Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Jumat, 08 Juli 2011

ANTOLOGI ISLAM (lII) BAB 3 IMAMAH MERUPAKAN KELEMBUTAN (LUTHF) ALLAH

Dari perspektif Syi’ah, Imamah (kepemimpinan yang ditunjuk Tuhan) adalah suatu nikmat Allah SWT kepada manusia yang dengannya agama disempumakan. Allah SWT yang memiliki Kekuasaan dan Keagungan berfirman,

Pada hari ini telah Kusempumakan untuk kamu agamamu dan Kecukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah : 3).

Imamah merupakan kelembutan (luthf) yang menarik umat manusia menuju ketaatan kepada-Nya dan menjauhkan diri mereka dari kedurhakaan kepada-Nya, tanpa memaksa mereka dengan cara apapun. Ketika Allah SWT memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu padahal Dia mengetahui bahwa mereka tidak bisa melakukannya atau sangatlah sulit bagi mereka untuk melakukannya tanpa bantuan-Nya, maka seandainya Allah SWT tidak memberikan pertolongan-Nya, niscaya Dia menentang tujuan-Nya sendiri.



Secara gamblang, pengabaian seperti ini buruk munurut akal. Karena itu, luthf merupakan salah satu karakter Allah, dan Dia disucikan/dimuliakan dari kekurangan sifat semacam itu. Nyatanya, Quran suci menyatakan, Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya... (QS. asy-Syura : 19). Dan, dalam ayat-ayat lain Yang Maha Kuasa menggunakan kata Maha Lembut (luthf) dalam kitab-Nya. Lihat misalnya, al-An’am :103; Yusuf: 100; al-Hajj : 63; Luqman :16; al-Ahzab : 34; asy-Syura : 19; al-Mulk : 14, dan seterusnya.

Para utusan Tuhan diamanati tanggung jawab membawakan perintah-perintah baru dari Allah SWT kepada manusia. Mereka adalah para pemberi peringatan sebagaimana yang Quran katakan. Bagaimanapun, sebagian dari para Rasul adalah juga para imam. Para penerus utusan Allah terakhir (Muhammad) bukan para Rasul/Nabi, dan karena itu mereka tidak membawa risalah baru apapun ataupun mereka menunda setiap peraturan yang ditetapkan oleh Nabi SAW. Mereka hanya berperan sebagai pembimbing dan penjaga agama. Misi mereka adalah untuk menjelaskan, mengelaborasi syariah (hukum Allah) kepada umat manusia. Mereka menjabarkan perkara-perkara yang membingungkan dan kejadiankejadian yang mungkin terjadi di setiap kurun. Mereka pun hanyalah orang-orang yang memiliki pengetahuan penuh akan Quran dan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW setelahnya, dan karena itu, mereka satu-satunya orang-orang yang memiliki kualifikasi yang bisa menafsirkan ayat-ayat Quran suci dengan benar dan menguraikan pengertiannya, sebagaimana disebutkan dalam Quran itu sendiri (lihat Ali Imran : 7 dan al-Anbiya : 7).

Imamah merupakan nikmat besar dari Allah SWT, karena ketika umat manusia mempunyai seorang pemimpin saleh dan bertakwa yang memandu mereka, mereka bisa lebih dekat kepada kebajikan dam jauh dari penyimpangan dan penyelewengan dalam masalah agama. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan juga merupakan pribadi yang paling bertanggung untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat yang bisa memelihara keadilan dan memberangus penindasan. Sudah barang tentu, manusia telah diberi kebebasan kehendak dan bisa menolak imam, namun mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu, sebagaimana halnya dalam kasus Nabi. Namun demikian, imam akan tetap sebagai bukti Allah (hujjatullah) di muka bumi dan sebagai pemimpin spiritual bagi orang-orang yang beriman di antara manusia yang mendapatkan manfaat dari bimbingannya.

Superioritas dan Kemaksuman Imam

Umat Syi’ah percaya bahwa seperti halnya para Nabi, seorang imam yang ditunjuk Tuhan harus mengungguli masyarakat dalam semua kebajikan, seperti dalam pengetahuan, keberanian, kesalehan, dan harus mempunyai pengetahuan yang penuh akan hukum ilahi. Apabila tidak demikian, dan Allah SWT mengamanatkan kedudukan tinggi ini kepada seorang pribadi yang kurang sempurna ketika ada seorang pribadi yang lebih sempurna, maka secara rasional itu salah dan bertentangan dengan keadilan ilahi. Oleh sebab itu, tak ada orang yang lebih rendah bisa menerima Imamah dari Allah SWT ketika ada orang yang lebih unggul daripadanya.

Andaikata seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan tidak maksum, niscaya ia harus bertanggung jawab kepada kesalahan-kesalahan dan menyesatkan orang lain juga. Dalam kasus seperti itu, tak ada kepercayaan yang implisit yang bisa digantikan dalam ucapan-ucapan/perintah-perintah/perbuatan-perbuatan. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat, dan orang-orang diharapkan untuk mengikutinya dalam setiap masalah.

Sekarang apabila ia melakukan sebuah dosa, niscaya orang-orang akan terikat mengikutinya dalam dosa itu juga, karena kebodohan mereka tentang apakah perbuatan itu termasuk dosa ataukah tidak (ingat asumsi bahwa imam adalah paling berpengetahuan dalam komunitas ini). Situasi seperti ini tidak bisa diterima oleh kemahalembutan Allah SWT karena ketaatan dalam dosa merupakan kejahatan, tidak sah, dan terlarang. Selain itu ia akan berarti bahwa pemimpin harus ditaati dan didurhakai pada waktu yang bersamaaan, yakni ketaatan kepadanya adalah wajib namun terlarang yang secara jelas merupakan sebuah kontradiksi dan tidak terpuji.

Selain itu, sekiranya mungkin bagi seorang imam untuk berbuat dusa, merupakan suatu kewajiban bagi orang lain untuk mencegahnya dari melakukan demikian (karena setiap Muslim diwajibkan untuk mencegah orang lain dari perbuatan keharaman). Dalam kasus seperti itu, imam akan dibenci, dan alih-alih pemimpin masyarakat, ia akan menjadi para pengikut mereka, dan kepemimpinannya tidak akan ada faedahnya sejauh agama diperhatikan.

Imam adalah pembela hukum Tuhan, dan kerja ini tidak bisa dipercayakan kepada tangan-tangan yang berdosa, ataupun setiap orang bisa menjaga tugas ini secara tepat. Dengan demikian, kemaksuman merupakan syarat penting bagi seorang imam ataupun khalifah yang ditunjuk Tuhan yang merupakan penjaga atau penafsir dari hukum-hukum agama. Allah Yang Maha Mulia berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang punya otoritas (ulil amri) di antara kalian. (QS. an-Nisa : 59).
Ayat ini menitahkan kepada kaum Muslim untuk menaati dua hal pertama, menaati Allah, kedua menaati Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas (ulil amri). Penyusunan kata-kata tersebut memperlihatkan bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah sewajib ketaatan kepada Rasul karena Quran menggunakan hanya satu kata kerja untuk keduanya tanpa mengulang kata kerja itu lagi. Sudah tentu, itu artinya bahwa Ulil Amri sama pentingnya dengan dengan Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT tidak akan menggabungkan mereka dalam ayat ini (waw dari athf) di bawah satu kata kerja.

Menarik untuk diperhatikan bahwa Allah SWT menggunakan satu kata kerja yang terpisah bagi Diri-Nya sendiri sebelum menyebutkan Rasul dan Ulil Amri yang memperlihatkan bahwa Allah SWT mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi ketimbang otoritas yang dimiliki Rasul dan Ulil Amri.

Adalah jelas juga dari ayat di atas bahwa Ulil Amri tidak terbatas pada para Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT hanya akan mengatakan, “Taatilah Allah dan taat hanya kepada Rasul.” Akan tetapi ia menambahkan Ulil Amri (orang-orang yang diberi otoritas oleh Allah). Ini merupakan salah satu tempat dimana konsep para imam dan kebutuhan akan ketaatan kepada mereka bersumber. Dalam bahasan sebelumnya tentang kemaksuman para Nabi, kita menukil banyak ayat Quran guna membuktikan kemaksuman Nabi SAW. Segala ayat tersebut membuktikan dua noktah berikut.
Pertama, otoritas Rasulullah SAW atas orang-orang beriman tidaklah terbatas dan serbamencakup. Setiap perintah yang dikeluarkan olehnya, di bawah kondisi apapun, di setiap tempat, di setiap waktu, (mesti) dipatuhi tanpa syarat.
Kedua, otoritas tertinggi diberikan kepadanya karena beliau maksum dan terbebas dari segala jenis kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah Rasul Allah tidak akan memerintahkan kepada kita untuk menaatinya tanpa pertanyaan dan keraguan.

Dalam artikel tersebut, kami juga memberikan Rujukan sebuah hadis dari Shahih Bukhari yang membuktikan bahwa baik Nabi maupun para khalifah yang ditunjuk Tuhan sama-sama maksum. Demikian pula dari ayat 59 Surah an-Nisa kita simpulkan bahwa Ulil Amri diberikan otoritas atas kaum Muslim yang sama persis dengan otoritas yang dimiliki Rasul, dan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri mempunyai kedudukan yang sama dengan ketaatan kepada Rasul.

Tentu saja ini artinya bahwa Ulil Amri mestilah maksum dan terbebas dari segala jenis kesalahan. Jika tidak, ketaatan kepada mereka niscaya tidak dibarengkan dengan ketaatan kepada Nabi dan tanpa syarat apapun. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata,
“Sesiapa yang mendurhakai Allah, tidak boleh ditaati,” dan “Sesungguhnya ketaatan adalah untuk Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang diberi otoritas. Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia untuk menaati Rasul karena beliau adalah maksum dan suci, yang tidak akan menitahkan kepada manusia untuk memaksiati Allah SWT, dan sesungguhnya Dia memerintahkan (manusia) untuk menaati orang-orang yang diberi otoritas (Ulil Amri) lantaran mereka adalah maksum dan suci, dan tidak akan mrnyuruh manusia untuk mendurhakai Allah.”1

Apakah Ulil Amri Berarti Penguasa-penguasa Muslim?

Kebanyakan saudara kita kaum Sunni cenderung menafsirkan ulil amri minkum sebagai penguasa-penguasa di antara kita sendiri yakni penguasa-penguasa Muslim. Penafsiran ini tidak berasaskan pada penalaran logika/Qurani manapun. Ia melulu didasarkan pada putaran sejarah. Mayoritas Muslimin telah menetapkannya sebagai pembantu raja dan penguasa dalam menafsirkan dan menafsirkan ulang Islam dan Quran guna memperkukuh kerajaan mereka sendiri.

Sejarah kaum Muslim (sebagaimana halnya bangsa-bangsa lain) disarati dengan nama-nama para penguasa yang kezaliman, kejahatan, dan tirani mereka telah menodai citra Islam. Penguasa-penguasa semacam itu ada dan akan senantiasa ada. Dan kita diberitahu bahwasanya mereka adalah ulil amri yang disebutkan dalam ayat ini!

Bila saja Allah SWT benar-benar memerintahkan para raja dan penguasa seperti itu, sebuah situasi mustahil akan diciptakan bagi segenap Muslimin. Para pengikut yang jahat akan disalahkan hingga sampai pada ketidakridhaan Allah SWT, tak peduli apa yang mereka kerjakan. Jika mereka menaati para penguasa ini, mereka telah memaksiati perintah Allah SWT, Janganlah kamu ikuti orang yang berdosa (QS. al-Insan : 24).
Dan apabila mereka mendurhakai penguasa-penguasa itu, sekali lagi mereka telah mendurhakai perintah Allah SWT, ‘taatilah penguasa-penguasa Muslim’ (jika artinya demikian). Oleh sebab itu, jika kita menerima penafsiran ini, kaum Muslim dikutuk sampai kepada kehinaan abadi entah mereka menaati ataukah mendurhakai para penguasa Muslim yang berdosa.

Demikian pula, ada pula penguasa-penguasa Muslim dari berbagai aliran dan mazhab. Mereka ini adalah Syafi’iyah, Hanbaliyah, Malikiyyah, Hanafiyyah, juga Syi’ah dan Ibadiyah. Sekarang, menurut penafsiran ini kaum Sunni berada di bawah seorang raja Ibadiyah (seperti di Yaman) yang harus menaati ajaran-ajaran Ibadiyah, dan mereka yang menetap di bawah seorang penguasa Syi’ah (seperti Iran) haruslah mengikuti keyakinan – keyakinan. Apakah orang-orang ini memiliki keyakinan keberanian untuk mengikuti tafsiran yang diakui mereka hingga akibat logisnya?

Ulama Sunni terkenal, Fakhrurrazi, menyimpulkan dalam Tafsir alKabir bahwa ayat ini membuktikan ulil amri itu pastilah maksum adanya. Ia berargumentasi bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia vmtuk menaati Ulil Amri tanpa syarat.

Karena itu, mestilah Ulil Amri itu maksum. Seandainya ada kementakan (possibility) bagi mereka untuk melakukan dosa (dosa itu terlarang), itu berarti orang harus mematuhi nureka dan juga mendurhakai mereka dalam perbuatan tersebut. Dan ini, adalah hal yang mustahil. Akan tetapi, untuk merintangi para pembacanya dari Ahlulbait, Fakhrurrazi menemukan teori bahwa masyarakat Muslim secara keseluruhan adalah maksum!2

Tafsiran ini sesungguhnya terasa unik, dan tak seorang ulama Muslim pun bersandar pada teori ini dan ia tidak berdasarkan pada hadis apapun. Sangat mengejutkan bahwa Fakhrurrazi mengakui setiap individu dari bangsa Muslim tidak maksum, namun mengklaim bahwa mereka semua adalah maksum. Bahkan seorang pelajar tingkat dasar pun mengetahui bahwa 200 ekor sapi ditambah 200 ekor sapi menjadi 400 ekor sapi dan hukan seekor kuda. Namun Fakhrurrazi mengatakan bahwa 70 juta orang lidak maksum ditambah 70 juta orang tidak maksum menjadi satu orang maksum! Apakah ia menghendaki kita untuk percaya bahwa apabila semua pasien dari rumah sakit jiwa bersatu padu, maka mereka menjadi setara dengan satu orang yang sehat jiwanya?

Nyatalah, dengan pengetahuan Qurannya yang mumpuni, ia mampu untuk menyimpulkan Ulil Amri haruslah maksum. Namun ia tidak urung untuk melihat bahwa ayat itu mengandung kata minkum (dari kalian) yang menunjukkan bahwa ulil amri haruslah menjadi bagian dari masyarakat Muslim, bukan seluruh bangsa Muslim. Selain itu, jika seluruh bangsa Muslim ditaati, lantas siapa subjek yang menaati mereka?
Selain itu, seluruh masyarakat belum pernah memiliki satu suara yang tunggal lantas, siapakah yang harus kita ikuti di antara mereka?

Demikian pula, opini mayoritas bukanlah suatu tolak ukur yang baik untuk membedakan kebatilan dari kebenaran. Tengoklah Quran, siapapun bisa melihat bahwa Quran secara tajam menyatakan mayoritas manusia dengan kerap menyebutkan bahwa ‘kebanyakan tidak memahami’, `kebanyakan tidak menggunakan logika mereka’, ‘kebanyakan mengikuti hawa nafsu mereka’, karena pandangan mayoritas manusia senantiasa terhalangi karena kecenderungan mereka. (Lihat misalnya Surah al-An’am: 116, al-Maidah : 49; Yunus: 92; al-Rum : 8)

Makna Hakiki Ulil Amri

Sekarang kita kembali pada tafsiran yang benar dari ayat di atas, yakni penafsiran ayat itu oleh Ahlulbait. Imam Ja’far Shadiq mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali, Hasan dan Husain salam atas mereka semua. Setelah mendengarkan penafsiran ini, seseorang bertanya kepada Imam, “Orang-orang bertanya, mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan keluarganya dalam kitab-Nya?” Imam menjawab, “Katakan kepada mereka bahwa telah turun perintah salat, namun Allah tidak menyebutkan apakah tiga ataukah empat rakaat. Rasulullah-lah yang menjelaskan segala rinciannya. Dan (perintah membayar) zakat diturunkan, namun Allah tidak mengatakan bahwa ia merupakan dalam setiap empat puluh dirham adalah Rasulullah yang menjabarkannya, dan haji (berziarah ke Mekkah) diperintahkan namun Allah tidak mengatakan cara melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) tujuh kali adalah Rasulullah yang menguraikan. Demikian pula ayat yang diturunkan berikut, Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas di antara kalian dan itu diturunkan sekaitan dengan Ali, Hasan dan Husain (yang merupakan para imam yang sezaman dengan Nabi).”

Adalah sangat jelas bahwa sekiranya Allah SWT menyebutkan nama Imam Ali dalam Quran secara eksplisit, niscaya orang-orang yang memikul gunung kebencian terhadapnya berusaha untuk mengubah Quran. Jadi, ini merupkan kelembutan Allah SWT dimana Dia menaati semua cabang ilmu agama dalam Quran untuk dipahami hanya oleh prosesor-prosesor dari minda pemahaman. Dengan cara ini, Allah SWT memelihara Quran secara sempurna.

Tentang penafsiran ayat 59 Surah an-Nisa dimana Allah SWT mcmerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, Khazzaz dalam Kifayat al-Atsar-Nya, mencantumkan sebuah hadis berdasarkan otoritas sahabat Nabi SAW yang tersohor, Jabir bin Abdillah Anshari. Ketika ayat tersebut (an-Nisa : 59) diturunkan,
Jabir bertanya kepada Nabi SAW, “Kami tahu Allah dan Nabi, namun siapakah mereka yang diberi otoritas yang ketaatannya nlah digabungkan dengan ketaatan kepada Allah dan dirimu sendiri?”
Nabi SAW berkata, “Mereka para khalifahku dan imam bagi kaum Muslim sepeninggalku. Yang pertama dari mereka adalah Ali, kemudian Hasan hin Ali, kemudian Husain bin Ali, kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang telah disebut al-Baqir dalam Taurat (Perjanjian Iama). Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Apabila engkau menemuinya, sampaikanlah salamku kepadanya! Ia akan digantikan (kedudukannya) oleh putranya, Jafar Shadiq, kemudian Musa bin Jafar, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali. Ia akan disusul oleh putranya, yang nama dan julukannya akan berada sama dengan julukanku. Dialah Bukti Allah (hujjatullah) di muka bumi dan orang yang dibakakan oleh Allah (Baqiyatullah) untuk memelihara akar keimanan di antara manusia. Dia akan menaklukkan seluruh dunia dari timur hingga barat. Sedemikian lama ia akan menghilang dari pandangan para pengikut dan sahabatnya sehingga keyakinan akan kepemimpinannya hanya akan bersemayam di hati-hati orang-orang yang telah diuji keimanannya oleh Allah.”
Jabir bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah para pengikutnya akan mendapatkan faedah dari kegaibannya?”
Nabi SAW menjawab, “Benar! Demi Dia yang mengutusku dengan keNabian! Mereka akan diberi petunjuk dengan cahayanya, dan mendapatkan manfaat dari kepemimpinannya wlama kegaibannya, sebagaimana manusia mendapatkan manfaat dari kepemimpinannya selama kagaibannya, sebagaimana manusia mendapatkan manfaat dari di balik awan. Wahai Jabir, inilali rahasia Allah yang tersembunyi dan khazanah pengetahuan Allah. Maka jagalah ia kecuali dari orang-orang yang berhak untuk menerimanya!”

Sekarang kita mafhum siapakah’orang-orang yang diberi otoritas’. Ia merupakan bukti bahwa persoalan menaati para penguasa yang tiran dan zalim tidak muncul sama sekali. Dengan ayat di atas (dalam tafsiran Imam Ja’far tadi) kaum Muslim tidak perlu menaati para penguasa yang zalim, tiranik, jahil, egois, dan tenggelam dalam hawa nafsu. Sesungguhnya, mereka (kaum Muslim) diperintahkan untuk menaati dua belas imam yang ditentukan, yang mereka semua itu maksum dan bebas dari pemikiran dan perbuatan buruk. Menaati mereka tidak punya resiko apapun.

Bahkan, ketaatan kepada mereka menjaga dari semua resiko; karena mereka tidak akan pernah memberikan sebuah perintah yang berlawanan dengan titah Allah SWT dan akan memperlakukan semua manusia dengan cinta, keadilan, dan persamaan.

Apakah Imamah Merupakan Persoalan Pewarisan?

Menurut Syi’ah, imam dipilih oleh Allah SWT. Itu bukan masalah pewarisan, karena jika demikian maka Imam Husain seharusnya tidak menjadi Imam setelah kesyahidan Imam Hasan. Imam Hasan mempunyai banyak anak dan keturunan, tak seorang pun dari mereka menjadi imam. Alih-alih, saudaranya Imam Husain, menjadi imam setelahnya. Ada juga sejumlah anak lelaki dan cucu yang menyimpang dari para imam, tak seorang pun yang menerima kedudukan Imamah. Hal ini memperlihatkan bahwa kepemimpinan bukan masalah pewarisan. Tentu saja, suatu gen suci adalah penting bagi imam, namun imam membutuhkan banyak syarat lain juga. Allah SWT mengetahui siapa yang mempunyai semua kualifikasi seperti itu. Adalah kehendak
Allah SWT yang menempatkan seluruh imam dalam garis keturunan Nabi SAW. ‘

Sesungguhnya, jika seseorang mengkaji sejarah para Nabi Tuhan, ia akan menemukan bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Allah Yang memiliki kekuasaan dan keagungan berfirman,
Dan (ingatlah) kletika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan) lalu Ibrahim menunaikannya Allah berfirman “Sesungguhnya, Aku akan menjadikan Mu Imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku .”Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah : 124)
Dalam ayat di atas, Allah SWT tidak menolak kepemimpinan dari keturunan Ibrahim, namun Dia membatasi kedudukan ini hanya pada keturunan Nabi Ibrahim as yang memenuhi syarat. Allah SWT berfirman, kepemimpinan yang ditunjuk Tuhan tidak sampai kepada orang yang zalim, sekalipun orang itu merupakan keturunan Ibrahim.

Dengan demikian, keturunan Ibrahim tidak perlu menjadikan orang itu imam karena mesti ada syarat lain selain itu. Orang-orang di antara mereka yang bukan pelaku kezaliman (bebas dari dosa) memenuhi syarat, karena mereka tidak hanya memiliki gen yang suci, namun mereka telah di peroleh kualifikasi lain melalui penderitaan. Sebagaimana Allah SWT wumpunyai pengetahuan sebelumnya ihwal kesabaran dan kualifikasi mereka, Dia mempercayakan kepada mereka posisi ini dan mengutamakan mereka di atas semua makhluk-Nya yang lain.
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka rnasing-masing) (QS. Ali Imran : 33).
Garis nasab Muhammad kembali ke Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim as. Demikian pula Nabi Musa dan Nabi Isa kedua-duanya berasal dari Nabi Ishaq yang merupakan putra lain dari Nabi Ibrahim as. Sesungguhnya, semua Nabi setelah Ibrahim berasal dari keturunannya. Namun, kita tidak mengklain bahwa keNabian merupakan masalah pewarisan. Dialah Allah SWT yang memilih mereka satu demi satu.

Dalam madah lain, kita tidak mengatakanbahwa anak lelaki Nabi harus selalu menjadi seorang Nabi. Banyak syarat lainnya selain itu. Jika tidak, Kan’an, putra Nuh as, niscaya masih hidup. Nabi Nuh as mempunyai tiga putra lain, Aam, Sam, dan Yafas yang merupakan orang-orang beriman dan yang bersama istri – istri mereka menaiki bahtera dan akhirnya selamat. Mereka berasal dari ibu yang berbeda dibandingkan dibandingkan dengan Kan’an. Oleh karenanya, putra seorang Nabi atau seorang imam tidak mesti menjadikan orang itu Nabi atau imam atau bahkan orang yang saleh. Ringkasnya, gen suci untuk Nabi dan imam memang penting namun tidak cukup. Ulil amri/imam dilantik oleh Allah SWT, demikian pula halnya dengan para Nabi. Lihatlah Quran suci dimana Allah SWT berkali-kali menyatakan bahwa "Dia adalah Zat yang melantik imam." (lihat al-Baqarah:124; al-Anbiya: 73; as-Sajdah: 24).

Ada dua belas imam yang dilantik oleh Allah SWT sebagai pelanjut Nabi Muhammad SAW. Ada sebuah hadis panjang dalam dokumen-dokumen Sunni yang menyatakan bahwa jumlah para imam setelah Nabi adalah dua belas orang. Ada dokumen-dokumen Sunni lainnya yang di dalamnya Nabi SAW bahkan menyebutkan nama masing-masing dua belas imam tersebut. Allah SWT menunjuk dua belas imam, bukan semata-mata mereka dari rumah tangga Nabi SAW, namun karena mereka, di masa-masa mereka, yang paling berilmu, paling terkenal, paling takwa, paling saleh, paling baik dalam kebajikan personal, dan paling mulia di hadapan Allah; dan pengetahuan mereka diturunkan dari leluhur mereka (Nabi) melalui ayahayah mereka, dan juga melalui didikan langsung dari Allah SWT melalui inspirasi (ilham). Para pelanjut Nabi (selain pelanjut Nabi Muhammad) adalah para Nabi juga, dan dengan demikian mereka semua ditunjuk oleh Allah SWT. Juga Quran mengatakan bahwa sebagian Nabi itu, atas perintah Allah, menunjuk imam-imam (yang bukan para Nabi).

Izinkan kami memberikan sejumlah ayat suci Quran!

Apakah kAmu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa as, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah!” (QS. al-Baqarah: 246).
Setiap orang yang telah ditunjuk secara khusus oleh Allah SWT sebagai raja adalah seorang imam. Seorang Nabi bisa juga (berperan) seorang imam/raja namun tidak semua Nabi adalah imam. Jika seseorang menjadi Raja atau imam yang ditunjuk oleh Allah SWT, itu tidak berarti dengan sendirinya ia akan berkuasa secara fisik. Ayat Quran di atas berbicara tentang Thalut. Di bawah ini ayat Quran lainnya yang memberikan lebih banyak rincian.

Nabi mereka (1) berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut (Saul) sebagai raja(2)mu.” Mereka menjawab “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup?(3)” Dia (Nabi mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya(4) menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah mernberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.(6) Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 247)
Bagian pertama ayat di atas (nomor 1) membuktikan bahwa masyarakat mempunyai seorang Nabi dan Thalut berada di tengah-tengah mnsyarakat tersebut, sehingga Nabi mereka adalah Nabi Thalut juga. Jadi, Thalut bukanlah seorang Nabi.
Bagian bertanda nomor 2 menunjukkan bahwa Allah menunjuk Thalut sebagai imam/pemimpin/raja.
Angka 3 memperlihatkan bahwa apa yang ditunjuk Tuhan tidak dipilih berdasarkan kekayaan. Kerajaan ini pada dasarnya berwatak spiritual, dan sudah tentu, Thalut adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk memerintah secara fisik juga, namun yang terakhir ini tergantung pada pengakuan orang-orang kepada mereka sementara kedudukan sebelumnya (kepemimpinan spiritual) senantiasa ditctapkan bagi imam. Memilih imam/raja bukanlah tugas manusia, dan bagaimana bagian disarankan, Allah SWT memilih raja/imam karena Dia tahu siapakah orang yang paling memenuhi syarat untuk menduduki kedudukan luhur tersebut. Di sini raja berarti orang yang memiliki otoritas melalui Allah SWT. Ini dibuktikan oleh bagian 6 ayat di atas. Orang yang memiliki otoritas ini disarati dengan ilmu dan hikmah sebagaimana bagian 5 tegaskan.

Dalam ayat selanjutnya, kita baca,

Dan Nabi (lebih dari itu) mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang berirnan (QS. al-Baqarah : 248).
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhamrnad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah mernberikan kitab dan hikmah Jcepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan yang besar. (QS. an-Nisa : 54).

Sekali lagi, kerajaan ini melupakan Imamah karena hanya sedikit dari keluarga Ibrahim yang memerintah secara fisik.


Bisakah Manusia Memilih Imam ?


Sunni mengklaim bahwa masalah penerus Nabi diselesaikan melalui konsep syura (musyawarah) karena Allah SWT menyatakan dalam Quran bahwa masalah mereka dipecahkan melalui syura. Klaim bahwa isu kepemimpinan diatasi melalui musawarah tidaklah didukung. Klaim tersebut adalah kesalah pahaman pengertian musyawarah (syura). Musyawarah berbeda dari voting/pemilihan, dan karena alasan tersebut, ia tidak bisa diterapkan pada masalah kekhalifahan. Mari kami jelaskan alasannya!

Ketika seorang pemimpin hendak memutuskan suatu persoalan, berdasarkan aturan-aturan Islam, ia bisa berusaha untuk berunding dengan sekelompok pakar untuk mendapatkan pendapat mereka tentang persoalan spesifik tersebut. Namun akhirnya ia sendiri yang memutuskan. Ia tidak melakukan pengambilan suara. Untuk membuktikan noktah kami, mari kita lihat ayat berikut!

...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu (Nabi) telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah (QS. Ali Imran : 159).

Ayat di atas meminta musyawarah, namun Allah SWT menyatakan fa idza azamta... artinya hanya Nabi yang mengambil keputusan terakhir. Di sini tidak ada voting sama sekali. Ia hanya masalah memperoleh pendapat. Keputusan final oleh Nabi boleh jadi berbeda dari mayoritas manusia yang bermusyawarah (karena maslahat) yang disadari oleh pemimpin dan karena pemimpin itu dianggap sebagai lebih unggul dalam keilmuan, lebih pintar, dan seterusnya.

Sebagian pihak berpendapat di sini bahwa, karena pengetahuannya yang tinggi, Nabi SAW bahkan tidak perlu meminta pendapat dari kaumnya. Akan tetapi, beliau melakukannya dalam beberapa keadaan hanya demi mengajarkan kepada manusia arti penting musyawarah.

Dalam masalah musyawarah, keberadaan seorang pemimpin diasumsikan sebagai orang yang mengambil keputusan akhir. Secara gamblang ini membuktikan bahwa, dalam masalah suksesi, musyawarah tidaklah berarti (kecuali itu dilakukan oleh pemimpin sebelumnya sebelum wafatnya). Sepeninggal wafatnya seorang pemimpin, tidak ada pemimpin yang bisa melakukan musyawarah, kecuali mendiang pemimpin tersebut mempunyai seorang wakilnya (atau sebut saja wakil presiden) yang mampu menjalankan fungsi ini. Biasanya wakil yang ditunjuk tersebut adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk menduduki posisi kepemimpinan, dan sekalipun ia memutuskan orang lain untuk menjadi pemimpin, pemimpin tersebut tetap ditunjuk oleh wakil (pemimpin) yang sebelumnya ditunjuk ini, dan bukan oleh manusia!

Adapun voting merupakan persoalan yang sepenuhnya berbeda. Dalam masyarakat yang demokratis, semua orang memiliki kesempatan untuk memilih calon mereka. Prosedur semacam ini tidak punya dukungan apapun dalam Quran dan Sunnah untuk isu kepemimpinan umat Islam. Secara keseluruhan. Pasalnya, Islam didasarkan pada teokrasi (kerajaan Allah) dan bukan pada demokrasi (pemerintahan manusia atas manusia). Sesungguhnya, Quran mengecam pendapat kebanyakan manusia (lihat al-An'am: 116; al-Maidah: 49; Yunus: 92; al-Rum : 8) karena pandangan kebanyakan manusia biasanya lemah lantaran kecenderungan mereka. Pula, pemilihan umum semacam itu tidak terjadi untuk tiga khalifah pertama yang naik ke tahta kepemimpinan sepeninggalnya Nabi SAW, bahkan tidak di antara penduduk Madinah. Juga, bagaimana sekiranya orang-orang memilih pribadi yang tak memenuhi syarat yang tampak memenuhi syarat dalam pandangan mereka, seperti seorang munafik? Bagaimana pribadi korup seperti itu menjadi Ulil Amri dan ketaatannya menjadi wajib? Tentu saja, Allah SWT dan Rasul-Nya mengetahui lebih baik yang lebih memenuhi syarat sebagai penerus Nabi SAW.


Keyakinan kepada Ulil Amri

Andaikata Quran memerintahkan kepada kita untuk menaati seseorang tanpa syarat, itu artinya kita harus meyakininya dan otoritasnya dengan sukarela (dan keridhaan). Perhatikan, bagaimanapun, orang harus membedakan antara’mempercayai bahwa kita harus menaati ulil amri’ dan ‘menaati ulil amri’. Jika orang percaya bahwa ia harus menaati ulil amri, namun ia kadang-kadang mendurhakai ulil amri, ia seorang pendosa dan mukmin yang lemah. Akan tetapi, jika orang tidak percaya bahwa ia harus menaati ulil amri, maka orang semacam itu seorang kafir karena ia tidak percaya pada bagian agama Allah SWT, yang secara eksplisit disebutkan dalam Quran.

Sesungguhnya baik Syi’ah maupun Sunni percaya pada ulil amri karena ia merupakan teks yang jelas dalam Quran. Akan tetapi, mereka berbeda dalam cara memilih ulil amri. Menurut Syi’ah, kepemimpinan seluruh umat Islam bukanlah suatu pilihan manusia yang bisa dipilih melalui kepanitiaan dan selanjutnya dijadikan sebagai ulil amri secara artifisial yang kepadanya Allah SWT memerintahkan manusia untuk menaati mereka.
Kami juga ingat suatu klaim dari seorang saudara Sunni yang menyebutkan bahwa ayat ini memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para penguasa sepanjang mereka tidak mencampuri persoalan agama.

Untuk menjawab klaim ini, kami ingin menekankan bahwa tidak ada pembatasan apapun yang diberikan oleh Quran untuk menaati ulil amri. Sesungguhnya, dalam ayat di atas, ulil amri telah diberikan secara persis otoritas yang sama terhadap kaum Muslim sebagaimana yang dimiliki otoritas Rasul, karena baik Rasul maupun Ulil Amri telah disebutkan secara bersamaan (wau athf)di bawah satu kata ‘taat’, yang memperlihatkan bahwa ketaatan terhadap Ulil Amri memiliki kedudukan yang sama dengan ketaatan kepada Rasul. Karena itu, Ulil Amri pun merupakan pemimpin urusan-urusan agama. Ia adalah orang yang bisa menafsirkan secara tepat ayat-ayat Quran (lihat Ali Imran : 7 dan al-Anbiya: 7) dan orang yang paling memahami Sunnah Nabi SAW. Jadi mengklaim bahwa ulil amri semestinya tidak mencampuri urusan-urusan agama adalah hal yang menggelikan, karena ia adalah orang yang memenuhi syarat untuk melakukan hal tersebut dengan benar.

Mengapa Harus Dua Belas Imam?


Artikel ini mengacu pada pertanyaan: Dari manakah datangnya dua belas imam itu dan mengapa jumlah imam itu harus dua belas? Sesungguhnya, jawaban yang tepat terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Ada sejumlah kumpulan hadis Sunni lainnya yang semuanya merekam hadis otentik berikut dari Nabi SAW. Di sini, demi keringkasan, kami hanya menukil dari Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Musnad Ahmad bin Hanbal.

Dalam Shahih Bukhari, tercantum hadis berikut:
Diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah, “Aku mendengar Nabi SAW berkata, Akan ada dua belas pemimpin (amir).’ Kemudian ia mengucapkan sebuah kalimat yang tidak kudengar. Ayahku berkata, ‘Nabi SAW menambahkan, ‘Mereka semua berasal dari Quraisy.”6
Dalam Musnad Ahmad, tercantum hadis berikut, 
“Nabi SAW berkata, ‘Kelak ada dua belas orang khalifah untuk masyarakat ini. Semuanya dari Quraisy”‘7
Dalam Shahih Muslim, ada hadis berikut:
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, “Nabi SAW berkata, ‘Masalah (kehidupan) tidak akan berakhir, sampai berlalunya dua belas khalifah.’ Kemudian beliau membisikkan sebuah kalimat. Aku bertanya kepada ayahku apa yang Nabi katakan. Ia menjawab, ‘Nabi berkata, “Semuanya berasal dari Quraisy.”8
Juga dari Shahih Muslim:
Nabi SAW berkata, “Urusan-urusan manusia akan terus dibimbing (dengan baik) selama mereka diatur oleh dua belas orang.”9
Juga, Nabi SAW bersabda, “Islam akan terus berjaya sampai adanya dua belas khalifah.”10
Juga, Nabi SAW bersabda, ‘Agama Islam akan terus berlangsung sampai hari kiamat, dengan dua belas khalifah untuk kalian, mereka semua berasal dari Quraisy”‘11
Juga dalam ungkapan lain, Rasulullah menggunakan kata ‘imam’ alih-alih ‘khalifah’. Secara jelas diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata, “Para imam berasal dari Quraisy.”‘12
Secara jelas, hadis-hadis di atas tidak selaras dengan empat khalifah pertama semuanya karena jumlah mereka kurang dari dua belas orang. Hadis-hadis tersebut tidak bisa pula diterapkan kepada kekhalifahan Bani Umayah karena;
(a) mereka berjumlah lebih dari dua belas orang,
(b) mereka semua adalah kaum tiran dan zalim (selain Umar bin Abdul Aziz),
(c) mereka bukan berasal dari Bani Hasyim dan untuk hal itu, Nabi SAW telah
bersabda dalam hadis lain bahwa ‘mereka semua berasal dari Bani Hasyim.’

Hadis-hadis itu tidak bisa diberlakukan untuk kekhalifahan Bani Abbasiah lantaran;
(a) mereka berjumlah lebih dari dua belas orang,
(b) mereka menindas keturunan Nabi di mana-mana yang artinya mereka tidak sesuai dengan ayat Quran,

Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku keeuali kecintaan terhadap keluargaku (QS. asy-Syura : 23).
Ingatan kita mengenai sejarah kekhalifahan yang buruk itu menunjukkan bahwa, sekalipun dari perspektif Sunni, tidak ada khalifah yang baik sepeninggal empat khalifah pertama (menjadi 5 jika kita memasukkan Umar bin Abdul Aziz. Sebagian kaum Sunni sangat pemurah dan mereka memasukkan Imam Hasan as dan Imam Mahdi as ke dalam daftar itu juga).

Untuk menggenapkan angka dua belas, sebagian bahkan mencantumkan para tiran kesohor ke dalam daftar seperti Yazid bin Muawiyah, Marwan bin Hakam, Abdul Malik Marwan, dan Hisyam bin Abdul Malik. Alasannya adalah jelas dan sebagaimana kami nyatakan sebelumnya, itu karena kurangnya penguasa-penguasa yang beradab dan tulus dalam sejarah Islam.

Kami ingin mengingatkan anda bahwa ‘khalifah’ artinya penerus/wakil. Penerus Nabi (atau khalifah sebelumnya) harus muncul segera setelah wafatnya Nabi (atau khalifah sebelumnya). Andaikata ada kesenjangan antara penerus, kata ‘penerus’ tidak memiliki makna apaapa. Maka para penerus harus muncul persis setelah kepergian yang lain sehingga tidak ada kesenjangan ataupun jeda. Demikian pula halnya Nabi SAW mengatakan dalam hadis-hadis di atas, dua belas khalifah itu akan terpenuhi sampai hari kiamat.

Sebagaimana yang mungkin anda mafhum, para pengikut Ahlulbait Nabi SAW merujuk pada dua belas khalifah tersebut sebagaimana halnya dua belas imam mereka yang bermula dari Imam Ali bin Abi Thalib dan berakhir dengan Imam Mahdi as, imam di zaman kita sekarang. Mereka adalah para khalifah karena Allah SWT menjadikan mereka khalifah-khalifah (mereka semua adalah wakil-wakil Allah SWT di muka humi).

Bersama lintasan waktu dan melalui kejadian – kejadian sejarah, kita ketahui bahwa melalui hadis-hadis di atas Nabi SAW memaksudkan dua belas khalifah tadi adalah dua belas imam dari Ahlulbaitnya yang merupakan keturunan Nabi SAW karena kita tidak punya kandidat lain dalam sejarah Islam yang semua kesalehannya disepakati oleh seluruh Muslimin.

Adalah menarik untuk diketahui bahwa bahkan musuh-musuh Syi’ah tidak mampu menemukan setiap kekurangan dalam keutamaan-keutamaan dua belas imam Syi’ah. Lagi pula, dua belas imam ini muncul satu demi satu tanpa ada kesenjangan.

Sekarang, jelaslah bahwa satu-satunya cara untuk menafsirkan hadis-hadis yang disebutkan sebelumnya yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi, Hakim, dan Ahmad bin Hanbal adalah dengan menerima dan mengakui bahwa itu merujuk pada dua belas imam dari kalangan Ahlulbait Nabi SAW, karena mereka adalah -di zaman mereka masing-masing- yang paling berilmu, masyhur, paling takwa, paling saleh, terbaik dalam keutamaan-keutamaan pribadi, dan yang paling mulia di hadapan Allah SWT. Pengetahuan mereka bersumber dari leluhur mereka (Nabi) melalui ayah-ayah mereka. Inilah Ahlulbait yang kemaksumannya, ketidak bernodaannya, dan kesuciannya dibenarkan oleh Quran mulia (kalimat terakhir Surah al-Ahzab : 33).

Juga hadis-hadis Nabi yang disebutkan di atas dipandang sebagai sahih oleh kaum Sunni, membuktikan tanpa syak lagi bahwa konsep ‘dua belas imam’ bukanlah suatu temuan baru dari seorang Syi’ah dua belas imam! Adalah mengherankan bahwa kendatipun pengak~n Bukhari dan Muslim dan ulama-ulama Sunni tenar lainnya perihal dua belas imam, kaum Sunni selalu berhenti pada empat khalifah pertama! Lebih menarik lagi, ada juga riwayat-riwayat Sunni yang di dalamnya mengandung perkataan bahwa Rasulullah menyebutkan nama-nama dari dua belas anggota Ahlulbaitnya ini satu demi satu yang bermula dengan Imam Ali as dan berakhir dengan Imam Mahdi as (lihat YaNabi al-Mawaddah, karya Qanduzi Hanafi).

Sekarang setelah menyelisik semua hadis shahih ini yang semua Muslimin menyepakati bulat,kami ingin bertanya,berdasarkan prespektif Sunni siapakah dua belas khalifah setelah Nabi Muhammad saw? Silakan dukung penegasan anda dengan merujuk pada Quran dan atau enam buku kumpulan hadis Sunni, dan juga membenarkan perbuatan mereka dalam lintasan sejarah. Ingatlah, perintah-perintah dua khalifah Nabi ini haruslah ditaati. Karenanya, jika anda tidak mengenal dua belas pemimpin anda, bagaimana anda ingin menaati mereka? Sesungguhnya, Rasulullah SAW berkata, ‘Barang siapa yang meninggal tanpa mengenali imam zamannya, matinya ia seperti orang yang mati selama masa jahiliyah (zaman sebelum Islam).’

Segelintir Fakta tentang Dua eelas Imam Ahlulbait


Imam Pertama:
Amirul Mu'minin (Pemimpin orang-orang beriman), Abu Hasan, Ali Murtadha, putra Abu Thalib.
Beliau dilahirkan di dalam Kabah pada 13 Rajab, sepuluh tahun sebelum deklarasi kenabian (600 M). Ia menjadi Imam ketika Nabi SAW wafat pada 28 Shafar 11/632. Ketika melakukan salat subuh di masjid Kufah, beliau diserang dan terluka parah oleh pedang beracun Ibnu Muljam. Beliau meninggal dua hari sesudahnya pada 21 Ramadhan 40 H/661 H dan dimakamkan di Najaf.

Imam Kedua: 
Abu Muhammad, Hasan Mujtaba bin Ali,
Dilahirkan pada 15 Ramadhan 3 H/625 H di Madinah; syahid karena diracun pada 7 atau 28 Shafar 50/670 di Madinah atas perintah Muawiyah.

Imam Ketiga: 
Abu Abdullah Husain bin Ali.
Dilahirkan pada 3 Sya’ban 4 H/626 H di Madinah; syahid bersama putra-putranya (kecuali satu yang selamat), kerabat, dan para sahabatnya, pada 10 Muharram (Asyura) 61/ 680 di Karbala (Irak) atas perintah
Yazid bin Muawiyah. Ia dan saudaranya, Hasan, adalah putra-putra Fathimah binti Muhammad SAW.

Imam Keempat: 
Abu Muhammad Ali Zainal Abidin bin Husain. 
Dilahirkan pada 5 Sya’ban 38 H/659; syahid karena diracun pada 25 Muharram 94/712 atau 95/713 di Madinah atas perintah Hisyam bin Abdul Malik.

Imam Kelima: 
Abu Ja’far Muhammad Baqir bin Ali.
Dilahirkan pada 1 Rajab 57/677 di Madinah; syahid karena diracun oleh Ibrahim pada 7 Dzulhijjah 114 H/733 di Madinah.

Imam Keenam: 
Abu Abdullah Ja’far Shadiq bin Muhammad
Dilahirkan pada 17 Rabiul Awwal 83 H/702 di Madinah; syahid karena diracun pada 25 Syawal 148/765 atas perintah Mansyur.

Imam Ketujuh: 
Abu Hasan Awal Musa Kazhim.
Lahir di Abwa (tujuh mil dari Madinah) pada 7 Shafar 129 H/746; syahid karena diracun pada 25 Rajab 183 H/799 di penjara Harun Rasyid di Baghdad dan dimakamkan di Kazhimiyyah, dekat Baghdad, Irak.

Imam Kedelapan: 
Abu Hasan Tsani, Ali Ridha bin Musa. 
Lahir pada 11 Dzulqa’dah 248/765 di Madinah; syahid karena diracun pada 17 Shafar 203/818 di Masyhad (Khurasan, Iran} atas perintah Ma’mun.

Imam Kesembilan: 
Abu Ja’far, Tsani, Muhammad Taqi Jawad bin Ali. 
Lahir pada 10 Rajab 195/811 di Madinah; syahid karena diracun pada 30 Dzulqa’dah 220/835 atas perintah Mu’tashim di Baghdad. Beliau dimakamkan di dekat kakeknya di Kazhimiyyah.

Imam Kesepuluh: 
Abu Hasan Tsafits, Ali Naqi Hadi bin Muhammad, 
Dilahirkan pada 5 Rajab 212/827 di Madinah; syahid karena diracun di Samauah (Irak) pada 3 Rajab 254/868 atas perintah Mutawakkil.

Imam Kesebelas: 
Abu Muhammad Hasan Askari bin Ali, 
Dilahirkan pada 5 Rabiul Akhir 232/846 di Madinah; syahid karena diracun oleh Mu’tamid di Samarah (Irak) pada 8 Rabiul Awal 260/874.

Imam Kedua belas: 
Abu Qasim Muhammad Mahdi bin Hasan,
Dilahirkan pada 15 Sya’ban 255/869 di Samauah (Irak). Dialah imam kita sekarang dan masih hidup. Beliau
mengalami kegaiban kecil pada 260 H/874 yang berlangsung hingga 329/844. Setelah itu ia memasuki kegaiban besar hingga sekarang. Ia akan muncul kembali ketika Allah SWT mengizinkannya untuk menegakkan kerajaan Allah SWT di muka bumi dan memenuhi dunia dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan tirani. Dialah al-Qaim (orang yang akan menggerakan aturan Allah), al-Hujjah (bukti Allah atas makhluk – mahlukNya), Shahib az-Zaman (pemilik zaman kita), dan Shahib al-Anr ( orang yang didukung oleh otoritas Allah).

Abdul Muthalib
Abdullah
Muhammad (a1-Musthafa)
Fathimah (az-Zahra) Ali (al-Murtadha)
Hasan (al-Mujtab) Hasan (al-Askari)
Abu Thalib

Ada sebuah hadis menarik dalam Shahih Bukhari juga Shahih Muslim ang mana Nabi SAW berkata sebagai berikut: Diriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri,
“Nabi SAW berkata, ‘ Kalian akan mengikuti cara – cara kaum sebelum kalian, inci demi inci, sedemikian rupa sehingga sekalipun mereka memasuki lubang seekor kadal, kalian akan mengikuti mereka.’ Kami bertanya, ‘ Wahai Rasulullah (apakah yang Anda maksudkan) itu Yahudi dan Kristen ?’ Beliau berkata “ siapa lagi ?”13
Sebagaimana hadis di atas dalam Shahih Bukhari benarkan, Nabi SAW menyatakan bahwa sejarah Bani Israil akan diulang kaum Muslim. Sesungguhnya Quran telah menyebutkan sejarah Bani Israil untuk memberikan kepada kita sebuah cara untuk memahami sejarah Islam yang hakiki itu sendiri. Ada banyak kemiripan yang menarik dalam hal ini yang tercantum dalam Quran meliputi keserupaan para pemimpin dan keserupaan manusia. Kami hanya menyebutkan sebagian kecil darinya di sini. Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Agung berkata, Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) bBani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka dua belas orang pemimpin diantara mereka (QS. Al-Maidah : 12 )

Siapakah dua belas orang pemimpin diantara anak – anak Muhammad SAW? Allah Yang Maha Mulia berfirman :
Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu ia berfirman “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh, setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing – masing ). (QS.al-Baqarah : 12).
Dan kami membagi kepada mereka dua belas suku (atau) bangsa dan kami mewahyukan kepada Musa, ketika kaumnya meminta air kepadanya, “Pukullah olehmu, dengan tongkatmu, batu itu “! Maka memancarlah keluar darinya dua belas mata air. Semua suku mengetahui tempat minumnya dan kami menyebabkan awan – awan untuk menaungi atas mereka dan kami turunkan kepada mereka manna dan burung puyuh. (Kami berfirman),
“Makanlah yang baik – baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu“! Dan mereka (durhaka dan) tidak menganiayanya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya  dirinya sendiri (QS. Al-A’raf : 160).
Sesungguhnya orang – orang yang tidak mengikuti dua belas pempimpin tersebut tidaklah menganiaya melainkan diri mereka sendiri. Ayat di atas menyebutkan bahwa umat Nabi Muhammad SAW dalam bentangan sejarah (setelah kewafatannya hingga hari pembalasan) terbagi ke dalam dua belas interval waktu yang bertepatan dnegan seorang imam yang ditunjuk sebagai pemimpin bagi mereka. Dalam ayat sebelumnya Allah SWT berfirman :
Dan ( ingatlah) ketika dikatakan kepada mereka (Banilsrail), “Tinggallah kalian di negeri ini dan makanlah kalian apapun dari (hasil bumi)nya di mana saja kalian inginkan!” Dan katakanlah, ‘Bebaskanlah kami dari beban-beban (dosa-dosa) kami!’ Dan masukilah kalian gerbang itu sambil mernbungkuk, niscaya Kami akan mengampuni dosa-dosa kalian! Kelak akan Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik. “ (QS. al-A’raf : 161)
Atau,
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirrnan, “Masuklah ke negeri ini, dan makanlah sesukamu hasil bumi yang ada di dalamnya yang banyak lagi enak, dan masukilah pintu gerbnngnya sambil bersujud! Dan katakanlah (dengan setulus doa), ‘Bebaskanlah kami dari dosa!’ Niseaya Kami akan mengampuni dosa-dosamu, dan kelak Kami akan menambah (anugerah-anugerah Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik (kepada orang lain).” (QS. al-Baqarah : 58)
Pintu yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas memiliki keserupaan yang menarik dengan salah satu sifat Imam Ali yang disebutkan oleh Nabi kita SAW sebagai berikut, ‘Pintu kota ilmu.’
Rasulullah SAW bersabda, “Akulah kota pengetahuan, sedangkan Ali adalah pintunya. Maka barang siapa yang ingin memasuki kota dan hikmah, ia harus masuk dari pintunya!”15
Selain itu hadis Nabi berikut memberikan keserupaan Quran dengan dua ayat di atas. Rasulullah SAW bersabda,
“Ahlulbaitku laksana pintu tobat Bani Israil. Barangsiapa masuk ke dalamnya akan diampuni.”15
Allah SWT juga berfirman dalam Quran,
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan yang ada dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan larrqit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (mulia). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di dalamnya. (QS. at-Taubah : 36)
Sekaitan dengan ayat-ayat Quran di atas, elok kiranya menyimak hadis berikut:
Diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa Rasulullah SAW berkata, “Waktu telah mengambil bentuk awalnya yang ia miliki ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri atas dua belas bulan, empat di antaranya adalah bulan haram.Sesungguhnya, engkau akan menemui Tuhanmu, dan Dia akan bertanya kepadamu tentang perbuatan-perbuatanmu. Ingatlah! Janganlah kamu menjadi orang kafir sepeninggalku dan saling memotong tenggorokan satu sama lain. Diwajibkan pada orang-orang yang hadir untuk menyampaikan pesan ini kepada orang-orang yang tidak hadir. Boleh jadi sebagian dari mereka yang menerima pesan ini akan memahami pesan ini lebih baik ketimbang orang-orang yang mendengarnya secara langsung.” Rasulullah
kemudian menambahkan ungkapan berikut dua kali, “Janganlah ragu! Belumkah aku sampaikan (risalah Allah) kepadamu?”16

Sekarang orang mungkin bertanya: Apakah dalam pesan tersebut di atas terdapat hal-hal yang tidak dipahami oleh para sahabat yang tengah mendengarkan khutbah Nabi selama haji terakhirnya di Mekkah?” Pesan Nabi SAW mempunyai dua hal. Pengertian jelasnya adalah bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan dan empat antaranya, yakni Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, adalah bulan-bulan mulia (haram). Sesungguhnya, bulan-bulan ini dipercayai sebagai bulan mulia bahkan jauh-jauh hari sebelum Islam. Maka tidak ada sesuatu pun dalam pesan ini yang tidak bisa dipahami oleh pendengar.

Selain itu, fakta bulan-bulan mulia yang disebutkan di atas dalam setahun diterima oleh Yahudi dan Kristen, menjelaskannya bahwa bulan-bulan ini tidak bisa menjadi `agama yang kukuh’, sebagaimana dikatakan dalam ayat tadi. Jadi, orang harus mencari pengertian yang lebih subtil.

Makna lain (sebagaimana ditafsirkan oleh Ahlulbait) adalah bahwa Nabi SAW dalam haji terakhirnya (kurang dari tiga bulan sebelum kewafatannya) ingin menyampaikan bahwa ia akan dilanjutkan oleh dua belas Imam dan orang-orang semestinya tidak menyesatkan jiwajiwa mereka dengan mendurhakai mereka dalam periode kepemimpinan mereka tersebut. Di antara dua belas ini, empat imam Ahlulbait memiliki sebuah nama suci, yakni Ali, yang diturunkan dari nama Allah SWT, yaitu Ali bin Abi Thalib Murtadha, Ali bin Husain Sajjad, Ali bin Musa Ridha, dan Ali bin Muhammad.

Dalam Sirah ibn Hisyam, ada sebuah kalimat tambahan dari Rasulullah yang sesungguhnya merupakan ayat Quran. Rasulullah SAW berkata,
“Penundaan bulan haram hanyalah suatu ekses kekufuran di mana orang-orang yang kafir tersesat. Mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah (QS. alTaubah : 37), dan mengharamkan apa yang Allah halalkan. Masa telah menyempumakan putarannya dan pada hari itulah Allah menciptakan langit dan bumi. Jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas. Empat di antaranya merupakan bulan mulia.”18
Penangguhan bulan suci merupakan penundaan dalam menerima kepemimpinan mereka dan sebagai utusanAllah SWT berkata, “Mereka yang mengingkari kepemimpinan mereka akan tersesat. Mereka menghalalkan apa yang telah Allah SWT halalkan. Mereka mencoba menyesuaikan dua belas imam dengan yang tidak Allah SWT muliakan.”

Fakta bahwa sebagian sekte memisahkan diri dari batang tubuh utama Syi’ah dalam sejarah adalah karena mereka hanya menerima sejumlah kecil imam-imam pertama dan menolak sisanya. Menarik untuk diketahui bahwa ia yang mengakui `empat Ali’ di antara para imam, ia telah mengakui dua belas imam, karena tidak ada
satu sekte pun yang mengimani empat imam ini dan menolak yang lain. Dalam sebuah hadis berdasarkan otoritas Jabir, Imam Muhammad Baqir as, imam kelima dari rangkaian para imam Ahlulbait, menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: Jabir berkata,
“Aku bertanya kepada Muhammad Baqir mengenai pengertian ayat sesungguhnya bilangan bulan ramadhan bulan di sisi Allah...(QS. at- Taubah :36). Beliau menarik napas panjang (karena sedih) dan berkata, ‘Wahai Jabir! ‘Tahun’ itu adalah kakekku, Rasulullah SAW, dan keluarganya adalah’bulan-bulan’ (dalam satu tahun itu) yakni dua belas imam. Mereka adalah... (menyebutkan satu demi satu namanama para imam). Mereka adalah bukti-bukti Allah atas makhlukNya, kepercayaan wahyu dan ilmu-Nya. Dan ‘di antaranya empat haram. Itulah ketetapan agama yang lurus’ adalah empat imam yang memiliki nama yang sama, yaitu Ali Amirul Mukminin, ayahku, Ali bin Husain (as-Sajjad), dan selanjutnya Ali bin Musa (ar-Ridha), dan Ali bin Muhammad (al-Hadi). Dengan demikian mengakui empat imam ini ‘adalah agarna yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu’ dan mengimani mereka semua (berarti) mendapatkan petunjuk.”19


Komentar Lawan


Seorang saudara Sunni menyebutkan bahwa ada sebuah hadis yang menyatakan, “Kekhalifahan akan berlangsung 30 tahun setelahku, maka akan ada banyak raja.” Tiga puluh tahun ini mencakup kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Nabi Thalib, juga enambulanpemerintahan Hasan bin Ali. Setelah tiga puluh tahun ini, kepemimpinan berpindah ke Muawiyah. Adapun khalifah ke 5 sampai ke 11 Allah SWT yang paling mengetahui. Sedangkan khalifah ke 12 adalah Mahdi Muntazhar.

Kutipan yang dianggap hadis di atas tampak sangat ganjil, lantaran khalifah artinya pengganti atau wakil. Pengganti Nabi (atau khalifah sebelumya) harus muncul segera setelah wafatnya Nabi (khalifah sebelumnya) tanpa jeda apapun sehingga kata ‘pengganti atau`wakil’ menjadi demikian berarti. Juga sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Nabi SAW menyatakan dua belas khalifah tersebut mencakup sampai hari kebangkitan.

Renungkan Surah ar-Ra’d ayat 7 di mana Allah SWT menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pemberi peringatan, dan bagi setiap kaum ada seorang pemberi petunjuk (imam)! Siapakah pemberi petunjuk setelah khalifah ke lima? Siapakah pemberi petunjuk dewasa ini? Siapakah Ulil Amri yang ketaatannya sewajib ketaatan kepada Nabi?

Siapakah orang yang disisakan Allah SWT (baqiyatullah) sebagai hujjah-Nya yang tentangnya Allah berkata, (Bukti) yang Allah sisakan (di muka bumi) adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang berimarv (QS. Hud : 86).

Ayat di atas merupakan bukti lain akan fakta bahwa ada satu orang di setiap zaman yang kepadanya Allah SWT telah sisakan di muka bumi untuk memelihara akar keimanan dan ia adalah imam zaman tersebut. Dengan demikian, kedudukan kepemimpinan yang ditunjuk oleh Allah SWT takkan pernah berhenti selama bumi masih menampung satu orang manusia sekalipun. Selain itu, anda tetap tidak menjawab siapakah sebagian dari dua belas imam yang belum disebutkan? Anda mengklaim bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan sebagai lima khalifah pertama, namun anda tidak menyebutkan sisanya. Tak syak lagi khalifah seharusnya diketahui oleh para pengikutnya, jika sebaliknya seorang khalifah imajiner tidak bisa diikuti, sementara Nabi SAW telah meminta kita untuk mengikuti mereka? Jika anda tidak mengetahui para imam anda, bagaimanakah anda bisa menaati mereka? Adalah sangat penting untuk mengetahui bahwa perkataan siapa yang harus diikuti (khalifah atau imam yang mana) karena Allah SWT secara jelas memerintahkan kita dalam Quran untuk mengikuti mereka sebagai Ulil Amri, dan selain itu, Nabi SAW memerintahkan kita untuk mengikuti mereka sebagai salah satu dari dua perkara yang berat (ats-tsaqalain). Menaati mereka adalah satu-satunya jalan keselamatan sebagaimana Nabi SAW saksikan.

Sekarang katakanlah wahai saudaraku! Apa yang terjadi setelah 30 tahun para raja bermunculan? Apakah anda setuju bahwa perilaku buruk dari sebagian orang seperti Muawiyah menyebabkan skandal tersebut bagi bangsa Muslim? Apa yang salah? Anda mengklaim bahwa orang-orang ini merupakan sebaik-baiknya generasi. Lantas, bagaimana bisa mereka membiarkan diri mereka sendiri mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan turun-temurun? Adalah sangat mungkin bahwa raja-raja yang sama memalsukan hadis’30 Tahun’ untuk mencegah orang-orang dari isu dua belas imam dan membenarkan perampasan mereka akan kekuasaan.

Saudara Sunni lain mengomentari bahwa di antara dua belas imam Syi’ah, hanya Imam Ali dan putranya Imam Hasan yang memerintah secara fisik, dan karena itu, bagaimana mungkin kaum Syi’ah menegaskan bahwa Nabi SAW tengah merujuk kepada orang-orang ini ketika beliau menyebutkan dua belas khalifah?

Jawabannya:
Allah SWT, dengan kelembutan-Nya, telah menunjuk para Nabi dan para penggantinya untuk memberi peringatan kepada kita dan memandu kita menuju jalan yang benar. Terserah pada keputusan kita apakah kita menggunakan kearifan kita dan menerima perintah-perintah mereka ataukah tidak. Kita tidak dipaksa untuk mengikuti seorang imam’ yang ditunjuk Tuhan, kendatipun kita akan dimintai pertanggungjawabannya atas keputusan yang kita ambil itu. Pilihan kitalah yang mengarahkan kita pada jalan kebenaran ataukah jalan kesesatan.

Kepemimpinan mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah sang pemimpin. Kita percaya bahwa karena Allah SWT mengetahui siapakah orang terbaik untuk kedudukan seperti itu, Dia menunjuk pemimpin bagi umat manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam Quran (al-Baqarah:124; alAnbiya:73; as-Sajdah:24 dan seterusnya).

Penunjikan Imam bisa diketahui melalui pernyataan Nabi ataupun imam sebelumnya. Agar kepemimpinan itu memanifestasikan dirinya dalam kekuasaan, ada sisi kedua yang penting, yakni para pengikut. Semestinya ada sejumlah pengikut untuk pemimpin itu untuk membimbing mereka dan pada akhirnya mampu membangun pemerintahannya.

Allah SWT telah menyempumakan nikmat-Nya kepada kita dengan menunjuk kepemimpinan. Pada kitalah terletak kewajiban untuk melakukan sisi lainnya, yakni mengikuti kepemimpinan Nabi dan Ahlulbaitnya. Jika kita lakukan demikian, pemimpin dengan sendirinya akan memegang kekuasaan di kehidupan duniawi ini. Akan tetapi, kita mendurhakai mereka. Pemimpin tersebut tampaknya tidak punya kekuasaan untuk muncul dan ia akan tetap sebagai pemimpin spiritual bagi segelintir pengikut setianya (imam al-muttaqin, pemimpin orang-orang yang bertakwa).

Umat lslam tidak dapat memungkiri bahwa para Nabi (sebagian diri mereka adalah para imam di zaman mereka juga) ditunjuk oleh Tuhan. Sekarang, jika kita kaji kehidupan mereka, sebagian darinya telah digambarkan dalam Quran, kita saksikan bahwa mayoritas dari mereka ditindas dalam masyarakat mereka. Tengoklah kehidupan Nabi Yahya AS! Ia seorang Nabi yang ditunjuk Allah SWT dan masyarakat diharapkan menaatinya. Namun mereka tidak mendukungnya. Alih-alih, mereka menyembelihnya dan memotong kepalanya. Mungkin orang bertanya, bukankah ia seorang imam? Apakah Allah SWT gagal melindungi Nabi-Nya?

Jawabannya adalah: Allah SWT telah memberi manusia kebebasan kehendak untuk menerima atau menolak kepemimpinan yang Dia angkat. Dalam kasus Nabi Yahya, orang-orang menolaknya dan, karena itu, jelasjelas mereka akan masuk neraka karena kedurhakaan mereka. Hal yang sama berlaku pula untuk kasus Nabi Ibrahim as yang juga seorang Imam. Quran berkata,
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan tertentu), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang imarn bagi seluruh manusia. “ (QS. al-Baqarah : 124)
Manusia diharapkan mengikuti pemimpin yang ditunjuk Tuhan tersebut; tetapi mereka malah berdiri menentangnya. Bahkan mereka melangkah lebih jauh dengan melemparkan Ibrahim ke dalam api. Dengan demikian, ayat di atas secara gamblang memperlihatkan bahwa imam yang ditunjuk oleh Allah SWT mungkin tidak memerintah secara fisik dalam kehadirannya itu.

Karena itu, kepemimpinan mempunyai dua bagian. Allah SWT melakukan bagian-Nya karena kelembutan-Nya. Adalah pilihan kita jika kita memenuhi bagian lainnya dengan mengakui pemimpin seperti itu untuk memperoleh kesejahteraan di dunia ini dan akhirat. Dalam hal para imam kita, sekalipun mereka adalah orang-orang yang paling memenuhi syarat dalam memegang tampuk kepemimpinan dan sekalipun mereka ditunjuk oleh Allah SWT dan Nabi-Nya, mayoritas manusia mendtmhakai mereka. Hal ini tidak mengejutkan karena sejarah umat manusia mengulang dirinya sendiri.

Karena itu, Imam Ali as adalah imam selama masa pemerintahan tiga khalifah pertama pasca wafatnya Nabi SAW, dan apa yang bisa diambil para penguasa ini darinya adalah kekuasaan dan bukan kedudukan Imamah (Imam Ali). Dalam madah lain, seorang imam yang ditunjuk Allah SWT adalah orang yang paling memenuhi syarat sebagai penguasa, meskipun konsep imamah lebih besar daripada sekadar kekuasaan. Imam adalah pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa, memiliki pengetahuan yang sempurna akan Quran dan Sunnah Nabi, dan tempat perlindungan yang dijaga bagi perselisihan-perselisihan dalam masalah agama.

Bagaimanapun, suatu komentar atas kasus Imam Mahdi as pastilah berbeda. Dialah orang yang akan melaksanakan kekuasaannya dengan pertolongan Allah SWT ketika mengizinkannya hadir kembali. Itulah sebabnya, ia telah diberi gelar al-Qa’im, orang yang akan berdiri (sebagai khalifah Nabi).

Seorang Sunni menjawab bahwa menurut Quran Ibrahim as berkata, “Dan jadikanlah aku bagi orang yang bertakwa seorang.” Dia mengatakan, kaum Syi’ah menerjemahkan Imam sebagai pemimpin dalam makna politik. Akan tetapi, adalah jelas di sini bahwa pengertian imam dalam ayat tersebut adalah pemimpin dalam arti pertama. Syi’ah menjadikannya seolah-olah ia tengah melakukan kampanye untuk posisi Namrudz atau memerintah Irak, atau sesuatu seperti itu ketika risalah Ibrahim menata jalan untuk mengenal Allah SWT dan menyembahnya yang merupakan tujuan utama dari diutusnya para Nabi.

Tanggapan kami adalah: Berkaitan dengan apakah Nabi Ibrahim diharapkan semata-mata hanya sebagai imam spiritual bagi orang-orang beriman atau seorang imam yang berkuasa di muka bumi, argumen kami adalah jelas, dan sepertinya saudara ini tidak memahaminya. Kami katakan bahwa seorang imam yang ditunjuk Tuhan seperti Ibrahim, adalah seorang imam baik orang-orang mengikutinya ataupun tidak.

Jika (katakanlah mayoritas) orang-orang mengikutinya, dengan sendirinya ia akan memegang tampuk kekuasaan. Dan sekiranya orang-orang; mendurhakainya, ia akan tetap memiliki kepemimpinan spiritualnya bagi sejumlah kecil pengikut setianya (orang-orang yang bertakwa).

Saudara Sunni, apakah anda mendakwa bahwa Allah SWT memerintahkan hanya orang-orang yang bertakwa untuk mengikuti Ibrahim, dan orang lain tidak diperintahkan untuk mengikutinya? Setiap orang di zaman itu diharapkan untuk menaati Ibrahim as. Ayat 124 Surah al-Baqarah secara jelas menyebutkan bahwa
Allah SWT menunjuknya sebagai imam bagi seluruh manusia, bukan pada sekelompok manusia.

Lagi pula, komentar anda di atas bahwa para Nabi tidak punya agenda politik apapun tidaklah benar. Dengan pernyataan di muka, secara tak sadar anda tengah melawan Nabi Muhammad yang berkampanye menentang kaum musyrik di Jazirah Arab dan menegakkan pemerintahan Islam yang pertama. Memang benar bahwa semua Nabi diutus untuk menggembleng manusia dan menjadikan mereka ingat akan Allah SWT. Namun ini tidak dapat sepenuhnya diterima tanpa kekuasaan politik apapun. Juga kami tidak pernah sebutkan bahwa memerintah negara sebagai tujuan pertama dari seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan. Alih-alih kami katakan bahwa pemimpin tersebut adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk posisi mulia itu. Manusia seyogianya menyadari fakta ini dan tunduk pada perintahnya. Bila mereka berbuat demikian dengan sendirinya ia akan menjadi pemimpin masyarakat itu tanpa membutuhkan’agenda’.

Seorang saudara Sunni lain menyebutkan bahwa bahkan sejumlah orang yang amat membenci Syi’ah seperti Ibnu Katsir dalam bukunya al-Bidayah wa an-Nihayah telah mengutarakan bahwa Husain dipandang sebagai salah satu dari dua belas khalifah. Tentang hal ini, kami ingin mengulas bahwa apabila kaum Sunni ini benarbenar percaya bahwa Imam Husain as adalah salah seorang khalifah, maka mereka telah mengakui apa yang Syi’ah katakan. Yaitu, kedudukan wakil/pengganti dari Nabi tidak ditengarai dengan ia yang beroleh kendali kukuasaan. Jika tidak, Imam Husain yang tidak memerintah secara fisik tidak dapat terhitung di antara dua belas khalifah. Juga kami sepakat bahwa Ibnu Katsir bersama Ibnu Qayyim Jauziyah membenci Syi’ ah, dan sangat mungkin mereka menimba kebencian mereka dari guru mereka; Ibnu Taimiyah.

Catatan Kaki

  1. Lihat artikel tentang Ghadir Khum pada buku ini yang menyediakan daftar mufasir Sunni yang membenarkan turunnya ayat di atas di Ghadir Khum sepeninggal Nabi saw menyatakan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin kaum beriman. Tafsir al-Kabir, Fakhruddin Muhammad bin Umar Razi, jilid 10, hal. 144.
  2. Kifayat al-Atsnr, Khazzaz, ha1.53.
  3. Misalnya, Shahih Bukhari, Arab-Inggris, jilid 9, haj. 250, hadis 3.29; Shahih Muslim, Inggris, bab DCCLIV, jilid 3, ha1.1009, hadis 4477, 4478; Shahih at-Turmudzi, jilid 4, ha1. 501; Sunan Abu Daud, jilid 2, hal. 421 (tiga hadis); Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 5, hal. 106.
  4.  Lihat, Yanabi al-Mawaddah, Qanduzi Hanafi.
  5. Shahih Bukhari, hadis 9.329.
  6. Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 5, hal. 106.
  7. Referensi Sunni: Shahih Muslim, Arab, Kitab al-Imarah, 1980, edisi Arab Saudi, jilid 3, hal. 1452, hadis 5; Shahih Muslim, Inggris, bab DCCLIV (Orang-orang tunduk kepada Quraisy dan Kekhalifahan adalah Hak Quraisy), jilid 3, hal. 1009, hadis 4.477.
  8. Rujukan Sunni: Shahih Muslim, Arab, Kitab al-Imaran, 1980, edisi Arab Saudi, jilid 3, hal. 1453, hadis 6; Shahih Muslim, Inggris, bab DCCLIV (Orang-orang tunduk kepada Quraisy dan Kekhalifahan adalah Hak Quraisy), jilid 3, hal. 1010, hadis 4.478.
  9. Referensi Sunni: Shahih Muslim, Arab, Kitab al-Imarah, 1980 edisi Arab Saudi, jilid 3, ha1.1453, hadis 7; Shahih Muslim, Inggris, bab DCCLIV (Orang-orang tunduk kepada Quraisy dan Kekhalifahan adalah Hak Quraisy), jilid 3, ha1.1.010, hadis 4.480.
  10. Rujukan Sunni: Shahih Muslim, Arab, Kitab al-Imarah, 1980, Edisi Arab Saudi, jilid 3, ha1.1453, hadis 10; Shahih Muslim, versi Inggris, bab DCCL1V (berjudul:Orang-orang yang tunduk kepada Qurais dan kekhalifahan adalah Hak ( Quraisy) jilid 3 hal 1010 hadis 4.483 RujukanSunni lain dalam hadis serupa: Shahih at-Turmuzzi, jilid 4, ha1.507; Sunan Abu Daud, jilid 2, hal. 421 (tiga hadis); dan yang lainnya seperti Tialasi, Ibnu Atsir, dan lain-lain.
  11. Rujukan Sunni: al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, ha1.149; Musnad ahmad ibn Hanbal; Shahih, Nasa’i, dari Anas bin Malik; Sunan, Baihaqi; ash-Shawa’iq al-Muhriqah, karya Ibnu Hajar Haitsami, bab 17, pasal 2, hal. 287.
  12. Shahih Bukhari, hadis 9.422 
  13. Referensi Sunni: Shahih at-Tururmudzi, jilid 5, hal. 207, 637; al-Mustardak,Hakim, jilid 3, hal. 126-127, 226; Fadha’il ash-Shahalah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, ha1. 635, hadis lOSl dan banyak lagi.
  14. Referensi Sunni: Majma’ ul Zawa id, Haitsami, jilid 9, hal. 165; alAwsath, Thabrani, hadis 18; Arha’in, Nabhani, hal. 216. Sebuah hadis yang serupa yang diriwayatkan Daruquthni dan ibnu Hajar Haitsami dalam ash-Shawa’iq al-Muhriqah, bab 9, pasal 2, hal. 193, dimana Nabi saw berkata, "Ali adalah pintu taubat, barangsiapa yang masuk ke dalamnya, ia seorang mukmin dan barangsiapa yang keluar darinya adalah seorang kafir."
  15. Shahih Buklrari, hadis 5.688. 
  16. Shahih Bukhari, hadis 2.798. 
  17. Referensi Sunni: Sirnh ibn Hisyam di akhir bab Haji Wada, hal. 968; The Life of Muhammad (terjemahan dari Sirah ibn Hisyam), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A. Guillaume, edisi 1955, London, hal. 651. 
  18. Referensi Syi’ah: Kitab al-Gaibah, Syaikh Thusi.
  19. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir, Fakhruddin Muhammad bin Umar Razi, diterbitkan di Mesir (1357/1938), di bawah tafsir Surah asy-Syura ayat 23, bagian 27, hal. 165-166; Tafsir al-Kasysyaf, Zamakhsyari; Tafsir al-Kabir, Tsa’labi.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...