Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 06 Juli 2011

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan --- Argumen Mukjizat [8] Bag. I

Bagian Pertama

Mukaddimah

Mukjizat dan peristiwa-peristiwa aneh dan ajaib yang terjadi karena pengaruh doa seorang hamba, pertolongan-pertolongan gaib yang terkadang muncul dalam kehidupan pribadi seseorang, seperti penyembuhan penyakit, kejadian-kejadian di luar kendali dan tak terduga yang berujung pada penyelesaian problematika sosial atau lintasan suatu ide dan pikiran cemerlang yang secara otomatis memecahkan persoalan-persoalan rumit ilmiah, semua perkara tersebut oleh sebagian teolog Kristen barat dijadikan pendahuluan dan dasar untuk menegaskan eksistensi Tuhan.

Argumentasi yang menggunakan pendahuluan seperti itu disebut argumen mukjizat. Sebelum kami menjabarkan argumen secara terperinci, di bawah ini akan kami jelaskan tentang definisi mukjizat, probabilitas mukjizat dan kemustahilan penjelasannya berdasarkan sebab-sebab materi.


Pengertian Mukjizat

Mukjizat dipahamai secara umum sebagai suatu kejadian dan peristiwa yang luar biasa, di luar kekuatan manusia, di luar tatanan dan sistem alam semesta, berlawanan dengan prinsip kausalitas dan bersifat metafisikal dan supranatural.[1] Tapi dalam pandangan agama Islam dan Kristen, mukjizat didefinisikan sebagai suatu peristiwa teratur yang bersifat supranatural, yang disebabkan oleh faktor Ilahi, terwujud di alam dan mengandung pesan-pesan suci agama, serta peristiwa tersebut seakan-akan bertolak belakang dengan prinsip kausalitas (sebab-akibat). Dengan ungkapan lain, mukjizat adalah sejenis campur tangan Tuhan secara langsung di alam semesta yang berada di luar tatanan dan sistem alam dimana bertujuan untuk menampakkan suatu hakikat dan kebenaran. Berkaitan dengan hal ini, akan muncul pertanyaan bahwa apa faktor-faktor yang mesti dimiliki sehingga suatu kejadian dapat dikatakan sebagai perbuatan langsung Tuhan, sesuatu yang membawa pesan-pesan suci agama dan bersifat supranatural? Sebenarnya definisi-definisi di atas secara implisit mengandung faktor-faktor tersebut. Tapi untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan kami jelaskan secara terperinci dari ungkapan-ungkapan utama yang terkandung dan menjadi substansi perdebatan dalam definisi-definisi tersebut:




1. Bertentangan dengan tatanan dan sistem alam

Thomas Aquinas menyebut mukjizat itu sebagai suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh faktor-faktor Ilahi. Ia beranggapan bahwa di alam semesta ini terdapat dua bentuk keteraturan yang berjenjang dan bertingkat, antara lain: Pertama, keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda tersebut. Thomas Aquinas lebih lanjut berkata bahwa Tuhan meletakkan keteraturan yang bersifat kausalitas tersebut pada semua benda di alam; jika tidak ada faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada benda-benda tersebut maka benda-benda tersebut berjalan di atas keteraturan esensial dan alaminya masing-masing. Tetapi keteraturan esensial tersebut bukan menjadi penghalang akan campur tangan Tuhan, karena keteraturan alami tersebut juga mengikuti kehendak dan irâdah Tuhan dan Dia pulalah yang meletakkan suatu potensi dalam hakikat benda-benda tersebut sehingga dengan perantaraan potensi tersebut segala kehendak Tuhan dapat terimplementasi walaupun kehendak-Nya "bertentangan" dengan keteraturan alami benda-benda. Pandangan Thomas tersebut bukan berarti bahwa kejadian (baca: mukjizat) itu telah keluar dari keteraturan, karena ia juga berpendapat adanya sebuah keteraturan di atas keteraturan alami yang ia sebut sebagai keteraturan mutlak Tuhan (baca: keteraturan kedua) dimana berasal dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat "bertentangan" dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak bertolak belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak Tuhan.[2]


2. Perubahan hukum alam

Gagasan ini lahir di abad ke 17 M dimana perilaku benda-benda tidak didasarkan pada kecenderungan dan watak alami mereka tapi berpijak pada aturan-aturan alam. David Hume, dengan berpijak pada teori tersebut, berkata, "Mukjizat adalah sesuatu yang merubah dan merombak aturan-aturan alam … dan dapat didefinisikan sebagai berikut: Sesuatu yang bertolak belakang dengan hukum-hukum alam dengan kehendak khusus atau pengaruh dari faktor yang tersembunyi".[3] Pada kondisi ini terdapat beberapa soal yang mesti diterangkan: Pertama, apa pengertian hukum alam? Kedua, apa yang kita maksud dengan perubahan dan pembalikan hukum alam? Dan ketiga, dimana letak perbedaan penafsiran antara David Hume dan Thomas Aquinas?

Yang dimaksud dengan hukum alam adalah penjelasan-penjelasan universal yang memuat kondisi dan syarat tertentu yang berkaitan dengan kejadian yang mesti, pasti berlaku dan sesuatu yang mustahil tidak terjadi. Hukum dan aturan universal tersebut dijabarkan dalam bentuk seperti X mesti menjadi Y atau X yang mencipta Y. Bentuk penjabaran aturan tersebut dimulai dari abad 18 hingga awal abad 20 dan segala sesuatu dihukumi berdasarkan aturan tersebut. Realitas yang terjadi di dunia mengikuti secara pasti hukum-hukum alam yang mereka sebut dengan "kemestian hukum-hukum fisika". Tetapi dengan hadirnya teori Kuantum pada abad 20 M, sebagian ahli berkeyakinan bahwa hukum-hukum yang mendasari kejadian alam atau sebagian dari hukum-hukum tersebut bersifat tak pasti, maka dari itu kondisi dan syarat dalam hukum alam yang dikatakan pasti tersebut lantas berubah menjadi sesuatu yang bersifat mungkin, jadi kandungan hukum alam memuat berbagai aturan yang mungkin terjadi dan mungkin tak terjadi.[4]

Pengertian tentang "perubahan dan pembalikan hukum alam" dijelaskan dengan baik oleh Richard Swinburne. Pertama-tama ia memperkenalkan delapan hukum universal yang berlaku di alam dan di pikiran manusia. Hukum tersebut memiliki sisi "yang tak pasti" artinya hukum itu sendiri menjelaskan sesuatu yang tak pasti terjadi di alam. Dia berkata tentang makna "perubahan hukum alam" dalam konteks mukjizat bahwa secara hakiki peristiwa itu mustahil terjadi karena alasan dari salah satu hukum-hukum tersebut. Misalnya, mustahil bagi manusia memiliki pengetahuan yang tak empiris berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang belum terjadi dan jika manusia secara pasti mengetahui akan terjadinya suatu peristiwa, maka dia harus menyimpulkan hal itu berdasarkan ilmu tentang hukum-hukum universal dan ilmu tentang peristiwa khusus yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang atau dia terpaksa menerima suatu hasil analisa peristiwa, rekaman peristiwa dan informasi tentang perbuatan yang dikerjakan orang lain.

Sementara perbedaan pandangan antara David Hume dan Aquinas karena perbedaan perspektif dalam masalah substansi alam dimana Aquinas berpandangan tentang forma-forma spesis (as-shuwar an-nau'i) segala sesuatu dan David Hume mengikuti pandangan Newton tentang hakikat alam dimana dia menggunakan konsep-konsep teoritis tentang materi dan kekuatan dalam menganalisa fenomena-fenomena alam yang terjadi. Di samping itu, perbedaan mereka juga karena Thomas Aquinas menggagas tentang keteraturan mutlak Ilahi dan sebab-sebab pertama serta menganggap keteraturan alam materi ini merupakan perpanjangan dari keteraturan mutlak Ilahi tersebut. Sebenarnya, segala fenomena dan peristiwa yang terjadi di alam materi ini merupakan pengaruh darinya dan terkadang disebut juga sebagai sebab-sebab kedua yang bersesuaian dengan kehendak dan irâdah Tuhan. Maka dari itu, setiap kali Tuhan berkehendak maka seketika tercipta lagi sebab-sebab lain (baca: sebab-sebab kedua) dan mengganti sebab-sebab yang telah lalu ataukah Tuhan yang langsung menghadirkan fenomena-fenomena di alam ini tanpa menggunakan perantara sebab-sebab kedua tersebut. Tapi karena David Hume, mengikuti paham rasionalitas empiris, sangat sulit dia menerima pandangan Aquinas tentang keteraturan mutlak Tuhan, oleh karena itu mukjizat dianggap sebagai suatu fenomena yang merubah dan merombak hukum alam serta tidak dipengaruhi oleh faktor yang tersembunyi.

Pasca David Hume, hampir semua filosof dan teolog barat menerima gagasan dan pandangannya mengenai definisi mukjizat, di antara pengikut setia teori Hume adalah Richard Swinburne seorang guru filsafat universitas Oxford Inggris yang sangat menekankan pengertian mukjizat sebagai sesuatu yang berlawanan dan bertolak belakang dengan hukum alam. Ia berkata tentang perkara mukjizat, "Suatu peristiwa yang merubah hukum alam, kalau kejadian tersebut semakin ajaib, aneh, istimewa dan luar biasa maka semakin terhitung sebagai perbuatan langsung Tuhan."[5]

Swinburne juga menambahkan konsep lain tentang definisi mukjizat di samping pengertian di atas sebagai berikut: pertama adalah faktor yang menyebabkan perubahan dan penghapusan hukum-hukum alam adalah juga perbuatan Tuhan, dan kedua ialah memiliki kandungan dan warna keagamaan. Dalam pandangannya, dengan menggabungkan tiga unsur pengertian di atas maka diperoleh definisi mukjizat yang bersifat menyeluruh yang dapat diterima oleh masyarakat theisme (Islam, Kristen dan Yahudi).[6]


3. Peristiwa ajaib dan bermakna

Sebagian orang tidak menerima bahwa perbuatan mukjizat Tuhan itu harus dipandang sebagai suatu kejadian yang tak dapat dijelaskan secara rasional, tak empiris dan tak sesuai dengan hukum-hukum alam. Peristiwa tersebut bahkan dapat dijabarkan dan dianalisa sesuai dengan sebab-sebab dan faktor-faktor alami walaupun untuk sebagian orang kejadian tersebut tetap menjadi hal yang mukjizat. Orang yang berpandangan seperti itu adalah R.F. Holand seorang filosof asal Amerika. Dia berkata, "Terkadang muncul sebuah peristiwa yang berpijak pada sebab-sebab alami dimana sangat jarang terjadi dan secara umum bertentangan dan berlawanan dengan peristiwa-peristiwa yang sering terjadi, peristiwa yang aneh tersebut sangat erat hubungannya dengan hakikat kehidupan sebagian manusia, kebutuhannya, harapan dan cita-citanya, dan karena peristiwa tersebut sangat berperan penting dalam dimensi kebahagian dan kesengsaraannya maka timbullah perasaan yang menakjubkan, mengesankan, penuh arti dan berusaha ditafsirkan berdasarkan kerangka agama sebagai pemberian Tuhan dan mukjizat dari-Nya."[7]

Definisi mukjizat di atas murni berangkat dari pemahaman umum masyarakat religius tentang masalah mukjizat dimana hanya dipahami sebagai peristiwa ajaib, aneh, luar biasa, abnormal dan asing, oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori mukjizat yang hadir dalam kitab-kitab suci agama. Maka dari itu, definisi mukjizat tetap dipahami sebagai peristiwa yang tak seirama dengan hukum alam dan mengandung pesan suci agama, penting dan bermakna.


4. Definisi mukjizat dalam perspektif teolog Muslim

Mukjizat dalam pandangan teolog muslim pada umumnya diyakini dan diposisikan sebagai alat atau perantara dalam menetapkan kenabian bagi pembawa mukjizat itu sendiri. Para teolog dalam pembahasan kenabian berusaha menempatkan mukjizat sebagai alat legitimasi atas pengakuan seseorang tentang kebenaran kenabiannya (baca: utusan Tuhan) khususnya untuk orang-orang awam[8]. Maka dari itu, teolog 'Ashaduddin Iji menyimpulkan bahwa masalah mukjizat tersebut hanya bertujuan untuk membuktikan dan menetapkan kebenaran kenabian dan di samping itu mukjizat tersebut harus bersyarat di antaranya: aneh, asing, ajaib, abnormal dan bersifat menantang. Jika mukjizat tak memiliki syarat tersebut maka tak dapat diterima sebagai sarana pembuktian kenabian.[9]

Di antara para teolog Islam terdapat perbedaan kecil dalam penetapan syarat-syarat mukjizat, mereka mendefinisikan mukjizat sebagai berikut, "Suatu perkara yang keluar dari kebiasaan umum atau peristiwa ajaib, luar biasa (ganjil, aneh) dan istimewa (seperti tongkat menjadi ular dan ketidakmampuan orang Arab membuat kitab seperti al-Quran) yang dibawa oleh orang yang mengaku nabi, perkara tersebut harus bersifat menantang atau mengajak orang untuk berbuat hal yang sama. Sebagai contoh, jika orang yang mengaku nabi berkata: saya menyembukan orang buta dengan mukjizat tapi pada saat yang sama dia kehilangan kemampuan pendengarannya, peristiwa tersebut tidak bisa disebut sebagai mukjizat".[10] Secara umum dapat digambarkan bahwa syarat-syarat mukjizat adalah: 1. Perkara yang keluar dari kebiasaan umum, ajaib, aneh, dan istimewa. 2. Perkara itu muncul bersamaan dengan pengakuan kenabian seseorang dari Tuhan. 3. Peristiwa mukjizat karena berhubungan dengan pengakuan seorang akan kenabian, maka dari itu, mukjizat mesti mengandung sisi penantangan dalam rangka mengajak semua orang untuk berbuat hal yang sama.


5. Perbandingan pengertian "peristiwa ajaib" dan makna "bertolak belakang dengan hukum alam"

Apakah pengertian "peristiwa aneh, ajaib dan istimewa (khâriq al-'adat) setara dengan makna "berlawanan dengan kebiasaan alami" ataukah secara hakiki disebut sebagai peristiwa yang tak dapat dipahami sesuai dengan hukum-hukum alam? Dalam pandangan teolog Islam pengertian " peristiwa ajaib" dalam definisi mukjizat bersandar pada peristiwa seperti tongkat menjadi ular besar, tak terbakar api dan … dimana secara lahiriah hukum sebab-akibat natural tak berlaku atau terputus, dengan demikian peristiwa tersebut menjadi peristiwa yang sangat jarang terjadi, luar biasa, unik, aneh, ganjil, istimewa dan menakjubkan.

Para teolog Asy'ari - aliran teologi Islam yang menolak hukum kausalitas - berpandangan bahwa sebab-sebab natural tersebut tiada lain adalah "kebiasaan Tuhan" dalam berbuat secara tak langsung di alam ini, karena dalam pandangan mereka terwujudnya keharmonisan dan keteraturan di antara partikularitas alam tidak berpijak pada hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan kesesuaian yang nampak di alam tiada lain adalah kebersusulan dan keberlanjutan peristiwa-peristiwa yang secara langsung dicipta oleh Tuhan.[11] Oleh karena itu, "peristiwa ajaib" dalam pandangan mereka hanya bermakna bahwa Tuhan terkadang secara lahiriah berkehendak dan berbuat sesuatu yang kelihatan "berlawanan" dan "bertentangan" dengan pola "kebiasaan umum" yang terjadi di alam materi ini. Sebenarnya, "kebiasaan umum" yang dipahami aliran Asy'ari sesuai dengan pandangan para filosof tentang kausalitas.

Para filososf Islam berkeyakinan bahwa sistem vertikal gradasional dari rangkaian sebab-akibat (baca: teori kausalitas) yang mendasari tatanan alam dan keseluruhan keharmonisan alam berpijak pada hubungan kausalitas antara bagian-bagiannya. Maka dari itu, pengertian "peristiwa ajaib dan luar biasa" dalam definisi mukjizat berdasarkan pandangan para filosof adalah peristiwa yang terjadi di alam hanya merupakan efek perubahan pada sisi luar dan permukaan dari hubungan sebab-akibat (hubungan sebab-akibat partikular) dan bukan pada wilayah hukum universal sebab-akibat (kausalitas), jadi sebenarnya mukjizat itu terjadi di alam tak mungkin lepas dari pengaruh hukum-hukum kausalitas universal.[12]


Mukjizat, Karamah, I'anat dan Ihânat

Mukjizat adalah suatu peristiwa ajaib yang disertai dengan penantangan dalam rangka menetapkan posisi kenabian, sisi penantangan inilah yang menjadikannya berbeda secara substansial dengan peristiwa-peristiwa lain yang juga ajaib. Jika suatu peristiwa ajaib terjadi karena pengaruh sebuah kehendak dari jiwa suci seorang wali Tuhan maka kejadian ini dinamakan karamah, tapi kalau sesuatu terjadi karena efek terkabulnya doa seorang hamba sholeh maka disebut i'ânat. Timbulnya suatu peristiwa aneh dan ajaib karena faktor-faktor, sebab-sebab dan perantara-perantara yang bisa diperoleh dari proses belajar, hal demikian ini disebut sihir, jika sihir ini digunakan untuk melegitimasi kepalsuan kenabiannya maka ia dinamakan ihânat, seperti peristiwa Musailamah yang mengaku seorang nabi setelah nabi Islam dimana "keajaiban" yang ditampilkannya adalah menjatuhkan air ludahnya ke dalam sumur sehingga air sumur menjadi bertambah, tapi air sumur yang bertambah itu kemudian menjadi kering, keringnya air sumur tersebut merupakan sesuatu yang berlawanan dengan hakikat penantangannya (air sumur yang tadinya bertambah tak semestinya mengering). Realitas tersebut tidak sesuai dengan hakikat penantangannya, maka dari itu, peristiwa ajaib yang ditampilkannya tak dapat dikategorikan kedalam bentuk mukjizat dan berujung pada penyingkapan kebohongan akan kenabiannya.

Kekhususan mukjizat adalah karena memanfaatkan kekuatan mutlak Tuhan atau dengan ungkapan lain, mukjizat adalah sejenis peristiwa ajaib yang memunculkan secara nyata kekuasaan Tuhan dan nabi yang sebagai perantara lahirnya peristiwa tersebut membawa pesan suci dari Sang Pencipta. Selain peristiwa tersebut yang memang sangat ajaib, hakikat risalah nabi itu sendiri juga tergolong hal yang aneh dan istimewa serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu dan para nabi juga menganggap bahwa peristiwa yang terjadi itu bersifat aneh, ajaib dan luar biasa. Di balik kejadian aneh tersebut nampak nyata kekuasaan dan kekuatan mutlak Tuhan sehingga dengan ini tertegaskan hubungan khusus seseorang dengan Tuhannya dan juga sebagai bukti riil tentang kenabiannya.

Mukjizat karena merupakan peristiwa yang secara langsung mengandung tanda kekuasaan dan kekuatan mutlak Tuhan maka tak dapat tertandingi dan teratasi oleh siapapun, dan inilah rahasia dimensi penantangan yang menyertai setiap mukjizat seluruh nabi.


Probabilitas Mukjizat

Mungkinkah mukjizat itu terwujud? Apakah Tuhan terkadang menampakkan mukjizat dalam tatanan alam semesta? Probabilitas mukjizat dihadapkan dengan dua masalah: Pertama, anggapan bahwa mukjizat itu adalah perubahan hukum alam. Dalam masalah ini ada dua bentuk pertanyaan yang dapat diungkapkan: 1. Apakah mukjizat, dengan pengertian perubahan hukum alam, secara makna tidak saling berkontradiksi? 2. Apakah mungkin secara ilmiah terjadi perubahan hukum alam oleh faktor-faktor supra natural? Apakah ilmu dapat memahami mukjizat yang pernah terjadi? Dan kedua, bagaimana menyelaraskan antara mukjizat dan hukum kausalitas ? Di bawah ini, kami akan uraikan dan jelaskan secara terperinci jawaban-jawaban dari masalah-masalah tersebut.


1. Keserasian pengertian mukjizat

Apakah pengertian mukjizat itu sendiri saling berkontradiksi? Sebagian teolog beranggapan bahwa jika kita memandang mukjizat itu sebagai perubahan hukum alam maka akan berhadapan dengan dialektika silogisme atau kondisi yang dilematis berkaitan dengan hukum dan pengecualiannya. Ketika kita berkata bahwa mukjizat adalah suatu kejadian yang tak sesuai dengan alur pergerakan dan keteraturan alam serta mengubah dan merombak hukum, maka secara implisit kita membenarkan bahwa mukjizat tetap mengikuti kaidah keteraturan alam dan karena berdasarkan kaidah ini mukjizat menjadi hal yang dikecualikan, karena pengecualian dalam hal ini memiliki tempat dan juga bersandar pada hukum keteraturan alam. Di sini kita bertemu dengan persoalan bahwa dari satu sisi harus ada hukum yang pasti dan tak berubah dimana secara teratur menampakkan cara kerja alam dan pada sisi yang lain hadirnya pengecualian dalam hukum berarti bahwa tak ada satu hukum seperti ini, karena secara praktis terjadi pembalikan hukum dan kaidah maka secara riil tak dapat dikatakan sebagai hukum alam.

Alastair Makinnon dengan bersandar pada kedudukan logika dan epistimologi dari penemuan-penemuan ilmiah beranggapan bahwa dalam mukjizat akan ditemukan kondisi-kondisi dilematis dan dialektika silogisme. Alastair berkata, "Kaidah-kaidah ilmiah yang bersumber dari hukum-hukum alam merupakan kesimpulan dari keseluruhan realitas-realitas yang terjadi di alam; dengan ungkapan lain, penjelasan ringkas tentang keberwujudan segala sesuatu di alam nyata dan informasi tentang kejadian-kejadian aktual. Oleh karena itu – dari satu sisi – hukum alam, berdasarkan definisi Makinnon meliputi segala sesuatu yang terwujud di alam, harus senantiasa diubah dan diseimbangkan sedemikian rupa sehingga mencakup semua peristiwa yang terjadi. Dari sisi lain mukjizat, dengan berpijak pada definisi, tak masuk dalam cakupan peristiwa khusus dalam hukum tersebut. Ini menunjukkan bahwa definisi mukjizat - yang berarti perubahan hukum alam dimana dipahamai sebagai pengecualian dalam suatu kaidah dimana kaidah ini sendiri tak menerima pengecualian - itu sendiri mengandung kontradiksi.[13]

Argumentasi di atas, sebagaimana perkataan Michael Patrison dan sebagian filosof agama, berpijak pada asumsi bahwa setiap peristiwa memiliki sebab natural. Oleh karena itu, asumsi keberadaan mukjizat tak sesuai dengan keseluruhan hukum yang ada. Karena hukum alam meliputi segala realitas yang terjadi berdasarkan syarat dan kondisi alam. Akan tetapi hipotesa yang berkaitan dengan mukjizat sebagai perubahan dan perombakan hukum alam adalah adanya suatu faktor yang berpengaruh -faktor-faktor non alam yang berada di luar sistem alam dimana faktor itu dipandang sebagai bentuk pengecualian- mewujudkan mukjizat atau menciptakan peristiwa ajaib. Dengan demikian, masalah mukjizat bukan menunjukkan adanya pembalikan dan perubahan dalam hukum alam sehingga dikatakan mesti hadir perubahan padanya supaya mencakup dan meliputi bentuk peristiwa ajaib semacam itu. Karena hukum alam hanyalah penjelasan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan syarat-syarat dan kondisi-kondisi alam, maka pandangan yang diungkapkan Michael Patrison di atas mesti- semua peristiwa memiliki sebab-sebab natural- dijabarkan dan ditafsirkan hanya dalam koridor dan kerangka hukum-hukum alam. [14]


2. Kontradiksi Mukjizat dan Ilmu

Ilmu tak mampu menetapkan bahwa mukjizat mustahil terjadi. Pernyataan ini diyakini oleh mayoritas para filosof kontemporer dan ilmuwan mutakhir dari berbagai disiplin ilmu. Berkaitan dengan pandangan ini, kita mencukupkan mengutip dua pandangan dan perspektif filosof- filosof kontemporer di bawah ini, sebagai berikut:

a. R.F. Holland berkata, "Berdasarkan pandangan filsafat tak ada dalil-dalil yang pasti tentang kemustahilan terjadinya peristiwa-peristiwa yang merubah hukum alam. Sesuatu yang mustahil terwujud secara ilmiah bukan berarti juga mustahil terjadi secara filosofis". Gabungan dari dua perspektif ini, dimana kita yakini suatu kejadian secara ilmiah mustahil terjadi - dengan bersandar pada satu anggapan bahwa penemuan-penemuan ilmiah sebagai penjelasan tentang hukum alam dimana peristiwa X mustahil terjadi berdasarkan syarat dan kondisi khusus alam - dan dengan realitas ini kita dapat menerima gagasan dan perspektif Holland, tapi dengan berpijak pada dalil-dalil dan bukti-bukti atau dengan bersandar pada tiga pandangan dan perspektif sebagai berikut:

1. Tak mustahil ada perubahan hukum alam dalam bidang filsafat.

2. Ada kemungkinan secara ilmiah kita tak mengetahui adanya suatu sebab natural yang berpengaruh dalam peristiwa mukjizat. Sebagai contoh, secara ilmiah, mayat tak mungkin hidup kembali, tapi adanya kenyataan yang tak sesuai dengan ini menyebabkan merosotnya keyakinan atas penemuan dan eksperimen ilmiah.

3. Penemuan-penemuan ilmiah tak dapat diletakkan sebagai parameter yang pasti untuk menolak setiap bukti otentik dan pengalaman tentang terjadinya peristiwa mukjizat, karena ketika kita menerima parameter ilmiah tersebut dan dijadikan standar penolakan segala bentuk penyaksian langsung dan dalil yang mendukung realitas mukjizat maka sesungguhnya kita merusak pondasi keyakinan kita sendiri pada penemuan-penemuan ilmiah. Jika dalam perkara yang partikular dan bukti-bukti yang riil kita tak menganggap itu sebagai ilmu lantas bagaimana kita bisa meyakini kaidah-kaidah ilmiah yang berpijak pada penemuan, eksperimen dan observasi ilmiah? Oleh karena itu, kita dapat melakukan berbagai eksperimen terhadap mukjizat sebagai peristiwa yang dipandang merubah hukum alam yang secara ilmiah adalah mustahil atau kita dapat meyakininya dengan membandingkan dengan sudut pandang metafisika.[15]

b. Charles David Broad berkata bahwa seseorang yang tak meyakini metode induksi (al-istiqra) dalam ilmu logika dan hadirnya ilmu-ilmu empiris yang berpijak pada metode induksi harus memahami bahwa dia mesti menerima bahwa pengertian dari kebenaran ilmiah pondasi-pondasi agama adalah sampai sekarang ini belum ditemukan sesuatu yang bertentangan dengannya. Metode induksi dalam ilmu logika tak mengantarkan pada ilmu dan keyakinan sempurna, maka dari itu tak mustahil jika ada laporan-laporan yang memuat tentang perubahan hukum alam. Lebih dari itu, bukan hanya perwujudan mukjizat adalah mustahil tapi secara riil mukjizat telah terwujud dan terjadi di alam eksternal. Pada zaman sekarang ini, fenomena seperti telepati, kemampuan membaca pikiran orang dan berbagai bentuk ramalan telah diterima oleh semua orang sebagai peristiwa yang benar dan nyata walaupun bersifat aneh.[16]


3. Kesesuaian Mukjizat dengan Dasar dan Kaidah Filsafat

Mukjizat merupakan kejadian yang disebabkan oleh pengaruh langsung faktor supra natural dan faktor yang berperan aktif dalam mewujudkan suatu peristiwa alam ini dipandang tak sesuai dengan kaidah keselarasan (al-senkhiyah) antara sebab (al-'illah) dan akibat (al-ma'lul), karena berdasarkan kaidah ini adalah mustahil tercipta suatu akibat atau fenomena dari sembarang sebab, tetapi harus ada keidentikan dan kesesuaian di antara keduanya dan jika tidak demikian maka setiap sebab akan berakibat sembarang (tak pasti).

Kritik atas pernyataan ini, secara luas dibahas dalam teologi Islam dan kemungkinan ini merupakan inti penolakan aliran teologi Asy'ari khususnya Al-Gazali tentang kaidah kausalitas dengan tujuan mempertahankan mukjizat para nabi dan rasul. Kritikan ini sangat beralasan ketika dialamatkan kepada orang yang, dengan teori kausalitas dan hubungan keniscayaan antara sebab dan akibat serta keselarasan antara keduanya, ingin menjelaskan hakikat mukjizat. Maka dari itu, orang yang tak menerima pandangan itu dari dimensi filsafat maka dari sudut pandang ilmu dan empirisme mereka tak mungkin dapat membuktikan kemustahilan keberadaan mukjizat secara logika dan rasional. Karena alasan ini, David Hume dan para pemikir baru setelahnya tak menjabarkan alasan logis dan rasional tentang persoalan probabilitas kewujudan mukjizat, tetapi lebih menekankan pada pembahasan dimensi rasionalitas dan parameter kemungkinan terjadinya mukjizat yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab suci agama. Para filosof Islam secara umum beranggapan ada kesesuaian mukjizat dengan kaidah keselarasan sebab-akibat dan di bawah ini secara terperinci menjawab keseluruhan kritikan di atas:

Pertama, mesti dibedakan antara dua jenis hubungan sebab-akibat, salah satu hubungan sebab-akibat dari jenis sebab pemberi wujud (al-'illah al-ijâd) dimana sebab memberikan wujud kepada akibat. Dan kedua, hubungan lain sebab-akibat dari jenis sebab persiapan (al-'illah al-mu'iddah) dimana sebab menghadirkan gerak di dalam wujud akibat sedemikian sehingga terjadi perubahan dan pergerakan. Keselarasan yang mesti antara sebab dan akibat untuk jenis yang pertama adalah sebab tersebut niscaya memiliki kesempurnaan wujud yang ada pada akibat, jika tidak maka mustahil sebab dapat memberikan kesempurnaan wujud kepada akibat (sesuatu yang tak punya mustahil dapat memberi). Maka jelaslah dari sudut ini bahwa kritikan tersebut bukan dialamatkan pada mukjizat. Keselarasan yang niscaya antara sebab dan akibat untuk jenis yang kedua adalah mesti ada kesesuaian antara keduanya, kalau tidak demikian, maka suatu akibat tertentu dapat terpancar dan tercipta dari sembarang sebab, misalnya es (sebab) dapat menghasilkan panas (akibat) atau api mengakibatkan dingin.

Kedua, menetapkan secara pasti bentuk keselarasan antara sebab dan akibat khusus, yaitu bagaimana mengetahui dan menemukan faktor dan tolak ukur sehingga setiap fenomena dan akibat memiliki keselarasan dan juga ketakselarasan, jadi faktor-faktor keselarasan mustahil diperoleh dan diketahui lewat metode ilmiah dan empiris. Metode ilmiah dan empiris hanya akan bermanfaat jika seluruh mekanisme alam materi secara partikular telah dieksperimenkan, tetapi kalaupun hal itu dilakukan secara sempurna, kita juga tak semberono menolak suatu kemungkinan adanya faktor supranatural yang berada "di luar" dari sistem alam ini, bagi kita belum jelas dan belum ditemukan adanya satu mekanisme penataan internal yang mengatur segala sistem pergerakan universal alam dimana dengan mengetahui hakikat dari sistem tersebut kita dapat memahami pengaruh ajaib dan aneh dari satu fenomena dan peristiwa mukjizat tanpa mesti mengubah pondasi hubungan keselarasan sebab-akibat.

Menurut pandangan filosof Ibnu Sina sebab-sebab dari peristiwa-peristiwa yang aneh dan ajaib, termasuk masalah mukjizat, terbatas dalam tiga perkara:

1. Kekhususan, keadaan dan kondisi jiwa dimana hadir untuk sebagian individu-individu manusia; 2. Kekhususan natural dan alami unsur-unsur materi, seperti kekhususan menarik besi dengan perantaraan unsur magnetis; 3. Benda-benda langit memiliki hubungan khusus dengan karakter, keadaan dan bentuk sebagian benda-benda bumi.

Menurutnya sihir, karamah dan mukjizat dikategorikan dalam perkara pertama, yakni semua berasal, terpancar dan tercipta dari jiwa manusia[17]. Allamah Thabathabai (Qs) menekankan pandangan ini dalam menjelaskan masalah mukjizat bahwa setiap peristiwa yang terjadi di alam juga mempunyai sebab-sebab langsung di alam. Tetapi perbedaan mukjizat dengan kejadian-kejadian yang lain adalah jumlah dari sebab-sebab alam akan menjadi aktif ketika digunakan, berdasarkan izin Tuhan, dan diperintah oleh manusia sempurna yang mempunyai hubungan "sangat dekat" dengan Tuhan dan hubungan khusus dengan sebab-sebab lansung di alam.

Oleh karena itu, dalam perwujudan mukjizat tak terjadi perubahan pada tatanan kausalitas, keselarasan sebab-akibat dan hukum alam, bahkan perwujudan tersebut karena ada pembatasan suatu hukum dengan hukum yang lain.

Sebagai contoh, seorang dokter dalam mengobati penyakit manusia akan merujuk kepada hukum-hukum kimiawi yang berpengaruh pada sistem badan manusia, tetapi jika ditemukan suatu hukum-hukum jiwa dan ruh manusia yang sangat ampuh dalam pengobatan penyakit manusia maka ini bukan berarti bahwa hukum-hukum kimiawi tersebut tak memiliki efek lagi, tetapi diartikan bahwa dalam penyembuhan penyakit seperti ini ada faktor lain, yang bukan faktor kimiawi, yang juga ikut berpengaruh aktif.[18]

Untuk memahami secara benar permasalahan ini dimana para filosof Islam menguraikan mukjizat itu berdasarkan kaidah-kaidah filsafat. Fazlur Rahman, penulis dan peneliti Pakistan, menafsirkan mukjizat itu berdasarkan teori Newton tentang keteraturan maujud di alam. Ia berkata, "pandangan filosof Islam tentang keteraturan maujud di alam dan kemestian sebab-akibat mempunyai perbedaan mendasar dengan pandangan dunia Newton tentang mekanisme alam dan keniscayaan sebab-akibat mekanik dan menurut gagasan filosof Islam yang dipelopori oleh Ibnu Sina, alam adalah suatu organik hidup yang memiliki cinta universal, menyatukan semua bagian-bagiannya, benda-benda materi berdasarkan potensi yang dimilikinya terus berproses kearah pencapaian kesempurnaan dan maujud yang telah sempurna yang karena memiliki hubungan dekat dengan maujud yang paling sempurna mendapatkan kekhususan untuk mempengaruhi benda-benda itu sesuai dengan kehendaknya, keteraturan alam diarahkan dengan cinta, kehendak dan tujuan.[19]


4. Mustahil Menjelaskan Mukjizat dengan Sebab Sebab Natural

Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa mukjizat itu tak dapat dijelaskan dengan hukum alam? Dari zaman David Hume hingga zaman sekarang ini mayoritas filosof dan pemikir barat menyetujui perubahan hukum alam sebagai definisi mukjizat, dengan ungkapan lain bahwa kelompok ini beranggapan bahwa mukjizat merupakan satu peristiwa yang mustahil diuraikan dengan hukum alam. Filosof Muslim mencari sebab-sebab khusus yang menghubungkan alam ini dengan faktor-faktor supranatural untuk menjabarkan secara hakiki persoalan mukjizat. Dan mereka meyakini bahwa jiwa suci para nabi karena kedekatannya dengan Sumber Sebab menjadi faktor utama dan hakiki dalam perwujudan peristiwa ajaib yang disebut mukjizat.

Teolog Muslim mendefinisikan mukjizat sebagai peristiwa yang ajaib dimana pengaruh langsung Tuhan menyebabkan terjadi perubahan dalam proses alami. Maka dari itu, dengan berpijak pada definisi ini dapat disimpulkan bahwa mukjizat adalah peristiwa yang tak dapat dipahami dengan pendekatan hukum alam. Dengan kesimpulan ini, muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah persoalan mukjizat untuk selamanya tak dapat diungkap dengan sebab-sebab natural? Apa ada sebuah metode yang dapat menjelaskan bahwa peristiwa (B) (sebagai contoh, seseorang yang hidup kembali setelah meninggal selama tiga hari) dianggap merubah hukum alam? Dalam masalah ini terdapat beberapa teori dan pandangan:

1. Anthony Flew dan John Hosperes keduanya berpandangan bahwa kita tidak mempunyai metode dan parameter untuk mengenal dan memilah mana peristiwa alam dan kejadian non alam, begitu pula kita tak mampu memastikan bahwa mukjizat merupakan peristiwa yang tak bisa dijelaskan dengan hukum alam. Sebagai contoh, para ilmuwan yang menghadapi suatu peristiwa yang tak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, dalam masalah ini mereka tak dapat menolak adanya kemungkinan bahwa di masa yang akan datang penelitian ilmiah tentang keberadaan peristiwa tersebut dapat diselesaikan dengan kaidah-kaidah ilmiah. Selain itu, konsekuensi metode ilmu, dimana para ilmuwan berpijak padanya dan juga pijakan validitas sebuah penelitian ilmiah, adalah senantiasa melakukan observasi guna mencari alasan ilmiah sebuah peristiwa dan tidak dikatakan bahwa peristiwa tertentu mustahil mendapatkan pembenaran ilmiah dan bahkan asumsi ilmu adalah segala peristiwa yang terjadi sesuai dengan kaidah dan hukum alam, oleh karena itu dilakukan segala upaya untuk menyingkap segala rahasia kejadian-kejadian alam.[20]

2. Richard Swinburne berpandangan bahwa terdapat tolok ukur dan metode untuk memilah perkara supranatural dari perkara-perkara alam materi. Dia memulai pembahasan dengan sebuah pertanyaan: apakah dapat dijelaskan secara rasional bahwa mukjizat mengubah hukum? Tolok ukur yang ditentukan oleh Richard dalam mengetahui apakah sebuah peristiwa telah mengubah hukum alam atau tidak adalah kalau peristiwa (baca: mukjizat), yang terjadi karena syarat dan kondisi tertentu, tak dapat berulang maka kejadian itu bukan hukum alam, jika peristiwa tersebut tak dapat berulang tapi pada saat yang sama peristiwa tersebut dikatakan sebagai hukum alam maka dalam hal ini mukjizat tersebut digolongkan sebagai peristiwa yang mengubah hukum alam.

Richard sendiri memaparkan pertanyaan tentang bagaimana cara mengetahui peristiwa tersebut tak dapat berulang hingga dikatakan mengubah hukum alam? Dia menjawab, "Alasan atas keberulangan sebuah peristiwa adalah peristiwa (mukjizat) yang telah terjadi dan akan diulang kejadiannya harus berada dalam kemudahan proses implementasi serta dapat diamati dan dijelaskan proses kejadiannya sehingga peristiwa sebelumnya terungkap dan peristiwa yang terakhir dapat dikatakan secara hakiki sama dengan peristiwa sebelumnya. Tapi jika peristiwa terakhir kejadiannya jauh lebih sulit dari peristiwa sebelumnya dan bahkan tak dapat diuji proses kejadiannya maka peristiwa ini disebut sebagai mengubah hukum alam dan peristiwa yang dapat teruji adalah hukum alam".[21]

Apa yang dikatakan di atas berpijak pada asumsi ini bahwa hukum-hukum alam bersifat universal. Maka dari itu, Richard dalam mengkaji keseluruhan dimensi permasalahan mukjizat mengajukan suatu asumsi bahwa kalau hukum-hukum alam bersifat partikular maka tak satupun peristiwa bisa dikatakan mengubah hukum alam, karena dengan hukum universal kita dapat menentukan secara mutlak peristiwa mana yang tergolong bertentangan dan mengubah hukum-hukum alam, ini berbeda dengan hukum-hukum partikular.

Dengan penjabaran tersebut, Richard menolak kemungkinan bahwa di masa akan datang terjadi perubahan dan tidak lagi sesuai dengan apa yang telah ditetapkan secara ilmiah pada masa kini, dan kalau ada perubahan maka sesungguhnya manusia belum sampai memahami secara hakiki hukum universal yang dengannya dia dapat menguraikan suatu peristiwa secara rasional dan ilmiah atau manusia telah meraih hukum universal tapi hubungan hukum tersebut dengan peristiwa yang terjadi sangat rumit sehingga ditinggalkan oleh ilmuwan pada zaman itu dan menjadi tidak jelas.

Michael Patrison beranggapan, dari sudut pandang agama, bahwa pemikiran Richard tak terlalu penting, walaupun para filosof dan ilmuwan cenderung ingin mengetahui proses perubahan hukum alam dan berupaya menyingkap rahasia-rahasia hukum alam, tapi mayoritas orang-orang beragama tidak tertarik dengan masalah itu. Yang terpenting bagi mereka adalah kalau Tuhan tidak mencipta peristiwa tersebut (baca: mukjizat) apakah pada zaman itu tetap terjadi peristiwa semacam itu?

Menurut Michael Patrison, peristiwa ajaib dan luar biasa tersebut tak dapat dijelaskan secara rasional dan ilmiah, pandangan ini sesuai dengan gagasan para teolog Muslim yang menganggap bahwa peristiwa ajaib (mukjizat) mustahil dijelaskan secara rasional dan dibuktikan secara ilmiah, karena kalau hal itu terjadi, maka mukjizat bukan lagi sebagai dalil dan bukti yang kuat tentang kenabian karena dimensi penantangan yang menyertai mukjizat tersebut telah sirna.

Adanya penantangan yang menyertai mukjizat sebenarnya merupakan bukti paling kuat akan kedekatan hubungan para nabi dan rasul dengan Yang Maha Kuasa. Mukjizat adalah lambang, alamat dan simbol kenabian. Dan ketidakmampuan hukum-hukum alam dalam menjelaskan proses perwujudan mukjizat dan menyingkap rahasia-rahasia kejadiannya merupakan hikmah, kehendak dan kebijaksanaan Tuhan untuk membuktikan para nabi dan rasul hakiki guna membimbing dan mengarahkan umat manusia hingga sampai ke tujuan penciptaanya yaitu kebahagian dan kesempurnaan hakiki di alam akhirat.[]


Catatan Kaki:

[1] . Encyclopedia Britanica, vol. 15, hal. 585.

[2] . S.T. Thomas Aquinas, Dar Tadbir wa Hukumat-e Ilahi, penerjemah: Manucehr Buzurgmehr, jilid 1, hal. 79-80.

[3] . David Hume, Darbore-ye Mu'jizat, Penerjemah: Muhammad Amin Ahmadi, hal. 410.

[4] . Swinburne, Richard, Miracles, hal. 1-9.

[5] . Swinburne, Richard, The possibility of Miracles, hal 276.

[6] . Swinburne, Richard, Miracles, hal. 1-9.

[7] . Holand, R.F, The Miraculous, hal. 53.

[8] . Ibnu Sina, Husain Bin Abdullah, Al-Ilahiyyat min al-Syifa, hal. 442.

[9] . Jarjani, Sayyid Syarifuddin Ali Bin Muhammad, Syarh al-Mawaqif, hal. 222.

[10] . Thusi, Khajah Nashiruddin, Talkhis al-Muhashshal, hal. 489.

[11] . Al-Gazali, Abu Hamid Muhammad, Tahafat al-Falasifah, hal. 169.

[12] . Ibnu Sina, Al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid. 3, hal. 395.

[13]. Makinnon, Alastair, Miracle and Paradox, in Miracles, ed. Richard Swinburne, hal. 52.

[14] . Makie, J.L, The Miracle of Theism, hal. 20.

[15] . Holland, R.F, Miraculous, hal. 62.

[16] . Broad, C.D, Religion, Philosophy dan Psychical Research, hal. 233.

[17]. Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal 417.

[18] . Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jilid 1, hal. 72. Dan Murtadha Muthahari, Majmu-e Azar, jilid 4, hal. 461.

[19] . Rahman, F, Prophecy in Islam, hal. 52.

[20] . Flew, Anthony, "Miracles: in Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, hal. 348.

[21] . Swinburne, Richard, Reason and Religious Belief, hal. 165.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...