Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 06 Juli 2011

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan --- Argumen Ontologi St. Anselm [3]

Argumen (burhân) Ontologi atau eksistensial, merupakan sebuah tema yang sejak abad ke-11 Masehi (abad ke-5 Hijriyah) telah ramai dibincangkan oleh para filosof. Perintis argumen ini adalah Santo Anselm. Berangkat dari sinilah, kemudian teori ini dikenal sebagai argumen Anselm.

Anselm, berupaya menemukan dalil pasti untuk membuktikan wujud Tuhan. Berdasarkan apa yang telah ditulis oleh sebagian orang, dikatakan bahwa, Anselm tidak hanya mencukupkan dirinya dengan membenarkan saja. Bahkan ia juga menuntut adanya dalil-dalil pasti dan konklusif atas wujud Tuhan. Hal ini senantiasa mengganggu dan mengusik pikiran Anselm, pada saat ia menunaikan ibadah.

Dan bahkan tak jarang, hal tersebut telah membuatnya lupa untuk menyantap makanannya. Hingga akhirnya, pada satu dini hari, setelah sekian malamnya ia lalui dalam kontemplasi yang mendalam, ia menemukan apa yang selama bertahun-tahun ini telah mengganggunya.

Akhirnya ia menemukan apa yang ia cari selama ini, yaitu argumen yang terkenal sebagai “argumen ontologi”. Sebuah argumen untuk membuktikan wujud Tuhan.



Setelah Anselm, muncul sosok lain dari ilmuwan era Scholastic yang bernama Johannes Duns Scotus (1265-1308), yang terkenal dengan sebutan “Guru yang berpandangan luas”. Dan terkenal pula sebagai lelaki yang cemerlang dan cerdas. Ia mengungkapkan teori ini dengan ulasan yang berbeda. Scotus sebagaimana Anselm, banyak meninggalkan pandangan-pandangan Aristoteles dan beralih pada gagasan-gagasan Plato.

Pada abad medieaval (abad pertengahan), sebagian orang menganggapnya sebagai pelanjut “tradisi Thomas” dan mengatakan bahwa pandangannya merupakan kolaborasi antara pendapat Augustin dan Aristoteles.

Setelah Scotus, sekali lagi argumen ontologi Anselm menapaki babak baru dengan penampilan yang berbeda yang dituangkan oleh Rene Descrates (1596-1650), seorang filosof terkenal asal Perancis.

Berturut-turut setelah itu, filosof asal Perancis yang bernama Nicolas Malebranche (1638-1715). Ia mengungkapkan pula argumen-argumen untuk membuktikan wujud Tuhan yang mirip dengan argumen ontologi Anselm.

Baruch Spinoza, (1632-1677) adalah filosof berikutnya yang mengungkapkan argumen ontologi ini dengan ungkapan dan penjelasan yang sangat indah.

Setelah Spinoza, muncul Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646-1716) yang mengkoreksi argumen ontologi Anselm dan menemukan penjelasan yang lain.

Akhirnya, argumen ontologi melalui Immanuel Kant, menjadi sebuah argumen yang menjadi sasaran kritik dan diragukan. Tentu saja, sebagian filosof sebelum Kant –bahkan pada masa Anselm sendiri- juga telah menjadikan argumen ini sebagai bahan kritik.

Dan terakhir, Hegel (1770-1831) mengungkapkan pendapat lain tentang pembuktian wujud Tuhan.


Teks argumen ontologi

Argumen ini –sebagaimana yang telah kami sebutkan- sejak era Anselm telah diungkapkan dengan penjelasan dan ulasan yang beragam. Kami akan menyajikan penjelasan-penjelasan tersebut dengan berurutan sebagai berikut:


1. Penjelasan Anselm

Dalam kitab “Mabâni wa Târikh Falsafe-ye Gharb” (Akar dan Sejarah Filsafat Barat) disebutkan sebagai berikut:

“Anselm mengatakan: seluruh eksistensi -kurang-lebihnya- senantiasa akan berhadapan dengan kesempurnaan. Oleh karena itu, konsepsi yang menggambarkan adanya sebuah realitas, dimana tidak ada lagi realitas yang lebih sempurna darinya yang mampu digambarkan, adalah sebuah konsepsi yang logis. Jika realitas yang didefinisikan ini adalah wujud Tuhan, berarti Tuhan harus riil. Karena, apabila Tuhan hanya merupakan gambaran, dan realitasnya hanya berada dalam pikiran, berarti masih bisa digambarkan adanya realitas lain yang lebih sempurna darinya, yaitu eksistensi yang betul-betul wujud. Dan ini berarti terjadi kontradiksi. Oleh karena itu, dan berdasarkan perhitungan logika, mau tidak mau harus diterima, bahwa realitas dan eksistensi yang kesempurnaannya mutlak betul-betul ada, dengan demikian maka Tuhan ada”.[2]

Dalam kitab Kuliyyât-e Falsafah (Materi-materi Filsafat), dituliskan:

“Ia (Anselm) sepakat, bahwa setiap orang yang memahami maksud lafadz-lafadz Tuhan atau maujud Muta’al, dia akan menemukan, bahwa eksistensi semacam ini harus riil dan ada. Tuhan adalah sebuah realitas, dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar darinya yang bisa digambarkan. Karena aku bisa memahami definisi ini maka aku bisa menggambarkannya. Lebih dari itu, aku bisa menggambarkan Tuhan, sehingga tidak saja dia merupakan sebuah persepsi dalam pikiranku, melainkan juga sebagai sebuah eksistensi dalam realitas, yaitu ada secara mandiri dari persepsi dan pikiranku.

Setelah diketahui bahwa keberwujudan -sebagai sebuah persepsi dan juga sebagai sebuah realitas- lebih besar dari keberwujudan yang hanya sebagai sebuah konsepsi (tashawwur, gambaran dalam benak), maka berarti, Tuhan harus riil dalam hakikat, dan juga riil dalam konsepsi. Berdasarkan definisi ini, maka Tuhan adalah sebuah realitas wujud, dimana realitas lain yang lebih besar darinya tidak bisa dapat digambarkan. Oleh karena itu, Tuhan harus ada dalam realitas. Jika tidak, maka sesuatu yang lebih besar dari Tuhan masih bisa digambarkan (yaitu sebuah eksistensi yang selain mempunyai semua sifat-sifat Tuhan juga mempunyai keberadaaan yang riil). Dan ini mungkin melalui definisi Tuhan tersebut, atau melalui wujud yang superior dan sempurna”.[3]

Dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa” (Perjalanan Filsafat di Eropa), dituliskan:

“Dari semua argumen yang dikemukakan oleh Anselm untuk membuktikan esensi Tuhan, yang lebih banyak diketengahkan dan subyek pembahasan yang lebih banyak dimunculkan adalah apa yang terkenal dengan argumen “ontologi” atau “eksistensial”,??? sebagai berikut:

Setiap orang, bahkan orang yang dungu sekalipun, mempunyai konsepsi atas dzat (esensi), dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar dari dzat tersebut. Dzat seperti ini tentu saja ada. Karena apabila tidak ada, maka paling besarnya dzat yang masuk ke dalam konsepsi dan mempunyai realitas wujud, berarti lebih besar darinya. Dan hal ini keliru.

Dengan demikian, berarti -secara desisif- terdapat sebuah dzat yang dalam realitas merupakan paling besarnya dzat. Dan dia adalah Tuhan”.

Dalam Kamus Filsafat, dikatakan:

“Anselm, memulai pembahasannya dengan menggunakan perumpamaan orang dungu. Pembahasan ini begitu panjang. Tetapi kami akan menyajikan permulaan pembahasannya tersebut sebagai berikut:

Bahkan seorang dungu pun percaya, bahwa minimal di dalam konsepsi dan pemahaman manusia terdapat sebuah realitas, dimana tidak ada realitas lain yang lebih baik darinya yang bisa digambarkan. Karena ketika dia mendengar perkataan ini, tanpa ragu lagi iapun akan memahaminya. Dan apa yang ia fahami ada dalam kefahamannya. Dan tanpa syak lagi, realitas tersebut -dimana realitas lain yang lebih baik darinya tidak bisa digambarkan lagi- tidak bisa hanya ada dalam pemahaman. Karena apabila kita asumsikan hanya ada dalam pemahaman, maka kelanjutan dari asumsi ini bisa dikonsepsikan bahwa pada alam riil pun terdapat realitas yang lebih besar dari persepsi kita. Jadi, apabila realitas tersebut, dimana realitas lain yang lebih besar darinya tidak bisa digambarkan lagi, hanya terdapat dalam konsepsi. Selanjutnya penggambaran sebuah benda akan muncul kemestian, bahwa ada realitas lain yang lebih baik dari nafs, dan hal ini mustahil. Karena tidak ada sesuatu yang lebih baik dari nafs. Oleh sebab itu, tidak ragu lagi bahwa ada sebuah realitas, dimana tidak ada realitas lain yang lebih baik darinya yang bisa digambarkan lagi. Dan realitas tersebut ada di dalam persepsi dan juga di alam riil. Dan secara pasti keberadaanya sangat benar, sehingga ketiadaannya tidak bisa digambarkan. Karena penggambaran sebuah wujud yang ketiadaannya tidak bisa digambarkan adalah memungkinkan. Dan ini lebih baik dari sesuatu yang ketiadaannya bisa digambarkan. Dari dasar ini, apabila realitas tersebut -dimana sesuatu yang lebih baik darinya tidak bisa dikonsepsikan- bisa ditiadakan. Berarti, realitas tersebut bukanlah realitas, dimana sesuatu yang lebih baik darinya tidak bisa lagi digambarkan. Tetapi, proposisi ini akan menyebabkan terjadinya kontradiksi yang tidak dapat diterima.

Jadi, kewujudan rsealitas tersebut sedemikian jelasnya, sehingga realitas lain yang lebih baik darinya, tidak bisa lagi digambarkan. Dan bahkan penggambaran ketiadaan realitas wujud semacam ini pun mustahil. Realitas wujud ini adalah Engkau, wahai Tuhan kami .....”.[4]


2. Penjelasan Descartes

Dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa”, dinukilkan tiga buah argumen (burhân) dari Descartes dalam membuktikan wujud Tuhan. Argumen ketiga adalah argumen ontologi Anselm yang dituangkan dengan penjelasannya yang khas, sebagai berikut:

“Kami katakan: Sebagian masalah merupakan bagian esensi dan hakikat dari sebagian masalah lainnya, dimana keduanya saling meniscayakan. Misalnya: akar dari kedua rangkaian sudut segitiga adalah bagian dari hakikat segitiga. Esensi Tuhan pun mempunyai inherensi (keniscayaan) dengan keberadaan. Karena Dia merupakan realitas kesempurnaan. Dan kesempurnaan tidak bisa digambarkan tanpa adanya wujud. Karena apabila tidak eksis, maka tidak akan sempurna. Sebagaimana tidak bisa digambarkannya gunung tanpa adanya lembah dan lereng. Dan apabila dikatakan: mungkin saja ada segitiga yang tidak melazimkan adanya akar dari kedua sudutnya, dan mungkin saja terdapat sebuah gunung yang tidak meniscayakan adanya lembah, maka kami akan mengatakan bahwa: Analogi ini sama sekali tidak benar. Karena interaksi wujud pada esensi sempurna, muncul sebagaimana interaksi yang terjadi antara lembah dengan gunung. Artinya sebagaimana halnya gunung tidak bisa ada tanpa lembah, maka dzat sempurna pun tidak bisa ada tanpa adanya wujud. Dengan ungkapan lain; keberadaan dzat sempurna adalah wajib”.[5]

Dalam kitab Falâsefe-ye Buzurg (Filosof-filosof Besar), argumen ontologi Decrates dituangkan dengan uraian yang lebih jelas, sebagai berikut:

“Dengan melalui analisa yang sederhana, kita ketahui bahwa segitiga secara niscaya mempunyai tiga sudut dan tiga siku. Maka gambarkanlah Tuhan dalam diri kalian dengan cara yang demikian pula. Dzat Tuhan, kita definisikan sebagai kesempurnaan mutlak.

Pada hakikatnya kesempurnaan mutlak adalah sebuah majemuk dari seluruh kesempurnaan yang bisa digambarkan. Tetapi, wujud merupakan sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, kesempurnaan mutlak apabila tidak mempunyai wujud, berarti bukan mutlak. Konklusinya: wujud mempunyai keterkaitan dengan kesempurnaan, sebagaimana mestinya segitiga yang mempunyai keterkaitan dengan tiga sudut dan tiga sikunya”.[6]


3. Penjelasan Malebranche dalam pembuktian esensi Tuhan

Malebranche mengatakan:

“Ruh (baik nafs ataupun akal) tidak dapat dicerap, kecuali terdapat sesuatu yang menyatu dan menyambung dengannya. Karena ruh tidak mempunyai koheren dan kesinambungan yang hakiki dengan jasad. Dan koherensi riilnya adalah dengan Tuhan. Maka hanya wujud Tuhanlah yang bisa dicerap. Alasannya adalah sebagai berikut: Sebagaimana ketiadaan (non-exsistence), tidak mampu dilihat manusia, ketiadaan pun tidak mampu dirasiokan. Apapun yang bisa dirasionalkan oleh manusia, berarti ada. Dan kita melihat bahwa kita mempunyai pencerapan terhadap hal-hal tak terbatas. Oleh karena itu, dari paragraf ini bisa disimpulkan dua konklusi, pertama: hal-hal yang tak terbatas itu ada. Dan konklusi kedua: kita mempunyai kesinambungan dengan hal-hal yang tak terbatas tersebut. Karena apabila tidak ada, maka hal ini tidak akan relevan dengan akal kita. Kemudian apabila kita tidak mempunyai kesinambungan dengannya, maka kita tidak akan mampu mencerapnya. Dan hal tak terbatas tersebut (yaitu sesuatu yang kesempurnaannya tak terbatas), siapa lagi kalau bukan Tuhan.”[7]

Prinsip dari reasoning (penalaran) Malebranche adalah, bahwa segala hal yang bisa dikonsepsikan atau dicerap oleh akal, harus eksis. Karena kita mempunyai kemampuan untuk mencerap kesempurnaan mutlak, maka wujud inipun berarti harus eksis. Tetapi prinsip dari argumen Anselm adalah: Apabila kesempurnaan mutlak, yaitu Tuhan, tidak eksis, maka akan memestikan kontradiksi dan kesalahan.

Bisa dikatakan, bahwa perkataan Anselm dalam masalah Teologi merupakan analisa dari perkataan Malebranche itu sendiri, tentang kenapa sesuatu yang kita pahami sebagai kesempurnaan mutlak harus eksis. Tetapi, prinsip universal Malebranche yang mengatakan bahwa “segala sesuatu yang rasional adalah eksis”, menuntut analisa lainnya.


4. Penjelasan Spinoza

Dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa”, abstraksi dari argumen ontologi Spinoza diungkapkan sebagai berikut:

“Dari badihi-badihi-lah (hal-hal yang gamblang dengan sendirinya), sehingga eksistensi segala sesuatu merupakan kekuatannya. Dan ketiadaannya merupakan kekurangannya. Oleh karena itu, dalam keadaan dimana kita melihat wujud-wujud terbatas, yaitu wujud-wujud tak sempurna, apabila kita adalah pengingkar wujud sempurna, maka maknanya akan menjadi sebagai berikut: bahwa naqis (cacat, tak sempurna) adalah kuat. Dan sempurna adalah lemah. Tentu saja perkataan ini batal dan salah”.[8]

Sekarang, kita akan membaca teks dari argumen Spinoza yang tertulis di dalam kitab “Akhlak” nya yang terkenal, sebagai berikut:

(Proposisi 11: Tuhan adalah jauhar (substansi) yang diperkuat oleh sifat-sifat tak terbatas dimana setiap sifatnya merupakan eksplanasi dari dzat tak terbatas dan dzat abadi yang secara dharuri (niscaya) harus eksis).

Argumen: Apabila Anda tidak menerima proposisi ini, padahal keadaan memungkinkan, maka misalkanlah bahwa Tuhan tidak ada. Jika demikian, berarti dzatnya tidak meniscayakan adanya wujud. Tetapi hal ini tidak rasional. Dengan demikian, Tuhan secara dharuri ada, relevansinya terbukti.[9]

Selain argumen yang telah tersebut, dalam kitab “Akhlak” Spinoza ini terdapat pula dua teori lain untuk membuktikan proposisi di atas. Teori ketiga adalah teori yang terdapat dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa”. Di sana pula -dalam catatan kaki- diisyaratkan bahwa argumen ini adalah apa yang disebut sebagai argumen ontologi Anselm dan Descrates. Teks argumen ketiga dalam kitab “Akhlak” Spinoza adalah sebagai berikut:

“Ketiadaan kekuatan untuk eksis, merupakan dalil kelemahannya. Dan sebaliknya, kekuatan untuk eksis merupakan dalil adanya kekuatan -sebagaimana yang terlihat jelas. Dengan demikian, apabila yang eksis secara niscaya (dharuri) hanya benda-benda terbatas, dalam keadaan ini, keniscayaannya adalah bahwa benda-benda terbatas lebih kuat dari eksistensi yang secara mutlak tak terbatas. Dan ini jelas tidak rasional. Oleh karena itu kita, harus mengambil salah satu dari dua pilihan, yaitu “sesuatu tidak eksis (tidak ada)” atau “eksistensi yang secara mutlak tak terbatas tersebut itu eksis secara niscaya (dharuri)”. Tetapi kita ada dan eksis, baik dalam diri kita sendiri, ataupun dalam benda lain, yang eksis secara niscaya (dharuri). Dengan demikian, “eksistensi yang secara mutlak tak terbatas”, yaitu Tuhan secara dharuri adalah eksis, relefansinya terbukti).[10]

Menurut pendapat kami, argumen awal Spinoza lebih mendekati argumen ontologi Anselm daripada argumen ketiga. Meskipun argumen yang ketiga pun –sebagaimana argumen ontologi- bersandar atas kelaziman yang salah dan kontraditif. Khususnya apabila kita mengetahui, bahwa argumen ontologi Anselm termasuk dalam burhan limmi. Maka kekhususan ini dalam argumen awal Spinoza akan terlihat dengan sebuah makna. Tetapi dalam kaitannya dengan argumen ketiga, Spinoza sendiri menegaskan, bahwa teori ini merupakan burha inni.[11]


5. Penjelasan Leibniz

Pada kitab “Seir Hikmah dar Europa”, dalam uraiannya tentang penjelasan Leibnitz dalam masalah theology tertulis:

“Teori lain yang deduktif adalah teori ontologi Anselm yang diperbaharui pula oleh Descrates. Kesimpulannya adalah sebagai berikut: Begitu kita mempunyai gambaran tentang dzat sempurna, maka hal ini merupakan dalil, bahwa dia ada. Leibniz menyempurnakan teori ini dengan hal berikut, bahwa penggambaran dzat sempurna dan tak terbatas, tidak mempunyai penghalang akal, yaitu tidak termasuk kontradiktif. Dengan demikian tentu ada.

Penjelasan yang bisa ditangkap dari perkataan Leibniz adalah, dia sepakat bahwa setiap dzat yang bisa digambarkan dan wujudnya tidak tertolak akal, mempunyai keniscayaan wujud yang bersesuaian dengan gambaran hakekat dan kesempurnaan yang ada pada dzat tersebut. Dan dzat sempurna tersebut, keniscayaan wujudnya sedemikian sempurna, sehingga wujudnya adalah wajib. Dengan makna, bahwa dzat yang tidak sempurna dan terbatas -bisa jadi dari sisi dzat-dzat yang lain- menghadapi penghalang untuk kewujudannya. Tetapi untuk wujud sempurna, tidak akan mungkin ada penghalang. Berdasar hal ini, Leibnitz menyempurnakan teori ontologi dengan keyakinannya dengan hal berikut, pertama: wujud dzat sempurna telah terbukti tidak tertolak. Tidak ada pula penghalang, dan keniscayaan wujudnya sampai pada batas wujub. Dengan demikian, dzat semacam ini -dimana kita mempunyai gambaran atasnya dan mampu merasionalkannya- wujudnya adalah wajib.”.[12]


Analisis Kant atas argumen ontologi Anselm

Setelah kita selesaikan penjelasan tentang argumen-argumen ontologi dari era Anselm hingga Leibnitz, sekarang tiba saatnya, kita sedikit mengarahkan pandangan pada sanggahan-sanggahan serta analisis-analisis atas argumen-argumen tersebut. Pertama, kita akan memulainya dari Immanuel Kant. Kant berkata:

“Ketika kita memperhatikan dengan cermat argumen-argumen para filosof dalam pembuktian wujud Tuhan, maka kita akan melihat bahwa seluruhnya akan berakhir pada tiga argumen utama. Yaitu, argumen ontologi yang dikemukakan oleh Anselm, Descrates dan para pengikutnya. Dimana mayoritas para filosof materialis dan rasionalis, menerima argumen tersebut dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda. Secara ringkasnya adalah bahwa kita mempunyai gambaran kesempurnaan dan dzat sempurna. Sedangkan dzat yang tidak eksis (wujud), merupakan dzat yang tidak sempurna. Dzat sempurna merupakan dzat yang paling hakiki. Lalu, bagaimana mungkin ia tidak eksis? Dan keniscayaan wujud untuk dzat sempurna, sebagaimana keniscayaan lembah untuk gunung atau keniscayaan wujud sisi siku untuk segitiga. Tetapi anehnya, para penyanggah ini tidak memperhatikan bahwa wujub kesempurnaan untuk dzat sempurna adalah setelah dzat sempurna tersebut eksis dan ada. Ya, apabila gunung ada, maka lembah menjadi niscaya baginya. Tetapi ketika gunung tidak ada, maka lembahpun tidak akan pernah ada. Demikian pula urgensi siku untuk segitiga, tidak bisa menjadi sebab urgensinya wujud segitiga. Dengan ungkapan lain, penggambaran lembah untuk gunung bagi kita, merupakan hal yang wajib. Tetapi darimana wajibnya keberadaan gunung? Dengan demikian, berarti kita membenarkan bahwa konsepsi wujud untuk konsepsi dzat sempurna merupakan hal yang wajib. Tetapi wujudnya dzat sempurna, dari mana menjadi wajib? Hukum ini -dalam tingkatan analogi- adalah sebagaimana seseorang yang mengatakan: Aku mempunyai konsepsi terhadap adanya segenggam butiran emas. Dengan demikian, aku memiliki segenggam butiran emas tersebut di tanganku. Tentu saja, bisa jadi Anda memang mempunyai segenggam butiran emas. Tetapi sangatlah berbeda antara pemikiran dan pencapaian. Demikian juga, kita tidak mengingkari realitas wujudnya dzat sempurna. Tetapi konsepsi terhadapnya tidak meniscayakan kewujudannya”.[13]

Sanggahan prinsip yang dikemukakan oleh Immanuel Kant atas argumen ontologi, berdasarkan pada asas bahwa Kant tidak menganggap wujud sebagai sebuah sifat yang mampu, merupakan sebuah bagian dari definisi sebuah konsepsi. Dengan istilah lain, dia tidak menerima wujud predikat. Dia hanya menerima wujud sebagai makna copula (penghubung). Ia sepakat bahwa -dalam kaitannya dengan dalil wujud Tuhan- kekuatan konsepsi, atau penggambaran Tuhan atau sebuah eksistensi sempurna, tidak akan bisa bertambah dengan tafakkur dan kontemplasi tentangnya. Sebagai sebuah eksistensi ataupun hanya pemikiran tentangnya. Dari sini tidak ada sebuah tangga-pun yang mampu terbentuk antara konsepsi eksistensi sempurna dan wujud riil dari eksistensi semacam ini.[14]

Sebelum Kant, pada era Anselm sendiri, seseorang bernama Gaunilin telah meletakkan argumen ontologi sebagai bahan analisa. Untuk menunjukkan dimana letak ketidakbenaran argumen ontologi, ia mengungkapkan bahwa apabila statemen semacam ini disetujui, maka orang lain pun akan mampu membuktikan bahwa segala hal-hal yang non-riil atau imajinasi pun ada. Misalnya, apabila seseorang mampu menggambarkan terdapatnya sebuah pulau sempurna di suatu tempat yang tidak ditemukan oleh seseorangpun. Kesimpulannya bisa seperti berikut, bahwa apabila pulau tersebut sempurna, berarti pulau tersebut merupakan sebuah pulau, dimana tidak ada pulau lain yang lebih sempurna darinya yang bisa digambarkan. Dalam keadaan ini -berdasarkan teori Anselm- pulau tersebut harus ada. Karena apabila tidak ada, maka tidak akan sempurna, atau tidak ada satupun pulau lain yang kelebihsempurnaannya bisa digambarkan. Tetapi, karena berdasarkan definisi: pulau tersebut sempurna dan tidak ada pulau lain yang kelebihbesarannya darinya mampu digambarkan, maka hanya dari konsepsi tersebut kita bisa yakin, bahwa pulau tersebut betul-betul harus ada.

Guanilin dengan mengisyaratkan bahwa segala macam argumen-argumen ontologi tentang segala macam konsepsi bisa dikembangkan, ia ingin menunjukkan, bahwa argumen tersebut termasuk unsur-unsur tanpa makna dan kontradiktif.


Analisa lainnya adalah dari Thomas Aquinas, ia mengatakan:

“Kesalahan dari argumen ontologi adalah berdasarkan pada asumsi berikut, bahwa kita mampu mengenali sifat-sifat Tuhan sebagai sebuah eksistensi sempurna, sebelum kita mengetahui bahwa Dia ada. Padahal pada hakikatnya, sifat-sifat Tuhan hanya bisa dipelajari setelah seseorang mengenali wujudnya. Dan bukan sebaliknya.

Berdasarkan pendapat Thomas, pengidentifikasian akhir terhadap Tuhan, yaitu titik akhir pemahaman yang akan mengantarkan kita sampai kepada-Nya, adalah definisi Tuhan sebagaimana yang telah digambarkan dalam argumen ontology. Oleh karena itu, pertama kita harus membuktikan wujudnya dengan melalui selainnya. Kemudian kita menganalisa dan mengevaluasi sifat-sifat-Nya. Dan pada akhir penelitian ini, bisa jadi kita akan cukup mengetahui definisi Tuhan, yaitu kita mampu mempergunakan argumen Anselm. Hingga saat itu, berdasarkan pendapat Thomas, argumen ontologi hanya merupakan sebuah argumen hipotetikal saja. Dimana apabila Tuhan merupakan sebuah wujud sempurna (yaitu sebuah eksistensi wajib), berarti secara urgensi dia harus ada”.[15]


Kesulitan mendasar argumen Anselm

Sebagaimana yang telah Anda perhatikan dalam beragam analisa yang muncul atas argumen ontologi, kita dapat berkata bahwa sanggahan paling mendasar atas argumen ini adalah, bagaimana kita bisa meletakkan capula (penghubung) dari pikiran menjadi obyek, dan dari konsepsi menjadi hakiki (riil). Apakah hanya dengan konsepsi yang kita miliki terhadap eksistensi sempurna dalam pikiran kita telah mencukupi bagi kita untuk mengharuskan pembenaran wujud seperti ini? Poin penting yang harus diperhatikan di sini adalah –dengan asumsi bahwa argumen Anselm adalah benar- apakah beralih dari konsepsi (tashawwur) pada afirmasi (tashdiq)–sebagaimana yang ada dalam argumen ini- mempunyai keuniversalan atau hanya khusus untuk kasus ini saja, yaitu hanya untuk pembuktian wujud absolut (wujud wajib)? Dan inilah poin yang akan kita bahas nantinya.


Argumen Anselm dan ulasan Almarhum Kumpany

Pada pembahasan sebelumnya, kami telah mengutarakan dengan senang hati tentang ucapan bijak Almarhum Kumpany dalam kitab “Tuhfatul Hakim”. Di sana kami mengatakan bahwa argumen Anselm dan penjelasannya meskipun keduanya mirip, tetapi tidak identik satu dengan lainnya. Perbedaannya adalah: pada penjelasan Almarhum Ghurawi Isfahany, fokus penalaran (reasoning, istidlal) yang dipergunakan adalah “wujub wujud”. Tetapi pada argumen Anselm parameter argumen diletakkan pada poin “kesempurnaan”. Dan kita mengetahui bahwa kelebihan sebuah teori terletak pada hadd-e wasath (middle term)nya. Karena kedua teori ini masing-masing berdiri di atas hadd-e wasath yang khas, maka masing-masing lebih unggul dari yang lainnya.

Mungkin saja dikatakan bahwa “sempurna mutlak” dan “wâjib al- wujud” mempunyai obyek satu. Sehingga hal tersebut menyebabkan tidak adanya perbedaan antara kedua statement di atas. Tetapi harus diketahui bahwa yang menjadikan dua teori ini berbeda antara satu dengan lainnnya adalah keunggulan persepsi hadd-e wasath yang merupakan parameter dan tolak ukur. Bukan keunggulan obyeknya. (harap perhatikan masalah ini baik-baik)

Anselm mengatakan: Maka keniscayaannya, Tuhan sebagai paling sempurnanya eksistensi, harus mempunyai manifestasi yang obyektif. Selain dari keadaan ini, maka Dia bukan yang paling sempurna. Tetapi penjelasan Almarhum Kumpany adalah sebagai berikut bahwa: Tuhan harus ada karena jika tidak, maka Dia tidak akan menjadi wajib. Dengan adanya perbedaan ini, konklusi dari kedua perkataan tersebut adalah bahwa apabila Tuhan tidak ada, maka akan mengharuskan terjadinya kontradiksi.

Anselm mengatakan: Kita mempunyai persepsi terhadap paling sempurnanya eksistensi. Dan paling sempurnanya eksistensi ini meniscayakan munculnya obyek luar (mishdaq, instanta), dan jika tidak berarti bukan eksistensi yang paling sempurna.

Pengarang “Tuhfatul Hakim” mengatakan: Kita mempunyai konsepsi (tashawwur) dari wajib dan jika wajib ini tidak melahirkan manifestasi obyek luar, berarti dia bukan wajib. Ketiadaan manifestasi bisa dikarenakan tertolaknya secara esensial (imtina’ dzati), dimana hal ini kontradiksi dengan asumsi wujub dzati. Atau bisa dikarenakan imtina’ bilghair (tertolak oleh selainnya), dimana dalam hal ini pun tidak akan relevan dengan wujub dzati. Hal ini karena: wajib bukan musabbab dari sebuah sebab, sehingga dengan ketiadaan sebab bisa menjadi tertolak.


Argumen Anselm dari pandangan Syahid Muthahari Ra

Syahid Muthahari dalam catatan kakinya atas “Ushul Falsafah dan Rawas-e Realism”-nya Allamah Thaba-thaba-i Ra dalam pembahasan burhan shiddiqien (argumen orang-orang benar), mengungkapkan tentang studi kritis dan analitis atas argumen ontologi Anselm. Di sana ia mengisyaratkan bahwa argumen Anselm ini dari perspektif ilmu logika termasuk dalam jenis burhan khulf (reducutio ad absurdum). Setelah itu, ia menguraikan argumen (burhan) dalam dua cara: cara pertama adalah gambaran sesuatu yang lebih besar yang kita gambarkan dalam pikiran, kita wujudkan dan kita nyatakan di alam riil. Dimana hal ini –menurut pendapat Allamah - adalah mustahil. Cara lainnya adalah, kita melihat argumen sebagai realitas dzat yang lebih besar.

Berdasarkan uraian ini, mereka mengeluarkan sanggahan lainnya dan mengatakan: dalam uraian ini wujud telah diasumsikan berada dalam kedudukannya sebagai sebuah sifat luar yang membentuk esensi maujud. Dengan ini, adanya pemisahan esensi maujud dari wujud di alam riil. Mereka menyangka bahwa wujud untuk segala sesuatu sebagimana interaksi antara yang membutuhkan terhadap yang dibutuhkan.

Pada pembahasan selanjutnya, akan kami membahas tentang burhan shiddiqien ini secara terpisah dan terperinci. Oleh karena itu, di sini kami menghindari analisa dan penjelasan lebih panjang tentang pendapat Ustadz Syahid Murtadha Muthahari, dan kami mewakilkannya pada pembahasan mendatang.


Catatan Kaki:

[1] Santo Anselm adalah seorang ilmuwan era 11 Masehi, sezaman dengan kurun kelima Hijriyyah. Dia lahir pada tahun 1033 di salah satu kota kecil Italia. Dia menjadi Rahib Besar Dirbak pada tahun 1078. Kemudian menjadi Uskup Besar Counter Bury pada tahun 1093. Anselm disebut juga sebagai “Augustin kedua”. Dan terkadang pula dijuluki sebagai “Anselm yang suci”. Para Katolik memberikan gelar “Suci” padanya. Ia adalah orang yang secara eksplisit menyatakan bahwa yang harus dilakukan oleh seorang insan, pertama adalah beriman kepada hakikat-hakikat agama. Kemudian merasionalkannya (yaitu menghamba sebelum merasionalkan).

Alasan penamaannya dengan “Augustin kedua” adalah karena pengaturan filsafatnya yang mendekati “Augustin Cadis”. Dari opininya bisa ditemukan bahwa dia mempunyai pemikiran ala Plato, yang mengakui adanya alam mitsal (alam atas/alam ide). Anselm meninggalkan enam buah kitab penting yang kesemuanya membahas tentang Hikmat Ilahi dan berada di bawah pengaruh opini Plato. Nama-nama dari kitab tersebut adalah:

1. Dialogue de grammatico, 2. Monologium de divinitatis essentia sive Examplun de ration Fidei, 3. Proslogium sive Fides quaerens, 4. De Veritat, 5. De fide trinitatis, 6. Cur deus Home.

[2] Reginal John Halinkdeil, Mabani wa Tarikh-e Falsafeh-ye Gharby, terjemahan AbdulhuseinAdherank, Intisharat Keihan, hal. 125.

[3] Richard Popkin dan Aoron Stroll, Kuliyyat-e Falsafeh, hal. 238.

[4] ‘Ali ‘Ilmy Ardebily, Farhang-e Falsafah (Kamus Filsafat), J. 1, hal. 58-59.

[5] J. 1, hal. 154.

[6] Andrew Crisson, Falâsife-ye Buzurgh, terjemahan Kadzim ‘Amady, J. 2, hal. 28, juga Kuliyyat-e Falsafah, hal. 238 dan 239.

[7] Seir-e Hikmah dar Europa, J. 2, hal 22.

[8] Ibid, hal. 42.

[9] Terjemahan Dr. Muhsin Jahangiry, hal. 21-23.

[10] Terjemahan Dr. Muhsin Jahangiry, hal. 21-23.

[11] Ibid, hal. 24; juga Kuliyyat-e Falsafah, hal. 238.

[12] Seir Hikmat dar Europa, J. 2, hal. 101.

[13] Ibid, hal. 237.

[14] Ricard Popkin, Aaroom Strool, Kuliyyat-e Falsafeh, ha. 241; Immanuel Kant, Tamhidât, terjemahan Ghulam ‘Ali Haddad ‘Adil, hal. 31; ‘Ali ‘Almi Ardebili, Farhang-e Falsafeh, J. 1, hal. 60; Halink Deil, Mabani wa Tarikh Falsafeh-ye Gharb, hal. 125.

[15] Kuliyyat-e Falsafeh, hal. 240 dan 241.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...