Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 06 Juli 2011

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan --- Argumen Keteraturan [2

Pendahuluan
Pada pembahasan sebelumnya, kami telah menguraikan tentang pembagian dalil, yang kemudian kami lanjutkan dengan argumen fitrah. Pada bagian awal, kami pun telah mengetengahkan bahwa fitrah merupakan sebuah jalan internal menuju Tuhan dan merupakan metode yang universal serta menyeluruh, dimana dikatakan: semuanya mempunyai hati, dan dengan hati kecil ini kita akan mampu menapakkan kaki untuk mencapai makrifat ilahi, dan telah kami katakan pula bahwa pengenalan fitri insan terhadap Tuhan merupakan sebuah pengenalan hudhuri. Sebagaimana setiap akibat mempunyai makrifat hudhuri terhadap sebabnya sendiri, sesuai dengan kapasitas wujud dan kapabilitas takwininya. Jelaslah bahwa dari pandangan teologi dan peletakan normatif makrifat, pengenalan hudhuri mempunyai prioritas yang lebih dari kesadaran hushuli. Dengan jalan ini pula sehingga kami mengedepankan argumen fitrah atas argumen yang lain.

Setelah pembahasan hati kita lewati, maka tiba saatnya untuk menelisik tentang akal. Teori-teori akal, sebagian mempunyai premis hissi (materi dan inderawi) dan sebagian lainnya betul-betul merupakan teori akal murni. Teori keteraturan tergolong ke dalam teori pertama. Teori-teori pada kelompok pertama pada awal perjalanannya terasa lebih mudah, lebih jelas dan lebih diterima. Hal ini dikarenakan kedekatan dan keakraban kita yang lebih terhadap benda-benda materi daripada benda-benda non materi. Sebagaimana dari pandangan hasrat dan keinginan, daya tarik materi di dalam diri kita lebih kuat dan mempersiapkan serta memenuhi kebutuhan ini adalah sesuai dengan tabiat kita dan tidak menuntut terlalu banyak tenaga. Dalam bab persepsi, pengenalan materi berjalan sangat sederhana dan tidak perlu bersusah payah. Tetapi untuk menghasilkan persepsi-persepsi akal dan mendapatkan abstraksi, persoalan menjadi tidak akan sesederhana itu, melainkan membutuhkan kontemplasi, riyadhah dan olah pikir. Dari sini, teori-teori akal yang keseluruhan premis mereka terbentuk dari persepsi-persepsi abstrak, dan dengan istilah lain telah terbentuk dari akal kedua, terasa lebih susah dan lebih tak terjangkau. Tetapi teori keteraturan yang mempunyai minor inderawi, lebih mudah difahami. Karena hal inilah sehingga kemudian para penyusun dan pengajar filsafat -sebisa mungkin- menyerupakan rasio dengan inderawi, supaya maksud mereka lebih mudah dan lebih cepat diterima. Dengan dalil ini pula, kami mengedepankan teori keteraturan atas dalil-dalil yang lain, meskipun –sebagaimana akan kami jelaskan nantinya- teori ini sendiripun membutuhkan premis-premis rasio dimana menurut ukuran eksplanasi keyakinan dan penetapannya, hal inipun tidak sejajar dengan teori-teori akal murni.



Keteraturan merupakan Ma’qul Tsani[1] filsafat

Langkah pertama untuk menghindari penggunaan istilah filsafat yang susah dan berat dalam pembahasan kita kali ini, adalah dengan memperhatikan contoh di bawah ini dengan cermat:

Ketika Anda memasuki sebuah kelas, dan di sana Anda mendapati semua benda berada di tempatnya masing-masing, maka Anda akan mengatakan: “Betapa rapih dan teraturnya kelas in”. Sekarang, apabila ada seseorang yang menginginkan agar Anda menyebutkan benda-benda yang berada di dalam kelas tersebut, apakah Anda akan mengatakan: meja, bangku, papan tulis, kapur, dan keteraturan? Secara baik Anda merasakan bahwa keteraturan tidak berada di samping benda-benda yang lain dan tidak sedasar dengan mereka. Artinta bahwa keteraturan tidak mempunyai tajali terpisah sebagaimana meja, kursi, papan tulis dan kapur. Dan bukan pula merupakan sesuatu yang diletakkan sebagai isyarat fisik. Keteraturan sama sekali tidak bisa dirasakan dengan persepsi fisik. meskipun benda-benda yang teratur itu sendiri merupakan benda-benda yang fisikal.

Persepsi teratur, identik dengan persepsi banyak, sebab, akibat, wajib, mumkin dan persepsi-persepsi filosofi lainnya. Misalnya ketika kita mengatakan: "Jumlah pepohonan hutan sangat banyak". Ini bukan berarti bahwa "banyak" juga merupakan sebuah fenomena yang terdapat di samping pepohonan dan mempunyai kapabilitas untuk disaksikan secara fisik. Melainkan, banyak adalah sebuah persepsi abstrak dan subyektif yang menghikayatkan banyaknya benda-benda di dunia luar. Pada kasus persepsi filosofis semacam inilah dalam Epistemologi dan Logika dikatakan bahwa: Media aksidensi mereka adalah pikiran dan media karasteristik mereka adalah obyek luar. Artinya bahwa persepsi ini bisa dibentuk dengan kecermatan dan usaha pikiran. Tetapi pada keadaan yang sama, bisa dinisbatkan kepada benda-benda luar. Dan persepsi teratur berasal dari kelompok ini, yaitu merupakan akal keduanya filsafat. Atas dasar inilah, dia tidak terletak pada aksidennya akal pertama, yaitu mahiyat (apa itu, whatness). Oleh karena itu, penggambaran “esensi teratur” –yang sering dipergunakan- bisa jadi merupakan kesembronoan, kecuali apabila terminologi kata “esensi” ini tidak dipergunakan dalam istilah filsafat.


Apakah keteraturan itu?

Meskipun keteraturan bukan merupakan esensi dan akal pertama sehingga tidak bisa didefinisikan. Maksudnya, ia tidak bisa dipaparkan batas dan norma logikanya. Karena esensi merupakan bagian dari kuliyyat al-khams (lima universal)[2]. Tetapi, sebagaimana definisi filsafat yang kami ungkapkan untuk persepsi-persepsi filsafat lainnya, untuk teratur ini pun kita bisa memperoleh sebuah definisi.

Untuk bisa sampai pada definisi keteraturan, terlebih dahulu kita harus memperhatikan beberapa poin berikut:

Keteraturan tidak dipergunakan dalam kaitannya dengan sebuah benda wahid –wahid qua wahid- dengan ibarat lain, keteraturan senantiasa dijelaskan untuk benda-benda murakkab (mempunyai komposisi dan elemen) dan bukannya benda-benda basit (simpel) –simpel qua simple. Misalnya ketika ketua kelas ingin mengatur murid-murid dalam suatu kelas sesuai dengan tinggi badan, maka paling tidak, harus ada dua orang yang berada di kelas tersebut sehingga dia bisa mengaktualkan keinginannya. Karena apabila tidak dan hanya ada satu orang saja di dalam kelas, maka mengatur satu orang berdasarkan apa yang dia inginkan tidak akan pernah ada maknanya.

Jadi, keteraturan diungkapkan dalam kaitannya dengan dua benda atau lebih. Dengan arti bahwa dimana pun ada keteraturan maka berarti ada banyak benda di dalamnya. Tetapi, tentu saja kebalikan dari proposisi tersebut tidak selalu benar bahwa dimanapun ada lebih dari satu benda pasti ada keteraturan di dalamnya. (perhatikan hal ini).

Keteraturan, merupakan sebuah persoalan yang relatif dan abstrak yang senantiasa diungkapkan dalam kaitannya dengan tujuan khusus. Dengan arti bahwa sebelum ada pertimbangan tentang ada atau tiadanya keteraturan dalam sebuah majemuk, terlebih dahulu harus ada motivasi yang menjadi titik perhatian. Sebagaimana pada setiap pembagian akan senantiasa terdapat parameter pembagian, maka pada setiap keteraturan pun akan terdapat parameter keteraturan yang khas dan tertentu. Seperti misalnya pengaturan sebuah majemuk meja dan kursi. Apabila dimaksudkan untuk dua tujuan yang berbeda, maka harus diatur pula dengan dua cara yang berbeda. Misalnya: apabila tujuannya adalah membentuk sebuah kelas untuk belajar, maka pengaturannya akan dilakukan dengan cara-cara yang tertentu. Dan apabila tujuannya adalah untuk sebuah acara jamuan, maka meja dan kursi tersebut harus diatur dengan cara yang berbeda dari cara pertama. Normal, apabila pengaturan pertama untuk tujuan kedua atau pengaturan kedua untuk tujuan pertama, dikatakan sebagai manifestasi dari ketidak-teraturan. Jadi kesimpulannya, unsur kedua yang diungkapkan dalam teori keteraturan ini adalah tujuan pengaturan benda-benda yang diatur.

Tujuan akhir dalam sebuah majemuk yang teratur bisa merupakan tujuan internal, eksternal dan juga bisa keduanya. Misalnya apabila kita memperhatikan keteraturan yang dilakukan oleh sang Pengatur atas keseluruhan fenomena alam eksistensi, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa majemuk yang teratur dan rapi ini telah disiapkan untuk tujuan di luar eksistensi. Melainkan maksudnya di sini adalah bahwa tujuannya berada di dalam diri majemuk itu sendiri dan dalam terpenuhinya kebutuhan setiap partikular melalui partikular lainnya.

Tetapi apabila yang kita perhatikan adalah perhatian Pengatur atas satu bagian khusus dari alam ini, di samping kita dapat menggambarkan batas internalnya, kita juga dapat menggambarkan batas eksternalnya (jaminan kebutuhan majemuk-majemuk lainnya).

Tetapi, untuk majemuk teratur yang hanya mempunyai tujuan eksternal saja, bisa diberikan pemisalan dengan partikularnya sebuah kelas, dimana tidak satupun dari partikular tersebut membutuhkan partikular lainnya. Tetapi secara kompleks, mereka bersatu dalam memenuhi kebutuhan dan tujuan di luar diri mereka.

Keteraturan terbagi menjadi dua kelompok: keteraturan buatan dan alami.

Keteraturan buatan ialah sebuah keteraturan yang dihasilkan oleh tangan-tangan manusia. Seperti keteraturan yang dihasilkan dalam satu jam. Sedangkan keteraturan alami, berada dalam sebuah keteraturan dengan teks natural, dan dalam bentuk takwini yang muncul dengan kodrat Tuhan. Seperti keteraturan gerak langit atau putaran bumi.

Keteraturan merupakan sebuah realitas mutlak yang obyektif, non-subyektif.

Tema ini membutuhkan sedikit penjelasan. Karena bisa jadi -secara eksternal- seakan menafikan apa yang telah kami katakan sebelumya, bahwa “keteraturan” merupakan bagian dari ma’qul tsani falsafi (kategori sekunder filsafat).

Ma’qul tsani filsafat, apabila kita perbandingkan dengan ma’qul awal falsafi[3] (kategori primer filsafat), dan dari sisi esensi, kita mengetahuinya sebagai sesuatu yang nyata. Maka makna ini bukan dari keobyektifitasan mereka. Dan berdasarkan perbandingan ini pula, terkadang ma’qulat filsafat menyebut mereka sebagai keabstrakan (perhatikan hal ini). Dan apabila mereka kita perbandingkan dengan ma’qul tsani logika[4], dan dari konsepsi logika kita sepakati bahwa dzihni (pikiran) adalah subyektif, maka ma’qul tsani filsafat akan menjadi obyektif. Dan keteraturan pun kita sepakati dengan makna tersebut yaitu obyektif.

Makna lainnya adalah keobyektifan dan kemutlakan sebagai antonim dari kesubyektifan dan keabstrakan. Sebagian kasus seperti “kecantikan”, merupakan sebuah realitas abstrak dan subyektif. Artinya, mungkin saja warna dan sebuah pemandangan sangat indah dan cantik di mata seseorang , tetapi untuk yang lainnya merupakan sebuah pemandangan yang biasa. Bahkan mungkin merupakan pemandangan dan warna yang sangat buruk.

Tetapi kasus semacam “A” adalah fenomena yang muncul dari “B”, bukan merupakan sebuah kasus abstrak yang muncul dari selera seseorang. Melainkan sebuah realitas yang mutlak dan subyektif dan tidak mungkin diubah. “Keteraturan” pun demikian adanya, meskipun teratur itu cantik, tetapi dia bukanlah kecantikan, artinta bukan merupakan sebuah selera, sehingga tidak bisa dikatakan, misalnya menurut pandangan tuan A, si fulan adalah orang yang teratur dan disiplin, tetapi menurut tuan B tidak demikian. Apabila hanya ada satu obyek yang dilihat, maka keduanya harus mengatakan disiplin, atau keduanya mengatakan tidak disiplin. Dari sinilah, poin ini menjadi penting. Artinta kita mengetahui bahwa “teori keteraturan”, bukanlah sebuah teori selera dan abstrak melainkan mempunyai dimensi diskripsi. Setelah melakukan observasi dan pembuktian terhadap keteraturan di alam, setiap akal -secara niscaya- akan menerimanya.

Keteraturan bukanlah sebuah persepsi positif atau negatif. Maksudnya, keteraturan tidak senantiasa berada dalam persepsi baik atau buruk.

Dalam persepsi teratur, tidak akan terjadi kebaikan atau keburukan. Baik dan buruk ataupun manfaat dan bahayanya sebuah keteraturan bergantung pada tujuannya, misalnya apabila tujuan dari pengaturan barisan serdadu itu untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan, maka hal ini maka teratur dideskripsikan sebagai sebuah sifat yang baik. Dan apabila tujuannya misalnya untuk menyerang serdadu Ilahi, maka sifatnya akan berubah menjadi buruk. Jadi, dalam mahiyât (keapaan, quiditas) dan jauhar (substansi), konsepsi teratur tidak akan pernah terantuk ke dalam persepsi positif ataupun negative. Dengan ungkapan yang lain: keteraturan adalah bebas nilai apabila dinisbatkan dengan baik dan buruk.[5]


Definisi Keteraturan

Dengan memperhatikan apa yang telah kami jelaskan sebelumnya, sekarang kita bisa mendefinisikan kata “teratur” sebagai berikut: ”Keteraturan adalah kualitas dan bentuk keberadaan beberapa partikular sebuah majemuk, hingga keharmoniannya mampu memenuhi tujuan dari majemuk tersebut”.


Sekilas tentang sejarah “keteraturan”

Dapat dikatakan bahwa berbagai realitas yang sangat mudah ditemukan dalam fenomena-fenomena alam oleh para filosof dan ilmuwan adalah adanya keharmonisan dan keteraturan. Poin inilah yang telah menyebabkan sebagian besar dari filosof kuno menyepakati adanya semacam kebersatuan untuk alam, atau mencari prinsip kebersatuan untuk semuanya. Sebagaimana Thales yang mengungkapkan air sebagai prinsip kebersatuan, Aneximines udara, sementara Heraclitus mengungkapkan api sebagai prinsipnya.

Secara global, para filosof sebelum Socrates, saling mengungkapkan integritas alam dengan caranya masing-masing. Dalam pemikiran filosof besar semacam Thales, Anaximines dan Heraclitus mengungkapkan bahwa: ”Alam semesta adalah alam dimana hukum keteraturan yang bersifat universal berlaku atasnya”.[6]

Salah satu aliran filsafat yang ada sebelum Socrates, adalah aliran Pytagoras. Kelompok Pytagoras sepakat bahwa seluruh alam laksana sebuah melodi harmonis sebuah musik, dimana keteraturan yang bersifat universal berlaku atasnya. Dari sinilah mereka sepakat, bahwa -sebagaimana harmoni sebuah musik terkait pada angka-angka- maka -bisa digambarkan- harmoni dan keteraturan alam pun bergantung pada angka. Penyaksian keteraturan yang cermat semacam ini telah mengarahkan mereka untuk -secara eksplisit- mengumumkan, bahwa benda adalah angka-angka itu sendiri.[7] Pada era setelahnya, kecenderungan ini pula yang ditemukan dalam kelompok “Ikhwân ash-Shafa”.[8]

Plato juga mengungkapkan permasalahan keteraturan yang menguasai benda-benda alam. Dia tidak hanya sepakat dengan keteraturan dalam badan-badan dan benda-benda materi alam fisik. Melainkan di alam bentuk (suwar) dan alam ide (mundus imginalis) pun dia sepakat bahwa keteraturan berada dalam posisinya sebagai hakim. Pada prinsipnya, keteraturan alam ini merupakan efek dan petunjuk keteraturan alam ide (mundus imaginalis).[9]

Secara global pada seluruh era, mereka yang sepakat bahwa penemuan dan pengenalan prinsip religi akan bisa terpenuhi melalui metodologi-metodologi natural, dengan mengungkapkan argumen-argumen yang varian untuk wujud Tuhan, berusaha menampakkan bahwa paling asasinya prinsip religi –yaitu wujud Tuhan- dapat diargumentasikan dengan argumen-argumen yang dapat diterima. Di antara dalil-dalil ini, bisa jadi argumen keteraturan merupakan argumen yang paling terkenal, dimana setiap individu mengenalinya. Hal ini dikarenakan premis-premis argumen ini diperoleh melalui cara pembelajaran dan konklusi eksperimen dari persoalan-persoalan di alam semesta ini. Semenjak munculnya inovasi ilmu pun telah diusahakan bahwa dengan memanfaatkan inovasi akhir dari ilmu fisik dan biologi, wujud Tuhan dibuktikan melalui argumen yang bertolak pada keteraturan.


Argumen keteraturan

Argumen ini bisa dimanfaatkan dalam dua kasus:

1. Pembuktian wujud Tuhan,

2. Pembuktian ilmu Tuhan.

Untuk pembuktian wujud Tuhan dengan metode argumen keteraturan, dapat kami katakan:

“Keteraturan itu berlaku di alam semesta. Dan setiap keteraturan membutuhkan pengatur. Maka pengatur keteraturan ini, harus meliputi alam semesta. Dan dia adalah Tuhan”

Untuk membuktikan ilmu Tuhan dari metode teori keteraturan, dapat kami katakan: “Di alam semesta terdapat keteraturan. Dan setiap keteraturan muncul dari kecerdasan dan kesadaran. Jadi, pengatur alam semesta, harus mempunyai kecerdasan dan kesadaran”.


Analisis Argumen

Dua argumen yang disebutkan di atas membutuhkan penjelasan dan penjabaran yang lebih mendalam. Penjelasan ini berada dalam beberapa batasan:

Asas argumen pertama adalah “setiap fenomena membutuhkan pemula”. Karena “keteraturan” merupakan sebuah fenomena maka dia membutuhkan pemula, yaitu pengatur. Dengan ibarat lain, argumen keteraturan pada hakekatnya adalah sebuah manifestasi dari argumen sebab dan akibat, dan bukannya sebuah argumen berada di sampingnya. Oleh karena itu salah satu dari pilar dan dasar justifikasi argumen keteraturan adalah penerimaan argumen kausalitas, yaitu menerima sebab fâ’ili (subyek, pelaku) untuk fenomena-fenomena alam eksistensi.

Karena maksud dari keteraturan dalam argumen keteraturan adalah keteraturan yang melingkupi alam materi dan alam fisik, maka argumen keteraturan pada akhirnya memberikan kesimpulan berikut bahwa keteraturan ini membutuhkan pengatur dari luar alam materi. Hal ini dikarenakan keteraturan merupakan akibat yang berakal dan sadar. Sedangkan materi merupakan esensi yang kosong dari keberpikiran. Jadi, pengatur haruslah lebih luas dari alam materi. Dari sini argumen keteraturan pada hakikatnya merupakan salah satu dari dalil-dalil yang membatalkan filsafat materialis, dan termasuk dalam argumen pembuktian alam metafisik.

Tentunya, ketika wujud pengatur non-jasmani telah terbukti melalui argumen keteraturan, maka selanjutnya, kita akan membuktikan bahwa pengatur tersebut haruslah eksistensi abstrak yang mandiri itu sendiri –yaitu Wâjib al-Wujud. Dan Tuhannya alam eksistensi- atau harus berhenti pada eksistensi abstraksi mandiri yang bernama wajib. Dimana dalam kedua keadaan ini, keberadaan Tuhan akan terbukti.

Dengan memperhatikan dua poin sebelumnya, argumen keteraturan lebih sesuai dipergunakan untuk membuktikan ilmu dan hikmat Sang Pencipta (Khâliq), daripada untuk membuktikan prinsip keberadaan Sang Pencipta (Khâliq). Hal ini dikarenakan prinsip keberadaan Sang Pencipta dalam argumen ini –pada hakikatnya- terbukti berdasarkan prinsip dari argumen kausalitas bukan bersumber dari argumen ini. Tetapi pembuktian ilmu di dalam diri Pencipta alam, akan terbukti melalui argumen keteraturan. Dengan ibarat yang lebih dalam dikatakan bahwa “keteraturan” dalam membuktikan prinsip wujud Tuhan, hadd-e wasath-nya (relasi antara premis minor dan mayor, premis media) tidak hakiki dan bercorak bil-’aradh (aksidental), akan tetapi dalam pembuktian ilmu Sang Pencipta, hadd-e wasath-nya bersifat bidz-dzat (esensial) dan asli. Dari sinilah maka biasanya para filosof tidak memberikan perhatian terhadap argumen ini, kebalikannya dengan para teolog (mutakalimin) yang memberikan perhatian besar kepadanya.

Dalam pembuktian ilmu Ilahi melalui argumen keteraturan, hal yang lebih penting dan lebih asas dari yang lainnya adalah perhatian terhadap masalah illat gha-i (sebab tujuan)[10]. Telah kami katakan bahwa dalam keteraturan, senantiasa terdapat tujuan, dan keteraturan serta keharmonisan particular, senantiasa merupakan penjamin tujuan tersebut. Dimana hal seperti ini pasti membutuhan kecerdasan dan kesadaran pengatur. Jadi, keteraturan yang meliputi fenomena-fenomena eksistensi -secara eksplisit- menunjukkan bahwa pencipta fenomena-fenomena ini telah meletakkan tujuan khusus dalam penciptaan beragam eksistensi. Dengan memperhatikan hal tersebut makhluk-makhluk diciptakan secara teratur. Keharmonisan dan kesesuaian partikular alam semesta ini dalam memenuhi tujuan tersebut, merupakan manifestasi kecerdasan dan kesadaran pencipta eksistensi.

Boleh jadi muncul pertanyaan: Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa keteraturan senantiasa merupakan akibat dari ilmu dan kesadaran?

Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dikatakan: bahwa konstruksi keteraturan dan kerumitan yang ada dalam diri kita sendiri, dengan ilmu hudhuri (presensi) menemukan, bahwa keteraturan ini merupakan derivasi atas ilmu dan kesadaran kita sebelumnya. Dari satu sisi, kita mengetahui bahwa benda-benda setara mempunyai hukum-hukum kesetaraan[11]. Dengan demikian keseluruhan alam eksistensi dengan keteraturan yang cermat dan rumit inipun merupakan derivasi ilmu dan konsepsi Sang Pencipta. Jika keteraturan yang meliputi sebuah majemuk tersebut lebih cermat dan lebih rumit, hal ini menunjukkan pada ilmu dan kecerdasan Sang Pencipta yang lebih banyak. Dann karena keteraturan alam semesta ini sangat cermat dan mendalam, dengan demikian berarti ilmu dan kesadaran pencipta alam semesta inipun pasti lebih banyak, lebih dalam dan luas dari pengetahuan kita para manusia.[12]


Keteraturan alam semesta

Meskipun sebuah argumentasi berdiri pada prinsip premis mayornya, tetapi selama premis minornya tidak terbukti kebenarannya, maka premis mayor tidak akan memberikan konklusi yang bermanfaat. Dari sini bisa jadi, paling pentingnya asas dalam teori keteraturan adalah membuktikan premis minornya argumentasi. Yaitu terdapatnya wujud teratur di alam semesta. Proposisi ini bukan merupakan sebuah proposisi pertama[13] dan muncul setelah intuisi dan eksperimen. Beranjak dari pandangan kita dan pandangan setiap manusia, bahwa wujud keteraturan dalam fenomena alam semesta merupakan kasus yang paling jelas, di sini kami hanya akan mencukupkan diri dengan pengakuan-pengakuan beberapa personil dari para ilmuan dalam kaitannya dengan masalah ini, dan kemudian mengarahkan para pembaca untuk merujuk pada kitab yang terkait:

Marlin Books Kreider, seorang pakar Fisiologi mengatakan:

“Ketika kita menyaksikan dunia, muncul dengan kekuatan alam dan diatur dengan keteraturan dan ketertiban yang tipikal, maka kita akan sadar bahwa dunia ini harus mempunyai seorang pengatur. Keteraturan dan ketertiban ini begitu rapinya sehingga kita mampu mengantisipasi gerak planet dan bahkan gerak bulan-bulan palsu dengan observasi dan pengamatan yang cermat. Ketelitian dan keteraturan dalam muatan elektronik dan unsur-unsur kimia pun sangat sempurna. Sehingga dengan dasar ini, kita mampu mengungkapkan begitu banyak fenomena-fenomena alami dengan perhitungan matematis."Salah satu dari tema yang menarik bagi seorang penulis adalah terdapatnya kerumitan yang begitu besar dalam susunan anatomi manusia dan hewan. Penciptaan dan pembuatan satu anggota badan manusia atau hewan, bahkan yang berukuran paling kecil sekalipun, merupakan hal yang luar biasa, dimana hal ini keluar dari jangkauan bahkan dari paling jenius dan paling mahirnya manusia” [14].

Paul Clarence Aebersold ahli fisika-nuklir, fisika-biologi, ahli radiasi Netron dan Isotop menulis:

“Manusia, dengan kecerdasan atau instink esensial-nya telah mengetahui bahwa di dalam alam materi ini terdapat sebuah keteraturan, ketertiban dan intelegensi. Dimana untuk mengatakan peristiwa tersebut sebagai sebuah kebetulan merupakan hal yang sangat susah. Karena materi tidak mempunyai kecerdasan dan kehendak. Persepsi manusia yang dalam trans-pemahaman dan persepsinya memahami akan keniscayaan adanya pencipta, merupakan dalil yang kuat atas wujud Tuhan” [15].

John Cleveland Cothran, ahli matematika, fisika dan kimia terkenal, setelah menjelaskan poin-poin tentang adanya kehendak unsur-unsur atom untuk berkomposisi dan kuat serta lemahnya komposisi atom-atom metal alkaline dan kandungan metal dari keluarga chlor dengan air, mengatakan:

“Penemuan konstruksi atom saat ini menunjukkan bahwa pada semua pemisalan ini terdapat aturan tertentu yang menguasainya. Dimana keberuntungan dan kebetulan tidak termasuk di dalamnya, … alam materi, tanpa syak merupakan alam yang tertib dan memiliki keteraturan. Bukan alam yang kaku dan tak beraturan. Apakah seorang manusia berakal mampu mempercayai bahwa materi tanpa perasaan dan tanpa kecerdasan muncul secara kebetulan dan memberi keteraturan pada dirinya sendiri lalu keteraturan tersebut kekal baginya? Tidak diragukan lagi bahwa jawaban dari pertanyaan ini adalah “Tidak”.

Semenjak era Loard Clevin (salah satu dari ahli fisika terbesar), inovasi ilmu pengetahuan berkembang dengan begitu pesatnya sehingga apa yang dikatakan oleh Clevin bisa diulangi kembali dengan kepercayaan dan keyakinan yang lebih mantap. Ia mengatakan: “Jika engkau berpikir dengan baik, maka ilmumu akan memaksamu untuk beriman kepada Tuhan” [16].

Merrit Stanley Congdon, seorang psikolog, ahli fisika, filosof dan analis kitab suci mengatakan:

“Kita harus menerima, bahwa aktifitas akal dan faktor pengatur yang mempunyai kecerdasan terdapat dalam kurva berbentuk lonceng terbagi (dalam orbit-orbit berbagai elektron), dalam perputaran air, dalam perputaran gas karbon di alam, kualitas regenerasi biologis yang menakjubkan, aktualisasi cahaya dalam menggudangkan energi matahari pada tumbuhan untuk melangsungkan kehidupan eksistensi-eksistensi hidup di permukaan bumi dan semisalnya. Bagaimana kita bisa menggambarkan bahwa aktivitas-aktivitas semacam ini terjadi secara sendirinya dan muncul secara kebetulan tanpa keberadaan faktor pemilik kecerdasan? Bagaimana mungkin kebersatuan dan kekomplekan ini, kausalitas dan kesempurnaan, tujuan dan keterkaitan aspek satu sama lain, keberlanjutan kehidupan, keseimbangan dan perputaran satu setelah yang lainnya dan sebagainya, telah ditemukan untuk memberikan jawaban atas kebutuhan-kebutuhan alam yang penuh aktivitas tetapi tanpa ada satupun faktor yang mempunyai pengaruh?”.[17]

Cressy Morrison pada akhir buku terkenalnya “Raz Ofarinesy Insan” (Rahasia penciptaaan Manusia) menuliskan:

“Sebagaimana yang telah kita lihat pada halaman-halaman sebelumnya, dunia telah diciptakan sedemikian rupa hingga segala sesuatunya berada dalam posisinya yang tertentu: Ketebalan kulit bumi berada dalam ukurannya yang tepat dengan apa yang diperlukan, demikian juga kedalaman laut persis berada dalam ukuran yang dibutuhkan dimana apabila lebih dalam beberapa meter saja dari apa yang ada, maka oksigen tidak akan mencukupi kebutuhan makhluk hidup yang akibatnya tidak akan ada tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di permukaan bumi. Bumi berputar sekali dalam 24 jam. Apabila putaran ini dilakukan sedikit lebih panjang maka tidak akan tersedia sarana kehidupan di muka bumi. Kecepatan perputaran bumi mengelilingi matahari, apabila dilakukan sedikit lebih panjang atau lebih pendek dari yang seharusnya, akibatnya tidak akan ada wujud kehidupan di alam ini. Atau kalaupun ada, maka sejarah penciptaan yang muncul akan berbeda dengan apa yang ada sekarang. Sebagaimana yang telah kami katakan: Dari ribuan matahari yang terdapat di dalam gugusan antariksa alam semesta ini, hanya matahari kitalah yang dari kewujudan kita dapat mengambil nikmat kehidupan. Hal ini karena, hanya matahari inilah yang mempunyai diameter lingkaran, ketebalan udara sekeliling, kuantitas cahaya dan mempunyai cahaya radiasi yang relevan dan sesuai dengan kehidupan bumi kita ini. Sekali lagi sebagaimana yang kita lihat, jumlah dan jenis gas-gas yang terdapat di udara betul-betul sesuai dengan keseimbangan alam. Dan apabila dalam kesesuaian ini terdapat perubahan sedikit saja, maka kehidupan di permukaan bumi akan menjadi sirna. Ini hanyalah sebuah poin dari beberapa majemuk dalam tema khususnya pada kondisi fisik bumi, sebagaimana yang telah kami jelaskan pada pasal sebelumnya.

Ketika kita memperhatikan kedalaman bumi dan kondisinya di space, lalu kita amati pula aplikasi menakjubkan yang berlaku atas fenomena-fenomenanya, maka kita akan melihat bahwa seandainya aplikasi ini terjadi secara aksidental (kebetulan), maka kemungkinan untuk terjadinya sebagian mereka, adalah satu juta banding satu. Dengan demikian, kemajemukan mereka membutuhkan berjuta-juta kemungkinan. Atas dasar ini, kemunculan bumi dan kehidupan di permukaannya sama sekali tidak bisa dianalogikan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum aksidensial.

Hal yang lebih ajaib dari aplikasi insan dengan aspek-aspek alam, adalah aplikasi alam dengan insane. Dimana setelah secara sepintas melakukan analisa terhadap keajaiban alam, diketahui dengan jelas bahwa semua pembentukan, keteraturan dan ketertiban ini memiliki tujuan dan maksud yang terkandung di dalamnya. Dan Qâdir Muta’âl (Penguasa Tertinggi)–yang kita namakan dengan Tuhan- melaksanakan program ini dengan cermat, detail dan tepat pada waktunya”.[18]


Hume dan teori Keteraturan

David Hume (1711-1776) seorang filosof Skeptisisme asal Scotlandia, dengan penyimpulan khasnya yang diambil dari teori keteraturan, mengeluarkan kritikannya atas teori ini dan menuliskannya dalam sebuah buku yang berjudul “Conversation”.

Hume berpendapat bahwa asas dari teori ini hanyalah sebuah analogi, tak lebih dari itu, dimana analogi –dari pandangan logika- tidak memberi keyakinan. Dengan demikian, teori ini pun tidak memberikan keyakinan.

Sanggahan lain yang dia ungkapkan adalah bahwa teori ini sama sekali tidak menafikan kemungkinan terjadinya hal yang bersifat kebetulan belaka dalam keteraturan yang menguasai eksistensi. Sehingga dengan demikian, tidak bisa dijadikan argumen yang bisa dipergunakan untuk membuktikan keberadaan pengatur eksternal yang bernama Tuhan.


Ringkasan dari sanggahan yang dilontarkan oleh Hume dan jawaban atasnya, akan kami ulas dalam tiga bagian sebagai berikut:

Asas dari teori keteraturan adalah analogi:

Hume mengatakan: Dalam teori keteraturan, aktivitas Tuhan sama dan identik dengan aktivitas yang kita lakukan. Sehingga kami mengatakan: Mengingat aktivitas kita dan keseluruhan manusia merupakan efek dari kecerdasan dan ilmu, dengan demikian keseluruhan alam semesta pun yang merupakan aktivitas Tuhan, merupakan efek yang mengandung ilmu dan kecerdasan. Dan karena kita sekarang tidak mempunyai jalan menuju ke arah pencipta eksistensi -untuk bisa menghukumi dan mengklaim sesuatu yang berkaitan dengannya dan aktifitasnya-, maka aktivitasnya yaitu penciptaan alam, bisa kita identikkan dengan ilmu dan kecerdasan.

Dalam menjawab sanggahan ini dapat kami katakan: –sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya- bahwa dengan ilmu hudhuri[19] kita dapat menemukan bahwa keteraturan dan kecermatan, merupakan akibat dari ilmu dan hikmat. Lalu perolehan hudhuri ini kita letakkan sebagai premis mayor argumentasi dalam bentuk sebuah proposisi universal dan hushuli[20]. Kemudian kita komparasikan atas keteraturan eksistensi di alam. Lalu kami katakan bahwa: keteraturan alam semesta pun muncul dari ilmu dan pengetahuan pengaturnya, yaitu Tuhan. Oleh karena itu, asas dari argumentasi ini adalah sebuah premis mayor yang rasional. Sehingga rgument ini tergolong dalam argumentasi rasional, bukan analogi.


Apakah Tuhan mirip dengan manusia?

Sanggahan lain yang dilontarkan oleh Hume adalah apabila analogi di atas benar, maka konsekuensi yang muncul dari hal tersebut adalah kita berkata: “Tuhan mirip dengan manusia”.

Dalam menjawab klaim ini harus dikatakan: Hume telah mencampur adukkan persepsi (yang ada dalam pikiran) dengan mishdaq (obyek luar), dan beranggapan bahwa apabila kita mempergunkan sebuah persepsi secara sejajar dalam kaitannya dengan Tuhan dan insane, maka hal ini mempunyai makna bahwa secara obyektif pun Tuhan dan insan adalah sama. Sedangkan pada kenyataannya tidaklah demikian. Misalnya dalam filsafat, kita sepakat bahwa persepsi wujud merupakan sebuah persepsi universal yang memberikan satu makna untuk Tuhan maupun selain Tuhan. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa secara wujud dan obyek, Tuhan dan selain Tuhan mempunyai kesamaan yang sempurna.

Dengan memperhatikan poin ini, kami akan menjawab sanggahan Hume dengan unfkapan: Kami menerima bahwa Tuhan pun mempunyai kemiripan dengan manusia, yaitu aktivitas Tuhan menunjukkan pada kebijakan dan pengetahuan-Nya. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa bentuk perbuatan yang bijak Tuhan sama persis dengan apa yang dimiliki oleh manusia. Dalam penciptaan, Tuhan hanya memberikan wujud dan keberadaan, bukan mencipta makhluk dengan segala karakteristiknya. Dari wujud yang terpancar dari Tuhan-lah, muncul segala makhluk-makhluk yang berbeda. Jelaslah bahwa tidak ada pelaku lain yang bisa seperti ini selain Tuhan. Artinya bahwa perbuatan Tuhan senantiasa diiringi dengan keteraturan, hikmah dan pengetahuan, bukan berarti bahwa Dia pun –sebagaimana manusia- membutuhkan tujuan dan maksud di luar esensi dirinya. Lalu untuk mencapai tujuan tersebut dia lantas membuat satu perencanaan. Lalu menciptakan makhluk-makhluk dan setelah itu dengan bertolak pada planning tersebut, Tuhan menertibkan ciptaan Nya. Tidak, tidak demikian. Sebelumnya kami telah mengatakan bahwa keteraturan adalah sebuah persepsi dan ma’qul tsani filsafat yang menghikayatkan cara terbentuknya wujud, yaitu bahwa keteraturan merupakan kualitas penciptaan dan tidak bisa terpisah dari penciptaan itu sendiri, yaitu pada hakikatnya. Pengaturan makhluk-makhluk yang dilakukan oleh Tuhan identik dengan penciptaan keteraturan makhluk-makhluk itu. Dengan penjelasan yang lebih tepat dikatakan bahwa, Tuhan tidak menciptakan makhluk-makhluk terlebih dahulu kemudian mengaturnya, melainkan penciptaan dan pengaturan merupakan dua persepsi yang bersumber dari satu perbuatan dan pada hakekatnya kedua persepsi tersebut adalah satu. Tetapi mengenai perbuatan manusia, tema di atas tidaklah benar. Karena manusia sama sekali bukan pencipta yang sama dengan Tuhan. Terdapat perbedaan yang pasti antara manusia dan Tuhan. Banyak dari kata-kata seperti ilmu, kekuatan, ikhtiar, wujud, kausa prima, keteraturan dan hidup yang bisa pula dipergunakan dalam kaitannya dengan Tuhan.[21] Tetapi dengan syarat menghilangkan kesan ketidaksempurnaan dalam pemakaian kata-kata tersebut dan pemaknaannya.[22]

Sanggahan ketiga Hume mengatakan bahwa teori keteraturan tidak akan menafikan kemungkinan aksiden. Karena bisa jadi keteraturan yang cermat dan rumit ini telah ditemukan secara aksiden seiring dengan perubahan zaman. Dan dalam kondisi seperti ini berarti tidak ada kebutuhan terhadap pengatur eksternal dari alam materi.

Ia berkata: kita tidak yakin bahwa dunia yang dinamakan sebagai dunia yang ditemukan telah terbentuk seperti ini, bukan merupakan konklusi dari kejadian dan peristiwa di alam yang membabi buta dan tanpa kehendak. Bahkan, kita tidak mampu untuk meyakini bahwa terdapat faktor yang bertanggung jawab atas keteraturan alam. Dari sini, secara yakin kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa faktor tersebut adalah faktor yang pintar dan sadar.[23] Berkaitan dengan hal ini, Hume sepakat dengan teori materialisme dan memberikan penjelasan mekanik untuk alam.


Tafsir mekanika alam

Epicurs, salah seorang filosof Yunani Kuno, sebagaimana para pakar atom, memberikan tafsir mekanik untuk alam natural bahwa peristiwa-peristiwa alam bisa dijelaskan sesuai dengan aliran materialisme. Dia berpendapat bahwa penyebab kejadian alam dan keteraturan yang menguasai mereka, tidak lain adalah gerakan membabi buta dan tanpa kehendak dari atom yang melakukan gerakannya di udara dan mereka saling bertabrakan antara satu dengan yang lainnya secara kebetulan, tanpa adanya program dan rencana sebelumnya. Kemudian terjadilah peristiwa.

Perkataan Hume dan para materialis pun seperti ini. Para Materialis menerima persoalan keteraturan yang menguasai fenomena-fenomena alam ciptaan dan juga menerima adanya sebab pelaku (ilat fa’ili) untuk fenomena. Tetapi, mereka mengingkari sebab tujuan (ilat gha-i). Mereka tidak menerima adanya tujuan dalam keteraturan eksistensi. Dan sepakat bahwa keteraturan ini muncul karena kebetulan dan tidak ada peran sedikitpun dari pengatur yang mempunyai kecerdasan.


Analisa atas masalah co-insiden (kebetulan)

Kata co-insiden (kebetulan), terkadang digunakan dengan makna munculnya akibat tanpa sebab, yang hal ini merupakan kasus yang jelas-jelas invalid dan salah. Tetapi terminologi co-insiden sering pula dipergunakan dalam beberapa kasus pada dua atau beberapa sebab pelaku (ilat fa-ili ) untuk menyempurnakan tujuan tertentu tanpa adanya tujuan dan rencana sebelumnya. Seperti misalnya dua orang sahabat lama yang bertahun-tahun tak bersua dan tak ada khabar, tiba-tiba bertemu di sebuah kota tanpa adanya rencana seperti itu sebelumnya.

Apakah dalam menjelaskan fenomena eksistensi dengan keteraturan cermat yang melingkupinya ini kita mampu untuk menyepakati teori co-insiden ini, lalu mengatakan bahwa: Semua fenomena ini muncul dari materi itu sendiri dan keteraturan yang menguasai fenomena-fenomena tersebut, sebagaimana keteraturan yang menguasai elemen-elemen sebuah mesin otomatis, yang menjaganya dalam bentuk mekanik dan menyempurnakan tujuan mesin.

Mereka yang setuju dengan faktor kebetulan dan tidak mengakui keteraturan alam sebagai akibat dari pengetahuan yang lebih luas, menguatkan pendapatnya dengan dua cara:

1. Adanya kontraksi alam,

2. In-konsisten dan ketidakjelasan sebagian besar alam bagi kita.


Jawaban untuk sanggahan ketiga Hume

Dalam menjawab sanggahan Hume dan klaim yang diajukan oleh para materialis, dapat kami katakana bahwa:

Dengan memisalkan, bahwa kita menerima adanya kontraksi alam[24] dan juga menerima bahwa ilmu kita terhadap fenomena-fenomena eksistensi sangat terbatas, kembali kita tidak mampu menerima bahwa keteraturan yang meliputi partikulasi terbatas yang jelas ini merupakan akibat dari co-insiden yang membabi buta. Hal ini karena kemungkinannya sangatlah lemah sehingga tidak akan ada seorang akil pun yang menyetujuinya. Cressy Morris pada pasal pertama dari bukunya “Rahasia Penciptaan Manusia” menulis:

“Berilah tanda pada sepuluh keping logam dengan angka dari satu hingga sepuluh, dan letakkanlah kepingan-kepingan tersebut pada saku Anda lalu kocoklah. Setelah itu, berusahalah untuk mengeluarkannya secara tertib dari angka satu hingga angka sepuluh. Dan setiap kali Anda mengeluarkannya dari saku, masukkan kembali ke dalam saku, sebelum Anda mengeluarkan kepingan kedua. Dengan demikian, kemungkinan munculnya angka satu dan angka dua secara berurutan adalah satu banding seratus. Kemungkinan munculnya angka 1,2,3, secara berurutan adalah satu banding seribu dan kemungkinan munculnya angka 1,2,3,4 secara berurutan adalah satu banding sepuluh ribu. Dengan metode ini kemungkinan munculnya angka secara berurutan akan semakin berkurang, hingga akhirnya kemungkinan angka-angka tersebut akan mucul secara berurutan dari satu hingga sepuluh akan mencapai perbandingan satu banding sepuluh juta. Maksud dari penyajian pemisalan yang sangat sederhana ini adalah untuk menunjukkan bagaimana bilangan akan menanjak naik ketika berhadapan dengan kemungkinan.

Untuk terwujudnya kehidupan di muka bumi, situasi dan kondisi yang menguntungkan sangat dibutuhkan dimana hal ini dari sisi kemungkinan matematis merupakan hal yang mustahil untuk digambarkan. Bahwa situasi dan kondisi ini muncul melalui peristiwa co-insiden dan kebetulan-kebetulan yang terjadi antara satu dengan yang lainnya. Atas dasar ini, tidak ada cara lain kecuali harus sepakat bahwa di alam natural ini terdapat potensi intelek eksternal yang memperhatikan semua peristiwa yang terjadi. Ketika kita meletakkan kepatuhan pada point ini maka mau tidak mau kita harus sepakat bahwa tujuan dan maksud tertentu terdapat pada majemuk dan perbedaan. Dan juga pada fenomena kehidupan”.[25]

Dari apa yang telah kami katakana, dapat disimpulkan bahwa teori keteraturan, seandainya tidak memberikan keyakinan, dan kepadatannya tidak mencapai seratus persen, dan kita tidak bisa mengatakannya sebagai teori akal, tetapi yang jelas terdapat sebuah teori urfi, dimana kita tidak bisa begitu saja mengesampingkannya. Bahkan Hume sendiripun mengakui point ini. Hume termasuk salah seorang filosof yang memisahkan batas antara teori dengan praktek. Dan ia sepakat bahwa meskipun sebagian akidah dan opini pada tingkatan teori tidak bisa diaffirmasikan, tetapi akidah dan opini ini pada tingkatan praktik menjadi sangat penting dan relevan. Oleh karena itu, Hume setelah mengemukakan semua sanggahannya mengatakan, bahwa teori keteraturan –meskipun bukan merupakan teori yang valid- hingga batasan tertentu, merupakan teori yang cukup memuaskan. Keteraturan yang terlihat di alam natural –selain apa yang telah dikatakan- apabila dalil tidak mencukupi, minimal terdapat karinah atas hal ini; bahwa sebab, atau sebab keteraturan di alam semesta -secara kemungkinan- mempunyai kemiripan dengan akal dan individu manusia.[26]


Catatan Kaki:

[1] . Suatu pahaman yang diambil atau berasal dari wujud atau obyek luar, yang tidak berdiri sendiri. Wujud luar ini ada dengan keberadaan wujud yang lain, atau wujud luar ini bersandar pada wujud lain. Seperti keberadaan warna putih yang senantiasa bersandar pada wujud-wujud lain. Misalnya dikatakan kayu putih, kertas putih dsb. Jadi, pahaman kita tentang putih diambil dari kertas yang putih. Bukan berasal langsung dari putih itu sendiri. Begitu pula tentang keteraturan. Pahaman kita tentang keteraturan tidak langsung diambil dari keteraturan itu sendiri. Tetapi diambil dari wujud-wujud luar yang saling melakukan keseimbangan, keharmonisan dan kerjasama satu dengan lain.

[2] Terdiri dari: 1. Genus (jins), 2. Species (nu’), 3. Difference (fashl), 4. General accident (‘aradh ‘am), 5. Special accident (‘aradh khas), (pent)

[3] . Sebuah persepsi yang langsung diambil dari wujud atau obyek luar yang berdiri sendiri, misalnya pahaman kita tentang pohon yang langsung diambil dari wujud atau obyek pohon itu sendiri.

[4] . pahaman ,yang ada dalam pikiran kita, yang tidak bisa dikenakan pada wujud luar, misalnya pahaman tentang kata universal, universal ini tidak bisa ada dan tida mewujud di alam luar. Kita tidak akan mungkin menemukana benda yang bernama universal. Oleh karena itu universal itu hanya ada dalam alam pikiran kita.

[5] “Tujuan dan maksud” –baik dengan makna “akhir dari sebuah gerak” ataupun dengan makna “hal-hal yang menyebabkan terjadinya gerak”-sebagaimana yang telah dijelaskan dalam filsafat gerak-, senanitasa merupakan persoalan yang obyektif dan riil, oleh karena itu “nilai dan relativitas” sama sekali tidak bisa di kaitkan dengan “tujuan” . Baik dan buruk, penting dan bahaya, jelek dan cantik,.... bukan merupakan tujuan, melainkan merupakan sifat-sifat tujuan, misalnya: membunuh makhluk hidup merupakan tujuan diciptakannya senjata, akan tetapi baik dan buruk, jelek dan cantik, ..... digolongkan sebagai sifat-sifat pekerjaan (membunuh) tersebut, dan pekerjaan membunuh itu sendiri tidak bisa disebut sebagai tujuan sehingga kita mengatakan hal tersebut masuk dalam wilayah: normatif dan relatif atau tidak normatif dan hakiki. Jangan pula kita lupa pada point berikut bahwa semua konsepsi dengan istilah normatif (seperti konsepsi-konsepsi akhlak) bukanlah sebuah relatifi murni. “Binesh-e Islâmi” (Sal awal-e dabiristan), catatan kaki, hal. 20.

[6] Capleston, “Târikh Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, J. 1, hal. 110; lihat juga Ayon Barbor, “Ilmu dan agama”, terjemahan Baha-uddin Khurramshahi, hal. 162, (dengan judul “Akhd wa Iqtibas Ilahiyyat az ilm”, tentu saja dalam ringkasan ini kami tidak menganalisa pendapat ini.

[7] Târikh Falsafah, J. 1, hal. 276-267.

[8] Rasa-il Ikhwanus safa, J. 1, hal. 13.

[9] Tarikh Falsafah, J. 1, hal 267-276.

[10] . Adalah kesempurnaan puncak yang ingin diraih pelaku dalam perbuatannya. Misalnya seseorang yang pergi menuntut ilmu ke kota suci Qom. Sebab kepergian dia ke Qom untuk menuntut ilmu, karena dia tahu bahwa ilmulah yang menyempurnakan dirinya, inilah yang disebut illat gha-i.

[11] . yaitu benda A yang memiliki hukum-hukum tertentu, maka hukum-hukum yang berlaku pada benda A dapat juga diterapkan pada benda-benda yang memiliki karakteristik yang sama dengan benda A.

[12] Ibid, hal. 210

[13] . Proposisi yang premis minornya telah terbukti kebenarannya dan diterima sebagai suatu kaidah yang umum.

[14] Krider, Abrsuld, Kautsren dan ..., "Itsbat Wujud-e Khuda”, hal. 70, 71. Kitab ini ditulis oleh 40 orang ilmuwan ilmu eksperimentasi dan Aqa-e Ahmad Aam yang menterjemahkannya dalam bahasa Persia..

[15] Ibid, hal. 65.

[16] Ibid, hal. 42, 44 dan 45.

[17] Ibid, hal. 36 dan 37.

[18] Cressy Morrison, Rahasia Penciptaan Manuisa, terjemahan Muhammad Sa-idi, hal. 179-181.

[19] . Hadirnya hakikat sesuatu dalam diri sesorang ‘alim. Seperti ilmu kita terhadap diri kita sendiri. Ilmu hudhuri adalah ilmu yang tidak diperoleh lewat pemahaman sesuatu terlebih dahulu. Misalnya ilmu kita tentang “sakit” tidak diperoleh lewat pahaman sakit, tetapi sakit itu kita ketahui dengan hadirnya rasa sakit itu sendiri dalam diri kita.

[20] . Lawan dari ilmu hudhuri.

[21] Dasar kritikan Hume di sini mirip dengan apa yang dikatakan oleh “Mu’talah”, Mu’talah sepakat bahwa, karena Tuhan tidak mempunyai “misal” (laisa kamitslihi shai), dengan demikian tidak ada satupun dari sifat-sifat manusia yang bisa diberlakukan untuk Tuhan, dan dari sini menyebabkan dalam bab theology sepakat untuk libur.

Jawabannya adalah semua kemiripan adalah persepsi dan bukan obyektif dan dengan istilah lain meskipun Tuhan dari segala sisi tanpa pengganti dan tidak mempunyai persamaan akan tetapi mempunyai contoh (perhatikan), Sayyid Muhammad Husein Thaba-thaba-i, Nihayatul Hikmah, tingkatan 12, pasal 7.

[22] . Misalnya kata ilmu digunakan pada Tuhan dan manusia, tetapi ilmu yang disandarkan pada Tuhan adalah ilmu yang sempurna dan ilmu yang dikaitkan dengan manusia adalah ilmu yang kurang sempurna, pent.

[23] Kuliyyat-e Falsafah, hal. 222.

[24] Dalam filsafat telah terbukti bahwa kontraksi merupakan sebuah aktivitas yang berhenti, yaitu pada realitasnya, bisa terhitung, Nihayatul Hikmah, tingkatan 12, pasal 18.

[25] Hal. 9 dan 10.

[26] Kuliyyat-e Falsafeh, hal. 231.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...