Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Jumat, 15 Juli 2011

IBN RUSHD: JEMBATAN ANTARA FILSAFAT DAN SYARI’AT-AGAMA

1. Pengantar

Dalam dunia Islam, Filsafat mempunyai tempat tersendiri. Filsafat tidak begitu mudah diterima oleh kalangan Islam oleh ketatnya benteng ajaran teolog yang dipelopori oleh kaum Asyari’ah khususnya seorang tokoh yang bernama Al-Ghazali. Di tengah situasi demikian, muncullah generasi baru di antara para Filsuf yang dengan gigih memperjuangkan pandangannya bahwa filsafat dapat berguna dalam memahami syariat yang diperintahkan oleh Tuhan. Dari kawasan Barat dunia Islam, lahirlah salah satu filsuf terbesar Islam sepanjang masa, yang tidak hanya menegakkan kejayaan filsafat, namun juga mampu menggelorakan semangat tokoh-tokoh lain untuk mengembangkan seni berpikir dan mencintai kebijaksanaan itu (philosophia), yaitu Ibn Rushd. Kehadiran dan ajarannya yang kurang mendapat apresiasi dalam dunia Islam, di mana ia berpijak, berbanding terbalik dengan apresiasi dan respon dari dunia filsafat Barat. Tulisannya banyak dipelajari dan dikritisi oleh banyak tokoh di barat, bahkan oleh seorang Doctor Angelicus Kristen, Thomas Aquinas. Hal semacam ini menambah nilai tersendiri dari seorang Ibn Rushd.
Berangkat dari hal tersebut, penulis mencoba menggali lebih dalam melalui perumusan beberapa pertanyaan: Siapakah Ibn Rushd itu? Filsafat apa yang ia kembangkan? Karya apa yang membuatnya dikenang sebagai seorang filsuf Islam besar? Apa pengaruh dari ajarannya? Paper ini berusaha menyajikan semacam ringkasan singkat yang kiranya dapat mewakili atau merangkum dari sedemikian luasnya karya Ibn Rushd.

2. Riwayat hidup dan konteks historis pemikiran Ibn Rushd

Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Ibn Rushd ( 520 - 595 H atau 1126 - 1198 M) adalah salah seorang filosof Islam terbesar, ahli ilmu kalam dan pembesar ulama mazhab Maliki yang mendalami ilmu fikih perbandingan antara mazhab-mazhab fikih Islam. Dia juga seorang tokoh ilmu kedokteran–baik dalam penulisan maupun dalam praktek kedokteran–dalam sejarah peradaban Islam. Terakhir, beliau adalah qadi (hakim) yang mencapai derajat qadi al-qudat di Cordova–yang menyamai kedudukan menteri kehakiman di zaman sekarang. 

Ibn Rushd dilahirkan di kota Cordova, Andalusia (Spanyol – sekarang), berasal dari kalangan keluarga besar yang dikenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi dalam ilmu, fikih, peradilan, politik dan administrasi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang dengan sebutan “Ibnu Rushd Nenek”(al-Jaddah) adalah kepala hakim.

Lingkungan yang sangat kondusif itulah yang membuat Ibnu Rushd kecil haus ilmu pengetahuan, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki kejeniusan luar biasa. Pada usia anak-anak saat itu, Ibnu Rushd sudah mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti Al-Qurán, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksak seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Karena itulah, ketika Ibnu Rushd tumbuh dewasa, ia terkenal dengan ilmuwan yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dia belajar ilmu kedokteran dan filsafat pada tokoh masa itu, di antaranya adalah Abu Ja’far Harun, Abu Marwan bin Jarbul al-Balansi, Ibn Bajah dan Ibn Tufail. 

Dia menjabat sebagai qadi di Asbilia pada tahun 564 H (1169 M), kemudian menjabat sebagai qadi al-qudat Cordova pada tahun 566 H (1171 M). Ibn Rushd menyaksikan akhir masa daulah Murabbitin 448 - 541 H (1056 - 1146 M) dan awal masa daulah Muwahhidin 541 - 668 H (1146 - 1269 M) yang memerintah Maroko dan Andalusia. Pada mulanya Ibnu Rushd mendapat tempat yang terbaik di sisi khalifah Abu Yusuf Al-Mansyur, Amir ketiga dinasti Muwahhidun 1184 H. Ia pernah mendapat amanat sebagai qadil (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadlil qudlat (hakim agung) di Cordova. Namun sayang, karena ajaran filsafatnya banyak ulama yang tidak menyukainya, bahkan ada yang sampai mengkafirkan Ibnu Rusyh. Ada juga sekelompok ulama yang berusaha untuk menyingkirkan dan memfitnah bahwa dia telah menyebarkan ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itulah, Ibnu Rushd diasingkan oleh pemerintah ke suatu tempat bernama Lucena. Tidak hanya itu, banyak diantara karya-karya filsafatnya dibakar dan diharamkan untuk dipelajari.

Setelah beberapa orang terkemuka dapat menyakinkan khalifah Al-Mansur tentang kebersihan dari Ibnu Rushd dari fitnah dan tuduhan tersebut, maka ia baru dibebaskan. Akan tetapi tidak lama kemudian fitnah dan tuduhan seperti semula kembali terulang. Sebagai akibatnya, pada kali ini Ibnu Rushd diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko). Di sanalah kemudian Ibnu Rushd menghabiskan sisa-sisa umurnya hingga ajal menjemputnya pada tanggal 10 Desember 1198 dalam usia 72 tahun. 

Karya-karya Ibnu Rushd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan ringkasan. Hampir semua karya-karya Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.

3. Karya Ibn Rushd yang mewarnai dunia Islam

3.1 Ibn Rushd dan Filsafat Aristoteles

Salah karya filsafat terbesar Ibn Rushd adalah tafsir atau komentar atas karya Aristoteles. Ibn Rushd menghargai Aristoteles setinggi langit dan memandang Aristotoles sebagai manusia sempurna dan pemikir terbesar yang telah mencapai kebenaran serta tidak mungkin tercampur kesalahan. Ibn Rushd selama hidupnya berkeyakinan bahwa filsafat Aritoteles yang jika difahami sebaik-baiknya maka tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan perkembangan kemanusiaan tingkatan yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya.

Tulisan-tulisannya mengenai filsafat Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, sehingga ia terkenal. Atas dasar ini, ia digelari sebagai the Commentator atau dengan kata lain sebagai pengulas Aristoteles, disamping kehebatannya dalam dunia ilmu kedokteran. Hal itu bukan berarti, Ibn Rushd menelan mentah-mentah gagasan filsafat Aristoteles. Ibn Rushd tentu saja melihat filsafat Aristoteles dari persepektif Islam (Al-quran).

Pada awalnya, Ia hanya sekadar untuk mengkaji dan menerjemahkan karya dan filsafat Aristoteles. Ia meyakini bahwa hanya Aristoteles yang dipilih Tuhan untuk memiliki filsafat. Selain darinya, orang yang ingin berfilsafat pasti mengalami kegagalan. Tetapi dalam perjalanan waktu apa yang diyakini dan dikatakanya ini semuanya berbanding terbalik. Ia akhirnya mempunyai filsafatnya sendiri. Hal ini disebabkan karena Ibn Rush memahami filsafat Aritoteles melalui aliran Muslim Neo-Platonisme khususnya Al-Farabi dan Ibn Sinna. Neo-Platonisme merupakan suatu campuran filsafat dari beberapa orang ahli filsafat seperti Plato, Phytagoras, Aristoteles Stoa dan Tasawuf Timur.

3.2 Jiwa dan fakultas jiwa

Perlu diperhatikan bahwa pemikiran Ibn Rushd tentang jiwa terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles. Aristoteles menilai psikologi sebagai ilmu eksakta. Jiwa dalam psikologi merupakan puncak dari proses yang ada dalam tubuh manusia. Sementara Ibn Rushd berpendapat bahwa jiwa tidak akan ada jika tidak dibentuk/ berpotensial. Jiwa yang berpotensial. Jiwa yang sempurna memiliki lima kemampuan, yakni: jiwa vegetatif atau nutritif, jiwa sensitif, jiwa imajinatif, jiwa rasional dan jiwa apetitif (keinginan besar). Kemampuan bernutritif berfungsi sebagai penjaga kelangsungan kehidupan. 

Ibn Rushd juga menjelaskan berkaitan dengan kekuatan pasif dan aktif. Kemampuan sensitif terdapat pada embrio yang memiliki kekuatan pasif. Sementara kekuatan aktif terdapat pada binatang dan tidak terdapat pada tumbuhan. Karakter dari kemampuan sensitif adalah kadang berpotensi, aktual, bergenerasi. Kemampuan sensitif . Sentuhan terjadi adanya kenyataan panas-dingin, kering-basah. Kemampuan ini ada karena pada tubuh terdapat saraf.

Kemampuan yang berasal dari dalam adalah imajinasi. Imajinasi bergantung pada waktu. Kemampuan imajinasi memiliki fungsi sebagai stimulasi terhadap keinginan yang ada di dalam diri. Keinginan-keinginan yang berasal dari dalam diri seperti: nafsu, marah dan kehendak. 

Kemampuan rasional (intelektif) yang memungkinkan seseorang berpikir. Hal ini berkaitan dengan ingatan dan pengumpulan kembali peristiwa masa lalu. Objek ingatan adalah peristiwa masa lalu. Pengumpulan kembali terjadi karena ada peristiwa masa lalu yang dilupakan. Adapun yang menjadi dasar pengalaman rasional adalah teori dari pengetahuan dan praktis dari kesesuaian-kesesuaian dimana kedua hal itu saling berkaitan pada pengalaman indera.

Dalam usahanya untuk memurnikan filsafat Arsitoteles, Ibn Rushd mencoba menghilangkan unsur-unsur neoplatonisme yang dikembangkan oleh Ibn Sinna dari filsafat Arostoteles yang berkembang saat itu, salah satunya konsep utama mengenai Emanasi. Bagi Ibn Sinna, ada intelektual pertama yang menghasilkan surga pertama, dan dalam pemahamannya ia sebut sebagai yang Satu atau Pertama, kemudian menghasilkan pengetahuan kedua, di mana selanjutnya menghasilkan intelektual ketiga, dan seterusnya hingga kita mencapai Intelektual Aktif. Tindakan menghasilkan dan membawa entitas-entitas material ke dalam “yang ada” sama halnya dengan tindakan menyebabkan “bentuk-bentuk substansial” hasil emanasi dari Intelektual Aktif. Inilah alasan menyebut Intelektual Aktif sebagai Pemberi Bentuk (Wahb al-Suwar). Ibn Rushd menentang prinsip Emanasi dalam filsafatnya. Menurutnya, Eksistensi dari senyawa yang ada terikat dengan dasar-dasar senyawa atau datang bersamaan, sehingga pemberi senyawa (ribat) adalah penyebab eksistensi. 

Ibn Rushd juga menentang ajaran Neoplatonisme, sufisme (mistik) yang bergantung pada sumber-sumber eksternal. Ibn Rush sungguh memperhatikan kemampuan intelektual. Sementara Neoplatonisme dan sufisme memahami intelektualitas sebagai kekuatan pasif, maka kedua aliran itu cenderung pada sumber-sumber cahaya eksternal, seperti intelek aktif atau Allah.

3.3 Antara Agama (Syari’at) dan Filsafat

Seperti halnya Al-Farabi dan Ibn Sinna, Ibn Rushd berangkat dari pemikiran dasar bahwa kebenaran agama dan filsafat adalah satu, meski dinyatakan dalam lambang yang berbeda-beda. Hal itu ditegaskan oleh Ibn Rushd ”… karena Syari’at itu benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu yang benar, maka kita kaum muslimin dengan pasti mengetahui bahawa pembahasan demonstratif tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Syara’. Sebab kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya”. 

Ibn Rushd membuka risalahnya dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah Filsafat itu sah atau dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam syariat. Menurutnya, Syari’at sendiri sejak awal mula telah memerintahkan, mewajibkan, atau paling tidak menganjurkan untuk mempelajari filsafat dalam agama Islam. Filsafat ini berperan membuat pemikiran tentang wujud untuk mengetahui Pencipta semua yang ada ini. Dalam Al-Quran sendiri ada banyak ayat, baik secara eksplisit maupun implisit, yang menyatakan perintah manusia untuk berfikir (i’tibar), bukan hanya sekedar spekulasi atau refleksi.

Ibn Rushd secara tegas menunjukkan bahwa model berfikir deduksi merupakan penalaran atau pemikiran yang paling sempurna. Penalaran deduksi berusaha memahami Allah dan ciptaanNya, tidak hanya sekedar mengetahui, yang diketahui lewat penarikan kesimpulan. Menurutnya penalaran deduksi yang paling sempurna adalah pemaparan dengan menggunakan analogi demonstrasi atau burhân. Namun, sebelum manusia berusaha mengenal Allah dan ciptaannya melalui secara demonstratif, maka manusia itu harus mulai belajar bagaimana membedakan antara deduksi demonstratif dan deduksi dialetika (jadali), retoris (khatabi), dan sofistik (mughalithi). 

Ibn Rushd berpendapat bahwa perlunya memahami agama dengan filsafat agar kaum muslim dapat mencapai teori yang benar sekaligus perbuatan yang benar (al-‘ilm al-haq wal-‘amal al-haqq). Teori atau pengetahuan yang benar adalah pengetahuan tentang Tuhan, tentang kemaujudan lainnya, serta tentang kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat. Ada dua cara untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu penyerapan dan persesuaian. Persesuaian itu bisa bersifat demonstratif, dialektis dan retoris yang ketiga-tiganya terdapat dalam Al-Quran. Menurutnya pula, manusia terdiri dari tiga golongan. Cara demonstratif biasa digunakan oleh para filsuf, sedangkan para teolog yaitu para pengikut aliran Asya’ri ialah kaum yang lebih rendah tingkatannya karena mereka memulai dari penalaran dialektis dan bukan dari kebenaran ilmiah. Orang-orang awam ialah orang-orang retoris, yang hanya bisa menyerap sesuatu lewat contoh-contoh dan pemikiran puitis.

Saat itu ada asumsi dan anggapan yang meluas, yang dianfirmasi oleh sebagian besar umat Islam, bahwa para filsuf itu sesat, bahkan kafir. Tentu asumsi dan anggapan ini lahir dari sikap dan tindakan yang ditunjukkan oleh Al-Gazali yang begitu mudah diterima oleh sebagian besar Islam. Namun, Ibn Rushd menolak anggapan itu. Menurutnya, orang dikatakan kafir bila menolak tiga prinsip yang mesti diyakini oleh setiap muslim yaitu tentang Adanya (Eksistensi) Allah, Kenabian Muhammad, dan kebangkitan. Filsafat bukanlah kafir atau sesat, karena justru Al-Quran malah mewajibkan dan/atau menganjurkan (Wajib dan/atau sunnah) penggunaan akal untuk mengerti agama (Syari’ah).

3.4 Pembelaan Ibn Rushd terhadap para filsuf atas serangan Al-Ghazali

Selain memberi penjelasan pada dunia Islam waktu itu, bahwa filsafat dapat digunakan untuk memahami dan mengerti tentang agama (Syari’at), Ibn Rushd juga mencoba membela para filsuf yang cenderung tidak disukai, atau bahkan dibenci. Ketidaksukaan dan kebencian itu dipicu oleh pandangan negatif Al-Ghazali terhadap filsafat dalam tulisannya yang berjudul Tahafut-al-falasifah (Kekacauan para Filsuf). Dalam buku ini Al-Ghazali menuduh para filsuf kafir atas pemikiran-pemikiran mereka yaitu:
1. Alam bersifat kekal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada. 

Tanggapan atau pembelaan Ibn Rushd atas serangan Al-Ghazali itu terangkut dalam bukunya yang berjudul Tahafut-al-tahafut ( Kekacauan dari Kekacauannya Al-Ghazali). Mengenai pemikiran pertama, kaum teolog yang diwakili oleh Al-Ghazali berpendapat bahwa “alam dijadikan oleh Allah dari ketiadaan” (creation ex nihilo). Menurut Ibn Rushd konsep para teolog ini tidak mempunyai dasar yang kuat. Tidak satu pun ayat dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Allah pada mulanya berwujud sendiri, tidak ada wujud selain diriNya, dan kemudian Allah menciptakan alam semesta. Konsep ini hanyalah sekedar pandangan dan interpretasi pribadi para teolog. 

Ibn Rushd menunjukkan, justru Al-Quran memuat ayat yang menyatakan bahwa alam dijadikan dari sesuatu yang sudah ada, yaitu mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. “ Dan Ialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahtaNya (pada waktu itu) berada di atas air, agar Ia menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Hud 8). Ibn rushd tidak menyangkal bahwa alam ini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan terus menerus. Ibn Rushd melihat adanya perbedaan antara para teolog dan para filsuf dalam mengartikan kata Al-ihdas (mewujudkan). Bagi para filsuf kata Alh-ihsad mengandung arti” mewujudkan dari tiada” sedang bagi para filsuf berarti” mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir”. Dengan demikian konsep mengenai terjadinya alam bersifat kausalitas (qadim). 

Tentang masalah kedua, bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam; Ibn Rushd menyatakan bahwa Al-Ghazali telah salah paham. Para filsuf tidak pernah mengatakan demikian. Para filsuf berpendapat, cara Tuhan mengetahui tentang perincian alam berbeda dengan cara manusia. Pengetahuan manusia dalam hal ini berbentuk akibat, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, sebab bagi wujud perincian itu. Selain itu, pengetahuan manusia bersifat baharu dan Tuhan bersifat Qadim, semenjak awal Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di alam sampai yang paling kecil sekalipun. 

Tentang masalah ketiga, mengenai kebangkitan badan itu tidak ada. Ibn Rushd menuduh Al-Ghazali tidak konsisten mengenai pendapatnya sendiri, bahkan nampak kontradiksi. Dalam Tahafut-al-Falasifah, Al-Ghazali menulis bahwa tidak ada orang islam yang mengatakan bahwa kebangkitan akan terjadi dalam bentuk rohani saja. Namun di buku lain Al-Ghazali menyebutkan bahwa kebangkitan bagi kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani. Dengan demikian, para filsuf tidak bisa dikafirkan jika menganggap tidak ada kebangkitan badan. Bagi Ibn Rushd sendiri, konsep kebangkitan badan lebih mendorong kaum awam untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik dan untuk menjauhi yang jahat.

4. Pengaruh Karya Ibn Rushd

4.1 Pengaruh Ibn Rushd Bagi Dunia Islam

Ibn Rushd memiliki pemikiran yang tidak berpengaruh besar bagi dunia Islam. Tidak seperti Al Ghazali. Isi filsafatnya dianggap bertentangan dengan Islam secara umum. Maka Ibn Rushd dianggap orang zindik, lahirnya Islam tapi batinnya kafir. Ia pernah dibuang ke Lucena . 

Di dunia Islam, Ibn Rushd lebih dikenal sebagai filsuf yang menentang Al Ghazali. Dalam buku Tahafut-al-Tahafut, ia membela kembali pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan Islam yang telah diserang habis-habisan oleh Al Ghazali. Segala dalil Al Ghazali dibantah olehnya. Sebagai pendukung Aristoteles, Ibn Rushd menolak hijraul-adat. Hijraul-adat adalah segala kejadian yang terserupa seperti hukum sebab dan akibat hanyalah sebuah kebiasaan (adat) semata-mata dan bukan hukum kepastian. 

Seperti al-Farabi, Ibn Rushd mengemukakan hukum kausalitas Aristoteles. Filsafat Ibn Rushd berada di tengah-tengah antara al-Farabi dan Ibn Sina, tapi lebih dekat pada al-Farabi. Filsafat Ibn Rushd sangat menggemparkan dan mempengaruhi alam pemikiran dunia beradab pada waktu itu. Filsafatnya tidak dapat mempengaruhi dunia Islam sebab dunia Islam pada waktu itu dibentengi oleh kekuatan ahli sunnah al-Asy’ariyyah dan al-Ghazali. 

Ibn Rushd kerap dijadikan tapal batas akhir perjalanan filsafat Islam klasik dalam karya-karya Barat atau sarjana Muslim yang terpengaruh oleh sarjana Barat. Ia tampil sebagai pembela gigih filsafat dan rasionalitas Islam setelah sejumlah teolog Asy’ariyyah seperti al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menghujat keras sejumlah isu pokok dalam filsafat Islam. Ia mencoba membangun argument keharmonisan akal dan wahyu atau filsafat dan agama (syari’at) secara umum. Pemikirannya telah digunakan sebagai sandaran bagi gerakan rasionalitas di dunia Islam hari ini, bahkan gerakan liberal Islam pun mengacu pada tokoh ini.

4.2 Pengaruh Ibn Rushd Bagi Dunia Barat, terutama terhadap Thomas Aquinas

Jika di dunia Islam nama Ibn Rushd kurang bersinar dan kurang dikenal baik, sebaliknya di dunia Barat, nama Ibn Rushd sangat terkenal. Dalam dunia barat Ibn Rushd lebih dikenal dengan nama Averoes dengan alirannya yang disebut Averoisme. Averoisme mempengaruhi pemikiran Teologi Kristen ortodoks, Agustin dan pemikir-pemikir skolastik latin di Eropa . Hal ini dikarenakan banyak pemikiran Aristoteles telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, kemudian dimaknai dan diartikan secara lebih alami dan segar khas Ibn Rushd, yang mencoba memurnikan ajaran Aristoteles yang telah tercampur dengan ajaran lainnya. Tulisan-tulisannya telah membangunkan banyak filsuf untuk melihat kembali ajaran Aristoteles yang selama ini berkembang, dan menggelorakan kembali semangat berfilsafat ala dunia Yunani. Tanggapan beragam terkait dengan usaha yang dibuat Ibn Rushd ini.

Thomas Aquinas berusaha membuat ajaran Kristen yang benar dengan membedakan pemikiran asli Aristoteles dengan terjemahan Ibn Rushd. Thomas dengan tekun dan sabar mempelajari ajaran Ibn Rushd dan belajar banyak darinya. Melalui tulisan Ibn Rushd, Thomas Aqunas telah menghasilkan gagasan filsafat yang segar untuk menanggapi tulisan Ibn Rushd ini, yang semakin memperkaya filsafat Aristoteles, khususnya, dan filsafat pada umumnya.

5. Penutup
Dari uraian di atas, makin jelaslah siapa Ibn Rushd dan apa karya yang dihasilkannya, sehingga ia menjadi sedemikian terkenal. Seorang filsuf sekaligus muslim yang mencoba menjembatani antara penggunaan rasio (filsafat) untuk mengerti dan memahami kehendak Tuhan lewat agama (syari’at). Ia harus berhadapan dengan situasi dimana fisafat mendapat penilaian yang negatif khususnya dari para teolog muslim Asyari’ah, dengan tokohnya Al-Ghazali. Namun sekali lagi, berkat pepiawaiannya memainkan pemikirannya yang didasarkan pada filsafat Aristoteles dan tentu saja Al-Quran, Ibn Rush mammpu menghubungkan keduanya menjadi satu hal yang tak terpisahkan.

Keberaniannya untuk membela para filsuf patut diapresiasi. Kita dapat belajar banyak hal dari Ibn Rushd khususnya, perannya dalam menterjemahkan pemikiran Aristoteles secara murni, sekaligus memaknainya secara baru berdasarkan pada Al-Quran. Kemampuannya ini membuatnya dikenang sepanjang masa, khususnya dalam sejarah perjalanan filsafat Barat (Latin) dengan nama populernya Averoes. Kecintaannya pada agama sekaligus pada filsafat mampu melahirkan gagasan yang mendamaikan pertentangan di antara keduannya. Perpaduan keduanya menghasilkan pemikiran yang baik dan cemerlang untuk semakin memaknai hidup.


Daftar Pustaka

Harun Nasution,
1978 Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta.

Hasbullah Bakry,
1978 Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, Tintamas, Jakarta.

Heru Prakosa SJ.,
1997 Diktat Filsafat Islam, promanuscripto Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2008 Diktat Kuliah Filsafat Islam Tingkat II FTW, promanuscripto Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Majid Fakhry,
2001 Averroes; his Life, Works and Influence, Oneworld Oxford, England.

Nurcholish Madjid (Ed.),
1984 Khazanah Intelektual Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta.



Sumber internet:
- http://acrossindonesia.wordpress.com/2008/07/12/rasionalitas-ibn-rushd-perlu-tapi-tak-memadai/. 27 September 2010
- http://tyas-munaqo.blogspot.com/2009/04/ibn-rusyd.html. 29 September 2010.
- sharingtheory.blogspot.com/2009/.../ibnu-rusd-pemikir-islam.html. 3 Oktober 2010.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...