Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Senin, 04 Juli 2011

ANTOLOGI ISLAM (lI) BAB 2 KEMAKSUMAN PARA NABI DALAM QURAN DAN HADIS

Siapakah yang Menghina Orang Buta?

Surah ke 80 (Abasa):

Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang

Dia (seorang pemimpin Bani Umayah tertentu) bermuka masam dan berpaling (ketika ia sedang bersama Nabi),
Karena telah datang seorang buta (Ibnu Ummi Maktum) kepadanya,
Tahukah kamu mungkin ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)
Atau dia ingin mendapatkan pelajaran,
sehingga pelajaran itu memberi rnanfaat kepadanya (orang buta)?
Adapun orang yang merasa dirinya (pemimpin Bani Umayah) serba cukup,
Maka kamu melayaninya?
Padahal tiada (celaan) atasmu jika dia tidak membersihkan diri (beriman)
Dan adapun orang yang datarvg kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran)
Sedang ia takut (kepada Allah dalam hatinya) Maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)!
Sesungguhnya ajaran- ajaran Tuhan itu adalah satu peringatan.
Sebab turunnya surah ini merupakan peristiwa sejarah yang terjadi. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW tengah bersama sejumlah orang kaya Quraisy dari suku Umayah, di antaranya Utsman bin Affan, yang belakangan menduduki tampuk kekhalifahan.



Ketika Rasulullah SAW tengah mengajari mereka, Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta dan termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, datang kepadanya. Nabi Muhammad SAW menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya. Bagaimanapun, Nabi tidak menjawab pertanyaan orang buta itu dengan segera mengingat ia berada di tengah-tengah pembicaraan dengan suku Quraisy.

Karena Abdullah miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendahkannya dan mereka tidak suka penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka sendiri dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayah (yakni Utsman bin Affan) bermuka masam dan berpaling kepadanya.

Perbuatan pembesar Quraisy ini tidak diridhai oleh Allah SWT dan pada gilirannya Dia menurunkan Surah Abasa (80) melalui malaikat Jibril di waktu yang sama. Surah ini memuji kedudukan Abdullah kendati ia papa dan buta. Dan dalam ayat-ayat belakangan Allah ‘mengingatkan’ Nabi-Nya SAW bahwa mengajari seorang kafir tidaklah penting andai kata orang kafir itu tidak cenderung untuk menyucikan dirinya dan menyakiti seorang mukmin hanya karena ia tidak kaya dan sehat.

Sekelompok mufasir Sunni yang bersama Nabi Muhammad SAW sepanjang standar aturan-aturan moral biasa menuduh beliau menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka mencoba mengatakan bahwa beliau tidak bebas dari kelemahan karakter dan perilaku. Ini terjadi ketika orang yang menghina si miskin tadi adalah seorang kaya dari Bani Umayah yang masih non-Muslim, atau baru masuk Islam (yakni Utsman). Namun sebagian orang demi membersihkan wajah Utsman dari perilaku buruk semacam itu tidak segan dan sungkan menuduh Nabi Muhammad SAW berbuat seperti itu (bermuka masam) dan mengritik Nabi Muhammad SAW demi membela Utsman.

Ulangan peristiwa yang sama dilakukan oleh Umayah selama kekuasaan mereka melalui (lisan dan tulisan) para perawi bayaran. Terkenal dalam sejarah bahwa Umayah adalah musuh paling sengit terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW dan Islam. Seperti telah dikatakan, itu tidak sesuai bagi mereka dimana pemimpin mereka,Utsman, diperingatkan Quran. Demikianlah, para ulama yang bekerja untuk Umayah dipaksa menulis bahwa ayat ini diperintahkan untuk menegur Nabi Muhammad SAW, bukannya
Utsman. Omong kosong semacam itu adalah untuk menjaga wibawa dan kehormatan Utsman dengan harga menghinakan Nabi Muhammad SAW sebagai penghulu para Nabi.


Berikut ini merupakan mendapat sejumlah mufasir Sunni.

Disebutkan bahwa ayat-ayat ini turun sekaitan dengan Abdullah bin Ummi Maktum, yakni Abdullah bin Syarih bin Malik bin Rabi’ah Fihri dari (kabilah) Bani Amir bin Luay. Dia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau tengah mencoba memasukkan orang-orang ini kepada Islam Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muththalib, Ubay dan Umayah bin Khalaf. Orang buta itu berkata, “Wahai Rasulullah, bacakanlah kepadaku kepadaku dan ajari aku sesuatu yang Allah ajarkan kepadamu!” Dia terus menyeru Nabi dan mengulang-ulang permohonannya, tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW tpngah sibuk menghadapi orang lain, sampai kegusaran tampak pada wajah Nabi karena disela.

Nabi Muhammad SAW berkata kepada dirinya sendirinya bahwa orang – orang (pembesar Quraisy) ini akan mengatakan bahwa para pengikutnya (Muhammad) hanyalah orang buta dan para budak, maka beliau berpaling darinya dan bersitatap dengan orang-orang yang ia ajak bicara. Maka ayat-ayat selanjutnya pun diturunkan.

Setelah itu Rasulullah SAW pun bersikap baik kepadanya. Dan apabila ia memandang orang buta, ia biasa berkata, “Selamat datang orang yang kepadanya Tuhanku menegurku karenanya!” Beliau biasa meminta Abdullah bin Ummi Maktum jika beliau membutuhkan sesuatu dan menjadikannya sebagai wakil di Madinah dua kali selama peperangan.

Tafsir Sunni di atas juga telah disebutkan dalam al-Durr al-Mantsur oleh Suyuthi, dengan sedikit perbedaan. Abul A’la Maududi seorang mufasir Quran lainnya memiliki pandangan yang lebih moderat. Berikut ini tafsirannya atas Surah Abasa ayat 17:

Di sini kebinasaan telah diungkapkan secara langsung bagi orang-orang kafir yang tidak memperhatikan pesan kebenaran. Sebelum ini, dari permulaan surah hingga ayat 16, sesungguhnya ia ditujukan untuk menegur orang-orang kafir kendati seolah-olah ia ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.’

Bagaimanapun, faktanya adalah Quran tidak memberikan keterangan apapun bahwa orang yang bermuka masam kepada orang buta adalah Nabi Muhammad SAW dan juga tidak memastikan siapa yang dituju (oleh ayat tersebut). Dalam ayat-ayat di atas Allah SWT tidak mengalamatkan kepada Nabi Muhammad SAW entah oleh nama atau julukannya (yakni wahai Muhammad, atau wahai Nabi, atau wahai Rasulullah). Lebih dari itu, terjadi perubahan kata benda dari `dia’ dalam dua ayat pertama kepada ‘engkau’ dalam ayat-ayat terakhir dalam surah tersebut. Allah tidak menyatakan, ‘Engkau bermuka masam dan berpaling’. Alih-alih, Yang Maha Kuasa menyatakan, Dia bermuka dan berpaling (ketika ia tengah bersama Nabi). Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin membersihkan dirinya dari dosa (QS. 80:1-3).

Kendatipun kita mengandaikan bahwa ‘engkau’ dalam ayat ke tiga tertuju kepada Nabi Muhammad SAW, maka nyatalah dari tiga ayat di atas bahwa kata-kata ‘dia’ (orang yang bermuka masam) dan ‘kamu’ tertuju pada dua orang yang berbeda. Dua ayat selanjutnya mendukung gagasan ini; Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya (QS. 80: 5-6).

Dengan demikian, orang yang bermuka masam bukanlah Nabi Muhammad SAW karena ada perbedaan antara `dia’ dan ‘kamu’. Dalam surah 80:6 Allah berfirman kepada Nabi-Nya SAW dengan mengatakan bahwa mendakwahi orang-orang yang sombong dari bangsa Quraisy yang bermuka masam kepada seorang buta tidaklah pantas dan tidaklah apaapa untuk lebih mendahulukan mendakwahi seorang yang buta, sekalipun orang buta datang belakangan. Alasannya, mendakwahi siapapun yang tidak bermaksud untuk menyucikan dirinya (sampai ke tingkat ia bermuka masam kepada seorang mukmin) tidaklah berguna.

Lebih dari itu, bermuka masam bukanlah perilaku yang berasal dari Nabi Muhammad SAW terhadap musuh-musuhnya yang nyata, apalagi (bermuka masam) terhadap orang beriman yang mencari petunjuk!

Satu pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana bisa seorang Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat untuk umat manusia berbuat tidak senonoh ketika seorang mukmin awam tidak berbuat seperti itu? Dakwaan ini juga berlawanan dengan pujian Allah SWT sendiri atas moral luhur dan etika mulia dari Nabi Muhammad SAW,
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam 68: 4).
Seseorang yang menghina orang lain tidaklah pantas menerima pujian semacam itu. Disepakati bahwa Surah Al-Qalam turun sebelum Surah Abasa. Ia bahkan diturunkan segera setelah Surah Iqra (96-surah pertama yang diwahyukan). Bagaimana bisa masuk akal bahwa Allah SWT melimpahkan kebesaran pada makhluk-Nya di permulaan keNabiannya, menyatakan bahwa ia berada dalam budi pekerti yang agung, dan setelah itu balik menegur dan mengecamnya atas keraguan yang tampak pada tindakantindakan moralnya. Allah SWT berfiman, Dan berilah peringatan kepada kerabat kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman (QS. as-Syu’ara : 214-5).

Masyhur diketahui bahwa ayat-ayat ini merupakan wahyu Mekkah awal. Kata-kata yang sama bisa ditemukan di ujung Surah al-Hijr ayat 88. Allah Yang Maha Mulia lebih jauh berfirman, Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik! (QS. 15:94).

Beliau diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik dalam ayat ini yang diketahui telah diturunkan pada permulaan ‘seruan terbuka kepada Islam’ (setelah periode sembunyi-sembunyi). Bagaimana bisa dibayangkan bahwa setelah semua perintah ini, Rasul agung dan mulia berbuat salah dengan cara sedemikian yang akan membutuhkan pelarangan yang dinyatakan?

Para mufasir Quran dari madrasah Ahlulbait lebih jauh menegaskan bahwa bahkan dalam pertanyaan ayat ketiga dan ke empat surah tersebut mengenai keraguan apakah Abdullah mendapatkan manfaat dengan berbicara dengan Nabi Muhammad SAW ataukah tidak, telah tertanam dalam minda orang yang belum memeluk Islam, dan tidak menyadari jiwa Islam. Hal ini tidak pernah terdapat dalam minda Nabi Muhammad SAW yang telah diutus untuk mengajarkan keimanan kepada setiap orang dan semuanya, tanpa memandang kedudukan duniawi apapun.

Itulah sebabnya mereka menyimpulkan bahwa kata ‘kamu’ dalam ayat ke tiga tetap tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW. Alih-alih ia berlaku bagi salah seorang yang hadir dari Umayah, dan bahwa tak satu pun dari ayat pertama surah ini (80:1- 4) tertuju kepada Nabi Muhammad SAW kendatipun ayat-ayat terakhir ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.

Mereka yang memahami bahasa Quran dan membaca bahasa Arab Quran yang orisinal menyadari lompatan konstan antara gaya penulisan Quran orang pertama, kedua, dan ketiga. Dalam banyak ayat Quran, Allah mengubah objek pembicara (sasaran) secara tajam, dan dengan sendirinya, adalah tidak selalu mudah untuk melukiskan siapakah yang dituju ketika nama sasaran pembicaraan tidak diungkapkan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan kita untuk merujuk pada Ahlulbait as dalam hal penafsiran ayat-ayat Quran karena mereka adalah ‘orang-orang yang mendalam ilmunya’ (QS. 3:7), ‘ahli zikir’ (QS. 16:43; 21:7), dan ‘orang-orang yang disucikan yang telah menyentuh pengertian al- Quran (lihat 56:79).

Diriwayatkan bahwa Imam Shadiq as berkata, “Ia diturunkan sekaitan dengan seorang lelaki dari Bani Umayah. Ia tengah berada di majelis Nabi Muhammad SAW, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang. Ketika ia melihat Ibnu Ummi Maktum ia merasa kesal kepadanya, bermuka masam, dan berpaling darinya. Maka Allah SWT mengatakan apa yang Dia sebut sebagai ketidak sukaan atas perbuatannya.”

Demikian juga dikatakan bahwa Imam Shadiq as berkata, “Setiap kali Rasulullah SAW melihat Abdullah bin Ummi Maktum, beliau berkata, ‘Selamat datang, selamat datang, demi Allah, engkau tidak akan mendapati Allah menegurku terhadapmu’ (80:5- 11), ini karena rasa malu.”

Dalam tafsir Sayid Syubbar dilaporkan dari Qummi bahwa ayat tersebut diturunkan tentang Utsman dan Ibnu Ummu Maktum, seorang yang buta. Ia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau sedang bersama para sahabat. Di saat itu, ada Utsman. Rasulullah SAW mengenalkannya kepada Utsman, dan Utsman bermuka masam dan memalingkan wajahnya darinya.

Allah Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran tentang Nabi Muhammad SAW,
...dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya (QS. 53: 3-4).

Maka bagaimana bisa Nabi Muhammad SAW mengatakan sesuatu yang menyerang jika ucapan-ucapannya adalah wahyu atau ilham? Nabi Muhammad SAW tidak berbicara berdasarkan keinginan sendirinya. Secara menarik, kaum Sunni membenarkan bahwa Surah Abasa diturunkan segera setelah Surah an-Najm dimana ia menyatakan Nabi Muhammad SAW tidak berbicara karena keinginannya sendiri. Juga dalam Surah al-Ahzab ayat 33 membenarkan bahwa Ahlulbait itu suci tidak berdosa.

Kita semua mafhum bahwa keutamaan Nabi lebih tinggi ketimbang keutamaan keluarganya. Beliau juga terhitung sebagai Ahlulbait. Lantas, bagaimana mungkin ia menyakiti hati seorang mukmin namun tetap menjaga kesucian secara sempurna ?

Perhatikan juga firman Allah berikut!
Padahal tiada (celaan) atasmu (untuk mengajari kepala kabilah yang sombong) jika dia tidak membersihkan diri (beriman) (QS. Abasa : 7).
Hal di atas tidak berarti bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kesalahan, karena Allah menggunakan frase `padahal tiada celaan atasmu’. Ini artinya pilihan Nabi tidaklah galat, melainkan itu bukan sesuatu yang tercela untuk dilakukan.

Juga ketika Allah menyatakan, mengajarinya tidak penting jika orang Quraisy itu tidak menyucikan dirinya. Nah, Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui sebelumnya bahwa orang Quraisy itu akan bermuka masam kepada orang mukmin yang buta tersebut, dengan demikian, syarat jika tidak terpenuhi. Karena itu, apa yang Nabi Muhammad SAW lakukan adalah tepat sebelum ketika orang tersebut bermuka masam (karena Nabi Muhammad SAW berada di tengah-tengah pembicaraannya dengan orang-orang Quraisy itu ketika Ibnu Ummi Maktum datang). Dan begitu orang Quraisy itu bermuka masam, Nabi menghentikan pembicaraan dan kemudian ayat tersebut diturunkan. Sebagaimana bisa kita saksikan, apa yang Nabi SAW lakukan merupakan tugasnya detik demi detik.

Teguran tersebut untuk masa depan, sebagaimana dalam kasus ayat Quran lainnya dimana Allah mengingatkan Nabi-Nya bahwa tidak layak baginya untuk mempersulit diri sendiri guna memandu orang-orang karena sebagian dari mereka tidak pernah bisa diberi petunjuk, dan tidak seyogianya Nabi sedih atas mereka.

Kesimpulannya, kami menyediakan bukti dan keterangan dari Quran, hadis, sejarah, dan tata bahasa Arab, untuk mendukung fakta bahwa ayat-ayat sebelumnya dari surah ini tidak merujuk Nabi Muhammad SAW dan sesungguhnya orang yang bermuka masam kepada orangbuta itu bukanlah Nabi Muhammad SAW. Kami sebutkan juga bahwa Surah Abasa ayat 511 hanyalah pengingat untuk masa depan Nabi Muhammad SAW bahwa mendakwahi seorang kafir tidaklah berhasil sekiranya orang kafir tersebut tidak mencoba untuk menyucikan dirinya sendiri dan ketika seorang kafir tersebut menyakiti dan melukai seorang mukmin hanya gara-gara orang mukmin itu miskin dan buta (tidak sehat jasmaninya).

Komentar Balik

Seorang Sunni berkata bahwa para ulama tafsir menulis ayat-ayat dari Surah Abasa diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW tengah mencoba meyakinkan empat pemuka Quraisy yang terpandang untuk memeluk Islam, yakni Utbah bin Rabi’ah Abu Jahal (Amru bin Hisyam), Umayah bin Khalaf, dan saudaranya, Ubay (tidak menyebutkan Utsman bin Affan). Selain itu, Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ayat-ayat ini merupakan ayat-ayat Madaniyyah (diturunkan di Madinah) yang artinya Utsman telah menjadi seorang Muslim pada saat itu.

Tanggapan kami adalah sebagai berikut:

Kaum Muslim sepakat bahwa Surah Abasa diturunkan di Mekkah jauh sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Niadinah. Lebih menarik lagi, mereka setuju bahwa Surah Abasa diturunkan segera setelah Surah an N’ajm dimana Allah berfirman bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berbicara berdasarkan keinginannya!

Sekali lagi, berdasarkan pendapat Sunni, Surah : An-Najm merupakan surah Quran ke 23 yang diturunkan, sementara Surah Al-basa merupakan surah Quran ke 24 yang diturunkan. Keduanya ini merupakan wahyu Mekkah yang awal. Barangkali apa yang telah Qurthubi natakan semata-mata untuk mengalihkan pembaca dari masalah Utsman yang dituju oleh surah tersebut. Dengan demikian, menjaga integritas Utsman dengan ongkos berupa menuduh Nabi Muhammad SAW.

Kesalahan lain dalam riwayat di atas adalah bahwa anda mengatakan salah seorang Quraisy itu yang kepadanya Nabi Muhammad SAW berbicara adalah Abu Jahl? Apa yang Abu Jahl lakukan di Madinah? Saudara, apakah anda mengetahui bahwa Abu Jahal tinggal di Mekkah, dan salah seorang musuh terbesar Nabi Muhammad SAW, dan tidak pernah hijrah ke Madinah untuk menemui Nabi dan termasuk orang yang terbunuh dalam Perang Badar (perang pertama)?

Orang lain yang disebutkan dalam riwayat di atas Utbah dan Umayah juga terbunuh bersama pemimpin mereka, Abu Jahal, dalam Perang Badar. Tak seorang pun dari mereka berkesempatan menemui Nabi (setelah hijrahnya Nabi) kecuali dalam medan Perang Badar dimana jenazah dibawa ke sumur terkenal itu!

Penolakan

Artikel ini berkaitan dengan argument apakah para Nabi dan Rasulullah itu maksum (suci dari dosa) ataukah tidak. Pada bagian pertama, kami akan memindai perspektif Sunni dan baru setelah itu kami akan menyajikan pendapat Syi’ah tentang masalah tersebut dengan mengacu pada ayat-ayat Quran. Sedangkan pada bagian ke dua, kami akan memberikan argumen logis di balik isu kemaksuman. Sebagai
tambahan, kami melihat sejumlah hadis Sunni yang otentik yang mendukung kemaksuman. Di bagian ketiga, kami menanggapi argumen-argumen dari para penentang dalam hal ini. Apakah mungkin bagi seorang manusia menjadi maksum?

Apakah realistis untuk meyakini bahwa Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara alam semesta, akan mengutus seorang manusia pendosa untuk membimbing umat manusia? Bagaimana halnya dengan Quran, informasi dan keterangan mengenai masalah tersebut tersedia? Inilah beberapa pertanyaan di antara berbagai pertanyaan lain yang berusaha untuk dijawab dalam bab ini.

Syi’ah Imamiyah tidak berpendapat manusia manapun, entah ia seorang Rasul atau seorang imam, sebagai Tuhan. Kita tidak menyembah manusia ataupun mengakui kebiasaan semacam itu. Allah SWT tidak pernah berkompromi dalam teologi ataupun filsafat Syi’ah! Semua tuduhan negatif yang kalian mungkin dengar tentang kami adalah murni propaganda dengan motif-motif politik. Allah Yang Maha Mulia di atas segala sesuatu yang menggores martabat dan keadilan. Kami berpendapat bahwa Allah SWT sebagai Pencipta Yang Maha Adil, yang tidak pernah melakukan kezaliman terhadap ciptaan-Nya. Allah SWT tidak bisa dibagi-bagi dan Dia tidak menyerahkan keagungan-Nya dan kedaulatannya kepada siapapun. Tak seorang pun diizinkan untuk mencampuri kehendak-Nya, kecuali dengan izin-Nya. Ini merupakan akidah ‘Syi’ah Dua Belas Imam’ yang otentik dan segala sesuatu yang lainnya yang sifatnya negatif dan dinisbatkan kepada Syi’ah adalah omong kosong.

Kemaksuman Menurut Ahlussunnah

Para ulama Ahlussunnah tidak berbicara dalam satu suara tentang subjek ini. Sebagian Sunni mengklaim bahwa Nabi Muhammad SAW itu rxaksum atau tidak berdosa hanya dalam penyampaian risalah Allah. Selain dari itu, Nabi Muhammad SAW sebagaimana orang lain berdosa dan melakukan kesalahan-kesalahan dalam banyak hal.

Faksi Sunni ini mendasarkan pendapat mereka pada hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW tertidur dan lupa akan waktu salat, dan bahkan lupa melakukan wudhu untuk shalat.’

Lebih jauh, mereka mengklaim bahwa beliau biasa duduk bersama Aisyah dan menonton sebuah tarian yang diiringi dengan musik. Mereka juga mendakwa bahwa beliau dipengaruhi oleh mantra sihir yang menimbulkan episode halusinasi pedih di pihaknya’ Inilah sebagian kecil dari tindakan-tindakan yang paling keji ulama-ulama’ Bani Umayah itu.

Perhatikan bahwa menurut kaum Syi’ah, hadis-hadis ini tidaklah otentik, atau bukan merupakan satu kebenaran apapun. Lagi pula, hadis-hadis ini disisipkan ke dalam kitab-kitab mereka oleh Bani Umayah, di antara yang lainnya, untuk membenarkan penyimpangan dan kekejian mereka. harena ketika Nabi Muhammad SAW berdosa sedemikian keji sebagaimana mereka menggambarkan beliau dalam hadis-hadis di atas kita tidak bisa lagi menyalahkan Utsman, atau Muawiyah, Yazid, atau Amr bin Ash, di antara yang lainnya, ketika mereka berdosa. Adalah untuk kepentingan mereka sendiri, mereka menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang manusia yang mendengarkan musik dan tarian bersama istrinya, untuk membenarkan tarian dan musik yang liar di istana-istana mereka.

Keadaan umat sekarang tidaklah demikian disebabkan sebagian kecil dari mereka tidak melakukan salat ataupun puasa. Hal ini karena sejumlah Yang telah mengubah dan merusak agama Allah SWT untuk membenarkan hawa nafsu mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Kristen dan Yahudi. Itulah yang secara tepat kita alami. Kita berdosa, kemudian kita katakan, “Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pendosa!” Sungguh para Nabi dan Rasulullah suci dari watak dosa semacam itu!

Demi Allah, mengatakan hal semacam itu lebih merupakan suatu penghinaan kepada Allah SWT, ketimbang kepada Nabi dan para Rasul. Karena ketika kita menandaskan bahwa Allah SWT mengutus orang-orang yang berdosa, kita tengah mendakwa bahwa Allah SWT sendiri mengakui dosa; atau mengapa, kemudian, Dia mengutus seorang manusia pendosa? Padahal, di sisi lain, Allah SWT melarang kita dari perbuatan jalan! Logika macam apa ini? Mahasuci Allah dari hinaan semacam ini!

Kemaksuman Menurut Syi ah

Di sisi lain, Syi’ah, menyatakan bahwa seluruh Nabi dan Rasulullah, tanpa kecuali, maksum adanya. Bahkan jauh-jauh hari sebelum mereka menjadi para Nabi dan Rasul. Misalnya, kendatipun Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul pada usia 40 tahun, Syi’ah menegaskan bahwa bahkan dalam 40 tahun dalam kehidupannya, beliau sudah maksum-sebuah penegasan bahwa sejarah membenarkan juga.

Pertama-tama, mari kita definisikan konsep kemaksuman! Menurut Muhammad Jawad Mughniyyah dalam al-Islam wa al-Aql, konsep ishmah (kemaksuman) sangat sering disalah pahami. Apa yang kita maksudkan dengan konsep tersebut adalah bahwa seorang Nabi, karena keNabiannya, mempunyai jiwa yang suci. Sebagaimana Quran katakan, Sesungguhnya nafsu (manusia) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, keeurali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf : 53).

Secara gamblang, Allah SWT telah melakukan suatu pengecualian (dengan menggunakan istilah ‘kecuali’ kepada jiwa manusia yang cenderung kepada kejahatan. Kita bisa memahami, berdasarkan filsafat Syiah, bahwa keterpautan jiwa (nafs) kepada Wujud laksana sebuah hubungan kendali dengan pengendalian. Oleh sebab itu, jiwa bisa cenderung pada kejahatan. Sekiranya individu tersebut menerima ajakan kepada
kejahatan, ia menjadi bertanggung jawab atas kejahatan yang ia lakukan. Ini merupakan uraian yang disederhanakan, namun memenuhi tujuan yang dimaksud.

Sekarang, para Nabi atau Rasul termasuk pada pengecualian sebagaimana Allah SWT telah isyaratkan. Yakni, ada sesuatu dalam jiwa dari manusia-manusia mulia ini yang mencegah kecendrungan pada kejahatan, dan karenanya mereka tidak pernah melakukannya. Keutamaan mereka sedemikian tinggi sehingga mereka tidak pernah berpikir melakukan dosa sekalipun. Bukan berarti jika seorang Nabi atau Rasul ingin melakukan dosa, ia tidak bisa. Sebaliknya adalah rahmat, yang disebutkan dalam ayat di atas, yang dilimpahkan kepadanya dari Allah SWT yang mencegahnya dari melakukan demikian. Dengan demikian, ia maksum kendatipun mereka memiliki kemampuan penuh melakukan setiap jenis dosa apapun. Ketika setan menolak bersujud kepada Adam, dia terusir dan menjadi seorang makhluk terkutuk.
Quran menyatakan bahwa seketika itu juga Iblis berkata, “Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan memandang baik (perbuatan rnaksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.

“Allah berfirman, “Ini. adalah jalan yang lurus. Kewajiban Akulah menjaganya. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat. Dan sesungguhnya jahanam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semtcanya (QS. al-Hijr : 39).
Nyatalah dari dialog di atas Allah SWT telah menjanjikan bahwa dan tidak punya cara menjerumuskan hamba-hamba Tuhan yang ikhlas. Para pelaku kejahatan yang akan mengikuti setan. Dengan demikian Hamba -hamba Allah SWT yang ikhlas bukanlah para pelaku dosa dan tidak dan terperdaya. Allah juga membenarkan bahwa jalan hamba-hamba yang ikhlas merupakan suatu jalan yang mengantarkan kepada-Nya. Semua fakta ini membuktikan bahwa para hamba Allah yang ikhlas tidak akan pernah terjerembab ke dalam perangkap setan, dan dengan sendirinya mereka maksum, berkat rahmat Allah.

Yang perlu diperhatikan di sini bahwa tidak ada penyebutan Nabi atau Rasul dalam ayat-ayat di atas. Dalam madah lain, hamba-hamba Allah yang ikhlas yang maksum tidak mesti para Nabi ataupun Rasul. Adapun tema kemaksuman para imam akan dikupas dalam bab tersendiri.

Quran Membicarakan Para Nabi

Pertama, kiranya membantu untuk melihat sekilas perintah menaati Rasul, untuk melihat bagaimana perintah ini serba meliputi dan serba mencakup, dan betapa besarnya otoritas Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam Quran,
Dan  Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah (QS. an-Nisa : 64).

Nabi atau utusan Tuhan ditaati dan diikuti. Para pengikutnya tidak diharapkan untuk memeriksa setiap perintah Nabi guna memutuskan apa yang harus ditaati dan apa yang tidak perlu ditaati. Tidak ada jalan memeriksa perintahperintahnya, karena ia sendiri memberi kita semua aturan dan hukum-hukum Ilahi dalam bentuk kitab dan Sunnahnya (ucapan/perbuatan/pembenaran). Apabila kita merasa ragu atas sejumlah perbuatan Nabi, keraguan ini bisa menyebabkan semua perintah dan hukumnya yang telah ia sampaikan dipertanyakan. Ini menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul bebas dari kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah SWT tidak akan memerintahkan manusia untuk mematuhi mereka tanpa syarat.
Banyak ayat yang mengandung perintah Allah SWT kepada kita untuk menaati Nabi. Di antaranya, Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kalian merusak amal perbuatanmu (dengan mendurhakainya) (QS.Muhammad:33), dan Barang siapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS. an-Nisa : 80).

Dalam ayat-ayat di atas juga banyak ayat lainnya, ketaatan kepada Allah
SWT disejajarkan dengan ketaatan kepada para Nabi. Penegasan semacam ini
niscaya mustahil untuk diterima sekiranya para Nabi itu tidak maksum.
Sekarang, perhatikanlah ayat berikut! Janganlah kamu ikuti orang yang
berdosa dan orang yang kafir di antara mereka! (QS. al-Insan : 24).
Gambaran tersebut begitu sempurna. Para Nabi ditaati dan para, pendosa tidak
ditaati. Satu-satunya kesimpulan adalah bahwa para Nabi bukanlah para pendosa
ataupun para pelaku kejahatan. Dalam madah lain, mereka maksum dan suci dari dosa.
Secara khusus memandang Nabi Muhammad SAW, Allah SWT memerintahkan
kepada kita, Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia! Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah! (QS. al-Hasyr : 7).
Ini merupakan petunjuk lain bahwa apa saja yang Nabi Muhammad SAW
berikan haruslah diterima tanpa syarat dan tanpa ragu. Ini artinya bahwa izin ataupun
larangan dari Nabi Muhammad SAW senantiasa selaras dengan kehendak Allah SWT
dan senantiasa diberkati olehnya. Hal ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW
terjaga dari dosa (maksum). Tak seorang pun bisa sedemikian yakin ihwal perintahperintah
seorang manusia yang tidak maksum.
Sekarang, jika Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendosa bagaimana
sebagian orang katakan secara keliru, maka bagaimana bisa Allah SWT memerintahkan
kita untuk menerima (menaati) orang-orang yang berdosa? Untuk orang-orang yang
mendalil bahwa ayat di atas
Maka khusus untuk perintah-perintah agama, dan Nabi Muhammad SAW hanya
maksum dalam masalah itu, kami katakan bahwa pengakuan semacam itu tidak
beralasan. Ini merupakan satu aturan umum bahwa sampai waktu itu tidak ada larangan
atau syarat atau pengkhususan (particularization) yang telah disebutkan bersama suatu
teks Quran. Ia mencakup semua aspek.
Kedua, segala sesuatu yang Nabi Muhammad SAW bicarakan berkaitan dengan
Allah SWT dan agama-Nya. Lantas, bagaimana bisa anda mengklaim bahwa Allah SWT
melakukan suatu pemisahan? Apakah anda belum mendengar apa yang Aisyah katakan
ketika ia ditanya perihal perilaku Nabi Muhammad SAW? Ia berkata, “Hidupnya adalah
quran, khususnya sepuluh ayat pertama Surah Nur (cahaya).” Sekarang, apabila
kehidupan Nabi Muhammad SAW adalah Quran secara perkata, bagaimana mungkin
beliau seorang pendosa ? Itu artinya bahwa Quran penuh dengan perkara – perkara dosa
? Maha suci Allah dari menurunkan Kita seperti ini !
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, (Wahai Nabi) Katakanlah (kepada
manusia), “]ika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya
Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian! (QS. Ali Imran : 31). Di
sini cinta kepada Allah SWT disejalankan dengan mengikuti perintahperintah Nabi
Muhammad SAW. Kedua sisi cinta termasuk dalamnya. Jika kalian mencintai Allah,
ikutilah Nabi, jika kalian mengikuti Nabi, niscaya Allah menrintai kalian. Bukankah ini
menunjukkan bahwa Nabi bebas dari setiap jenis kekurangan secara mutlak?
Bukan saja perintah-perintah Nabi, namun juga semua keputusannya terjaga dari
kesalahan karena Allah bersabda kepada Nabi-Nya, Maka demi Tiahanmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikun kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya (QS. an-Nisa : 65).
Jika semua keputusan Nabi Muhammad SAW harus diterima tanpa syarat, maka
sudah tentu Nabi Muhammad SAW harus terjaga dari kesalahan dalam semua
keputusannya.
Selain perbuatan-perbuatan dan keputusan-keputusannya, bahkan setiap satu kata
pun dari pembicaraannya merupakan titah Tuhan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman,
Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Nabi) tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang
Maha Kuasa telah mengajarinya (QS. an-Najm :1-5).
Ayat-ayat di atas bukan saja membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
berbuat kesalahan atau dosa, namun juga menandaskan bahwa semua ucapannya
merupakan wahyu (baik secara langsung maupun tidak). Ayat-ayat ini secara terbuka
membersihkan Rasulullah SAW dari ucapan apapun yang keluar hawa nafsunya. Hal
tersebut meliputi hadisnya dan Quran. Bagi orang-orang yang mendalilkan sebaliknya,
janganlah lupa bahwa hadis tersebut digunakan dalam setiap penafsiran Quran, masalah
– masalah fikih dan ranah – ranah keilmuan lainnya. Apabila Hadis tersebut
menyimpang karena kalian mengklaim bahwa Nabi Muhammau SAW adalah seorang
pendosa (semoga Allah memaafkan kita!), maka penafsiran Quran pun salah!
Takutlah terhadap Allah SWT dalam penalaranmu! Bagi orang – orang yang
mengklaim bahwa Nabi Muhammad SAW maksum dalam penyampaian risalah, dan
itu mencakup hadis, maka kalian telah mengakui apa yang dikatakan Syi’ah!
Disepakati secara bulat bahwa Sunnah Nabi meliputi perkataan, perbuatan, dan
pembenaran (taqrir) Nabi. Karena Sunnah merupakan refleksi dari perbuatan Nabi,
maka ia, dengan demikian, maksum dalam perbuatan juga.
Allah SWT berfirman,
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami telah
menghilangkan darimu bebanmu yang memberatkan punggungmu,
dan Knmi tinggikan bagimu sebutan (nama)mu? (QS. al-Insyirah : 1-
4).
Secara pribadi kami tidak akan mengomentari ayat di atas, namun disini akan
kami kutipkan komentar Abdullah Yusuf Ali, seorang mufasir Sunni, tentang ayat
tersebut dalam catatan kakinya:
(Ini pun merupakan) doa Musa ketika meminta kelapangan. Secara simbolis
dada merupakan wadah pengetahuan dan perasaan tertinggi dari cinta dan kasih sayang,
gudang yang dalamnya disimpan permata-permata laksana karakter insan yang
mendekat kepada Yang Ilahi. Watak manusia Nabi suci telah disucikan, dilapangkan,
dan ditinggikan, sehingga ia menjadi rahmat bagi semua makhluk. Watak semacam itu
bisa mengabaikan motif-motif rendah kemanusiaan umum yang menyebabkan
seranganserangan memalukan yang ditimpakan kepadanya. Kekuatan Hon
keberaniannya bisa juga memikul beban dari pekerjaan yang menyakitkan hati yang itu
harus dilakukan dalam rangka mencela dosa, menaklukkannya, dan memelihara
makhluk-makhluk Allah dari penindasannya.
Hal ini sesungguhnya merupakan sebuah beban yang menyedihknn dan
menyakitkan bagi seorang manusia untuk berjuang sendirian melawan dosa. Akan
tetapi Allah mengirim keagungan dan bantuannya dan beban tersebut diangkat
atau diubah ke dalam kebahagiaannya dan kejayaan dalam melayani Tuhan Yang
Maha Besar.
Keutamaan Nabi, kemurahan karakternya, dan kecintaannya terhadap umat
manusia sepenuhnya dikenal dalam masa hidupnya, dan namanya menempati kedudukan
puncak di antara para pemimpin heroik umat manusia. Frase tersebut digunakan di sini
lebih komprehensif dalam pengertian yang digunakan untuk para Nabi.
Mari kita simak firman Allah SWT lainnya!
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk
dan agama kebenaran... (QS. at-Taubah : 33).
Orang-orang kafir berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya
(Muhammad) suatu tanda kebenaran dari Tuhannya?” Sesungguhnya
kamu hanyalah pemberi peringatan, dan bagi tiap-tiap kaum ada
orang yang memberi petunjuk (QS. ar-Ra’d : 7).
Seorang Rasul yang membaeakan kepada kalian ayat-ayat Allah yang
menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan
orang-orang yang berirrian darv mengerjakan arnal-amal yang saleh
dari kegelapan kepada cahaya (QS. at-T’halaq : 11).
Ayat-ayat Quran di atas membenarkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
seorang pemberi petunjuk yang diutus untuk mengeluarkan manusia kedalaman
kegelapan menuju cahaya (QS. at-Thalaq : 11) dan bahwa ia seorang pemberi peringatan
(QS. an-Naml : 91) dan salah seorang pemberi petunjuk bagi manusia (QS. ar-Ra~d : 7).
Dosa adalah kegelapan, dan, dengan sendirinya, bagaimana mungkin Nabi diutus untuk
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya ketika ia sendiri menempati
kegelapan? Semoga Allah melindungi kita dari menghina Nabi-Nya SAW.
Demikian pula Quran mengabari kita bahwa Nabi telah datang kepada kita untuk
menyucikan dan membersihkan kita dan mengajari kita hikmah:
Sebagaimana ( Kami telah menyempumakan nikmat Kami kepadamu)
Kami telah mengutus kepadamu seorang rasu diantara kalian yang
membacakan ayat – ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian
serta mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan hikmat (as-Sunnah)
serta mengajarkan apa yang belum kalian ketahuiah
(QS. al-Baqarah : 151).
Sungguh Allah telah memheri karunia kepada orang-orang beriman
ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan
mereka sendiri yang membaeakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka alKitab
dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali Imran
:164).
Lihat juga al-Baqarah ayat 129, al-Jumu’ah ayat 2 yang membenarkan bahwa
salah satu misi Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyucikan (jiwa) orang-orang
beriman! Lantas bagaimana bisa seorang Nabi menyucikan orang lain yang melakukan
kesalahan sementara ia sendiri tidak suci? Bagaimana bisa Allah SWT mengutus
seorang pribadi yang kotor dan dan berdosa untuk menyucikan orang lain? Bagaimana
bisa seorang manusia wangajari orang lain hikmah sementara ia tidak punya hikmah
untuk membedakan kebenaran dari kesalahan, atau yang terburuknya, sementara ia
tidak punya tekad untuk menjauhi perbuatan yang salah? Nabi diutus untuk mengajari
manusia kitab Allah. Ini artinya bahwa ia mengetahui perintah Allah. Ia diutus untuk
menyucikan mereka dan mengajari mereka hikmah. Ini artinya ia sendiri mempunyai
hikmah dan kesucian.
Saksi atas kesempurnaan karakternya terdapat dalam Quran dimana Allah SWT
berfirman, Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung (QS. Al-
Qalam : 4 ).
Seorang manusia yang melakukan kesalahan-kesalahan tidak pantas merima
pujian semacam itu. Semua ayat ini secara jelas membuktikan dua dua hal :
Pertama, otoritas Nabi Muhammad SAW atas orang-orang beriman tidak terbatas
dan serba-mencakup. Setiap perintah yang diberikan oleh nya dalam kondisi apapun,
ditempat manapun, pada waktu kapanpun haruslah ditaati tanpa syarat.
Kedua, otoritas tertinggi yang dianugerahkan kepadanya disebabkan beliau
maksum dan bebas dari segala jenis kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah SWT
tidak akan memerintahkan kepada kita untuk menaatinya tanpa pertanyaan ataupun
keraguan.
Kemaksuman Para Nabi dalam Teks Hadis
Dalam bagian ini, kita diskusikan dukungan logika atas kemaksuman para Nabi
dan kemudian kita sajikan sejumlah hadis dari Shahih Bukhari dan Shahih at-Turmudzi
berkaitan dengan isu kemaksuman.
Akal dan logika
Di samping analisis karakter seorang Nabi secara historis atau suatu karakter dari
Quran, karakter semacam itu bisa dinilai dalam sudut pandang pertimbangan akal dan
logika. Oleh karenanya, pertanyaannya adalah: Apakah rasional dan ataukah realistis bagi
seorang Nabi yang diutus oleh sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta sebagai
seorang pendosa? Mari kita cari jawabannya!
Pertama, ketika Allah SWT mengirim seorang Nabi, Dia membedakannya dari
semua makhluk dengan menyucikan dari kejahatan dan dosa, sehingga ia bisa berfungsi
sebagai seorang teladan. Sesungguhnya Allah SWT menandaskan,
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladari yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab : 21)
Oleh karenanya, seorang manusia yang telah dipilih Pencipta alam semesta untuk
mewakili-Nya di muka bumi, mustahil seorang berwatak jahat, atau seorang pendosa
yang melakukan tindakan-tindakan amoral. Apakah kalian percaya bahwa ia akan
berfungsi sebagai seorang teladan sempurna untuk diikuti? Itu seperti seorang imam
masjid yang menggoyang – goyangkan tangan kanannya seraya berkata, “Jangan minum
bir ( minuman keras )!” Sementara ia sendiri memegang bir di tangan kirinya !
Kedua, sekiranya Nabi Muhammad SAW memerintahkan kebajikan atau
melarang kejahatan ketika ia sendiri seorang pendosa yang melakukan kejahatan, maka
ia telah menetang apa yang Allah SWT katakana dalam ayat Quran berikut :
Hai orang-orang beriman , mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian
mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan (QS. as-Shaff : 2-3).
Berdasarkan ayat Quran di atas, sekiranya Nabi seorang pendosa, ia semestinya
tidak menyeru orang lain di tempat pertama? Dengan demikian, seorang Nabi yang
maksum menghadapi sebuah dilema: Jika ia tidak berdakwah, ia telah mendurhakai
perintah Tuhan yang telah memerintahkannya untuk menyampaikan wahyu (QS. al-
Maidah : 67). Di sisi lain, jika ia berdakwah, ia pun telah mendurhakai Allah SWT ketika
Dia berfirman,
Hai orang-orang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian
mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan.
Bukankah Allah SWT mengingatkan kaum Yahudi dengan mengatakan,
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu
melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab
(Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?(QS. al-Baqarah : 44).
Nyatalah, seorang Nabi tidak bisa memerintahkan orang awam untuk mendirikan
pada waktu yang ditentukan, padahal Nabi sendiri lupa untuk shalat, dan ketika ia ingat,
ia shalat tanpa wudhu.6 Tersucikanlah para khalifah Allah dari tuduhan batil tersebut!
Ketiga, seorang Nabi yang berdosa merupakan karakter yang menjijikkan. Kita,
sebagai manusia, membenci seseorang yang datang kepada kita dan berkata, “Jangan
melakukan ini dan itu!” Namun ia sendiri melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Dengan
sendirinya ia menjadi seorang yang menjijikkan bagi kita, dan kita tidak bisa tahan untuk
mendengarnya lagi. Demikian pula, apabila Nabi Muhammad SAW bersikap kasar
kepada seorang buta, padahal,beliau tidak demikian, lantas bagaimana bisa ia meminta
kita untuk berakhlak mulia?
Ingat! Riwayat orang buta itu tidak terkait dengan Nabi Muhammad SAW
sebagaimana Sunni katakan. Surah Abasa adalah sebuah surah yang diturunkan untuk
mengingatkan Utsman bin Affan, salah seorang yang bermuka masam kepada orang buta
itu. (Lihat bahasan sebelumnya).
Apakah Anda sungguh-sungguh percaya bahwa seorang Nabi Allah adalah
seorang pendosa dan demikian ofensif? Mengapa Anda mengikutinya? Secara pribadi,
kami tidak akan percaya seorang manusia yang mengaku diutus oleh Allah SWT,
Pencipta alam semesta, dan berdosa serta berperilaku dalam suatu cara yang seekor
binatang buas tidak pantas melakukannya!
Ke empat, apakah Allah SWT sedemikian tidak mampunya untuk menjadikan
para Nabi dan Rasul-Nya tidak berdosa? Mengapa Allah SWT berpayah-payah mengutus
seorang Nabi yang berdosa untuk menjadi seorang teladan bagi sebuah masyarakat? Jika
dosa merupakan sesuatu yang bahkan para Nabi dan Rasul tak mampu menghindarinya,
lantas apa tujuan pengutusan sebuah agama kepada umat manusia? Apakah Allah SWT
mengharapkan orang-orang awam mengikuti perintah-perintah-Nya ketiga para wakilnya
tidak bisa?
Ke lima, seorang Nabi atau Rasul adalah seorang penafsir perintah-perintah Allah
SWT. Karenanya, jika Nabi adalah orang pertama yang melanggar perintah ini, siapa
orang-orang di antara umat ini yang akan tahan dengan perintah-perintah ini? Atau, jika
ia berada dalam keadaan yang mencegah dirinya dari kekuatan mentalnya
menyebabkannya salah, maka ia akan menyalahtafsiri perintah-perintah Allah SWT.
Apabila itu terjadi, maka sesungguhnya Allah SWT bermain-main dengan makhlukNya!
Karena Dia mengutus kepada mereka seorang manusia untuk menafsirkan agama bagi
mereka, padahal manusia ini tunduk kepada mantra-mantra sihir, sebagaimana diklaim
oleh riwayat-riwayat Israiliyat, dan halusinasi mental yang menyebabkan ia menjadi tidak
sadar akan perilakunya sendiri.’ Penafsir macam mana ini? Maha Suci Allah dari
tuduhan-tuduhan tersebut kepada Nabi-Nya, SAW!
Ke enam, bagi mereka kaum Sunni yang mengatakan bahwa Nabi SAW maksum
atau tidak berdosa hanya dalam penyampaian wahyu, dan selain itu ia seperti manusia
lainnya, ia berdosa dan melakukan kesalahan-kesalahan dalam banyak hal, penegasan
tersebut penuh kesalahankesalahan logika. Misalnya, kaum Sunni meriwayatkan bahwa
sekali waktu Nabi Muhammad SAW memberikan nasehat tentang pertanian, dan orangorang
melakukannya, namun mereka mengalami kerugian besar dengan mengikuti saran
tersebut. Nabi mengatakan kepada mereka bahwa apa yang ia katakan merupakan saran
pribadi dan bukan wahyu yang bagaimanapun bertolak belakang dengan ayat :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya (QS. an-Najm : 3-4).
Bagaimana kita mengetahui mana ucapan Nabi yang berasal dari Allah SWT, dan
mana ucapan yang bersumber dari dirinya? Ia mungkin mengatakan sesuatu yang para
sahabat menganggapnya sebagai perintah Allah SWT, namun itu mungkin hanyalah
ungkapan pendapatnya sendiri. Jika demikian halnya, maka semua perintah Allah SWT
berada dalam kekacauan! Itulah sebabnya pendapat Nabi sekalipun harus bersesuaian
dengan perintah-perintah Allah SWT, karena kekhawatiran disalah tafsirkan oleh
manusia. Sesungguhnya Nabi memiliki akal yang sempurna dan ijtihad-nya bersesuaian
sempurna dengan perintah-perintah Allah SWT dan itulah sebabnya Allah SWT
memerintahkan kita untuk menaati segala sesuatu yang ia katakan tanpa syarat.
Demikian juga, bagaimana bisa kita memahami perbuatan Nabi mana yang salah
dan mana yang benar? Apakah ukurannya hal itu bagi kita? bukanlah sebagian dari
ukuran ini merupakan praktik Nabi Muhamnrui SAW sendiri? Karena praktik Nabi
Muhammad SAW dipandang sebagai salah satu sumber yang menurunkan hukumhukum
Islam, kita tidak bisa mengevaluasi tindakan-tindakan Nabi dengan aturanaturan
yang diturunkan dari perbuatan-perbuatannya! Oleh karenanya, semua
perbuatan Nabi seharusnya terjaga dari kesalahan dan dosa.
Ketujuh, karena Nabi Muhammad SAW dipilih untuk menyampaikan risalah
Allah SWT (salah satunya adalah Quran) dan ia sendiri seorang pendosa, akan
mencuatkan keragtian perihal keotentikan Quran. Ketika Nabi Muhammad SAW
membacakan satu ayat dari Quran, bagaimana kita tahu bahwa ayat itu sesungguhnya
dari Allah SWT dan bukan efek samping dari episode halusinasi dimana Nabi
Muhammad SAW, menurut dugaan, tengah mengalami suatu akibat dari mantra sihir
yang diarahkan kepadanya? Itu artinya kitab Allah akan diselewengkan oleh orang yang
sama yang diutus untuk menyampaikannya!
Kedelapan, jika setiap Nabi mulai mendorong para pengikutnya untuk
melakukan suatu kesalahan atau dosa, bayangkanlah situasi mustahil apa yang akan
terjadi! Para pengikut yang malang tersebut dikutuk pada kemurkaan Allah SWT.
Apabila mereka menaati Nabi dan melakukan dosa tersebut, maka mereka telah
mendurhakai perintah yang diturunkan oleh Allah SWT dan dengan demikian terhina.
Di sisi lain, jika mereka mendurhakai Nabi, maka kembali mereka mendurhakai
perintah Allah SWT tentang menaati Nabi. Maka, tampaknya seorang Nabi yang cacat
tidak bisa melahirkan apapun selain kehinaan dan kutukan kepada kaumnya.
Kesembilan, sebuah dosa yang bisa dihukum akan melahirkan kesedihan dan
depresi kepada jiwa orang beriman. Orang beriman yang ikhlas mencintai Allah SWT
dibakar dan mengalami depresi lantaran dosa yang telah ia lakukan. Perasaan sedih
mulai merasuki minda (mind) dan orang beriman akan kehilangan kepercayaan berkalikali.
Perasaan ragu dimunculkan dalam arti bahwa orang beriman tersebut merasa
bahwa Allah SWT mungkin tidak mendukungnya pada titik dan waktu tertentu sebagai
hukuman atas apa yang telah ia lakukan. Keraguan ini bukan dalam arti bahwa ia
merasa Allah SWT tidak cukup mengasihi untuk mengampuninya. Alih-alih, ia
merupakan keraguan tentang apa yang akan terjadi apabila Allah SWT memutuskan
untuk membalas atas apa yang telah ia perbuat.
Dengan alasan di atas, seorang Nabi semestinya bukan seorang pendosa,
lantaran itu akan berakibat pada hilangnya kepercayaan pada dirinya pada tahap
tertentu dalam misinya. Jika keraguan menghantam jiwa seorang Nabi, Anda bisa jamin
bahwa misinya berada dalam bahaya. Juga, dari sudut pandang politik dan psikologis,
keraguan dengan sendirinya berubah menjadi bencana. Di sisi lain, ada suatu fakta
historis terkenal yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah
menunjukkan keraguan apapun dalam misinya, dan dengan begitu beliau pastinya
terbebas dari kesalahan dan dosa. Memiliki keraguan niscaya bukan sekadar
memperlemah misinya, namun niscaya hal itu memperburuk kredibilitasnya di tengahtengah
orang beriman.
Ke sepuluh, seorang Nabi adalah seorang guru berkat keNabiannya. Andaikata
seorang guru salah ketika ia dianggap dikirim langsung oleh Allah SWT sebagai rahmat
bagi umat manusia, maka ia akan memerlukan seorang guru yang lebih berilmu dan
unggul untuk membimbingnya dan menghukumnya dalam kasus di mana ia melanggar
hukum-hukum Tuhan, yang artinya bahwa Nabi sendiri akan membutuhkan seorang
guru yang tidak salah yang diutus Tuhan, dan seterusnya, untuk selamanya. Jadi, tidak
bisa tidak Nabi pastilah seorang guru peringkat pertama dan tertinggi dalam hal
keutamaan di antara kaumnya sendiri, dan pastilah juga ia seorang maksum.
Demikian pula halnya dengan para imam (pengganti Nabi yang ditunjuk
Tuhan). Dengan menerapkan argumen yang sama, mereka semua maksum, kendati
mereka bukanlah para Nabi ataupun Rasul. Akan tetapi, mereka adalah para penerus
dan khalifah bagi Penutup KeNabian (Nabi Muhammad SAW). Karena itu, jika para
imam ini bertugas unhik membimbing umat Muhammad SAW, mereka niscaya
mempunyai kualitas yang sama berdasarkan argumen di atas. Simak pula artikel
selanjutnya berkaitan dengan kemaksuman para imam secara khusus.
Rujukan Kemaksuman dalam Shahih Bukhari
Ada sebuah hadis menarik dalam Shahih Bukhari yang menandaskan adanya
manusia-manusia yang maksum. Secara jelas hadis tersebut menyatakan manusiamanusia
ini adalah para Nabi dan penggantipengganti mereka (khalifah). Hadis itu pun
menyoroti fakta bahwa adalah Allah SWT yang memberikan kedudukan kekhalifahan
kepada khalifah itu yang berimplikasi bahwa khalifah maksum itu adalah orang yang
dilantik oleh Allah, bukan oleh manusia. Selain itu, hadis tersebut menegaskan adanya
para sahabat mulia dan ada- pula sahabat-sahabat yang tercela bagi para Nabi dan para
pengganti mereka, namun mereka yang dijaga oleh Allah SWT tidak akan terpedaya oleh
para penasehat yang jahat di sekitar mereka. Berikut ini sebuah hadis yang dimaksud.
Diriwayatkan Abu Sa’id Khudri, Nabi Muhammad SAW berkata, “Allah tidak
pernah mengutus seorang Nabi atau memberikan kekhalifahan kepada seorang khalifah
kecuali bahwa ia (Nabi atau khalifah tersebut) mempunyai dua kelompok penasehat. Satu
kelompok menasehatinya untuk melakukan kebaikan dan mendorongnya untuk
melakukan kebaikan tersebut, dan kelompok lain menganjurkannya untuk berbuat
keburukan dan mendorongnya untuk melakukannya. Namun orang-orang yang terjaga
(maksum) adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah.”8
Adakah Orang yang Menyerupainya?
Quran menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia seperti halnya
kita, manusia. Kesamaan antara kita dan beliau dalam arti bahwa kita dan beliau samasama
manusia dan kedua-duanya sama-sama bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan. Akan tetapi, dalam hal keutamaan, pengetahuan, dan kedekatan kepada Allah
tidak ada keserupaan antara kita dan Nabi. Allah SWT memberi beliau kemampuan dan
otoritas yang tidak dianugerahkan kepada kita, makhluk biasa. Dalam hadis-hadis berikut
yang tercantum dalam Shahih Bukhari, secara gamblang Nabi Muhammad SAW
menyatakan bahwa ia tidak seperti kita, yakni bahwa sekalipun ia manusia, kita tidak
membandingkan jiwa kita yang lemah dan penuh dosa dengan jiwa beliau.
Dari Anas, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jangan melakukan al-wishal
(berpuasa terus menerus tanpa membatalkan puasanya di waktu buka (magrib) atau
makan sebelum fajar berikutnya)!” Orang-orang berkata kepada Nabi, “Tapi, anda sendiri
mempraktikkan al-wishal?” Nabi Muhammad SAW menjawab, “Aku tidak seperti
kalian, karena aku diberi makanan dan minuman (oleh Allah SWT) sepanjang malam.”9
Dari Abdullah bin Umar, “Rasulullah melarang al-wishal. Para sahabat berkata
(kepadanya), “Tapi, anda sendiri mempraktikkannya?” Beliau bersabda, “Aku tidak
seperti kalian, karena aku diberi makanan dan minuman oleh Allah (Qala, ‘Inni lastu
mithlikum’).”10
Dari Abu Sa’id bahwa ia telah mendengar Nabi berkata, “Janganlah berpuasa
terus menerus (mempraktikkan al-wishal), dan jika kalian berniat memperpanjang puasa
kalian, maka lakukanlah hanya sampai pada waktu sahur (sebelum waktu fajar
berikutnya)!” Nabi berkata kepadanya, “Tapi anda mempraktikkan (al-wishal), wahai
Rasulullah!” Beliau menjawab, “Aku tidak sama dengan kalian, karena selama tidurku
aku memiliki Zat yang memberiku makan dan minum (Qala, ‘Inni lastu ka
Hay’atikum’).”11
Dari Aisyah, “Rasulullah melarang al-wishal tanpa ampun kepada mereka.
Mereka (para sahabat)berkata kepadanya,’Tapi andamengamalkan al-wishal?’ Ia
berkata, ‘Aku tidak sama dengan kalian, karena Tuhanku memberiku makan dan minum
(Qala, “Inni lastu ka hay’atikum”).”‘12
Dari Abu Hurairah, Nabi berkata dua kali, “(Wahai kalian manusia) Hatilahhatilah!
Jangan mempraktikkan al-wishal!” Orang-orang berkata kepadanya, “Tapi anda
mempraktikkan al-wishal?” Nabi Muhammad SAW menjawab, “Tuhanku memberiku
makan dan minum selam tidurku. Lakukanlah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan
kemampuan kalian!”13
Dari Abu Sa’id Khudri, Rasulullah SAW berkata, “Janganlah berpuasa terus
menerus siang dan malam (mempraktikkan al-wishal) dan apabila seseorang dari kalian
berniat untuk berpuasa terus menerus siang dan malam, ia harus meneruskannya hanya
sampai waktu sahur!” Mereka berkata, “Tapi anda mempraktekkan al-wishal, wahai
Rasulullah!” Nabi Muhammad SAW berkata “ Aku tidak sama dengan kalian, selama
aku tidur, aku memiliki Zat yang memberiku makan dan minum.”14
Tampaknya dari keterangan-keterangan Sunni yang otentik ini, di antara yang
lainnya, bahwa Nabi seperti kita hanya dalam arti bahwa ia manusia (yakni seperti kita,
ia punya pilihan untuk berbuat benar atau salah dan mempunyai daging manusia).
Selain daripada itu, tidak ada keserupaan antara keluhuran jiwanya dan jiwa-jiwa kita.
Rujukan Kemaksuman dalam Shahih at-Turmudsi
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW sendiri membenarkan dirinya dan
Ahlulbaitnya sebagai orang-orang maksum. Menarik untuk diperhatikan bahwa
Rasulullah SAW menggunakan ayat penyucian dari Quran untuk membuktikan
kedudukannya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah membaca ayat
Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kalian, Ahlulbait, dan
menyucikan kalian sesuci-sucinya (QS. al-Ahzab : 33) dan kemudian Rasulullah
bersabda, “Dengan demikian, aku dan Ahlulbaitku bersih dari dosa-dosa.”15
Silakan perhatikan kata dengan demikiari dalam bagian hadis di atas. Itu artinya
Nabi sendiri termasuk dalam pengertian Ahlulbait, yakni mereka semua adalah
maksum.
Menjawab Berbagai Tuduhan
Bagian ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menentang
argumen-argumen tentang subjek ini secara langsung dan putaran-putaran diskusi
sebelumnya dan respon-respon atasnya.
Komentar lawan
Seseorang bertanya bagaimana cara kita menjelaskan ayat-ayat Quran berikut
sekaitan dengan masalah kemaksuman:
Sekiranya Allah menghukum ‘manusia karena kezalimannya, niscaya tidak
akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang
melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang
ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka
dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak mendahulukannya
(QS an-Nahl : 61).
Komentar kami adalah sebagai berikut: pertama, “manusia” yang disebutkan
dalam ayat pertama merujuk pada “orang-orang yang zalim” dan “orang-orang kafir.”
Perhatikan, bahwa dalam ayat sebelumnya orang-orang kafir nyata-nyata disebutkan.
Ayat di atas tidak berarti bahwa setiap orang di muka bumi adalah zalim. Alih-alih ia
merujuk pada fakta bahwa, tidak sebagaimana akhirat, ketika hukuman duniawi turun
sebagai akibat kezaliman dari orang-orang zalim, ia (hukuman duniawi) akan menimpa
semua makhluk hidup di muka bumi termasuk orang-orang baik dan orang-orang yang
jahat juga binatang-binatang. Sudah barang tentu, musibah tersebut merupakan satu
kerugian total dan siksaan bagi para pelaku kesalahan sementara bagi orang-orang
beriman itu merupakan sebuah cobaan. Dalam ayat lain, Allah menyatakan, Dan
peliharalah dirimu dari siksaan,yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di
antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaya (QS. al-Anfal : 25). Jadi,
ayat 61 surah an-Nahl tidak membuktikan bahwa setiap orang adalah zalim.
Lagi pula, istilah ‘zhulm’ digunakan dalam Quran dengan pengertian-pengertian
yang berbeda. Hanya salah satu pengertian umum dari zhulnt adalah ‘perbuatan aniaya’
yang berbuntut hukuman di akhirat. Sesungguhnya, para Nabi dan imam tidak berbuat
aniaya (zalim) dan kita bisa dengan mudah membuktikan ini dengan Quran (lihat
paragraph-paragraph belakangan). Bagaimanapun, sebelum menghadirkan argumen
Qurani dan untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik dari masalah tersebut,
izinkan kami untuk menukil pernyataan terkenal dari kaum Sufi yang disebutkan oleh
para ulama Sunni termasuk Razi dan Baidhawi yang menyatakan, “Perbuatan baik
orang-orang awam merupakan dosa bagi orang-orang yang dekat dengan Allah.”
Ini artinya bagi orang-orang yang sangat dekat kepada Allah SWT seperti para
Nabi, `dosa’ mempunyai pengertian yang amat halus, dan pengertiannya banyak
berbeda dari apa yang kita pandang sebagai dosa. Dalam tingkatan tinggi mereka,
mereka memandang diri mereka sendiri berdosa ketika mereka mempertanyakan diri
mereka sendiri dengan mcngatakan, “Aku seharusnya lebihbanyak berbuat kebaikan
ketimbang dari apa yang telah aku lakukan sampai sekarang.” Padahal mereka telah
berbuat sebaik-baiknya. Atau ungkapan, ‘ Aku tidak menyembah Allah sampai ke
tingkat bahwa Dia pantas (menerima hal itu) karena keagungan-Nya.” Atau “Aku pasti
dekat kepada Allah.” Ini merupakan bentuk-bentuk dosa bagi mereka yang banyak
berbeda dengan apa yang kita pikirkan sebagai dosa. Dosa mereka hanyalah perasaan
malu terhadap keagungan Allah SWT.
Menurut watak aslinya, seorang manusia utama tidak membuat keraguan dalam
mengikuti jalan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam setiap langkah yang ia ambil menuju
kemajuan, kebesaran dan keagungan dari kekuasaan Yang Maha Kuasa akan akan
menjadi lebih jelas baginya, dan ia akan memandang masa lalunya dari tingkat tinggi.
Atas apa yang ia telah lakukan kadang-kadang ia akan meminta maaf, sekalipun apa
yang telah ia lakukan merupakan tugas-tugasnya. Itu disebabkan ia kini memahami
kekurangannya. Ia menafsirkan ibadahnya di masa lalu sebagai dosa dan tidak melihat
nilai apapun atas kerjanya ketika dihadirkan ke kedudukan tinggi Tuhan. Dengan
pandangannya yang luhur, ia memandang ketundukannya ke haribaan Ilahi sebagai
dosa dan bahkan sebuah tindakan yang jauh dari kesantunan.
Para Nabi dan imam yang ditunjuk Tuhan telah mencapai titik ini. Karena
mereka menginsyafi keagungan Tuhan mereka dan memahami kedudukan Sang
Pemberi Kehidupan, mereka menyaksikan diri mereka sendiri, aktivitas-aktivitas
mereka, sujud-sujud dan tasbih-tasbih mereka sedemikian remeh sehingga mereka
menafsirkan ibadah yang banyak kekayaan dan keagungan sebagai dosa, dan dengan
doa dan munajat, mereka memohon ampunan dan mereka berharap akan maaf. Ketika
mereka menghadapi perintah-perintah Tuhan dan memandang kedudukan tinggi Yang
Mahakuasa, mereka menundukkan diri mereka pada Sang Majikan. Mereka melihat
perbuatan mereka di depan Tuhan sebagai bukan apa-apa dan menganggapnya sebagai
tidak cocok mendapatkan pujian. Mereka berharap ibadah itu akan diterima melalui
kemurahan dan keagungan Sang Pencipta, sebaliknya ia merupakan sebuah dosa untuk
mrngrahkan ibadah yang cacat seperti itu ke hadirat suci Tuhan.
Orang-orang seperti Nabi Muhammad dan Ahlulbaitnya mengetahui kedudukan
Ilahi dengan pandangan yang jauh lebih lebar. Secara terus menerus di atas dua sayap
pengetahuan dan tindakan, mereka maju ke posisi yang lebih tinggi dan utama. Di
setiap saat, mereka menemukan lebih banyak keagungan Sang Pemberi kehidupan
dunia, dan tentang kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Akibatnya pemahaman lebih
baik akan perbuatan-perbuatan mereka yang kurang vis-a-vis kekuatan dan kebesaran.
Untuk mengkompensasi itu, mereka mengakui dosa-dosa mereka dan memohon izin
Tuhan untuk meminta maaf dengan alasan bahwa mereka tidak bisa berbuat sampai ke
tingkat apa yang Allah SWT pantas terima, dan dengan harapan bahwa Dia akan
membimbing mereka ke posisi yang lebih tinggi dan utama sampai mereka bisa
meneruskan proses pertumbuhan mereka untuk mencapai moralitas yang luhur.
Sekarang ayat yang anda sebutkan harus dipahami dalam konteks ini. Tak
seorang manusia pun bisa menyembah Allah sampai ke tingkat dimana Allah SWT
pantas untuk disembah. Ini ibarat orang ingin membayar utang yang sangat besar
dengan sumber yang terbatas. Dengan demikian, setiap orang berdosa dan penuh rasa
malu di haribaan keagungan-Nya. Semakin dekat kepada Tuhan, engkau semakin malu
atas ibadahmu yang tidak memadai di depan Tuhan.
Mari kami tunjukkan kepada anda satu bukti dari Quran bahwa kata zhulm bagi
para Nabi mempunyai banyak pengertian. Allah SWT, yang memiliki kekuasaan dan
keagungan, berfirman dalam Quran,
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.”
Ibrahim berkata, “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku!” Allah
berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”
(QS. al-Baqarah : 124)
Dalam ayat di atas Allah SWT menyatakan bahwa kedudukan krpemimpinan
yang ditunjuk Tuhan tidak turun kepada seorang yang zalim. Kini tidak ada perselisihan
bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan dan
seorang keturunan Ibrahim AS. Tidak hanya ia, namun juga Musa, Isa, Daud, Sulaiman
pun merupakan keturunan-keturunan Ibrahim AS. Mereka semua ditunjuk sebagai
imam oleh Allah SWT. Ini membuktikan bahwa tak satupun dari mereka adalah zalim,
jika tidak, kalimat terakhir ayat 124 Surah al-Baqarah akan salah.
Karena itu, tidak ada pertentangan di antara ayat-ayat an-Nahl : 61, al-Baqarah:
124, al-Ahzab : 33, dan seterusnya, karena pertama-tama, Surah an-Nahl ayat 61 tidak
menisbatkan kata zhulm kepada semua orang. Kedua, zhulm telah digunakan dalam
Quran lebih dari satu makna dan bukan sekedar ‘perbuatan salah’ yang pantas
mendapatkan azab Allah SWT di akhirat. Dosa mempunyai sebuah pengertian yang
berbeda bagi orang-orang yang dekat kepada Allah SWT. Dosa-dosa mereka hanya bisa
ditafsirkan sebagai perbuatan-perbuatan tidak memadai atau ibadah di hadapan Allah
berkaitan dengan ibadah tidak terbatas dimana Allah SWT pantas disembah. Jenis dosa
seperti ini - yang bahkan tidak bisa diamati bagi orang-orang yang baik tidak
menyebabkan kemurkaan Allah SWT, atau menghantarkannya kepada azab diakhirat.
Seorang muallaf Muslim (sebelumnya Katolik) menyatakan bahwa ada sebuah
riwayat mengenai perzinaan Daud di Perjanjian Lama. Para Nabi adalah manusia. Ingat,
dosa masa lalu dan masa depan Muhammad diampuni. Padahal ia tidak punya dosa
apapun. Nabi Muhammad SAW biasa memohon ampunan bagi dirinya. Nyatalah, itu
merupakan sikap pendosa yang menyesal setelah (melakukan) sebuah tindakan dosa.
Dalam menanggapi kutipan yang merendahkan ihwal Daud as dari Injil, kami
bahkan tidak menghormati pernyataan itu dari para penulis Injil dengan sebuah
komentar. Orang harus tahu lebih baik ketimbang menukil sebuah kitab yang terputusputus.
Berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW memohon ampunan dari Allah SWT,
kami baru saja menjawab beberapa baris kalimat ini sebelumnya dan membuktikannya
melalui Quran dan hadis bahwa dosa para Nabi dan imani jauh berbeda dari apa yang
kita bayangkan sebagai dosa (yang bias dihukum). Sebab itu, mereka tidak akan
diperhitungkan. Itulah sebabnya Allah SWT mengabarkan kepada Nabi Muhammad
SAW bahwa ‘dosa-dosa’nya di masa lalu dan masa depan diampuni.
Sekiranya Allah SWT telah mengilhamkan para Nabi dan Rasul yang berdosa
untuk memimpin manusia ke jalan yang benar, itu artinya Allah SWT mengakui
keberdosaan! Mengapa kemudian Dia melarangnya? Jenis permainan apa yang Allah
SWT mainkan? Jenis Pencipta apakah Dia yang mengakui sesuatu sementara
melarangnya pada waktu yang sama? Berhentilah dari menghina Allah SWT dengan
mengklaim bahwa para Rasul dan Nabi-Nya adalah para pendosa! Takutlah pada Allah
SWT wahai manusia sebelum hari (kiamat) itu datang ketika kalian akan
mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan kalian! Maha Suci Yang Maha Kasih
dari hinaan-hinaan yang menggelikan ini!
Seorang pembaca menyebutkan bahwa Musa as menewaskan seorang manusia
dengan tinjunya. Dosa apa yang besar ketimbang membunuh seorang manusia?
Nah, Nabi Muhammad SAW dan Imam Ali membunuh banyak orang kafir demi
menaati aturan-aturan Allah. Demikian pula membunuh seseorang selama pertahanan
diri atau ketika membela orang-orang beriman dari seorang kafir, bukanlah sebuah
kejahatan.
Lagi pula, dalam banyak hal dosa para Nabi yang disebutkan dalam Quran
adalah tindakan yang telah mereka lakukan yang dipandang pelanggaran oleh para tiran
di zaman mereka dan bukan oleh Allah SWT. Itu artinya, penguasa menganggap Nabi
seperti itu bersalah karena suatu tindakan spesifik. Ini tidak berarti bahwa mereka
bersalah di hadapan Allah SWT. Kasus Nabi Musa as membunuh seorang kafir dalam
rangka membela pengikutnya termasuk dalam kategori ini. Sesungguhnya Quran
membenarkan kejadian yang disebutkan di atas dengan mengatakan :
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya),
“Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir’aun! Mengapa mereka
tidak bertakwa?” Musa berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut
bahwa mereka akan mendustnkan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku
dan tidak lancer lidahku. Maka utuslah ( Jibril) kepada Harun. Dan aku
berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku
(QS.asy-Syu’ara : 10-14).
Sebagaimana yang bisa kita lihat dalam ayat terakhir, dosa pembunuhan
adalah apa yang kaum Fir’aun pandang sebagai dosa dan bukan Allah SWT.
Mereka menilai Musa bersalah. Karena itu, hal itu (pembunuhan) bukanlah
sebuah dosa disisi Allah SWT, namun justru pelaksanaan pemerintaha.
Nabi Musa melakukan apa yang ia pandang harus dilakukan, yakni membela
orang-orang beriman yang tertindas dan menentang kaum penindas. Sekalipun ia tidak
berniat untuk membunuh penindas itu, hal tersebut terjadi selama pembelaan. Ini
merupakan skenario setan untuk menjadikan situasi tersebut lebih sulit bagi Musa as.
Dengan pembunuhan yang tidak terencana, kehidupan dipersulit bagi Musa karena itu
ia harus menjauh dari Mesir. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa ia berdosa. Kadangkadang
membela kebenaran bisa memunculkan kesulitan tetapi bukan dosa. Meskipun
semua kesulitan tersebut ada, pada akhirnya Allah SWT menganugrahkan kepada Musa
kemenangan terhadap orang-orang kafir. Sekali lagi, Nabi Musa as bukanlah seorang
yang zalim. Jika ya, hal itu bertolak belakang dengan Surah al-Baqarah ayat 124
dimana Allah SWT mengatakan bahwa kedudukan kepemimpinan yang ditunjuk Tuhan
tidak akan sampai pada orang-orang yang zalim.
Saudara Muslim yang lain membantah bahwa Allah SWT telah melarang kita
dari menyucikan siapapun dalam ayat ‘.. maka janganlah kamu mengatakan dirimu
suci!’ (QS. an-Najm : 32). Karena itu, para Nabi dan Rasul sekalipun tidak bisa
dipandang suci.
Jawaban kami adalah: Ayat tersebut dikeluarkan dari konteksnya dan pada
gilirannya telah mengaburkan maknanya. Mari kita telah secara cermat seluruh ayat
tersebut!
(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang
selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu
etika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin
dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci!
Dialah yang paling mengetahui tentang orang bertakwa.(QS. an-Najm :
32)
Ayat ini berkata, “Orang-orang yang telah melakukan kesalah-kesalahan kecil
semestinya tidak membenarkan diri mereka sendiri. Mereka seyogianya berhati-hati
agar jangan sampai jatuh korban dari egoisme mereka dan berpura-pura bahwa mereka
yang terbaik padahal hanya Allah SWT yang mengetahui apa yang sesungguhnya ada
dalam hati mereka. Karena itu, ayat ini tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW yang
tidak punya kesalahan apapun, atau Allah SWT niscaya menunjikan ayat tersebut
kepadanya sebagaimana Dia lakukan ketika berbicara kepada atau tentangnya. Dengan
demikian, ayat itu bahkan tidak mendekati untuk membela sebuah argumen bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah seorang pendosa.
Selain itu Allah SWT menyebutkan dalam ayat 33 Surah al-Ahzab bahwa
Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah suci dari dosa sesucisucinya, maka kita bisa
simpulkan bahwa Allah SWT adalah Zat yang tengah membenarkan bahwa Nabi adalah
suci dan itu selaras dengan ayat yang dikutipkan di atas yang menyatakan hanya Allah
SWT yang mengetahui siapa yang terbaik dan paling suci. Tak perlulah menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad SAW adalah anggota pertama Ahlulbait dan andai kata
Ahlulbait itu suci, maka demikian pula halnya dengan Nabi.
Seorang pembaca menyebutkan bahwa mereka mengidentifikasi para Nabi dan
Rasul melalui dosa mereka. Yakni, mereka melihat dosa para Nabi dan Rasul, dan
mereka mengenali dosa-dosa mereka sendiri melalui dosa-dosa para Nabi dan Rasul.
Ungkapan di atas tidaklah beralasan. Kita tidak mengenali para Nabi melalui
dosa mereka. Sebaliknya, kita mengenali mereka melalui penderitaan mereka. Ada
sebuah perbedaan besar di antara keduanya; Penderitaan menuntut kesabaran dalam
masa sulit dan sukar untuk bertahan melalui cobaan yang tengah berlangsung. Semua
Nabi dan Rasul (semoga Allah merahmati mereka) sangatlah menderita jabatan mereka
sebagai khali fah-khalifah Allah, Wujud Tertinggi. Kita mengenali dengan itu, dan tetap
sabar selama masa-masa putus asa kita. Karena itu, seorang Nabi tidaklah berdosa,
namun sebaliknya menderita. Kasih sayang dari Allah SWT bukanlah sebagaimana
anda nyatakan, bahwa para Nabi dan Rasul berdosa, namun sebaliknya mereka diutus
untuk menyebarkan dan menyampaikan risalah Allah SWT kepada kita. Dan dalam
melakukan hal tersebut, mereka bukanlah para raja ataupun pangeran-pangeran
kerajaan yang tidak mampu mengenali massa yang tertindas. Sesungguhnya, lihatlah
Musa as, utusan agung Allah SWT, yang seluruh hidupnya merupakan sebuah mukjizat.
Penderitaan yang Musa as alami mencuatkan arti kedamaian dalam minda para
pengikutnya yang berperan untuk memperkuat mereka dalam masamasa sulit di bawah
penindasan Fir’aun.
Demikian pula, Rasulullah Muhammad SAW menderita ketika dilempar batu
pada kepalanya, yang menyebabkan luka yang parah pada dagunya. Dia juga menderita
kelaparan, penolakan, boikot dari orang-orang kafir, sarkasme, godaan, perang,
pemberontakan, ketakpercayaan dari sejumlah pengikutnya, orang-orang munafik, para
pengkhianat, dan kemudian ia, setelah kemangkatannya, juga menderita lantaran
pembantaian atas keluarganya. Ada sebuah hadis otentik bahwa Nabi Muhammad SAW
selama masa hidupnya berkata, “Tak seorang Nabi pun yang pernah mengalami
penderitaan sebagaimana yang aku alami.” Indikasi di sini adalah bagaimana darah
dagingnya, keluarganya yang lebih ia sayangi ketimbang jiwanya sendiri diperlakukan
setelah kewafatannya, bukan untuk menyebutkan kesulitan yang ia alami selama masa
hidupnya. Adalah jenis penderitaan ini yang membiarkan kita mengenali para Nabi,
bukan dosa-dosa mereka!
Sekali lagi, argumen tersebut secara jelas cacat apabila kita menganalisisnya
dari perspektif teladan atau ‘model’ par excellence yang diutus kepada umat manusia.
Apabila Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (QS. al-Ahzab : 27)
Tuhan menghendaki kehidupan kita seharusnya berkisar di seputar ‘suri teladari
itu. Dari sinilah kata Sunnah kebiasaan atau tradisi Nabi berasal. Sekarang, jika model
tersebut menyimpang (semoga Allah mengampuni kita), lantas bagaimana bisa kita
memola diri kita di sekitar model yang menyimpang itu, maka kita tidak akan pernah
mampu untuk membersihkan diri kita sendiri!
Saudara Muslim lain menyatakan, “Menjadi manusia berarti menjadi pendosa,
yakni dosa merupakan suatu bagian bawaan dari kita sebagai makhluk manusia. Dia
mendapatkan kecenderungan yang sangat mengganggu di antara kaum Muslimin,
Syi’ ah dan juga Sunni, untuk menghargai Nabi Muhammad SAW nyaris sebagai suatu
spesies maksum.” Pertama-tama kami ingin menanyakan hal ini kepada saudara jika
mengetahui kaum Muslim percaya bahwa malaikat itu maksum, yakni mereka tidak
melakukan kesalahan apapun. Jika tidak, sebagian besar kekurangan di antara banyak
kekurangan, berupa validitas Quran yang disampaikan oleh Jibril yang akan
dipertanyakan secara serius, dan bahwa para malaikat yang mencatat perbuatanperbuatan
malaikat bisa menulis hal-hal secara tidak benar, dan juga malaikat kematian
mungkin mencabut nyawa orang yang salah alih-alih orang lain. Allah menyatakan
dalam Quran :
‘... malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. at-Tahrim : 6).
Jika anda juga percaya bahwa para malaikat adalah maksum, dan jika
pertanyaan anda di atas adalah benar, maka anda menganggap para malaikat itu entah
sebagai tuhan atau setengah tuhan (semoga Allah menjaga kita). Karena itu, pernyataan
anda di atas adalah galat. Kami baru saja memberi anda satu contoh makhluk maksum
yang tak lain hanyalah makhluk Tuhan. Mereka bukanlah Tuhan, ataupun’setengah
tuhan’, namun maksum adanya.
Para malaikat dirancang dan bekerja laksana komputer – komputer bebas virus
yang tidak bercacat. Mereka tidak bisa menentang perintah-perintah Allah SWT. Akan
tetapi, para Nabi bukanlah malaikat. Mereka semua adalah manusia, namun manusia
yang disucikan. Penyucian tersebut dilakukan oleh Allah SWT sebagaimana digambarkan
dalam ayat-ayat sebelumnya yang tidak menjadikan mereka suci, melainkan itu
mengangkat ke atas aras manusia biasa dipandang dari segi pencelaan dosa.
Kelebihan manusia atas malaikat adalah bahwa manusia mampu menaati Tuhan
dengan baik. Dalam madah lain, Nabi telah memilih kebaikan ataukah kesalahan, namun
ia senantiasa memilih kebaikan, dan, karenanya, ia maksum ketika ia memiliki pilihan.
Seorang manusia bisa melakukan kesalahan, namun tidak harus. Sekiranya kita
melakukan kesalahan, bukanlah karena kita harus, melainkan karena kebodohan,
kejahilan, dan kurangnya kita akan ilmu, atau yang lainnya karena kita kurang kontrol
terhadap hasrat-hasrat hewani kita. Mereka yang berkata bahwa manusia harus berbuat
kesalahan sebagai manusia, menggeneralisasi jiwa lemah mereka kepada yang lainnya.
Mereka menuruti hawa nafsu mereka, dan tidak puas melihat jika orang tidak pernah
melakukan demikian.
Berdasarkan Quran, tingkatan manusia bisa menjadi lebih tinggi ketimbang para
malaikat dan tentu saja bisa lebih rendah dari hewan. Quran menyatakan bahwa semua
malaikat bersujud kepada Nabi Adam AS. Ini cukup untuk membuktikan bahwa derajat
para Nabi lebih tinggi ketimbang para malaikat. Sesungguhnya, sebaik-baiknya manusia
(dari sudut pandang takwa) merupakan sebaik-baik makhluk, dan yang paling mulia di
hadapan Allah SWT. Ingatlah juga kisah mikraj dimana hanya Nabi Muhammad SAW
yang bisa masuk ke tempat-tempat yang ada di surga, sementara malaikat Jibril tidak bisa
terbang memasukinya. Jibril berkata kepada Nabi Muhammad SAW bahwa ia akan
terbakar seandainya ia ingin pergi lebih jauh bersama Nabi.
Pihak lain menilai di sini bahwa setan bukanlah malaikat. Ia termasuk golongan
jin (makhluk gaib). Saksi atas itu adalah Quran dimana ia menukil pernyataan setan yang
mengatakan, Engkau telah menciptakan aku dari api.
Makhluk gaib (jin) terbuat dari api, dan karena itu, mereka bukanlah ma laikat.
Jin, seperti halnya manusia, mempunyai pilihan untuk mengambil kebaikan atau
kesalahan, dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatan-perbuatan mereka
di hari kiamat.
Seorang saudara Muslim menyebutkan bahwa dalam kehidupan Nabi ada bagian
agama dan ada pula bagian non-agama. Bahaya mengimani bahwa segala sesuatu yang
Nabi lakukan adalah perintah Tuhan, menyebabkan kaum Muslim harus meniru Nabi
Muhammad SAW sampai rincian-rincian yang paling kecil sekalipun. Jika tidak, berarti
mereka tidak menaati Tuhan! Bahkan sampai kepada apa yang disukai Nabi dalam makan
dan minum, dan lain sebagainya.
Tanggapan kami adalah bahwa semua perbuatan Nabi itu merupakan laku-laku
ibadah. Termasuk makannya, tidurnya, dan yang lainnya merupakan ibadah, dan karena
itu, tidak ada bagian non-agama dalam kehidupannya. Semua yang ia lakukan
sepenuhnya selaras dengan kehendak dan perintah Allah SWT. Sesungguhnya agama
tidak terbatas pada masalah kewajiban dan keharaman. Sebagian besar perbuatan Nabi
termasuk pada kategori mustahab (yakni dianjurkan) atau mubah (yakni boleh-boleh saja
dilakukan).
Selain itu, tak seorang pun mengatakan kita dituntut untuk meniru semua
perbuatan Nabi. Jika orang makan apa yang Nabi lebih suka memakannya, itu semua
benar dan tak seorang pun bisa menyalahkannya kecuali jika ia mendakwa bahwa orang
harus makan apa yang hanya Nabi santap. Menaati Nabi Muhammad SAW berarti jika
Nabi memerintahkan untuk melakukan sesuatu atau melarang berbuat sesuatu, maka
secara agama orang dituntut untuk mengikutinya, tak peduli apakah perintah tersebut
tampaknya bukan sesuatu yang bersifat agama murni (yakni suatu khayalan palsu).
Sesungguhnya, semua perintah dan larangan dari Nabi Muhammad SAW
merupakan bagian agama. Sebenarnya inilah yang dimaksud dengan agama. IBlokan
ijtihadnya sepenuhnya sepadan dengan kehendak Allah SWT karena Allah SWT
menganugerahinya akal yang sempurna. Apapun yang masuk ke hati Nabi Muhammad
SAW merupakan titah Tuhan dan dengan demikian bagian dari agama. Lupakanlah
hadis yang diada-adakan mengenai pertanian. Tentang menyantap makanan; segala
sesuatu adalah halal, kecuali jika Nabi melarangnya secara eksplisit ataupun implisit.
Misalnya, babi telah diharamkan secara eksplisit. Demikian pula setiap produk baru
kiwari yang tidak ada pada masa Nabi namun mengandung bahan-bahan yang diekstrak
dari bahan-bahan haram, menjadi haram secara implisit. Dengan begitu, seandainya Nabi
Muhammad SAW tidak menyantap makanan tertentu, namun ia tidak melarangnya, kita
masih bisa menyantapnya, lantaran kita mengikuti perintah umumnya bahwa segala
sesuatu yang belum diharamkan adalah halal. Sama halnya apabila beliau lebih suka
makanan tertentu, namun ia tidak menyebutkannya bahwa itu wajib dimakan, maka ia
tidak menjadi wajib untuk dimakan. Jadi, pilihan Nabi terhadap suatu makanan tidak
dipandang dengan sendirinya sebagai perintah Nabi sebagai yang anda coba artikan.
Dalam agama, ada banyak perkara yang bukan wajib ataupun dilarang, dan kita memiliki
pilihan untuk melakukannya ataukah tidak. Apa yang Nabi makan mungkin dianggap
sebagai makanan yang disunahkan, dan bukan wajib kecuali jika ditentukan.
Sekaitan dengan ayat Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturunkan
kepadanya (QS. an-Najm : 3-4), seorang saudara Muslim berkata, ‘Ayat tersebut
hanyalah terbatas pada Quran. Kaum musyrikin Arab menyebut Nabi sebagai majnun,
dan mendiskreditkan wahyu-wahyu Qurani sebagai hasil perbuatan Nabi. Pengertian
ayat-ayat di atas adalah bahwa ayat-ayat Quran yang tengah Nabi sampaikan bukan
keluar dari kemauan nafsunya, melainkan sesungguhnya wahyu. Seandainya segala
sesuatu yang Nabi katakan atau lakukan adalah wahyu, lantas apakah perbedaan antara
Quran dan Hadis otentik?
Jawaban kami kepada saudara penanya ini adalah: Tidaklah ayatayat di atas
ataupun ayat-ayat yang mengitarinya menyebutkan batasan apapun dari setiap jenisnya.
Tidak ada penyebutan ‘Quran dalam ayat-ayat di atas ataupun ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya, dan karena itu, dakwaan anda tidak di dukung setidaknya dari Quran
ayat 3 surat an-Najm itu persisnya membicarakan ‘ucapan’ Nabi dan bukan dengan
sendirinya Quran. Sebab itu, aturan yang disebutkan dalam ayat di atas meliputi seluruh
ucapannya. Kaum musyrikin Arab tidak saja mengecam Nabi karena Quran. Mereka juga
mengecamnya karena pernyataan keNabiannya juga ajaran-ajaran dan gagasangagasannya.
Sekarang tentang perbedaan antara Quran dan Hadis; baik Quran maupun hadis
sahih sama-sama dari Allah. Nabi tidaklah mengatakan sesuatupun dari kemauan
nafsunya sendiri. Akan tetapi, di sini ada perbedaan antara Quran dan Hadis. Pertama,
Quran terbukti dengan baik (well-proven), tetapi tidak (bisa) dipahami dengan baik (not
well-understood). Kedua, hadis tidak (bisa) dibuktikan dengan baik (not well-proven),
namun mudah dipahami (well-understood).
Apa yang kami maksudkan dengan `Quran terbukti dengan baik’, adalah bahwa
kita tidak punya keraguan apapun perihal otentisitasnya, keasliannya, dan ia bukanlah
sesuatu yang diada-adakan.
Apa yang kami dengan `Quran tidak (bisa/mudah) dipahami dengan baik’, adalah
bahwa sebagian besar ayat-ayatnya bersifat taksa (ambiguous) dan hanya mereka yang
punya pengetahuan mendalam’ (yakni Nabi dan Ahlulbaitnya) yang telah menyentuh
kedalaman maknanya. Demikian juga Quran hanya menyebutkan kaidah-kaidah umum.
Karena alasan ini dan banyak alasan lainnya, Quran tidak bisa dipandang sebagai sumber
petunjuk. Ia menuntut seorang penafsir, dan di sinilah hadis memainkan peranannya.
Melalui hadis sahih kita bisa mendekati pemahaman Quran. Allah SWT berfirman dalam
Quran,
Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu. Dalamnya
(mengandung) ayat-ayat yang muhkamat (jelas). Itulah intisari al-Kitab
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. (QS. Ali
Imran: 7)
Apa yang kami maksudkan dengan hadis tidak (bisa) dibuktikan dengan baik
adalah bahwa karena secara pribadi belum pernah mengetahui Nabi (atau para
penerusnya), kita tidak tahu pasti apakah hadis fulan dan fulan itu sahih ataukah tidak.
Noktah penting yang mempunyai jawaban atas pertanyaan anda. Seandainya kita semasa
dengan Nabi dan telah mendengar hadis dari mulut beliau, maka hadis tersebut niscaya
mengikat kita sebagaimana halnya Quran, dan kita tidak bisa memilih Quran ketimbang
hadis itu, alih-alih kami akan mengatakan, bahwa hadis yang didengar secara pribadi
lebih dipilih ketimbang pemahaman Quran kita yang tanpurna (imperfect) lantaran
banyak ayat Quran yang sifatnya taksa (ambiguous), sementara hadis yang kita dengar
dari Nabi jelas adanya. Selain itu, ada banyak kasus dimana hadis menjabarkan
pengecualian aturan-aturan Quran yang umum, dan karenanya, ia mungkin tampak
bertolak belakang dengan Quran.
Akan tetapi, karena secara pribadi kita belum mendengar hadis dari Nabi (atau
para khalifah sejatinya), rasa-rasanya kita perlu menguji dokumentasinya (yakni rantai
para perawinya yang menyampaikan hadis tersebut) dan jumlah riwayat-riwayat yang
serupa dalam hal itu untuk menetapkan kekuatan penuh dari apa yang telah dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad SAW sejumlah persyaratan dari kesahihan hadis disebutkan
berikut:
Ia tidak berlawanan secara nyata dengan konsep-konsep yang tersusun baik dalam
Quran; ia tidak berlawanan dengan hadis-hadis sahih lain; semua periwayat hadis dalam
rantai para perawi haruslah orang yang adil dan baik, dan lain-lain. -
Namun kebanyakan kaum Sunni tidak mempertimbangkan keadilan para perawi
sebagai suatu kriteria. Mereka meriwayatkan dari siapapun yang melihat Nabi
Muhammad SAW dan menyatakan diri sebagai Muslim.
Saudara penanya itu kemudian bertanya lagi, jika ucapan Nabi merupakan
firman Tuhan yang literal, lantas mengapa ucapan-ucapan tersebut tidak dimasukkan
dalam Quran itu sendiri?
Tidak semua hadis merupakan kata-kata Tuhan yang literal. Hanya sejumlah
hadis merupakan firman Tuhan secara literal seperti Hadis Qudsi. Kendati mereka
bukanlah bagian dari Quran. Sejumlah hadis lain merupakan titah-titah Allah SWT yang
disampaikan melalui Jibril, dan karena itu, titahtitah itu merupakan firman Allah SWT
secara tak langsung. Semuanya itu mencakup tafsir-tafsir suci atas ayat-ayat Quran yang
diturunkan berbarengan dengan Quran, namun bukan bagian dari Quran itu sendiri.
Sebagian hadis sahih adalah keterangan-keterangan dan perintah-perintah yang Allah
SWT masukkan ke dalam hati Nabi secara tak langsung. Karena itu, mereka merupakan
firman Tuhan secara tak langsung. Ini termasuk ijtihadnya dan apapun yang keluar
melalui mindanya.
Dengan demikian, sebagian hadis merupakan firman Tuhan langsung secara
literal, dan sebagian lagi firman Tuhan tak langsung, dan karena itu, mereka semua
adalah wahyu ataupun ilham, dan semuanya berasal dari Allah SWT. Nabi tidak
mengatakan apapun dari dirinya. Alasan bahwa mereka (hadis-hadis) itu bukanlah bagian
dari Quran, adalah karena mereka tidak dianggap! Jawaban yang lebih baiknya adalah:
Quran merupakan data base yang diringkas yang menyediakan informasi untuk
sepanjang zaman. Hadis bersifat lebih spesifik dan memberikan lebih banyak detil dan
juga mengandung tafsiran terhadap perintah-perintah Quran yang tanpanya Quran tidak
bisa dipahami dengan benar.
Kesimpulan
Kesimpulannya, kami mengulang pertanyaan tersebut: Seandainya Allah SWT
telah mengilhamkan para Nabi dan Rasul yang ‘berdosa’ untuk memimpin manusia
menuju jalan yang benar, itu berarti Allah SWT mengakui keberdosaan para Nabi dan
Rasul! Lantas, mengapa Dia melarang dosa?
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya! (QS. al-Ahzab : 56)
Catatan Kaki:
1. Referensi Sunni: taksir al-Quran, Abul A’la Maududi, hal. 1005, di bawah
tafsir Abasa :17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore).
2. Rujukan Syi’ah: al-Mizan, Allamah Thabathaba’i (Arab), jilid 20, hal. 222-
4; al-Jawhar ats-Tsamin fi tsamin al-Kitabul Mubi"n, Sayid Abdullah
Syubbar, jilid 6, hal. 363.
3. Shahih Bukhari, Arab, jilid 1, ha1.37, 44 ,171.
4. Shahih Bukhari, Arab, jilid 3, hal. 228.
5. Shahih Bukhari, Arab, jilid 7, hal. 29; jilid 4, hal. 68.
6. Shahih Bukhari, Arab, jilid 1, hal. 123; dan jilid 1, hal.’37.
7. Lihat Shahih Bukhari, Arab, jilid 7, hal. 29.
8. Shahih Bukhari, hadis 9.306.
9. Shahih Bukltari, hadis 3.182.
10. Shahih Bukhari hadis 3.183.
11. Shahih Bukhari hadis 3.184.
12. Shahih Bukhari hadis 3.185.
13. Shahih Bukhari hadis 3.187.
14. Shahih Bukhari hadis 3.188.
15. Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi sebagaimana dikutip dalam: al-Durr
al-Mantsur, Jalaluddin Suyuthi, jilid 5, hal. 605-606, ketika mengomentari
Surah al-Ahzab ayat 33; Dala ‘il an-Nabawiyyah, Baihaqi; Karya-karya lain
seperti Thabrani, Ibnu Mardawaih, Abu Nuaim, dan lain-lain.
16. Ilai asy-Syara’i, Syaikh Shaduq, jilid 1, ha1.,123.
17. Sebagian besar di ambil dari buku Reliance of the Traveller. (LImdat as-
Salik) oleh Ahmad bin Naqib Misri (702/1302-769/13681), diterjemahkan
oleh Noah Ha Mim Keller.
18. Dua kata’tat-taquh’ dan’tuqatan’ sebagaimana yang disebutkan dalam
bahasa Qurannya, berasal dari akar kata yang sama, ‘taqiyah’.
19. Abu Bakar Razi, Ahkam al-Quran, jilid 2, hal. 10.
20. Jalaluddin Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’athur, jilid 2,
hal. 178.
21. as-Sirah al-Halabiyyalr, jilid 3, hal. 61.
22. Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya, a!-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir a!-
Ma’athur; jilid 2, hal. 176.
23. Shahih Bukhari, jilid 7, hal. 102.
24. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, jilid 7, hal. 81.
25. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, (versi bahasa Inggris), bab 1527, jilid 4,
hal. 1373, hadis 6.303.
26. Lihatlah Shahih Muslim, jilid 4, bab 1527, hadis 1.303, hal. 1373, hanya
versi bahasa Inggris Abdul Hamid Siddiqi.
27. Islam Syi’ah, Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i,
diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr, hal. 223-225.
28. Ibnu Taimiyah, Minhaj, jilid 213 dan Tafsir, Ibnu Katsir.
29. _ Ibnu Khaldun, Tarikh, jliid 2, bag. II, hat. 54 (Beirut, 1971); Ibnu Katsir, al-
Bidayah wa an-Nihayah, jilid 5, hal. 76-77 (Beirut, 1966); Ibnu Hisyam,
Sirah, jilid 4, hal. 179 (Beirut, 1975).
30. Abu Ubaid, al-Ammal, ha1.13 (Beirut, 1981); Hakim, al-Mustadrak, jilid. 1,
hal. 395 (Hiderabad, 1340 H); Ja’far Murtadha Amili, ash-Shahill fi Sirat
Nabi, jilid. 3, ha1. 309 (Qum, 1983).
31. Shahih Bukhari, hadis 4.327, jilid 4, hal. 212-213 (Beirut); Abu Ubaid, al-
Anzwal, hal. 12 (Beirut, 1981).
32. Shahih Bukhari, jilid 4, hal. 44.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...