Kesyahidan
Husein dikenal luas di dunia Islam. Kematiannya yang mengenaskan,
tubuh bersimbah darah, tangan terpotong dan kepala terpisah dari badan,
senantiasa diingat oleh banyak orang Islam. Hari wafatnya yang jatuh
pada tanggal 10 Muharam pun selalu diperingati di banyak negeri, baik
yang mayoritas penduduknya Sunni maupun Syiah. Semua itu menunjukkan
bahwa tragedi Kerbela yang terjadi hampir tiga belas abad yang lalu itu
memiliki arti tersendiri bagi kaum Muslimin.
Asal Usul Hikayat Melayu
Dari Maqtal ke Hikayat
Relevansi dan Makna Epos
Dalam Islam, perang tidak dimaksudkan sekadar membela negara dan bangsa, tetapi terutama menentang ketidak adilan dan kezaliman yang sering bersimaharajela di dunia. Ini tercermin dalam epos seperti Hikayat Sayidina Husein dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Juga dalam Hikayat Amir Hamzah da Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Hikayat-hikayat seperti itu jauh semangat chauvinistik seperti epos Yunani. Juga tidak kelewat apokaliptik seperti epos Hindu. Peperangan antara pasukan Pandawa dan Kurawa di Kurusetra dalam Mahabharata misalnya digambarkan seperti perang akhir zaman di Armagedon. Musuh yang dikalahkan dibinasakan, begitu pula istri, anak-anak, dan ternak mereka. Dalam epos Islam, musuh yang kalah menjadi tawanan dan kemudian dirangkul dalam persaudaraan Islam.
Daftar Pustaka
Ali Ahmad dan Siti Hajar Che Man(1996). Bunga Rampai Sastera Melayu Warisan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdul Hadi W. M. (2001). Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Braginsky, Vladimir (2004). The Heritage of Traditional Malay Literature: A Historical Survey of Genres, Writings, and Literary Views. Leiden: KITLV.
Brakel, L. F. (1969-1970). “Persian Influence on Malay Literature”. Dalam Abr-Nahrain. Jilid 9:9. Hal. 407-426.
Brakel L. F. (1975). The Hikayat Muhammad Hanafiyyah: A Medieval Muslim-Malay Romance. The Hague: Martinus Nijhoff.
Browne, Edward G. A. (1976). A Literary History of Persia. 4 vols. Cambridge: Cambridge University Press.
Drewes, G. W. J. (1968). “Javanese Poems dealing with or Attributed to the Saint of Bonang”. BKI deel 124.
Edwar Djamaris (1990). Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.
Hill, A (1960). Hikayat Raja-raja Pasai: A Revised Romanized Version with an English Translation. Kuala Lumpur: JMBRAS 33, 2:1-215.
Ibrahim Alfian (1999). Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Ismail Hamid (1983). Kesusasteraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam Petaling Jaya: Fajar Bakti Sdn Bhd.
Jansen, G. H. (1983). Islam Militan. Terj. Armahedi Mazhar. Bandung: Pustaka.
Pigeaud, T. H. (1967). Literatures of Java. Vol. I. Leiden: Martinus Nijhoff.
Ricklefs, M. C. (1983). A History of Modern Indonesia since c. 1300. London: Macmillan.
Winstedt, R. O. (1961). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Wolters, O. W. (1970). The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca New York: Cornell University Press.
http://yasirmaster.blogspot.com/2011/11/kesyahidan-imam-hussein-dalam-hikayat.html
Di
Indonesia kisah kesyahidan Amir Husein, demikian ia disebut dalam teks
Melayu, telah dikenal sejak masa awal pesatnya perkembangan Islam pada
abad 13 – 15 M. Pada masa inilah hikayat tersebut mulai dikarang
dalam bahasa Melayu. Dua versi paling masyhur yang dijadikan sumber
penulisan versi-versi lain pada masa berikutnya ialah yang berjudul
Hikayat Muhammad Ali Hanafiyahh dan Hikayat Sayidina Husein. Yang
disebut pertama dikarang sekitar abad ke-14 atau 15 M berdasarkan
sumber Persia, sedangkan yang belakangan dikarang sekitar abad ke-17 M
di Aceh.
Dalam hikayat ini dijelaskan
arti penting peringatan 10 Muharam, begitu juga cara pelaksanaannya.
Tetapi dalam kenyataan kemudian muncul dua bentuk penyelenggaraan yang
berbeda. Yang pertama, peringatan yang lebih bersahaja sebagaimana
terdapat di Aceh, pulau Jawa, Madura dan Sulawesi Selatan. Di Aceh
peringatan 10 Muharam disebut Hari Asan dan Usin. Di Jawa dan Madura
disebut Hari Sura atau Asura. Sehari sebelum 10 Muharam tiba, orang
melakukan puasa sunat. Esok harinya penduduk membuat bubur merah yang
dibagi-bagikan kepada tetangga atau kerabat. Malam harinya diadakan
pengajian, dan tidak jarang pula diadakan majlis untuk mendengarkan
pembacaan hikayat tragedi Kerbela dan perang Muhammad Ali Hanafiyah
melawan Yazid. Penyelenggaraan Hari Sura atau Hari Asan Usin jelas
merujuk pada keterangan yang terdapat dalam Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyah.
Yang kedua, bentuk
penyelenggaraan yang lebih kompleks dan mirip dengan perayaan 10
Muharam di Iran dan India. Bentuk perayaan seperti ini dijumpai di
Bengkulu dan Sumatra Barat , dan mulai diadakan sejak akhir abad ke-18 M
ketika Inggris menguasai Bengkulu dan bersamanya membawa banyak orang
Syiah dari India. Perayaan di Bengkulu dan Padang dimeriahkan dengan
arak-arakan tabut yang aneka ragam bentuknya melambangkan kesyahidan
Husein dan pernikahannya dengan Syahrbanum, putri khusraw Persia
terakhir Yazgidird II yang setelah tertawan pasukan kaum Muslimin
pindah menganut agama Islam. Arak-arakan dimeriahkan dengan musik
tambur yang gemuruh. Ini menggambarkan suasana pasukan Husein dan
Muhammad Ali Hanafiyah yang dengan gagah berani maju ke medan
perang.Sepuluh hari sebelum perayaan dimulai, diadakan upacara ma`
ambil tanah (mengambil tanah) dan pada ketika itulah tabut-tabut mulai
dibuat (Brakel 1975).
Tatacara
penyelenggaran Asura itu merujuk pada teks Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyah. Pembuatan bubur merah misalnya disarankan pada bagian awal
hikayat tersebut, yaitu ketika malaikat Jibril menyerukan agar “Pada
sepuluh Muharam memberi makan bubur Asura akan segala yang syahid pada
tanah Padang Kerbela.” Sedangkan anjuran puasa sunat dapat dirujuk
pada kata-kata Jibril menjawab pertanyaan arti pentingnya puasa sunat
itu dilakukan. Kata Jibril, “Yang kasih akan segala isi rumah rasul
Allah pada setahun sekali pada sepuluh hari bulan Muharam muwafakat
puasa pada ketika Asura serta akan segala syahid pada tanah padang
Kerbela syahdan memberi makan bubur Asura.” Arti hari Asura juga
dikemukakan pada bagian berikut ini: “…hari Asura artinya menangis
engkau akan isi rumah rasul Allah bermula barang siapa yang tulus
ikhlas hatinya dan kasih rasanya akan segala anak cucu rasul Allah.”
Semua
itu menunjukkan bukan saja populernya kisah kesyahidan Amir Husein,
tetapi juga betapa kesyahidannya memiliki makna tersendiri dalam hati
penganut agama Islam di Nusantara. Di antara arti penting itu ialah
simpati dan solidaritas atas pengurbanan dan perjuangannya melawan
penguasa atau rejim yang zalim, sebab penguasa seperti itu sebagaimana
diperlihatkan Muawiyah dan putranya Yazid merupakan “Bayang-bayang
setan di muka bumi.” Pertanyaan timbul: Daya tarik apa yang menyebabkan
hikayat yang semula muncul dalam bahasa Melayu itu kemudian mendapat
sambutan luas di kepulauan Nusantara, sehingga selama lebih tiga abad
digubah dan dikarang kembali dalam versi agak berlainan dalam
bahasa-bahasa Nusantara lain seperti Aceh, Gayo, Minangkabau,
Palembang, Jawa, Sunda, Madura, Sasak, Banjar, Bima, Bugis, Makassar,
dan lain sebagainya? Kecuali itu apa pula relevansinya sehingga hikayat
ini memperoleh tempat istimewa dibanding epos-epos Islam lain seperti
Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dan Hikayat Malik
Saiful Lisan?
Untuk menjawab
persoalan ini kita perlu melihat berbagai aspek dari kesejarahan teks
ini, termasuk latar belakang dan motif penyusunannya sebagai epos atau
hikayat perang, dan dalam konteks sejarah yang bagaimana hikayat ini
dikarang dalam bentuknya seperti yang kita kenal sekarang? Begitu pula
dalam konteks sejarah seperti apa ia disadur ke dalam sastra Melayu dan
Nusantara yang lain.
Telah
dikemukakan bahwa hikayat perang (epos) berkaitan dengan kesyahidan
Husein telah dikenal lama di Indonesia. Dalam bahasa Melayu ada dua
versi awal yang paling dikenal luas. Pertama versi yang berjudul
Hikayat Sayidina Husein, dan kedua versi yang berjudul Hikayat Muhammad
Ali Hanafiyah. Sementara dalam sastra Melayu, Jawa dan Madura versi
kedua yang paling populer, dalam sastra Aceh versi pertamalah yang
lebih populer. Dalam sastra Aceh versi pertama ditulis pada akhir abad
ke-17 M di bawah judul Hikayat Soydina Usen, tanpa membuang bagian
yang mengisahkan peperangan antara Muhamad Ali Hanafiyah melawan Yazid.
Versi kedua berjudul Hikayat Muhammad Napiah.
Di
daerah lain, misalnya di tanah Sunda dan pulau Madura, hikayat ini
digubah sedemikian rupa dengan menekankan pada kekejaman dan kejahatan
yang dilakukan Yazid bin Muawiyah. Versi Sunda diberi judul Wawacan
Yazid dan versi Madura diberi judul Caretana Yazid Calaka (Kisah Yazid
Celaka). Dalam sastra Minangkabau versi yang popular ialah Kaba
Muhammad Ali Hanafiya. Seperti kaba lain hikayat ini dibacakan dalam
majlis-majlis sastra yang kerap diadakan terutama pada Hari Asura
(Edwar Djamaris 1990). Dalam sastra Jawa salah satu versinya yang
populer ialah yang diberi judul Serat Ali Ngapiyah mateni Yazid.
Pemberian judul yang berbeda-beda itu tentu dilatari motif tertentu
sejalan dengan konteks budaya di mana hikayat itu disalin
Teks
hikayat ini dalam bentuknya yang dikenal sekarang pada mulanya muncul
dalam kesusastraan Persia. Para sarjana berpendapat bahwa hikayat ini
mulai ditulis pada akhir abad ke-12 M atau awal abad ke-13 M pada zaman
pemerintahan Mahmud al-Ghaznawi. Perkiraan ini didasarkan atas
kenyataan bahwa pola pengisahan dan gayanya memiliki banyak kemiripan
dengan Shah-namah, epos Persia masyhur karangan Firdawsi yang usai
ditulis pada tahun 1010 M. Deskripsi dalam Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyah yang mirip dengan Shah-namah antara lain ialah deskripsi
tentang peperangan antara pasukan Muhamad Ali Hanafiyah dengan Yazid
(Brakel 1975, Browne 1976).
Bukti
lain ialah adanya petikan sajak Sa’di dalam hikayat ini, yaitu pada
bagian II versi Melayu hal 338-340) dan disebutnya Tabriz sebagai kota
penting di Iran. Sa’di adalah penyair yang hidup antara tahun 1213 –
1292 M. Dengan demikian ia mengalami dua zaman pemerintahan yaitu zaman
pemerintahan Dinasti Ghaznawi dan zaman raja-raja Ilkhan Mongol yang
menguaai Persia pada tahun 1222 M. Sajak Sa’di yang dikutip itu sendiri
merupakan sindiran terhadap Sultan Mahmud al-Ghaznawi. Di lain hal
Tabriz baru menjadi kota penting di Iran pada zaman pemerintahan
Sultan Ghazan (1295-1304 M) yang menjadikannya sebagai kerajaan Ilkhan
Mongol di Persia. Teks Melayu juga menyebut pentingnya kota Sabzavar,
padahal kota ini baru menjadi kota penting Syiah pada pertengahan abad
ke-14 M.
Persoalan yang sering
ditanyakan para peneliti ialah bagaimana teks Persia ini bisa sampai di
kepulauan Melayu tidak lama setelah hikayat tersebut rampung
penulisannya di Persia. Pertanyaan ini dengan sederhana dapat dijawab.
Misalnya dengan merujuk pada catatan perjalanan Ibn Batutah yang
berkunjung ke Samudra Pasai pada awal abad ke-14 M. Di ibukota kerajaan
Islam Nusantara pertama itu Ibn Batutah menyaksikan sejumlah ulama dan
cendekiawan Persia berasal dari Samarkand dan Bukhara. Mereka sering
diundang Sultan Pasai ke istana dan sangat dihormati, serta memainkan
peranan penting dalam memajukan lembaga pendidikan Islam (Ibrahim
Alfian 1999). Dapat dipastikan bahwa mereka bukan saja mengajar bahasa
dan kesusastraan Arab, tetapi kesusastraan Persia. Huruf Arab Melayu
yang disebut huruf Jawi dan dipakai mula-mula di Pasai didasarkan pada
huruf Arab Persia. Jenis tulisan Arab yang digunakan pula ialah huruf
Kufi Timur dan Nastaliq yang lazim dipakai oleh penulis-penulis Persia.
Bukti-bukti
tekstual juga menguatkan pendapat bahwa sumber-sumber Persia memainkan
peranan penting bagi bangkitnya kesusastraan Islam di Nusantara sampai
periode paling akhir. Hikayat-hikayat Melayu Islam yang awal yang
meliputi epos, roman, hikayat nabi-nabi dan wali-wali, serta
karangan-karangan bercorak tasawuf termasuk puisi, jika bukan merupakan
saduran dari hikayat-hikayat (dashtan) Persia, tidak sedikit di
antaranya diilhami oleh karangan penulis-penulis Persia. Epos-epos
Islam terkenal seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Ali
Hanafiyah, Hikayat Syah Mardan, dan lain sebagainya digubah berdasarkan
sumber Persia.
Memang pada mulanya
epos-epos Islam telah muncul dalam kesusastraan Arab. Namun epos-epos
itu mencapai bentuknya yang matang dan kompleks, serta memiliki nilai
estetik yang tinggi, di tangan penulis-penulis Persia abad ke-12 – 14
M. Khusus Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, dasar ceritanya ialah legenda
yang hidup di kalangan pengikut sekte Kaisaniyah, sebuah sekte dari
madzhab Syiah yang berbeda dari sekte-sekte Syiah lain seperti
aliranImam Duabelas (Imamiya), Imam Tujuh (Ismailiya), Imam Lima
(Zaidiya) dan lain-lain. Sekte-sekte Syiah yang lain berpendirian bahwa
hanya keturunan Ali bin Thalib dan Fatimah saja yang berhak menjabat
Imam, maka sekte Kaisaniyah menganggap bahwa jabatan imamah berakhir
setelah wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah. Hanafiyah adalah putra Ali
yang ketiga dari istrinya yang berasal dari suku Hanif dan yang
dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah. Sekte ini dikembangkan oleh
Kaisan, pengasuh Hanafiyah yang sangat mengagumi kesalehan tuannya.
Agaknya
di antara orang-orang Islam yang banyak pindah ke Indonesia dari
negeri Arab dan Persia pada awal abad ke-14 hingga pertengahan abad
ke-15 M, yaitu pada masa penaklukan bangsa Mongol atas negeri kaum
Muslimin dan kekacauan di Persia akibat peperangan yang dicetuskan
Timur Leng pada akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-15 M, terdapat
tidak sedikit penganut Syiah, bukan saja Syiah Imam Dua Belas tetapi
juga Syiah Imam Empat (Zaidiyah) dan Kaisaniyah. Sebagian dari mereka,
sebagaimana dipaparkan dalam banyak sumber sejarah, bergabung dengan
orang-orang Sunni madzab Syafii di Yaman, yang telah lama menjadikan
negeri itu sebagai pusat kegiatan keagamaan penganut Sunni madzab
Syafii. Dari tempat inilah orang-orang Islam dari negeri Arab dan
Persia memulai pelayarannya ke Timur melalui Samudra Hindia dengan
tujuan pelabuhan-pelabuhan di India Selatan dan kepulauan Melayu.
Pelabuhan Aden di Yaman memang sangat strategis, dan telah sejak lama
dijadikan pelabuhan dagang utama yang yang menghubungkan benua Eropa
dan Afrika dengan negeri-negeri di sebelah timur seperti India dan
kepulauan Melayu (Ali Ahmad 1996; Abdul Hadi W.M. 2001).
Berdasarkan
ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang Kaisaniyahlah yang membawa dan
memperkenalkan epos ini di kepulauan Melayu. Latar belakang ceritanya
ialah sebagai berikut. Setelah Ali bin Thalib dipilih menjadi khalifah
yang menggantikan Usman bin Affan yang mati akibat pembunuhan
misterius, Muawiyah yang merupakan kerabat Usman dan menjabat sebagai
gubernur Damaskus menentang keputusan itu. Dia merancang untuk
melakukan perlawanan. Peperangan meletus di Shiffin pada tahun 657 M.
Ali dan pasukannya hampir memperoleh kemenangan, tetapi Muawiyah
menawarkan perdamaian untuk mencegah kekalahan tentaranya. Maka
diadakanlah tahkim untuk menentukan apakah Ali atau Muawiyah yang
berhak memangku jabatan khalifah. Ternyata ini merupakan siasat yang
dirancang rapi oleh Muawiyah untuk menggulingkan Ali dan kaum Aliyun
yang merupakan pesaingnya yang paling kuat. Hakim yang dipilih untuk
menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah sebagian besar memihak
Muawiyah.
Kaum Khawarij yang semula
memihak Ali, mengutuk keputusan mengadakan tahkim. Mereka merancang
akan membunuh Ali dan Muawiyah. Pada tahun 659 M dua tahun setelah
peristiwa itu kaum Khawarij melaksanakan niatnya membunuh kedua
pemimpin itu. Muawiyah lolos dari usaha pembunuhan, tetapi Ali tewas
dihunus pedang pemimpin Khawarij Abdul Rahman bin Muljam ketika Ali
sedang berada di Kufa. Sejak peristiwa berdarah itu Muawiyah merasa
lega karena tidak ada lagi yang akan merintangi dirinya menjadi
penguasa mutlak kekhalifatan Islam. Tetapi di tempat lain kaum Aliyun
mengangkat Hasan sebagai pengganti Ali. Beliau juga akhirnya mati
setelah diracun.
Pada tahun 680 M
Muawiyah meninggal dunia. Putra Muawiyah, Yazid yang bertangan besi,
diangkat sebagai penggantinya. Husein putra Ali menolak mengakui Yazid.
Karena itu dia selalu diintai untuk dihabisi nyawanya. Oleh karena
merasa tidak aman berada di Mekkah, Husein hijrah ke Madinah. Tetapi
kemudian dia memilih pindah ke Kufa, tempat di mana dia merasa lebih
aman dan dapat berkumpul dengan sanak saudara serta para pengikutnya.
Keinginannya bertambah kuat setelah terdengar kabar bahwa
saudara-saudara sepupunya dan para pengikutnya akan membaiat beliau
sebagai khalifah. Ketika Husein mulai melakukan perjalanan dari Madinah
ke Kufa, Yazid mengganti gubernur Kufa dengan tokoh yang lebih setia
kepadanya Ubaidillah bin al-Ziyad. Ketika Husein sedang dalam
perjalanan menuju Kufa, Ubaidillah berhasil mengintimidasi penduduk
Kufa untuk menyerang Husein. Setibanya di Kerbela Husein diserang oleh
pasukan Yazid dan orang-orang yang telah dihasut untuk
menyingkirkannya. Sebelum gugur, bersama dengan para pengikutnya,
Husein dibiarkan lemas karena haus. Pasokan air dari sungai Eufrat
sengaja dipotong oleh Ubaidillah sehingga Husein dan pasukannya lemas
disebabkanHussei kehausan.
Kematian
Husein segera didengar oleh adiknya, Muhammad Ali Hanafiyah. Dia adalah
putra Ali yang ketiga dari hasil perkawinan beliau dengan seorang
perempuan Hanif bernama bernama Muhmmad bin Ali. Oleh karena ibunya
seorang hanif ketika dinikahi Ali, maka gelarnya kemudian ditambah
dengan Hanafiyah. Dalam hikayat diceritakan ketika itu dia adalah
seorang amir di Buniara.
Pada malam
hari setelah wafatnya Husein, Muhammad Hanafiyah bermimpi bertemu Nabi
Muhammad s.a.w yang menyuruhnya menuntut bela atas kematian saudaranya
Hasan dan Husein. Keesokan harinya Muhammad mengumpulkan semua
pengikutnya untuk melancarkan perang melawan Yazid bin Muawiyah. Dalam
sebuah pertempuran yang menentukan Yazid tewas dalam keadaan
mengerikan. Dia jatuh ke dalam sebuah sumur tua yang penuh kobaran api.
Setelah itu Muhammad Hanafiyah menobatkan putra Zainal Abidin, putra
Husein sebagai pengganti ayahnya selaku pemimpin kaum Aliyun. Pada saat
itulah dia mendengar kabar bahwa tentara musuh sedang berhimpun dalam
sebuah gua. Muhammad segera bergegas pergi ke tempat itu untuk
menghancurkan sisa pasukan Yazid. Ketika memasuki gua terdengar suara
gaib yang memerintahkan agar dia jangan masuk. Serua itu tidak
dihiraukan. Malahan Muhammad Ali Hanafiyah terus saja membunuh
musuh-musuhnya yang bersembunyi dalam gua. Tiba-tiba pintu gua tertutup
dan dia tidak bisa keluar lagi dari dalamnya.”
Episode
yang mengisahkan situasi ketika Husein tiba di Kerbela sangat menarik.
Inilah petikannya: “… Maka Amir Husein berjalan daripada suatu
pangkalan kepada suatu pangkalan, maka sampailah Amir Husein kepada
suatu tempat. Maka unta dan kuda Amir Husein merebahkan dirinya, tiada
mau lagi berjalan, Maka Amir Husein menyuruh mendirikan kemah
barung-barung. Adapun segala kayu pun yang ditetak akan barung-barung
itu sekaliannya berdarah. Maka bertanya Amir Husein, “Hai taulanku! Apa
nama padang ini?” Maka kata segala hulubalang, “Hai junjungan kami!
Inilah padang Kerbela namanya!”. Maka kata Amir Husaain, “Wah inilah
tempat kita mati, karena sabda Rasulullah, “Kematian cucuku Husein pada
tanah padang Kerbela!” Maka kata Amir Husein, “Qalu inna lilLahi wa
inna ilayHi raji`una!” Apabila didengar Umar Sa`d Maisum warta Amir
Husein sudahlah ada di padang Kerbela berbarung-barung, maka Umar Sa`d
Maisum menghampiri sungai Furat, ditebatnya sungai itu, supaya Husein
jangan beroleh air. Setelah sudah ditebatnya sungai ini, maka
dikirimkannya surat kepada Yazid, dalam surat itu demikian bunyinya,
“Segeralah Yazid memberi bantu akan hamba, karena Amir Husein sudah
adalah di tengah padang Kerbela berbarung-barung!” Maka datangnya surat
itu kepada Yazid, dengan seketika itu jua disuruhkan Yazid lima puluh
ribu hulubalang serta Ubaidillah bin Ziyad dan orang berjalan tujuh
puluh ribu, Maka Yazid berkata, “Pergilah kamu ke tebing Sungai Furat,
khawani oleh kamu supaya Husein jangan beroleh air minum, maka kepala
Husein pun segera kamu bawa kepadaku! Maka tatkala Amir Husein berhenti
pada padang tanah Kerbela, sehari bulan Muharam, maka Ubaidillah bin
Ziyad pun menghampiri tebing sungai Furat, dikhawaninya.
Maka
segala hulubalang Amir Husein dahagalah tersiur-siur mencari air
sekalah, tiada beroleh air. Demikianlah datanglah kepada delapan hari
bulan Muharam, dalam kedahagaan jua kaum Amir Husein. Pada kesembilan
harinya hari bulan Muharam, segala anak Amir Husein pun datang kepada
Amir Husein, katanya, “Hai bapaku! Maha sangat dahagaku, air liur kami
pun keringlah daripada kerungkungan kami, bermula rasa dada kami pun
jerihlah. Berilah akan kami air seteguk!” Maka pada bilik Amir Husein
ada suatu kendi kulit belulang berisi air, maka kendi itu pun pesuklah
dikorek tikus, air pun habislah terbuang…” (Brakel 1975)
Hikayat
ini sebenarnya didasarkan atas peperangan yang dilakukan al-Mukhtar,
pemimpin sekte Kaisaniyah, melawan Yazid dengan tujuan menuntut bela
atas kematian Amir Husein. Dengan dibantu oleh panglima perangnya
Ibrahim al-Asytur dia mengangkat Muhammad Ali Hanafiyah sebagai imam
pengganti Husein. Pada mulanya kisah ini bersifat legenda, namun
kemudian dikembangkan menjadi sebuah roman sejarah (Ali Ahmad 1996).
Melalui
paparan yang telah dikemukakan, dapatlah diketahui motif dan latar
belakang penulisan hikayat ini. Motif ini bersifat ideologis dan
kultural. Namun untuk memahaminya kita harus melihat aspek-aspek
menonjol yang membedakan antara versi Melayu dan versi Persia yang
merupakan sumbernya. Setidaknya ada enam butir perkara yang penting
dicatat bertalian dengan hal tersebut. Pertama, bentuk asli hikayat
tentang kesyahidan Husein termasuk ke dalam genre maqtal, yaitu jenis
sastra yang khusus memaparkan kesyahidan Imam Ali, Hasan dan Husein. Di
dalamnya terpadu unsur elegi dan tragedi. Hikayat seperti ini di
Persia biasa dibacakan dengan didramatisasikan pada perayaan 10
Muharam. Versi Melayu mengurangi unsur tragedinya dan merubahnya menjadi
roman sejarah dengan unsur epik yang kuat. Versi Jawa, Sunda, dan
Madura digubah dalam bentuk tembang macapat (puisi), yang dibacakan
dengan lagu khas di majelis-majelis pada malam di hari Asura.
Sekalipun
unsur tragedi dikurangi, namun unsur elegi masih kuat. Bahkan dalam
versi Melayu banyak episode menyangkut gugurnya Husein dan kesedihan
yang menyelimuti hati karib kerabatnya digarap lebih rinci. Kesedihan
karib kerabat dan keluarga setelah mendengar gugurnya Husein dilukiskan
seperti berikut: “Adapun Amir Husein syahid pada sepuluh hari bulan
Muharam, harinya pun hari Jumat, maka Amir Husein pada ketika itu jua
jadi akan penghuni syurga seperti kaul ‘Inna’s-saffa mahallu ‘dunubi!’ …
Maka kemudian segala isi rumah Rasulullah berkabung serta
menampar-nampar dadanya dan merenggut-renggut rambutnya dengan
tangisnya dan heriknya, demikian bunyi tangisnya, ‘Wah kasihan kami!Wah
kesakitan kami! Wah sesal kami! Wah Muhammad kami! Wah Ali kami! Wah
Fatimah kami! Wah Hasan kami! Wah Husein kami! Wah Kasim kami. Wah Ali
Akbar kami!’ Maka isi rumah Rasulullah tiadalah sadar diri. Pada ketika
Amir Husein syahid seakan Arasy Allah da Kursi gemetaran, bulan dan
matahari pun redup, tujuh hari tujuh malam lamanya segala alam pun
seolah kelam kabut, karena Amir Husein terbunuh, peninggalan Nabi Allah
dan lihat-lihatan daripada Rasulullah, seorang cucunya, Amir Hasan
dibunuhnya dengan racun, seorang lagi cucunya dibunuh segala munafik
dengan senjata, kepalanya diperceraikan orang. Demikianlah halnya
disembelih orang zalim, supaya kita ketahui, hidup dalam dunia tiadalah
kekal…”
Kedua, versi Jawa yang di
antaranya diberi judul Ali Ngapiyah mateni Yajid (Ali Hanafiyah
membunuh Yazid) memiliki keunikan. Penuturannya secara estetik
disesuaikan dengan pola penuturan epik dan roman sejarah yang telah ada
dalam kesusastraan Jawa. Cerita diulang-ulang, misalnya kisah
pertemuan dan perpisahan pelaku, mengikuti pola pengisahan siklus
Cerita Panji. Di dalam hikayat ini juga dimasukkan tokoh punakawan,
pelayan tokoh utama, seperti dalam Cerita Panji, Mahabharata Jawa, dan
Serat Menak (Hikayat Amir Hamzah versi Jawa). Pelaku dipisahkan secara
tegas ke dalam dua kelompok yang tidak mudah didamaikan, seperti
pemisahan antara Pandawa dan Kurawa dalam Mahabharata (Braginsky 2004).
Yazid yang celaka berserta pasukannya disamakan dengan Kurawa,
sedangkan Muhammad Ali Hanafiyah dengan Pandawa. Seperti dalam
Mahabharata di mana medan perang Kurusetra secara simbolik digambarkan
sebagai dunia atau jiwa manusia, tempat pertarungan abadi antara
kebenaran dan kebatilan. Dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, peranan
padang Kuru diganti dengan padang Kerbela.
Ketiga,
seperti Mahabharata hikayat ini mengandung unsur eskatologis yang
kuat. Tragedi Kerbela dan tewasnya Yazid di tangan pasukan Muhammad Ali
Hanafiyah, secara simbolik digambarkan sebagai peperangan akhir zaman
antara pasukan Imam Mahdi dan Dajjal. Situasi menjelang tragedi Kerbela
juga dilukiskan seperti situasi akhir zaman di mana kaum Muslimin
dikeroyok oleh fitnah dan intrik-intrik jahat yang memicu terjadinya
banyak konflik dan tindakan kekerasan. Tewasnya Yazid dan tertelannya
Muhammad Ali Hanafiyah dalam gua menandakan datangnya era baru dan
zaman penuh pencerahan. Dapat dicatat di sini bahwa dalam
pertujunjukan wayang topeng pernah populer lakon Sayidina Jusen lan
Ratu Jajid. Hikayat ini juga mengilhami kisah apokaliptik Serat
Akhiring Jaman. Dikisahkan dalam serat ini munculnya raja Jin dari
persembunyiannya untuk menumpas segala raja kafir dan membawa orang
kafir berbondong-bondong memeluk agama yang benar (Pigeaud 1969).
Dilihat
dalam konteks sejarah penulisan hikayat ini di Persia, hal ini juga
beralasan. Pada pertengahan abad ke-14 M penganut Syiah menyongsong era
baru setelah lebih satu abad mengalami masa gelap sebagai akibat
penguasaan tentara Mongol. Pada akhir abad ke-13 M bangsa Mongol
beramai-ramai memeluk agama Islam bersama pemimpin mereka. Mereka
berubah menjadi pelindung kebudayaan Islam. Kebebasan menganut madzab
apa pun diperbolehkan, suatu kebijakan yang berbeda dengan kebijakan
penguasa sebelumnya.
Keempat, teks
Melayu memperlihatkan redupnya ideologi Kaisaniyah. Jika sebelumnya
mereka berpendapat mata rantai imamah berakhir dengan wafatnya Muhammad
Ali Hanafiyah, kini pandangan seperti itu tidak bisa dipertahankan
lagi di lingkungan masyarakat Melayu yang menganut paham Sunni.
Muhammad Ali Hanafiyah terpaksa membaiat putra Husein, Zainal Abidin
untuk menjadi khalifah.
Kelima, versi
Melayu merupakan kompilasi sejumlah hikayat yang berbeda jenisnya
seperti Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Hasan dan Husein, dan
Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah sendiri. Legenda dilebur dengan
peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi sejak masa awal kenabian
Rasulullah sampai peperangan yang dicetuskan Muhammad Ali Hanafiyah
menentang Yazid bin Muawiyah.
Keenam,
teks Melayu tidak sepenuhnya pula mengikuti teks Persia dalam
memaparkan kejadian-kejadian penting berkenaan dengan keluarga Nabi.
Banyak dijumpai tambahan dalam teks Melayu. Juga ditemui penyimpangan
atau perubahan konteks serta makna berkenaan dengan
peristiwa-peristiwa yang dituturkan.
Dari
enam hal ini, dua hal terakhir yang perlu diberi catatan dan
penjelasan, sebab hanya dengan cara demikian kita dapat memahami
kreativitas penulis Melayu menjadikan teks Persia menjadi wacana yang
sesuai dengan konteks perkembangan Islam di kepulauan Nusantara.
Kekhasan teks Melayu hanya bisa diketahui melalui cara membandingkannya
dengan teks Persia. Salinan teks Persia yang dijadikan sumber teks
Melayu ditemukan naskah salinannya di British Museum (Ms Add 8149).
Menurut Rieu (Brakel 1975) naskah itu ditulis dalam huruf Nastaliq di
Murshidabad, Bengal, India pada tahun 1721 M. Jadi masih pada zaman
pemerintahan Dinasti Mughal, yang hingga awal abad ke-19 M menjadikan
bahasa Persia sebagai bahasa utama kaum terpelajar di Indo-Pakistan.
Naskah
Bengal terdiri dari bagian. Bagian pertama memaparkan riwayat hidup
Amirul Mukminin Hasan dan Husein sejak masa kelahiran hingga wafat
mereka. Bagian kedua memapakarkan hikayat Muhammad Ali Hanafiyah sejak
kematian Husein saudaranya sampai pembebasan putra Husein yaitu Zainal
Abidin dan ditemukannya mayat Yazid dalam sebuah perigi.
Versi
Melayu terdiri dari tiga bagian: Bagian pertama berupa pengantar,
memaparkan riwayat Nabi Muhammad s.a.w. sampai masa awal kerasulan
beliau. Sebagian dari bagian ini didasarkan atas Hikayat Kejadian Nur
Muhammad yang populer di Nusantara. Bagian kedua terdiri dari tiga
episode, yaitu kisah Hasan dan Husein ketika masih kanak-kanak, riwayat
hidup tiga khalifah al-rasyidin yaitu Abu Bakar Siddiq, Umar bin
Khattab dan Usman bin Affan beserta karib kerabatnya, kemudian paparan
riwayat hidup Ali bin Abi Thalib, dan terakhir kematian Hasan dan
gugurnya Husein di padang Kerbela. Bagian ketiga, peperangan yang
dicetuskan Muhammad Ali Hanafiyah sampai tewasnya Yazid dan raibnya
Muhammad Ali Hanafiyah yang terperangkap dalam sebuah gua.
Versi
Melayu juga menambahkan beberapa episode penting seperti Masa awal
kerasulan Nabi Muhammad s.a.w., wafatnya Siti Khadijah, pembuangan
Marwan, wafatnya Rasulullah, wafatnya Fatimah dan upacara pemakamannya
yang bersahaja dan dilakukan secara diam-diam oleh Ali bin Abi Thalib.
Versi Persia menceritakan legenda yang berkaitan dengan masa kecil
Hasan dan Husein secara panjang lebar, serta ramalan mengenai kematian
mereka. Yang sulung akan mati diracun, dan adiknya wafat berlumuran
darah di Kerbela. Versi Melayu memaparkan secara ringkas
legenda-legenda ini. Tetapi ke dalamnya ditambahkan kisah-kisah yang
berkaitan dengan kehidupan ahli bait dan apa yang mereka alami selama
mendapatkan intimidasi dari Muawiyah.
Jika
kedua versi dibaca dengan seksama, menurut Brakel, tampak bahwa banyak
bagian-bagian dalam versi Melayu merupakan terjemahan langsung dari
sumber Persia, namun membawa makna yang berlainan. Misalnya pada bagian
ketiga, terdapat kalimat dalam teks Melayu: “Maka segala hafiz pun
mengaji al-Qur’an dan segala lasykar pun dzikr Allah”. Teks Persianya:
“wa hamaye yaran o baradaran dar zekr o fekr dar-amadand”. (Semua
saudara dan teman memasuki pekuburan seraya mengingat yang wafat dan
memikirkannya). Teks Melayu bernuansa kesufian, tampak dalam memberi
makna terhadap kata-kata zikir.
Pada
bagian kedua teks Persia yang menyajikan perkataan Syahrbanum kepada
Yazid tertulis kalimat: “Xak bar dar dahane to” (Telanlah bumi oleh
mulutmu!). Dalam teks Melayu berubah makna, “Tanah itu masukkan ke
dalam mulutmu!”. Ketika Utbah melapor kepada Yazid, kata-katanya dalam
teks Persia ditulis: “Man ham az bine mardanegiye isan gerixte amadim”
(Kau telah bebas dari rasa takut disebabkan keberanian mereka). Teks
Melayu: “Adapun kami dengan gagah berani, maka kami dapat melepas diri
kami”.
Sekalipun demikian tak pelak
unsur Persia masih dipertahankan dalam teks Melayu. Kata-kata Persia
seperti gabayi namadin diterjemahkan menjadi kopiahnya namad merah;
kata-kata si gaz gadd dast diterjemahkan menjadi tiga puluh gaz
tingginya; kata-kata geysare dirubah menjadi kaisar; Umm-i Kulzum
(Arab: Umm al-Kulzum) dimelayukan jadi Ummi Kulzum, dan masih banyak
lagi. Bahkan kata-kata Persia seperti Zangi (Negro) tetap tidak
dirubah. Perbedaan lain ialah bahwa beberapa lukisan kejadian yang
terdapat dalam teks Melayu tidak ada dalam teks Persia (Brakel 1975).
Episode
Husein dan pengikutnya yang kehausan setibanya di Kerbela tidak
dijumpai dalam teks Persia. Episode ini diambil oleh penulis Melayu
dari epos Islam lain yang juga masyhur yaitu Hikayat Iskandar
Zulkarnaen. Dalam teks Melayu, kaum Aliyun disebut sebagai Ahlul Sunnah
juga, sedangkan lawan mereka yaitu kaum Khawarij dan Umayyah dipandang
sebagai kaum munafik. Karakter Muhammad Ali Hanafiyah sebagai tokoh
epos digambarkan mirip dengan tokoh historis abad ke-8 M bernama Abu
Muslim, yang mengangkat senjata melawan pasukan Abbasiyah di Khurasan.
Ketika itu pasukan Bani Abbasiyah yang pada mulanya didukung kaum
Aliyun mulai memperoleh kemenangan atas pasukan Bani Umayyah. Ketika
itulah Abu Muslim mulai ditinggalkan, sehingga balik menentang
Abbasiyah. Adapun deskripsi peperangan dalam hikayat tersebut tidak
sedikit yang diilhami oleh deskripsi dalam epos Shahnamah karangan
Firdawsi.
Melihat
luasnya daerah penyebaran hikayat ini di Indonesia dan sambutan
terhadap kehadirannya, serta besarnya pengaruh terhadap perkembangan
sastra Nusantara, layaklah apabila kita ajukan beberapa pertanyaan. Apa
relevansi dan arti hikayat ini bagi orang Islam di Indonesia? Pesan
moral apa yang dikandung di dalamnya hingga memberi pengaruh kuat dan
mendalam bagi pembacanya di masa lalu dalam sejarah perkembangan Islam?
Untuk
menjawab pertanyaan ini kita harus memahami arti dan fungsi epos dalam
kebudayaan Islam, dan kondisi-kondisi sosial dan kemanusiaan seperti
apa yang memungkinkan kelahirannya? Karya sastra tidak lahir dari
kekosongan sejarah. Di belakangnya senantiasa hadir faktor-faktor
tertentu dan kemunculannya senantiasa mengacu pula pada konteks
tertentu yang tidak jarang begitu kompleks. Pada permulaan
berkembanganya Islam di Indonesia, para penyebar agama ini sadar bahwa
yang diperlukan bukan hanya mengajarkan kandungan ajaran Islam
berkenaan keimanan atau Tauhid, serta tuntutan untuk berbuat kebajikan
dan membangun akhlaq yang mulia. Pengajaran tentang itu diperoleh
melalui ilmu-ilmu dan kearifan Islam. Mereka juga sadar bahwa yang
mesti dibangun adalah kebudayaan Islam. Kesusastraan adalah salah satu
media penting untuk itu. Karena itu para penyebar Islam awal dan
generasi-generasi selanjutnya itu berusaha pula memperkenalkan
hasil-hasil kesusastraan Arab dan Persia yang telah diberi roh Islam.
Fungsi
atau peranan kesusastraan dalam tradisi intelektual dan kebudayaan
Islam ialah memberi gambaran yang menyentuh hati bagaimana pokok-pokok
ajaran Islam tentang Tauhid atau keimanan, perbuatan saleh, akhlaq yang
mulia, atau keharusan amal ma`ruf wa nahiy munkar wa tu`minuna bilLah
diamalkan dalam segala lapangan kehidupan, termasuk kehidupan sosial,
budaya, intelektual, etik dan estetik. Lebih jauh pula ialah bagaimana
pengalaman religius dan pribadi, pengalaman sosial dan sejarah, serta
pengalaman-pengalaman lain yang bersifat kerohanian dan duniawi,
diekspresikan melalui ungkapan estetik yang menyentuh hati dan emosi.
Epos
atau hikayat perang sebagai genre penting dalam sastra Islam berkenaan
dengan pengalaman sejarah orang Islam, khususnya perjuangannya
menegakkan ajaran agama. Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah
perlu dijadikan ingatan kolektif sebab di dalamnya mengandung pelajaran
dan sekaligus dapat dijadikan sarana untuk membangun soilidaritas
sosial. Lebih jauh dalam Islam peranan epos bukan semata-matya bukan
membangkitkan semangat dalam berjuang menegakkan kebenaran. Melalui
epos orang Islam juga diberitahu peperangan seperti apa yang
diperbolehkan di jalan agama, untuk tujuan apa peperangan seperti itu
dilakukan, siapa saja orang atau kelompok yang patut diperangi di jalan
agama, bagaimana memperlakukan musuh yang sudah menyerah dan
menawarkan perdamaian? Bagaimana pula jika diketahui perdamaian yang
ditawarkan hanya sekadar tipu muslihat sebagaimana banyak dialami kaum
Muslimin sejak dulu hingga sekarang di berbagai belahan bumi.
Dalam Islam, perang tidak dimaksudkan sekadar membela negara dan bangsa, tetapi terutama menentang ketidak adilan dan kezaliman yang sering bersimaharajela di dunia. Ini tercermin dalam epos seperti Hikayat Sayidina Husein dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Juga dalam Hikayat Amir Hamzah da Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Hikayat-hikayat seperti itu jauh semangat chauvinistik seperti epos Yunani. Juga tidak kelewat apokaliptik seperti epos Hindu. Peperangan antara pasukan Pandawa dan Kurawa di Kurusetra dalam Mahabharata misalnya digambarkan seperti perang akhir zaman di Armagedon. Musuh yang dikalahkan dibinasakan, begitu pula istri, anak-anak, dan ternak mereka. Dalam epos Islam, musuh yang kalah menjadi tawanan dan kemudian dirangkul dalam persaudaraan Islam.
Motif utama perang dalam Islam
ialah menentang sistem yang melahirkan ketidak adilan atau rejim yang
menindas. Apakah rejim atau penguasa itu mengaku Muslim atau bukan
Muslim, sama saja akan ditentang. Tepat sekali oleh karenanya apa yang
dikemukakan Fredinand de Lessep, si pembangun Terusan Suez hampir dua
abad yang silam. Katanya, “Bukan fanatisme yang mendorong semangat kaum
Muslimin untuk menentang penguasa tertentu dan imperialisme, akan
tetapi agama dan jiwa kebudayaan Islam itu sendiri yang menggerakkan
mereka untuk berjuang dan yang mampu mempersatukan perjuangan mereka.
Jiwa kebudayaan Islam yang mampu menggerakkan itu ialah penolakan atas
ketidak adilan an penindasan atas nama apa pun, jadi bukan disebabkan
fanatisme atau fundamentalismenya.” (Jansen 1983).
Dalam
hikayat yang kita bicarakan, yang di dalamnya dibeberkan aneka
pengalaman sejarah berharga yang patut dijadikan ingatan kolektif orang
Islam, contoh-contoh berkenaan dengan apa yang dinyatakan Ferdinand de
Lesseps banyak kita jumpai. Tawaran perdamaian yang disodorkan
Muawiyah kepada Sayidina Ali dan diterima oleh sang khalifah, adalah
contoh kemuliaan hati Sayidina Ali yang tidak mau melakukan peperangan
hanya disebabkan dorongan kekuasaan dan nafsu membalas dendam. Tetapi
tahkim yang dilakukan setelah itu ternyata merupakan tipu muslihat
untuk menyingkirkan Ali dengan cara yang tidak terpuji. Yang terakhir
ini adalah contoh tindakan yang tidak mencerminkan rasa keadilan dan
benar-benar zalim. Tipu muslihat serupa dialami ribuan kali oleh orang
Islam dalam sejarahnya, bukan saja dulu tetapi terlebih-lebih di masa
modern. Pangeran Diponegoro, pemimpin perang antikolonial di Jawa
(1825-1830 M), ditawari perdamaian oleh Belanda untuk dijebak. Begitu
sampai di tempat perundingan beliau ditangkap dan diborgol tangannya
untuk dijadikan tawanan seumur hidup. Bangsa Arab, khususnya Arab
Palestina, mengalami hal serupa berhadapan dengan penguasa zionis
Israel. Banyak sekali perjanjian damai ditandatangani tetapi tidak
lebih dari tipu muslihat.
Dorongan
Sayidina Husein dan pengikutnya untuk memerangi Yazid juga tidak lebih
dari ungkapan rasa kecewa melihat kezaliman dan penindasan yang
dilakukan penguasa Umayyah atas kaum Muslimin. Husein tidak
mempedulikan nasib apa yang akan menimpa dirinya. Pengurbanan dan
keberaniannya menentang penguasa yang zalim dan rezim penindas adalah
teladan yang akan selalu dicontoh oleh mujahidin Islam yang sejati.
Begitu juga keberaniaan adik tirinya Muhammad Ali Hanafiyah yang dengan
gagah berani memimpin pasukan untuk mengakhiri kekuasaan Yazid, adalah
juga memberikan teladan yang terpuji. Tanpa mempedulikan apakah di
dalam hikayat ini terdapat propaganda ideologi Kaisaniyah, atau Syiah
secara umum, relevansi dari epos ini semestinya dilihat melalui
kacamata lain yang lebih jernih. Yaitu dengan melihat dalam konteks
sejarah yang bagaimana teks hikayat ini mulai ditulis dan
disebarluaskan di Indonesia.
Hikayat
ini seperti epos Islam lain khususnya Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat
Iskandar Zulkarnaen, telah hadir di Nusantara pada abad ke-14 dan 15 M,
periode-periode awal pesatnya Islam berkembang. Pada periode-periode
ini sudah pasti banyak tantangan dihadapi komunitas Muslim yang baru
muncul ini. Tantangan yang paling menonjol bersifat politik dan
kultural. Ini dapat dimengerti karena ketika itu Sriwijaya – kerajaan
Buddhis yang pernah perjaya di kepulauan Melayu pada abad ke-8-10 M –
masih kuat kendati mulai dilanda krisis ekonomi yang menyebabkan
pamornya pudar. Di Jawa Timur sedang bangkit sebuah kerajaan Hindu
terbesar sepanjang sejarah, yaitu Majapahit (1292-1498 M). Pada
pertengahan abad ke-14 M ketika tampuk pemerintahan berada di tangan
Prabu Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang terkenal Gajah Mada,
kerajaan ini berambisi memperluas wilayah imperiumnya. Bagi memenuhi
ambisinya itu Majapahit mengirimkan pasukan militernya ke Sumatra,
dengan tujuan menundukkan kerajaan-kerajaan Melayu termasuk Sriwijaya.
Pada
kurun-kurun tersebut banyak peperangan yang yang dihadapi komunitas
Islam yang telah memiliki dua kerajaan besar dan makmur yaitu Samudra
Pasai (1272-1516 M) di Aceh Sumatra dan kesultanan Malaka (1400-1511
M)di Semenanjung Malaya. Yang terakhir ini merupakan lanjutan dari
kerajaan Sriwijaya. Ia didirikan oleh raja terakhir Sriwijaya, Prabu
Paramesywara, yang berhasil melarikan diri bersama pengikutnya ketika
ibukota kerajaan Sriwijaya diluluh lantakkan oleh tentara Majapahit
pada akhir abad ke-14 M. Pada tahun 1411 M ketika Malaka berkembang
pesat menjadi pusat kegiatan perdagangan, Paramesywara kawin dengan
putri raja Pasai dan memeluk agama Islam (Wolters 1970). Sejak itu
Malaka menjadi pusat penyebaran agama Islam dan pusat kegiatan
penulisan sastra Melayu Islam.
Samudra
Pasai sendiri mendapat giliran untuk diserbu oleh armada Majapahit
pada tahun 1350 M. Melalui peperangan sengit di laut dan darat, pada
akhirnya Samudra Pasai menyerah. Tetapi karena Pasai merupakan
pelabuhan dagang penting dan strategis di Selat Malaka, negeri itu
tidak dihancurkan seperti halnya ibukota Sriwijaya. Tentara Majapahit
membawa banyak harta rampasan dan tawanan perang. Di antara tawanan
perang itu terdapat banyak bangsawan lelaki dan wanita, saudagar,
tabib, ulama, cendekiawan Muslim, dan mantan perajurit dan komandan
perang. Di Majapahit, tawanan-tawanan perang yang berjumlah besar itu
diberi tempat khusus di Ampel Denta. Karena begitu banyaknya
pangeran-pangeran Majapahit terpikat pada putri Pasai, dan juga karena
banyaknya putri Majapahit jatuh hati kepada pemuda Pasai, terjadilah
kawin silang yang tidak terelakkan dengan keharusan memeluk agama Islam
bagi pemuda Majapahit yang menikahi putri Pasai. Sejak masa itulah
agama Islam berkembang pesat di pulau Jawa (Ibrahim Alfian 1999). Di
daerah ini pulalah kelak lahir wali-wali utama penyebar Islam seperti
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, dan lain sebagainya.
Bukan
tidak mungkin dari komunitas Muslim awal di Jawa Timur inilah
karya-karya Arab dan Persia, termasuk eposnya, diperkenalkan dalam
kesusastraan Jawa. Puisi-puisi suluk karya Sunan Bonang, wali dan
sastrawan prolifik yang hidup antara pertengahan abad ke-15 dan awal
abad ke-16 M, mendedahkan bahwa pada akhir abad ke-15 M sudah banyak
karya-karya Arab dan Persia dikenal oleh kaum terpelajar Muslim di
pulau Jawa (Drewes 1968). Berbagai perayaan keagamaan yang sampai
sekarang masih hidup di pulau Jawa, seperti Grebeg Maulud, Sekaten,
Asura, dan lain-lain, diperkenalkan oleh para wali pada masa awal
berdirinya kesultanan Demak awal abad ke-16 M. Perayaan-perayaan itu,
khususnya Asura, dan penyelenggaraannya didasarkan pada keterangan yang
terdapat dalam teks-teks sastra Persia dan Arab. Walaupun diberi
kemasan budaya lokal.
Di kepulauan
Melayu sendiri, hikayat berkenaan dengan keasyihan Husein dan
peperangan antara Muhammad Ali Hanafiyah dan Yazid, tidak kurang
menonjol peranan dan pengaruhnya. Sumber sejarah Melayu yang awal,
yaitu Hikayat Raja-raja Pasai (akhir abad ke-14 M) dan Sejarah Melayu
(abad ke-16 M), menunjukkan bukti bahwa epos-epos Persia dan Arab itu
telah memeberikan pengaruh kuat terhadap perkembangan kesusastraan
Melayu sejak awal abad ke-14 M. Deskripsi tentang peperangan dalam
Hikayat Raja-raja Pasai, misalnya episode peperangan pasukan Tun
Berahim Bapa dengan gerombolan orang Keling yang ingin membuat
kekacauan di Pasai, sangat mirip dengan deskripsi yang terdapat dalam
Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah (Hill 1960).
Sumber-sumber
Melayu juga menjelaskan bahwa sudah lazim orang Islam mengadakan
majlis-majlis pembacaan sastra. Jenis sastra paling disukai dan kerap
dibaca dalam majlis-majlis seperti itu ialah Suluk (syair tasawuf),
roman (kisah petualangan campur percintaan), dan hikayat perang atau
epos. Khusus mengenai populernya Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah
dijelaskan dalam Sejarah Melayu. Yaitu dalam episode yang mengisahkan
perang yang meletus antara Malaka dan pasukan Portugis yang menyerang
untuk menguasai Malaka. Di situ dipaparkan bahwa pada malam hari ketika
perajurit-perajurit Malaka sedang istirahat di kapal perang, mereka
meminta dibacakan sebuah hikayat perang agar untuk memelihara semangat.
Hikayat yang dipilih untuk dibaca ialah Hikayat Muhammad ali
Hanafiyah. Ini tidak mengherankan karena hikayat ini penting dalam
berbagai aspeknya termasuk aspek isi, emosi, nilai kebudayaan, dan
sosiopolitiknya (Winstedt 1970; Ali Ahmad 1996).
Hasil-hasil
penelitian yang mendalam berkenaan dengan perkembangan sastra
Indonesia klasik memperlihatkan pula bahwa tidak sedikit
hikayat-hikayat lokal dalam sastra Aceh, Jawa, Madura, Bugis, Makassar,
Minangkabau, Sasak, Sunda, Banjar, dan lain-lain dilhami oleh hadirnya
epos-epos Islam seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sayidina Husein,
Hikayat Iskandar Zulkarnaen, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Contoh
yang paling cemerlang ialah Hikayat Hang Tuah dalam sastra Melayu, dan
Hikayat Prang Geudong di Aceh yang memaparkan perjuangan Sultan
Iskandar Muda, antara lain mengusir angkatan laut Portugis yang ingin
menguasai Selat Malaka pada awal abad ke-17 M. Juga memerangi raja
Melayu yang bersekutu dengan kaum kolonial untuk menghancurkan Aceh
Darussalam sebagai kesultanan Islam terbesar di Asia Tenggara ketika
itu (Abdul Hadi W.M 2001).
Tetapi
momentum yang membuat membuat epos Islam semakin memperlihatkan
relevansi dan kebermaknaannya ialah pada abad ke-17 – 19 M, masa-masa
maraknya perang anti kolonial yang dimulai dengan Perang Ternate pada
awal abad ke-17 M sampai perang Perang Aceh yang berlangsung begitu
lama pada akhir abad ke-19 M. Pemimpin peperangan ini sebagian besar
adalah tokoh Islam, seperti pangeran, kapitan, guru tariqat sufi, raja,
ulama, dan lain sebagainya. Pada umumnya tokoh-tokoh tersebut adalah
pembaca karya sastra yang sangat menyukai epos. Contoh terbaik ialah
Pangeran Trunojoyo, pemimpin perang melawan VOC dan sekutunya Mataram
pada akhir abad ke-17 M. Dan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa
(1825-1830) . Pada malam hari, seraya mempersiapkan diri untuk maju ke
medan perang esok harinya, kedua tokoh itu sering membacakan epos
Islam masyhur untuk komandan perang dan pembantu dekatnya. Kitab-kitab
hikayat itu selalu dibawa setiap kali berpindah tempat (Ricklefs 1982).
Selama
Perang Aceh berlangsung hampir empat dekade pada akhir abad ke-19 M,
majlis-majlis pembacaan epos selalu berlangsung pada malam hari.
Diilhami epos-epos yang telah ada, seorang penyair Aceh akhir abad
ke-19 M Cik Pante Kulu menulis hikayat terkenal yaitu Hikayat Perang
Sabil. Pembacaan hikayat ini oleh sang penyair, dan juga hikayat perang
lainnya, mampu memulihkan semangat juang perajurit Aceh yang mulai
melemah pada akhir abad ke-19 M. Paparan dalam Hikayat Soydina Usin
sendiri di Aceh bukan saja dijadikan dasar penyelenggaraan Hari Asan
Usin atau Hari Asura, tetapi juga mengilhami bentuk tari yang heroik
dan masyhur Seudati. Tepukan dada berulang-ulang yang dilakukan penari
Seudati dapat dirujuk pada deskripsi dalam Hikayat Sayidina Husein,
yaitu episode takziyah, ketika Syahrbanum dan sanak saudaranya menangis
dan menepuk-nepuk dada begitu mendengar Sayidina Husein gugur di
padang Kerbela dengan tangan terpotong, tubuh berlumur darah dan kepala
terpisah dari badan.
Ali Ahmad dan Siti Hajar Che Man(1996). Bunga Rampai Sastera Melayu Warisan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdul Hadi W. M. (2001). Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Braginsky, Vladimir (2004). The Heritage of Traditional Malay Literature: A Historical Survey of Genres, Writings, and Literary Views. Leiden: KITLV.
Brakel, L. F. (1969-1970). “Persian Influence on Malay Literature”. Dalam Abr-Nahrain. Jilid 9:9. Hal. 407-426.
Brakel L. F. (1975). The Hikayat Muhammad Hanafiyyah: A Medieval Muslim-Malay Romance. The Hague: Martinus Nijhoff.
Browne, Edward G. A. (1976). A Literary History of Persia. 4 vols. Cambridge: Cambridge University Press.
Drewes, G. W. J. (1968). “Javanese Poems dealing with or Attributed to the Saint of Bonang”. BKI deel 124.
Edwar Djamaris (1990). Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.
Hill, A (1960). Hikayat Raja-raja Pasai: A Revised Romanized Version with an English Translation. Kuala Lumpur: JMBRAS 33, 2:1-215.
Ibrahim Alfian (1999). Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Ismail Hamid (1983). Kesusasteraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam Petaling Jaya: Fajar Bakti Sdn Bhd.
Jansen, G. H. (1983). Islam Militan. Terj. Armahedi Mazhar. Bandung: Pustaka.
Pigeaud, T. H. (1967). Literatures of Java. Vol. I. Leiden: Martinus Nijhoff.
Ricklefs, M. C. (1983). A History of Modern Indonesia since c. 1300. London: Macmillan.
Winstedt, R. O. (1961). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Wolters, O. W. (1970). The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca New York: Cornell University Press.
http://yasirmaster.blogspot.com/2011/11/kesyahidan-imam-hussein-dalam-hikayat.html