Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 06 Juli 2011

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan --- Argumen Fitrah [1]

Argumen Fitrah [1]


Mukadimah

Secara global, perlu diketahui bahwa maksud dari “argumen fitrah” yang diletakkan berdampingan dengan empirik dan rasio/akal, bukanlah fitrah aqliah, melainkan fitrah nurani. Oleh karena itu dalam argumen ini, kita tidak akan menjumpai pembahasan tentang premis minor (sughra), premis mayor (kubra) dan relasi antara minor-mayor (hadd-e wasath). Apa yang dijadikan sebagai landasan argumentasi di sini adalah inner vision (pengamatan internal) dan refleksi batin. Dengan demikian, pada pembagian di atas, tolok ukur pengklasifikasian terletak pada alat dan perangkat teologi. Artinya dalam argumen fitrah ini, kita akan menemukan ilmu sadar kita terhadap Tuhan melalui hati, perhatian dan refleksi internal, lalu melalui metode inilah kita akan membentuk makrifat tak sadar atau setengah sadar kita, terhadap Tuhan menjadi makrifat yang sadar dan aktual.

Sedangkan pada teori empirik, kita akan mengargumentasikan wujud Tuhan melalui penyaksian bias-bias fisikal dan materi (melalui proses penginderaan), juga dengan observasi dan mencermati keteraturan alam seperti pada teori keteraturan dan petunjuk (hidayah umum). Adapun pada argumen rasional, kita sama sekali tidak mempergunakan premis-premis eksperimental untuk mengaffirmasikan dan menegaskan eksistensi mutlak (wajibul wujud), melainkan hanya dengan bantuan akal yang dikolaborasikan dengan penerimaan terhadap prinsip keberadaan, seperti pada argumen wujub dan imkan (possibility), argumen illah (cause, sebab) dan ma’lul (effect, akibat) serta burhan shiddiqien.


Pembagian argumen berdasarkan asas kemanunggalan antara sâlik, maslak dan maqshad

Pada peristiwa terjadinya “sebuah gerak”, ada tiga asas yang menjadi poin perhatian yang perlu digaris bawahi, yaitu “mutaharrik (yang bergerak), masiir (jalan) dan hadaf (tujuan)”. Yang dimaksud dengan mutaharrik adalah pemikir yang berfikir dalam sebuah persoalan. Masir adalah metodologi atau wahana tafakkur dan kontemplasi. Sedangkan makshad adalah tujuan, yaitu konklusi dari pemikiran. Dari perspektif dan paradigma ini, dalil-dalil teologi dipilah menjadi beberapa bagian. Pada salah satu pembagiannya disepakati bahwa ketiga asas di atas saling terpisah satu dari yang lainnya. Pada bagian lainnya dikatakan bahwa mutaharrik dan masir adalah satu. Tetapi maksad terpisah dari keduanya. Dan pada bagian ketiga disepakati bahwa, masir dan maksad satu. Tetapi mutaharrik terpisah dari keduanya.[1]

Teori-teori semacam teori imkan, huduts (coming to be), gerak dan teori keteraturan, digolongkan dalam bagian pertama dimana pada tataran ini sâlik (pesalik), maslak (jalan suluk) dan makshad masing-masing terpisah satu dari yang lainnya.

Salah satu metode argumentasi atas wâjib al-wujud adalah ma’rifat nafs (pengenalan jiwa). Artinya bahwa manusia dapat menyadari keberadaan wâjib al-wujud melalui metode mutala’ah (pembelajaran) di dalam dirinya dan dalam perjalanan jiwanya. Lalu berargumentasi atas wâjib al-wujud dengan kontemplasi diri.[2] Dalam argumentasi semacam ini, pada hakikatnya metode dan cara yang dipergunakan adalah sama. Hanya saja tujuan terpisah dari keduanya.

Mulla Sadra memasukkan teori siddiqin pada bagian ketiga. Dikatakan bahwa maslak dan makshad adalah satu dan hanya para pesaliknyalah yang terpisah dari keduanya. Karena hal inilah sehingga dikatakan bahwa teori semacam ini merupakan teori yang paling mencakupi dan paling kuat di antara teori-teori lainnya.

Dalam kitab Asfar, ia mengatakan: “Teori yang paling kuat dan paling luas yang membahas tentang Tuhan adalah teori yang hadd-e wasath-nya (relasi antara premis minor dan premis mayor) mengakui ketiadaan sesuatu selain diri-Nya dimana pada akhirnya, metode identik dengan tujuan. Dan hal ini sebagaimana metodologi yang dpergunakan oleh para sadiqin, yaitu orang-orang yang berargumen dan bersaksi atas wajibul wujud dengan wajibul wujud”.[3]


Pertanyaan

Pada akhir wacana, ada baiknya kalau kita mencoba menjawab pertanyaan penting dalam masalah yang berkaitan dengan pembahasan di atas. Pertanyaan tersebut adalah, kenapa dan bagaimana sebagian dari filosof besar secara explisit menolak argumen atas wujud Tuhan. Sebagai contohnya Syaikh Ar-rais Abu ‘Ali Sina Ra dalam kitab Ta’liqat-nya, mengatakan: “Tidak ada teori yang bisa diargumentasikan atas wâjib al-wujud, dan Dia tidak bisa dikenali kecuali dari dirinya sendiri…”[4]

Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dikatakan bahwa, perolehan ilmu hushuli tentang Tuhan melalui metode rasional dan filosofis, bukan merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Ibnu Sina pun mengungkapkan beberapa ulasan tentang Dzat Wajib. Oleh karena itu, harus dilihat paradigma apa yang menjadi alasan utama penafian teori pembuktikan wajib ini. Penafian teori tersebut mungkin muncul karena salah satu dari asumsi berikut:

1. Sebagian filosof, hanya mengungkapkan teori sebatas pengertiannya sebagai teori deduksi (a-priori reasoning,) sedangkan teori induksi (a posteriori reasoning) diistilahkan sebagai dalil dan bukan teori. Dari sini bisa jadi yang dimaksud oleh mereka -seperti Ibnu Sina yang menafikan adanya kemungkinan teori wujud wajib- adalah bahwa teori deduksi tidak bisa dijadikan sebagai statement untuk dzat wajib. Hal ini karena dalam teori deduksi -sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya- ulasan yang dikemukakan di dalamnya adalah munculnya effect (akibat) lantaran causa (sebab). Sedangkan Dzat Wâjib, Dia sendirilah yang menjadi illatul-illal (the first cause) dan bukan merupakan effect dari sesuatu yang lain. Atas dasar ini, teori deduksi tidak sesuai untuk wajib al-wujud. Dan literatur dari penjelasan tersebut adalah kitab Syifa yang mengatakan: “Tuhan tidak bisa diteorikan. Karena Dia tidak mempunyai penyebab dan tidak ada deduktifikasi tentang Nya”.[5]

2. Apa yang kita capai dari ilmu husuli, hanyalah persepsi dan mafhumnya belaka. Sementara untuk memahami wujud visual dan personal hanya mungkin dilakukan dengan cara penyaksian (musyahada, intuisi). Atas dasar ini, bisa jadi maksud dari penafian teori dalam pembuktian wâjib al-wujud adalah bahwa kita sama sekali tidak akan pernah mampu memastikan wujud visual dan personal Tuhan dengan menggunakan teori. Konklusi yang bisa kita hasilkan dari teori-teori ini hanyalah persepsi universal dari semisal “wajib al-wujud”, “illatul-illal” dan semacamnya. Tetapi untuk mencapai wujud wajib itu sendiri harus dilakukan melalui perjalanan irfani, bukan perjalanan akal dan teori.

3. Konklusi dari analogi-analogi teori yang diargumentasikan dalam kaitannya dengan wujud wajib merupakan qadhiyah hamliyah (attributive proposition), dimana subyek-subyek mereka adalah eksistensi-eksistensi mumkin dan ma’lul. Seperti misalnya dalam teori imkan yang dari proposisi ini disimpulkan bahwa “mumkinat (benda-benda mumkin) mempunyai sebuah wajibul wujud”. Dan dalam teori iliyat (kausalitas, hubungan sebab-akibat) disimpulkan bahwa “eksistensi-eksistensi effect mempunyai ilatul-ilal (the first cause)”. Sementara proposisi dalam teori keteraturan mengatakan bahwa “Alam mempunyai pengatur”.

Dengan demikian, teori-teori tersebut –pada hakekatnya dan secara langsung- adalah membuktikan makhluk sebagai predikat bukan membuktikan wujud wajib. Dan bisa jadi, dari sinilah sebagian menginterpretasikan penafian teori atas wujud wajib tersebut sebagai berikut: “Secara esensial (dzati), Dzat Wâjib tidak bisa diargumentasikan dengan teori. Tetapi secara aksidental (‘aradhi) hal tersebut memungkinkan”.[6]


Klasifikasi

Pada bagian ini, kami telah mengulas tentang beberapa kategori, yang secara ringkas akan kami isyaratkan kembali dengan klasifikasi sebagai berikut, bahwa:

1. Selama masih ada keinginan bertuhan dalam diri manusia, maka wacana tentang Tuhan akan senantiasa ada dan senantiasa hidup. Dalam katagori ini tidak ada jalan untuk lapuk dan letih.

2. Makrifat dan theology, bukan hanya merupakan pondasi religi, melainkan juga merupakan pondasi makrifat yakini. Hal ini karena oleh apa yang disepakati oleh para filosof bahwa ”Yakin terhadap adanya ma’lul (akibat) tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya pengenalan terhadap ilal (sebab)”.

3. Yang dimaksud dengan “dalil” –dalam pembahasan kita- adalah metode mutlak, argumentasi yang hampir setara dengan makna hujjah. Atas dasar inilah teori-teori fitrah, sadiqin dan sebagainya semuanya berada dalam deskripsi ini.

4. Irfan mengatakan bahwa wujud Tuhan adalah badihi (jelas dan aksiomatis). Dan semua alam merupakan manifestasi, tajalli serta saksi yang haq dan benar. Dan setiap sesuatu –meskipun sangat kecil- merupakan penampakkan dan dalil atas Nya. Sehingga dari sini bisa dikatakan: banyaknya argumentasi dan metode pembuktian wujud Tuhan dalam pandangan irfan, equivalen dengan banyaknya jumlah makhluk Tuhan.

5. Dalam filsafat dan kalam, interpretasi “Tuhan ada” disepakati merupakan sebuah intepretasi teoritis yang membutuhkan argumen dan teori.

Argumen-argumen akal dalam kitab-kitab filsafat dan kalam tentang pembuktian wajib mempunyai tiga ragam pembahasan dalam formula yang berbeda:

a. Filosofi

b. Kalam

c. Alami.[7]

1. Metodologi yang dipergunakan oleh manusia untuk membuktikan wujud Tuhan ada tiga:

a. Metode kalbu atau fitrah,

b. Metode sensibel (material) atau metode tabi’at,

c. Metode akal atau metode argumen dan hikmat.[8]

2. Apa yang selama ini dikenal sebagai teori fitrah, pada hakikatnya bukan merupakan teori dalam istilah logika, melainkan salah satu dari metodologi theology yaitu metode kalbu, bukan metode akal. Atas dasar ini dalam bab theology, antara metode dan dalil dalam makna khas logika, terdapat korelasi umum dan khusus mutlak, yaitu setiap dalil merupakan metode. Tetapi setiap metode belum tentu merupakan dalil.

3. Dalam kitab-kitab filsafat, tolok ukur yang dipergunakan untuk mengaffirmasikan wujud Tuhan diletakkan pada metode-metode akal. Sedangkan metode-metode sensibility dan tabi’at juga ikut menjadi bahan pembahasan dari sisi bahwa minor akan membentuk mayor-nya akal. Seperti teori keteraturan serta teori hidayah dan petunjuk.

4. Sandaran para ahli kalam dalam affirmasi dan pembuktian wujud Tuhan adalah pada kejadian alam. Dan sebagiannya seperti Thusy (ra) selain bersandar pada kejadian alam juga bersandar pada possibility (kemungkinan). Dan dengan memperhatikan bahwa eksistensi-eksistensi alam bisa merupakan eksistensi essensial atau aksidensial, maka wujud Tuhan bisa diargumentasikan dalam empat keadaan: “Telah diketahui bahwa alam bisa muncul dalam bentuk esensi maupun aksidensi. Dan wujud Tuhan bisa diargumentasikan dengan setiap dari keduanya, baik melalui metode possibility ataupun metode hudust. Dengan demikian keseluruhannya menjadi empat cara”. [9]

5. Jumlah ikhtilaf dan kemajemukan teori, equivalen dengan jumlah kemajemukan dan ikhtilaf yang terdapat dalam hadd-wusta (middle-term) mereka. Oleh karena itu meskipun imkan, ma’luliyyat (ke-akibata-an) dan hudust saling melazimkan. Tetapi karena secara persepsi mereka berbeda antara satu dengan lainnya, maka teori-teori wujud dan imkan, ilah (sebab) dan ma’lul (akibat), masing-masing merupakan teori yang terpisah.

6. Literatur-literatur statement dan metodologi affirmasi wujud Tuhan terdapat dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang diantaranya adalah:

a. Argumen fitrah,

b. Argumen keteraturan,

c. Argumen hidayah dan petunjuk,[10]

d. Argumen gerak[11]

e. Argumen hudust nafs,[12]

f. Argumen wujub dan imkan,

g. Argumen sebab dan akibat,

h. Argumen atau burhan shiddiqin.

Tentu saja sebagian dari teori-teori tersebut di atas telah dibahas dalam berbagai wacana dan penjelasan. Seperti misalnya teori fitrah yang telah dipaparkan dengan cara-cara yang varian. Dimana sebagiannya berdasarkan pada asas intuisi dan ilmu hudhuri. Dan sepenggalnya lagi berasaskan pada ilmu husuli, yang hal ini akan dijelaskan lebih detail pada pembahasan fitrah. Sedangkan teori hudust, imkan dan siddiqin, juga telah disajikan dengan ulasan yang beragam. Misalnya -sebagaimana yang telah kami ungkapkan pada makalah-makalah sebelumnya- teori siddiqin telah dijelaskan dalam 19 ulasan. Yang keseluruhannya telah diungkapkan oleh marhum hakim rabbany Mirza Mahdi Mudarris Ashtiyany –Qudsallahu ruhuhul-‘alaa- dalam catatan kecilnya atas Sharh Mandzumah Hakim Sabzewary (ra).

8. Dengan memperhatikan berbagai uraian dari sebagian dalil-dalil affirmasi wujud Tuhan, bisa dikatakan bahwa telah ditemukan sekitar 34 penjelasan di dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang berkaitan dengan pembuktian wajibul wujud. Dimana pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menelisik dan menganalisa sebagian dari dalil-dalil tersebut yang seiring dengan itu kami juga akan mengungkapkan berbagai ulasan yang berkaitan dengannya.


Argumen Fitrah

Apabila kita ingin meletakkan jenis gradasi logika dalam argumen-argumen pembuktian Tuhan, maka kita bisa mengedepankan argumen (burhân) fitri dari argumen-argumen lainnya. Hal ini karena sumber dan asas argumen ini adalah jiwa insane, yang dasarnya adalah ilmu hudhuri (knowledge by presence, presensi) dan jalannya muncul dari lubuk jiwa manusia. Dengan alasan inilah, maka argumen fitrah menduduki posisi lebih awal dari argumen-argumen lainnya. Tetapi, meskipun berdasarkan paradigma lainnya posisi argumen-argumen semacam burhân shiddiqien berada dalam barisan depan dari argumen-argumen lainnya, namun kami tetap akan mengedepankan pembahasan argumen fitrah hanya dengan mencukupkan pembahasan pada paradigma yang telah kami isyaratkan. Di sini kami akan melakukan analisa pembahasan yang sedikit lebih detail dalam kaitannya dengan tema berikut:


Beberapa Istilah tentang Fitrah

1. Fitriyât dalam ilmu Logika merupakan salah satu makna terminologi fitrah pada tema proposisi logika. Proposisi-proposisi fitri (fitriyât) merupakan sebuah proposisi yang meskipun keterbuktian predikat untuk subyek di dalamnya membutuhkan hadd-e wasath (middle term, relasi antara premis minor dan premis mayor), tetapi hadd-e wasath ini senantiasa hadir di dalam pikiran, dengan demikian proposisi ini termasuk dalam proposisi yakini (definitive) dan badihi (self-evident, gamblang dengan sendirinya). Oleh karena itu, para logikawan mengungkapkannya dengan interpretasi “Qadhaya qiyasâtuha ma’aha” yaitu “proposisi-proposisi yang analoginya senantiasa bersamanya”. Dalam tema teologi terkadang fitriyât berada dalam makna khas ini.

2. Kadangkala kata fitri berlaku untuk proposisi-proposisi primer (primitive statement). Yang dimaksud dengan proposisi-proposisi primer adalah sebuah proposisi dimana pada saat dzihn (pikiran) menggambarkan predikat dan subyeknya, maka pada saat itu pula ia membenarkannya. Ia tidak memerlukan pemikiran yang ruwet dalam menghukumi dan mengakuinya. sebagaimana yang terjadi dalam proposisi imtina’ tanaqudh (tertolaknya kontradiksi) yang mengatakan: “Ijtimâ’ wa irtifa’ naqidhâin (berkumpul dan terangkatnya dua kontradiksi secara bersamaan) adalah mustahil”.

3. Terkadang pula kata fitri dipergunakan dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi akhlak, dimana dalam hubungannya dengan akal merupakan aktivitas yang actual. Seperti ketika kita mengatakan kalimat: “Bohong adalah perbuatan yang tercela”, maka kalimat tersebut merupakan sebuah proposisi fitri.

4. Kata fitri dalam sebagian hal, sinonim dengan kata “wijdân” (kata hati)”. Dalam terminologi ini, maksud dari fitrah adalah isyarat pada dasar dan sumber kemunculan hukum-hukum akhlak.

5. Kadangkala fitri sinonim dengan badihi (self-evident, gamblang dengan sendirinya), baik dalam institusi imajinasi maupun dalam batasan kejelasannya. Tentu saja apa yang sering dikatakan sebagai kejelasan badihi, biasanya yang dimaksud adalah badihiyât awwaliyah (badihi-badihi primer). Atas dasar inilah –sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya- kadangkala proposisi “Kontradiksi adalah mustahil”, biasa pula disebut sebagai fitri. Tetapi kita tidak menganggap materi sebagai fitri sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian logikawan yang memasukkannya dalam badihiyât dan yaqiniyât. Tetapi dalam institusi imajinasi, rasanya tak jarang imajinasi-imajinasi badihi seperti persepsi wujud (ada), 'adam (tiada),terkadang kita sifatkan sebagai fitri. Misalnya ketika kita mengatakan: “Pahaman sesuatu merupakan sebuah pahaman dimana setiap individu secara fitrah mampu memahaminya”.

6. Terkadang maksud dari fitri adalah makrifat dan ilmu hudhuri. Seperti ketika kita mengatakan: “Adalah merupakan sebuah hal yang fitri apabila setiap orang menyadari keberadaannya”. Yang dimaksud di sini adalah setiap orang menyadari keberadaannya dengan ilmu hudhuri yang dimilikinya.

7. Terminologi lain dari fitrah adalah apa yang diungkapkan dalam filsafat Descartes. Maksud fitriyah dalam filsafat ini adalah sebuah pahaman, dimana akal insan secara sendirinya mampu mencerapnya dengan jelas. Seperti pahaman ihwal Tuhan, gerak, kontinuitas dan nafs. Berdampingan dengan fitriyah ini, Descartes juga mengungkapkan dua kelompok lain untuk makna-makna dan pahaman-pahaman, yang ia namakan sebagai fiktif dan obyektif.[13]

8. Dalam filsafat Imanuel Kant, kata fitri terkadang juga dipergunakan dalam kaitannya dengan duabelas kategori-nya.[14]

9. Istilah lain dari fitri, dapat kita jumpai dalam istilah Psikologi. Para psikolog sepakat bahwa terdapat empat hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia, yang terkadang keempat hasrat ini berada di bawah pengaruh “hiss” (indra)”, dan mereka adalah:

a. Keinginan beragama

b. Keinginan untuk cantik/indah

c. Keinginan untuk berilmu

d. Keinginan berakhlak baik[15]


Kesimpulan:

Tujuan dari penggunaan kata fitrah dalam derivasinya ini adalah untuk kita katakan bahwa dalam semua obyek dapat kita lihat makna setara dan universal, yaitu bahwa fitri senantiasa dikatakan untuk sebuah persoalan yang muncul dari esensi dan hakikat insan dan bersumber dari dalam diri manusia. Sedangkan secara obyektif bukan merupakan sesuatu yang perlu dicari. Dalam kaitannya dengan teologi pun ketika kita mempergunakan kalimat fitri, biasanya maksud kita adalah bahwa: manusia dalam lubuk jiwa, hakikat serta esensinya mempunyai semacam makrifat dan pengenalan hudhuri (knowledge by presence, presensi)terhadap awal keberadaan serta Tuhan, dimana hal tersebut tidak dia temukan dari tempat lain, tidak juga dari seorang pengajar. Tentu saja dalam tafsir dan penjelasan tema ini, begitu banyak penjelasan yang telah dipaparkan oleh para pakar, yang kami akan singgung pada waktu dan tempatnya tersendiri.


Komparasi antara kata tabiat, naluri dan fitrah

Meskipun ketiga kata ini terkadang saling menggantikan antara satu dengan lainnya (sering dipandang sinonim), tetapi pada hakikatnya makna dari ketiga kata ini berbeda dari satu dengan yang lainnya:


1. Natural, alami atau tabiat:

Kata tab’ atau tabi’at, biasanya digunakan dalam kaitannya dengan eksistensi tak bernyawa. Dan apabila dipergunakan pada eksistensi bernyawa maka hal ini dikarenakan adanya keuniversalan antara eksistensi bernyawa dengan yang tak bernyawa. Para filsosof dalam salah satu pembagiannya telah membagi fa’il (pelaku/subyek) menjadi dua bagian yaitu: fa’il tabi’i (natural) dan fa’il iradi ( mempunyai kehendak). Yang dimaksud dengan fa’il tabi’i adalah eksistensi-eksistensi yang secara natural mempunyai kelayakan efek yang khas dan tertentu. Tetapi dia tidak mempunyai kehendak dalam dirinya sendiri untuk melahirkan pengaruh tersebut. Misalnya “api” apabila diperhadapkan dengan “panas” maka hal ini termasuk dalam fa’il tabi’i. Dan dalam kaitannya dengan manusia, ketika kita mengatakan: “sexsual desire (hasrat seksual)” merupakan sebuah hal yang wajar. Dan secara alami manusia mempunyai kelayakan atasnya”. Maka yang dimaksud di sinipun demikian juga yaitu bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk memunculkan keberadaan atau ketiadaan hasrat seksualnya. Meskipun dia mempunyai kekuasaan dalam mempergunakan dan memanfaatkannya.


2. Naluri (gharizah)

Kata ini lebih banyak dipergunakan dalam kaitannya dengan hewan selain manusia, dan sama sekali tidak dipergunakan pada in-organik dan tumbuhan. Tetapi kadangkala dipergunakan pula pada manusia. Meskipun hingga sekarang belum jelas substansinya. Tetapi -secara global- biasanya yang dimaksud dengan instink (gharizah, naluri) adalah sebuah keadaan setengah sadar yang ditemukan pada binatang, yang dipergunakan untuk menuntun mereka dalam menjalani kehidupan. Misalnya lebah yang membuat rumah dengan konstruksi dan arsitektur yang detail dan cermat, cara anak binatang menyusu dari induknya dan hal-hal semacamnya, kita namakan dengan instink.


3. Fitrah

Kata ini sangat jarang dipergunakan pada selain manusia. Aspek-aspek fitri ini, merupakan aspek yang berhadapan dengan instink dan jiwa manusia. Dan posisinya berada dalam esensi manusia. Instink dan fitrah, keduanya biasa dipergunakan pada manusia. Hanya saja, instink dipergunakan dalam batasan materi dan hewani. Sedangkan fitrah, dipergunakan pada masalah-masalah trans-hewani, hasrat serta keinginan-keinginan yang lebih tinggi dan lebih suci. Persamaan antara fitrah, instink dan tabi’at adalah bahwa ketiganya merupakan masalah takwini yang berbaur dengan penciptaan eksistensi. Perbedaannya adalah tabi’at lebih luas dari kedua lainnya apabila dilihat dari obyek penggunaannya. Karena instink dan fitrah sama sekali tidak bisa dipergunakan dalam in-organik dan tumbuhan. Sedangkan tabi’at tidak demikian. Dapat dikatakan bahwa kekhususan instink terletak pada penggunannya yang berada pada batasan dimensi kehidupan materi hewan. Sedangkan fitrah, dipergunakan khusus pada manusia dengan dimensi-dimensi kehidupan mukaddas dan mulianya.[16]


Terjaganya Fitrah dari Kesalahan dan Khianat

Uraian ketiga dalam penjelasan filosofis argumen fitrah adalah bahwa fitrah mencintai kesempurnaan murni dan sahabat kinasih yang tanpa batas. Dari satu pihak, fitrah bukanlah penghianat dan pelanggar, dan apa yang dikatakan olehnya tidak akan pernah meleset, benar dan pasti ada. Dengan demikian, kesempurnaan murni dan tanpa batas (Tuhan) itu ada.

Untuk menyempurnakan penjelasan ini, selain kelaziman adanya cinta dan hasrat kepada Tuhan dalam diri semua manusia harus disempurnakan, terproteksi dan terhindarnya fitrah dari khianat serta ke-ismat(suci)-annya dari kesalahan pun harus dibuktikan. Untuk membuktikan kesucian fitrah ini sebagian memanfaatkan analogi dengan mengatakan bahwa: fitrah dalam diri manusia adalah sebagaimana instink yang terdapat pada binatang dan tumbuhan. Tidak sebagaimana adanya rasa haus ketika tidak ada air, lapar ketika tidak ada makanan dan sakit apabila tidak ada obat. Fitrah adalah pencari kesempurnaan dan keinginan bertuhan dalam diri manusia juga merupakan petunjuk terhadap adanya kesempurnaan mutlak dan kesempurnaan tanpa batas tersebut. Tetapi harus diperhatikan bahwa analogi di atas hanya sebagaimana istiqrâ’ naqis ghairi mu’allal, sama sekali tidak meyakinkan dan dalam Filsafat serta ilmu akal hal tersebut tidak bisa dijadikan sandaran.


Beberapa Poin Penting

1. Dalam semua pembahasan rasional tentang fitrah, terdapat poin-poin penting yang layak untuk dicermati yaitu affirmasi wujud Tuhan sama sekali bukan dengan makna wusul (penyatuan) kepada Nya. Hal ini karena yang dibicarakan dalam penalaran (istidhlâl, reasoning) ini adalah pemahaman dan keberakalan. Bukan masalah perolehan dan kehadiran (hudhur). Oleh karena itu, ketiadaan wusul kepada esensi tak terbatas, sama sekali bukan berarti menunjukkan ketiadaan husul (pencapaian) Nya.

2. Pada sebagian kitab setelah penjelasan argumen filosofis, seperti teori imkan (possibility, kemungkinan) atau illah (sebab), telah dikatakan bahwa dalil ini merupakan dalil yang fitri dan badihi (gamblang dengan sendirinya). Harus diperhatikan bahwa maksud dari kefitrian dalam masalah ini adalah apa yang dikatakan sebagai terminologi logika “fitrah” sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, yaitu merupakan sebuah proposisi yang membutuhkan dalil. Tetapi hadd-e wasath (middle-term) analoginya sama sekali tidak akan pernah tersembunyi dari pikiran (proposisi yang analoginya berada bersamanya).

3. Apabila yang kita maksud dari fitrah adalah fitrah hati, dan bukannya fitrah rasio, berarti interpretasi dari “argumen fitrah” tidak akan benar. Dan sebagai penggantinya kita harus mempergunakan “metode fitrah”.


Ingkar Fitrah

Kami akan menutup pembahasan ini dengan mengungkapkan sekelumit tentang ingkar fitrah. Meskipun pembicaraan kami sebelumnya berkisar pada pembahasan fitrah teologi. Tetapi secara logis pengingkaran universal akan meniscayakan pada terjadinya pengingkaran partikular pula. Dari sini kami akan mencoba melihat apakah kita mempunyai jawaban di hadapan para pengingkar fitrah dalam makna universalnya ataukah tidak.

Dalam kategori ini pembicaraan bisa dibataskan pada dua lingkup: salah satunya adalah pertanyaan tentang “apakah fitrah itu ada?” Dan satunya lagi adalah pertanyaan tentang “apakah fitrah itu?”. Dengan ungkapan lain, kadangkala perbincangan berkisar pada fitrah (dalam tema “keberadaannya”) dan terkadang pada quiditasnya. (dalam tema “esensinya”)

Ingkar fitrah pun tak jarang muncul dalam makna bahwa sesuatu yang bernama “fitrah” sama sekali tidak ada dalam diri manusia, dan kadangkala dalam makna bahwa quiditas fitrah itu sendiri yang in-konsisten dan tidak jelas bagi kita. Ketika pembicaraan telah berkisar pada wujud fitrah, maka kita harus mengetahui dengan pasti apa maksud dari fitrah. Apakah maksud kita adalah “wijdân (kata hati)”? Dengan demikian berarti kita harus melihat wijdân itu apa? Ataukah maksud kita tentang fitrah adalah “ruh dan jiwa”? Atau maksud kita adalah “ilmu hudhuri”? Pada kali inipun kita harus memperhatikan kategori hasrat dan ilmu –keduanya- dan kemudian bertanya apakah yang dimaksud dengan ke-eksistensi-an dan ketidak-eksistensi-an fitrah adalah keberadaan “hasrat-hasrat fitri” ataukah keberadaan “pencerapan fitri? Perbincangan dalam setiap bab dari tema-tema di atas menuntut pada keluasan waktu. Tetapi terdapat satu poin yang harus diketahui secara global, yaitu bahwa prinsip keberadaan seperangkat hasrat, persepsi fitri dan karunia Tuhan di dalam diri manusia adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri. Dan ini merupakan sebuah permasalahan yang akan menjadi jelas dengan ilmu hudhuri kita, sehingga dari sini pula tidak akan membawa kepada kesalahan. Tentu saja bisa jadi akan muncul pertanyaan: Bagaimana kita bisa mengetahui ilmu hudhuri orang lain. Dan bagaimana kita bisa yakin bahwa orang lain pun sebagaimana kita mempunyai seperangkat hasrat dan pencerapan? Tentu saja sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, ilmu hudhuri senantiasa akan menciptakan keyakinan hanya untuk orang yang alim. Tetapi kita pun bisa menetapkan argumen adanya fitrah (hasrat dan pencerapan) dalam diri orang lain dengan menyaksikan efek dan perilaku dari selain kita, dan dengan bantuan penalaran yang logis. Sebagaimana ilmu-ilmu eksperimen yang memperoleh kaidah universalnya melalui observasi yang cermat, penyaksian terus-menerus dan dengan metode raf’ (eliminasi) dan wadh’ (disposisi)[17]

Filsafat-filsafat dan maktab-maktab semacam filsafat Hegel, bertolak pada prinsipnya sendiri tidak bersedia menerima fitrah sebagai sebuah hal yang konstan dan tak berubah. Berhadapan dengan pendapat ini kita akan menjatuh-leburkan prinsip dialektik mereka. Dengan demikian prinsip berfikir mereka akan rusak dengan sendirinya.

Pada bab esensi fitrah pun, banyak pertanyaan manusia yang bisa diselesaikan dengan ilmu hudhuri. Misalnya setiap individu bisa memahami hasrat fitrinya seperti: hasrat pada kebaikan dan mencari hakikat. Atau pada katagori pemahaman dan pencerapan, dengan melewatkan informasi-informasi hudhuri yang ada dalam diri, lalu meletakkan mereka (hasrat pada kebaikan, pencarian hakekat, dan ...) dalam titik perhatian. Jangan Anda mengatakan bahwa perhatian semacam ini secara lazim akan membentuk ilmu hudhuri menjadi ilmu hushuli, kemudian substansi keyakinan akan menjadi sirna darinya. Tidak senantiasa demikian, bahwa perhatian terhadap ilmu hudhuri dengan sendirinya akan merupakan sebuah pengetahuan husuli, melainkan informasi-informasi hudhuri bisa diletakkan sebagai titik perhatian dan inti hudhuri kemudian menetapkan hukum untuk masalah tersebut dimana seratus persen sesuai dengan realitas dan hakekat, dan sama sekali tidak akan tercabut dari keyakinan terhadapnya. Sebagaimana dalam proposisi dan hukum-hukum logika dikatakan bahwa: analogi hukum kita adalah bahwa insan adalah universal.

Sebagian mengatakan: quiditas fitrah manusia harus dilihat dari cermin historisnya dan mereka inilah manusia-manusia yang riil yaitu yang telah membentuk sejarah. Sedangkan mereka yang berada dalam pencarian fitrah dan pengenalan quiditas manusia hanyalah hendak mencongkel panggung sejarah. Dan mereka yang mencari apa yang tidak bisa didapatkan berarti akan berjalan tanpa tujuan sehingga akibatnya orang-orang yang mereka perkenalkan adalah insan simbolik dan bukan realistik.

Dengan ringkas kami akan mengatakan bahwa: perbedaan antara ada dan apa, demikian juga perbedaan antara tidak seharusnya dan tidak ada, kondisinya sebagaimana sebuah lobang yang tidak akan pernah penuh. Dan meletakkan tidak seharusnya pada tempat tidak ada merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Demikian pula tidak layak menyetarakan antara ada dengan harus. Dan bukankah ini termasuk kerancuan –sebagaimana yang diungkapkan oleh para logikawan dalam bab mughâlathah (fuzzy logic)- antara mâ-bil-’aradh (aksidensi) dengan mâ-bil-dzat (dzati, esensi) ?

Jika ketidaksucian merupakan esensi sejarah itu sendiri dan bukan aksidensi-nya, apakah ini berarti bahwa ketidaksucian adalah quiditas insan lalu dzat dan fitrah akan membentuknya? Ketika kita mengatakan: “Yang jelek dan yang buruk harus dikenali secara formal dari dalam diri manusia. Dan dalam pengenalan manusia harus disepakati pula adanya peran untuk mereka, dan manusia harus didefinisikan sedemikian rupa hingga ketidaksucian tersebut merupakan suatu hal yang wajar dan abadi untuknya, dan bukannya sebagai sebuah masalah yang bisa berkarat dan tak layak diperhatikan”. Apakah kita sadar bahwa ternyata kita telah mencampur adukkan antara tema “keberadaan sesuatu” dengan tema “esensi sesuatu”? Bukankah telah dikatakan dalam logika bahwa bisa jadi sebuah predikat merupakan dâimul wujud (wujud yang senantiasa ada) bagi subyeknya, tetapi tidak bersifat dzati dan esensial? Apabila kita ingin meletakkan definisi hakikat insan dan “esensinya” dengan “keberadaan”, sebagaimana yang direfleksikan oleh sejarah, apakah hal ini benar-benar memungkinkan? Apakah dalam definisi seperti ini tidak akan terdapat kontradiksi? Apakah ini bukan apa yang dikeluarkan dalam discourse para Eksistensialist semacam Sartre dan Heidegger? Apakah klaim ini tidak meniscayakan pada ingkar fitrah? Tentang apa yang kita katakan bahwa “panggung historis merupakan panggung alami yang tidak terkontaminasi oleh campur tangan dan kesalahan faktor-faktor lain”, dari mana datangnya? Apakah klaim ini bukan didasarkan pada kaidah yang keliru semisal “al qasru la-yadum” (peristiwa non-alami tidak mungkin berlangsung terus-menerus) dan “mayoritas peristiwa non-alami adalah mustahil”?[18]

Kita juga jangan mengesampingkan satu poin berikut bahwa para arif dalam anthropologi menyepakati bahwa seluruh apa yang dimiliki dunia merupakan pintu untuk kejadian-kejadian non-alami, dengan berdasarkan pada asas ini, dari mana bisa dikatakan bahwa panggung historis merupakan sebuah panggung alami?

Kesimpulan dari perbincangan kita adalah bahwa kita sama sekali tidak akan pernah mampu menemukan metode (jalan) sempurna untuk pengenalan fitrah dan esensi insan hanya dengan memperhatikan sejarah, meskipun sejarah telah menunjukkan kepada kita “latar belakang manusia”. Tetapi hal ini sama sekali tidak pernah menguak tabir tentang “apa manusia itu”. Di sinilah untuk kesekian kalinya kita harus memaksakan diri untuk mengetahui peran penting pengenalan hudhuri dalam pengenalan insan, dan memperdengarkan kepedulian refleksi internal dan makrifat internal dalam pembentukan human science dari pandangan Islam.


Catatan kaki:

[1] Sebagian dari Sâhib Nadzar (pemikir otoritatif) sepakat bahwa tiga pembagian ini merupakan pembagian yang dangkal dan eksternal saja, karena berdasarkan kebersatuan (antara aql, âqil dan ma’qul) pemikir (mutafakkir) tidak akan pernah terpisah dari pikirannya (tafakkur), oleh karena itu pembagian ini tidak bisa dengan mudah diadaptasikan dalam semua persoalan; Ayatullah Jawadi Amuli dalam 10 makalah tentang Mabda’ dan Ma’ad.

[2] .Yang dimaksud di sini adalah pengenalan husuli (ilmu yang dicapai melalui pe???) dan bukan penyaksian hudhuri dan perolehan wijdâni.

[3] .Asfar, J. 6, hal. 13.

[4] .Hal. 70, Pengenalan Filsafat, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, jilid 2, hal. 329.

[5] . Syifa, hal. 348, Pasal 4, Makalah ke delapan.

[6] . A^muzesy-e Falsafah, J. 2, hal. 332.

[7] Mula ‘Abdur-razaq Lahijy mengatakan: “Ada tiga metode terkenal dalam pembuktian wujud wajib yaitu: metode mutakalimah, metode hukama alami dan metode hukama ilahy (Filosof), Shawariqul-ilham, hal. 494,495.

[8] Murtadha Muthahari, Ushul Falsafah dan Rawaz-e Realism, J. 5, hal. 34.

[9] H. Nasiruddin Tusy, At-talkhisulMuhassil (terkenal dengan “Kritikan Muhassil”, hal. 242.

[10] Marhum Ustadz Mutahhari berpendapat bahwa teori hidayah berbeda dengan teori keberaturan. Beliau mengungkapkan perbedaan keduanya dengan mengatakan bahwa teori keteraturan menunjukkan pada illat fa’ili (an actual cause) sementara teori hidayah merupakan manifestasi dari illat gha-I (a final cause); Ushul Falsafah wa Rawaz-e Realism, J. 5, hal. 48-49.

[11]Teori gerak mempunyai warna dan paradigma alami, dan dia bisa diuraikan dalam bentuk dan manifestasi yang berfariasi. Teori gerak dalam pembuktian wujud Tuhan bisa dipergunakan dalam bentuknya sebagai an actual cause dan juga sebagai a final cause, yaitu relefan dan merupakan ma’shuq akhirnya eksistensi-eksistensi. Dari sini dikatakan bahwa teori gerak dalam pembuktian Tuhan berperan sebagai Ghayatul ghayah dan muntahal-ghayah. Hal ini sesuai dan seufuk dengan apa yang dikatakan oleh Shahid Muthahari (ra) sebagai teori hidayah dan petunjuk dalam esensial alam materi atau pada keseluruhan makhluk.

[12] Argumen hudust nafs (terjadinya nafs) dikemukakan oleh hukama alam dan teori hudust jism (terjadinya jism) dikemukakan oleh mutakallimin. Atas dasar ini kita mengungkapkan keduanya secara berbeda. Meskipun pada hakikatnya hanyalah merupakan satu argumen; Mulla Sadra; Asfar; J. 6, hal. 44-47.

[13] Muhammad ‘Ali Furugy, “Seir Hikmat dar Eurupa”, J. 1, bag. Descartes.

[14] Murthadha Muthahari, Syarh Mabsuth-e Mandzumah, J. 3, hal 273; Levin dkk, Falsafah Ya Pazyuhesh Hakekat’ terjemahan Jalaluddin Mujtabawi, hal. 287; Murthadha Muthahari, Fitrat, hal. 35.

[15] Syahid Murthadha Muthahari, Hiss-e Hallâqiyyat va Nu A^vari; Fitrat, hal. 49-56.

[16] Dikatakan bahwa salah satu perbedaan antara fitrah dan instink adalah bahwa fitrah merupakan “Sesuatu yang lebih sadar dari instink, yaitu “apa yang diketahui oleh manusia, dia akan mampu mengetahui bahwa dia mengetahui”. Maksudnya manusia mempunyai seperangkat fitriyât dan dia mengetahui bahwa dia memiliki fitriyât seperti ini”

Jika maksud dari kelebihsadaran fitrah atas instink adalah sebagaimana yang dimaksud di atas, maka tidak akan ada perbedaan antara fitrah dan instink di dalam diri manusia. Karena manusia sebagaimana dia menyadari keberadaan fitrahnya dia juga menyadari keberadaan instinknya. Misalnya kita semua menyadari adanya instink seksual dalam diri kita sebagaimana kita mengetahui adanya fitrah untuk menjadi lebih cantik atau menjadi lebih berilmu. Dari sisi yang lain bisa jadi dalam sebagian kasus, kesadaran terhadap keberadaan instink bisa lebih tinggi dari kesadaran terhadap keberadaan fitriyât. Sebagai contohnya mayoritas manusia mempunyai ilmu tentang adanya instink seksual dalam dirinya. Tetapi dia tidak mempunyai ilmu dan kesadaran terhadap adanya wujud fitrah pengenalan Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan antara fitrah dan instink tidak bisa dipaparkan dalam lingkup “antara ilmu dengan ilmu”. Melainkan perbedaan keduanya ini harus disandarkan pada ilmu dan kesadaran yang terkandung pada keduanya (yaitu dalam fitrah dan instink); Fitrat, hal. 23.

[17] Dalam bab ini tentu saja pembahasan tentang theology banyak penjelasan yang telah dipaparkan yang untuk saat ini kami tidak berada dalam kesempatan untuk membahasnya.

[18] .Inti dari kaidah ini adalah bahwa faktor-faktor dan peristiwa-peristiwa non alami (kompulsife) tidak bisa berlaku untuk selamanya. Demikian juga sebuah kasus dan peristiwa non alami tidak akan bisa memasukkan mayoritas insan sebuah komunitas dan esensi ke dalamnya. Misalnya “keberadaan enam jari” merupakan sebuah kasus kompulsif dan tidak alami untuk manusia. Dari sini selain tidak akan bisa berlanjut untuk selamanya dalam individu manusia, hal ini tidak bisa pula dimasukkan ke dalam mayoritas manusia, dengan cara bahwa “keberadaan lima jari” yang merupakan kasus alami dan normal diletakkan sebagai kasus yang minoritas. Dengan pengandaian bahwa kaidah tersebut benar dalam pandangan kaidah akal, pengaplikasiannya di dunia aktual dan penegasan obyek dan kasus untuknya merupakan suatu hal yang bisa dibantah. Diagnosa terhadap apakah “kompulsif” merupakan sesuatu yang mayoritas ataukah minoritas hanya akan mungkin dilakukan ketika kita mengetahui jumlah seluruh obyek dan individu sebuah komunitas pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang dan ini merupakan hal yang tidak mungkin kita lakukan. Apabila misalnya kita melihat bahwa mayoritas manusia pada era kita adalah “para pembohong”, apakah berarti kita bisa mengatakan bahwa “kebohongan” merupakan sebuah kasus mayoritas untuk manusia sehingga kita nisbatkan sebagai sebuah kasus alami dan fitri? Perkataan ini tidak bersandar kecuali dengan kaidah yang keliru tadi oleh karena itu perkataan itu sendiripun keliru dan batal.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...