Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 06 Juli 2011

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan --- Kaidah Basithatul Haqiqah [14] Bag. II

Bagian Terakhir


Penegasan Ke-basîth-an Wâjib al-Wujûd


Apakah hakikat Wâjib al-Wujûd[1] adalah basîth? Bagaimana hubungan antara ke-basîth-an dan wujud?

Mulla Shadra, dalam jilid pertama kitab Asfar, menguraikan pembahasan yang cukup mendetail tentang penetapan ke-basîth-an hakikat wujud. Menurutnya, jika hakikat wujud tidak basîth, yakni terangkap dari genus (jins) dan diferensia (fashl), maka genusnya adalah wujud atau sesuatu non-wujud, sementara tidak ada sesuatu selain wujud. Karena kedua premis tersebut adalah batil maka asumsipun menjadi salah. Dan sebagai konklusi, hakikat wujud adalah suatu hakikat yang basîth dan tak berangkap.

Dengan membuktikan bahwa hakikat wujud adalah basîth dan tak terangkap dari genus dan diferensia, maka asumsi rangkapan hakikat wujud dari materi dan forma serta seluruh hukum kuiditas, seperti hukum-hukum yang berhubungan dengan kuantitas dan kualitas, dengan sendirinya menjadi ternafikan; yakni wujud tidak memiliki bagian-bagian kuantitas seperti seperdua dan sepertiga; sebab sesuatu yang menerima pembagian maka ia adalah kuantitas dan setiap sesuatu yang kuantitas mesti memiliki genus dan diferensia, dan sesuatu yang mempunyai genus dan diferensia niscaya tergolong kuiditas. Jika ada sesuatu yang tidak memiliki kuiditas (mahiyah), maka sebagaimana ia tidak memiliki bagian-bagian di alam pikiran dan di alam eksternal, ia juga tidak akan memiliki bagian-bagian kuantitas. Dengan demikian, karena wujud tidak memiliki genus dan diferensia, maka wujud tidak mempunyai batasan dan definisi. Wujud tidak bisa didefinisikan.[2]


Ke-basîth-an, merupakan kesempurnaan wujud. Sebagaimana wujud itu sendiri bergradasi (tasykîk), maka derajat paling tinggi adalah wujud yang paling sempurna, dan wujud yang paling sempurna ini hanya mempunyai satu individu, yaitu Wâjib al-Wujûd yang merupakan hakikat basîth dengan seluruh pengertian.

Kaidah basîth al-hakikah secara mendasar diaplikasikan terhadap dzat Tuhan dan penjelasan atas ilmu-Nya. Mulla Shadra sebelum menjelaskan kandungan kaidah ini secara argumentatif, ia terlebih dahulu mengkonstruksi argumen pembuktian ke-basîth-an hakikat Wâjib al-Wujûd dari berbagai sisi. Ia membawakan dalil-dalil yang cukup untuk menegasikan setiap bentuk komposisi pada dzat Tuhan, baik komposisi rasional (di alam pikiran) dan eksternal, maupun komposisi batasan dan kuantitas. Selanjutnya ia juga berupaya mengkonstruksi argumen untuk menafikan Tuhan dari komposisi kekurangan dan kepemilikan (negasi dan afirmasi).[3]

Kendatipun filosof sebelumnya, baik dari maktab Peripatetik maupun Iluminasi, semua sepakat dan berargumen tentang ketunggalan dan ke-basîth-an dzat Tuhan, tetapi untuk menjauhi pembahasan yang panjang dalam tulisan ini, maka kami hanya memuat argumen dan pandangan Mulla Shadra tentangnya. Argumen-argumennya akan mengungkap secara gamblang dan jelas tentang ke-basîth-an hakikat dzat Tuhan, argumennya akan menjadi premis minor dalam proposisi yang menetapkan kaidah basîth al-hakikah.

Setelah membahas dan membuktikan eksistensi dzat Wâjib al-Wujûd dan ketauhidan dzsat-Nya, kemudian meneliti tentang ke-basîth-an dan ketunggalan dzat-Nya serta menegasikan setiap bentuk multiplisitas dzat-Nya. Menurut perspektif filsafat Mulla Shadra, multiplisitas mempunyai dua makna:

1. Multiplisitas internal, yakni multiplisitas dalam dzat, dan keniscayaan multiplisitas ini adalah hadirnya komposisi dalam dzat.

2. Multplisitas eksternal, dan keniscayaannya adalah kejamakan dzat.

Adapun yang menjadi tinjauan kita di sini adalah penegasian multiplisitas internal, yakni penegasian berbagai macam komposisi dalam dzat.


Shadru al-Mutaallihin menjelaskan secara sistematis argumen-argumen yang berhubungan dengan hal tersebut sebagai berikut:


1. Argumen Pertama

Jika dzat Wâjib al-Wujûd memiliki bagian, maka keberadaan bagian itu mesti mendahului dzat-Nya dan juga keberadaan dan keaktualan dzat Wâjib al-Wujûd mesti bergantung pada bagian-bagian-Nya; karena keterdahuluan keberadaan suatu bagian atas keseluruhan adalah badihi dan swa-bukti, karena keseluruhan itu, dalam keberwujudan dan keaktualannya, niscaya bergantung pada bagian-bagiannya. Dengan demikian, kebergantungan eksistensi Wâjib al-Wujûd atas bagian-bagian tersebut adalah mustahil, karena hanya maujud-maujud kontingen (mumkin al-wujûd) yang secara esensial membutuhkan bagian-bagian dimana dengan mengaktualnya bagian-bagian itu, merekapun menjadi aktual.

Di akhir burhan ini Mulla Shadra mengingatkan bahwa argumen ini tidak cukup untuk menegasikan bagian-bagian kuantitas, karena bagian-bagian kuantitas itu hanyalah bersifat potensi dan bukan bersifat aktual, dan menisbahkan bagian-bagian pada kuantitas tidak lain adalah suatu bentuk kompromi.[4]


2. Argumen Kedua

Jika dzat Wâjib al-Wujûd terkomposisi dari bagian-bagian, maka hal itu tidak lepas dari tiga kondisi dan asumsi:

1. Seluruh bagian-bagian itu adalah Wâjib al-Wujûd;

2. Sebagian dari bagian-bagian itu adalah Wâjib al-Wujûd dan sebagian yang lain adalah mumkin al-wujûd;

3. Seluruh bagian-bagian itu adalah mumkin al-wujûd.

Mulla Shadra membatalkan semua asumsi di atas dengan cara menafikan dan menolak konsekuensi logis dari proposisi yang dibangun dari tiga asumsi tersebut. Adapun penegasian dan penolakan ketiga asumsi di atas adalah sebagai berikut:

Asumsi pertama adalah batil dan mustahil, karena apabila seluruh bagian-bagian pembentuk dzat-Nya adalah Wâjib al-Wujûd, maka hal ini menyalahi kaidah bahwa hanya ada satu maujud yang tunggal secara hakiki, karena kesatuan identik dengan wujud dan wujud ekuivalen dengan ketunggalan, tiada wujud lain selain wujud itu sendiri, wujud itu hanya tunggal dan satu. Jika untuk "kesatuan hakiki" diasumsikan bagian-bagian padanya, mesti di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan kebutuhan esensial satu sama lain; karena keberangkapan satu individu hakiki mustahil lahir dari bagian-bagian yang saling berlawanan dan tidak membutuhkan satu sama lain. Sebagai konklusi, jika hakikat Wâjib al-Wujûd terangkap dari dua Wâjib al-Wujûd, maka di antara kedua wujud tersebut mesti terdapat saling membutuhkan, saling bergantung, dan saling berhubungan, dan semua kemestian ini bagi dzat Wâjib al-Wujûd adalah mustahil; karena pada satu sisi masing-masing dari kedua bagian dzat itu adalah Wâjib al-Wujûd[5] dan pada sisi yang lain adalah mumkin al-wujûd[6], dan ini adalah kontradiksi yang nyata.

Dengan kata lain, jika semua bagian pembentuk Wâjib al-Wujûd adalah Wâjib al-Wujûd maka di antara dua bagian pembentuk itu akan terjadi hubungan yang bersifat mungkin (imkan bil-qiyâs, possibility in relation) dan hal ini mencegah bagian-bagian tersebut menjadi bagian-bagian hakiki dari satu komposisi hakiki.

Adapun asumsi kedua adalah mustahil, karena jika sebagian dari bagian-bagian itu adalah Wâjib al-Wujûd dan sebagian lainnya adalah mumkin al-wujûd, maka meniscayakan Wâjib al-Wujûd membutuhkan mumkin al-wujûd, dan hal ini tidak sesuai dengan hakikat Wâjib al-Wujûd.

Sementara asumsi ketiga adalah juga mustahil, karena bagaimana mungkin Wâjib al-Wujûd terwujud dari bagian-bagian yang mumkin al-wujûd.[7]

Dengan mustahilnya ketiga bentuk asumsi tersebut, maka secara logikal proposisi itu pun menjadi batil, dan sebagai konklusi dzat Wâjib al-Wujûd tidak terangkap dari bagian-bagian.


3. Argumen Ketiga

Dalam pembahasan yang berhubungan dengan pembuktian Wâjib al-Wujûd, telah disuguhkan argumen bahwa hakikat Wâjib al- Wujûd adalah eksistensi murni. Dari tinjauan ini, maka Dia tidak memiliki mahiyah dan tidak dapat dikonsepsi batasan bagi Wâjib al-Wujûd. Oleh karena itu, Dia tidak memiliki bagian-bagian batasan, rasional (genus dan diferensia), dan eksternal (materi dan forma), karena materi itu tidak lain adalah genus[8] dan forma juga tidak lain adalah diferensia[9]. Mulla Shadra dalam hal ini berkata, "Wâjib al-Wujûd tidak mempunyai bagian-bagian rasional dan sesuatu yang ternegasikan dari bagian-bagian ini, mesti juga ternegasikan dari bagian-bagian eksternal; karena setiap sesuatu yang basîth pada tataran alam pikiran, niscaya juga basîth di alam eksternal, tapi tidak sebaliknya."[10]

Selanjutnya untuk menegasikan bagian-bagian rasional dari Tuhan, maka dalilnya adalah jika dzat Tuhan memilki genus dan diferensia, maka genus dalam keberwujudan dan keaktualannya mesti membutuhkan diferensia. Jika demikian, apakah genus tersebut adalah wujud murni ataukah suatu mahiyah. Kalau genus adalah wujud murni, maka ia tidak memerlukan lagi diferensia sebagai pemberi wujud, karena wujud murni identik dengan keberwujudan dan keaktualan itu sendiri. Sedangkan apabila genus adalah mahiyah, maka niscaya Wâjib al-Wujûd memiliki mahiyah, padahal Wâjib al-Wujûd secara esensial adalah identik dengan wujud dan tidak mempunyai mahiyah.[11]

Ketiga argumen di atas, tidak cukup menafikan bagian-bagian kuantitas dari dzat Wâjib al-Wujûd. Maka dari itu, Mulla Shadra mengkonstruksi dua dalil lain untuk menafikan bagian-bagian kuantitas dari dzat-Nya. Ringkasan kedua argumen Mulla Sadra adalah jika dalam dzat Wâjib al-Wujûd terdapat bagian kuantitas –sebagaimana keyakinan kaum antrophormisme (memandang Tuhan memiliki bentuk) - maka apakah bagian tersebut adalah mumkin al-wujûd, jika demikian maka menyalahi hakikat Wâjib al-Wujûd, dan ini adalah mustahil. Ataukah bagian tersebut adalah juga Wâjib al-Wujûd, kalau demikian maka meniscayakan bahwa Wâjib al-Wujûd secara esensial tidak aktual dan tidak maujud, tetapi maujud secara potensial; karena bagian-bagian kuantitas adalah bersifat potensial dan tidak aktual, maka hal inipun menjadi mustahil.

Karena kedua asumsi tersebut adalah batal, maka semua bangunan argumentasi juga batal. Dengan demikian, dzat Tuhan suci dari bagian-bagian kuantitas dan bagian-bagian yang bersifat potensial.[12]

Basîth hakiki juga tidak memiliki bagian-bagian analitik, yakni tidak terkomposisi dari wujud dan mahiyah. Para filosof Islam mengkonstruksi argumen-argumen yang menegasikan mahiyah dari dzat Tuhan dan membuktikan kemurnian dan kesejatian wujud-Nya. Ibnu Sina, dalam kitab Ilâhiyâh as-Syifâ, mengemukakan dua burhan untuk menafikan mahiyah dari dzat Tuhan, salah satu burhannya dalam bentuk sebagai berikut:

Mukadimah pertama: Jika Wâjib al-Wujûd memiliki mahiyah, maka wujud-Nya mesti bersifat aksiden atas mahiyah-Nya, karena wujud adalah identik dengan keniscayaan mengada dan mahiyah adalah bukan keniscayaan mengada, disamping itu sesuatu yang aksiden niscaya membutuhkan sebab.

Mukadimah kedua: Apakah sebab (pemberi wujud) adalah dzat-Nya itu sendiri ataukah di luar dzat-Nya. Jika sebab itu di luar dzat-Nya, maka dzat-Nya adalah bukan Wâjib al-Wujûd, tetapi mumkin al- wujûd, dengan demikian dia bukanlah Wâjib al-Wujûd hakiki, oleh karena itu adalah mustahil. Adapun jika sebab itu adalah mahiyah dari dzat-Nya sendiri, yakni mahiyah ingin memberikan wujud pada diri-Nya sendiri, maka mahiyah harus terwujud sebelum wujud itu sendiri. Karena keberadaan mahiyah sebelum dan sesudahnya adalah sama, dan pada saat yang sama ia mesti memberikan wujud pada selainnya, maka kondisi ini meniscayakan keterdahuluan wujud sesuatu atas dirinya sendiri (taqaddum as-syai 'alâ nafsihî).

Jika dikatakan bahwa mahiyah, sebelum dan sesudah mengada, mewujudkan selain wujud pertama, maka apabila kita terus mengkaji wujud lainnya, wujud ini juga bersifat aksiden atas mahiyah dan merupakan akibat mahiyah. Pada wujud lain ini, kita kembali bertanya: Apa sebab wujud ini? Apakah mahiyah ataukah bukan? Selain mahiyah adalah mustahil, tapi kalau mahiyah adalah sebab wujud ini, maka mesti sebelum wujud ini, terdapat wujud yang lain. Rangkaian pertanyaan-pertanyaan ini akan terus berlangsung tan-batas, dan hal ini adalah mustahil karena meniscayakan tasalsul[13]. Dengan demikian, terbukti bahwa dzat Wâjib al-Wujûd tidak memiliki mahiyah. Setelah Ibnu Sina mengkonstruksi dua burhan yang menafikan mahiyah dari dzat Wâjib al-Wujûd, ia berkata, "Maka dari itu, Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Tinggi tidak mempunyai mahiyah. Dia adalah wujud murni dan mujarrad."[14]

Mulla Shadra, dalam kitab Asfar jilid ketujuh, mengungkapkan argumen atas masalah ini, argumennya mirip dengan burhan Syaikh Isyrâq Suhrawardi. Berikut ini penjelasan burhan Mulla Shadra: Jika dalam Wâjib al-Wujûd, wujud bersifat aksiden atas mahiyah, maka mahiyah ini mesti berada dalam salah satu kategori mahiyah dan secara determinan berada di bawah kategori substansi, bukan berada di bawah kategori-kategori aksiden. Karena esensi keberadaan kategori-kategori aksiden bergantung kepada selainnya, maka mustahil Tuhan memiliki mahiyah. Apabila mahiyah ini dikategorikan sebagai substansi, maka ia adalah genus, dan sebagai genus ia berada dalam spesis-spesis yang beragam (yakni semua spesis yang beragam itu memiliki genus yang sama). Supaya mahiyah ini berspesis tersendiri, maka mesti membutuhkan diferensia (karena diferensia sebagai pembeda spesis-spesis), dengan demikian mahiyah ini memerlukan sesuatu yang dapat menjadikannya berbeda dengan yang lain (partikular).

Demikian juga spesis-spesis substansial membutuhkan pembeda untuk membedakannya dengan yang lain. Ketika spesis-spesis yang berada di bawah satu genus itu memiliki sifat butuh dan imkan, maka genus itupun memiliki sifat ini; karena jika sifat imkan ini tidak dimiliki genus, maka niscaya sifat ini juga tidak dimiliki spesis-spesis yang berada di bawahnya. Dari sisi ini, maka tak satupun dari spesis-spesis di bawahnya adalah mumkin al-wujûd (wujud kontingen); sebagai contoh, sifat kebatuan tidak dimiliki genus hewan, maka spesis-spesis di bawahnya seperti manusia, kerbau, harimau, buaya dan kambing juga juga tidak memilikinya. Oleh karena itu, secara universal apa yang tidak terdapat pada genus – yang bagi dzatnya adalah esensial dan bukan bersifat aksiden - maka juga tidak terdapat pada spesis-spesis yang berada di bawahnya.

Dengan memperhatikan kaidah itu, jika Wâjib al-Wujûd -ditinjau dari mahiyah-Nya - termasuk kategori substansi (sebagai salah satu dari spesis-spesis kategori ini dimana Dia adalah induk semua genus), dan karena kategori ini adalah genus yang mempunyai sifat imkan dan butuh, maka Wâjib al-Wujûd yang merupakan genus niscaya mempunyai sifat butuh dan imkan (kontingen). Dengan demikian, Wâjib al-Wujûd ini pada hakikatnya adalah bukan Wajib al-Wujûd, tetapi adalah mumkin al-wujûd, dan ini adalah kemustahilan yang nyata.

Setelah jelas bahwa keberadaan Wâjib al-Wujûd di bawah suatu kategori adalah mustahil, maka disimpulkan bahwa Wâjib al-Wujûd mustahil mempunyai mahiyah, Dia adalah wujud murni dan sejati serta suci dari berbagai sifat imkan dan butuh.[15]

Oleh karena itu, dengan memperhatikan dalil dan argumen yang telah disebutkan, dzat Wajib al-Wujud suci dari spesis-spesis komposisi, hatta komposisi dari wujud dan mahiyah. Dengan demikian basîth hakiki dan wujud murni, tidak akan tersentuh sedikitpun suatu bentuk multiplisitas esensi.


Pembuktian Kaidah Basîth Al-Hakikah


Argumen Pertama

Argumen pertama yang diungkapkan Mulla Shadra adalah menetapkan bahwa hanya Wâjib al-Wujûd yang merupakan individu basîth al-hakikah kullu al-asyyâ, "Tuhan dari seluruh aspek adalah basîth al-hakikah dan tunggal. Setiap basîth al-hakikah merupakan segala sesuatu yang meliputi wujud dan kesempurnaannya, kecuali yang berhubungan dengan dimensi kekurangan dan ketiadaan. Maka dari itu, Tuhan adalah meliputi segala sesuatu yang berwujud, sebagaimana segala wujud adalah Dia (Dia adalah wujud itu sendiri).”[16]

Karena Tuhan dalam realitas ke-basîth-an merupakan seluruh wujud, maka segala kesempurnaan-kesempurnaan sesuatu ada pada-Nya dan dari sisi wujud dan ilmu-Nya meliputi totalitas eksistensi.

Sebelum mengobservasi burhan Mulla Sadra ini, ada baiknya kami ungkapkan penjelasan Hakim Sabzewari mengenai kaidah basîth al-hakikah, menurutnya, kandungan kaidah ini tidak lain adalah kejamakan dalam ketunggalan (multiplisitas dalam unitas); yakni suatu tingkatan wujud yang pada hakikatnya adalah tunggal, basîth, meliputi seluruh wujud, dan mencakup seluruh kesempurnaan maujud. Kandungan kaidah basîth al-hakikah tidak berkenaan dengan “ketunggalan dalam kejamakan”, sebagaimana sebagian mereka menyangka demikian ini dan melontarkan kritikan bahwa kaidah basîth al-hakikah akan meniscayakan bahwa batu, kayu, manusia dan segala sesuatu adalah Wâjib al-Wujûd. Mereka telah terperangkap dengan imajinasi yang terbalik dari kaidah ini dan memandang bahwa segala sesuatu adalah basîth al-hakikah. Mereka tidak memperhatikan bahwa basîth al-hakikah adalah segala sesuatu pada dataran ilmu hudhuri 'inâî (foreknowledge) dimana hanya berlaku pada dzat ahadiyah; adapun ketunggalan dalam kejamakan berada pada alam penciptaan (faidh muqaddas) dimana rahmat Tuhan meliputi segala sesuatu (makhluk-Nya).[17]

Sekarang kita meninjau dan mengkaji premis minor dan premis mayor dari argumen Mulla Shadra:

Penjelasan premis minor: Pada mukadimah (premis) pertama diungkapkan ke-basîth-an dzat Tuhan itu sendiri, dimana sebelumnya telah dijelaskan dan dibuktikan bahwa Wâjib al-Wujûd adalah suci dari segala bentuk komposisi dan rangkapan, karena itu Dia adalah basîth al-hakikah.

Penjelasan premis mayor: Mulla Shadra untuk menetapkan premis (mukadimah) mayor menyatakan bahwa jika basîth al-hakikah bukan segala sesuatu, maka niscaya dzatnya terkomposisi dan terangkap dari wujud dan ketiadaan, sedangkan asumsi kita bahwa Dia adalah basîth, dan keterangkapan dzat-Nya adalah menyalahi asumsi. Dengan ungkapan lain, jika basîth al-hakikah bukan segala sesuatu, maka mesti terangkap. Mulla Shadra dalam membuktikan klaim ini, menjelaskan bahwa jika basîth al-hakikah bukan segala sesuatu, tetapi hanya meliputi sebagian sesuatu, maka dzat-Nya terdiri dari dua sisi: satu sisi memiliki sesuatu dan sisi lain tidak memiliki sesuatu. Misalnya, jika basîth al-hakikah adalah A dan bukan B, maka Dia memiliki dua sisi: sisi ke-A-an dan sisi ketak-B-an. Sisi pertama tidak identik dengan sisi kedua; karena kalau tidak demikian, maka komprehensi dan pemahaman ke-A-an dengan komprehensi ketak-B-an adalah sama, dan hal ini adalah mustahil; maka dari itu, dua komprehensi ini adalah berbeda, dan menyatunya ada dan tiada adalah suatu hal yang mustahil. Sesuatu yang sisinya adalah tunggal, mustahil menjadi sumber dua komprehensi ada dan tiada; karena ada dan tiada merupakan kontradiksi satu sama lain dan dari sudut logikal, dua perkara yang berkontradiksi mustahil dibenarkan dari satu sisi terhadap sisi yang lain.[18]

Oleh karena itu, dari segi keniscayaan bahwa basîth al-hakikah adalah A dan bukan B, maka secara rasional adalah mustahil terangkapnya basîth al-hakikah dari dua sisi yang berbeda dan menyatunya dua sisi wujud dan ketiadaan. Yakni basîth al-hakikah mustahil hanya A dan bukan B, maka dari itu terbuktilah bahwa basîth al-hakikah adalah segala sesuatu.


Argumen Kedua

Mulla Shadra mengutarakan argumen lain dalam menetapkan kaidah basîth al-hakikah dengan menggunakan istilah mutlak dan bersyarat, istilah ini masyhur dikalangan para sufi Islam. Sedangkan dua kata ini dalam pandangan filosof, hanya digunakan dalam komprehensi-komprehensi mental, sementara para sufi mengaplikasikannya pada maujud-maujud eksternal. Menurut para sufi, wujud mutlak adalah suatu wujud yang tidak dibatasi oleh sesuatu tertentu dan tidak pula dibatasi dengan suatu batasan khusus; seperti manusia di alam luar – bukan komprehensi rasional dan mentalnya - dan yang dimaksud batasan di sini tidak lain adalah ketaksempurnaan itu sendiri. Maka dari itu, wujud mutlak adalah hakikat luar yang tidak terbatas, sedangkan wujud bersyarat (muqayyad) adalah hakikat luar yang terbatas dan tak sempurna.

Berdasarkan definisi di atas, wujud mutlak mesti merupakan wujud yang paling basîth dan meliputi segala sesuatu; karena jika wujud ini tidak mencakup seluruh gradasi-gradasi wujud, maka ia bukanlah wujud mutlak, tapi wujud bersyarat. Dengan demikian, wujud mutlak adalah segala sesuatu. Rahasia wujud mutlak yang meliputi segala sesuatu adalah karena wujud mutlak tidak memiliki sedikitpun kekurangan dan keterbatasan. Dia merupakan Sebab Pertama dan Sumber segala kesempurnaan bagi wujud bersyarat. Dan Sumber kesempurnaan lebih utama daripada efek-efek kesempurnaanya; karena pemberi kesempurnaan mesti memiliki kesempurnaan itu. Dengan menyatukan semua proposisi tersebut (yakni Wujud Mutlak sebagai Sebab pertama, Pelaku dan Sumber keberadaan dan kesempurnaan bagi wujud bersyarat, dan Sumber wujud dan kesempurnaannya lebih utama daripada efek-efeknya) bisa disimpulkan bahwa setiap Pelaku dan Sebab Pertama merupakan sumber emanasi seluruh kesempurnaan dan kebaikan, dan Dia memiliki kesempurnaan dan kebaikan itu dalam bentuk yang lebih tinggi dan lebih utama. Wujud Mutlak merupakan Sumber eksistensi dan kesempurnaan seluruh wujud bersyarat, oleh karena itu, Dia mesti meliputi segala sesuatu, Dia adalah segala sesuatu; yakni semua kesempurnaan dan kebaikan wujud-wujud bersyarat terdapat pada tingkatan dzat-Nya dalam bentuk basîth, tak terbatas, lebih utama, dan lebih tinggi.[19]

Argumen ini didasarkan bahwa Wujud Mutlak merupakan Sebab bagi wujud bersyarat dan memiliki seluruh kesempurnaan yang ada pada akibat-akibat-Nya.

Dengan menyimak burhan di atas, maka menjadi jelaslah hubungan antara Wujud Mutlak dan wujud-wujud bersyarat, bahwa Wâjib al-Wujûd merupakan hakikat wujud, ًًًًًwujud mutlak, paling sempurna, dan berada pada tingkatan wujud paling tinggi. Oleh karena itu, Dia tak terbatas dan meliputi seluruh tingkatan wujud bersyarat. Bentuk cakupan Wujud Mutlak terhadap wujud-wujud bersyarat adalah cakupan pada hakikat wujud-wujud mereka (yakni meliputi kesempurnaan wujud-wujudnya dan bukan kesempurnaan mahiyahnya), bukan meliputi batasan-batasan dan kekurangan-kekurangan mereka; karena semua batasan dan kekurangan itu tidak tergolong dalam hakikat kesempurnaan wujud. Pada hakikatnya, yang membentuk dan berhubungan dengan wujud-wujud bersyarat adalah asli wujud (dengan tidak memandang batasan dan kekurangannya). Maka dari itu, wujud mutlak dalam dimensi ke-basîth-an adalah segala sesuatu, dan wujud-wujud bersyarat merupakan bayangan dari hakikat wujud mutlak.

Perlu diungkapkan bahwa penjelasan Mulla Shadra tentang kaidah basîth al-hakikah mempunyai dua bentuk: pertama, basîth al-hakikah memiliki seluruh kesempurnaan maujud-maujud dan suci dari segala kekurangan mereka. Sebenarnya penjelasan ini, lebih sesuai dengan teori gradasi wujud yang merupakan salah satu teori filsafat Mulla Shadra. Kedua, basîth al-hakikah (Wâjib al-Wujûd) memiliki seluruh kesempurnaan, dengan makna bahwa di luar Wâjib al-Wujûd tak ada maujud-maujud dan bahwa setiap kesempurnaan hanya berhubungan dengan-Nya. Ini tidak bermakna bahwa Dia juga memiliki setiap kesempurnaan yang ada pada selain-Nya, tetapi bermakna bahwa Dia satu-satunya pemilik seluruh kebaikan dan kesempurnaan. Penjabaran Mulla Shadra mengenai basîth al-hakikah pada pembahasan ‘illiyyah dan ma'luliyyah (sebab-akibat) dalam jilid kedua Asfar, lebih sesuai dengan penjelasan kedua basîth al-hakikah ini, yang mana meniscayakan kesatuan wujud individual (wahdah al-wujud asy-syakhshiah). Dia menyatakan bahwa Wâjib al-Wujûd adalah dzat yang bersifat individual dan meliputi seluruh hakikat, tak ada sesuatupun yang keluar dari hakikat-Nya. Ayatullah Jawadi Amuli, dalam mengomentari ungkapan Mulla Shadra, menjelaskan, “penegasan Mulla Sadra ini tentang keindividualan dzat-Nya dan hakikat Wâjib al-Wujûd bersifat menyeluruh. Dan makna bahwa tak ada sesuatupun keluar dari hakikat Tuhan adalah menegaskan bahwa tidak ada wujud kecuali Tuhan, sebagaimana pandangan kesatuan wujud (wahdah al-wujud).[20]


Catatan Kaki:

[1] . Yang dimaksud hakikat Wâjib al-Wujûd di sini adalah bukan sesuatu yang berkuiditas, karena, sebagaimana yang akan dibuktikan, Wâjib al-Wujûd tidak mempunyai kuiditas (mahiyah).

[2] . Abdullah, Jawady Amuly, Rahîq Makhtûm, jld. 1, hal. 378.

[3] . Shadruddin Syirâzi, al-Asfar, jld. 6, hal. 100.

[4] . Shadruddin Syirâzi, al-Asfar, jld. 6, hal. 100 dan 101.

[5] . Keduanya adalah Wâjib al-Wujûd karena berpijak pada asumsi.

[6] . Keduanya adalah mumkin al-wujud karena keduanya saling bergantung dan membutuhkan.

[7] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 102.

[8] . Materi ketika berada di alam pikiran disebut sebagai genus.

[9] . Forma ketika berada di alam pikiran disebut diferensia.

[10] . Ibid. Hal. 103.

[11] . Mulla Shadra, al-Asfar, jld. 6, hal. 103, Ibnu Sina, Najât, hal. 227 dan 228.

[12] . Ali, Syirwâni, Tarjemeh wa Syarheh Bidâyah Al-Hikmah, jld. 4, hal. 54.

[13] . Penjelasan dan dalil tasalsul ini telah dijelaskan dalam makalah kami yang berjudul: Argumen Imkân dan Wujûb.

[14] . Ibnu Sina, Ilâhiyyât As-Syifâ, hal. 370-380.

[15] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 56 dan 57.

[16] . Mulla Sadra, al-Asfar, jld. 6, hal. 11.

[17] . Mulla Sadra, al-Asfar, jld. 6, hal. 110, catatan kaki no. 2.

[18] Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 111-112.

[19] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 116.

[20] . Javâdi Omuly, Rahîq Makhtûm, jld.2, bagian kelima, hal. 336-337.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...