Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 06 Juli 2011

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan --- Kaidah Imkan Asyraf [13] (Theory of Future Possibility)

Pendahuluan
Kaidah imkân asyrâf termasuk salah satu kaidah penting dalam kajian-kajian filsafat, mengingat penerapannya yang cukup banyak dalam menegaskan berbagai realitas-realitas wujud. Sebagaimana diketahui bahwa kaidah imkân asyrâf (noblest contingency, higher possibility) untuk pertama kalinya ditemukan dalam ungkapan-ungkapan Aristoteles, kemudian dalam kalimat-kalimat Ibnu Sina, setelah itu digunakan dalam gagasan-gagasan Syaikh Isyraq, kajian-kajian Mir Damad dan pemikiran Mulla Sadra. Kaidah ini telah dijadikan dasar analisis dan pondasi argumentasi untuk membuktikan dan menegaskan eksistensi hakiki yang paling sempurna di antara realitas-realitas eksistensi di semua alam.

Persoalan-persoalan yang timbul berhubungan dengan kaidah imkân asyrâf dapat diungkapkan sebagai berikut:

1. Apakah masih terdapat di dalam karya-karya Aristoteles yang secara gamblang dan signifikan membahas kaidah imkân asyrâf? Kalau ada, sejauh mana kedalaman pembahasannya? Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari perbandingan antara pandangan-pandangan filosof Islam dan teori Aristoteles tentang kaidah ini?



2. Bagaimana filosof-filosof Muslim menjabarkan kaidah tersebut? Apakah terdapat kesamaan-kesamaan defenisi tentang kaidah ini yang dapat dipahami dan disepakati oleh semua kalangan filosof?

3. Argumen-argumen apa yang menjadi inti kekuatan landasan dari kaidah tersebut? Apakah argumen-argumen tersebut sarat dengan berbagai kritikan, sanggahan dan keraguan?

4. Apa tujuan, manfaat dan aplikasi dari kaidah imkân asyrâf?

Dengan mengungkapkan persoalan-persoalan di atas, maka menjadi jelaslah ruang lingkup pembahasan dan pengkajian kita serta prediksi kesimpulan-kesimpulan yang ingin kita capai.

Syaikh Isyraq mengkhususkan satu pasal dalam kitab Mutârahât untuk menjelaskan dan membahas kaidah imkân asyrâf, ia menyatakan bahwa Aristoteles dalam kitab al-Asmâ' wa al-'A^lam berkeyakinan bahwa di alam yang tinggi berlaku kaidah tersebut[1]. Tetapi Aristoteles sendiri hanya sebatas mengisyaratkan pengertian tersebut dan tidak mengungkapkannya secara eksplisit. Kalaupun kita menerima pernyataannya, namun terdapat dalam kitab Utsûlûjiyâh - tentang kitab ini terdapat perbedaan apakah karya Aristoteles ataukah karya Pluthin (neo-Platonisme) - bahwa ia tidak secara tegas merumuskan kaidah tersebut dalam bentuk kaidah filsafat. Sebenarnya, para filosof Islamlah yang mengembangkan secara luas persoalan-persoalan yang awalnya bersumber dari karya-karya filosof Yunani lalu menjadikannya sebagai rumusan dan kaidah untuk menyelesaikan berbagai masalah substansial filsafat.

Para filosof Islam menekankan kaidah ini dan membahasnya dalam karya-karya mereka. Dalam hal ini, Mulla Sadra menyatakan, "Kita banyak memanfaatkan kaidah imkân asyrâf ini dan juga telah diaplikasikan oleh para filosof Peripatetik. Aristoteles, di dalam kitab Utsûlûjiyâh dan al-Asmâ' wa al-'A^lam, berkata bahwa di alam yang tertinggi terdapat yang lebih sempurna. Begitu pula, filosof Ibnu Sina dalam kitab as-Syifâ dan kitab lainnya, mengungkapkan kaidah ini dan meletakkan dalam pembahasan yang berhubungan dengan susunan dan tingkatan alam-alam wujud serta penjelasan tentang hal ikhwal keberadaan alam, dan secara serius Syaikh Isyraq juga menggunakan kaidah ini serta secara luas menjabarkannya dalam kitab-kitab Muthârât, Talwihât dan Hikmah al-Isyraq."[2]

Mir Damad dalam kitabnya yang masyhur bernama Qabasât secara lebih khusus membahas kaidah imkân asyrâf ini[3]. Begitu pula, para filosof mutakhir, seperti Hakim Mulla Hadi Sabzewari dan Allamah Thabathabai, mereka semuanya mengkaji dan mengulas secara mendalam kaidah ini dalam kitab-kitab penting mereka.

Dimensi lain yang perlu kita singgung pada pendahuluan ini adalah bahwa Mulla Hadi Sabzewari diawal penjelasannya tentang kaidah tersebut, dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-Manzûmah, mengungkapkan bahwa imkân itu sendiri tidak dapat dijelaskan dan dinisbahkan dengan sesuatu yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, kecuali kalau maksud dari para filosof tentang imkân adalah mumkin[4] itu sendiri, karena imkân mempunyai pengertian: mustahil niscaya-ada dan mustahil[5] niscaya-tiada, atau kemustahilan ini hanya satu sisi saja yakni mustahil niscaya-ada atau mustahil niscaya-tiada. Imkân dapat juga berarti: sifat dari suatu kuiditas yang hubungan dan nisbahnya terhadap keberadaan dan ketiadaan adalah sama. Jadi, imkân di sini tidak bisa disifati dengan yang lebih sempurna, lebih mulia (tinggi) atau yang lebih rendah.


Uraian Kaidah Imkân Asyrâf

Kaidah ini dapat didefenisikan sebagai berikut: mumkin asyrâf[6] (wujud hakiki yang lebih sempurna) pada tingkatan eksistensi, lebih dahulu terwujud daripada mumkin akhas (wujud hakiki yang lebih rendah atau tidak sempurna). Oleh karena itu, kalau mumkin akhas (lower possibility, lower contingency) telah terwujud maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya.

Semua filosof telah bersepakat tentang inti defenisi tersebut, tetapi dengan tidak memandang perbedaan kecil dalam ungkapan-ungkapan mereka: kalau mumkin akhas terwujud, maka niscaya sebelumnya, telah terwujud mumkin asyrâf. Teori imkân asyrâf mengandung pengertian bahwa mumkin asyrâf niscaya lebih dahulu dari mumkin akhas dalam tingkatan wujud dan kalau mumkin akhas mewujud maka mesti telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya[7].

Di antara defenisi-defenisi yang telah diungkapkan di atas, Mir Damad merumuskan suatu defenisi yang lebih teliti dan cermat, defenisi ini efektif menjawab beberapa persoalan yang berhubungan dengannya, ia berkata, "Kaidah imkân asyrâf adalah segala wujud yang berada di alam penciptaan dimana mumkin asyrâf yang ada di alam tersebut, telah terwujud secara aktual di alam akal sebelum perwujudan mumkin akhas di alam-alam setelah alam akal[8].

Kaidah ini, berlaku secara mutlak di alam non-materi dimana tidak terdapat gerak, pertentangan dan benturan. Alam non-materi dalam defenisi Mir Damad disebut sebagai alam hakikat dan alam penciptaan. Di alam materi, dimana terdapat gerak, benturan dan perlawanan adalah sangat mungkin suatu wujud mumkin tidak dapat mencapai kesempurnaan, karena kesempurnaannya sangat bergantung kepada faktor-faktor eksternal. Oleh Karena itu, jangan beranggapan tentang kemestian perwujudan mumkin asyrâf di alam natural ini. Sebagaimana sering kita saksikan bagaimana mayoritas wujud-wujud ciptaan (makhluk) terhalang dan terhambat untuk dapat menggapai kesempurnaan yang mesti dimilikinya. Mumkin asyrâf hanya akan terwujud di alam natural ini, jika telah terpenuhi dan tidak terhalangi segala syarat dan kondisi perwujudannya.

Apakah tolok ukur kesempurnaan dan kerendahan? Manakah eksistensi-eksistensi yang dapat dikategorikan ke dalam mumkin asyrâf dan wujud-wujud yang digolongkan sebagai mumkin akhas?

Untuk menjawab seluruh masalah di atas, dikatakan bahwa Tuhan sebagai wujud murni dan suci dari segala kekurangan dan keterbatasan, Dia merupakan sumber mata air kesempurnaan dan kebaikan. Oleh karena itu, wujud Tuhan sebagai "wadah" kesucian, keagungan dan kesempurnaan. Berdasarkan kaidah kehakikian wujud (ashâlah al-wujûd), kita mengetahui bahwa wujud sebagai sumber segala kesempurnaan dan kebaikan, dan semua keburukan berasal dari "ketiadaan" dan kuiditas, dan karena Tuhan merupakan Pemberi wujud dan eksistensi, maka Dia pun mesti sebagai Pemberi kesempurnaan, ketinggian, kemuliaan, keagungan dan kebaikan.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa Wâjib al-Wujûd merupakan sumber mata air dan tolok ukur kesempurnaan, Dia "berada" pada tingkatan wujud yang paling tinggi dan mempunyai intensitas yang paling kuat, atau dengan ungkapan lain, Dia yang meliputi segala yang tidak terbatas. Dengan demikian, maka setiap wujud mumkin, semakin sempurna, semakin suci dari materi (tajarrud min al-maddâh) dan semakin jauh dari daerah "ketiadaan" apabila ia semakin "dekat" dengan wilayah Wâjib al-Wujûd, dan begitu juga sebaliknya, setiap kali kebergantungan dan kebutuhannya kepada materi bertambah, maka semakin kecil pula lingkaran dan intensitas wujudnya serta semakin rendah tingkatan eksistensinya, sehingga terus menurun ke derajat wujud yang paling rendah, dan akhirnya akan sampai pada derajat dan tingkatan yang sama dengan "ketiadaan" (baca: materi awal, al-hayûlâ al-ûlâ[9]).

Tentang persoalan tersebut Mulla Sadra berkata, "Ketahuilah bahwa wujud mutlak terbagi dua: pertama adalah Wâjib al-Wujûd, Dia yang berada pada kulminasi teratas dari kesempurnaan wujud, intensitas kesempurnaan-Nya tidak terbatas, dan keaktualan-Nya (bil-fi'il) juga tidak terbatas, dan kedua adalah materi pertama (al-hayûlâ al-ûlâ), wujud ini berada pada kulminasi paling bawah dari kesempurnaan, ia tidak terbatas dalam ketaksempurnaan, juga tak terbatas dalam kepotensialan (bil-quwwah) dan kepasifan. Sesuatu tidak akan terwujud (perjalanan menurun) di alam materi sebelum melewati materi pertama, yakni perjalanan menurun dari alam akal hingga ke alam materi, dan begitu pula materi pertama tidak akan mencapai puncak kesempurnaan wujudnya (perjalanan menaik) sebelum melewati tingkatan-tingkatan eksistensi yang berada di atasnya, yakni menerobos eksistensi-eksistensi yang berada di antara alam materi dan alam akal."[10]

Dengan demikian, alam eksistensi meliputi: alam natural atau materi (nâsût), alam malakût dan jabarût, dan alam Ilahi (lâhût). Alam-alam tersebut, apabila ditinjau berdasarkan intensitas kesempurnaannya, maka secara berurutan dapat dikatakan bahwa alam materi berada pada derajat intensitas yang rendah dan alam Ilahi terletak pada tingkatan intensitas yang paling tinggi, dan tingkatan kesempurnaan alam-alam yang lain bergantung kepada kedekatannya dengan alam Ilahi (rububiyyah). Berdasarkan pada kenyataan tersebut, jiwa manusia (an-nafs) - yang zat dan esensi adalah bersifat non-materi tapi aktifitas dan perbuatannya sangat bergantung pada badan dan unsur-unsur materi - berada pada tingkatan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan akal - yang esensi dan aktifitasnya tidak bergantung kepada alam materi.

Kaidah imkân asyrâf tidak dapat diaplikasikan pada alam materi dan bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan alam ini. Sesungguhnya, ini sebagai syarat penerapan kaidah imkân asyrâf dan faktor utama dalam memahami secara benar kaidah ini. Mir Damad dan Mulla Sadra mengisyaratkan hal ini dan sebelumnya, Syaikh Isyraq menekankan dimensi ini dan berkata: "Adalah benar apabila suatu wujud di alam materi yang senantiasa mengalami perubahan ini tidak mampu mencapai tujuan yang paling sempurna dikarenakan berbagai halangan dan rintangan yang bersumber dari watak setiap unsur-unsur materi yang saling bertolak belakang."[11]

Syaikh Isyraq dalam persoalan tersebut beranggapan bahwa keberadaan halangan dan hambatan yang bersumber dari sebab-sebab natural dan karakter unsur-unsur materi lebih disebabkan karena mengikuti kecenderungan dan substansi alam materi secara keseluruhan, kenyataan inilah yang dapat menjadi penghalang dan penghambat bagi seseorang untuk mencapai kesempurnaan hakiki yang menjadi tujuan penciptaannya. Di samping itu, terdapat faktor kebergantungan dan kecenderungan internal makhluk pada materi, kenyataan inilah sesungguhnya merupakan penghalang substansial pencapaian kesempurnaan wujud bagi makhluk di alam materi ini.

Berdasarkan kaidah imkân asyrâf, eksistensi yang pertama tercipta adalah eksistensi-eksistensi yang lebih sempurna dan kemudian eksistensi-eksistensi yang lebih rendah tingkatannya, kaidah ini niscaya berlaku pada tingkatan-tingkatan vertikal di alam akal. Sebagaimana penjelasan para filosof bahwa akal kedua dan jiwa pertama keduanya terpancar dari akal pertama (akibat pertama) dan mempunyai tingkatan kesempurnaan yang berbeda.


Kedudukan Kaidah Imkân Asyrâf di Alam Materi

Kaidah imkân asyrâf hanya berlaku bagi eksistensi-eksistensi yang mempunyai kondisi tetap (tidak berubah) dimana dipengaruhi oleh sebab-sebab yang juga konstan, karena eksistensi-eksistensi seperti itu bebas dari berbagai pengaruh, misalnya gerakan benda-benda langit, kedudukan benda-benda angkasa, posisi matahari dan cahaya bintang, karena perkara-perkara ini menyebabkan berbagai peristiwa alam dan kehancuran bagi sebagian wujud karena adanya berbagai benturan dan pertentangan yang bersifat kondisional.

Segala keberadaan dan ketiadaan unsur-unsur dan individu-individu wujud materi berada di bawah pengaruh dan efek dari gerakan benda-benda angkasa, oleh karena itu, dari sisi esensi, adalah sangat mungkin kesempurnaan yang diciptakan untuk wujud tertentu dapat terhalang faktor-faktor eksternal yang berpengaruh secara negatif dalam proses pencapaian kesempurnaan, jadi sebenarnya tatanan dan sistem global alam yang ikut berpengaruh terbentuknya perbedaan karakter dan kemampuan masing-masing individu wujud dalam meraih kesempurnaan, dan inilah rahasianya kenapa suatu eksitensi tertentu dapat mencapai kesempurnaannya sementara eksistensi yang lain sama sekali tidak memperolehnya.

Realitas yang lain terjadi ketika suatu wujud senantiasa tetap dalam kesempurnaan atau senantiasa konstan dalam kerendahan, hal ini terjadi karena mengikuti kesempurnaan dan kerendahan sebab penciptanya dan bukan karena faktor kemampuan internal dan faktor-faktor eksternal, jadi hadirnya perbedaan kesempurnaan di antara individu-individu wujud sangat dipengaruhi oleh dimensi sebab penciptanya, dengan ungkapan lain, pencipta yang sempurna niscaya mewujudkan individu yang sempurna dan juga sebaliknya.

Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh sebagian filosof yang berhubungan dengan aplikasi kaidah tersebut adalah kesempurnaan dan kerendahan suatu eksistensi bersumber dari kesatuan kuiditas (mâhiyah). Tetapi syarat tersebut tidak sesuai dengan landasan pemikiran Mulla Sadra, maka dari itu, ia tidak menerima gagasan tersebut. Menurut gagasan Mulla Sadra, hakikat wujud adalah basith[12] (indivisible, simple) dimana perbedaan esensial di antara individu-individu wujud bersumber dari hakikat wujud tersebut, perbedaan individu-individu ini tiada lain adalah kesempurnaan dan kekurangan pada hakikat wujud itu sendiri, dan berdasarkan sisi kesempurnaan dan kekurangan itulah terpancar beragam spesis kuiditas. Terwujudnya berbagai individu yang berbeda-beda dan beragam dari satu kuiditas yang disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor eksternal hanya bisa terjadi di alam natural dan alam materi ini, oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kaidah imkân asyrâf berlaku apabila telah terbukti bahwa mumkin asyrâf hadir sebelum mumkin akhas walaupun tidak berada di bawah satu spesis kuiditas.

Dengan berlandaskan teori yang menyatakan bahwa spesis segala kuiditas non-materi hanya mencakup satu individu saja, dengan kata lain, spesisnya bersifat individual dan tidak satupun kuiditas non-materi mempunyai lebih dari satu individu sehingga kita dapat katakan bahwa terdapat perbedaan kesempurnaan di antara individu-individunya. Dengan demikian, kita yakin bahwa akal pertama lebih sempurna dan lebih dahulu daripada akal kedua, dan begitu pula akal aktif (fa'âl) lebih mulia daripada jiwa (an-nafs an-nâthiq) sementara keduanya tidak bersumber dari satu kuiditas. Oleh karena itu, kesatuan kuiditas bukan merupakan syarat berlakunya kaidah tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan gradasi eksistensi, adalah benar apa yang telah digagas oleh Mulla Sadra, karena kalau dua eksistensi yang tidak sama kuiditasnya bersatu di alam wujud, maka dengan menggunakan kaidah tersebut kita dapat membuktikan mana wujud lebih dahulu dan sempurna.[13]

Berhubungan dengan hal ini, Mulla Sadra berkata, "Wujud-wujud aktual senantiasa lebih dahulu dari wujud-wujud potensial, dan kalau kita mengkaji segala realitas dan tingkatannya secara esensial maka kita dapatkan bahwa wujud yang lebih sempurna senantiasa terwujud lebih dahulu dari wujud yang kurang sempurna (cacat), wujud niscaya (wujûb al-wujûd, Wâjib al-wujûd) berada lebih dahulu dari eksistensi makhluk (mumkin al-wujûd), wujud partikular mendahului wujud universal, diferensia (al-fashl) lebih dahulu dari genus (al-jens), eksistensi individu mendahului spesis (an-nu'), begitu pula bentuk (ash-shûrah) lebih dahulu dari materi (al-maddah), kesatuan (al-wahdah) lebih dahulu dari kejamakan (al-katsrah), kebersambungan (al-ittishâl) mendahului keterputusan (al-infishâl), eksistensi mendahului "ketiadaan", kebaikan terwujud lebih awal dari "keburukan" dan kebenaran senantiasa mendahului "kebatilan" serta kejujuran lebih unggul dari "kebohongan"."[14]

Apabila kita mencermati pernyataan-pernyataan Mulla Sadra di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi dan inti segala pernyataan di atas, seperti keniscayaan (wujûb al-wujûd), kesatuan, kebaikan dan sebagainya tiada lain adalah eksistensi dan derajat kesempurnaannya itu sendiri. Kesatuan yang karena identik dengan wujud, maka lebih dahulu daripada kejamakan, begitupula karena wujud sumber segala kebaikan, maka kebaikan mesti lebih dahulu daripada keburukan dan karena wujud yang melandasi segala realitas maka dari itu ialah kebenaran dan akhirnya kebenaran lebih dahulu daripada kebohongan. Dengan memandang hakikat wujud, maka Dia kita temukan sebagai Yang Wajib (Yang Niscaya Adanya) dan karenanya Dia lebih dahulu daripada segala eksistensi yang mumkin (mumkin al-wujûd) sebagaimana Wujud Wajib (baca: Tuhan) lebih dahulu daripada eksistensi kontingen (baca: makhluk).

Berdasarkan pandangan di atas, maujud yang aktual (bil-fi'il) senantiasa terwujud lebih dahulu daripada maujud yang potensial (bil-quwwah), seperti, walaupun hewan aktual berdasarkan waktu belakangan terwujud daripada nutfah hewan, tetapi karena nutfah hewan bersifat potensial, oleh karena itu, hewan sebagai maujud yang terwujud lebih dahulu dan lebih sempurna dari nutfah hewan.


Penjelasan Kaidah Al-Wâhid

Sebelum kami menjabarkan argumentasi tentang imkân asyrâf, terlebih dahulu kami akan menjelaskan tentang kaidah al-wahid yang merupakan salah satu landasan dari argumen imkân asyrâf. Dengan memahami kaidah tersebut, kita dengan mudah mengikuti dan memahami alur-alur argumentasi dan mengetahui secara tepat substansi permasalahan tentang kaidah imkân asyrâf.

Kaidah al-wâhid adalah sebab (al-'illah) yang satu (tunggal) hanya mewujudkan akibat (al-ma'lul) yang satu (tunggal)[15], karena di antara sebab dan akibat terdapat keniscayaan dan kemestian keselarasan (as-sinkhiyyah) esensial sedemikian sehingga keselarasan tersebut hanya ada dan berlaku di antara keduanya dan tidak kepada yang lain. Kalau tidak demikian, maka setiap sesuatu dapat menjadi sebab bagi sesuatu yang lain dan segala sesuatupun bisa diposisikan sebagai akibat sesuatu yang lain. Maka dari itu, pada sebab terdapat unsur-unsur keselarasan dengan akibat dimana akibat tersebut hanya terwujud dan terpancar dari sebab itu. Oleh karena itu, kalau sebab tunggal (al-'illah al-wâhidah)[16] mewujudkan banyak akibat dimana akibat-akibat tersebut terpisah satu dengan lainnya dan tidak memiliki sisi kesatuan yang sama dengan sebabnya, maka konsekuensi dari hal itu adalah di dalam zat sebab tersebut terdapat beberapa bagian dan dimensi (mengandung komposisi), sementara kita hanya mengasumsikan bahwa pada zat sebab mengandung kesatuan sisi dan ketunggalan dimensi, artinya kenyataan tersebut bertolak belakang dengan asumsi yang ada.

Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa terdapat dua unsur utama dalam pembahasan kaidah ini: pertama kesatuan (al-wahdah) yang merupakan lawan kejamakan (al-katsrah) dan kedua kesimpelan (al-bisâthah) yang merupakan lawan kerangkapan (al-murakkab), jadi yang dimaksud dengan "yang tunggal dan yang satu (al-wahid) dalam kaidah tersebut adalah sesuatu yang tidak jamak dan juga tak terangkap dari bagian-bagian[17]. Dan maksud daripada "keniscayaan keselarasan esensial antara sebab pelaku (fâ'il) dan akibatnya" adalah setiap sebab yang mewujudkan akibat dan juga memberikan kesempurnaan eksistensi kepada akibatnya, pada derajat yang tertinggi wujud sebab mesti mempunyai kesempurnaan sebagaimana yang dimiliki oleh akibatnya sendiri.[18]

Berhubungan dengan keselarasan esensial tersebut, Sadrul Muta'allihin berkata: "Akibat dalam keberadaannya memerlukan dan bergantung kepada sebab, kebutuhan dan kebergantungan ini adalah hakikat zat dan wujud akibat itu sendiri, karena kalau kebergantungan dan kebutuhan ini hanyalah bersifat tambahan dan aksiden pada wujud akibat maka pada dimensi hakikat wujudnya ia tidak memerlukan sebab, dan konsekuensinya adalah wujud akibat merupakan eksistensi yang mandiri dan berdiri sendiri, dan hal ini adalah sangat mustahil. Oleh karena itu, eksistensi akibat adalah kebergantungan dan kebutuhan itu sendiri apabila kita hubungkan kepada sebabnya sendiri. Kemandirian yang terlihat pada eksistensi akibat sebenarnya merupakan manifestasi dan tajalli dari wujud dan kemandirian sebabnya, maka dari itu, eksistensi akibat mempunyai keselarasan dan keidentikan esensial dengan eksistensi sebabnya sendiri, karena derajat akibat berada di bawah eksistensi sebab."[19]

Sebagai kesimpulan, dari suatu wujud yang tunggal - dimana hakikat zatnya hanya mempunyai dimensi ketunggalan - tidak akan mewujudkan akibat yang beragam - dimana juga tak terdapat pada wujudnya unsur ketunggalan. Argumentasi ini berpijak pada dua mukadimah: pertama, antara sebab dan akibat terdapat keselarasan dan kesesuaian esensial, dan kedua suatu wujud dapat mempunyai keselarasan esensial dengan suatu wujud yang jamak, apabila pada wujud tersebut juga terdapat unsur kejamakan. Silogisme dari dua mukadimah tersebut adalah bahwa sebab yang pada wujudnya tidak terdapat unsur-unsur kejamakan (hanya unsur ketunggalan) maka mustahil memancarkan dan mewujudkan kejamakan.

Kaidah al-wâhid ini berimplikasi kepada tiga persoalan:

1. Apabila suatu waktu kita saksikan keberadaan akibat-akibat yang banyak dari sebab yang tunggal maka ketahuilah bahwa sesungguhnya pada wujud sebab niscaya terdapat unsur-unsur kejamakan yang menjadi faktor munculnya kejamakan akibat tersebut. Seperti pada wujud manusia yang mempunyai sisi-sisi kejamakan, dan dimensi-dimensi kejamakan inilah yang menyebabkan lahirnya berbagai perbuatan dan prilaku yang berbeda-beda. Sesungguhnya, setiap perbuatan dan prilaku manusia bersumber dari satu sisi dan satu dimensi dari wujud manusia, misalnya dimensi perbuatan tertawa berbeda dengan dimensi prilaku menangis, begitu juga dimensi perbuatan berbicara berbeda dengan dimensi prilaku berjalan, dan sebagainya.

2. Sebab-sebab yang jamak dan beragam tidak dapat secara bergantian berpengaruh pada akibat yang tunggal, misalnya akibat (S) pada jam pertama dipengaruhi oleh sebab (Y) dan pada jam kedua dipengaruhi oleh sebab (I) dan pada jam ketiga dipengaruhi oleh sebab (A) dan begitu pula pada jam keempat dipengaruhi oleh sebab (H). Realitas ini mustahil terjadi, karena mesti terdapat minimal empat sisi dan dimensi pada wujud akibat (S) yang masing-masing mempunyai keselarasan esensial dengan keempat sebab tersebut, sementara pada wujud akibat (S) ini diasumsikan hanya mempunyai satu sisi dan dimensi (zatnya bersifat tunggal) serta tidak mempunyai dimensi dan sisi kejamakan.

3. Akibat yang tunggal mustahil terwujud dari sebab-sebab yang jamak, apabila kita saksikan kenyataan tersebut, maka niscaya disebabkan oleh empat faktor, antara lain:

a. Akibat tunggal tersebut adalah bukan sesuatu yang individual (al-wâhid asy-syakhshi), tetapi sesuatu yang spesis (al-wâhid an-naû')[20]. Adalah jelas bahwa sesuatu yang spesis bersumber dari berbagai individu-individu dan setiap individu dari spesis tersebut dapat disebut sebagai satu sebab khusus, seperti panas yang merupakan spesis dimana bersumber dari berbagai individu, misalnya panas merupakan akibat dari api (baca: invidu pertama), panas merupakan akibat dari cahaya (baca: individu kedua) dan panas merupakan akibat dari gerak (baca: individu ketiga) serta dari individu lain yang dapat diketahui dari eksperimen.

b. Boleh jadi akibat yang tunggal tersebut adalah kesatuan bilangan (al-wahdah al-'adadiyyah)[21] yang sangat lemah, karena lemahnya kesatuan ini sehingga terwujud dari berbagai sebab. Seperti materi pertama (al-hayûla al-'ûlâ) yang tergolong sebagai kesatuan bilangan, karena ia tidak aktual (bersifat potensi murni dan kosong dari segala bentuk aktualitas), maka untuk mewujud dan mengaktual ia memerlukan bentuk spesifik atau forma (ash-shûrah an-naû'iyah, specific form)[22]. Forma ini yang dipancarkan secara bergantian kepada materi pertama oleh makhluk non-materi yang dinamakan malaikat yang diperintahkan mengatur alam materi ini. Dengan demikian, materi pertama yang merupakan substansi senantiasa menerima forma-forma dengan perantaraan malaikat-malaikat. Pandangan ini sesuai dengan teori penciptaan dan pemusnahan (al-kaun wa al-fasâd) yang dianut oleh para filosof pra Mulla Sadra, mereka belum mencapai pemahaman tentang gerak substansial (al-harakat al-jauhariyyah) dan beranggapan bahwa satu forma akan diwujudkan setelah forma sebelumnya telah musnah, penciptaan satu forma dan pemusnahan forma lainnya. Sementara berdasarkan gerak substansial, kebersusulan dan keberlanjutan forma-forma diumpamakan seperti perubahan setelah perubahan (al-labs ba'd al-labs). Gerak substansial dapat dilihat dari proses pertumbuhan bayi manusia di dalam rahim ibu. Berdasarkan pandangan ini, penyebab pertumbuhan materi dasar nutfah adalah satu forma saja, satu bentuk inilah yang senantiasa mengalami gerak dan perubahan dari satu forma ke forma yang lain. Jadi, hanya terdapat satu akibat bernama materi dasar dan satu sebab bernama forma. Apabila kita menerima teori gerak substansial ini, maka sebenarnya kita telah keluar dari tema pengkajian tentang perwujudan materi pertama oleh sebab-sebab yang beragam.

c. Akibat yang tunggal ini merupakan satu realitas yang bersumber dari banyak pengaruh, seperti vitamin untuk kesembuhan penyakit tertentu bersumber dari berbagai buah-buahan dan obat-obatan. Dalam hal ini, vitamin (sebagai akibat) yang dapat menyembuhkan penyakit berasal dari buah-buahan dan obat-obatan yang berbeda (sebagai sebab-sebab). Semua sebab tersebut mempunyai satu unsur kesamaan yaitu mengandung vitamin yang berkhasiat menyembuhkan penyakit tertentu. Berhubungan dengan pemisalan ini, mungkin ada yang menyangggah bahwa contoh ini bisa digolongkan pada bagian (a) yakni ketunggalan akibat dari jenis ketunggalan spesis, sebagaimana panas yang merupakan akibat dari berbagai sebab. Jawaban kritik ini adalah bahwa bagian (a) tidak mempunyai kesatuan dan ketunggalan dalam sebab-sebabnya, bahkan setiap dari sebab-sebab itu secara terpisah dan mempunyai tolok ukur yang berbeda sebagai sebab panas tersebut. Sedangkan pada bagian (c) ini, sebab-sebab dari setiap obat-obatan dan buah-buahan mempunyai tolok ukur yang sama, setiap dari mereka karena memiliki vitamin yang sama maka menyebabkan adanya kesatuan sisi. Oleh karena itu, walaupun akibat pada bagian (c) ini juga dari jenis ketunggalan spesis, tetapi pada bagian (a) tak terdapat kesatuan dimensi dalam sebab-sebab, sementara pada bagian (c) terdapat kesatuan dimensi.

d. Akibat yang tunggal ini disebabkan oleh sesuatu yang mempunyai bagian-bagian atau mengandung berbagai komposisi, akibat ini, sebenarnya bersumber dari salah satu bagian dari benda tersebut, misalnya dikatakan bahwa satu persoalan matematika dapat diselesaikan oleh kelas A, sesungguhnya yang terjadi adalah salah seorang murid kelas A dapat menyelesaikan persoalan matematika ini, dan kita terkadang menisbahkan salah satu bagian kepada keseluruhan, atau yang khusus kita sandarkan kepada yang umum.


Sebuah keraguan

Apabila kita berkeyakinan bahwa sebab yang basith mustahil mewujudkan lebih dari satu akibat atau diyakini bahwa Wâjib al-Wujûd yang basith hanya memiliki satu akibat yang disebut akal pertama. Pandangan ini akan memunculkan keraguan bahwa kekuasaan Tuhan terbatas yakni Dia hanya mampu menciptakan satu akibat saja, sementara kita telah menegaskan dengan dalil-dalil yang kuat bahwa kekuasaan dan kekuatan Tuhan tak terbatas.

Jawaban atas sebuah keraguan tersebut di atas adalah bahwa perwujudan keragaman akibat dari sebab yang basith adalah mustahil (kemustahilannya telah ditetapkan dengan dalil-dalil di atas), dan kekuasaan Tuhan tidak berhubungan dan tidak terkait dengan kemustahilan atau dengan kata lain, kekuasaan Tuhan tidak berpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh kemustahilan, karena kemustahilan adalah ketiadaan dan ketiadaan bukanlah sesuatu yang nyata dan riil, ketiadaan tidaklah mempunyai eksistensi sehingga dapat berpengaruh kepada kekuasaan dan kodrat Tuhan, yakni kekuasaan Tuhan dibatasi oleh ketiadaan, atau ketiadaan dipengaruhi oleh kekuasaan dan kodrat Tuhan, yakni Tuhan kuasa dan mampu mewujudkan ketiadaan menjadi sebuah kenyataan eksistensi.

Mereka menyangka bahwa implikasi dari kaidah ini adalah keterbatasan kekuasaan dan kodrat Tuhan, dan Tuhan hanya memiliki satu emanasi saja di alam, sementara kita melihat bagitu banyak keberadaan dan eksistensi di alam. Sangkaan seperti ini adalah salah, karena semua akibat dan keberadaan di alam secara berurutan dan sistimatis merupakan akibat-akibat dari akal pertama (akibat pertama yang terpancar dari Tuhan), dan akibat dari akibat pertama (akal pertama) juga merupakan akibat dari Tuhan, yakni Tuhan mewujudkan akibat-akibat yang banyak secara bergradasi di alam dari akibat pertama yang terpancar dari eksistensi Tuhan.

Dengan demikian, eksistensi-eksistensi di alam merupakan akibat dan emanasi dari eksistensi Tuhan secara langsung (akibat pertama atau akal pertama) atau tidak langsung (akibat-akibat yang tercipta dari akibat pertama). Tuhan merupakan Sebab Hakiki dan Sebab Pertama atas segala eksistensi dan keberadaan. Jadi, Kekuasaan dan kodrat Tuhan tetap tidak terbatas dan keberadaan makhluk yang juga tidak terbatas ini adalah tanda dan ayat yang jelas dan pasti tentang ketidak-terbatasan kekuasaan Tuhan.

Argumen Pembuktian Kaidah Imkân Asyrâf

Menurut Syaikh Isyraq kaidah tersebut tidak terlalu memerlukan argumentasi dan hanya sedikit memerlukan perhatian yang saksama dari fitrah manusia, dari konteks ini bisa dikatakan bahwa kaidah tersebut bersifat aksiomatis (badihi, gamblang), ia berkata: "Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak terpancar dari Yang Satu kecuali satu (kaidah al-wâhid), kalau telah terwujud mumkin akhas dari Wâjib al-Wujûd maka mumkin asyrâf pasti terwujud sebelumnya. Jika diasumsikan bahwa telah terwujud mumkin asyrâf dari Wâjib al-Wujûd tetapi tidak terwujud dengan alasan bahwa Dia zat yang tunggal dan hanya mewujudkan satu wujud saja yakni mumkin akhas maka ini berarti bahwa kita meniscayakan keberadaan sisi asyrâf pada wujud Tuhan yang nantinya menjadi sebab perwujudan mumkin asyrâf, konsekuensi dari pernyataan ini adalah tak terdapat sisi asyrâf pada wujud Tuhan yang berimplikasi pada kemustahilan perwujudan mumkin asyrâf dari zat Wâjib al-Wujûd dan juga mustahil kita mengasumsikan tentang keberadaan kesempurnaan pada wujud-Nya apalagi terpancar dari wujud-Nya.[23]

Berkaitan dengan burhan kaidah imkân asyrâf Mulla Hadi sabzewari berkata: "Apabila mumkin akhas terwujud maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya, apabila tidak demikian maka hanya terdapat tiga alternatif:

1. Mumkin asyrâf mustahil terwujud dari Sumber Keberadaan dengan perantara atau tanpa perantara;

2. Mumkin asyrâf hadir dengan perantaraan mumkin akhas (yakni terwujud setelah mumkin akhas);

3. Mumkin asyrâf bersamaan dengan mumkin akhas (pada derajat yang sama) terpancar dari zat Tuhan.

Ketiga alternatif tersebut di atas mustahil terjadi dan yang benar hanyalah apa yang telah ditetapkan di atas. Alasannya adalah kalau mumkin asyrâf tidak terwujud sebelum perwujudan mumkin akhas atau mumkin asyrâf tak terpancar dari zat Tuhan, dengan memandang bahwa asumsi tentang perwujudan mumkin asyrâf adalah sangat mungkin dan tidak mustahil, maka dikatakan bahwa mesti terdapat satu dimensi yang lebih sempurna (asyrâf) dari sesuatu yang terdapat pada wujud Tuhan dimana menjadi penyebab penciptaan mumkin asyrâf, ini berarti bahwa tidak terdapat sisi yang lebih sempurna pada wujud Tuhan dan karena Dia adalah sumber kesempurnaan dan derajat wujud-Nya pada tingkatan yang tertinggi dimana memiliki intensitas wujud yang terkuat maka dari itu adalah sangat mustahil apabila terdapat kekurangan (kurang sempurna) dan keterbatasan pada wujud-Nya. Apabila diasumsikan bahwa mumkin asyrâf tercipta dengan perantara mumkin akhas, maka dari itu, akibat ini (mumkin asyrâf) menjadi lebih sempurna (asyrâf) dari sebab (mumkin akhas), dan hal seperti ini juga mustahil terjadi, karena sebab sebagai pemberi wujud kepada akibat maka mustahil lebih rendah kesempurnaannya daripada akibatnya sendiri, dan hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi, "Sesuatu yang tidak memiliki mustahil dapat memberi". Dan kalau dikatakan bahwa mumkin asyrâf dan mumkin akhas kedua-duanya secara bersamaan terpancar dari wujud Tuhan, maka ini berarti bahwa Tuhan Yang Tunggal, terpancar dari wujud-Nya dua maujud sekaligus, yakni dari sisi kesatuan qua kesatuan terpancar dua realitas akibat atau terwujudnya kejamakan qua kejamakan dari kesatuan qua kesatuan, karena hal ini, bertentangan dengan konsep al-wâhid, maka dari itu asumsi tersebut mustahil terjadi.[24]

Syaikh Isyraq dalam kitabnya Hikmah al-Isyraq juga menjabarkan argumentasi tentang kaidah imkan asyrâf, ia berkata, "Kalau mumkin akhas telah mengada sementara mumkin asyrâf belum terwujud sebelumnya, maka persoalan ini secara logis akan menyebabkan hadirnya empat konsekuensi, yaitu:

1. Bertolak belakang dengan asumsi yang ada;

2. Perwujudan kejamakan dari wujud yang tunggal (satu) secara bersamaan adalah tidak mustahil;

3. Dibolehkannya perwujudan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) dari yang lebih rendah (akhas);

4. Kemestian keberadaan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) pada tataran Wâjib al-Wujûd.

Kalau ditetapkan bahwa perwujudan mumkin asyrâf dengan perantaraan, maka perantaranya pastilah mumkin akhas (jika kita menolak kaidah imkân asyrâf), tapi dalam kondisi tersebut akan melahirkan kenyataan bahwa akibat lebih sempurna (asyrâf) daripada sebab. Apabila kita mau menghindar dari realitas tersebut dan kita katakan bahwa mumkin akhas (A) merupakan akibat dari sebab (B) yang lebih sempurna (asyrâf) dari dirinya (A) dimana terdapat jarak antara (A) dan Wâjib al-Wujûd. Keadaan seperti ini juga bertolak belakang dengan perkataan tersebut karena fokus pembahasan kita berkaitan dengan akibat pertama atau mumkin pertama yang terwujud dari Wâjib al-Wujûd, apakah akibat pertama tersebut adalah mumkin asyrâf atau mumkin akhas. Oleh karena itu, asumsi tentang keberadaan perantara dan wasilah di antara wujud (A) dan Wâjib al-Wujûd adalah menyalahi asumsi itu sendiri.

Disamping itu, jika eksistensi yang lebih rendah (akhas) terpancar dan teremanasi tanpa perantara dari Wâjib al-Wujûd dan pada saat yang sama terdapat kemungkinan perwujudan sesuatu eksistensi yang lebih sempurna (asyrâf) dari Wâjib al-Wujûd, maka konsekuensi kedua tersebut di atas akan menjadi nyata, yakni kejamakan (eksistensi yang beragam) dapat terpancar dari kesatuan (eksistensi tunggal) secara bersamaan. Kalau dibolehkan, eksistensi yang lebih sempurna tercipta dari eksistensi yang lebih rendah, maka akan menyebabkan hadirnya konsekuensi yang ketiga, yakni tidak mustahil eksistensi yang asyrâf terpancar dari eksistensi yang akhas. Dan apabila diasumsikan bahwa mustahil terjadi perwujudan mumkin asyrâf dari Wâjib al-Wujûd dan mumkin akhas, maka konsekuensi keempat tersebut akan menjadi kenyataan. Kesimpulannya, adalah mustahil semua konsekuensi di atas, apabila didasarkan dan berpijak pada kaidah-kaidah filsafat.

Mir Damad merumuskan dua argumen dan burhan untuk pembuktian kaidah imkân asyrâf. Menurutnya, kedua argumen ini sangat akurat dan sederhana. Burhan Pertama, argumen ini memiliki pendahuluan yang telah dijabarkan sebelumnya. Berdasarkan pendahuluan tersebut, ketika di antara dua eksistensi tidak terdapat keselarasan esensial dan kekhususan hubungan, maka mustahil terwujud hubungan sebab-akibat (kausalitas). Oleh karena itu, apabila Tuhan memancarkan dan mewujudkan akibat pertama (baca: emanasi pertama) di alam penciptaan, namun emanasi pertama itu bukanlah eksistensi yang paling sempurna (asyrâf) di antara ciptaan-ciptaan-Nya, maka konsekuensinya adalah tidak terdapat keselarasan esensial dan hubungan kausalitas di antara keduanya (Sebab Pertama dan emanasi pertama), dan hal ini adalah mustahil. Emanasi pertama adalah eksistensi pertama yang diwujudkan oleh Tuhan, karenanya ia lebih dekat kepada eksistensi Tuhan dan tingkatan eksistensinya setelah eksistensi Tuhan, dan karena terdapat kesesuaian esensial dan hubungan kausalitas di antara keduanya, oleh karena itu, ia niscaya lebih sempurna, lebih tinggi dan lebih mulia di antara makhluk-makhluk-Nya. Dengan demikian, eksistensi pertama yang diwujudkan Tuhan adalah mumkin asyrâf dan setelahnya diwujudkanlah mumkin akhas secara bergradasi.[25]

Burhan kedua, apabila suatu eksistensi emanasi (wujud akibat) disandarkan kepada Wâjib al-Wujûd (bi adz-dzat, niscaya-wujud dengan sendirinya) dengan perantara atau tanpa perantara, maka dalam hal ini, wujud emanasi ini secara esensial adalah wâjib al-wujûd (bil ghair, niscaya-wujud dengan selain-Nya). Tapi, kalau "wujud emanasi" itu tidak kita sandarkan kepada Wâjib al-Wujûd, maka ia pasti mustahil (mumtani' bil ghair) terwujud. Oleh karena itu, jika wujud emanasi di sandarkan kepada Wâjib al-Wujûd, tetapi ia tidak terwujud dan tidak asyrâf, maka "Wâjib al-Wujûd" itu bukanlah Wâjib al-Wujûd yang sesungguhnya (yang hakiki) atau eksistensi emanasi itu bukan eksistensi yang niscaya-ada dengan selain-Nya (wâjib bil ghair), konsekuensi ini bertolak belakang dengan asumsi bahwa Dia adalah Wâjib al-Wujûd hakiki dan wujud emanasi adalah juga wâjib al-wujûd bil ghair hakiki. Dipandang dari perspektif ini, eksistensi emanasi niscaya terwujud, maka dari itu, ia pun mesti mumkin asyrâf, karena keniscayaan eksistensial yang terdapat pada emanasi, juga mengharuskan kehadiran keniscayaan kesempurnaan pada eksistensinya[26]. Dan kesempurnaan eksistensi-eksistensi emanasi berdasarkan tingkatan dan level mereka, apabila suatu eksistensi semakin dekat dengan eksistensi Tuhan maka semakin sempurna pula eksistensinya, dan begitu pula sebaliknya.

Argumentasi Sadrul Muta'allihin tentang kaidah imkân asyrâf dapat disimpulkan sebagai berikut: mumkin akhas ketika telah terwujud dari Sebab Pertama maka mesti mumkin asyrâf terwujud sebelum mumkin akhas. Karena kalau dibolehkan mumkin asyrâf diwujudkan bersamaan dengan mumkin akhas, maka berarti bahwa dari Wujud yang tunggal qua tunggal terpancar dua eksistensi sekaligus, hal ini adalah mustahil. Apabila mumkin asyrâf terwujud setelah mumkin akhas dan sekaligus sebagai perantara dari perwujudannya, maka konsekuensinya adalah akibat mesti lebih sempurna (asyrâf) dari sebabnya, dan ini juga adalah mustahil.[27]

Allamah Thabathabai dalam kitab Nihâyah al-Hikmah juga memaparkan argumen imkân asyrâf, ia berkata, "Ketinggian dan kerendahan merupakan dua sifat eksistensi yang bersumber dari intensitas derajat-derajat kesempurnaan eksistensi. Dan derajat-derajat kesempurnaan eksistensial secara hakiki tidak lain berasal dari bentuk hubungan kausalitas. Dan hubungan sebab-akibat mengharuskan keberadaan suatu wujud mandiri hakiki (wujûd al-mustaqil fi nafsihi, Wâjib al-Wujûd) dan wujud bergantung hakiki (wujûd ar-râbith bi ghairihi, mumkin al-wujûd), dengan demikian setiap tingkatan wujud yang tercipta dari tingkatan wujud yang lebih tinggi darinya, maka ia mesti lebih rendah kesempurnaannya (wujud akhas) dan bersifat bergantung, tapi bila ia dibandingkan dengan tingkatan wujud yang di bawahnya, maka ia lebih tinggi kesempurnaannya (wujud asyrâf) dan bersifat mandiri. Jadi, apabila di asumsikan terdapat dua wujud dimana derajat yang satu asyrâf dan lainnya akhas, maka wujud yang asyrâf niscaya terwujud lebih dahulu dari wujud yang akhas. Kelebih dahuluan (anterioritas) ini mestilah bersifat eksistensial, jika tidak, maka wujud yang akhas pastilah bersifat mandiri dan tidak bergantung kepada wujud yang asyrâf, hal ini adalah mustahil karena bertolak belakang dengan asumsi yang ada, yakni mengasumsikan bahwa wujud yang akhas bergantung secara mutlak dan hakiki kepada wujud yang asyrâf.[28]

Inti argumen di atas adalah bahwa hubungan kausalitas merupakan hubungan esensial antara wujud hubungan (râbith) dan wujud mandiri (mustaqil), persoalan ini sangat erat hubungannya dengan gagasan gradasi khusus pada wujud (tasykik al-wujûd). Dilihat dari perspektif ini, jika mumkin asyrâf tidak terwujud pada tingkatan sebelum mumkin akhas, maka mumkin akhas pasti tidak mempunyai sebab yang berkaitan langsung dengan perwujudannya, dan hal ini mustahil terjadi karena mumkin akhas menjadi suatu eksistensi yang mandiri, bebas dan tak bergantung kepada sebab.


Kritik atas Argumen Imkân Asyrâf

Kita telah kemukakan argumen-argumen yang dirumuskan oleh para filosof tentang kaidah imkan asyrâf. Pada kesempatan ini, kita akan menganalisis dan membedah sebuah kritikan yang dialamatkan kepada argumen imkân asyrâf. Seorang peneliti bernama Dawany, dalam tulisannya berupa komentar-komentar atas kitab Hayâkil an-Nur Syaikh Isyraq, melontarkan sejumlah kritikan dan sanggahan yang bermaksud untuk menguatkan struktur logikal argumen tersebut.

Mir Damad dan Mulla Sadra justru memandang bahwa sanggahan dan kritikan Dawany kurang tepat. Menurut kedua filosof ini, Dawany tidak memisahkan antara "mustahil-ada dengan selainnya" (mumtani' bil ghair) dan "mungkin-ada dengan sendirinya" (imkan bi adz-dzat) atau antara mustahil-ada dengan selainnya dan mungkin-ada dengan perbandingan selainnya (imkân bil qiyas ila al-ghair), karena sesuatu yang mustahil-ada dengan selainnya dapat menjadi mungkin-ada apabila dibandingkan dengan selainnya[29], dan mungkin-ada dengan sendirinya (mumkin bi adz-dzat) juga dapat terwujud manakala bersifat mungkin-ada jika dibandingkan dengan mustahil-eksistensi dengan selainnya (mumtani' bil ghair).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara hakiki adalah mustahil perwujudan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) dari apa-apa yang telah terdapat pada Wâjib al-Wujûd, tetapi apabila dibandingkan dengan perwujudan mumkin asyrâf dimana mengharuskan keberadaan dimensi yang lebih sempurna (asyrâf) adalah menjadi sesuatu yang bersifat tidak mustahil, dengan demikian adalah keliru kritikan dan sanggahan atas asumsi ini ( mustahil terwujudnya mumkin asyrâf dari mumkin akhas dan dari eksistensi Tuhan) dimana berujung pada keberadaan eksistensi yang lebih sempurna (asyrâf) pada eksistensi Tuhan.[30]

Dawany kemudian melontarkan kritikannya, ia menyatakan, "Pembatalan asumsi terakhir[31] akan sempurna apabila kemungkinan akibat mengharuskan kemungkinan sebab, sementara persoalan ini tidaklah realistis dan logis. Karena ketiadaan emanasi pertama adalah sesuatu yang mungkin terjadi atau ketak-beradaan wujud Tuhan adalah mustahil terjadi. Maujud yang telah tercipta tidak lebih sempurna (asyrâf) dari maujud yang tercipta setelahnya, apabila proposisi ini kita balik, maka menjadi: sebelum perwujudan mumkin asyrâf telah tercipta suatu maujud (yang akhas). Penjelasan proposisi: kalau sesuatu yang pertama dicipta adalah mumkin asyrâf, maka pasti terwujud dari Tuhan dengan tanpa perantara, dengan asumsi sebelumnya bahwa mumkin akhas tercipta dari Tuhan dengan tanpa perantara, dengan demikian Tuhan mewujudkan dan menciptakan sesuatu yang beragam, yakni Tuhan mewujudkan mumkin asyrâf dan mumkin akhas secara bersamaan, atau dengan perantaraan tercipta kejamakan maujud dari eksistensi Tuhan. Konsekuensi dari kenyataan seperti ini adalah bahwa perantara itu tak lain adalah mumkin akhas itu sendiri, dan juga mengakibatkan ketaksempurnaan sebab ('illah) dari akibat (ma'lul), kedua kemestian ini adalah mustahil, maka dari itu, asumsi kita yang berpijak pada keberadaan mumkin asyrâf sebelum mumkin akhas adalah juga mustahil.[32]

Dawany akhirnya menyadari sendiri kekeliruan kritikannya, ia menyatakan bahwa apabila yang dimaksud dengan kemustahilan mumkin asyrâf adalah sesuatu yang tergolong kepada mustahil-ada dengan selainnya (imtinâ' bil ghair), maka argumentasi tersebut adalah benar, dan kalau yang dimaksud adalah mustahil-eksistensi dengan sendirinya (imtinâ' bi adz-dzat), maka argumentasi tersebut adalah salah. Mir Damad dan Mulla Sadra menyatakan bahwa kritikan Dawany tersebut adalah keliru dan jalan keluar yang diajukannya masih kurang sempurna. Mir Damad menjelaskan bahwa mustahil mumkin asyrâf berada pada satu tingkatan kesempurnaan, yang karenanya, menuntut suatu kesempurnaan dan kemuliaan yang mesti-ada pada wujud sebab (Tuhan), tetapi dalam hal ini, kesempurnaan dan keagungan tersebut tidak aktual dan tidak terdapat pada wujud Tuhan. Oleh karena itu, setiap tingkatan kesempurnaan yang dituntut oleh mumkin asyrâf niscaya terdapat pada dirinya dan pada wujud Tuhan secara aktual dan tak terbatas. Jadi sangat keliru pandangan Dawany yang berbunyi: mumkin asyrâf mustahil terwujud secara esensial (mumkin asyrâf mustahil-wujud dengan sendirinya), karena mengharuskan suatu tingkatan kesempurnaan pada wujud Tuhan dimana kesempurnaan tersebut secara aktual tidak terdapat pada eksistensi Tuhan sebagai Penyebab dari mumkin akhas. Maka dari itu, adalah mustahil ketiadaan mumkin asyrâf dengan ketiadaan wujud sebabnya atau niscaya-ada mumkin asyrâf karena niscaya-ada sebabnya, karena semua kesempurnaan yang dituntut dan hadir pada mumkin asyrâf secara aktual dan tak terbatas mesti terdapat pada wujud Tuhan.[33]

Penjelasan di atas merupakan syarat argumen kaidah imkan asyrâf, mumkin asyrâf mustahil menuntut suatu kesempurnaan yang tidak terdapat pada eksistensi sebabnya, tetapi sebab yang tidak mempunyai kesempurnaan yang tak terbatas bukanlah sebab (baca: sebab hakiki). Inti dalil ini adalah mustahil secara esensial pada wujud sebab tidak mengaktual suatu kesempurnaan tertinggi dan tidak terbatas, wujud sebab meniscayakan dan mengharuskan kesempurnaan dan kemuliaan tertinggi, jadi bukan bermakna bahwa karena tuntutan mumkin asyrâf sehingga mengharuskan terwujudnya kesempurnaan tak terbatas pada eksistensi sebab, tuntutan mumkin asyrâf itu sendiri adalah mustahil secara esensial.

Adalah benar apa yang dilontarkan oleh Dawany, ia menyatakan bahwa secara prinsipil suatu 'kemungkinan' (mungkin-ada) tidak meniscayakan 'kemustahilan' (mustahil-ada), namun yang mengharuskan 'kemustahilan' adalah ketak-beradaan emanasi pertama meniscayakan ketiadaan Sebab Pertama (Wâjib al-Wujûd). Tapi, ketiadaan emanasi pertama itu sendiri adalah mustahil secara esensial (mustahil-tiada dengan selainnya), karena emanasi pertama bersandar kepada wujud yang mustahil-tiada dengan sendirinya, emanasi pertama bergantung kepada Sebab Pertama yang niscaya-eksistensi dengan sendirinya (swa-eksistensi).[34]

Dengan berpijak pada gagasan Mulla Sadra tentang teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujûd), akibat pertama, apabila dipandang dari dimensi kuiditasnya, tidak meniscayakan dan tidak mengharuskan keberadaannya, karena sama sekali tidak terdapat hubungan antara Sebab Pertama dan kuiditas (mâhiyah) akibat pertama, baik dari sisi keberadaan maupun dari dimensi ketiadaan[35]. Oleh karena itu, sifat dan watak kuiditas akibat pertama tidak memestikan keberadaan dan ketiadaan Sebab Pertama, karena kalau ia meniscayakan eksistensi dan ketiadaan Sebab Pertama, maka pasti mempunyai hubungan dengan Sebab Pertama, pasti ia yang dicipta (maj'ûl) oleh Sebab Pertama.[36]

Apabila dipandang dari eksistensi akibat pertama, maka yang kita dapatkan tidak lain kecuali dimensi keniscayaan eksistensinya yang ia peroleh dari Wâjib al-Wujûd (Sebab Pertama), keniscayaan ini biasa disebut dengan niscaya-ada dengan selainnya (wâjib bil ghair). Adalah mustahil kita dapatkan keniscayaan yang lain bagi akibat pertama selain kemestian eksistensinya, mustahil juga kita mengasumsikan ketiadaannya, karena akan mengakibatkan inner kontradiksi. Eksistensi makhluk dapat bermakna: niscaya-ada atau mustahil-tiada, sementara berkaitan dengan Wujud Tuhan hanya berarti: niscaya-ada dengan sendirinya (wâjib bi adz-dzat). Karena kita tidak dapat menyangkal keberadaan makhluk, maka eksistensinya berarti: mesti-ada dengan selainnya (dengan perantaraan wujud Tuhan).

Mulla Sadra dalam menjawab kritikan tersebut menawarkan metode lain yang berbeda dengan cara yang dilakukan oleh Mir Damad, ia menyatakan bahwa niscaya-ada dengan sendiri (wâjib bi adz-dzat) lebih tinggi dan lebih sempurna dari sesuatu yang dapat dibayangkan, bahkan mustahil bisa digambarkan oleh akal-pikiran. Kita hanya dapat katakan bahwa segala kesempurnaan pasti terdapat pada wujud-Nya secara tak terbatas. Karena Tuhan adalah niscaya-ada dengan sendirinya (Wâjib al-Wujûd bi adz-dzat), maka Dia pun niscaya-sempurna dari segala dimensi dan sisi. Setiap kesempurnaan yang dimiliki oleh makhluk mesti terdapat pada wujud Tuhan secara lebih sempurna dan tak terbatas, karena wujud makhluk bergantung secara mutlak kepada-Nya dimana wujud-Nya adalah yang paling sempurna, paling tinggi dan paling mulia. Wujud Tuhan mempunyai intensitas yang sangat tinggi, begitu pula kesempurnaan-Nya, karenanya, mustahil kita mengasumsikan ketidak-beradaan pancaran wujud-Nya, manifestasi wujud-Nya, emanasi kesempurnaan-Nya dan tajalli kesempurnaan-Nya.


Aplikasi Kaidah Imkân Asyrâf

Aplikasi dan penerapan fundamental dari kaidah ini adalah penetapan eksistensi-eksistensi di alam akal, pembuktian eksistensi-eksistensi jiwa non-materi dan penegasan tingkatan-tingkatan segala keberadaan yang terwujud dan teremanasi dari Wujud Tuhan mulai dari eksistensi dengan derajat dan intensitasnya yang tertinggi dan tidak terbatas itu hingga eksistensi yang paling rendah tingkatan dan intensitasnya seperti materi pertama.

Berkaitan dengan penerapan kaidah ini, Mir Damad mengulas, "Eksistensi jiwa - yang telah dibuktikan keberadaannya itu[37] - secara esensial adalah substansi non-materi namun perbuatannya berhubungan dengan substansi badan materi, sementara eksistensi akal secara esensial adalah substansi non-materi dan begitu pula perbuatan tidak berkaitan dengan materi, oleh karena itu, wujud akal dari dimensi intensitas kenon-materiannya lebih sempurna (asyrâf) dari wujud jiwa dan juga lebih dekat tingkatannya kepada Sebab Pertama. Kaidah imkân asyrâf mengharuskan bahwa akal yang karena sifat kenon-materiannya lebih dominan dan lebih sempurna (asyrâf) wujudnya, maka ia mesti terwujud lebih dahulu dan dengan perantaraannya dicipta jiwa-jiwa. Dengan demikian kaidah ini digunakan untuk menetapkan wujud-wujud alam non-materi seperti akal dan jiwa, kemudian menegaskan tingkatan dan derajat eksistensi-eksistensi yang terpancar dari Sebab Pertama.[38]

Syaikh Isyraq berpandangan bahwa eksistensi-eksistensi di alam malakut adalah bersifat konstan dan tidak mengalami proses perubahan, sebagai substansi non-materi yang bersifat aktual murni (tidak mempunyai potensi untuk lebih menyempurna), dalam perwujudannya hanya membutuhkan kemungkinan esensial (imkân azd-dzat) serta "jauh" dari alam materi (alam inderawi) yang memiliki seperti gerak, perubahan dan pertentangan. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa eksistensi-eksistensi di alam malakut berada pada tingkatan tertinggi, lebih sempurna (asyrâf) dan lebih mulia dari eksistensi-eksistensi yang lain.[39]

Kaidah ini pula membuktikan bahwa derajat kualitas suatu eksistensi yang terwujud (sebagai emanasi pertama) dari Sebab Pertama adalah lebih sempurna, lebih mulia dan lebih tinggi (pasca tingkatan Sebab Pertama), oleh karena itu, eksistensi dengan kualitas seperti ini mestilah dari alam akal dan bukan dari alam mitsal atau alam-alam yang berada di bawah tingkatan alam mitsal. Sebagian filosof menyebut akibat pertama atau emanasi pertama sebagai akal pertama, eksistensi ini mempunyai keidentikan dan kesesuaian esensial dengan kesempurnaan Sebab Pertama, seperti simpel (basith), eksistensi murni dan mempunyai keluasan wujud yang sempurna. Perbedaan akal pertama dengan Sebab Pertama hanyalah bahwa ia bergantung secara mutlak kepada Sebab Pertama. Karena faktor kebergantungan akal pertama ini, maka muncullah dalam wujudnya beragam karakter dan kecenderungan yang merupakan sumber lahirnya kejamakan di alam penciptaan.

Berkaitan dengan masalah di atas, dengan menggunakan kaidah imkân asyrâf, Mulla Sadra berkata, "Tanpa sedikit keraguan, akal yang ditetapkan itu dikategorikan sebagai genus (al-jins)[40] yang meliputi spesis-spesis akal, dan setiap dari spesis-spesis akal ini bersifat individual, satu individu, yakni satu spesis akal hanya mencakup dan memiliki satu individu saja. Akal pertama lebih sempurna dari akal-akal lainnya, dan akal yang berada pada tingkatan terakhir lebih sempurna dari individu-individu di alam mitsal, begitu pula individu-individu di alam itu lebih sempurna bila dibandingkan dengan individu-individu di alam materi. Karena spesis-spesis di alam natural meliputi individu-individu yang beragam, maka dari itu sangat mungkin terdapat wujud yang lebih sempurna (asyrâf) dari maujud-maujud yang terdapat di semua alam. Dari sinilah berpijak dalil tentang kemungkinan keberadaan akal, esensi akal adalah substansi (jauhar) non-materi (mujarrad) dan substansi non-materi sebagai suatu realitas yang bersifat mungkin-ada, karena bila tidak demikian, maka tak satupun spesis dari substansi non-materi (non-materi sempurna, seperti akal atau non-materi tak sempurna, seperti jiwa) akan terwujud. Tapi karena eksistensi jiwa non-materi (sebagai substansi non-materi yang tak sempurna) telah terbukti secara logis dan filosofis, dan ketika salah satu dari individu alam telah terwujud, maka sangatlah mungkin terwujudnya individu-individu dari alam-alam lain yang lebih tinggi, lebih mulia dan lebih sempurna (asyrâf) dari individu tersebut. [41]

Berdasarkan analisa Mulla Sadra (qs) di atas, diketahui bahwa eksistensi akal bersifat mungkin-ada, tapi akan bersifat niscaya-ada bila dinisbahkan dengan keberadaan wujud-wujud yang kita saksikan di alam materi ini, bahkan iapun niscaya terwujud lebih dahulu dan lebih sempurna dari wujud-wujud tersebut. Dengan demikian, eksistensi yang pertama terpancar dari Wujud Tuhan adalah substansi non-materi akal yang bersifat lebih sempurna.

Ibnu Sina juga berkeyakinan bahwa dengan kaidah imkân asyrâf dapat ditetapkan urutan wujud-wujud akal, tingkatan eksistensi-eksistensi jiwa dan derajat benda-benda materi (benda-benda angkasa). Ia berkesimpulan bahwa wujud yang pertama terpancar dari Wâjib al-Wujûd adalah maujud yang lebih tinggi dan lebih sempurna, setelah itu perwujudan eksistensi-eksistensi lain secara bertingkat hingga terakhir penciptaan wujud-wujud alam natural[42]. Dalam hal ini, kita tidak memandang kuantitas akal yang diyakininya berjumlah sepuluh dimana akal yang kesepuluh ini diletakkan sebagai akal aktif (fa'âl) dan pengatur alam materi, yang terpenting adalah di antara akal-akal tersebut terdapat tingkatan kesempurnaan sedemikian sehingga akal yang terdekat dengan Sebab Pertama adalah akal yang paling sempurna dan paling tinggi.

Penerapan dan fungsi lain dari kaidah imkan asyrâf adalah pembuktian akal-akal horizontal ('uqûl 'aradhiyyah). Akal-akal ini biasa juga dikatakan sebagai pengatur spesis (rabb an-naû', master species) atau alam ide Plato (mutsul aflâthûny, Platonic idea). Gagasan tentang eksistensi akal-akal ini hanya memiliki tempat dalam filsafat Iluminasi dan Hikmah Muta'aliyah. Menurut mereka ini, akal-akal yang terpancar secara bertingkat-tingkat (sesuai dengan derajat kesempurnaan) dari Sebab Pertama harus terus terwujud sedemikian rupa hingga pada batasan dan kuantitas tertentu yang menyebabkan lahirnya secara aktual kejamakan dan keragaman eksistensi di alam-alam setelah alam akal.

Kejamakan itu terbagi atas dua bagian: kejamakan vertikal dan kejamakan horizontal. Kejamakan vertikal dalam hal ini hanya berhubungan dengan alam akal, yakni diawal perwujudan hanya tercipta satu akal dan dari satu akal ini dicipta akal yang kedua, dan begitu seterusnya. Setiap penambahan jumlah akal akan berbanding lurus dengan penambahan sifat-sifat, dimensi dan karakter. Semakin besar penambahan sifat-sifat (baca: sifat-sifat kejamakan) tersebut pada akal tertentu berarti penciptaan akal secara vertikal akan berakhir, dan akal terakhir yang dicipta mestilah mempunyai sifat-sifat yang cukup sehingga layak untuk menghadirkan spesis-spesis akal yang beragam. Spesis-spesis akal ini bersifat individual, yakni hanya mempunyai satu individu. Dalam hal ini, para filosof Peripatetik berpandangan tentang sepuluh akal.

Sedangkan kejamakan horizontal adalah akal-akal vertikal tersebut berakhir pada akal-akal horizontal, akan tetapi antara akal-akal horinzontal ini tidak lagi terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan akal-akal ini berhadapan dengan spesis-spesis alam materi, yakni setiap satu spesis di alam materi memiliki satu akal (mitsal) yang mengaturnya, karena disebabkan akal-akal inilah sehingga terwujud berbagai macam spesis di alam materi beserta tatanan dan sistem pengaturan spesis-spesis itu.

Mulla Sadra menggunakan kaidah imkân asyrâf untuk menetapkan keberadaan mutsul aflathûny, ia berkata, "Ketika terwujud suatu mumkin akhas (lebih rendah), maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf (lebih sempurna) sebelumnya. Tak ada keraguan bahwa manusia yang mempunyai semua kesempurnaan aktual mesti lebih sempurna (asyrâf) dari manusia yang berada di alam materi dimana sebagian kesempurnaannya masih bersifat potensial, maka dari itu, eksistensi manusia di alam materi sebagai dalil atas keberadaan manusia di alam akal sebelum kehadirannya di alam materi dan begitu pula keberadaan individu-individu setiap spesis di alam materi merupakan dalil atas eksistensi rabb an-nau' individu-individu materi ini sebelum perwujudan semua individu itu di alam materi. Setiap satu spesis dari rabb an-naû' ini merupakan substansi non-materi yang memiliki seluruh kesempurnaan aktual (kesempurnaan pada tataran spesis) dimana berfungsi mengatur dan mengantarkan individu-individunya meraih kesempurnaan.[43]

Dibawah ini hanya disebutkan beberapa manfaat dan tujuan kaidah imkân asyrâf yang diungkapkan oleh Mulla Sadra dalam kitab Asfar, antara lain:

1. Kaidah ini dapat menetapkan tentang bolehnya berkumpul atau bergabung dua kecenderungan menuju arah yang satu;[44]

2. Kaidah ini menjelaskan tentang keberadaan rasa, bau-bauan, bentuk-bentuk, dan warna-warna pada benda-benda langit;[45]

3. Kaidah ini menegaskan tentang kemestian hubungan spiritual dan maknawi antara Sebab Pertama dan eksistensi yang paling dekat kepada-Nya.[46]


Kaidah Imkân Akhas

Sadrul Muta'allihin berpandangan bahwa di antara maujud-maujud alam materi terdapat perbedaan kesempurnaan, maujud-maujud ini memiliki kesiapan menerima kesempurnaan eksistensial secara bertahap. Dengan demikian, individu-individu alam materi yang sedang menuju kesempurnaan mesti berproses dari tingkatan yang paling rendah hingga ke tingkatan yang paling tinggi.

Mulla Sadra membahas secara khusus persoalan-persoalan ini dalam kitab Asfar pada pasal bertema "Kaidah Imkan Akhas". Menurutnya, hakikat eksistensi adalah tunggal dan alam secara universal diumpamakan sebagai "hewan raksasa" yang tunggal dimana seluruh alam merupakan "bagian-bagiannya" (anggota-anggota badan) yang saling berhubungan erat satu sama lain, tapi hubungan "bagian-bagian" ini bukan berarti hubungan bendawi atau hubungan material yang cenderung bersifat permukaan, bahkan berarti bahwa setiap tingkatan kesempurnaan "berdekatan" dan berhubungan dengan tingkatan kesempurnaan berikutnya, misalnya antara satu tingkatan kesempurnaan (B) dengan tingkatan kesempurnaan di atasnya (A) dan juga dengan tingkatan kesempurnaan di bawahnya (C) tidak terdapat jarak atau ruang yang kosong, namun pada saat yang sama tingkatan-tingkatan kesempurnaan ini dapat dibedakan satu sama lain.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa segala eksistensi dalam proses perjalanan menurun (qaus an-nuzûl) berawal dari eksistensi paling sempurna seperti akal pertama dan berakhir di alam materi, begitu pula seluruh eksistensi dalam proses perjalanan menyempurna (qaus ash-shu'ûd) berawal dari materi pertama yang kemudian berproses menjadi benda-benda berbentuk (materi kedua), setelah itu berubah menjadi tumbuh-tumbuhan, lalu berproses menjadi hewan kemudian menyempurna menjadi manusia, dan proses menyempurna ini terus berlanjut pada level wujud manusia, namun penyempurnaan ini bukan lagi pada dimensi material, tapi penyempurnaan pada dimensi spiritual, yakni berjalan di jalan agama Tuhan (sair ila Allah) menuju tingkatan spiritual tertinggi. Gerak menyempurna ini, melewati semua level eksistensi yang dimulai dari terendah (akhas) hingga tertinggi (asyrâf).

Dikatakan bahwa kaidah imkân asyrâf tersebut merupakan warisan Aristoteles, sementara kaidah imkân akhas ini merupakan gagasan-gagasan murni dan pencapaian baru Sadrul Muta'allihin.[47]


Catatan Kaki:

[1] . Majmû'e-ye Mushannafât-e Syeikh Isyraq, jilid 1, hal. 435.

[2] . Sadruddin Muhammad Syirazi, Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 7, hal. 244-245.

[3] . Mir Damad, Qabasât, hal. 372.

[4] . Wujud mumkin (mumkin al-wujûd) atau wujud eksternal, yang nyata, hakiki dan aktual.

[5] . Yang dimaksud dengan "mustahil niscaya-ada atau mustahil niscaya-tiada" adalah menegasikan atau menafikan kemestian, keharusan dan keniscayaan itu sendiri jika dihubungkan dengan keberadaan atau ketiadaan, dengan ungkapan lain, "sesuatu" itu tidak mesti-ada dan juga tidak harus-tiada. Posisinya seperti angka nol bila dinisbahkan kepada bilangan positif dan bilangan negatif. Dengan demikian ia bisa-ada dengan keberadaan sebabnya dan ia juga dapat-tiada dengan ketiadaan sebabnya.

[6] . Majmû'e-ye Mushannafât-e Syaikh Isyraq, jilid kedua, hal. 154.

[7] . Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba'ah, jilid ketujuh, hal. 244.

[8] . Mir Damad, Qabasât, hal. 382.

[9] . Materi pertama atau prima yang merupakan persiapan dan potensi murni, atau potensi belaka dan kososng dari segala bentuk aktualitas, ia bahkan menjadi "tempat" bagi segala bentuk aktualitas. Materi pertama sebagai materi yang tanpa bentuk. Eksistensi ini akan mencapai kesempurnaan eksistensial pada level tertentu, jika ia menerima aktualitas dari level tersebut.

[10] . Sadrul Muta'allihin, Mulla Sadra, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 257.

[11] . Majmu'e-ye Mushannafât-e Syaikh Isyraq, jilid pertama, hal. 434.

[12] . Basith adalah sesuatu yang tidak mempunyai bagian-bagian, seperti kesatuan atau titik. Basith dalam pengertian tersebut lawan dari campuran (murakkab) yakni sesuatu yang memiliki bagian-bagian. Basith bisa juga bermakna sesuatu yang tidak mempunyai bagian-bagian yang aktual seperti benda-benda. Dalam hal ini yang kita maksud dari basith adalah sesuatu yang tidak tersusun dari bagian-bagian dan juga tidak dapat dibagi-bagi, seperti akal dan jiwa.

[13] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 247-248.

[14] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 249.

[15] . Al-wâhid la yashduru 'anhu illa al-wâhid.

[16] . Yakni suatu sebab basith (sederhana dan tunggal) yang di dalam zatnya hanya ada kesatuan (al-wahdah) dan simplisitas yang sempurna adalah simplisitas yang tidak terdapat satupun campuran, komposisi dan rangkapan padanya, walaupun komposisi tersebut antara wujud dan kuiditas. Dan yang dimaksud dengan akibat basith (sederhana dan tunggal) adalah suatu akibat yang tunggal dan sederhana dimana karena ketunggalan dan kesederhanaan zatnya ia menjadi akibat dari sebab yang basith tersebut. Jadi yang dimaksud dengan tunggal (al-wahid) di sini adalah lawan dari kejamakan (al-katsrah) dimana mempunyai bagian-bagian atau individu-individu yang berbeda secara esensial.

[17] . Allamah Muhammad Husein Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, bab keempat, pasal kedelapan.

[18] . Ali Shirvani, Tarjemeh wa Syarh-e Bidayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 247.

[19] . Dikutip dari kitab al-Mizan karangan Allamah Muhammad Husein Thabathabai Qs, jilid ketigabelas, hal. 194.

[20] . Ketunggan dan kesatuan dalam filsafat dapat bermakna kesatuan individual, seperti individu-individu, seperti Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Dan bisa bermakna kesatuan spesis, seperti manusia, atau kesatuan genus, seperti hewan atau kesatuan bilangan, seperti angka satu yang berhadapan dengan angka dua, dan sebagainya.

[21] . Kesatuan angka atau bilangan, seperti bilangan-bilangan matematika, satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya.

[22] . Salah satu dari lima bagian substansi (al-jauhar).

[23] . Majmu'e-ye Mushannafat-e Syaikh Isyraq, jilid pertama, hal.434.

[24]. Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzumah, hal. 728. Dengan catatan kaki oleh Ayatullah Hasan Zodeh Amuly.

[25] . Mir Damad, Qabasât, hal. 375-376.

[26] . Karena wujud dan eksistensi itu sendiri adalah identik dengan kesempurnaan, kebaikan dan kemuliaan.

[27] . Husain Haqqani Zanjany, Syarh Nihayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 337.

[28] . Husain Haqqâni Zanjany, Syarh an-Nihayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 338.

[29] . Bukan mungkin-ada dengan selainnya (mumkin bil ghair), karena kita tidak memiliki mungkin-ada dengan selainnya (imkan bil ghair), dalam penggunaan kata 'mumkin' dan 'imkan' terdapat perbedaan yang mendasar, kata 'mumkin' menunjuk kepada maujud yang nyata dan hakiki, sedangkan kata 'imkan' lazimnya digunakan hanya berhubungan dengan watak dan sifat dari kuiditas (mahiyah) untuk mewujud atau meniada.

[30] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 249-250.

[31] . Mustahil terwujud mumkin asyraf dari mumkin akhas dan dari wujud Tuhan.

[32] . Muhaqqiq Dawany, Syarh Hayakil an-Nur, hal. 45.

[33] . Mir Damad. Qabasât, hal, 377.

[34] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal, 253.

[35] . Karena berdasarkan teori kehakikian wujud, wujudlah yang membentuk realitas, bahkan realitas itu sendiri adalah wujud dan eksistensi, kuiditas dalam hal ini, hanyalah bersifat penampakan dan majazi, kuiditas hanyalah cerita, gambaran dan hikayat tentang realitas. Oleh karena itu, kuiditas tidak mempunyai hukum sehingga dapat dihukumi. Ini bukan berarti bahwa kuidtas itu sendiri tidak memiliki "realitas", karena apabila kuiditas diibaratkan sebagai hikayat dan gambaran tentang wujud dan realitas, maka ini bermakna bahwa ia juga mempunyai "realitas", ia juga "nyata", karena "sesuatu" yang menceritakan dan menggambarkan tentang suatu kenyataan (wujud), mesti juga bersifat "nyata", mesti juga "berwujud", walaupun, intensitas 'kenyataannya' dan "keadaannya" sangat rendah. Tapi, bagaimanapun kuiditas tidak dapat dibandingkan dengan wujud, wujudlah yang hakiki dan mendasar, sementara kuiditas bersifat majazi dan I'tibar. Kuiditas juga diartikan sebaga bayangan wujud (dalam perspektif ilmu irfan dan tasawuf), bayangan wujud bukanlah wujud itu sendiri, bayangan adalah bayangan dan wujud adalah wujud. Kuiditas merupakan batasan wujud (dalam perspektif Hikmah Muta'aliyah). Jadi, jelaslah perbedaan antara keduanya bagi orang-orang yang tercerahkan.

[36] . Yang mempunyai hubungan dengan Sebab Pertama adalah wujud itu sendiri, begitu pula wujudlah yang dicipta Sebab Pertama. Ini berdasarkan konsep kehakikian Wujud.

[37] . Argumen pembuktian jiwa dapat dilihat di dalam kitab-kitab filsafat, dalil-dalil keberadaan jiwa dibahas dan dikaji secara terpisah dalam bab tertentu.

[38] . Mir Damad, Qabasat, hal. 380.

[39] . Majmû'e-ye Mushannafât-e Syaikh Isyraq, jilid kedua, hal. 154.

[40] . Genus (al-jens) merupakan salah satu dari lima kategori universal. Genus dapat dipredikasikan kepada individu-individu yang berbeda secara esensial dan merupakan jawaban dari pertanyaan tentang hakikat sesuatu (ma huwa). Genus, misalnya manusia, sapi, kuda, burung, kelinci, dan lain-lain. Genus lebih luas dan lebih umum dari spesis (an-nu'), jadi satu genus dapat meliputi beberapa spesis.

[41] . Sadrul Muta'allihin, as-Asfar, jilid ketujuh, 263.

[42] . Ibnu Sina, al-Ilahiyyat asy-Syifa, hal. 406 dan 410.

[43] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid kedua, hal. 58.

[44] . Ibid, jilid keempat, hal 81.

[45] . Ibid, jilid kedelapan, hal. 177.

[46] . Ibid, jilid kesembilan, hal. 245.

[47] . Sadrul Muta'allihi, al-Asfar, jilid kelima, hal. 342.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...