Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 06 Juli 2011

DASAR-DASAR HUKUM ISLAM (SEBUAH PENGANTAR)


Disadur dari buku-buku berbahasa Arab; 
Madkhal karya Yusuf Amr dan Ushul Al Bahts 
karya DR Abdul Hadi Al Fadhli
Oleh Muhsin Labib


Prolog

Islam, Sebagai agama dan system universal bagi umat manusia dalam segala zaman dan tempat adalah gabungan dari tiga unsure esensial; Aqidah, Syari'ah dan Akhlaq.


Aqidah

Aqidah juga disebut dengan Ushuluddin (pokok-pokok agama) dan oleh sebagian umat Islam juga dikenal dengan "arkanul-iman" (rukun-rukun iman). Umat Islam menganut beberapa aliran teologis (al Mazhahib al Kalamiyah) seperti Al Imamiyah, Al Mu'tazilah, Al Asy'ariyah, Al Maturidiyah, Al Khawarij, Ahlul Hadits, Al Salafiyah atau Al Wahabiyah dan sebagainya. Setiap aliran ini merumuskan akidah Islam secara berlainan bahkan kadangkala berlawanan. Meski demikian sekup perbedaan teologis tersebut dapat dipersempit dan dibagi menjadi dua golongan, antara rasionalis (Imamiyah dan Mu'tazilah) dan dogmatis tekstual (Asy'ariyah dan lainnya). Golongan pertama menjadikan akal sebagai sumber aqidah sedangkan golongan kedua menjadikan teks (naql) sebagai sumber aqidah. Buku-buku yang mengupas secara kritis masalah-masalah controversial ini kini telah memadati rak-rak hasanah umat Islam.


Syari'ah

Syari'ah juga dikenal dengan furu'uddin dan fiqih juga amal. Ia adalah realisasi dari aqidah. Umat islam juga menganut beberapa aliran fiqih (Al Mazhahib al Fiqhiyah), seperti Al Imamiyah atau Al Ja'fariyah, Al Hanafiyah, Al Malikiyah, Al Syafi'iyah, Al Hambaliyah, Al Dhahiriyah dan sebagainya. Namun secara umum, umat Islam dapat dibagi menjadi dua golongan: para pendukung sahabat dan para pendukung keluarga suci Nabi saw. Kedua golongan besar ini juga sering disebut dengan Syi'ah Imamiyah dan Ahlusunnah. Sumber-sumber syri'ah menurut mereka berbeda. Hingga kini kajian tentang masalah tersebut belum banyak ditemukan. Itulah yang mendorong kami untuk menulis buku kecil ini.


Penjelas Hukum Periode Pertama

Al Qur'an adalah sumber hokum pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw sedangkan Rasulullah saw sendiri adalah penjelas segala yang tersurat dan tersirat di dalamnya dan sumber hokum kedua dengan sunnahnya.

Tak diragukan lagi, umat islam pada umumnya sepakat berkeyakinan bahwa kewajiban melaksanakan hokum-hukum Islam (syari'ah) tidak hanya berlaku pada masa hidup pemberlakuannya yaitu Rasulullah saw namun tetap berlaku selamanya hingga hari kiamat. Dalam Al Qur'an Allah Swt berfirman:

"dan tidaklah patut bagi laki-laki mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (Qs. Al Ahzab: 36).

Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda:

"(hokum) halal (yang telah ditetapkan) Muhammad adalah halal sampai hari kiamat dan hokum haram yang telah ditetapkan Muhammad tetap haram sampai hari kiamat."

Hampir seluruh umat Islam menganggap sikap menentang dan merubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya sebagai kekufuran.

Namun tambang syari'at itu pergi meninggalkan umatnya yang baru saja melepaskan jerat-jerat jahiliah itu dalam usia yang relative muda (63 tahun). Umat Islam kehilangan sumber hokum dan pemimpinnya.


Penjelas Hukum Periode Kedua

Pada detik Rasulullah saw menghembuskan nafas sucinya yang akhir, umat Islam pecah menjadi dua golongan besar yang masing-masing memiliki sikap berbeda (dan bertentangan) antara satu dengan yang lain terhadap masa depan hokum Islam dan penjelas hukumnya. Kedua golongan tersebut akan kami bahas secara terpisah pada bab berikut ini.



BAB PERTAMA


WAFAT NABI AKHIR PERIODE NASH?


Golongan Pertama

Golongan ini beranggapan bahwa periode nash (teks hukum yang absolut) berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Mereka hanya mengakui Al Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang mutlak, sedangkan sumber hukum setelahnya adalah dugaan-dugaan oleh sebagian besar atau seluruh sahabat Rasulullah saw. Para ulama dari golongan ini kemudian mengganti istilah dugaan-dugaan itu menjadi "fatwa-fatwa" dan akhirnya diubah lagi menjadi sunnah para sahabat (sunnah al shahabah), yang harus diterima , sebagaimana ditegaskan oleg Al Syathibi.

Sejak para sahabat dianggap sebagai sumber hukum dan sebagai pelaku-pelaku ijtihad, masyarakat golongan pertama tidak lagi kebingungan dalam mencari penyelesaian hukum atas kasus dan masalah baru (yang belum pernah terjadi pada masa hidup Nabi saw). Banyaknya sumber hukum telah memberi kemudahan dan kelonggaran kepada masyarakat golongan ini untuk pertimbangan-pertimbangan individual. Sebagai akibatnya, seperti telah dibuktikan sejarah, para sahabat (yang diberi wewenang untuk menyimpulkan hukum) itu seringkali melahirkan ijtihad-ijtihad pribadi yang berbeda-beda dan saling menggugurkan.

Sejarah menjadi saksi, ketika para sahabat besar terlibat dalam konflik intelektual dan militer yang menelan banyak korban secara berkesinambungan, misalnya konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah, Ali dengan A'isyah, Thalhah dan Zubair dan konflik-konflik lainnya yang terlalu besar untuk ditutup-tutupi.

Peristiwa-peristiwa tersebut, tanpa memandang para pelaku dan tanpa menilai motivasi serta alasannya, merupakan skandal-skandal dan "noda di kening sejarah Islam", hal ini tentu dapat (dan telah) menggoyahkan kredibilitas dan keabsahan mereka itu sebagai sumber-sumber hukum setelah Al Qur'an dan sunnah Rasulullah saw di mata masyarakat ini, terutama kaum intelektualnya yang kritis.

Pemberian wewenang berijtihad kepada para sahabat itu ternyata menimbulkan akibat yang controversial dan membingungkan. Oleh karenanya, para ulama dari golongan pertama memberikan predikat "adil" kepada semua sahabat yang terlibat dalam kontroversi tersebut. pemberian predikat ini dilakukan demi mempertahankan status keagamaan dan kredibilitas mereka selaku sumber hukum setelah Al Qur'an dan Sunnah. Dengan demikian usaha apapun untuk mempertanyakan (apalagi mengoreksinya) kasus mereka harus dicegah dan dianggap sebagai sikap membenci sahabat.

Pemberian legetimasi atas kasus-kasus (para sahabat yang secara lahiriah mengesankan pelanggaran) itu terjadi dua kali. Legetimasi pertama diberikan atas tindakan-tindakan mereka sebagai ijtihad, yang apabila benar mendapat dua pahala dan apabila keliru hanya mendapatkan satu pahala sebagai "ganti rugi" atas jerih payahnya dalam berijtihad. Legetimasi kedua diberikan kepada setiap pribadi sahabat sebagai "udul" yang memberikan konsekuensi antisipatif terhadap usaha-usaha mempertanyakan keterlibatan mereka dalam kasus yang membingungkan itu.

Periode ijtihad generasi sahabat secara berangsur berakhir. Satu demi satu para sahabat wafat dan akhirnya usailah periode mereka.

Berakhirnya periode sahabat membuat masyarakat golongan pertama ini untuk kedua kalinya kebingungan dan kehilangan sumber hukum. Rasa kehilangan ini muncul seiring dengan kebutuhan yang kian mendesak akan keberadaan sumber hukum, karena wilayah kekuasaan umat Islam kian lebar, skup pergaulan dan komunikasi mereka makin luas. Sebagai akibatnya, kasus dan masalah baru yang perlu diketahui bentuk dan pecahan hukumnya kian bertumpuk. Fenomena ini tampak dengan jelas pada akhir periode dinasti Umayyah dan awal periode dinasti Abbasiah (masa perebutan kekuasaan). Selain itu, kegelisahan mereka juga disebabkan oleh kenyataan tidak (belum) dibukukannya Sunnah Rasulullah saw. (Konon ada larangan dari khalifah Abu Bakar) dan banyaknya sunnah atau ijtihad para sahabat yang simpang siur dan saling bertentangan.

Melihat situasi yang sedemikian itu, Umar bin Abdul Aziz mencabut kembali larangan pembukuan hadits. Dia memerintahkan seorang cendekiawan bernama Al Zuhri agar segera mendata dan menginventarisasi setiap riwayat dari Rasulullah saw yang masih tersisa. Al Zuhri pun melaksanakan perintah itu, namun karena tergesa-gesa dan tidak sistematik, hasil yang dicapaipu jauh dari sempurna, apalagi criteria perawi tidak jelas dan tidak ada kesepakatan tentangnya. Maka, sebagai pelengkap dan penambal, dibagikanlah wewenang berijtihad kepada setiap orang yang pernah hidup pada zaman sahabat. Sampai-sampai riwayat mursal (loncat) dari Said bi Al Musayyib dianggap berkualitas sama dengan riwayat muttasil (bersambung) hanya karena ia menantu atau keponakan Abu Hurairah. Nama-nama yang bisa dipastikan tercantum dalam daftar tabi'in (generasi yang pernah hidup dengan sahabat) ialah Al Hasan Al Bashri, Sofyan Ats Tsauri, tidak ketinggalan Marwan bin Hakam dan masih banyak lagi tokoh lainnya.

Tak terhindarkan lagi, periode tabi'in pun usai. Untuk kesekian kalinya masyarakat golongan pertama kebingungan mencari sumber hukum. Lalu segera diputuskan bahwa setiap pribadi yang pernah hidup sezaman dengan tabi'in dianggap memiliki wewenang berijtihad sebagai sumber-sumber hukum.

Pada periode inilah para pelaku ijtihad dan sumber hukum terpecah menjadi dua kubu pemikiran yang bersaing ketat meraih pengikut.

Yang pertama adalah kubu progresif atau Ahlu-Ra'yi, yaitu akademi fiqh yang didirikan di Irak oleh seorang ahli hukum bernama Nu'man bin Hammad yang populer dengan sebutan Abu Hanifah (wafat tahun 150 H). Kubu ini menjadikan teori istihsan dan qiyas sebagai sumber hukum setelah Al Qur'an dan Sunnah (baik itu sunnah Rasul maupun sunnah para sahabat). Ide Abu Hanifah ini didukung oleh ahli hukum setelahnya bernama Muhammad bin Idris Al Syafi'iy, meskipun keduanya ini memiliki dua pendapat yang berbeda mengenai beberapa masalah.

Kubu yang lainnya adalah kubu konservatif atau Ahlul-hadits, yaitu akademi fiqh yang dipelopori oleh ahli hadits (golongan pertama) bernama Malik bin Anas (wafat tahun 179 H) di Hijaz. Kubu ini mencetuskan sumber hukum baru setelah Al Qur'an dan Al Sunnah, yaitu "Amalu ahlil Madinah" (praktik penduduk Madinah), selain juga qiyas, istihsan, dan lainnya.

Meski ijtihad telah disepakati oleh golongan pertama sebagai salah satu sumber hukum (atas kasus dan masalah-masalah baru), namun anehnya, mereka tidak sempat menyusun ilmu Ushul Al Fiqh, yang sangat berpengaruh dan berperan secara mendasar bagi usaha ijtihad, sebagaimana definisi yang diberikan oleh mereka sendiri. Ilmu Ushul-fiqh baru dirumuskan dan disusun oleh murid terpandai dari Malik bin Anas yaitu Asy Syafi'iy (wafat tahun 182 H) dan Asy Syibani (wafat tahun 189 H) murid As Syafi'iy.

Dari dua aliran pemikiran itu muncullah empat aliran hukum besar yaitu:

1. Al Hanafiyah (aliran Abu Hanifah),

2. Al Malikiyah (aliran Malik bin Anas),

3. Asy Syafi'iyah (aliran Syafi'iy),

4. Al Hanbaliyah (aliran Ahmad bin Hambal).

Sebagian mujtahid dari dua akademi itu mendapatkan dukungan secara politis dari rezim Abbasiyah dan para pejabatnya. Para pegawai negeri Abbasiyah tidak jarang berkonsultasi dan minta restu atau petunjuk hukum (fatwa) kepada mereka mengenai beberapa masalah hukum Islam yang masih diyakini dan dilaksanakan sebatas keterikatan mereka. Rezim Abbasiyah juga memaksa masyarakat agar mengikuti dan memilih salah satu dari empat aliran (madzhab) yang bersumber dari dua kubu pemikiran itu, bahkan melarang selain pengikut empat madzhab tersebut memberikan dan menyebarkan fatwa (menjadi mufti, semacam menteri kehakiman). Fenomena dan pelarangan ini bermula sejak awal abad keempat hijriyah, bahkan sejak Abu Mansur al Abbasi mengambil alih tampuk kekuasaan. Konon Abu Manshur melarang penyebaran selain fatwa Malik bin Anas.

Karena kriteria-kriteria mujtahid (bahkan konsep ijtihad sendiri) tidak jelas, maka muncullah kekhawatiran akan semakin membengkaknya jumlah mujtahid dengan berbagai penyelesaian dan fatwa. Dengan kata lain karena khawatir stok (persediaan) ijtihad (atau mujtahid) "melebihi permintaan pasar" dan khawatir masyarakat menjadi lebih bingung dan berselisih, maka (kelak) para murid empat tokoh aliran golongan pertama ini mengambil keputusan untuk menutup rapat-rapat pintu ijtihad bagi siapa pun (untuk selamanya).

Pada mulanya penutupan pintu ijtihad ini hanya terbatas pada kategori ijtihad mutlak, yaitu hak menyimpulkan hukum secara mutlak serta menyeluruh seperti yang dimiliki empat tokoh aliran tersebut. Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah makin besarnya jumlah pelaku ijtihad mazdhab dan ijtihad fatwa. Perlu diketahui dalam golongan ini ada tiga tingkat mujtahid, yaitu:

1. mujtahid mutlak

2. mujtahid madzhab

3. mujtahid fatwa

konon, Al Rafi'iy dan An Nawawi adalah mujtahid-mujtahid (juru bicara) madzhab Syafi'I sedangkan Ibnu Hajar al Asqalani dan As Suyuti adalah mujtahid-mujtahid fatwa madzhab Syafi'iy. Pada periode mujtahid-mujtahid madzhab dan fatwa itulah terjadi persaingan meraih pengikut, hingga tidak jarang terjadi sengketa dan "perang mulut" di berbagai tempat. Fanatisme madzhab saat itu sangat dominan mewarnai kehidupan hingga membuat mereka lalai akan bahaya yang datang dari luar (musuh) dan bahaya yang muncul dari dalam (perpecahan di dalam tubuh umat). Dampak yang terjadi adalah kerugiaan yang diderita umat Islam selama beberapa masa, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah.

Lambat laun pintu ijtihad dalam kategori apapun juga ditutup rapat. Opini bahwa peluang berijtihad adalah sesuatu hal yang nyaris mustahil telah tersebar dab tertanam di hati masyarakat. Sejak saat itulah, diskusi-diskusi ilmiah jarang diselenggarakan, kelompok-kelompok studi (halaqah) di halaman-halaman masjid kian berkurang pesertanya. Masyarakat akhirnya terbiasa bersikap dogmatis dan cenderung apatis terhadapa segala problema agama yang muncul ke permukaan. Isu-isu keagamaan pun tidak lagi menarik buat mereka.

Pada saat itulah, ketika masyarakat golongan pertama ini hidup dalam kebekuan intelektual yang berkepanjangan dan hanya mengagung-agungkan kepiawaian tokoh madzhab terdahulu tanpa berani sedikit pun melancangi atau bahkan mengubah fatwa-fatwa merka, muncullah sekelompok pemuda dengan idealisme dan pemikiran kritis mulai mempertanyakan status quo dan memberontak terhadap pola piker keagamaan tradisional (salafiyah) yang mewarnai masyarakat.

Kelompok "mbalelo" ini pun tidak luput dari kecaman dan ditentang secara gencar, bahkan tidak jarang diciduk dengan tuduhan sebagai zindiq (anti agama).

Kelompok yang (nantinya) dikenal dengan harakah al tajdid (gerakan pembaharuan) ini menuntut dibukanya pintu ijtihad dan berpendapat bahwa siapa saja berpeluang untuk berijtihad dan memberikan sumbangan keilmuan kepada Islam. Anehnya, mayoritas golongan pertama sebagai pihak mayoritas tidak menyambut dan mendukung gerakan penuntut ijtihad ini, sehingga kelompok ini tetap menjadi minoritas meskipun terdiri dari sarjana-sarjana pandai.

Hingga kini pertentangan yang terjadi antara kelompok mayoritas (salafiyah) dan kelompok pembaharuan (harakah tajdid) terus berlangsung. Nama-nama tokoh yang bisa dicantumkan dalam daftar kelompok minoritas itu adalah Ibnu Hazm, Ibnu Qayyim, Ibnu Jauzi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Al Ghazali, Abdulhalim Mahmud, Syaltut, Yusuf al Qardhawi, Abu Zuhrah, Sayid Sabiq dan sebagainya. Para tokoh tersebut menyebarkan isunya sehingga mampu mempengaruhi beberapa pelajar agama dari berbagai Negara termasuk Indonesia. Pendiri Persatuan Islam (PERSIS) adalah pengagum dan pelanjut gerakan tajdid tersebut. namun karena tidak dilandasi dengan konsep dan criteria yang jelas, muncullah mujtahid-mujtahid aksidental yang hanya dengan bermodalkan terjemahan Al Qur'an dan beberapa buku karya pemimpin mereka menyebarkan fatwa dan ijtihadnya. Karena konsep ijtihad dan pengetahuan yang terbatas, para mujtahid "kecil" itu pun memberikan fatwa dan berijtihad terbatas pada masalah-masalah (langganan) tertentu seperti masalah tahlil, maulid, qunut dan semacamnya. Imbas dan gerakan pembaharuan ini ditentang oleh mayoritas muslimin yang sangat mengagungkan ulama-ulama terdahulu (salaf). Maka dibentuklah sebuah organisasi reaksioner yang menamakan dirinya (kebangkitan ulama) yang terdiri dari ulama-ulama tradisional yang sebagian besar adalah pemimpin-pemimpin lembaga pendidikan tradisional (pesantren). Dan begitulah seterusnya, polemik keagamaan antara kelompok ini terus terjadi. Bahkan konflik keagamaan dalama tubuh setiap kelompok kini kian terasa.


 
BAB KEDUA


WAFAT NABI BUKAN AKHIR PERIODE NASH


Golongan Kedua

Golongan yang akan kita bahas berikut ini adalah golongan yang beranggapan bahwa periode nash (teks hukum absolute) tidaklah berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw. Bagi mereka sunnah bukanlah ucapan, tindakan dan sikap setuju yang hanya dilakukan oleh Rasulullah saw saja, akan tetapi juga tiga belas figure maksum lainnya setelah beliau, yang diawali dari Ali bin Abi Thalib dan berakhir dengan Muhammad bin Hasan Al Mahdi (termasuk Az Zahra putrid Rasulullah saw).

Perkembangan hukum Islam dalam golongan ini bisa dibagi dalam beberapa periode:

1. periode Rasulullah saw,

2. periode tiga belas manusia suci

3. periode kegaiban pendek

4. periode kegaiban panjang

Dalam beberapa kesempatan golongan kedua ini membuktikan keabsahan tiga belas manusia itu sebagai orang-orang ma'shum dan merupakan sumber-sumber hukum setelah Rasulullah saw, yang diantaranya tertulisan dalam ratusan buah buku. Sebagian diantara buku-buku itu telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia seperti Dialog Sunnah-Syi'ah, Isu-isu Penting Ikhtilaf, Inilah Islam, Islam syi'ah dan banyak lagi lainnya. Tulisan kami ini tidak akan membahas (secara langsung) pembuktian terhadap masalah tersebut. kepada mereka yang ingin mengetahuinya, hendaklahnya merujuk langsung ke buku-buku itu.


1. Periode Rasulullah saw

Rasulullah saw adalah sumber hukum dalam segala sepak terjangnya, baik itu ucapan, perbuatan dan sikap diam beliau. Seluruh aspek kehidupan adalah sunnah dan wahyu yang suci.

Golongan kedua ini meyakini kema'shuman Rasulullah saw semenjak beliau dilahirkan sampai wafat, pada saat bersama pengikut beliau maupun dalam kesendirian. Beliau terhindar dari sifat lupa, atau melakukan dosa kecil (apalagi dosa besar). Keputusan beliau adalah murni keputusan Allah Swt, sehingga segala bentuk penentangan terhadap (keputusan) beliau adalah kekufuran yang nyata, sebagaimana ditegaskan dan dibuktikan lewat tulisan-tulisan mereka.


2. Periode Tiga Belas Manusia Suci

Yaitu periode para pelanjut kepemimpinan Rasulullah saw yang telah ditentukan oleh Allah Swt siapa saja dan berapa jumlahnya melalui Rasul-Nya. Mereka itu, sebagaimana Nabi sendiri, adalah sumber-sumber hukum absolut yang tidak bisa ditawar atau ditentang. Mereka adalah dua belas Imam ditambah Fathimah Az Zahra putri Nabi saw. Sedangkan dua belas Imam yang dimaksud adalah: Ali bin Abi Thalib, Al Hasan, Al Husein, dan sembilan orang dari keturunan Al Husein yaitu: Ali bin Husein, Muhammad bin Ali, Ja'far bin Muhammad, Musa bin Ja'far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali, dan dilanjutkan sampai hari kiamat oleh Imam yang terakhir, Muhammad bin Hasan.. Masyarakat golongan kedua ini dikenal dengan Syi'ah Imamiyah Itsna-Asyariyah Ja'fariyah.

Pada masa hidup Rasulullah saw dan para Imam, masyarakat tidak membutuhkan digunakannya metode ijtihad, kecuali dalam kesempatan dan kondisi tertentu dan (tentu saja) atas restu para Imam Ma'shumin tersebut.

Sebagai usaha menentang akademi pemikiran masyarakat golongan pertama, para Imam Ma'shum itu menempuh cara tersendiri dalam upaya menyimpulkan bentuk-bentuk hukum yang selanjutnya diserahkan kepada murid mereka yang representative. Pada berbagai kesempatan para Imam itu senantiasa melancarkan kritik atas tindakan penyimpulan hukum yang dilandasi teori qiyas, istihsan dan teori-teori (yang tidak konkret) semacamnya, terutama Imam kelima (Muhammad Al Baqir a.s. wafat tahun 114 H) dan Imam keenam (Ja'far As Shadiq a.s. wafat tahun 148 H). Dua Imam ini menganggap teori qiyas dan istihsan dan semacamnya dapat meruntuhkan sendi-sendi syar'at, sebagaimana akan dibuktikan pada pembahasan lain dalam buku ini insya Allah.


Ijtihad Menurut Imam Baqir as

Imam Baqir as jauh hari telah mencanangkan konsep dasar ijma' sebelum terbentuknya akademi Ahl-Ar-Ra'yi dan akademi Ahl-Al-Hadits. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah figur tabi'in pertama, yang dengan ketajaman nalar dan kearifannya mengenai prospek dan perkembangan yang bakal terjadi, telah mengantisipasi kemungkinan itu dengan mencetuskan konsep standar-standar ilmu Ushul Fiqh, yang insya Allah akan kami terangkan dibagian lain.

Al Kasyi, salah seorang pakar dari golongan kedua (Syi'ah Imamiyah) ini menegaskan bahwa kaum Syi'ah Imamiyah sepakat menerima dan mempercayai tokoh-tokoh utama di antara murid-murid Imam Baqir as dan Imam Shadiq as sebagai sumber dalam bidang syari'at. Diantara mereka ada enam orang yaitu: Zurarah bin A'yan (A'yun), Ma'ruf bin Kharbudz, Buraid, Abu Bashir Al Asadi, Al Fadhl bin Yasar dan Muhammad bin Muslim At Tha'if. Kemudian Al Kasyi menyebutkan beberapa tokoh lain yang menduduki peringkat kedua, yaitu Jamil bin Daraaj, Abdullah bin Miskan, Abdullah bin Bukair, Muhammad bin Isa dan Ibban (Ibaan atau Abban bin Utsman).

Meskipun golongan kedua ini menganggap periode teks (nash) tidak berakhir dengan wafatnya Nabi saw, dan sunnah bagi mereka mencakup setiap perkataan, tindakan dan sikap diam (setuju) beliau saw berikut para manusia ma'shum lainnya setelah beliau (yakni Fathimah Az Zahra dan dua belas Imam), bukan berarti para tokoh utama dari golongan ini tidak aktif dalam mengeluarkan dan memberikan fatwa atas beberapa kasus hukum yang terjadi pada masa mereka. Para tokoh itu tetap memberikan dan mengeluarkan fatwa hukum sebatas perintah dan izin para Imam dengan tolok ukur dasar-dasar ilmu Ushul Fiqh dan standar Al Qur'an dan Al Sunnah (Rasulullah saw dan para Imam) yang telah diberikan kepada mereka.


3. Periode Kegaiban Pendek

Menjelang kegaiban pendek (Al Ghaibah Al Sughra) Imam kedua belas Muhammad Al Mahdi menunjuk empat orang sebagai duta (wakil atau safir) yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum dalam masyarakat golongan kedua ini. Empat duta itu adalah:

a. Utsman bin Sa'id (ulama terkenal pada abad ketiga Hijriah).

b. Muhammad bin Utsman bin Sa'id (wafat tahun 304 - 305 H)

c. Al Husain bin Nuh An Naubakhti.

d. Ali bin Muhammad Assamari (wafat tahun 329 H).

Periode kegaiban pendek , sebagaimana diumumkan Imam Al Mahdi sebelumnya. Diawali pada tahun 260 H.
Saat Imam mengakhiri masa gaib pendek , secara otomatis otoritas lembaga kedutaan Imam itu gugur. Saat itu kaum Imamiyah secara langsung merujuk kepada Imam Mahdi sebagai sumber hukum yang absolute.


4. Periode Kegaiban Panjang

Pada periode ini, setelah terpisah dari periode nash dan putusnya hubungan dengan sumber hukum yang mutlak, para tokoh dan ulama Imamiyah yang telah mewarisi khazanah hadits yang amat berharga dari para murid Imam ma'shum, dituntut untuk menyempurnakan proyek dan usaha-usaha dalam bidang hadits ushul dan rijal yang telah dirintis oleh murid-murid para Imam.

Berbagai faktor dan alasan telah menyebabkan para ulama Imamiyah mengambil langkah besar, yang sangat berpengaruh secara positif terhadap kelestarian dan kemurnian hukum-hukum syari'at Islam sehingga mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi upaya pelaksanaan ijtihad dan istinbath (penyimpulan hukum baru) di masa kemudian. Faktor dan alasan penyebab semua itu antara lain adalah jarak waktu yang meciptakan degradasi kualitas kesusasteraan dan kemurnian bahasa, yang mempengaruhi pemahaman mereka terhadap ucapan para Imam. Masalah lainnya adalah bertumpuknya persoalan dan kasus hukumbaru yang muncul seiring dengan perkembangan zaman.


Langkah Pertama

Mengumpulkan pokok dan standar ijtihad berjumlah empat ratus yang telah diciptakan oleh Imam Baqir as dan Imam Shadiq as yang kemudian diriwayatkan oleh para murid mereka dalam kitab-kitab berikut:

1. Al Kafi yang dihimpun oleh Tsiqatul Islam As Syekh Muhammad bin Ya'qub Al Kulain (wafat tahun 329 H) yang sempat mengalami periode ghaibah sughra Imam Mahdi as.

2. Man La Yahdhuruhu al Faqih yang dihimpun oleh Syeikh Muhammad bin Ali bin Bawawaih Al Qummi yang bergelar Al Shaduq (wafat tahun 381 H).

3. Tahzib al Ahkam yang dihimpun oleh Asy Syeikh Muhammad bin Al Hasan bin Ali Al Thusi yang bergelar Syeikh Ath Thaifah (guru golongan syi'ah) (wafat tahun 460 H).

4. Al Istibshar Fi'ma'khtalaf min al Akhbar dihimpun oleh Syaikh Thusi.

Setelah tiga tokoh kawakan diatas masih banyak kitab dan standar penyimpulan hukum baru yang telah dirancang oleh tokoh-tokoh lain yang hidup sezaman dengan mereka. Seperti kitab Wasail Asy Syi'ah (sebuah insklopedi fiqh) yang ditulis oleh Al Muhaddits Syeikh Muhammad bin Al Hasan Al Hur Al Amili, atau Uyunu Akhbar Aridha, karya Syeikh Shaduq, Al Hishal dan sebagainya. Langkah pertama ini diawali pada abad ketiga sampai abad kelima hijriah.


Langka Kedua

Menulis buku-buku tentang biografi para perawi hadits (Rasulullah saw dan para Imam), tentang gelar para perawi, tempat kelahiran, tempat tinggal, kecenderungan, sikap, kualitas kejujuran atau kewaspadaan mereka setiap riwayat dan sebagainya.

Dibidang ini banyak sekali ulama dan tokoh yang ikut terlibat. Diantara mereka dapat dijumpai tiga ulama utama seperti Al Kulaini, Al Shaduq Al Qummi dan Ath Thusi yang telah disebutkan diatas.

Selain merka masih ada beberapa orang lain yaitu:

a. Abu Hasan bin Akhmad Al Alawi Al Aqiqi, penulis buku kitab Ar Rijal yang sanagt terkenal itu. Beliau hidup pada masa ghaibah sughra dan (wafat tahun 289 H).

b. Ahmad bin Ali (wafat tahun 280 H) yang menulis buku tentang para perawi. Beliau adalah ayah dari Abul Hasan yang juga mengalami hidup pada masa ghaibah sughra.

c. Abu Umar bin Muhammad bin Umar bin Abdul Aziz Al Kasyi (wafat tahun 280) yang menulis buku tentang perawi juga yang kemudian diringkas oleh Ath Thusi dan diberi nama Ikhtiar Ma'rifar Rijal. Al Kasyi juga hidup pada masa ghaibah sughra.

d. Abu Abdillah Al Husain bin Ubaidillah bin Ibrahim Al Ghada'iri (wafat tahun 411 H) yang juga telah menulis sebuah buku mengenai bidang itu juga.

e. Muhammad bin Ali Al Thusi yang menulis beberapa buku mengenai masalah ini seperti Al Fihrist dan Al Rijal.


Langkah Ketiga

Menulis buku-buku tentang ilmu Ushulul-Fiqh. Banyak sekali ulama yang menulis tentang masalah ini, antara lain:

a. Al Hasan bi Ali bin Abi Aqil Al Umani (hidup pada abad ketiga hijriah).

b. Muhammad bin Ahmad Ibnu Al Junaid Al Iskafi, (hidup pada abad ketiga hijriah, pada masa ghaibah sughra).

c. Muhammad bin Ahmad bin Dawud bin Ali bin Al Hasan yang dikenal dengan gelar "Syeikh Al Qummiyyin" (guru besar qum) dan dengan sebutan "Ibnu Dawud" (wafat tahun 386 H). beliau telah menulis buku dalam bidang ini dengan judul Mas'il Al Haditsain Al Mukhtalafain.

d. Muhammad bin Nu'man Al Ukhburi yang dikenal dengan Asy Syeikh Al Mufid atau Ibnu Mu'allim (wafat tahun 413 H) yang menulis buku Ilmu Ushulil Fiqh. Buku ini adalah karya paling kuno dalam bidang Ushul Fiqh (dasar-dasar hukum) yang telah sampai kepada kita melalui (riwayat) muridnya yang bernama Al Karajiki (Alkaraciki) dalam buku Kanzul-fawaid..

e. As Sayyid Al Murtadha atau Asy-Syarif Al Murtadha (wafat tahun 436 H) yang menulis buku Al Dzari'ah.. Beliau adalah murid Al Mufid Abul-Qasim Ali bin Al Husein bin Musa bin Muhammad bin Musa bin Ibrahim bin Musa Al Kadhim bin Ja'far Al Shadiq.

f. Sallar bin Abdul Aziz Al Dailami (wafat tahun 436 H) yang menulis buku At Taqrib fi Ushulil Fiqh.

g. Muhammad bin Al Hasan bin Ali Ath Thusi.

Seandainya tiga langkah tersebut tidak segera diambil, bisa dipastikan ijtihad menjadi mustahil dilaksanakan pada masa-masa terakhir sejak masa Al Mufid dan murid-muridnya. Berkat langkah-langkah itulah ijtihad menjadi mungkin, bahkan menjadi wajib kifa'iy bagi kaum Imamiyah (selama masa ghaibah kubra).

Memang ada beberapa ulama menganggap ijtihad sebagai wajib aini seperti Mirza Muhammad Al Istarabadi (Wafata tahun 1021 H), akan tetapi jumlah mereka sangat sedikit dan pendapat demikian tidak pernah diikuti.

Al Istarabadi dan beberapa ulama akbariyun berbeda pendapat dengan ulama Ushuliyun dalam masalah ijtihad. Perbedaan antar keduanya akan kami bahas pada bagian lain buku ini. Insya Allah.

BAB KETIGA


DEFINISI DAN LEGALITAS IJTIHAD

Secara bahasa ijtihad berarti jerih payah (berasal dari kata al Jahd). Al Hajibi dan para tokoh lain golongan pertama mendefinisikannya sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum suatu hal dalam batas menduga, seperti (dalam kalimat) menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'iy.

Perolehan dugaan tentang hukum syar'iy, menurut para ahli hukum golongan pertama, kadangkala berdasar kepada Al Qur'an atau Sunnah dan dalil-dalil dugaan seperti qiyas, istihsan dan semacamnya, sebagaimana telah disebutkan dalam ushul fiqh mereka. "Ijtihad" berdasarkan definisi diatas, sama dengan pengertian bahasanya (linguistiknya); segi pengurasan tenaga dan sulitnya dalam melakukannya.

Istilah Ijtihad dengan definisi dan pengertian inilah yang populer dan berlaku secara umum pada awal kebangkitan Islam dan pada masa-masa terakhir dinasti Abbasiah. Istilaha Ijtihad dalam pengertian itu pula yang dipakai di kalangan mazhab-mazhab fiqh, baik dari golongan sunni maupun dikalangan para Imam dan tokoh Syi'ah. Maka kata "Ijtihad" dalam istilah fiqh dan pada masa-masa itu berarti:"menguras tenaga dan jerih payah guna memperoleh hukum syar'I yang bersifat dugaan dari Al Qur'an, Sunnah, Qiyas, Istihsan, dan sebagainya".

Karena para Imam Syi'ah telah memberikan statemen bahwa umat Islam secara umum dan para ahli fiqh khususnya, dimana dan kapanpun, wajib menciptakan (memperoleh) hukum syar'I riil yang bisa menghilangkan beban tanggungjawab (beban kebimbangan), maka para Imam tersebut mengecam tindakan ijtihad (mujtahidin) serta sumber-sumber mereka yang bersifat dugaan seperti qiyas dan sebagainya. Yang tidak dapat mengganti fungsi dan porsi kebenaran sama sekali.

Murid-murid para Imam telah menuliskan beberapa buku yang menentang para pendukung "Ijtihad" ini, seperti: Abdurrahman Az Zubairi penulis buku Al Istifadah fi Ath Thu'un ala Al Awa'il wa Ar Radala Ashhab Al Ijtihad, Hilal bin Ibrahim bin Abi Al Fath Al Madani penulis Ar Rad Ala Man Radda Ala Atsari Ar Rasul wa I'tamada ala Nataij Al Uqul, Ash Shaduq, Al Mufid, Asy Syayyid, Al Murtadha, dan lainnya, terus berlanjut hingga Al Munaqqip ibnu Idris Al Hilli (wafat tahun 598 H) yang dalam bukunya As Sara'ir mengatakan "Qiyas, Istihsan dan Ijtihad menurut kita (kalangan Imamiyah) adalah bathil (tidak dibenarkan dan tertolak)".

Namun seiring dengan perkembangan sejarah kata ijtihad pun berkembang dan berubah dalam pengertian dan istilah ahli-ahli golongan Imamiyah. Bukti paling otentik dan terlama yang menunjukkan dan merefleksikan perkembangan dan perubahan itu adalah buku "Al Ma'arij" yang ditulis oleh Al Hulli (wafat tahun 676 H). Dalam buku yang berjudul Hakekat Ijtihad, Al Hulli menulis:"(ijtihad), menurut opini para ahli fiqh (Imamiah), adalah; tindakan menguras tenaga dan jerih payah dalam menggali hukum-hukum syari'at. Dengan asumsi ini, upaya menggali hukum dari dalil-dalil tasyri' merupakan tindakan ijtihad yang tidak dilandasi asumsi-asumsi teori-teori yang tidak terserap dari teks-teks lahiriah pada umumnya, baik dalil yang digunakan itu berupa qiyas atau lainnya. Dari keterangan ini, qiyas adalah salah satu bagian dari ijtihad.

Jika dikatakan: kalau memang demikian, berarti Imamiah adalah pendukung "ijtihad"?, maka jawabannya: "ya, memang demikian, akan tetapi dengan catatan, bila qiyas dikeluarkan dari pengertian ijtihad, maka golongan Imamiah juga mendukung ijtihad dalam menciptakan hukum-hukum melalui cara-cara teoritis yang tidak terdiri dari unsur qiyas.

Al Muhaqqiq Al Hilli, tokoh dari golongan kedua, terdorong untuk mengadakan pembaharuan atau penggantian istilah "ijtihad" yang sebelumnya tertanam dalam benak masyarakat dari golongan Sunni maupun Syi'ah, menjadi istilah baru karena khusus bagi Imamiah ada beberapa alasan, antara lain sebagai berikut:

Pertama: Akademi-akademi ijtihad Sunni mulai terjangkiti kelesuan dalam mengadakan pembaharuan dan pengembangan. Ustadz Wahhab Khalaf dalam khulashah Tarikh At Tasyri Al Islami dibawah judul "Ahduttaqlid" (masa taqlid) mengatakan bahwa "masa taqlid" itu adalah masa ketika gairah para ulama (sunni tentunya) dalam melakukan ijtihad mutlak (menyeluruh) sudah pupus dan minat meneliti sumber-sumber syari'at guna menyimpulkan berbagai hukum dari teks-teks (nash-nash) Al Qur'an dan Sunnah serta minat menyimpulkan hukum-hukum yang tidak ada dasar nashnya dari dalil-dalil syari'at sudah tidak ada.

Mereka hanya mengikuti kesimpulan hukum yang diperoleh dari pelaku ijtihad sebelumnya. Masa taqlid ini kira-kira dimulai pada pertengahan abad keempat Hijriah, yaitu ketika berbagai faktor; politik, intelektual moral dan social telah mempengaruhi setiap fenomena dan gejala kebangkitan saat itu yang mengakibatkan aktifitas (menggali hukum syari'at) mengendor. Sejak saat itulah gerakan ijtihad dan perancangan (taqnin) hukum mengalami stagnasi. Stagnasi dan kemandekan tersebuttelah mematikan semangat kebebasan intelektual dan objektifitas ulama-ulama (Sunni). Situasi itu telah membuat ulama sunni kehilangan semangat menyelami samudera hukum (Al Qur'an dan Sunnah yang tidak akan pernah kering selamanya). Para ulama itu telah cukup puas dengan taqlid.

Kelesuhan dan runtuhnya akademi ijtihad sunni mencapai klimaknya setelah "Pintu Ijtihad" tertutup secara resmi bagi siapapun ditambah dengan penaklukan yang terjadi atas kota Bagdad dan dinasti Abbasiah oleh tentara Tartar pada 20 Muharram tahun 656 H. penaklukan itu menyebabkan para ulama Islam dari berbagai madzhab di kota Bagdad berpencaran mengungsi keluar kota sedemikian rupa sehingga ijtihad hanya menjadi "hak milik" para mujtahid terdahulu. Jadi jelas bahwa penggantian kata ijtihad di kalangan Syi'ah Imamiah terjadi setelah kota Bagdad ditaklukkan. Sedangkan akademi-akademi ijtihad sunni bubar sejak pertengahan abad keempat Hijriah, mengingat Al Hilli wafat pada tahun 676 H. penggantian dan pengalihan makna istilah itu, tidak menimbulkan keberatan ilmiah dan opini umum golongan Imamiah pada masa itu, masa setelah dunia Islam mengalami tragedi demi tragedi masa dimana situasi kian memanas dan kian sarat dengan sentiment sectarian yang mendominasi kota Bagdad dan masa memuncaknya konflik antara pendukung aliran konservatif (salafiyah) dengan semua golongan penentangnya, seperti Imamiah dan Mu'tazilah.

Kedua: Al Hilli, sebagaimana telah kita ketahui, telah mengecualikan qiyas dari konsep ijtihad model syi'ah Imamiah. Ini semestinya juga tidak ditentang dan ditolak oleh seluruh ulama golongan Imamiah. Sedemikian mendasarnya peranan qiyas dalam ijtihad model sunni, sampai-sampai Al Syafi'iy (pendiri mazhab terbesar golongan sunni) mengatakan,"ijtihad adalah qiyas dan qiyas adalah ijtihad".

Ketiga: kepribadian agung Al Hilli sendiri, dan kedudukannya yang terpandang di kalangan ahli hukum (fuqaha) di kota Hillah, serta ketaatan masyarakat Imamiah kepadanya dalam bidang ilmu dan fatwa yang hidup di pada zamannya. Murid Al Hilli yang bernama Ibnu Dawud menyebut gurunya "Najmuddin Abul Qasim Al Muhaqqiq (peneliti), Al Mudaqqiq (pemerhati), Al Imam (pemimpin), Al Allamah (pakar ilmu) dan pribadi paling menonjol di zamannya. Beliau sangat piawai dalam berargumentasi dan berdialog.

Al Muhaqqiq Al Hilli mengganti bentuk definisi lama ijtihad yang lama (yang popular di kalangan Sunni) dengan definisi baru (versi Imamiah) yang mengecualikan qiyas. Karena gagasan yang cemerlang, kepandaian dan kewara'annya, golongan Imamiah serempak menerima ijtihad (dalam definisi Syi'ah imamiyah) yang baru itu.


Ijtihad Antara Ushuliyun Dan Akhbariyun

Pada mulanya para ahli fiqh di kota Hillah (Irak) tidak keberatan terhadap penggunaan istilah baru ijtihad (versi Imamiah) ini. Beberapa sikap keberatan terhadap hal itu baru muncul ke permukaan tiga setengah abad setelah lahirnya istilah ijtihad itu sendiri yang ditandai oleh tampilnya seorang ahli hukum yang beraliran radikal konservatif yang bernama Al Mirza Muhammad Al Istarabadi (wafat tahun 1021 H). beliau bersama pendukung-pendukungnya melancarkan kampanye yang mengecam ijtihad dan para pelaku ijtihad.

Kampanye anti ijtihad oleh Al Istarabadi dan kelompok konservatif akhbariyun terjadi akibat dari kesalahpahaman mereka tentang kata dan istilah "ijtihad". Mereka menduga ijtihad yang didefinisikan Al Hilli itulah yang dikecam oleh para Imam suci yang kemudian popular di kalangan ahli fiqih Imamiah. Setelah dirubah definisinya oleh sebagian mereka. Atas dasar itulah kelompok akhbariyun mengharamkan ilmu Ushulul Fiqh (ilmu tentang dasar-dasar hukum Islam), karena ilmu tersebut merupakan landasan terpenting bagi ijtihad.

Para ulama Akhbariyun itu tidak mengetahui bahwa ijtihad menurut definisi Al Hilli dan para ulama ushuliyun setelahnya didapatkan dari para Imam Ahlul Bait as. sedangkan ijtihad yang dikecam para imam ma'shum itu adalah ijtihad yang dilandasi dengan qiyas, istihsan dan dugaan-dugaan lainnya yang tidak bisa diterima secara rasional maupun tekstual. Ijtihad yang demikian tidak pernah dilakukan oleh Al Hilli dan para ulama Ushuliyun lainnya. Karena mereke menganggapnya haram.

Ayatollah Al uzhma Abul Qasim Al Khu'iy Al Musawi. (alm.) mengatakan:

"perbedaan pendapat mengenai masalah ini (antara kelompok akhbariyun dan ushuliyun) sebenarnya bersumber dari perbedaan dalam interpretasi terminologis semantic semata. Kelompok akhbariyun menolak ijtihad yang sebenarnya juga ditolak oleh kelompok ushuliyun, yaitu ijtihad yang berlandaskan qiyas, istihsan dan dugaan-dugaan lainnya (ijtihad versi sunni). Semestinya akhbariyun tidak perlu menentang ijtihad yang dipakai kelompok ushuliyun, karena ijtihad menurut kelompok ushuliyun adalah keharusan memperoleh (menciptakan) segala sesuatu sebagai dalil dalam tugas syar'iy yang bersifat ubudiyah."


Definisi Ijtihad

Beberapa definisi ijtihad telah dikemukakan, antara lain:

1. ijtihad adalah suatu bakat menciptakan (memperoleh) hujjah atas hukum syari'at.

2. ijtihad adalah mencurahkan jerih-payah demi memperoleh (menciptakan) hujjah atas suatu realitas (kenyataan).

3. ijtihad adalah bakat menyimpulkan hukum syar'I yang bersifat cabang dan bakat mengidentifikasikan tuga operasional dalam bidangnya.

Selain tiga definisi diatas, masih banyak lagi definisi yang tidak mungkin kami sebutkan secara rinci berikut dikusi mengenainya dalam buku kecil ini. Kesimpulannya, mujtahid menurut mazhab Imamiah adalah orang yang mencurahkan tenaga dan jerih payahnya lewat cara-cara yang dibenarkan oleh syari'at dari segi akal, bahasa dan tradisi (opini) guna memperoleh dalil atas hukum dan fatwa yang dikeluarkannya berdasarkan sumber-sumber ijtihadiah dalam klasifikasi prioritas sebagai berikut; pertama: Al Qur'an dan Sunnah, kedua: akal dan ijma' (kesepakatan) (dalil-dalil) yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut disebut juga "Al Adillah Al Faqahiyah".

Boleh jadi seorang mujtahid tidak (berhasil) memperoleh dalil dari keempat sumber tersebut, atau berhasil memperolehnya akan tetapi dia menilai dalil-dalil itu kurang kokoh. Masalah ini akan diterangkan dibagian lain tulisan kami ini insya Allah.

Dari keterangan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa hukum ijtihad dalam mazhab Imamiah menurut definisi Al Hilli dan para ulama setelahnya bukan haram namun diperbolehkan (jawaz). Hal ini juga didasari oleh beberapa ayat suci Al Qur'an yang menganjurkan untuk memperdalam pengetahuan agama; merenungkan ayat-ayat tentang hukum, atau menetapkan huku atas setiap individu dengan landasan keadilan dan kenetralan, serta hadits yang menganjurkan kita rujuk kepada hakim (ahli fiqih) yang adil dan menjauhi hakim yang zalim, bejad dan manipulator. Ayat-ayat dan riwayat tentang hal ini disebutkan dengan rinci oleh Sayyid Abdullah Syubbar (wafat tahun 1242 H) dalam bukunya Al Ushul Al Ashliyah.

Seandainya ijtihad tidak dibenarkan, bisa dipastikan fiqh serta pembahasannya hanya akan mengacaukan otak dengan berbagai macam informasi yang tidak korelatif bahkan saling bertentangan. Konsekuensi dari asumsi tersebut adalah tersebarnya kebodohan (ketidaktahuan) tentang hukum-hukum (syari'at) Islam dan tidak berfungsinya peradilan atau pengadilan terhadap kasus sosial. Dengan kata lain, larangan itu menyebabkan ketidaktahuan, sedangkan ketidaktahuan menyebabkan terjadinya pelanggaran. Demi menghindari pelanggaran itu maka para ahli fiqh Imamiah menganggap ijtihad bersifat fardhu kifayah selama masa ghaibah kubra. Jadi, bila terjadi kasus dimana masyarakat islam mengalami kekosongan akan seorang mujtahid, maka dosa haramnya itu ditanggung oleh setiap individu dalam masyarakat itu.

Berangkat dari kesadaran akan hal ini ijtihad menjadi salah satu unsure substansial dalam mazhab Imamiyah, sekaligus merupakan lambang kecemerlangan dan kebanggaan mereka di arena persaingan intelektual. Hingga kini ijtihad menjadi harta yang tak ternilai bagi golongan Imamiyah yang tidak dimiliki golongan lain.


BAB KEEMPAT


TAQLID DAN IHTIYATH

Telah dijelaskan dari pembahasan sebelumnya, bahwa mencari dan mendapatkan wewenang berijtihad pada setiap zaman pada masa ghaibah kubra adalah wajib kifa'I atas orang-orang mu'min. telah menjadi jelas pula, ijtihad bukan bersifat wajib aini atas setiap individu mu'min yang memenuhi syarat-syarat mukallaf (dewasa, berakal sehat, dan mampu) untuk melakuakan taklif yang diberikan oleh pemberlaku syari'at.

Dengan demikian asumsi bahwa ijtihad adalah wajib aini atas setiap individu umat di setiap zaman tertolak secara syar'I karena mengakibatkan timbulnya kesulitan yang sangat besar bagi mayoritas masyarakat mu'min, seperti adanya resiko karena ditinggalkannya tugas dan pekerjaan yang berkaitan langsung dengan hidup dan penghidupan (nafkah keluarga). Bahkan asumsi demikian menyebabkan orang meninggalkan kewajiban-kewajiban lainnya, seperti mempertahankan wilayah Islam dari serangan musuh (yang bersifat kifa'i) atau kewajiban mengisi sektor-sektor penting yang merupakan sumber daya masyarakat (perdagangan, perindustrian, pertanian, kedokteran dan sebagainya).

Karena menimbulkan konsekuensi-konsekuensi seperti diatas, maka asumsi bahwa ijtihad bersifat wajib aini juga tertolak secara rasional. Lagi pula tingkat kecerdasan, semangat dan pemahaman antara satu individu dengan yang lainnya tentunya secara wajar berbeda, meskipun secara rasional tidak mesti berbeda.


Taqlid

Karena telah demikian jelas bahwa ijtihad bersifat wajib kifa'I, maka setiap individu yang awam harus (wajib) taqlid kepada orang-orang yang tentunya telah memenuhi persyaratan untuk diikuti (ditaqlidi) secara rasional maupun tradisional. Jika tidak, akan terjadi peristiwa dimana sebagian besar masyarakat tidak mengetahui hukum-hukum syari'at untuk setiap kasus yang terjadi, yang pada akhirnya mereka berbuat hal-hal yang bertentangan dengan syariat itu sendiridan terjadilah pelanggaran.

Persyaratan berfatwa yang harus dimiliki oleh muqallad (marja' al taqlid atau mujtahid yang diikuti) telah ditetapkan oleh para ahli fiqih Imamiyah dalam buku-buku mereka, seperti Muhammad Kazhim Al Thabathaba'I Al Yazdi (wafat tahun 1337 H) dalam bukunya Al Urwah Al Wutsqa, bab taqlid, masalah ke 22 menuliskan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oelh seorang mujtahid ialah:

1). Balig (dewasa)

2). Berakal sehat

3). Meyakini prinsip Imamah (kepemimpinan dua belas Imam)

4). Laki-laki

5). Masih hidup

6). Lahir dari perkawinan yang sah

7). Tidak memberikan perhatian yang berlebihan kepada materi (urusan dunia).

Dalam riwayat disebutkan:"Barang siapa di antara para faqih kami (Ahlilbait) bisa menjaga (citra) dirinya, memelihara (mempertahankan) agamanya, menentang hawa nafsunya, taat kepada maulanya (Allah, Rasul dan para Imam), maka hendaklah masyarakat awam bertaqlid kepadanya." Perlu diketahui, seorang mujtahid yang hanya menyimpulkan hukum atas sebagian kasus tidak bisa ditaqlidi, karena berarti dia belum menguasai bidang hukum secara sempurna.

Mujtahid yang demikian itu disebut mujtahid mutajazzi'. Mujtahid yang sudah wafat juga tidak bisa ditaqlidi, demikian pula yang sudah pikun.

Karena ijtihad adalah wajid kifa'I, maka perbuatan setiap individu mu'min yang tidak dilandasi dengan taqlid atau ihtiyath adalah batal menurut mayoritas Imamiah. Dalam Al Urwah Al Wutsqa, Al Yazdi menyatakan bahwa diwajibkan atas setiap mukallaf untuk taqlid dalam setiap ibadah dan mu'amalahnya, baik sebagai muqallid atau sebagai muhtath (orang yang melakukan ihtiyath). Ihtiyath adalah tindakan memilih fatwa dari para mujtahid dengan standart kehati-hatian.

Orang yang mengamalkan tugas-tugas syari'atnya tanpa taqlid kepada seorang mujtahid harus mempertanggungjawabkan seluruh amal yang dikerjakannya, karena ia secara tidak langsung mengangkat dirinya sebagai mujtahid walaupun belum memenuhi persyaratan. Memang ada beberapa kasus hukum yang tidak perlu dilandasi dengan taqlid, seperti wajibnya shalat dan puasa ramadhan atau haramnya perbuatan zina, hubungan seksual sesama jenis, membunuh orang yang secara syar'I tidak semestinya dibunuh dan semuanya yang termasuk kategori dharuriyah (sangat jelas, sebagaimana tertera dalam Al Qur'an, Sunnah dan sebagaimana ditetapkan oleh akal).

Para ahli fiqh juga mengecualikan beberapa kasus, seperti peristiwa ketika masyarakat awam telah menyaksikan bulan (hilal) yang menandai masuknya bulan syawal, sedangkan mujtahid yang ada diantara mereka belum memberikan dan menjelaskan bentuk hukum (fatwa) tentang wajibnya untuk mengakhiri puasa (berbuka), karena mujtahid yang bersangkutan belum menyaksikan dan mengadakan penyelidikan ini, masyarakat atau individu yang menyaksikan kemuculan bulan syawal secara jelas, wajib segera mengakhiri puasanya dan berhari raya.

Pengetahuan masyarakat awam akan masalah ini sangat sedikit, sehingga bila (diasumsikan) mereka memiliki pengetahuan akan hal ini, maka yang diketahuinya sanagat sedikit disbanding masalah-masalah penting lainnya. Oleh karena itu asumsi bahwa orang-orang mu'min yang belum mencapai tingkat mujtahid wajib taqlid harus diterima.


Ihtiyath

Tentang ihtiyath, penulis Al Urwah Al Wutsqa dalam masalah kedua mengatakan: "menurut pendapat yang lebih kuat, baik mujtahid maupun bukan dibenarkan mengamalkan ihtiyath. Namun seorang muhtath harus orang yang menguasai cara melakukan ihtiyath, yang berdasarkan taqlid (jika dia seorang muhtath yang muqallid), dan berdasarkan ijtihad (jika ia seorang muhtath yang mujtahid)." Maka menurut beliau, ihtiyath adakalanya bertalian dengan taqlid dan adakalanya bertalian dengan ijtihad.

Jadi, seorang muqallid yang muhtath, ketika melakukan ihtiyath harus memilih (menyeleksi) salah satu dari fatwa-fatwa para mujtahid yang ahwath (lebih berhati-hati) pada zamannya. Sedangkan seorang mujtahid yang muhtath, ketika melakukan ihtiyath harus didasari dengan pengetahuan dan pendapatnya sendiri.

Ihtiyathadalah melakukan suatu tindakan yang dapat memberikan kemantapan hati dalam konteks penyelesaian beban moral (syar'i) atau bara'ah li al-dzimmah. Ada kalanya, tindakan memilih fatwa yang ahwath tidak memberikan kemantapan hati. Ini terlihat dengan adanya kenyataan kemestian adanya orang-orang yang melakukan ihtiyath. Sebagai contoh, Ayatullah Al-Uzhma Abul-Qasim Al-Khu'I dalam Al-Masa'il Al Muntakhabah mengatakan:" kadangkala ihtiyath (pada satu sisi) bertentangan dengan ihtiyath (pada sisi lain), yang mana peristiwa demikian tidak akan mudah dimengerti dan diantisipasi oleh masyarakat awam muqallid. Contohnya, bila seorang meragukan jumlah tasbih yang wajib dibaca dalam shalat antara satu dan tiga kali, maka (standar) ihtiyath mewajibkan satu kali tasbih ketika waktu sangat sempit. Dalam konteks ini, ihtiyath yang kedua (yaitu membaca tiga kali tasbih) jika dilakukan maka sebagian dari shalat itu keluar (melebihi) batas waktunya, sedangkan tindakan menggugurkan pembacaan dua tasbih selebihnya bertentangan dengan ihtiyath (pertama). Dalam situasi demikian, dia hanya punya dua pilihan, antara taqlid dan ijtihad, sedangkan ihtiyath tidak berlaku."



BAB KELIMA


ILMU-ILMU YANG MENDASARI IJTIHAD

Ilmu-ilmu iktisabi atau kasbi (yang diperoleh lewat pencarian) sebagai dasar ijtihad adalah sebagai berikut:


1. Bahasa (gramatika seperti Nahwu dan Sharf) dan sastra Arab (seperti Balaghah yang terdiri dari ilmu Bayan, Ma'ani, Badi').

Ilmu Sharf adalah ilmu tentang perubahan bentuk sesuai dengan waktu; lampau, sedang (berlangsung), perintah, kata kerja, kata pelaku dan sebagainya. Ilmu Nahwu adalah ilmu tentang perubahan akhir huruf setiap kata (dan jumlah kata) seperti mubtada', fa'il, dan sebagainya, serta perbedaan-perbedaan pendapat menyangkut masalah-masalah penting di dalamnya. Ilmu Balaghah adalah ilmu kesusasteraan. Ilmu Bayan adalah ilmu cabang dari ilmu Balaghah yang mempelajari cara berkomunikasi dan tutur kata supaya dipahami dengan sempurna. Ilmu Ma'ani adalah ilmu yang mengajarkan teknik memperindah bahasa dan kata, bersyair, menyusun puisi dan sebagainya.

Ilmu Bahasa dan Satra Arab sangat diperlukan calon mujtahid, mengingat sebagian besar hukum syari'at hanya dapat ditemukan dan disimpulkan melalui pemahaman dan penguasaan arti yang tersurat (lahiriah) atau yang tersirat (batiniyah) dari ayat-ayat Al Qur'an dan riwayat-riwayat hadits. Bahasa Arab -sebagaimana bahasa-bahasa lain- sebagai media komunikasi populerjuga tidak terlepas dari kontaminasi. Dengan demikian ilmu Bahasa dan Satra Arab wajib dipelajari dan dikuasai calon mujtahid, siapa pun dia, bangsa arab atau bukan.


2. Ushulul-Fiqh (ilmu dasar-dasar penyimpulan hukum).

Ilmu dasar-dasar hukum syari'at ini dalam syllogisme demonstrable (al qiyas al burhani) terletak sebagai proposisi mayor (al qadhiyah al kubra), sebagaimana telah dijelaskan dalam ilmu logika (manthiq). Ilmu inilah yang menentukan benar atau tidaknya suatu teks riwayat yang akan digunakan sebagai dasar penyimpulan hukum. Ilmu ini bersifat shopistik dan tidak mengandung arti.


3. Ilmu Dirayah (ilmu tentang riwayat serta kategori-kategorinya) dan ilmu Rijal (ilmu tentang identitas para pembawa riwayat).

Karena sebagian besar riwayat-riwayat yang mengisi khazanah periwayatan umat (Imamiah) termasuk dalam kategori ahad (periwayatan individual) dan bukan kategori mutawatir (periwayatan kolektif) baik dari segi matn (teks) maupun sanad (perawi), maka calon mujtahid harus menguasai ilmu rijal dan ilmu dirayah.

Studi terhadap riwayat dan berbagai macamnya secara mendasar sangat diperlukan karena secara global didapati adanya riwayat yang tidak sahih dalam khazanah hadits umat Islam. Bila seorang mujtahid telah mengetahui secara rinci dan mendapat kemantapan akan keshahihan sebuah (beberapa) riwayat, maka dia bisa menjadikannya sebagai sumber penyimpulan hukum syar'i. setelah memastikannya sebagai ucapan Nabi atau Imam.


4. Ilmu Manthiq (Logik), yaitu ilmu tentang teknik berfikir yang benar.

Seorang faqih sangat perlu mengetahui beberapa pembahasan ilmu ini yang erat kaitannya dengan tujuan penyimpulan, seperti pembahasan-pembahasan mengenai syllogisme demonstrable (al qiyas al burhani), pembahasan tentang pembagian dan sebagainya.


5. Ilmu Matematika.

Ayatollah Muhammad Baqir Shadr mengategorikan sebagai salah satu landasan ijtihad. Dalam bukunya yang berjudul "Al Ushul Al Manthiqiyah Li Al Istiqra" (dasar-dasar rasional induksi) beliau memasukkan hitungan perkiraan-perkiraan matematika rasional dalam pembahasan-pembahasan ushul, seperti pembahasan-pembahasan tentang ijma', syuhrah dan sebagainya. Itulah sebabnya, dimasa mendatang Ilmu Matematika akan menjadi salah satu ilmu yang mendasari ijtihad, insya Allah.

Tindakan Sayyid Muhammad Baqir Shadr ini mirip dengan langkah Al Muhaqqiq Husein Al Khunsari (wafat tahun 1098 H) yang memasukkan pemikiran-pemikiran filosofis Islam ke dalam pembahasan-pembahasan Ushul-Fiqh, dalam bukunya " Al Masyariq Asy-sumus fi Syarhi Ad Durus". Pada awalnya buku itu mendapat kritikan dari para pendukungnya yang kemudian mereka kembangkan hingga menjadi konsensus dan disahkan.

Kelima macam ilmu diatas merupakan unsur-unsur utama ijtihad. Selain itu masih ada beberapa hal yang bermuara kepada ilmu-ilmu tersebut, misalnya memperbanyak operasi penyimpulan, mengadakan mubahtsah (diskusi) sebanyak mungkin agar dapat saling memberikan kritik, pembenaran, penyempurnaan dan pengesahan.

Ada beberapa hal yang bertalian erat dengan bakat-bakat alami yang tidak bisa diperoleh melalui pencarian atau belajar iktisabiah. Bakat-bakat seperti itu juga sanagat menentukan keberhasilan seseorang untuk mencapai tingkat mujtahid, seperti kecerdasan yang maksimal, ketangkasan nalar, kejelian analisa dan sebagainya. Kapasitas kecerdasan dan tingkat kejelian yang berbeda-beda, sehingga diantara mereka lebih banyak yang gugur ditengah ujian yang harus ditempuh. Diantara mereka ada yang tidak mampu berpindah dari status muqallid, ada yang hanya mencapai status muhtath, ada pula yang mampu berijtihad walaupun sifatnya parsial dan ada pula yang berhasil menjadi mujtahid-mujtahid mutlak, bahkan menjadi panutan (muqallad), meski yang demikian jarang dan terbatas.


Definisi Ilmu Ushul Al Fiqh

Sejak dulu hingga kini ilmu Ushul-Fiqh mempunyai definisi yang bermacam-macam. Dikalangan Ushuliyah sendiri terjadi perselisihan yang berkepanjangan tentang setiap definisi yang ada; proporsional (jami' wa mani') atau tidaknya, sempurna atau cacat, meskipun sebagian besar perselisihan itu memang diciptakan untuk tujuan pendekatan dan memberikan pemahaman serta kejelasan. Konon, tidak ada perselisihan mengenai terminology (istilah).

Diantara sekian banyak definisi yang ada, definisi Sayyid Muhammad Baqir Shadr adalah yang paling relevan. Ilmu Ushul Fiqh menurut beliau adalah ilmu unsur-unsur yang tergabung dalam penyimpulan hukum syar'i. Yang dimaksud dengan unsur-unsur tergabung adalah dasar-dasar umum (al anashir al musytarakah) yang tercakup dalam operasi penyimpulan hukum yang bermacam-macam pada bab-bab yang berbeda. Melalui proposisi-proposisi besar Syllogisme Demonstrable (Al Kubrayaat Al Qiyas Al Burhani) dan penggabungannya dengan proposisi kecil (Sugrayaat) lain seperti ayat lahitiah (muhkamat) atau riwayat yang shahih serta tidak bertentangan dengan salah satu kriteria premis yang dapat dijadikan dalil serta konotasinya menyangkut suatu hal , dapat diperoleh hukum syari'at yang menjamin hilangnya beban kewajiban taklif dan beban moral (Al Hukum Al Mubarri' Lizd-Dzimmah) dalam dua bagiannya; yang riil dan actual. Sebagai contohnya bila seorang mujtahid dihadapkan pada pertanyaan: "haramkah bagi orang yang sedang berpuasa membenamkan kepalanya ke dalam air?", maka mujtahid harus segera menelitiAl Qur'an. Jika tidak didapati hukum tentang hal itu di dalam Al Qur'an dia harus meneliti Sunnah (Nabi saw dan para Imam as). kemudian dari Sunnah itu dia temukan riwayat Ya'qub bin Syu'aib dari Imam Abu Abdillah Ash Shadiq as. yang mengatakan: "orang-orang yang sedang berpuasa tidak dibolehkan membenamkan kepalanya ke dalam air. Yang dalam susunan dan jumlah katanya menurut opini berkonotasi pengharaman, lalu terbukti riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat lain demikian juga dengan keshahihan sanadnya (jalur perawi-perawinya). Setelah menempuh proposisi-proposisi ini semua maka mujtahid itu mengambil prosisi kecilnya yaitu konotasi riwayat tersebut menurut standar opini (Al Urf Al Am) yaitu hukum haram. Disinilah unsur-unsur tergabung itu memberikan ketetapan bahwa riwayat dari orang yang tsiqah (dipercaya) adalah dalil yang bisa diandalkan.

Sedangkan Ya'qub bin Syu'aib adalah pribadi terpercaya, sebagaimana dibuktikan dalam buku-buku rijal. Syllogisme menyangkut contoh masalah ini dapat kita uraikan dalam bentuk penjabaran (syakl) sebagai berikut:

1. Kubra (mayor): riwayat Ya'qub bin Syu'aib yang sudah dipercaya berkonotasi keharaman bagi seorang yang sedang berpuasa membenamkan kepala ke dalam air.

2. Sughra (minor): riwayat dari seorang yang terpercaya, oleh syar'I (pembuat syari'at) dianggap hujjah.

3. Natijah (konsekuensi): orang yang sedang berpuasa diharamkan membenamkan kepalanya ke dalam air.

Untuk setiap kasus yang dipelajari, unsure-unsur tergabung yang terletak dalam proposisi pertama syllogisme- syllogisme demonstrable yang dilakukan oleh seorang faqih untuk mendapatkan syari'ar far'I (bersifat cabang) yang menghapus beban taklif dipelajari lewat ilmu Ushul Fiqh. Maka keshahihan riwayat sorang tsiqah sebagai dalil adalah unsure tergabung yang tercantum dalam berbagai analogi dan syllogisme demonstrable, sedangkan riwayat Ya'qub bin Syu'aib (misalnya) adalah unsure khusus dalam kasus ini.


Obyek Ilmu Ushul Fiqh

Dari definisi yang telah disebutkan kita mengetahui bahwa ilmu ushul fiqh mempelajari dalil-dalil yang tergabung dalam ilmu fiqh bagi penetapan peran dan funsinya sebagai dalil. Dengan demikian obyek ilmu ushul fiq adalah dalil-dalil yang tergabung dalam argumentasi (deduksi) fiqh (Al Istidlal Al Fiqh).


Tujuan Ilmu Ushul Fiqh dan Kegunaannya

Setelah ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu Ushul Fiqh (pokok-pokok syari'at) juga mengandung tujuan yang mulia dan tertinggi serta memuat kegunaan dan manfaat yang sangat besar. Dengan ilmu inilah seorang faqih dapat menyimpulkan hukum-hukum syari'at (hukum-hukum sosial) dari dalil-dalilnya yang kemudian disampaikan kepada muqallidnya. Disamping itu, sebagaimana telah kita ketahui, ijtihad dalam semua hukum syari'at secara esensial bergantung pada ilmu ini, kecuali hukum-hukum tertentu yang tidak memerlukan taqlid apalagi ijtihad.


Metode-metode Utama Pembuktian (penetapan) Dalam Ilmu Ushul Fiqh

Metode-metode utama itu ialah:

Al Bayan Asy Syar'iy dan Al Idrak Al Aqli. Al Bayan Asy Syar'iy (pernyataan syar'i) terbagi menjadi dua:

Pertama: Al Qur'an Al Karim, yaitu sumber pertama syari'at. Al Qur'an adalah "Bayan" (keterangan, pernyataan dan penjelas). Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 148 berfirman:"Ini (Al Qur'an) adalah keterangan (bayan) dan petunjuk (huda) bagi manusia)."

Kedua: Sunnah (menurut Imamiah), yaitu ucapan, tindakan dan sikap setuju (mendiamkan suatu masalah dan peristiwa) setiap manusia ma'shum (Rasulullah saw, Fathimah dan duabelas Imam as)

Sunnah adalah bayan Allah, sebagaimana firman-Nya:" dan tidak Aku turunkan Adz Dzikr melainkan untuk memberikan keterangan kepada manusia" (surat An Nahl: 44).

Standar dan tolok ukur Sunnah adalah Al Qur'an Al Karim, berdasarkan ucapan Imam Al Shadiq as:" perhatikan perintah kami dan semua yang datang dari kami. Bila kalian temukan itu sesuai dengan Al Qur'an, ambillah! Jika tidak, tolaklah, dan jika tidak jelas diamkan (jangan menerima atau menolakk), lalu ajukan kepada kami sehingga kami dapat menjelaskan kepada kalian sebagaimana telah dijelaskan kepada kami."

Al Idrak Al Aqli (pemahaman rasional) memiliki beberapa sumber dan tingkat. Para ulama ushul fiqh telah merancang dasar-dasar dan kerangkanyakemudian dan menjawab beberapa keberatan dan kesalahpahaman kelompok akhbariyun, yang terlalu panjang untuk disebutkan dalam buku kecil ini. Bagi yang berminat mengetahuinya. Kami sarankan untuk menkaji buku-buku ushulul fiqh mengenai masalah tersebut.


BAB KEENAM


HUKUM-HUKUM ISLAM (SYARI'AH)

Undang-undang (sosial) yang telah ditetapkan Allah Swt adalah undang-undang yang berkaitan dengan dzat (diri), tindakan-tindakannya atau kehidupannya. Hukum-hukum syari'at (hukum yang berdasarkan rancangan) terbagi menjadi dua macam:


1. Al Hukum Al Wadh'I (hukum konvensional, hukum peletakan dan kesepakatan).

Hukum ini yang menjelaskan hal yang spiritual yang tegak dengan sendirinya secara tradisional, memberikan pengaruh, baik secara langsung atau tidak terhadap perilaku manusia. Sebagai contoh adalah hukum kepemilikan. Perilaku manusia tidak dipengaruhi secara langsung oleh hukum kepemilikan ini tetapi oleh kemilikan (pemilikan) itu sendiri. Kemilikan adalah suatu hukum taklifiah (lawan wadh'iy), seperti haramnya menggunakan harta benda orang lain tanpa izin dari pemiliknya. Demikian juga perkawinan yang hukumnya telah disyari'atkan secara langsung bagi hubungan pria dan wanita. Perkawinan berpengaruh secara tidak langsung terhadapa perilaku pria dan wanita setelah kawin. Oleh karena itu perkawinan juga merupakan hukum konvensional yang menjadi obyek hukum-hukum taklifiah, yaitu kewajiban suami memberikan nafkah kepada istrinya, dan sebagainya.


2. Al Hukum At Taklifi (hukum yang bersifat penugasan).

Hukum ini bertalian dengan perbuatan-perbuatan manusia yang berpengaruh secara langsung terhadap perilaku dalam berbagai aspek kehidupan individual menyangkut masalah ritual, kehidupan rumah tangga dan semua obyek yang menjadi sasaran syari'at Islam dan hal-hal yang ditanganinya seperti haramnya minum khamar, wajibnya shalat, wajibnya memberi nafkah sebagian kerabat, wajibnya zakat dank humus atas orang-orang kaya, pengklaiman tanah yang tidak ada pemiliknya dengan izin dan persetujuan Imam, wajibnya bersikap adil atas seorang hakim dan sebagainya.

Al Hukum At Taklifi terbagi menjadi beberapa jenis:

a. Wujub (keharusan), yaitu hukum syar'I yang mengharuskan realisasi suatu amalan, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Wujub terbagi menjadi beberapa bagian, yang secara lengkap disebutkan dalam kitab Ushulul-Fiqh.

b. Istihbab (dicintai), yaitu suatu hukum syar'I yang menganjurkan aktualisasi suatu tindakan tanpa mengandung keharusan, seperti mengantarkan jenazah mu'min, yang meninggal, menjenguk mu'min yang sakit dan sebagainya.

c. Hurmah (larangan), yaitu suatu hukum syar'I yang melarang aktualisasi suatu tindakan pada batas keharusan, seperti berzina, mengadakan hubungan seksual sesama jenis, memberikan kesaksian palsu, menjual senjata kepada musuh Islam, dan sebagainya.

d. Ibahah, yaitu suatu kelonggaran dan keluasan yang diberikan oleh pemberlaku syari'at kepada mukallaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan berdasarkan ikhtiar dan kebebasan individualnya, seperti minum kopi, merokok, (menurut sebagian mujtahid) dan sebagainya, selama tidak mengandung bahaya.

e. Karahah (karahiah), yaitu hukum syar'I yang mengandung anjuran agar mukallaf tidak meninggalkan suatu perbuatan, seperti kencing sambil berdiri, (merokok menurut sebagian mujtahid) dan sebagainya.

Dengan demikian, kita dapat mempermudahnya. Wujub adalah hukum atas perbuatan yang mesti dikerjakan, hurmah adalah hukum atas perbuatan yang mesti ditinggalkan, istihbab adalah suatu hukum atas perbuatan yang sebaiknya dilakukan, karahiah adalah suatu hukum atas perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan dan dilakukan. Tapi hukum ibadah ada kalanya berubah menjadi salah satu dari empat hukum diatas, seperti pengharaman tembakau (yang pada dasarnya bersifat mubah) oleh Al Mirza Muhammad Al Syirazi yang berjalan beberapa tahun di Iran sebagai usaha membendung pengaruh Bahaisme (salah satu organisasi yang diciptakan oleh Zionisme dan Imperialisme internasional) atau pengharaman gula atas penderita diabetes dan sebagainya.


Dalil-dalil Penetapan Hukum (syari'at) Islam

Al Qur'an, sunnah, Ijma, dan akal adalah dalil-dalil yang dijadikan sebagai sumber penyimpulan hukum syari'at.

Ketika seorang faqih berbenturan dengan suatu masalah atau dimintai fatwa oleh seorang mukallaf, menurut ilmu ushulul-fiqh, dia harus segera menentukan sikap praktis operasional terhadap kasus itu, dengan menggunakan salah satu dari dua cara sebagai berikut:

Metode pertama: menentukan sikap praktis actual dengan menggunakan ketetapan hukum riil (waqi'i) dan dalil-dalil ijtihad (al adillah al ijtihadiah) dari sumber hukum syari'at yang sudah jelas (al ahkam asy syari'ah al waqi'iyah) yaitu Al Qur'an dan Sunnah para ma'shumin. Kedua sumber ini menempati peringkat pertama dari segi kekuatan (bobot kebenarannya) dan dari segi hujjah (keandalannya sebagai bukti kongkret), baru kemudian akal dan ijma'.

Metode kedua: ketika seorang faqih tidak menemukan dalil ijtihad yang bisa memberikan hukum syar'I (mengenai kasus tertentu) sedangkan ia tertahan pada sikap ragu, maka harus merujuk kepada dalil-dalil faqahiah. Dalil faqahiyah merupakan pokok operasional praktis untuk menentukan tugas praktis bagi dirinya atau bagi si peminta petunjuk fatwa, karena al adillah al faqahiah adalah sumber bagi hukum-hukum lahiriah yang menetapkan keadaan ragu terhadap hukum jelas (waqi'iyahnya). Sedangkan tugas operasional yang diberikan oleh pokok operasional dalam konteks itu adalah pelenyap beban moral syari'at (mubarri'ah mim adz dzimmah) terlepas apakah fatwa mujtahid itu benar atau keliru, selama waqi'I (yang pasti) masih tetap tersimpan di sisi pemberlaku syari'at (Rasul dan Imam) karena Allah telah menetapkan hukum yang tidak akan mengalami perubahan karena berubahnya pendapat manusia (berbeda dengan pendapat kelompok asy'ariyah dari golongan ahlusunnah) (baca Al Mustashgha karya Abu Hamid al Ghazali yang dikutip oleh Muhammad Bahrul Ulum dalam bukunya Al Ijtihad Ushuluhu wa Ahkamuhu hal. 203). Hal ini juga berbeda dengan pendapat Mu'tazilah.

Dalil-dalil yang dimaksud adalah Al Istishab, Al Bara'ah, Al Ihtiyath dan Al Takhyir. Sebagian dari pada itu disahkan dengan dalil aqli (rasional) sebagaimana dibahas dan didiskusikan secara rinci oleh para ushuliyun. Hukum syar'I (ritual) yang disahkan oleh dalil ijtihad itu kadang juga disebut Al Waqi'I Al Awwali (hukum riil pertama) atau juga disebut Al Hukum Al Idhdhirari sedangkan hukum aqli yang disahkan dengan dalil faqahi kadang disebut Al Hukum Al Waqi'iy Ats Tsanawi.


Antara Dasar-dasar Syari'at Dan Dasar-dasar Undang-undang

Dr. Abdul Razak dan Ahmad Hisymat mengatakan: "tidak ada ilmu dengan gambaran dan batas-batas yang jelas dinamakan ilmu pokok undang-undang. Yang ada hanya kajian-kajian yang membahas undang-undang sehubungan dengan proses kemunculannya, proses perkembangannya, karakteristiknya, sumber-sumbernya dan bagian-bagiannya." Pernyataan dua tokoh modern ini dikomentari oleh tokoh Ushul Fiqh Imamiah Sayyid Muhammad Taqi Al Hakim dalam bukunya Al Ushul Al Ammah li Al Faqih Al Muqarrin hal. 47-48: "yang pantas menjadi pokok bagi undang-undang hanya sumber undang-undang itu saja, sedangkan pembahasan mengenai undang-undang, karakteristiknya, bagian-bagiannya, proses kemunculannya dan perkembangannya itu sudah keluar dari pengertian dasar-dasar atau ushul (bentuk jamak kata asal) tapi bergabung dengan preposisi dan pendahuluan-pendahuluannya, karena sangat jelas bahwa mengkonsepkan sesuatu dan karakteristiknya termasuk dalam prinsip-prinsip penting ilmu (tentang undang-undang)nya. Sedangkan riset terhadap kemunculan dan perkembangannya lebih tepat dikategorikan sebagai sejarah undang-undang." Kata Mashadir (sumber atau sandaran) di sini dalam tradisi dan opini mereka mengandung banyak arti itu.

Ada dua arti yang sangat penting yaitu sebagai berikut:

1. Al Ashl At Tarikhi (pokok historis)

Yaitu sumber sejarah yang menjadi pembekal utama undang-undang yang hendak dipelajari, seperti perundang-undangan Perancis, yang melandasi undang-undang Mesir dan Irak, perundang-undangan Belanda yang melandasi sebagian besar undang-undang Indonesia dan sebagainya.

2. kekuasaan yang memperkuat pondasi undang-undang dan diberi nama SUMBER RESMI.

Setiap undang-undang mempunyai berbagai sumber yang berbeda-beda, yaitu: At Tasyri' (pemberlaku syari'at), "Al Urf (tradisi umum dan opini masyarakat), undang-undang alam, standar keadilan dan kadangkala agama.

Dari keterangan diatas kami memahami bahwa perbedaan fundamental antara Ushul Al Qawanin (pokok-pokok undang-undang) dan Ushul Fiqh (pokok-pokok syari'at) tersirat dalam perbedaan hakiki antara karakteristik hukum Islam dan undang-undang konvensional. Dengan kata lain, pembuat syari'at Islam adalah Allah Swt lalu diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw sebagai perwujudan dari rahmat-Nya atas umat manusia agar mencapai kesempurnaan intelektual, spiritual, social dan cultural. Dari sini bisa dipahami tujuan seorang faqih terbatas pada usaha meraih syari'at yang telah dibuat oleh Allah Swt, sedangkan unsur-unsur yang tergabung dan standar-standar umum hanya dijadikan sebagai sarana mengeluarkan dan menyimpulkan hukum dan penetapan fiqh yang bersifat cabang. Maka dasar-dasar Ushul Fiqh berangkat dari pengertian ini, dianggap sebagai cara-cara membuktikan (menetapkan) hukum-hukum dari syari'at Islam., bukan ketetapannya itu sendiri. Seorang faqih tidak berhak membuat sebuah syari'at. Perannya hanyalah berusaha menyingkap serta mendapatkan sesuatu yang telah disyari'atkan oleh Allah Swt. Hal ini berbeda dengan Ushul Al Qawanin yang dianggap sebagai alasan-alasan memberi wewenang kepada para perncang atau pencipta system-sistem dan berbagai undang-undang konvensional. Mereka yang menciptakan undang-undang dan hukum, berbuat demikian karena salah satu dari tiga alasan: alasan pertama, mereka tidak mengetahui syari'at Islam, tidak mengenal mazhab Ja'fari dan tidak memahami prinsip "terbukanya pintu ijtihad". Alasan kedua, mereka tidak menerima dan tidak meyakini syari'at Islam dan tidak mengakui kerasulan Muhammad saw. Alasan Ketiga, mereka memang bekerja untuk melestarikan dominasi kaum imperialis dan mustakbirin di dunia. Dengan kata lain, tugas seorang mujtahid (faqih yang beraliran ushul) ialah mencari cara mendapatkan keabsahan serta alasan-alasan social dan resmi setiap amal. Dengan demikian, jelaslah perbedaan yang mendasar antara Ushul Fiqh dengan Ushul Qawanin.





BAB KETUJUH


DAFTAR BUKU USHUL FIQIH KALANGAN IMAMIYAH

Berikut ini daftar buku-buku Ushulul Fiqh yang dianggap sebagai standard an rujukan oleh kalangan Imamiyah:


Yang Berbentuk Matan (teks asli)

1. Ushulul Fiqh, karya Syeikh Al Mufid.

2. Ushulul Fiqh karya Sayyid Abdul Fath Al Syarifi Al Husaini.


Yang Berbentuk Buku Besar

1. Ma'alim Al Din, karya Syeikh Hasan Al Amili.

2. Qawanin Al Ushul, karya Mirza Al Qummi.

3. Kifayah Al Ushul, karya Maula Al Khurasani.

Yang Berbentuk Syarah (Penjelasan Atas Matan)

1. Syarh Kifayatil Ushul, karya Syeikh Rasyti.

2. Syarhul Kifayah, karya Syeikh Khalishi.

3. Syarhul Kifayah, karya Sayyid Al Murawwij.

4. Hasyiatul Ma'alim, karya Syeikh Al Ishfahani.

5. Hasyiatul Kifayah, karya Al Mesykini.


Yang Berbentuk Catatan-catatan Kuliah

1. Taqriraat Al 'Raqi

2. Taqriraat Al Na'ini.


Yang Berbentuk Kumpulan Bait (nadham)

1. Sabikatul Dzahab, karya Al Mazandarani Al Ha'iri.


Buku Yang Membahas Beberapa Masalah-masalah Khusus

1. Al Ijma', karya Al Sadr.

2. Al Istishab, karya Sayyid Al Yazdi.

3. Ushulul Fiqh, karya Syeikh Al Mufid.

4. Al Dzari'ah ila Ushul Al Syari'ah, karya Sayyid Al Shadr.

5. Uddatul Ushul, karya Syeikh Thusi.

6. Ma'arij Al Ushul, karya Muhaqqiq Al Hilli.

7. Mabadi'ul Wushul ila ilmil Ushul, karya Muhaqqiq Al Hilli.

8. Thariq Istinbathil Ahkam, karya Muhaqqiq Al Karki.

9. Ma'lim Al Din Wa Maladz Al Mujtahidin, karya Syeikh Hasan Al 'Amili.

10. Al Ushul Al Ashilah, karya Al Faydh Al Kasyani.

11. Al Qawanin Al Muhkamah fil Ushul, karya Mirza Al Qummi.

12. Muhadzdzabul Qawanin, karya Sayyid Muhammad Shaleh Al Damad.

13. Nihayatul Dirayah, karya Syeikh Muhammad Al Ishfahani.

14. Syarhul Kifayatil Ushul, karya Syeikh Abdul Husein al Rasyti.

15. Haqa'iqul Ushul, karya Sayyid Muhsin Al Hakim.

16. Muntaha Al Dirayah, karya Sayyid Muhammad Ja'far Al Jaza'iri.

17. Ma'alim Al Ushul, karya Sayyid Abdul Karim Ali Khan.

18. Al Wushul ila Kifayatil ushul, karya Sayyid Muhammad bin Mahdi Al Syirazi.

19. Syarhul Kifayah, karya Sayyid Muhammad Al Karmi Al Huwaizi.

20. Inayatul Ushul, karya Sayyid Murtadha Al Fairuz Abadi.

21. Al Anawin fil Ushul, karya Syeikh Mahdi Al Khalishi.

22. Fashlul Khushumah fil Wurud wal Hukumah, karya Mirza Muhammad Baqir.

23. Al Fawaidh Al Ushuliyah, karya Mirza Muhammad Baqir.

24. Maqaalaat Al Ushul, karya Syeikh Agha Dhiya'uddin Al Iraqi.

25. Ushulul Fiqh, karya Syeikh Muhammad Ridha Al Mudhaffar. Buku ini menjadi materi pelajaran tingkat dasar di Qum dan Najaf.

26. Ushulul Isthimbath, karya Sayyid Muhammad Naqi Al Haidari.

27. Al Ushul Al Ammah fi Al Fiqh Al Muqarran, karya Sayyid Muhammad Taqi Al Hakim. Buku ini sering dianggap sebagai literatur modern.

28. Al Ma'alim Al Jadidah, karya Sayyid Muhammad Baqir Al Sadhr. Buku ini merupakan salah satu materi pelajaran tingkat dasar di Qum.

29. Ilmul Ushul fi Tsaubihi Al Jadid, karya Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah. Buku ini mudah dimengerti oleh pelajar tingkat dasar.

30. Durus fi Ilmil Ushul, karya Muhammad Baqir Shadr. Buku ini juga diajarkan dipelbagai pusat kajian Islam di Qum.

31. Qawa'id Istimbathil Ahkam, karya Sayyid Muhammad Husein Makki Al Amili.

32. Muntaha Al Ushul, karya Sayyid Mirza Hasan Al Bajnurdi.

33. Tahdzib Al Ushul, karya Sayyid Abdul 'A-la Al Sabziwari.

34. Al Ushul ala Al Nahjil Hadits, karya Muhammad Husein Al Ishfahani.

35. Al Ijma' fi Tasy' Al Islami, karya Muhammad Shadiq Al Shadr.

36. Al Tarattub, karya Jamaluddin Al Gulpaigani.

37. Rasa'il fil Ushul, karya Jamaluddin Al Gulpaigani.

38. Al Mahshul fi Fananil Ushul, karya Sayyid Jamaluddin Al Istar Abadi.

39. Hidayatul Mustarsyidi fi Syarhil Ma'alim Al Din, karya Syeik Muhammad Taqi Al Ishfahani. Buku ini populer dengan "Hasyiatul Ma'alim".

40. Ghana'im Al Muhashshilin, karya Syeikh Muhammad Thaha Najaf.

41. Al Fushul Al Gharwiyah fi Al Ushul Al Fiqhiyah, karya Muhammad Husein Al Ha'iri. Buku ini populer dengan "Al Fushul".

42. Mulakhkhash Kitab Al Fushul, karya Sayyid Shadruddin Al Shadr.

43. Al 'Anawin, karya Sayyid Abdul Fattaah Al Maraghi.

44. Dhawabith Al Ushul, karya Sayyid Ibrahim Al Qazwini Al Ha'iri.

45. Al Maqallaathul Ghurriyah, karya Mirza Muhammad Shadiq Al Thabrizi.

46. Fara'idhul Ushul, karya Syeikh Murtadha Al Anshari. Buku ini sangat populer dan dikenal dengan "Al Rasa'il".

47. Bahrul Fawa'id fi Syarhil Fawa'id, karya Mirza Muhammad Hasan Al Asytiani.

48. Hasyiyah Al Rasa'il, karya Syeikh Agha Ridha Al Hamadani.

49. Umdatul Wasa'il fil Hasyiti Ala Al Rasa'il, karya Sayyid Abdul Al Syirazi.

50. Muhtashar Al Rasa'il, karya Syeikh Mahdi Al Khalishi.

51. Kifayatul Ushul, karya Mulla Muhammad Kazhim Al Khurasani. Buku ini cukup populer dan dikomentari oleh banyak ulama.

52. Hasyiatul Kifayah, karya Syeikh Ali Al Quchani.

53. Al Hidayah fi Syarhil Kifayah, karya Syeikh Abdul Husein Asadullah Al Kadhimi.

54. Hasyiyah ala Kifayatul Ushul, karya Syeikh Mahdi Al Kadhimi.

55. Nihayatul Ma'mul, karya Mirza Hasan Al Radhawi Al Qummi.

56. Hasyiyatul Kifayah, karya Mirza Abul Hasan Al Mesykini.

57. Syarhul Kifayah, karya Sayyid Hasan Al Iskadzari Al Yazdi.

58. Nihayatul Kifayah, karya Mirza Ali Al Irawani.

59. Syarhul Kifayah, karya Syekh Muhammad "Sultan Al Iraqi".

60. Misbahul Uqul fi Syarhil Kifayatul Ushul, karya Syeikh Muhammad bin Muhammad Husein Al Asykuri.

61. Hasyiyatul Kifayah, karya Syeikh Abul Qasim Al Ishfahani.

62. Syarhul Kifayah, karya Sayyid Jamaluddin Al Istar Abadi.

63. Al Tahqiqaat Al Haqiqiyah fi Al Ushul Al Amaliyah, karya Syeikh Hasan Al Khaqani.

64. Dirasaat fi Ushulil Fiqh, karya Sayyid Muhammad Kalantar.

65. Al Qiyas; Haqiqatuhu wa Hujjiyatuhu, karya Dr, Musthafa Jamaluddin.

66. Mabadi' Ushulil Fiqh, karya Dr. Syeikh Abdul Hadi Al Fadhli.

67. Al Ijtihad, Ushuluhu wa Ahkamuhu, Syeikh Muhammad Bahrul Ulum.

68. Madkhal ila Ushulil Fiqh Ja'fari, karya Yusuf M. Amr.

69. Fara'dhul Ushul, (Al Na'ini), karya Syeikh Muhammad Ali Al Kadhimi.

70. Ajwadut Taqriraat (Taqriraat Al Na'ini), karya Sayyid Abdul Qasim Al Musawi Al Khu'iy.

71. Nihayatul Afkar (Taqriraat Al Iraqi), karya Muhammad Taqi Al Burujurdi.

72. Tanqihul Ushul (Taqriraat Al Iraqi), karya Sayyid Muhammad Ridha Al Yazdi.

73. Minhaj Al Ushul (Taqriraat Al Iraqi wa Al Ishfahani), karya Syeikh Ibrahim Al Karbasi.

74. Misbahul Ushul (Taqriraat Al Khu'iy), karya Ala'uddin Bahrul Ulum.

75. Misbahul Ushul (Taqriraat Al Khu'iy), karya Syeikh Muhammad Sarwah Al Wa'idh.

76. Muhadharaat Fi Ushulil Fiqh (Taqriraat Al Khu'iy), karya Syeikh Ishaq Fayyadh.

77. Dirasat (Taqriraat Al Khu'iy), karya Ali Al Syahrudi.

78. Tahrirul Ushul (Taqriraat Syeikh Muhammad Baqir Al Zanjani), karya Sayyid Muhammad Al Syahrudi (Al Syuruwardi).

79. Mabahits Al Dalil Al Lafdhi (Taqriraat M. Baqir Al Shadr), karya Syeikh Muhammad Hasyimi.

80. Ta'arudh Al Adillah Al Syar'iyah (Taqriraat Syahid Al Shadr), karya Syeikh Mahmud Al Hasyimi.


Buku-buku Tentang Dasar-dasar Hukum

1. Al Fawa'id wal Qawa'id, karya Syahid Awwal.

2. Al Qawa'id Al Fiqhiyah, karya Sayyid Al Bajnurdi.

3. Al Qawa'idul Faqih, karya Syeikh Al Faqih.

4. Al Qawa'id Al Fiqhiyah, karya Syeikh Al Khalishi.

5. Al Qawa'id Al Tsalats, karya Sayyid Al Ruhani.


Buku-buku Fiqh Imamiyah / Buku-buku Hadits Tentang Hukum

1. Al Kafi, karya Syeikh Al Kulaini.

2. Man la Yahdhuruhul-faqih, karya Syeikh Al Shaduq.

3. Tahdzib Al Ahkam, karya syeikh Al Thusi.

4. Al Istibshar, karya syeikh Al Thusi.

5. Al Wafi, karya Faidh Al Kasyani.

6. Wasa'ilussyi'ah, karya Syekh Al Hur Al Amili

7. Biharul Anwar, karya Syeikh Al Majlisi.

8. Mustadrakul Wasa'il, karya Mirza Al Nuri.

9. Jami' Ahadits Al Syi'ah, karya beberapa ulama besar.


Buku-buku Fatwa

1. Al Muqni, karya Syeikh Shaduq. Buku ini digabung dengan buku "Al Hidayah" dengan judul "Al Muqni' wal Hidayah".

2. Al Hidayah, karya Syeikh Shaduq.

3. Al Masa'il Al Shaghaniyah, karya Syeikh Al Mufid.

4. Al A'lam, karya Syeikh Al Mufid.

5. Jamalul-Ilm wal Amal, karya Syarif Al Murtadha.

6. Al Istinshar, karya Syarif Al Murtadha.

7. Al Masa'il Al Nashirat, karya Syarif Al Murtadha.

8. Al Kafi, karya Syeikh Abul Shalah.

9. Al Nihayah, karya Syeikh Al Thusi.

10. Al Jumal wal-Uqud, karya Syeikh Al Thusi.

11. Al Marasim Al Alawiyah, karya Sallar Al Dailami.

12. Ishbah Al syi'ah bi Mishbah al Syari'ah, karya Syeikh Al Shahrasyti.

13. Jawahirul Fiqh, karya Syeikh Ibnul Baraj Al Tharablusi.

14. Al Muhadzdzab, karya Syeikh Ibnul Barraj.

15. Al Ghaniyah, karya Sayyid Abul Makarim Al Huseini Al Halabi, Ibnu Zuhrah.

16. Isyaratussabiq ila ma'rifatul haq, karya Syeikh Abul Hasan Ali bin Abil Fadhl.

17. Al Washilah ila Nailil Fadhilah, karya Syeikh Abu Hamzah.

18. Syarai'ul Islam, karya Muhaqqiq Al Hilli, buku ini diajarkan di hauzah-hauzah Qum, dan dikomentari banyak ulama.

19. Masalikul Afham fi syarhi Syara'I'il Islam, karya Syahid Tsani.

20. Madarikul Ahkam, karya Sayyid Al 'Amili.

21. Jawahirul Kalam, karya Syeikh Najafi.

22. Hidayatul Anam, karya Syeikh Al Kadhimi.

23. Dzara'ul Ahlam, karya Syeikh Al Mamaqani.

24. Misbahul Faqih, karya Syeikh Al Hamadani.

25. Dalailul Ahkam, karya Syeikh Al Kunaizi.

26. Syarhul Syara'I, karya Syeikh Al Fani.

27. Al Mukhtashar Annafi' fi Ikhtishar Al Syara'I, karya Allamah Al Hilli.

28. Al Mu'tabar fi Syarhil Mukhtashar, karya Allamah Al Hilli.

29. Al Tanqih Al Ra'il li Mukhtashar, karya Syeikh Al Miqdad Al Suyuri.

30. Al Riyadh, karya Sayyid Al Thaba'thaba'i.

31. Al Muhadzdzab Al Bari', karya Syeikh Ibnu Fahd Al Hilli.

32. Al Jami' li Al Syara'I', karya Syeikh Yahya bin Said Al Hilli.

33. Qawa'id Al Ahkam, karya Allamah Al Hilli, buku ini dikomentari banyak ulama.

34. Idhahul Fawaid, karya Syeikh Ibnul Allamah Al Hilli.

35. Jami'ul Maqashid fi Syarhil Fawa'id, karya Muhaqqiq Al Karki.

36. Miftahul Karamah fi Syarhi Qawa'idul Allamah, karya Sayyid Al Amili.

37. Syarhul Qawa'id, karya Syeikh Mudhaffar.

38. Tabshiratul Muta'alimin fi Ahkam Al Din, karya Allamah Al Hilli. Buku ini dikomentari dalam bentuk syarah dan catatan pinggiran (Hasyiyah) oleh banyak Ulama.

39. Hasyiyah Syeikh Muhammad Husein Al KAsyiful Ghitha'.

40. Hasyiyah Sayyid Muhsin Al Amin Al Amili.

41. Hasyiyah Syeikh Ja'far Al Badiri.

42. Syarh Al Tabsyirah, karya syeikh Aghna Dhiya' Al Iraqi.

43. Kifayatul Muhshilin fi syarhi Tabshiratul Muta'alimin, karya Mirza Muhammad bin Ali bin Muhammad Thahir Al Thabrizi Al Khibayani.

44. Al Takmilah fi syarh Al Tabshirah, karya syeikh Ismail Al Tabrizi. Meskipun buku adalah komentar, namun tidak sedikit ulama yang mengomentarinya.

45. Al Allamaa'at Al Nayyirah fi Syarh Takmilatut Tabsyirah, karya Syeikh Muhammad Kadhim Al Khurasani.

46. Shiratul Yaqin fi Syarh Tabshiratul Muta'allimin, karya Syeikh Ahmad bin Sainuddin Al Ahsa'iy.

47. Fiqh Al Shadiq, karya Sayyid Shadiq Al Ruhani Al Qummi.

48. Syarh Tabshirah, karya Sayyid Abdul Karim Al Sayyid Ali Khan.

49. Tahrir Al Ahkam Al Syar'iyah ala Madzhab Al Imamiyah, karya Allamah Hilli.

50. Irsyad Al Adzan, karya Allamah Hilli. Buku ini dikomentari oleh banyak ulama.

51. Majma' Al Fawa'id wa Al Burhan, karya Syeikh Maulana Al Ardabili.

52. Raudhul Jinan, karya Syahid Al Tsani.

53. Ghayatul Murad fi syarhi Nutakil Irsyad, karya Syahid Al Awwal.

54. Al Thaharah (komentar atas bab "Thaharah"), karya Syeikh Al Anshari.

55. Al Khums (komentar atas bab "khums"), karya Syeikh Al Anshari. Buku ini populer dengan nama "Mulhaqatul Makasib".

56. Nihayatul Ahkam, karya Allamah Al Hilli.

57. Allum'ah Addimasyqiyah fi Fiqhil Imamiyah, karya Syahid Awwal. Buku ini diajarkan di Qum dan dikomentari banyak ulama.

58. Al Raudhatul Bahiyah, karya Syahid Al Tsani.

59. Al Khiyaraat, karya Syeikh Ja'far Al Kasyiful Ghitha'.

60. Al Durus Al Syar'iyah, Karya Syahid Awwal.

61. Al Bayan, Karya Syahid Awwal.

62. Dzikraa Assyi'ah fi Ahkam Asy Syari'ah, Syahid Awwal.

63. Ma'alimuddin (bab Thaharah), karya Syeikh Hasan bin Zainuddin Al Amili.

64. Addurah Al Mandhumah, karya Sayyid Muhammad Al Mahdi Bahrul Ulum.

65. Khaza'in Al Ahkam fi Addurah Al Mandhumah, karya Syeikh Agha bin Abid Al Syirwani Al Darbandi.

66. Najatul Ibad fi Yaumil Ma'ad, karya Syeikh Muhammad Hasan Al Hanafi "Shahibul Jawahir". Buku ini dikomentari banyak ulama.

67. Wasilatul Ma'ad fi Syarhi Najatil Ibad, karya Syeikh Ismail bin Ahmad Al Aqili Al Nuri.

68. Fauzul Ma'ad wa Salamatul Mitshad, karya Sayyid Abu Turab Al Khunsari.

69. Sabilurrasyad fi syarh Najatil Ibad, karya Mirza Husein Al Khalili.

70. Mu'tamaddussa'il, karya Syeikh Abdullah bin Abbas Al Satri Al Bahrani.

71. Munjiyatul Ibad fi Yaumil Ma'ad, karya syeikh Muhammad Husein Al Kadhimi. Buku ini diberi catatan pinggir oleh Sayyid Mahdi bin Ahmad Al Haidar Al Kadhimi.

72. Bughyatul Khash wal Aam, karya Syeikh Al Kadhimi.

73. Kalimatut Taqwa, karya Syeikh Muhammad Ridha Al Asadullah Al Dezfuli.

74. Wasilatunnajat, karya Syeikh Muhammad Hadi bin Muhammad Thaha bin Mahdi Al Tabrizi. Buku ini diberi catatan pinggir oleh Sayyid Kadhim Al Yazdi.

75. Al Qatharat wa Al Syadzarat, karya Syeikh Muhammad Kadzim Al Khurasani.

76. Al Urwah Al Wutsqa, karya Sayyid Muhammad Kadzim bin Abdul Adzim Al Thaba'thaba'i. buku ini cukup terkenal dan diberi catatan dan komentar oleh banyak ulama.

77. Hasyiyah (catatan pinggir) Syeikh Agha Al Qummi Al Hairi.

78. Hasyiyah Mirza Muhammad Husein An Na'iny.

79. Hasyiyah Syeikh Abdul Karim Al Yazdi (guru Imam Khumaini).

80. Hasyiyah Sayyid Muhammad Al Fairuz Abadi.

81. Hasyiyah Sayyid Abul Hasan Al Ishfahani.

82. Hasyiyah Syeikh Muhammad Ridha Aal Yasin.

83. Hasyiyah Mirza Abdul Hadi Al Syirazi.

84. Hasyiyah Sayyid Muhsin Al Thaba'thaba'I Al Hakim.

85. Hasyiyah Sayyid Abul Qasim Al Musawi Al Khu'i.

86. Hasyiyah Sayyid Abdullah Al Syirazi.

87. Hasyiyah Sayyid Muhammad Kadhim Assyari'at Madari.

88. Hasyiyah Sayyid Muhammad Ridha Al Musawi Al Gulpaigani.

89. Hasyiyah Sayyid Syihabuddin Al Mar'asyi Al Najafi.

90. Hasyiyah Sayyid Mahmud Al Husaini Al Syarudi.

91. Hasyiyah Syeikh Ali Al Araki.

92. Hasyiyah Sayyid Ahmad Al Khunsari.

93. Hasyiyah Sayyid Adnan Al Gharifi.

94. Hasyiyah Syeikh Ahmad Kasyiful Ghitha'.

95. Hasyiyah Syeikh Muhammad Al Husaini Kasyiful Ghitha'.

96. Hasyiyah Syeikh Muhammad Hasan Al Mudhaffar.

97. Hasyiyah Syeikh Abdul Karin Al Zanjani.

98. Hasyiyah Sayyid Muhammad Al Husaini Al Baghdadi.

99. Hasyiyah Sayyid Imam Ruhullah Al Musawi Al Khumaini.

100. Hasyiyah Sayyid Muhammad Al Radhawi.

101. Hasyiyah Syeikh Muhammad Zainuddin.

102. Hasyiyah Sayyid Muhammad Al Jaza'iri.

103. Hasyiyah Sayyid Shadruddin Al Shadr.

104. Hasyiyah Sayyid Husain Al Burujurdi.

105. Hasyiyah Syeikh Muhammad Kadhim Haidar Al Syirazi.

106. Hasyiyah Mirza Hasan Al Bajnurdi.

107. Hasyiyah Syeikh Abdullah Maqmaqani.

108. Hasyiyah Sayyid Abul Hasan Al Rifa'i.

109. Hasyiyah Sayyid Hasan Al Thaba'thaba'I Al Qummi.

110. Hasyiyah Sayyid Muhammad Al Hadi Al Milani.

111. Hasyiyah Sayyid Muhammad Taqi Al Khunsari.

112. Hasyiyah Sayyid Yunus Al Ardabili.

113. Hasyiyah Sayyid Muhammad bin Zainal Abidin Al Naqawi.

114. Hasyiyah Sayyid Aghna Husein Al Qummi.

115. Hasyiyah Sayyid Mirza Agha Al Isthahbanati.

116. Mustamsak Al Urwah Al Wutsqa, karya Sayid Muhsin Al Hakim. Buku ini mengetengahkan dalil setiap fatwa dalam kitab Al Urwah Al Wutsqa.

117. Misbahul Huda fi Syarhi Al Urwah Al Wutsqa, karya Syeikh Al Amili.

118. Misbahul Ahkam, karya Sayyid Al Sabzawari.

119. Al Tanqih fi Taqriraat Al Khu'i.

120. Kifayatul Fiqh Al Muta'alliqah bi Al Urwah Al Wutsqa min Taqriraat Al Mulla Muhammad bin Husein Al Khurasani, karya Sayyid Muhammad Kadhim Al Thaba'thaba'I Al Kuhkamari.

121. Dalil Al Urwah Al Wutsqa, karya Syeikh Al Hilli.

122. Mabani Al Urwah Al Wutsqa, karya Syeikh Al Faqih Al 'Amili.

123. Sabilurrasyad, karya Sayyid Husein Makki Al 'Amili.

124. Al "Amal Al Abqa, karya Sayyid Ali Syubbar.

125. Nahjul Huda, karya Syeikh Al Burujurdi.

126. Al Fiqh, karya Sayyid Muhammad Al Syirazi.

127. Madarik Al Urwah Al Wutsqa, karya Syeikh Yusuf Al Khurasani Al Ha'iri.

128. Al Fiqh Al Arqa fi Syarhil Al Urwah Al Wutsqa, karya Syeikh Abdul Karim Al Zanjani.

129. Buhuts fi syarhil Al Urwah Al Wutsqa, karya Sayyid Muhammad Baqir Al Shadr.

130. Al Hujjah Al Udhma fi Syarhil Al Urwah Al Wutsqa (taqriraat Sayyid Abdul A'la Al Sabzawari), karya Sayyid Jamaluddin Al Husaini Al Istar Abadi.

131. Misbahul Huda fi Syarhil Al Urwah Al Wutsqa, karya Sayyid Ali bin Mustafa bin Ali Akbar Asiri Al Ghali.

132. Hidayatul Muttaqin, karya Syeikh Hadi Al Kasyiful Ghitha'.

133. Safinah An Najah, karya Syeikh Ahmad bin Ali Kasyful Ghitha'. Buku ini diberi catatan pinggir oleh saudaranya Syeikh Muhammad Husein Kasyful Ghitha'.

134. Dzakhiratul Ibad Li Yaumil Ma'ad, karya Mirza Muhammad Taqi Al Syirazi.

135. Ni'ma Al zaad Li Yaumil Ma'ad, karya Syeikh Habib bin Shaleh Al Qurain Al BAshri Al Ahsa'iy.

136. Khairuzzad Li Yaumil Ma'ad, karya Syeikh Abdul Muhsin bin Husein Al Khaqani.

137. Wasilatunnajah, karya Sayyid Abul Hasan Al Ishfahani. Buku ini sangat populer dan diberi catatan pinggir dan syarah oleh banyak ulama.

138. Hasyiyah Syeikh Muhammad Ridha Al Yasin.

139. Hasyiyah Sayyid Husein Al Himami.

140. Tahrirul wasilah, karya sayyid Imam Ruhullah al Musawi Al Khumaini.

141. Hasyiyah Sayyid Abdul A'la Al Sabzawari.

142. Bughyatul Hudah fi Syarh Wasilatunnajah, karya Sayyid Muhammad Jawab Al Thaba'thaba'I Al Tabrizi.

143. Al Masa'il Al Muhimmah, karya Sayyid Hasan Al Shadr.

144. Al Dur Al Tsamin, karya Sayyid Muhsin Al Amin Al Amili.

145. Bulghatur Raghibin fi Fiqi Ali Yasin, karya Muhammad Ridha Al Yasin Al Kadhimi.

146. Minhajusshalihin, karya Sayyid Muhsin Al Hakim. Buku ini dikomentari dan diberi catatan pinggir oleh beberapa ulama (murid Al Hakim).

147. Hasyiyah Sayyid Abul Qasim Al Musawi Al Khu'i.

148. Hasyiyah Sayyid Muhammad Baqir Al Shadr.

149. Wasa'il As Syi'ah ila Ahkamis Syari'ah, karya Muhsin Al A'raji Al Kadhimi.

150. Kasyful Ghita', karya Syeikh Ja'far Al Janani Al Najafi.

151. Ghana'imul Ayyam, karya Mirza Abul Qasim bin Muhammad Al Qummi.

152. Manahijul Ahkam, karya Maula Mahdi bin Abi Dzar Al Naraqi.

153. Riyadhul Masa'il, karya Sayyid Muhammad Ali Al Thaba'thaba'i. buku ini dikomentari oleh beberapa ulama.

154. Watsiqatul Wasa'il fi Syarhi Riyadhul Masa'il, karya Sayyid Ahmad bin Ali Al Husaini Al Rasyti.

155. Maqabisul Anwar wa Nafa'isul Asrar, karya Syeikh Ahmad bin Muhammad Mahdi Al Naraqi.

156. Jawahirul Kalam fi Syarhi Syara'il Islam, karya Syeikh Muhammad Hasan bin Muhammad Baqir Al Najafi.

157. Dzakhairun Nubuwah, karya Syeikh Hadi bin Muhammad Amin Al Thahrani.

158. Al Makasib, karya Syeikh Al Murtadha bin Muhammad Amin Al Tustari. Buku ini diberi catatan pinggir dan syarah oleh banyak ulama.

159. Hasyiyah Al Makasib, karya syeikh Al Yazdi.

160. Hasyiyah Al Makasib, karya Syeikh Al Khurasani.

161. Hasyiyah Al Makasib, karya Syeikh Al Ishfahani Al Kampani.

162. Mun'yatuttalib fi Hasyiyah Al Makasib, karya Syeikh Muhammad Al Khunsari.

163. Ghun'yatuttalib fi Syarhil Makasib, karya Syeikh Al Urdakani.

164. Hidayatutthalib ila Syarhil Makasib, karya Syeikh Fattah Al Syahidi.

165. Hasyiyatul Makasib, karya Mirza Al Irawani.

166. Nahjutthalib fi Hasyiyatil Makasib, karya Hujjah Al Kuhkamari.

167. Nahjul Faqahah, karya sayyid Muhsin Al Hakim.

168. Misbahul Faqahah, karya Sayyid Abul Qasim Al Khu'iy, yang ditulis oleh muridnya; Sayyid Muhammad Ali Al Tauhidi.

169. Muhadharat fi Al Fiqhi al Ja'Fari, karya Sayyid Al Khu'iy, yang ditulis oleh muridnya; Sayyid Ali Al Husaini Al Syarhudi.

170. Bulghatutthalib fi Syarhil Makasib, karya Sayyid Abdul Muhsin Fadhlullah.

171. Al Thaharah, karya Syeikh Murtadha Al Anshari.

172. Al Burhan Al Qathi', karya Sayyid Ali bin Ridha Bahrul Ulum.

173. Hidayatul Anam fi Syarhi Syara'I 'il Islam, karya Syeikh Muhammad Husain Al Kadhimi.

174. Misbahul Faqih, karya Syeikh Ridha bin Muhammad Al Hamadani.

175. Dzar Ra'iul Ahlam fi Syarhi Syara'I 'il Islam, karya Syeikh Muhammad Hasan Al Mamaqani.

176. Dala'ilul Ahkam fi Syarhi Syara'I 'il Islam, karya Syeikh Abul Hasan Ali bin Hasan Al Qathifi Al Khunaizi.

177. Kitab Al Zakah, karya Syeikh Murtadha Al Anshari.

178. Fiqhul Imamiyah, karya Syeikh Muhammad Taqi bin Muhammad Baqir Al Ishfahani Al Najafi.

179. Assu'al wal Jawab, karya Sayyid Muhammad Kadhim Al Yazdi yang ditulis dan dikumpulkan oleh muridnya; Syeikh Ali Akbar Al Khunsari.

180. Tahrirul Majillah, karya Syeikh Muhammad Husein Al Kasyiful Ghitha'.

181. Syarhul Qawaidil Ahkam, karya Muhammad Hasan Al Mudhaffar.

182. Bughyatul Hudah fi Syarhi Wasilatinnajah, karya Sayyid Muhammad Al JAwad Al Tabrizi Al Thaba'thaba'i.

183. Mustamayak Al Urwah Al wutsqa, karya Sayyid Muhsin Al Hakim Al Thaba'thaba'i.

184. Dalil Annasikin (Syarhu Al Urwah Al wutsqa), karya Syeikh Muhammad Taqi Al Amili.

185. Anwarul Wasa'il, karya Syeikh Muhammad Thahir Al Subair Al Khaqani.

186. Buhuts Fiqhiyah, karya Syeikh Husain Al Hilli yang ditulis oleh muridnya; Sayyid Izuddin Bahrul Ulum.

187. Nahjul Huda fi Atta'liq al Al Urwah Al Wutsqa, karya Syeikh Muhammad Taqi Al Burujurdi.

188. Kitab Al Khumus, karya Sayyid Abdul Karim Ali Khan.

189. Mabani Takmilatu Minhajushshalihin, karya Sayyid Al Khu'iy.

190. Durus fi Fiqhisysyi'ah, karya Sayyid Al Khu'iy, yang ditulis oleh muridnya; Sayyid Mahdi Al Khalkhali.

191. Al Makasib Al Mukarramah, karya Sayyid Imam Ruhullah Al Musawi Al Khumaini.

192. Kasyful Haqa'iq (Taqriraat Mirza Husyim Al Amuli), yang ditulis oleh muridnya Sayyid Hasan Al Thabari.

193. Al Qathrah fi Zakatil Fitrah (Taqriraat Sayyid Abdullah Al Thahiri Al Syirazi) yang ditulis oleh Syeikh Ali Muhammad Al Zandarani.

194. Misbahul Faqih fil Mawaris, karya Syeikh Yusuf Al Faqih Al Amili.

195. Sidadul Ibad wa Rasyadul Ubbad, karya Syeikh Husein bin Muhammad Al Darazi Al Bahrani. Buku ini dikomentari oleh banyak ulama.

196. Tawdhihul Mafad fi Syarhi Sidadil Ibad, karya Syeikh Abdul Muhsin Al Darazi Al Syahabi.

197. Miftahul Rasyad, karya Syeikh NAsir bin Ahmad Al Ushfur.

198. Fiqhul Imam Ja'far Ash Shadiq, karya Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah Al 'Amili.


Buku-buku Yang Memuat Kontroversi Ulama Fiqh

1. Al Khilaf, karya Syeikh Al Thusi.

2. Muntahal Mathlab fi Tahqiqil Madzhab, karya Allamah Al Hilli.

3. Tadzkiratul Fuqaha', karya Allamah Al Hilli.

4. Mukhtalafusysyi'ah fi Ahkamisysyari'ah, karya Allamah Al Hilli.

5. Al Inshaf fi Tahqiqi Masa'ilil Khilaf, karya Syeikh Muhammad Thaha Najaf.

6. Sirajul Ummah fi Syarhi Ummah, karya syeikh Muhammad Hasan bin Shafar Ali al Barfarusyi.

7. Hasyiyatullum'ah, karya Sayyid Ala'uddin Al Husain Al Husaini Al Mar'asyi.



Daftar isi

1 . salah seorang pakar hukum golongan pertama, dikutip oleh Muhammad Bahrul Ulum dalam Al Ijtihad Ushuluhu wa Ahkamuhu, hal 70.

2 . Baca buku Syari'atullah Al Khalidah, Muhammad Al Maliki.

3 . Lihat Al Imam Al Shadiq wa Al Madzhib Al Arba'ah, karya Asad Haidar.

4 . Tarikh Al Imamiyah "karya Dr. Abdullah Fayyadh, hal 178-179.

5 . Baca Ta'sis Asy Syi'ah, hal 233, 244, 302, 303 dan Al Ma'alim Al Jadidah Lil-ushul karya ayatollah al Uzhma Muhammad Baqir Al Shadr, hal 55-56 dan Al Kuna wa Al-Alqab, juz 2, hal. 394-486 dan juz 2 hal 115, 239-496.

6 . Al Ra'yu Al Sadid fi Al Ijtihad wa Al Taqlid wa Al Ihtiyath, hal. 9

7 . Al Ijtihad, Ushuluhu wa Ahkamuhu, hal 33-34.

8 . Al Ma'alim Al Jadidah "karya Muhammad Baqir Sadr, hal 24.

9 . Ibid, hal 25-26.

10 . Khulashah Tarikh Al Tasyri' Al Islami hal 339-340.

11 . Al Ma'alim Al Jadidah Lil Ushul, hal 18.

12 . Al Kuna wa Al Alqab, juz III, hal 154.

13 . Al Ra'yu As Sadid fi Al Ijtihad wa At Taqlid wa Al Ihtiyath, hal 11.

14 . ibid, hal 11

15 . ibid.

16 . Mushthalahat Al Ahwal, hal 25.

17 . Urwah Al Wutsqa yang dilengkapi dengan komentar dan penjelasan dari Sayid Nasrullah Al Mustanbith, seorang mujtahid terkenal, juz 1, hal 9.

18 . Durus fi Ilmi Al Ushul, volume III, juz 1 hal. 13.

19 . Wasa'il Asy Syi'ah karya Al Hur Al 'Amili, kitab Al Qadha, juz 18, hal 86.

20 . Al Ushul Al Aammah Li Al Fiqh Al Muqarin, hal. 47-48.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...