Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Selasa, 25 Juni 2013

Mengenal Kembali si Busuk Muhammad bin Abdul Wahhab

Muhammad bin Abdul Wahhab, setan berwajah manusia ini konon berasal dari keluarga yang mulia. Ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab dan saudaranya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, adalah dua orang yang dianggap saleh oleh pemuka-pemuka agama setempat. Berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahhab yang diakui sesat dan menyesatkan oleh mayoritas ulama sedunia. Baca saja kitab “Fitnah al-Wahhabiyah” karya Syeikh Ahmad bin Dahlan al-Makki al-Syafi’i, sang mufti Makkah yang wafat pada tahun 1304 H. Beliau suka menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab dengan sebutan “al-Khabits” yang artinya “Si Busuk”.

Syeikh Ahmad bin Dahlan al-Makki al-Syafi’i menceritakan bahwasanya Muhammad bin Abdul Wahhab sejak dini telah diprediksikan sesat oleh ayah, saudara dan guru-gurunya. Jauh sebelum Muhammad bin Abdul Wahhab meraih popularitasnya di Saudi dan dunia, para ulama sekitar telah memberikan warning kepada umat agar berhati-hati darinya, dan ternyata betul apa yang mereka prediksikan. Muhammad bin Abdul Wahhab menentang guru-gurunya, lalu mengkafirkan seluruh ulama yang menghalangi penyesatannya.


Pada tahun 1143 H. mulailah Muhammad bin Abdul Wahhab menyebarkan pemikiran barunya, namun ayah dan guru-gurunya segera menghadang dan menegurnya. Sayangnya, pendirian Muhammab bin Abdul Wahhab terlanjur membatu sampai ayahnya meninggal dunia pada tahun 1153 H. Selanjutnya Muhammad bin Abdul Wahhab memperbaharui metode dakwahnya sehingga mulai diikuti banyak orang awam. Namun mayoritas penduduk kota risih dan hendak membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri ke kota Uyainah, disana ia menghadap amir Uyainah lalu menikahi saudara perempuan sang amir dan kemudian tinggal di Uyainah sambil berdakwah (menyeru) kepada dirinya dan bid’ah yang dibawanya. Tak lama kemudian, penduduk Uyainah pun muak dengannya lalu mengusirnya dari perut kota.

Si Muhammad belum menyerah juga, ia hijrah lagi ke Dir’iyah (sebelah timur kota Najd) dimana kawasan Dir’iyah dan sekitarnya dulu merupakan pusat dakwah Musailamah al-Kadzab yang melahirkan golongan-golongan murtad. Di tengah-tengah kawasan itu jualah Muhammad bin Abdul Wahhab menyebarkan virus-virusnya dan diikuti pula oleh amir setempat serta mayoritas rakyatnya. Saat itu Muhammad bin Abdul Wahhab bertindak seolah ia satu-satunya mujtahid mutlak. Ia tidak bersandar sedikitpun pada ajaran-ajaran para pendahulu, baik imam-imam mujtahid, ulama-ulama salaf maupun ilmuan-ilmuan kontemporer. Disamping itu juga ia tidak memiliki hubungan apapun dengan para mujtahid yang ada.

Demikian apa yang pernah terungkap oleh saudaranya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, seseorang yang paling mengenali identitas Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau pernah mengungkapkan bahwa “Umat zaman ini sedang diuji coba dengan seseorang yang mengaku sejalan dengan Qur’an dan Sunnah dan beristinbath darinya tanpa memperdulikan siapapun yang berbeda dengannya. Yang tidak sefaham dengannya dianggap kafir, padahal ia tidak memiliki satupun kriteria mujtahid, demi Allah sepersepuluh satupun tidak punya. Namun pemikiran sesatnya itu sudah merajalela, Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un“.

Muhammad bin Abdul Wahhab mempunyai ajaran sesat bahwa ziarah maqam dan tawassul merupakan perbuatan syirik. Begitu juga dengan upacara maulid maupun dzikir-dzikir ala tarekat sufi. Konsentrasinya adalah hal-hal prinsip dalam akidah umat Islam. Jeleknya, ia justru mengaku sebagai reformis yang menegakkan purifasi tauhid sehingga memperoleh jumlah pengikut yang cukup besar. Salah seorang pendukungnya adalah Muhammad bin Su’ud yang konon berasal dari kaum Musailamah al-Kadzab. Hal itu membuat para ulama setempat semakin serius melakukan berbagai penyanggahan, termasuk saudara kandungnya sendiri, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab melalui dua karya tulis berjudul “al-Shawa’iq al-Ilahiyah fi al-Raddi ala al-Wahhabiyah” dan “Fashl al-Khithab fi al-Raddi ala Muhammad bin Abdil Wahhab“.

Tak terkecuali Syeikh Muhammad al-Kurdi, guru terbesar Muhammad bin Abdul Wahhab yang secara tegas mengatakan: “Wahai Muhammad bin Abdul Wahhab, demi Allah aku menasehatimu, hentikanlah ulahmu terhadap umat Islam. Apabila kau menemukan seseorang meyakini suatu pengaruh dari selain Allah, maka luruskanlah keyakinannya secara baik-baik dan sebutkan dalil-dalilnya bahwa Allah lah yang mempengaruhi. Apabila ia masih dalam kesesatan, maka kekufurannya dari dan untuk dirinya. Janganlah kamu seenaknya mengkafirkan mayoritas umat yang hidup di dunia, karena itu akan mengantarmu ke neraka”.

Setelah merincikan sisi-sisi historis, Syeikh Ahmad bin Dahlan al-Makki selanjutnya menyimpulkan bahwa fitnah golongan wahabi yang digagas Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan suatu musibah dan malapetaka terbesar yang pernah menimpa umat Islam sepanjang sejarah. Bagi beliau, virus-virus wahabi sebetulnya telah diisyaratkan dalam banyak riwayat hadits sebagai peringatan untuk berhati-hati agar tidak mudah ditipu dan dipermainkan.

Ironinya, golongan wahabi belakangan ini sengaja merubah namanya menjadi golongan salaf atau golongan sunni. Dua nama ini sama sekali tidak pantas bagi mereka yang sudah jelas-jelas sesat di mata jumhur. Terlebih nama “salaf shalih” yang berarti “pendahulu yang saleh”. Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah orang saleh dan bukan pula pengikut para ulama terdahulu. Syeikh Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, ulama Syiria, menegaskan dalam kitabnya “al-Salafiyah” bahwa kata salaf hanya teruntukkan bagi mereka para pendahulu yang hidup di masa yang berbarokah, bukan untuk menjadi sebuah nama bagi golongan khawarij modern yang sesat.

Begitu juga dengan nama “sunni”, penamaan tak senonoh ini mengklaim bahwa mayoritas umat Islam di atas permukaan bumi tidak tergolong Ahlussunnah wal Jamaah, semisal kelompok asy’ari, maturidi maupun sufi, karena tidak sejalan dengan wahabi. Penamaan salafi dan sunni sebetulnya hanyalah upaya menutupi diri untuk memperbanyak massa. Itulah jeleknya wahabi.

Mungkin pembaca keberatan bila sosok populer seperti Muhammad bin Abdul Wahhab (yang buku-bukunya terjual laris manis di mana-mana) ditentang secara berlebihan. Rasa keberatan itu merupakan bukti terkuat bahwa pembaca sama sekali belum mengenal siapa Muhammad bin Abdul Wahhab. Pro-kontra damai antar ulama merupakan sebuah keniscayaan yang perlu kita hargai, akan tetapi Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengecualian terpenting, karena ia bukan ulama, ia hanyalah manusia goblok yang terlanjur di-ulama-kan oleh orang-orang goblok. Syeikh Muhammad Mutawali al-Sya’rowi adalah salah seorang ulama masyhur kontemporer yang secara tegas menjuluki “goblok” kepada orang-orang wahabi.

Sungguh banyak karya para ulama seputar kesesatan Muhammad bin Abdul Wahhab dan ajaran-ajarannya. Antara lain kitab “al-Wahhabiyyun wal Buyut al-Marfu’ah” karya Syeikh Muhammad Ali al-Kardistani, “al-Wahhabiyah wa al-Tauhid” karya Syeikh Ali al-Kaurani, “al-Wahhabiyah fi Shuratiha al-Haqiqiyah” karya Syeikh Sha’ib Abdul Hamid, “al-Durar al-Saniyah fi al-Raddi ala al-Wahhabiyah” karya Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan, “Kasyf al-Irtiyab fi Atba’ Muhammad bin Abdil Wahhab” karya Syeikh Muhsin al-Amin, “Hadzihi Hiya al-Wahhabiyah” karya Syeikh Muhammad Jawwad, dan masih banyak lagi kitab-kitab terpercaya lainnya.

Mufti Mesir, Syeikh Ali Jum’ah al-Syafi’i dalam sebuah fatwanya menegaskan, kelompok wahabi gemar menipu umat dan menyembunyikan kebenaran demi kepentingan politik. Kelompok wahabi sangat anti kepada hadits-hadits dha’if namun di waktu yang sama mereka mendha’ifkan bahkan memaudhu’kan semua hadits yang tak sehaluan dengan pemikiran-pemikiran mereka. Syeikh Ali Jum’ah amat menyayangkan kelompok wahabi yang mengharamkan dzikir berjamaah, dzikir berdiri, dzikir isim mufrad, memuji Rasul, shalat di masjid yang ada maqamnya, bersumpah demi Rasul, menggunakan tasbeh, dan masih banyak lagi korban pengharaman orang-orang bodoh seperti mereka. Mungkin yang halal bagi mereka hanyalah darah orang-orang yang tak sependapat dengan mereka..!!

Senada dengan Habib Ali al-Jufri, ulama negeri Yaman yang sangat mengenal kelompok wahabi. Beliau mengatakan, wahabi jelas-jelas membenci Rasulullah Saw. dan mengkafirkan kedua orangtua Rasul serta paman beliau, Saidina Abu Thalib, seolah-olah mereka telah duduk santai di surga lalu menengok siapa saja penghuni neraka. Menurut Habib Ali al-Jufri, misi wahabi tiada lain menjauhkan hati umat dari cinta Rasul Saw. sebab musuh-musuh Islam tak mampu melakukannya secara terang-terangan. Pembaca dapat membuktikan dengan mudah kebencian wahabi terhadap Rasulullah Saw. dan agama Islam. Selain mengkafirkan orangtua Rasul, mereka juga merendahkan martabat Ahlul Bait, menyalahkan sahabat, mengharamkan tabarruk, maulid, tawassul, pujian kepada Rasul, lalu memusnahkan jejak-jejak Rasul, membatasi dan menghalangi ziarah maqam Rasul, mendha’ifkan atau memaudhu’kan banyak hadits shahih, dan seterusnya.

Penulis bukan yang pertama kali berbicara tentang kedoknya Muhammad bin Abdul Wahhab. Jutaan tokoh terpercaya dari seluruh penjuru dunia, baik terdahulu maupun masa kini, sudah banyak mengupas problema ini sampai tuntas dan dari segala sisi yang terkait. Kita kemana saja selama ini?! dan kenapa masih saja buta?! Jangan sok fair deh!. Ribuan ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang jauh lebih pintar dari anda sudah tegas-tegas melawan dan menentang Muhammad bin Abdul Wahhab. Anda sendiri siapa?!

Dalam sebuah diskusi di Paramadina, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut kelompok wahabi sebagai kelompok yang memiliki rasa rendah diri yang sangat tinggi. Kelompok ini kemudian menutupi rasa rendah dirinya dalam bentuk mental mudah tersinggung, gampang mengkafirkan orang dan aksi-aksi kekerasan. Mereka menganggap diri dan kelompoknya lah yang memiliki otoritas kebenaran sejati. Kelompok-kelompok lain adalah kafir, penghuni neraka dan kalau perlu harus dimusuhi bahkan dibasmi.

Belakangan, ciri-ciri rasa rendah diri seperti dikemukakan Gus Dur itu mudah ditemui dalam praktik fatwa sesat, pengusiran, teror dan pembakaran rumah-rumah kelompok keagamaan di Indonesia yang mereka anggap sesat. Tentu saja mereka tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan. Meski terus sesumbar mewakili aspirasi kelompok mayoritas umat, kenyataannya mereka segelintir saja.

Ideologi yang dikembangkan kelompok yang gemar mengkafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat ini sekarang dianut Kerajaan Arab Saudi, bahkan kebanyakan pengamat mengatakan bahwa hampir semua gerakan Islam garis keras dewasa ini merupakan bagian dari atau setidaknya dipengaruhi oleh kelompok Wahabi. Ideologi inilah yang dianut secara resmi oleh Taliban di Afganistan dan jaringan al-Qaidah yang beberapa tahun ini aktif melakukan kegiatan teror di pelbagai belahan dunia.

Gus Dur menyebut kelompok Wahabi memiliki rasa rendah diri yang sangat besar karena ideologi ini berasal dari satu wilayah pinggiran di jazirah Arab, yaitu Najd. Kota Najd adalah satu wilayah yang dalam sejarah Islam tidak pernah memunculkan intelektual atau pemimpin Islam yang diakui. Wilayah ini malah terkenal sebagai wilayah yang kerap melahirkan para perampok suku Badui. Nabi sendiri mengakuinya dalam salah satu hadits. Orang-orang Najd juga adalah kelompok orang yang paling akhir masuk Islam. Bahkan Najd melahirkan tokoh oposan terhadap Nabi Muhammad yang amat terkenal: Musailamah al-Kadzab (Musailamah Sang Pembohong). Musailamah mendeklarasikan diri sebagai nabi pesaing untuk menandingi popularitas kenabian Saidina Muhammad Saw. saat itu.

Selain Wahabi, ideologi garis keras pada masa-masa awal Islam, Khawarij, juga didirikan orang-orang Najd. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa Wahabisme sebenarnya hanyalah bentuk baru dari ideologi Khawarij. Orang-orang Khawarij lah yang mempopulerkan konsep pengkafiran dan bahkan pembunuhan terhadap mereka yang tidak setuju dengan pendapatnya. Kelompok inilah yang kemudian membantai sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad, Saidina Ali bin Abi Thalib, dan melancarkan aksi yang sama terhadap Gubernur Damaskus saat itu, Saidina Amr Bin Ash.

Kaum Wahabi menjadi kekuatan yang destruktif ketika mereka melakukan aliansi mengejutkan dengan sekelompok bandit pimpinan Muhammad bin Su’ud dari wilayah Dir’iyah. Sejak saat itulah kaum Wahabi terus melancarkan intimidasi dan teror dalam bentuk pengkafiran dan pembantaian terhadap orang-orang yang mereka anggap kafir. Arab Saudi lalu mereka kontrol sampai saat ini sehingga menjadi negara yang paling tertutup dan paling tidak bebas di seluruh dunia.

Wahabi kemudian juga dikenal sebagai gerakan anti ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber keterbelakangan umat Islam. Mereka menolak apapun yang baru, seperti teknologi dan jaringan informasi, karena itu dianggap bid’ah. Dengan tegas mereka menolak demokrasi. Mereka mengurung perempuan di dalam rumah. Mereka mengharamkan nyanyian. Mereka membenci kesenian. Memanjangkan jenggot bagi laki-laki dewasa adalah kewajiban. Buku-buku tasawuf dan filsafat yang merupakan salah satu warisan kekayaan intelektual Islam dianggap barang haram. Praktek kehidupan sosial seperti ini tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Afganistan di bawah kekuasaan Taliban yang berideologi Wahabisme.

Dengan keuntungan minyak yang masih mengucur sampai hari ini, penguasa Saudi sukses mengekspor ideologi Wahabi ke seluruh pelosok dunia, tidak hanya ke negara-negara Islam, melainkan juga ke Eropa dan Amerika. Menurut Hamid Alghar, kelompok ini berhasil meraih pengikut sekitar 10% dari keseluruhan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Anak-anak muda yang menyediakan diri menjadi martir dalam kegiatan bom bunuh diri di Eropa dan Amerika Serikat dalam beberapa tahun ini, sebetulnya datang dari generasi yang benar-benar terdidik secara Barat. Tapi, ideologi yang diekspor penguasa telah menggerakkan mereka untuk melakukan aksi terorisme.

Keluarga Su’ud yang kini menguasai otoritas politik dan agama di Arab Saudi sesungguhnya bukanlah keluarga yang dikenal saleh, kalau tidak dapat disebut kurang bermoral. Stephen Sulaiman Schwartz menyebut keluarga keluarga Su’ud sangat gemar menghambur-hamburkan kekayaan Saudi untuk keperluan judi dan main perempuan. Dengan kelakuan semacam itu, jumlah pangeran Saudi saat ini ditaksir mencapai 4000 orang. Artinya, seorang raja yang memiliki ratusan isteri dan selir bukanlah dongeng belaka di Arab Saudi.

Schwartz menyebut dukungan terhadap Wahabisme yang dilakukan penguasa Saudi adalah bentuk pengelabuan atas praktek tak bermoral yang mereka lakukan. Ideologi yang disebarkan oleh keluarga mantan bandit inilah yang kemudian dianut, atau setidaknya mempengaruhi kelompok Islam Indonesia yang belakangan gemar mengkafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat terhadap mereka yang berbeda pendapat. Pengetahuannya terhadap Islam dan sejarahnya tidak mendalam, bahkan mereka bukan orang-orang yang cukup religius. “Saya percaya bahwa kekerasan bukanlah pantulan dari religiositas seseorang atau sekelompok orang. Mungkin, rasa rendah diri itulah yang justru mendatangkan brutalisme” ungkap Saidiman dalam sebuah artikel liberalnya.

Sedangkan Abdul Moqsith Ghazali, ia mengemukakan, gerakan untuk mewahabikan umat Islam Indonesia tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Para aktifis wahabisme cukup agresif dalam mengkampanyekan pikiran-pikiran dan ideologi para imamnya. Mereka bukan hanya memekikkan khutbah wahabisme dari dalam masjid-masjid mewah di kota-kota besar seperti Jakarta, melainkan juga blusukan ke pedalaman dan dusun-dusun di Indonesia. Ada tengara bahwa orang-orang yang berhimpun dalam ormas keagamaan Islam moderat pelan tapi pasti kini mulai terpengaruh dan terpesona dengan gagasan-gagasan wahabisme yang sebagian besar berjangkar pada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Memang, pada awalnya wahabisme berdiri untuk merampingkan Islam yang sarat beban kesejarahan. Ia ingin membersihkan Islam dari beban historisnya yang kelam, yaitu dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Seruan ini mestinya sangat positif bagi kerja perampingan dan purifikasi itu. Tapi, ternyata wahabisme tidaklah seindah yang dibayangkan. Di tangan para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang fanatik dan militan, implementasi ideologi wahabisme kemudian terjatuh pada tindakan kontra produktif. Di mana-mana mereka menyebarkan tuduhan bid’ah kepada umat Islam yang tidak seideologi dengan mereka. Bahkan, tidak jarang mereka mengkafirkan dan memusyrikkan umat Islam lain.

Kini mereka mulai merambah kawasan Indonesia, melakukan wahabisasi di pelbagai daerah. Mereka mencicil ajaran-ajarannya untuk disampaikan kepada umat Islam Indonesia. Ada beberapa ciri cukup menonjol yang penting diketahui dari gerakan wahabisasi itu. Pertama, mereka mempersoalkan dasar negara Indonesia dan UUD ‘45. Mereka tidak setuju, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini dipandu oleh sebuah pakem sekular, hasil reka cipta manusia yang relatif bernama Pancasila. Menurut mereka, Pancasila adalah ijtihad manusia dan bukan ijtihad Tuhan. Semboyan mereka cukup gamblang bahwa hanya dengan mengubah dasar negara, dari Pancasila ke Islam, Indonesia akan terbebas dari murka Allah. Mereka lupa bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai yang sangat Islami. Tak tampak di dalamnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam.

Kedua, mereka menolak demokrasi karena demokrasi dianggap sebagai sistem kafir. Mereka menolak dasar-dasar HAM yang sesungguhnya berpondasikan ajaran Islam yang kukuh. Mereka mengajukan keberatan terhadap konsep kebebasan beragama, kebebasan berpikir, dan sebagainya. Menurut mereka tidak ada hak asaski manusia (HAM), yang ada hanyalah hak asasi Allah (HAA).

Ketiga, mereka berusaha bagi tegaknnya partikular-partikular syariat dan biasanya agak abai terhadap syariat universal, seperti pemberantakan KKN dan sebagainya. Ini misalnya tampak dari sikap tidak kritis kelompok wahabi terhadap ketidakberesan yang telah lama berlangsung di lingkungan kerajaan Saudi sendiri, sistem pemerintahan yang disokong demikian kuat oleh kelompok Wahabi. Kelompok Wahabi cukup puas ketika shalat berjemaah diformalisasikan. Sementara, bersamaan dengan itu, kejahatan terhadap kemanusiaan terus berlangsung, tanpa interupsi dari mereka.

Keempat, mereka juga intensif menggelorakan semangat penyangkalan atas segala sesuatu yang berbau tradisi. Kreasi-kreasi kebudayaan lokal dipandang bid’ah, takhyul dan khurafat yang mesti diberantas. Dahulu dan sampai sekarang, orang-orang NU dan NW mendapat serangan bertubi-tubi dari para pengikut wahabisme itu.

Empat hal itu adalah refrain yang kini rajin diulang-ulang oleh kelompok Wahabi Indonesia. Pokok-pokok tersebut adalah sebagian dari juklak wahabisme yang telah lama disusun di Saudi, dan kemudian dipaketkan secara berangsur dan satu arah ke Indonesia. Kedepan jika semuanya sudah berhasil diwahabikan, maka sangat boleh jadi Indonesia akan menjadi repetisi Arab saudi dimana kreasi-kreasi lokal dibid’ahkan. Betapa keringnya cara ber-Islam yang demikian itu, ber-Islam tanpa inovasi dan improvisasi.

Akhirnya, tiada kata seindah doa. Semoga laknat Tuhan selalu menyertai Muhammad bin Abdul Wahhab dan para penyembahnya…!! Amien ya Rabbal Alamin.

TGKH. Abdul Aziz Sukarnawadi Lc

http://sejarah.kompasiana.com/2010/11/28/mengenal-kembali-si-busuk-muhammad-bin-abdul-wahhab-321369.html
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...