepada kedua Khalifah (Abu Bakar dan Umar) dan sebagai protes ia pergi ke Syam dan kemudian terbunuh secara rahasia di kota Hauran pada tahun 15 Hijriah. la dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap cara pemilihan Khalifah (Abu Bakar) di balairung Saqifah Bani Sa'idah, maupun terhadap peristiwa-peristiwa lain sesudah itu. Bagi mereka yang ingin menelaah tentang hal ini, silakan membaca buku Al-Imamah wa As-Siyasah karya Ibn Qutaibah, atau Tarikh Ath-Thabari, lalu Al-Kamil karangan Ibn Al-Atsir atau buku sejarah lainnya. Saya kira, semua buku sejarah yang mencatat peristiwa Saqifah, memuat juga keterangan tentang Sa'd bin Ubadah. Dan semua pengarang biografi para sahabat pasti menyebut nama Sa'd serta penolakannya untuk memberikan bay'at. Kendatipun demikian, tak seorang pun meragukan bahwa ia termasuk di antara tokoh-tokoh utama kaum Muslim yang terhormat. Hal itu mengingat bahwa sikap kerasnya itu adalah akibat penakwilan (ijtihad)-nya., karena itu bisa "dimaklumi" walaupun tindakannya dianggap salah.

 Di antara mereka, juga Hubab bin AI-Mundzir bin Al-Jamuh Al-Anshari Al-Badri Al-Uhudi. la juga menolak untuk memberikan bay'at (kepada Abu Bakar) sebagaimana diketahui dari sejarah para salaf. Penolakannya .itu tidak mengurangi kredibilitasnya dan tidak pula menurunkan keutamaannya. Ucapannya pada hari Saqifah itu amat terkenal, yaitu (dengan terjemahan bebas — penerjemah): "Akulah orang yang banyak pengalaman sehingga kepadanya semua orang meminta saran. Akulah orang yang luas ilmunya sehingga mampu mengatakan segala persoalan. Akulah pemimpin para pahlawan yang selalu siap memasuki medan perjuangan. Jika kalian ingin, demi Allah, akan kita kembalikan keadaan seperti semula!"**)

 Ada lagi ucapannya yang lebih keras mengenai peristiwa itu, namun kami beranggapan lebih baik tidak disebutkan di sini. Yang penting ialah seandainya bukan karena sikap menghormati pendapat orang-orang yang melakukan penakwilan, niscaya Ahlus-Sunnah tidak akan menyatakan — tanpa ragu — bahwa Hubab termasuk di antara para penghuni surga yang utama, kendatipun kecamannya yang pedas terhadap kedua khalifah pertama, seperti yang dipaparkan dalam buku-buku sejarah kaum Syi'ah dan Sunnah.

 Demikian pula Amir Al-Mukminin Ali r.a. serta pamannya, Al-Abbas dan putra-putranya, 'Utbah bin Abi Lahab dan anggota-anggota suku Bani Hasyim lainnya, juga Salman Al-Farisi, Abu Dzar, Al-Miqdad 'Ammar, Zubair, Khuzaimah bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Farwah bin 'Amr bin Wadaqah Al-Anshari, Khalid bin Sa'id bin 'Ash, Al-Bara' bin 'Azib dan beberapa tokoh lainnya. Mereka semua — pada mulanya — menolak memberikan bay'at, sebagaimana tersebut dalam berita-berita yang mutawatir dan terang benderang seterang matahari di siang hari yang cerah.[1]

 Tersebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Ali r.a. tidak bersedia ber-bay'at sampai setelah wafatnya Fathimah r.a. — pemuka utama kaum wanita — yang menyusul Ayahandanya SAWW tidak lama setelah beliau wafat.

 Banyak pula para ahli tarikh yang mencatat penolakan Ali r.a. untuk ber-bay'at, seperti Ibn Jarir Ath-Thabari ketika menyebut peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tahun 11 H, dalam buku Târîkh-nya yang terkenal. Juga Ibn Abdi Rabbih Al-Maliki ketika membahas peristiwa Saqifah dalam bukunya Al-'Iqd Al-Farid (jilid II), Ibn Qutaibah dalam halaman-halaman pertama bukunya Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Asy-Syahnah ketika menyebut peristiwa bay 'at di Saqifah dalam bukunya Raudhah Al-Manadzir[2] dan Abu Al-Fida ketika menyebutkan berita-berita tentang Abu Bakar dan khilafah-nya dalam buku Tarikh-nya berjudul Al-Mukhtasar fi Akhbar Al-Basyar. Juga Al-Mas'udi meriwayatkannya dari 'Urwah bin Zubair ketika berusaha membenarkan tindakan saudaranya (Abdullah bin Zubair) yang pemah hendak membakar rumah-rumah Bani Hasyim bersama para penghuninya disebabkan penolakan mereka memberikan bay 'at (kepada Abu Bakar).[3] Dan dirawikan pula oleh Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal ketika menyebutkan tentang golongan An-Nazhzhamiyah. Demikian pula Ibn Abi Al-Hadid (tokoh kaum Mu'ta-zilah dan bermazhab Hanafi) pada permulaan jilid VI dalam bukunya Syarh Nahj Al-Balaghah. Juga telah dinukil oleh pengarang Nahj Ash-Shidq dari buku Al-Mahasin wa Anfas Al-Jawahir serta Al-Ghurar karangan Ibn Khuzabah, dan juga buku-buku penting lainnya. Bahkan Abu Mikhnaf telah menulis sebuah buku yang khusus memuat rincian peristiwa penolakan Ali r.a. untuk memberikan bay'at-nya serta ketidaksediaannya untuk tunduk patuh (kepada Abu Bakar r.a.).

 Keterangan-keterangan di atas merupakan bukti paling jelas tentang diterimanya alasan-alasan para penakwil. Dan siapakah yang berani melontarkan tuduhan kepada (Ali r.a.) saudara Nabi SAWW, wali, pewaris dan pengemban wasiatnya, lalu berkata bahwa ia (Ali) dengan penolakannya itu telah melakukan pembangkangan (maksiat) kepada Allah SWT? Sedangkan ia adalah orang pertama dari umat ini yang beriman dan taat kepada-Nya?! Atau menuduhnya telah menentang As-Sunnah, padahal dialah penanggungjawab, pewaris dan yang paling berkepentingan mendukung dan melaksanakannya? Dan siapa pula yang berani mendakwakan bahwa ia — dengan sikapnya itu — telah memisahkan diri dari Al-Quran, "saudara kandungnya", sedangkan Nabi SAWW telah menandaskan bahwa kedua-duanya takkan berpisah?[4] Dan siapakah yang akan memperkirakan bahwa — dengan perbuatannya itu — ia telah menyimpang dari kebenarah, sedangkan nash Al-Quran telah menghilangkan segala dosanya serta menyucikannya? Dan siapakah akan mengatakan bahwa ia telah menjauh dari yang haq, sedangkan Rasulullah SAWW telah bersabda:

 "Ali selalu bersama yang haq dan yang haq senantiasa menyertai Ali, betputar bersamanya ke mana saja ia berputar."

 Dan siapakah gerangan yang berani menyatakan bahwa kebodohannyalah yang menyebabkan ia tidak mengetahui hukum pem-bay'at-an ini? Padahal ia (sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi SAWW) adalah yang paling mengerti tentang penetapan hukum di antara umat ini, dan bahwa ia adalah "pintu kota ilmu" dan telah dikaruniai ilmu yang sempurna tentang Al-Quran . . .?!

 Begitu juga Abu Sufyan (Shakhr bin Harb) telah tidak segera ikut dalam pem-bay'at-an itu. Dan dialah yang berucap pada waktu itu:[5] "Aku melihat kegelapan berdebu, tidak akan dapat dihilangkan kecuali dengan darah!" la kemudian pergi berkeliling di lorong-lorong kota Madinah seraya berseru dalam syairnya:

 Wahai Bani Hasyim

 Jangan memberi kesempatan siapa saja

 berambisi melampaui kalian

 apalagi suku Taim atau 'Adiy,

 Sungguh urusan (khilafah) ini hanya patut

 bagi seorang dari kalian dan untuk kalian

 tiada lain yang berhak kecuali Ali, Abu Al-Hasan.

 Selanjutnya ia berkata:[6] "Mengapa gerangan urusan (khilafah) ini diserahkan kepada suku terlemah dari Quraisy? "Kemudian ia berseru kepada Ali r.a.: 'Ulurkan tanganmu untuk ku-bay'at. Demi Allah, jika Anda kehendaki, akan kupenuhi kota ini dengan kuda dan pasukan!" Tetapi Ali r.a. menolak. Maka Abu Sufyan mendendangkan syair Al-Mutalammis:

 Tiada sesuatu berdiam diri menghadapi penghinaan

 yang ditujukan kepadanya

 kecuali dua yang paling hina

 keledai kampung dan pasak yang tertanam.

 Yang ini terikat toli dalam kehinaan

 dan yang itu dihantam, tak seorang pun menangisi.

 Demikian itulah sebagian dari ucapan dan tindakan Abu Sufyan yang berkaitan dengan peristiwa pem-bay'at-an Abu Bakar. Kami (kaum. Imamiyah) beranggapan bahwa perbuatannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya untuk mengobarkan fitnah (kekacauan) dan menimbulkan perpecahan di antara kaum Muslim. Oleh sebab itulah Amir Al-Mukminin Ali a.s. membentaknya dengan ucapannya: "Demi Allah, tiada sesuatu yang Anda inginkan dengan perbuatan ini, selain menimbulkan fitnah. Memang, Anda selalu memendam maksud-maksud jahat terhadap Islam!"[7]

 Dan pada hakikatnya, jika kami menyebutkan Abu Sufyan di antara "para penakwil", maka hal itu semata-mata demi mengikuti orang-orang yang menilai tindakan-tindakannya sebagai hal yang tetap dapat dibenarkan (atau "dimaklumi"). Dengan demikian, lengkaplah hujah kami atas mereka dalam hal menerima baik dan "memaklumi" tindakan-tindakan "para penakwil" lainnya, sebagai konsekuensi dari dasar pemikiran dan penilaian yang mereka tetapkan sendiri.

Pertengkaran Fathimah dengan Abu Bakar

 Lihatlah juga sikap dan tindakan Fathimah r.a., pemuka utama para wanita seluruh alam semesta dan belahan jiwa Rasulullah, penutup rangkaian para nabi dan rasul SAWW. Semua orang mengetahui pertengkaran yang telah terjadi antara Fathimah dan Abu Bakar, sehingga Fathimah mendiaminya dan menolak berbicara dengannya sampai ia meninggal dunia dan dimakamkan secara rahasia, di malam hari, oleh suaminya, Amirul Mukminin Ali a.s. Hanya beberapa orang saja di antara para pendukungnya yang diberitahu tentang wafatnya itu, agar tidak seorang pun, selain mereka, yang menshalati jenazahnya. Berita mengenai ini termasuk berita-berita yang diterima tanpa keraguan sedikit pun. Seperti yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahih mereka,[8] demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal, dari riwayat Abu Bakar, di halaman 6, jilid I dari Musnad-nya. Juga disebutkan oleh para pengarang buku-buku sejarah dan biografi para tokoh. Cukup kiranya bagi Anda, keterangan yang ditulis oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya, Al-Imamah wa As-Siyasah, yangjugadikutip oleh Ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah.

 Jangan pula Anda lupakan kandungan dua pidato Fathimah r.a. yang keindahan bahasa dan kepadatan isinya pasti bersumber pada lisan Ayahandanya SAWW. Yang satu berkaitan dengan warisan yang menjadi haknya dan yang lainnya berkaitan dengan urusan kekhalifahan. Kedua-duanya disebutkan oleh Ahmad bin 'Abd Al-Aziz Al-Jauhari dalam bukunya, As-Saqifah dan Al-'Allamah Al-Mu'tazili (Ibn Abi Al-Hadid) dalam Syarh Nahj Al-Balâghah, jilid 16.[9] Juga dimuat dalam buku Balâghât An-Nisa',[10] Al-Ihtijaj, Al-Bihar dan lain-lainnya di antara buku-buku karya para penulis dari kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah). Silakan menelaahnya agar Andalebih yakin tentang pembenar-an atau pemaafan terhadap sikap dan tindakan "para penakwil".

Khalid bin Walid Membunuh Malik bin Nuwairah, Lalu Menikahi Isterinya

 Di antara "para penakwil" itu ialah (Abu Sulaiman) Khalid bin Walid (Al-Makhzumi). Dialah pembunuh Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi pada peristiwa "Al-Bithah", dan langsung menikahi bekas istrinya, Ummu Tamim binti Al-Minhal, yang tergolong wanita tercantik di antara kaum wanita masa itu. Kemudian Khalid pulang kembali ke Madinah seraya menancapkan beberapa anak panah di surbannya. Melihat itu, Umar bin Khaththab r.a. segera mencabut dan mematahkannya, lalu berkata kepadanya (sebagaimana tercantum dalam Tarikh Ibn Atsir dan lainnya): "Engkau telah membunuh seorang Muslim, lalu engkau memperkosa istrinya! Demi Allah, akan kurajam engkau!" Kemudian ia memberitahukan tentang masalah itu kepada Khalifah Abu Bakar (seperti yang tertera pada buku biografi Watsimah bin Musa, dalam kitab Wafayât Al-A'yân karya Ibn Khalikan): "Khalid telah berzina, rajamlah ia!" Namun Abu Bakar menjawab: "Aku tidak akan merajamnya. la telah 'bertakwil' dan keliru dalam takwilnya itu." Umar berkata lagi: "Dan ia juga telah membunuh seorang Musjim. Bunuhlah ia sebagai hukuman atas perbuatannya itu!" Jawab Abu Bakar: "Tidak, aku tidak akan membunuhnya karena itu. la telah bertakwil dan keliru dalam takwilnya itu." Tetapi, Umar tetap mendesaknya sehingga ia (Abu Bakar) akhirnya berkata: "Bagaimana pun juga, aku tidak mau menyarungkan 'pedang' yang telah dihunus oleh Allah SWT." Kemudian Abu Bakar membayar diyat (uang tebusan) untuk keluarga Malik dari Bayt Al-Mal dan melepaskan semua tawanan dari keluarganya. Peristiwa ini tidak disangsikan lagi kebenarannya. Dan tidak pula disangsikan bahwa Khalidlah yang melakukannya.[11]

 Peristiwa ini telah disebutkan oleh Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Tarikh-nya serta Ibn Atsir dalam Al-Kamil. Juga oleh Watsimah bin Musa bin Al-Furat serta Al-Waqidi dalam kedua kitab mereka, Saif bin Umar dalam kitab Ar-Riddah wa Al-Futuh, Zubair bin Bakkar dalam Al-Muwaffaqiyyat, Tsabit bin Qasim dalam Ad-Dalail, Ibn Hajar Al-'Asqallani (pada pasal tentang riwayat hidup Malik) dalam Al-Ishabah, Ibn Syahmah dalam kitab Raudhah Al-Manadzir, Abu Al-Fida' dalam Al-Mukhtasar, dan masih banyak lagi dari penulis-penulis yang dahulu dan sekarang. Semuanya menyebutkan tentang sikap memaafkan dari Abu Bakar terhadap Khalid atas dasar bahwa ia telah "bertakwil dan keliru dalam penakwilannya."

 Dan jika Abu Bakar merupakan orang pertama yang bersedia "memaklumi" lalu memaafkan para penakwil, siapakah dari kaum Muslim selainnya yang akan meragukan hal itu?

 Sungguh aku tak dapat membayangkan, sejak kapankah usaha penakwilan dalam hal-hal furu' menjadi sesuatu yang terlarang, atau bagaimana ia tidak merupakan alasan pemaafan, di sisi Allah maupun kaum Mukmin? Padahal orang-orang terdahulu (para salaf) telah banyak menakwilkan arti dan maksud pelbagai nash, "demi maslahat umat" seperti yang mereka perkirakan. Pada kenyataannya, hasil penakwilan mereka itu ditaati sepenuhnya oleh mayoritas kaum Muslim, seraya menjadikan para salaf itu sebagai panutan dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama. Hal itu demi menunjukkan kepercayaan sepenuhnya terhadap hasil takwil dan ijtihad mereka di samping persetujuan atas maksud dan tujuan mereka.

 Masih ada lagi beberapa kasus yang ingin kami kemukakan, yaitu yang mengacu kepada takwil atau ijtihad mereka. Cukup sedikit saja yang ingin kami tambahkan, secara singkat dan sepintas lalu. Dan semoga yang sedikit ini dapat menunjuk kepada yang tersirat di balik yang tersurat, bak kata pepatah: "Bagi seorang yang berjiwa merdeka, selintas isyarat pun cukup memadai".

Penakwilan tentang Talak Tiga

 Di antaranya, penakwilan mereka mengenai "talak tiga sekaligus" dah penetapan hukum mereka terhadap hal tersebut, berlawanan dengan yang berlaku pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW serta sepanjang kekhalifahan Abu Bakar r.a. seperti yang telah diketahui.

 Pada pasal "Talak tiga sekaligus" dari bab "Thalak", kitab Shahih Muslim, juz I, halaman 574, dirawikan dari 'Abdullah bin Abbas melalui beberapa rangkaian sanad: Pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW, kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun pertama kekhalifahan Umar r.a., perbuatan "talak tiga sekaligus" dianggap satu. Kemudian Umar bin Khaththab berkata: "Banyak orang suka tergesa-gesa dalam urusan (talak) yang seharusnya mereka berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai pencegah agar mereka tidak tergesa-gesa, sebaiknya kita tetapkan saja seperti yang mereka ucapkan." Berkata Ibn Abbas selanjutnya: Sebab itu, dilaksanakanlah (kehendak Umar) itu atas mereka.***)

 Keterangan tersebut di atas juga disebutkan oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrir Al-Mar`ah (Pembebasan Kaum Wanita) halaman 173, sebagai kutipan dari Shahih Al-Bukhari. Juga dinukil oleh Sayid Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar, jilid (bundel) IV, halaman 210, dari riwayat Abu Dawud, Nasa-i, Al-Hakim, Baihaqi. Kemudian Sayid Rasyid Ridha berkata selanjutnya: "Di antara yang menunjukkan bahwa ketetapan Umar itu berlawanan dengan ketetapan Nabi SAWW ialah hadis yang dirawikan oleh Baihaqi dari Ibn Abbas, yang berkata: Seorang laki-laki bemama Rakanah menceraikan istrinya tiga kali sekaligus dalam satu majelis (pertemuan). Atas tindakannya itu ia (Rakanah) menjadi sangat menyesal dan bersedih hati. Setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah SAWW, beliau bertanya kepadanya: 'Bagaimana cara engkau menceraikannya?' Jawab Rakanah: 'Tiga kali sekaligus.' 'Dalam satu majelis (yakni satu pertemuan)?' tanya beliau. 'Ya,' jawab Rakanah. Maka Rasulullah SAWW berkata: 'Talak seperti itu hanya (dianggap) satu. Rujukilah istrimu itu jika kau ingin.'[12]

 Demikian itu pula menurut mazhab kami (Imamiyah).

 Sebagai tambahan dalil dari apa yang telah Anda simak tadi,[13] dan bahwa yang demikian itu merupakan hukum yang asli, perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah, ayat 229-230:

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَانٍ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ


 Maksud ayat di atas, Talak (yang dapat dirujuki hanyalah) dua kali, adalah apabila suami telah menjatuhkan talak atas istrinya sebanyak dua kali, maka yang wajib atasnya sesudah itu ialah seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran; yakni tetap memperistrikannya dengan cara yang baik atau — jika tidak — melepas (menceraikan)nya dengan kebaikan pula. Kemudian Allah berfirman selanjutnya, Maka jika ia (suami) menceraikannya {yakni untuk kali yang ketiga setelah dua kali talak yang terpisah). . . tidaklah ia (si istri) halal baginya setelah itu . . . (yakni setelah talak yang ketiga) . . . sampai si istri telah mengawini seorang suami selainnya . . . (yakni suami yang kedua).

 Berdasarkan ayat ini, apabila suami berkata kepada istrinya: "Engkau kujatuhi talak tiga"; padahal sebelumnya ia tidak pernah mentalaknya, atau pun jika ia hanya pernah mentalaknya satu kali, maka tidaklah ada larangan bagi keduanya untuk rujuk kembali walaupun perempuan itu belum dinikahi oleh suami yang lain. Sebab yang terlarang ialah merujukinya sesudah terjadi talak ketiga yang didahului oleh dua talak sebelumnya.

 Walaupun demikian, Umar r.a. telah menakwilkan ayat tersebut serta semua dalil yang berkaitan dengan soal itu sebagai peringatan bagi mereka yang bertindak tergesa-gesa serta pencegahan bagi orang-orang jahil dan cepat naik darah.[14] Kiranya penjelasan tersebut cukup memuaskan bagi Anda mengenai sikap "memaklumi" dan memaafkan, bahkan menyetujui tindakan para penakwil.
 
    

Penambahan dalam Azan Subuh

 Di antara penakwilan mereka (yakni para Sahabat) ialah dalam azan Subuh yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAWW; yaitu tambahan seruan muazin: "Ash-shalatu khayrun min an-naum" (shalat lebih utama daripada tidur). Bahkan hal itu tak pernah ada pada zaman Abu Bakar. Justru Khalifah Kedualah yang memerintahkannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis-hadis mutawatir melalui saluran 'itrah (keluarga suci) Rasul SAWW Namun, cukuplah bagi Anda, riwayat-riwayat yang melalui para perawi selain mereka, seperti yang dirawikan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwattha', pada bab "Tentang Seruan Untuk Shalat", bahwa muazin mendatangi Umar bin Khaththab untuk memberitahu tentang tibanya waktu shalat Subuh. Ketika dijumpainya Umar masih tidur, si muazin berkata: "Ash-shalatu khayrun min an-naum". Maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan ke dalam azan Subuh.

 Al-'Allamah Az-Zarqani — ketika sampai pada hadis ini dalam Syarh Al-Muwattha' — menulis sebagai berikut: Berita tentang ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya yang dirawikan melalui Waki' dalam kitabnya, Al-Mushannaf, dari Al-'Amri, dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Umar bin Khaththab.

 Az-Zarqani menulis selanjutnya: Ad-Daruqutni juga merawikannya dari Sufyan, dari Muhammad bin 'Ajlan, dari Nafi', dari Ibn Umar bahwa Umar berkata kepada muazin: "Jika engkau sudah menyerukan Hayya 'alal-falah di waktu azan Subuh, maka katakanlah: Ash-shalatu khayrun min an-naum (dua kali)."

 Ingin kami tambahkan bahwa Ibn Abi Syaibah juga telah merawikan hadis ini melalui riwayat Hisyam bin 'Urwah. Dan masih banyak lagi selain mereka.

 Demikianlah, Anda dapat mengetahui tentang tidak adanya kalimat tersebut yang pernah dirawikan kepada kita dari Rasulullah SAWW Untuk itu, bila Anda ingin, telitilah kembali juz pertama kitab Shahih Al-Bukhari (Bab "Azan") atau permulaan Bab "Shalat" (Pasal tentang sifat atau cara Azan) dari Shahih Muslim. Pasti Anda akan membenarkan pernyataan kami mengenai hal ini.

 Di samping itu, banyak di antara para penulis menyebutkan sebuah berita tentang asal mula disyariatkannya azan.[15] Walaupun berita itu sendiri ditolak oleh kalangan Imamiyah, namun kami akan mengutipnya demi menunjukkan kebenaran pernyataan kami di atas tentang adanya tambahan dalam teks azan. Ringkasan peristiwa itu ialah bahwa Abdullah bin Zaid bin Tsa'labah Al-Anshari pada suatu malam bennimpi bertemu dengan seseorang yang mengajarkan kepadanya teks azan dan igamat. Ketika ia bangun dari tidurnya itu, sebelum fajar, ia ceritakan mimpinya itu kepada Nabi SAWW. Beliau langsung memerintahkannya agar mengajarkah teks yang dihapalnya dalam mimpinya itu kepada Bilal. Dan beliau juga memerintahkan Bilal agar mengumandangkannya pada awal waktu fajar hari itu. Maka Bilal melaksanakannya. Dengan demikian, menurut yang mereka dakwakan itu, azan telah disyariatkan berdasarkan mimpi.

 Nah, kami telah membaca teks azan yang diajarkan oleh Abdullah kepada Bilal tersebut. Meskipun hal itu adalah azan untuk waktu fajar, namun di dalamnya tidak ada kalimat "ash-shalatu khayrun min an-naum ".

 Memang, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut bukanlah bersumber dari Allah SWT atau Rasulullah SAWW, amat banyak. Sedangkan apa yang telah kami kemukakan di atas, cukup kuat memberikan gambaran adanya penakwilan mereka mengenai azan, dan cukup pula menunjukkan pemaafan bagi para pcnakwil sepanjang masa.****)

Mengurangi Kalimat dalam Azan

 Di antara penakwilan mereka lainnya ialah penghapusan kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" (Mari mengerjakan amal paling utama) dari azan dan igamat. Hal tersebut disebabkan mereka selalu ingin menggambarkan kepada kaum awam bahwa amal yang paling terpuji ialah jihad fi sabilillah agar mereka merindukannya dan cenderung melak-sanakannya. Sedangkan seruan kepada shalat sebagai "amal yang paling utama" sebanyak lima kali sehari,[16] pasti bertentangan dengan keinginan membangkitkan semangat untuk beiperang.

 Mungkin saja mereka beranggapan bahwa dengan tetapnya kalimat tersebut dalam azan dan iqamat akan menghambat kaum awam dari pelaksanaan jihad. Sebab, bilamana mereka mengetahui bahwa shalat merupakan amalan yang paling utama padahal pelaksanaannya begitu mudah dan aman, sudah barang tentu mereka akan mencukupkan diri mengerjakannya dalam upaya memperoleh pahala. Dan karena itu pula, mereka akan menjauhkan diri dari bahaya yang terkandung dalam jihad, apalagi ia kalah utama dibandingkan dengan shalat. Padahal kecen-derungan pihak waliyul-amri pada waktu itu (yakni Umar c.s.) tertuju kepada penaklukan negeri di segenap penjuru dunia.

 Upaya penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan sudah barang tentu tidak akan terwujud kecuali dengan menimbulkan semangat para pejuang agar tidak ragu-ragu menerjang bahaya. Untuk itu hati mereka harus diyakinkan sepenuhnya bahwa jihad adalah amalan paling utama yang dapat mereka harapkan pahalanya di akhirat kelak.

 Oleh sebab itu, Umar lebih cenderung menghapus kalimat itu dari azan, semata-mata demi mengutamakan kepentingan tersebut di atas keharusan melaksanakan ibadah sesuai sepenuhnya dengan cara yang diajarkan dalam syariat yang suci. Dan berkatalah ia dari atas mimbarnya (seperti ditegaskan oleh Al-Qausyaji — seorang ahli ilmu kalam dalam mazhab Al-Asy'ari — dalam bukunya, Syarh At-Tajrid, bab "Al-Imamah"): "Tiga hal yang berlangsung di zaman Rasulullah SAWW; kini aku melarangnya , mengharamkannya dan menghukum pelakunya: 1. Nikah mut'ah; 2. Haji mut'ah (tamattu’); 3. Kalimat hayya 'ala khayril ‘amal”.[17]

 Tindakan penghapusan kalimat itu diikuti pula oleh mayoritas kaum Muslim yang datang kemudian kecuali Ahlul-Bayt serta para pengikutnya. Di kalangan para pengikut Ahlul-Bayt, kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" tetap dijadikan semboyan mereka, seperti dapat diketahui dari mazhab mereka. Hal ini dapat dibuktikan, misalnya, ketika Asy-Syahid AJ-Husain bin Ali bin Al-Hasan bin: Al-Hasan bjn Ali bin Abi Thalib ("alaihim as-salam) menguasai kota Madinah pada peristiwa pemberontakan di masa Al-Hadi (seorang raja dari dinasti Abasiyah), ia (Al-Husain) memerintahkan muazin agar mengumandangkan kalimat tersebut dalam azannya. Hal ini ditegaskan oleh Abu Al-Faraj Al-Isfahani (dalam bukunya Magatil Ath-Thalibiyyin) ketika menyebutkan nama Al-Husain serta gugurnya sebagai syahid pada peristiwa yang dikenal sebagai "peristiwa Fakh".

 Begitu pula Al-'Allamah Al-Halabi, pada bab "Permulaan Disyariatkannya Azan", dalam buku sejarahnya As-Sirah Al-Halabiyah, juz II, halaman 110, menceritakan bahwa Ibn Umar r.a. dan Al-Imam Zainal Abidin bin 'Ali bin Al-Husain selalu menyerukan "Hayya 'ala khayr al-'amal" sesudah "Hayya 'ala al-falah" dalam azan mereka.*****)

 Perlu ditambahkan di sini bahwa hal ini dirawikan secara muta-watir dari Imam-Imam Ahlul-Bayt. Silakan menelaah hadis-hadis mereka dalam kitab Wasa-il Asy-Syi'ah ila Ahkam Asy-Syari'ah, untuk mengetahui pendapat mereka dalam hal ini.

 Kita telah membahas tentang tokoh-tokoh dari kalangan salaf yang bertakwil, lalu meniadakan satu bagian dari azan dan igamat, tapi hal itu tidak mengurangi kredibilitas mereka untuk menduduki jabatan khilafah dah kepemimpinan umat. Oleh karena itu, bagaimana mungkin para penakwil setelah mereka tidak bisa dimaafkan. Atau bagaimana mungkin mereka ini tidak akan memperoleh pahala seperti halnya para penakwil sebelumnya? Mari kita bertindak jujur dalam menilai mereka.

Menciptakan Tradisi Shalat Tarawih[18]

 Di antara hasil penakwilan mereka ialah shalat Tarawih yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah maupun masa khilafah Abu Bakar r.a. Shalat tersebut untuk pertama kali ditradisikan oleh Khalifah Kedua, pada tahun 14 H, seperti yang disepakati oleh para ulama. Hal ini ditegaskan oleh Al-'Askari dalam keterangannya tentang "Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar", dan kemudian dikutip oleh As-Sayuthi pada pasal tentang Umar bin Khaththab, dalam bukunya, Târîkh Al-Khulafa', halaman 51.

 Dalam "Riwayat Hidup Umar" dari kita Al-Isti'ab, Ibn Abdil-Bar menulis: "Dia (Umar)-lah yang telah menyemarakkan bulan Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap' (yakni shalat Tarawih)."

 Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah, ketika menyebut kematian Umar pada rangkaian peristiwa tahun ke-23 H dalam kitab sejarahnya Raudhat Al-Manazhir[19], berkata: "Dialah orang pertama yang melarang penjualan ummahat al-aulad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya). Dialah yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan diapulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang Imam .. . dan seterusnya."

 Ketika As-Sayuthi menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa' tentang "Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar r.a.", yang ia kutip dari Al-'Askari, ia berkata: "Dialah orang pertama yang dijuluki Amir Al-Mukminin . . ., dan seterusnya," sampai pada keterangan, "Dialah yang pertama mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut'ah, yang pertama kali melaksanakan shalat Jenazah dengan empat takbir . .. dan seterusnya."

 Berkata Muhammad bin Sa'ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khaththab r.a. dalam Ath-Thabaqat, juz III: "Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. la mengangkat dua qari (imam) di Madinah; seorang mengimami sembahyang Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita . .. dan seterusnya."

 Pada akhir juz I, dari kitab Shahik Al-Bukhari, yaitu pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: Barangsiapa mengerjakan shalat (sunnah) pada malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Kata Al-Bukhari selanjutnya: ". .. sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah SAWW wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal "shalat Tarawih").

 Muslim, pada bab "Anjuran Shalat Malam Bulan Ramadhan", dalam kitab Shahih-nya., juz I, telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW selalu menganjurkan kaum Muslim agar menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat sunnah, tanpa mewajibkannya. Dalam hal ini beliau bersabda: Barangsiapa mengisi malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat yang disertai keimanan dan keikhlasan kepada Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ketika Rasulullah SAWW berpulang ke rahmatullah, keadaannya tetap seperti itu. Begitu pula pada zaman Abu Bakar, hingga awal pemerintahan Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a.

 Pada pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan dari Abdur-Rahman bin 'Abd (Al-Qari)[20] katanya: Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid. Kami melihat banyak orang sedang shalat sendiri-sendiri, masing-masing terpisah dari lainnya, Umar berkata: "Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik." Kemudian ia menetapkan niatnya itu dan mengumpulkan mereka dalam. satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka'ab. Sesudah itu — kata 'Abdur-Rahman — pada malam yang lain aku keluar bersama Umar lagi, sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat mereka di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan itu, Umar berkata: "Alangkah baiknya bid'ah ini!"

 Pada awal halaman 4, juz V, kitab Irsyad As-Sari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, Al-'Allamah Al-Qasthallani, ketika sampai kepada ucapan Umar dalam hadis tersebut (yakni, "Alangkah baiknya bid'ah ini"), berkata: "la menamakannya bid'ah, sebab Rasulullah SAWW tidak menyunatkan kepada mereka untuk menunaikannya secara berjamaah. Hal itu juga belum pemah ada di zaman Khalifah Abu Bakar. Baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan ataupun tentang jumlah rakaatnya. (Yakni duapuluh rakaat seperti sekarang)."

 Keterangan seperti itu dapat Anda jumpai pula dalam kitab Tuhfat Al-Bari. Hal ini tidak diperselisihkan oleh siapa pun di kalangan kaum Muslim. Maka, mudah-mudahan Anda cukup puas dengannya sebagai petunjuk atas diberlakukannya pemaafan-pemaafan bagi para penakwil.

Penakwilan dalam Ayat tentang Zakat

 Di antara penakwilan mereka lainnya ialah yang berkenaan dengan firman Allah SWT tentang ayat zakat. Mereka telah menghapus bagian yang disediakan bagi para muallaf dan yang ditentukan berdasarkan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Hal itu, pada hakikatnya, merupakan sesuatu yang diketahui secara pasti sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Agama (ma'lum min ad-din bi adh-dharurah). Telah disepakati secara meluas di kalangan semua golongan kaum Muslim bahwa Nabi SAWW senantiasa memberikan kepada mereka (para muallaf) bagian mereka itu, sampai saat akhir hidup beliau. Dan bahwa beliau tidak pernah berpesan kepada siapa pun untuk menghapus bagian tersebut.

 Pengarang kitab Al-Jauharah An-Nayyirah 'ala Mukhtashar Al-Quduri[21] dalam bidang fiqh mazhab Abu Hanifah, pada halaman 164, juz I, menyebutkan: "Beberapa dari para muallaf datang menghadap Abu Bakar r.a. — sepeninggal Nabi SAWW — agar ia memberikan bagian mereka seperti biasa. Maka Abu Bakar menuliskan surat perintah membayar bagian tersebut (dari uang zakat), dan mereka membawa surat itu kepada Umar (yang mengelola Bayt Al-Mal) untuk menerimanya. Akan tetapi Umar menyobeknya seraya berkata: 'Kami tidak membutuhkan kalian lagi! Allah telah memenangkan Islam dan karenanya, kalian boleh pilih: memeluk agama Islam atau kami jadikan pedang (sebagai pemutus) antara kami dan kalian!' Orang-orang itu segera kembali menemui Abu Bakar dan berkata: 'Andakah yang menjadi khalifah atau dia?' Jawab Abu Bakar: 'Dia, insya Allah!' Dengan itu, Abu Bakar menyetujui dan menetapkan keputusan Umar. Dan sejak itu pula, jumhur (mayoritas) kaum Muslim memberlakukan ketetapan penghapusan bagian untuk para muallaf. Sedemikian kuatnya ketetapan itu sehingga seandainya seseorang memberikan sebagian dari zakatnya kepada para muallaf, maka ia dianggap belum menunaikan zakat yang wajib atas dirinya, secara sepenuhnya."[22]

Mengubah Ketetapan tentang Khumus

 Di antara penakwilan mereka ialah yang berkaitan dengan ayat Al-Quran tentang khumus (seperlima harta). Yaitu firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja dari ghanimah[23] yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlimanya uniuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil, jika[24] memang kamu benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furgan, yaitu hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (An-Anfal: 41).

 Tetapi, berlawanan dengan ayat ini, mereka menyerahkan seperlima harta (khumus) itu kepada selain orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut.

 Imam Malik seperti yang diketahui dalam mazhabnya, berpendapat bahwa khumus itu, semuanya, diserahkan kepada kebijaksanaan Penguasa Negeri; boleh saja diberikan olehnya kepada siapa pun juga, dan tidak seorang pun berhak menuntutnya.

 Adapun Imam Abu Hanifah, seperti yang diketahui dalam mazhabnya, telah membagi harta khumus menjadi tiga bagian; 1. diberikan kepada yatim piatu kaum Muslim; 2. para fakir miskin; 3. para ibnus-sabil. Menurut pendapatnya, tidak ada perbedaan antara kerabat Rasul dan lainnya.

 Padahal Anda mengetahui bahwa nash Al-Quran telah menandaskan adanya hak dalam khumus itu, khusus bagi kerabat Rasul. Anda pun memaklumi bahwa Suhnah Nabi SAWW telah menetapkan adanya hak (saham) mereka di dalamnya, yang tidak gugur kewajiban mengeluarkannya kecuali dengan memberikannya kepada mereka. Bahkan semua golongan (mazhab) dari umat Islam sepakat bahwa Rasulullah SAWW dikhususkan baginya sebagian dari khumus itu dan sebagiannya yang lain khusus untuk sanak kerabatnya. Beliau tidak pernah berpesan kepada siapa pun untuk mengubah cara pembagian itu sampai beliau pulang ke rahmatullah.

 Namun ketika Abu Bakar menduduki jabatan sebagai khalifah, ia menakwilkan dalil-dalil tentang itu lalu mengfailangkan hak (saham) Nabi SAWW dan keluarganya, ia menolak membagikan bagian dari khumus itu kepada Bani Hasyim. (Sebagaimana tercantum dalam penafsiran ayat tersebut pada kitab taf sir Al-Kasysyaf, dan lain-lainnya).

 Pada akhir bab "Peperangan Khaibar", kitab Shahih Al-Bukhari, juz III, halaman 36, disebutkan bahwa Fathimah a.s. pernah mengirim pesan kepada Abu Bakar untuk menanyakan tentang harta warisannya dari Rasulullah SAWW, yaitu yang berupa hasil fai` ******) di kota Madinah dan Fadak serta sisa dari seperlima bagian harta rampasan perang Khaibar. Namun Abu Bakar menolak untuk menyerahkan kepadanya. Sebagai akibatnya Fathimah a.s. marah kepadanya, tidak mau menyapa dan berbicara dengannya sampai beliau (Fathimah) meninggal dunia, hanya enam bulan sepeninggal ayahandanya, Rasulullah SAWW Dan ketika ia wafat, suaminya (Ali r.a.) menguburnya di malam hari, secara rahasia. Dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar tentang kematian istrinya itu, dan karena itu pula Abu Bakar tidak ikut menshalati jenazahnya.

 Peristiwa tersebut juga dapat dijumpai keterangannya dalam Shahih Muslim, jilid II, halaman 72, pada bab: ".. .Kami, para nabi, tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan adalah sedekah." Keterangan seperti itu dijumpai pula dalam beberapa bagian dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

 Pada akhir pasal "Jihad" dalam kitab Shahih-nya, juz II, Muslim telah merawikan dari Qais bin Sa'ad, dari Yazid bin Hurmuz, katanya: Najdah bin Amir (dari kelompok Khawarij) pernah menulis surat kepada Ibn Abbas, dan aku menyaksikan Ibn Abbas ketika membacanya lalu menulis jawabannya sambil berkata: "Demi Allah, seandainya aku tidak ingin mencegahnya daripada kebusukan yang menjerumuskannya, niscaya aku tidak akan mau menulis kepadanya." Maka Ibn Abbas menulis jawaban kepadanya: "Engkau telah bertanya tentang bagian (saham) bagi para kerabat Rasul SAWW yang disebutkan oleh Allah, siapakah mereka itu? Ketahuilah, sejak dahulu kami meniahami bahwa yang dimaksud dengan kerabat Rasul SAWW ialah 'kami' Yakni, Bani Hasyim – Penerj.). Namun kaum kami telah menolak memberikannya kepada kami."[25]

 Hadis tersebut dirawikan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, juz 1, halaman 294. Demikian pula ahli hadis lainnya, semuanya dengan saluran-saluran yang shahih. Dan yang demikian itu sesuai pula dengan mazhab Ahlul-Bayt dalam hadis-hadis mutawatir yang bersumber dari para Imam a.s.

Mengurangi Takbir dalam Shalat Jenazah

 Di antara penakwilan mereka lainnya ialah pelaksanaan shalat jenazah dengan empat takbir saja, sebagaimana yang diketahui dari buku-buku fiqh empat mazhab serta praktek mereka. Adapun yang pertama menghimpun jamaah kaum Muslim untuk melakukannya ialah Umar bin Khaththab r.a. Amat banyak yang menyatakan hal itu, antara lain As-Sayuthi dalam bukunya, Tarikh Al-Khulafa', ketika menyebutkan "Hal-hal yang Dipelopori oleh Umar". Juga Ibn Syuhnah ketika mengisahkan meninggalnya Umar pada peristiwa-peristiwa tahun ke-23 H, dalam Tarikh-nya, Raudhat Al-Manazhir dan lainnya.

 Cukuplah bagi Anda sebagai petunjuk adanya penakwilan mereka, mengenai persoalan ini, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Arqam, pada halaman 370, juz IV dalam Musnad-nya dari Abd Al-A'la yang berkata: "Aku pernah shalat jenazah di belakang Zaid bin Arqam, lalu ia bertakbir sebanyak lima kali. Seorang bernama Abu 'lsa 'Abdur-Rahman bin Abu Laila menghampirinya seraya menggandeng tangannya dan berkata: 'Lupakah engkau?' Tidak!" jawab Zaid, Tetapi aku pernah shalat jenazah di belakang kekasihku, Rasulullah SAWW dan beliau bertakbir sebanyak lima kali. Maka aku tidak akan meninggalkannya, selama-lamanya'."

Larangan Menangisi Mayat

 Di antara penakwilan mereka ialah larangan menangisi orang mati, sesuatu yang telah diharamkan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a. Ketika menyebutkan tentang kematian Abu Bakar pada bab "Peristiwa-peristiwa Tahun ke-13" dalam kitab Tarikh-nya, juz IV, Ath-Thabari merawikan dengan sanad Sa'id bin Al-Musayyib, yang berkata: Ketika Abu Bakar r.a. berpulang ke rahmatullah, 'Aisyah r.a. mengumpulkan beberapa wanita untuk meratapinya. Kemudian datang Umar bin Khaththab dan seraya berdiri di balik pintu, ia melarang wanita-wanita itu menangisi kematian Abu Bakar. Namun mereka tidak mempedulikannya. Maka Umar berkata kepada Hisyam bin Al-Walid, "Masuklah dan suruh putri Ibnu Quhafah (yakni 'Aisyah) agar ia keluar!" Ketika 'Aisyah mendengar perintah Umar, ia berkata kepada Hisyam: "Aku melarang kamu memasuki rumahku!" Tetapi Umar tetap berkata kepada Hisyam: "Masuklah! Aku mengizinkan engkau!" Maka masuklah Hisyam lalu ia menggiring Ummu Farwah (saudari Abu Bakar) keluar untuk menghadap Umar. Segera Umar menderanya dengan cemeti sampai beberapa kali, sehingga wanita-wanita lainnya berhenti menangis ketika mendengar hukuman yang dijatuhkan Umar.

 Umar melakukan hal itu, padahal Imam Ahmad merawikan dari Ibn Abbas (dalam Musnad-nya, jilid I, halaman 335), dalam rangka menyebutkan peristiwa kematian Ruqayyah putri Rasulullah SAWW serta ratapan kaum wanita atasnya, dengan berkata: ". .. Umar mendera mereka dengan cambuknya. Maka Rasulullah SAWW bersabda: 'Biarkan mereka menangis!' Kemudian Rasulullah SAWW duduk di tepi kuburannya, sedangkan Fathimah (putri beliau) duduk di sampingnya seraya menangis." Ibn Abbas melanjutkan: "Maka Nabi SAWW menghapus air mata Fathimah dengan baju beliau sebagai rasa kasihan terhadapnya."

 Dalam Musnad-nya. pula (juz II, halaman 333), Imam Ahmad telah merawikan sebuah hadis dari Abu Hurairah, katanya: "Pemah ada iringan jenazah lewat di hadapan Rasulullah SAWW Beberapa wanita mengiringi jenazah itu sambil menangisinya, lalu Umar menghardik mereka. Maka bersabdalah Rasulullah SAWW: Biarkanlah mereka itu (menangis), sesungguhnya jiwa (mereka) itu sedang tertimpa musibah sehingga mata mencucurkan air mata."

 Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis di halaman 40 dalam Musnad-nya, dari Abdullah bin Umar, yang berkata: Tatkala Rasulullah SAWW pulang dari perang Uhud, sekelompok kaum wanita Anshar menangisi suami-suami mereka yang telah gugur. Maka berkata Rasulullah SAWW: "Kasihan Hamzah, tidak ada wanita-wanita yang menangisinya." Setelah itu beliau pergi tidur sejenak dan ketika ia terjaga, dilihatnya kaum wanita meratapi Hamzah. Maka beliau bersabda: "Begitulah, seharusnya mereka menangisi Hamzah."

 Hadis ini dikenal secara meluas di kalangan kaum Muslim. Ibn Jarir, Ibn Atsir, penulis kitab Al-'Iqd Al-Farid, serta para ahli sejarah selain mereka telah meriwayatkan hadis tersebut.

 Pada bagian riwayat hidup Hamzah, dalam buku Al-Isti'ab, yang dikutip dari Al-Waqidi, disebutkan: "Tidak seorang wanita pun dari kaum Anshar — setelah mendengar sabda Nabi SAWW, 'Kasihan Hamzah, tidak ada yang menangisinya.' — yang hendak menangisi seorang dari keluarganya, kecuali ia memulai dengan menangisi Hamzah terlebih dahulu."

 Ketika mengisahkan riwayat hidup Ja'far dalam Al-Isti’ab-nya, Ibn 'Abd Al-Bar berkata: Ketika datang kepada Nabi Muhammad SAWW berita tentang kematian Ja'far, beliau mengunjungi istrinya, Asma' binti Umais, untuk ber-takziah. Kemudian masuklah Fathimah seraya menangis dan berseru, "Aduhai pamanku!" Maka berkatalah Rasulullah SAWW: "Untuk orang-orang seperti Ja'f ar inilah, hendaknya ratap tangis kaum wanita itu ditujukan."

 Dalam kitab Shahih-nya, (bab "Jenazah", halaman ketiga) Al-Bukhari merawikan bahwa Rasulullah SAWW telah menangis atas kematian Zaid dan Ja'far. Demikian pula Ibn 'Abd Al-Bar (pada bagian riwayat hidup Zaid dalam Al-lsti'ab) menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW telah menangisi Ja'far dan Zaid, dan beliau berkata: "Aduhai saudara-saudaraku, penghibur-penghiburku dan kawan-kawan berbincangku...!"

 Beliau juga menangis pada waktu kematian putranya, Ibrahim, sehingga bertanyalah Abdur-Rahman bin 'Auf (sebagaimana yang tercatat pada juz I dari Shahih Al-Bukhari), "Anda juga menangis, ya Rasulullah?" Jawab beliau: "Wahai Ibn 'Auf, sesungguhnya ini adalah (tanda) rahmat." Kemudian beliau menangis lagi seraya bersabda: "Mata ini mencucurkan air mata dan hati bersedih. Namun tidak sebaiknya kita mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. Sungguh kami sangatlah sedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim."

 Semua orang mengetahui tentang ratap tangis Rasulullah SAWW atas kematian pamannya, Hamzah, sedemikian sehingga Ibn 'Abd Al-Bar, pada bagian biografi Hamzah dalam Al-Isti'ab, berkata: "Ketika Rasulullah SAWW menyaksikan Hamzah telah terbunuh, beliau menangis. Dan ketika dilihatnya tubuhnya dicincang, beliau terisak-isak."

 Tercantum di akhir halaman 387, dalam kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, juz III, Al-Waqidi menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW, pada waktu terjadinya musibah itu, setiap kali melihat Safiyah (bibi Nabi SAWW dan saudara Hamzah) menangis, beliau pun menangis, dan setiap kali Safiyah terisak-isak beliau pun seperti itu. Demikian pula pada peristiwa kematian Ja'far tersebut, Fathimah menangis, dan ketika Rasulullah SAWW melihatnya demikian, beliau pun ikut menangis.

 Pada peristiwa lainnya, Rasulullah SAWW pernah menangis atas kematian seorang bocah dari salah seorang putrinya. Menyaksikan hal itu, Sa'ad bertanya (seperti tercantum dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim): "Bagaimana ini, ya Rasulullah?" Jawab Nabi SAWW: "Inilah pengaruh rahmat yang ditanamkan Allah dalam kalbu hamba-hamba-Nya. Sungguh Allah SWT hanya akan merahmati hamba-hamba-Nya yang senantiasa hatinya penuh rahmat."

 Masih banyak lagi hadis semacam ini yang tiada terbilang banyaknya, dan tidak mungkin memaparkannya secara keseluruhan di sini. Cukuplah sekadar ini saja.

 Adapun mengenai berita yang dirawikan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa "orang mati akan disiksa karena ratap tangis keluarganya", atau dalam riwayat lain "disiksa oleh sedikit tangisan keluarganya atasnya", atau dalam riwayat lain "diazab karena tangis yang hidup", atau riwayat lainnya lagi "disiksa dalam kuburannya disebabkan ratap tangis atas dirinya", atau dalam riwayat lain lagi "bahwa barangsiapa yang ditangisi akan disiksa"; maka semua ini merupakan kesalahan si perawi, baik menurut hukum 'aql (akal) ataupun naql (nukilan).

 Telah berkata An-Nawawi ketika membahas riwayat-riwayat tersebut pada bab "Orang Mati Diazab Karena Tangisan Keluarga Atasnya", dalam bukunya Syarh Kitab Shahih Mttslim: "Semua riwayat ini bersumber dari Umar bin Khaththab dan putranya, Abdullah bin Umar." Kata An-Nawawi selanjutnya: "Aisyah menyanggah ucapan kedua mereka itu." seraya menyatakan bahwa hal tersebut semata-mata akibat kealpaan atau kesalahpahaman. Kemudian Aisyah menunjuk kepada firman Allah:

 ... Tidaklah seseorang memikul dosa orang lain. (Al-An-'am: 164).

 Selain yang disebutkan oleh An-Nawawi, Ibn Abbas r.a. telah menolak pula riwayat-riwayat tersebut dan menegaskan bahwa hal itu disebabkan kesalahan perawinya. Penjelasan tentang hal itu dapat dibaca dalam kedua kitab Shahih serta Syarh-nya. Pendapat Aisyah mengenai ini bertentangan secara diametral dengan pendapat Umar, sedemikian sehingga ia menyelenggarakan ratapan ketika ayahnya (yakni Abu Bakar) meninggal dunia. Dan pada saat itu terjadi kericuhan antara mereka, seperti telah Anda baca sebelum ini. Rincian peristiwa ini termuat dalam buku kami berjudul, Al-Asalib Al-Bada’iyah fi Rujhani Ma`atim Asy-Syi'ah. Juga dalam mukadimah Majalisuna Al-Fakhirah fi Ma`atim Al-'Itrah Ath-Thahirah, yang telah dicetak tahun 1332 H.

Aneka Kasus Lainnya (Secara Singkat)

 Masih ada lagi kasus-kasus penakwilan mereka selain yang telah kami ketengahkan di atas. Seperti penggeseran yang mereka lakukan terhadap maqam Nabi Ibrahim a.s. ke tempatnya yang sekarang,[26] yang tadinya menempel pada Baytullah (Ka'bah). Juga perluasan Al-Masjid Al-Haram pada tahun 17 H dengan menggabungkan beberapa rumah penduduk sekitamya, walaupun para pemiliknya menolak untuk menjualnya. Namun Umar r.a. merobohkannya secara paksa lalu menitipkan uang harganya di Bayt Al-Mal sampai pada akhirnya mereka menerimanya.[27]

 Demikian pula vonis yaiig dijatuhkannya atas sekelompok orang Yaman agar mefeka membayar diyat (denda pembunuhan) Abu Khirasy Al-Hudzali, seorang penyair dari kalangan Sahabat yang terkenal.[28] Sebelum itu, mereka datang bertamu di rumah Abu Khirasy. Ketika Abu Khirasy keluar mencari air untuk mereka, seekor ular menggigitnya sehingga ia mati. (Maka Umar menghukum mereka karena itu).

 Juga hukuman pembuangan ke kota Basrah yang dijatuhkan oleh Umar atas diri Nashr bin Hajjaj, semata-mata karena seorang wanita cantik memujanya dalam nyanyian.[29]

 Ada juga peristiwa Umar berkaitan dengan hak warisan yang dibagi antara datuk dan saudara sekandung, yang pada akhirnya, Umar membatalkan keputusannya semula dan kemudian mengikuti pendapat Zaid bin Tsabit Al-Ahshari.[30]

 Demikian juga penakwilannya terhadap firman Allah SWT tentang larangan memata-matai. Hal itu dilakukannya karena berpendapat bahwa tindakan tersebut bermanfaat bagi negara maupun rakyat. Oleh s.ebab itu, ia melakukan perondaan rahasia pada siang maupun malam hari untuk memata-matai rakyat dan mengawasi tindakan kejahatan yang mungkin mereka rencanakan. Al-Ghazali menyebutkan dalatn Ihya 'Ulum Ad-Din, bahwa ketika Umar melakukan perondaan rahasia di malam hari, ia mendengar — di salah satu perkampungan kota Madinah — seorang laki-laki yang sedang bersenandung menyanyikan lagu di dalam rumahnya. Lalu Umar memanjat pagar untuk mengintainya dan dilihatnya laki-laki itu berduaan dengan seorang wanita dan sebotol khamr di hadapannya. Maka Umar berkata kepadanya: "Wahai musuh Allah, apakah kau kira Allah akan menutupimu sedangkan engkau bermaksiat terhadap-Nya?" Orang itu menjawab: "Sekiranya aku melakukan satu maksiat, Anda telah melakukan tiga maksiat sekaligus. Allah SWT telah berfirman: Jangan memata-matai! (Al-Hujurat: 12); sedangkan Anda memata-matai. Dan Allah telah berfirman: Tidaklah termasuk kebaikan jika kamu mendatangi rumah-rumah melalui 'punggung' (belakang)-nya . .. (Al-Baqarah: 189); sedangkan Anda telah meloncati pagar rumahku. Dan Allah telah berfirman: Hai orang-orang beriman, jangantah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya ... (An-Nur: 27); sedangkan Anda telah memasuki rumahku tanpa izin ataupun salam!" Maka Umar berkata: "Apakah engkau ingin kembali ke jalan yang baik, andaikata aku memaafkan engkau?" Jawab orang itu: "Ya." Maka Umar meninggalkan orang itu dan segera keluar.

 Masih banyak lagi kasus yang ditangani oleh Umar berdasarkan ijtihad atau penakwilannya yang menyimpang dari pengertian nash-nash yang jelas. Semua itu semata-mata demi memperkukuh bangunan politik kenegaraan dan demi memudahkan pengelolaan segala urusannya. Yaitu dengan mendahulukan kepentingan kerajaan dan mengutamakan pembinaan kekuatan lebih daripada menerapkan nash-nash itu secara konsekuen. Seperti penetapan pajak kharaj atas penduduk daerah-daerah Irak dan sekitamya, cara pengaturan jizyah, pembentukan panitia syura (untuk memilih khalifah sepeninggalnya). Juga seperti dalam ucapannya pada waktu itu: "Andaikata Salim (bin Ma'qal, hamba sahaya Abu Hudzaifah) masih hidup, niscaya akan kuangkat ia sebagai khalifah penggantiku.[31] Padahal telah disepakati (secara ijma')[32] berdasarkan nash maupua fatwa, mengenai tidak sahnya menyerahkan tampuk kepemimpinan umum (imamah) kepada seseorang seperti dia. Hal itu mengingat bahwa ia (Salim) dari bangsa Parsi (dari kota Isthakhr atau Kirmid) yang menjadi budak dari istri Abu Hudzaifah, yang berasal dari kaum Anshar.•

 *) Istilah takwil, menakwilkan, penakwilan dan sebagainya akan sering Anda jumpai dalam buku ini. Asal kata takwil berarti penafsiran suatu ucapan, dan dapat juga digunakan untuk penafsiran mimpi. Kemudian kata takwil digunakan untuk penafsiran Al-Quran. Seperti yang digunakan oleh Az-Zamakhsyari dalam tafsimya berjudul Al-Kassyaf 'an Haga'ig At-Tanzil wa 'Uyun Al-Agawil fi Wujuh At-Ta`wil. Adakalanya kata takwil identik dengan kata ijtihad yang positif, tetapi adakalanya juga berkonotasi negatif, yaitu ijtihad atau penafsiran yang dilakukan demi tujuan-tujuan pribadi atau suatu golongan, dan bukan demi kebenaran. Semua arti ini tentunya dapat dipahami sesuai konteksnya masing-masing — penerj.

 **) Ucapannya ini ditujukan kepada beberapa tokoh kaum Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah, sebagai tantangan untuk berperang — penerj.

 [1] Bacalah bagian akhir bab "Perang Khaibar", halaman 36, dalam Shahih Al-Bukhari, jilid III, cetakan Mesir tahun 1309 H. Dan pada catatan kakinya terdapat komentar As-Suddi. Atau bacalah kitab Shahih Muslim pada bagian "Jihad", bab "Sabda Rasulullah SAWW: Kami (para Nabi) tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan merupakan sedekah" (juz II, halaman 72, cetakan Mesir, tabun 1327 H). Anda akan memperoleh keterangan yang jelas mengenai penolakan untuk ber-bai'at dengan sanad sampai Um Al-Mukminin Aisyah r.a.

 [2] Kitab ini (Raudhah Al-Manadzir) dan Muruj Adz-Dzahab, keduanya tercetak di samping kitab Al-Kamil karya Al-Atsir. Adapun Muruj Adz-Dzahab tercetak bersama kelima jilid pertama dari kitab Al-Kamil tersebut. Sedang kitab Tarikh Ibn Asy-Syahnah, tercetak di samping jilid terakhir yang terdiri atas juz XI dan XII. Adapun yang kami nukilkan di sini, dapat Anda baca pada halaman 112, juz XI.

 [3] Lihat Muruj Adz-Dzahab yang tercetak di samping buku Al-Kamil karya Ibn Al-Atsir, halaman 259, pada akhir jilid VI.

 [4] Ath-Thabrani telah merawikan dalam kumpulan hadisnya, Al-Ausath, dari Ummu Salamah, yang berkata: Aku pemah mendengar Rasulullah SAWW bersabda: "Ali bersama Al-Quran dan Al-Quran bersama Ali. Kedua-duanya tidak akan berpisah sampai bertemu kembali denganku di Al-Haudh (di Surga)." (Hadis ini dinukil dari kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah, Pasal II, Bab IX, halaman 74).

 [5] Ucapannya itu dan kedua bait syair sesudahnya termuat pada berita tentang Saqifah dalam kitab Al-'Iqd Al-Farid.

 [6] Ucapannya ini dan kedua bait syair sesudahnya terdapat pada berita tentang Saqifah dalam buku Al-Kâmil karya Ibn Atsir.

 [7] Dikutip dari Al-Kâmil karya Ibn Atsir.

 [8] Shahih Al-Bukhari, juz HI, akhir Bab "Peperangan Khaibar", halaman 36. Juga pada juz IV, halaman 105, awal kitab "Al-Faraidh" dari Shahih tersebut. Juga disebutkan dalam kitab Shahih Muslim, juz U, halaman 72, bab "Sabda Nabi SAWW: Kami (para nabi) tidak mewariskan kepada siapa pun; apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah".

 [9] Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid IV. Yang pertama termuat pada halaman 79, sedangkan yang kedua termuat pada halaman 87.

 [10] Penulisnya ialah Abu Al-Fadhl bin Abi Thahir, wafat tahun 280 H. Bacalah halaman 16 dan 23.

 [11] Ada lagi peristiwa Khalid yang terjadi pada masa hidup RasuluUah SAWW. Yaitu tatkala beliau SAWW mengutusnya kepada suku Judzaimah untuk berdakwah, bukan untuk memerangi mereka. Sebelum itu — di zaman jahiliyah — suku Judzaimah tersebut pernah membunuh paman Khalid bemama Al-Fakih bin Mughirah. Maka segera setelah Khalid tiba di perkampungan mereka, ia memerintahkan: "Letakkan senjata kalian, sebab semua orang telah memeluk agama Idam." Mereka pun segera meletakkan senjata mereka. Akan tetapi Khalid memerintahkan penangkapan atas mereka lalu membunuh sejumlah besar dari mereka. Ketika berita itu sampai kepada Nabi SAWW, beliau mengangkat tangan dan berdoa: "Ya Allah, aku berlepas tangan dari perbuatan Khalid! (Beliau mengulangi ucapannya ini, dua kali, sebagaimana tercantum dalam Shahih Al-Bukhâri, jilid III, halaman 47, pada bab "Al-Maghazi: Pengutusan Khalid bin Walid ke suku Judzaimah)".

 Selanjutnya, menurut Ibn Atsir dalam bukunya Al-Kâmil, juga para penulis buku lainnya, segera setelah peristiwa tersebut, Rasulullah SAWW mengutus Ali r.a. ke perkampungan suku Judzaimah, seraya membawa uang, untuk dibayarkan kepada mereka sebagai tebusan atas kematian orang-orang mereka serta kehilangan harta benda mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan amat teliti, sampai-sampai ia membayar tebusan untuk tempat minumnya anjing mereka. Kemudian masih ada lagi sisa uang. Maka Ali r.a. bertanya kepada mereka: "Masih adakah kerugian yangbelum saya bayarkan tebusannya?" Mereka menjawab: "Tidak, semuanya telah terbayar." Kata Ali selanjutnya: "Kalau begitu, akan kuberikan sisa uang ini kepada kalian, sebagai ihtiyath (sikap berhati-hati agar tidak sampai kurang) atas nama Rasulullah SAWW" Setelah menyerahkan uang itu kepada mereka, Ali r.a. kembali pulang dan menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAWW Maka Nabi SAWW berkata: "Sungguh baik dan benar perbuatanmu itu."

 Demikianlah yang dinukilkan oleh para sejarawan dan setiap orang yang menuliskan biografi Khalid, sedemikian sehingga Ibn 'Abdil Barr, setelah menyebutkan tentang peristiwa tenebut dalam bukunya, Al-Istî'âb, menjelaskan: "Berita tentang Khalid tersebut termasuk sahih."

 ***) Yakni, menjatuhkan talak tiga sekaligus dianggap sebagai talak terakhir sehingga tidak ada kesempatan untuk rujuk lagi (kecuali setelah wanita itu kawin lagi dengan seorang pria lainnya lalu menceraikannya lagi setdah itu). Ketetapan seperti ini, kemudian juga menjadi ketetapan paia imam keempat mazhab fiqih paling terkenal di kalangan Ahlus-Sunnah. Tetapi, Ibn Taimiyah menyalahi mereka dan memfatwakan bahwa talak tiga sekaligus hanya dianggap satu saja. Menurut Asy-Syaikh Muhammad Abu Zahiah, salah seorang penulis dan ahli fiqih terkemuka masa kini dari Mesir (dalam bukunya Tarikh ALMadzahib Al-Islamiyah, halaman 622), pendapat Ibn Taimiyah ini diambilnya dari mazhab Ahlul-Bayt — Penerj.

 [12] Disebutkan oleh Ibn Ishaq pada halaman 191, jilid II.

 [13] Perhatikanlah pula hadis yang dikutip Qasim Amin dalam bukunya, Tahrir Al-Mar-ah, halaman 172, yaitu yang dirawikan oleh An-Nasa`i, Al-Qurthubi, dan Az-Zaila'i, bahwa Ibn Abbas r.a. berkata: Rasulullah SAWW pemah diberitahu tentang seorang laki-laki yang telah menjatuhkan talak tiga pada suatu ketika (sekaligus) kepada istrinya. Maka bangkitlah beliau SAWW dalam keadaan marah lalu bersabda: "Apakah kamu hendak mempermainkan Kitab Allah sedangkan aku masih berada di antara kalian?"

 Dan juga dalam penafsiran surah Ath-Thalaq dari kitab tafsir Al-Kassyaf terdapat hadis yang sempa. Mungkin ada orang berkata bahwa hadis ini menunjukkan rusaknya (atau tidak berlakunya) talak tiga sama sekali lantaran merupakan permainan belaka, seperti yang diriwayatkan dari Said bin Musayyib dan sekelompok Tabi'in yang berpendapat demikian. Namun yang benar ialah bahwa yang dimaksud sebagai "tindakan permainan" ini ialah ucapan tsalatsan (tiga kali) yang dianggap sia-sia saja. Adapun ucapan si suami anti thalig (engkau kucerai) jelas berpengaruh, sebab tidak mengandung permainan di dalaranya.

 [14] Dalam bundel IV majalah Al-Manar, halaman 212 ditandaskan bahwa dalam masalah ini, Umar telah membuat keputusan berdasarkan ijtihadnya.

 [15] Imam Malik dalam Al-Muwattha telah menyebutkan peristiwa ini secara ringkai. Tapi Ibn 'Abdil-Bar dan Az-Zarqani telah membentangkannya dengan panjang lebar. Begitu pula Al-Halabi menyebutkannya dalam buku Sirah-nya, juz II, pada bab "Azan dan Pensyariatannya". Bahkan setiap ahli sejarah yang menceritakan riwayat hidup Abdullah bin Zaid pasti menyinggung peristiwa ini. Dan adakalanya mereka menjulukinya sebagai "si penemu azan". Meskipun demikian, orang-orang dari mazhab kami mengingkarinya dan menganggapnya satu hal yang mustahil (bahwa azan disyariatkan melalui mimpi seseorang).

 ****) Imam Syafi’i r.a. — dalam mazhabnya "yang baru" (al-jadid) — berpendapat bahwa ucapan "ash-shalatu khayrun min an-naum" pada azan Subuh, tidak disukai (makruh). Meskipun demikian, sebagian dari murid-muridnya beranggapan bahwa ucapan tersebut hukumnya sunnah. Lihat An-Nawawi dalam Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab, jilid III, halaman 89, Dar Al-'Ulum li Ath-Thiba'ah, Mesir, tahun 1972 M - Penerj.

 [16] Bahkan setiap Muslim diharuskan membacanya sepuluh kali setiap hari.

 [17] Setelah mengutip ucapan Umar itu dan menerimanya tanpa keraguan sedikit pun, ia membenarkan hal itu sebagai ijtihad dari Umar r.a.

 *****) Al-Imam Aa-Nawawiy dalam bukunya, At-Majmu' Syarh Al-Muhadzzab (jilid III, haL 95) berkata, "Makruh dalam azan mengucapkan 'Hayya 'ala khair al-'amal', sebab tidak pasti bersumber dari Rasulullah SAWW." Tetapi, Al-Baihaqiy menyebutkan adinya riwayat yang 'mauguf' (berhenti pada) Ibn Umar du Ali (Zainal Abidin) bin Husain r.a. tentang diserukannya kalimat tersebut. Kata Al-Baihaqiy selanjutnya: "Kalimat ini tidak pasti benumber dari Raiuhillah SAWW. Karena itu, kami tidak menyukai adanya penambahan dalam kalimat-kalimat azan. Wallahu a’lam — Penerj.

 [18] Tarawih ialah shalat sunnah Ramadhan yang dilakukan dengan berjamaah. Ia dinamakan Tarawih disebabkan adanya waktu istirahat (tarwihah) di dalamnya sesudah tiap empat rakaat. Tapi kami (kaum Syi'ah Imamiiyah) melaksanakan shalat sunnah Ramadhan sendiri-sendiri, sebagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah.

 [19] Sebelumnya Anda telah tahu bahwa naskah ini termuat pada keterangan bagian tepi (hamisy) Tarikh Ibn Atsir. Adapun yang kami nukilkan di sini terdapat pada juz II, halaman 122.

 [20] Nama lengkap 'Abdur-Rahman 'Abd (Al-Qari) ialah Ibn Daisy bin Muslim bin Ghalib Al-Madani. Abdur-Rahman ini pada waktu itu adalah pejabat Umar dalam menguruti Bayt Al-Mal. la adalah sekutu Bani Zuhrah. Meninggal dunia pada tahun 80 H, dalam uisa 78 tahun.

 [21] Kitab ini merapakan salah satu dari kitab fiqh berdasarkan mazhab Abu Hanifah yang paling terkenal, bahkan para pengikut mazhab Hanafi ber-tabarruk denguwya mengingat kedudukan tinggi penulisnya. Kutipan kami tentang masalah tersebut sesuai sepenuhnya dengan yang dikenal pada ucapan-ucapan pada ahli figh lainnya, serta para ahli hadis.

 [22] Pan ahli tarikh menyebutkan pula peristiwa hampir serupa seperti ini. Yaitu bahwa ‘Uyainah bin Hushain dan Aqra' bin Hubais datang menghadap Abu Bakar dan berkata: "Di tempat kami ada sebidang tanah gersang yang rumput pun tidak tumbuh di atasnya dan tidak berguna tedikit pun. Maukah Anda memberikannya kepada kami, mudah-mudahan ia menjadi bermanfaat kelak." Maka Abu Bakar bertanya kepada orang-orang di sekitarnya: "Bagaimanakah pendapat kalian?" Jawab mereka: "Tidak mengapa!" Segera Abu Bakar menulis surat (penyerahan hak) untuk kedua orang itu dan memerintahkan agar surat itu dibubuhi tanda tangan Umar sebagai saksi. Akan tetapi Umar mengambil surat itu dari mereka, lalu menghapus tulisan itu dengan ludahnya. Perbuatan Umar ini membuat kedua orang itu marah dan mengomel dengan kata-kata yang kurang enak. Mereka pergi menemui Abu Bakar lagi seraya berkata kepadanya; "Demi Allab, kami tidak tahu apakah Anda yang menjadi Khalifah atau Umar?" Jawab Abu Bakar : "Memang dia!" Beberapa saat kemudian, datanglah Umar dan sambil bersungut' sungut ia berkata kepada Abu Bakar: "Katakanlah kepadaku; apakah tanah yang Anda berikan kepada dua orang ini, memang milik Anda pribadi atau milik kaum Muslim?" Abu Bakar menjawab: "Milik kaum Muslim." Maka Umar bertanya lagi: "Apa sebabnya Anda memberikannya kepada kedua orang ini?" "Aku telah bermusyawarah dengan orang-orang di sekitarku", jawab Abu Bakar. "Tetapi", kata Umar lagi, "Adakah Anda telah bermusyawarah dengan seluruh kaum Muslim lalu mereka menyetujui?" Maka Abu Bakar berkata: "Memang, dahulu pemah kukatakan bahwa Anda sesungguhnya lebih kuat dari diriku untuk memikul jabatan ini, namun Anda sendiri yang memaksaku!"

 Kisah di atas telah dikutip oleh Ibnu Abi Al-Hadid pada juz XII, dari kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III, halaman 108. Begitu pula Al-Asqallni dalam kisah riwayat hidup ‘Uyainah dalam bukunya, Al-Ishabah.

 Sayang, mengapa Umar tidak bennusyawarah dengan segenap kaum Muslim pada peristiwa pem-bay'at-an Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah? Dan tidakkah lebih baik, seandainya ia bertindak bijaksana dan menunggu sampai Bani Hasyim telesai menyelenggarakan pemakaman jenazah Nabi SAWW?!

 [23] Ghanimah menurut bahasa berarti "memperoleh sesuatu." Arti ini lebih luas daripada perolehan dari hasil rampasan perang. Dengan ini pula Anda dapat mengetahui kaitan ayat ini dengan persoalan khumus (seperlima dari harta kekayaan) dalam mazhab kami (Syi'ah Imamiyah).

 [24] Arti kalimat yang dimulai dengan "jika" dalam ayat ini ialah bahwa khumus (atau seperlima) dari hasil yang kamu peroleh telah dikhususkan untuk keenam obyek yang tersebut
 (yakni Allah, Rasul-Nya, kerabat beliau, anak yatim, fakir-miskin dan ibnus-sabil) ... maka putuskan sama sekali ambisi kalian untuk menikmatinya dan bayarkanlah kepada yang berhak, ". . . jika kalian benar-benar beriman kepada Allah . . .!" Jelas, bahwa ayat ini mengandung ancaman bagi orang-orang yang tidak melaksanakan pembayaran khumus sesuai dengan ayat tersebut.

 ******) Fa'i adalah harta yang didapat dari orang yang tidak beragama Islam dengan jalan damai, atau pajak, bea cukai, harta orang murtad, hadiah dan lain-lainnya. Lihat kitab Fiqh Islam, oleh H. Sulaiman Rasjid, cetakan VII, halaman 445 - Penerj.

 [25] Shahih Muslim, juz II, pada awal halaman 105, cetakan tahun 1327 H, penerbit Al-Halabi dan kedua saudaranya.

 [26] Yang menggesemya ialah Khalifah Kedua (Umar), sebagaimana diketahui secara meluai. Silakan Anda baca pada halaman 113, kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III, cetakan Mesir. Juga kitab Hayat Al-Hayawan di bawah judul DYK (د ي ك) karangan Ad-Dumairi. Ibn Sa'ad, ketika menyebutkan riwayat hidup Umar dalam Thabaqat-nya mengatakan: "Dialah yang memerintahkan penggeseran magam Ibrahim a.s. ke tempatnya sekarang, yang tadinya menempel pada Baitullah. Juga As-Sayuthi telah mengutip keterangan seperti itu perihal kehidupan Umar dalam kitab Tarikh Al-Khulafa`."

 [27] Semua ahli sejarah menegaskan hal tersebut dalam buku-buku mereka. Antara lain, Ibn Atsir dalam bukunya, Al-Kamil, pada keterangan tentang peristiwa tahun itu.

 [28] Ibn 'Abd Al-Bar telah menyebut kejadian ini dalam Al-Isti'ab-nya, pada bagian riwayat hidup Abu Khirasy. Begitu pula Ad-Dumairi, yang mengutipnya dalam bukunya, Hayat Al-Hayawan.

 [29] Kisah ini sudah dikenal secara meluas. Anda dapat membaca rinciannya dalam Syarh Nahj Al-Balaghah karya Ibn Abi Al-Hadid (jilid III, halaman 99). Juga Ibn Khallikan dalam Wafayat-nya menyebut kisah ini pada riwayat hidup Nashr bin Hajjaj. Hampir
 teperti itu pula, hukuman pemukulan dan pcmbuangan oleh Umar atas diri Dhabi' At-Tamimi, gara-gara ia menanyakan kepada Umar tentang tafsir sebuah ayat Al-Quran. Peristiwa itu disebutkan oleh ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III,
 halaman 122.

 [30] Termuat dalam hamisy kitab Awarif Al-Ma'arif, juz II, halaman 173.

 [31] Ucapan Umar ini diriwayatkan secara meluas (mutawatir), antara lain, dapat dibaca dalam buku Al-Kamil (Tarikh Ibn Atsir) atau buku-buku tarikh lainnya. Ketika meriwayatkan ucapan Umar ini, pada bagian riwayat hidup Salim dalam bukunya, Al- Isti'ab, Ibn 'Abd Al-Bar menegatkan bahwa ucapan tersebut semata-mata berdasarkan ijtihad Umar. Ahmad (bin Hanbal) merawikan ucapan Umar pada halaman 20, kitab Musnad-nya sebagai berikut: "Seandainya masih hidup salah satu dari dua orang, Salim (maula Abu Hudzaifah) dan Abu 'Ubaidah, niscaya aku akan mempercayakan (jabatan khilafah) ini kepada mereka."

 [32] Amat banyak di antara para ulama yang menegaskan tercapainya ijma' mengenai hal itu (yakni tidak sahnya seorang budak atau bekas budak menduduki jabatan sebagai khalifah). Di antara yang menegaskannya, An-Nawawi dalam bab "Al-Imarah" (Kepemimpinan) dari bukunya, Syarh Shahih Muslim. Bahkan sekiranya Anda meneliti bab tersebut dalam Shahih Muslim, niscaya Anda akan lebih mengerti lagi tentang (hak dan keabsahan) Imam-imam yang Dua Belas as.    

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...