Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Rabu, 06 Juli 2011

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan --- Argumen Pengalaman Keagamaan [11]

Mukadimah
Keyakinan dan kepercayaan akan keberadaan Tuhan, merupakan pondasi dan asas yang paling penting bagi seluruh agama. Aturan keagamaan inilah yang melandasi segala aktifitas dan perilaku manusia yang beragama pada seluruh dimensi kehidupannya. Jadi, ada hubungan yang sangat erat antara kesempurnaan perbuatan insan dan kepercayaan akan eksistensi Tuhan. Semakin tinggi kepercayaan kepada Tuhan, semakin intens pula hubungan ia kepada-Nya, dan semakin sempurna pengamalan atas ajaran-ajaran agama.

Pengetahuan yang pasti akan wujud Tuhan, meniscayakan pengetahuan sempurna akan sifat-sifat-Nya. Salah satu sifat Tuhan adalah Maha Mengetahui. Jadi, apabila manusia yakin akan wujud Tuhan -yang merupakan Sebab Pertama dalam hadirnya segala eksistensi yang bergradasi dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah- maka konsekuensinya, iapun akan sadar bahwa yang paling mengetahui akan keberadaan dirinya, sifat-sifatnya dan kebutuhan substansialnya adalah Tuhan Sang Pencipta (al-Khâliq).

Jadi agama, yang merupakan pedoman hakiki bagi manusia dalam meraih kesempurnaan pengetahuan dan penghambaan kepada-Nya, -lewat perintah dan larangan-Nya- akan sangat bermanfaat bagi manusia jika sebelumnya telah mengkaji dan membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Kesadaran rasional adalah kesadaran yang paling tinggi dan hakiki bagi manusia[1] yang tidak bisa dilepaskan dari wujudnya. Jadi, manusia yang paling rasional dan berakal adalah manusia yang paling yakin akan keberadaan Tuhan.



Ke-badihi-an wujud Tuhan

Dalam pembuktian wujud Tuhan, sebagian menyatakan bahwa wujud Tuhan adalah sesuatu yang badihi[2], dan bahkan lebih terang dari segala sesuatu yang lain. Oleh karena itu, penetapan wujud Tuhan sama sekali tidak memerlukan penjelas dan argumen apapun. Dia mendahului segala sesuatu. Dia ada sebelum ada segala sesuatu. Dialah yang mengadakan segala sesutu. Segala sesuatu bergantung mutlak kepada-Nya. Ketiadaan selain-Nya tidak melazimkan ketiadaan-Nya. Tetapi ketiadaan-Nya, meniscayakan ketiadaan segala sesuatu. Dialah yang menjelaskan segala sesuatu. Bukan segala sesuatu yang menerangkan Dia. Segala sesuatu dikenal karena-Nya. Bukan karena selain-Nya Dia diketahui.

Sebagian besar filosof dan teolog (ahli kalam) menyatakan bahwa wujud Tuhan tidak badihi dan membutuhkan argumen dan burhan. Mereka ini kemudian membagi argumen menjadi dua bagian:

1. Burhan Inni (a priori argument)[3]

2. Burhan Limmi (a posteriori argument)[4]

Sebagian lagi membagi metode pembuktian Tuhan kedalam tiga bagian:

1. Metode Fitrah atau kalbu[5]

2. Metode Empiris[6]

3. Metode Filosofis[7]

Para ilmuwan dewasa ini menawarkan beragam cara dalam mengkaji dan membuktikan keberadaan Tuhan. Misalnya argumen mukjizat (supra-natural argument), argumen akhlak (moral argument) dan argumen pengalaman keagamaan (religious experience argument).

Pada kesempatan ini, kami akan mengkaji argumen pengalaman keagamaan sebagai tawaran baru dalam metode pembuktian wujud Tuhan.

Konsep tentang pengalaman keagamaan ini lahir di akhir abad 18 dan digagas oleh seorang filosof Jerman bernama Schlieirmacher (1768-1834). Lahirnya gagasan ini dilatari oleh dua hal:

1. Humanisme

2. Rasionalisme


Rasionalitas agama

Rasionalisme ekstrim ditolak oleh banyak ilmuwan setelah Descartes, terutama oleh David Hume yang menolak argumen-argumen filosofis tentang pembuktian wujud Tuhan. Kant juga beranggapan bahwa agama tidak sesuai dengan rasionalitas. Dan segala prinsip-prinsip agama tidak bisa ditetapkan dan didekati lewat akal (akal teoritis). Kant mengusulkan agama didekati lewat pendekatan moral, dan menetapkan wujud Tuhan praktis dengan moral dan akhlak, bukan dengan asumsi rasionalitas. Lebih jauh dia menyatakan bahwa hakikat agama adalah akhlak itu sendiri.

Keringnya rasionalitas ekstrim, menyebabkan lahirnya filsafat mazhab Romantisme yang mengedepankan perasaan, emosi dan cinta. Pada kondisi ini Schlieirmacher dari satu sisi mendukung rasionalisme ekstrim, dan dari sisi lain mengecam pendekatan akhlak dalam pembuktian realitas Tuhan. Dia berkata bahwa agama mendapatkan tempatnya lewat ketulusan, emosi dan cinta. Hakikat agama adalah perasaan tulus, ikhlas, emosi dan cinta yang tak terbatas, serta kebergantungan mutlak lewat intensitas pengamalan-pengamalan keagamaan. Jadi, agama dalam defenisi ini menjadi sangat personal dan relative. Agama tidak ikut campur dalam masalah-masalah sosial, budaya dan politik. Agama menjadi sangat marginal.


Defenisi pengalaman keagamaan

Pengalaman keagamaan dapat didefenisiskan sebagai berikut: Penyaksian Tuhan atau perkara-perkara gaib lainnya. Jika penyaksian itu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat inderawi, maka hal tersebut disebut dengan pengalaman inderawi. Tetapi jika penyaksian tersebut berhubungan dengan Tuhan atau hal-hal yang berasal dari-Nya, maka disebut pengalaman keagamaan
[8]. Dalam pengalaman keagamaan, Tuhan memanifestasikan diri-Nya sendiri dalam wujud para pesuluk (orang yang meniti jalan ruhani). Terkadang pengalaman keagamaan juga meliputi terkabulnya doa dan penyembuhan penyakit. Tetapi dalam kerangka pembahasan filosofis, pengalaman keagamaan dibatasi oleh pengalaman-pengalaman yang mengandung pengetahuan tentang Tuhan.

Rudolf Otto dan Schleiermacher beranggapan bahwa pengalaman keagamaan adalah inti dan substansi agama, pemikiran agama dan akhlak lebih bersifat aksiden. Dalam pandangan Otto, jika agama dipahami dan diyakini berdasarkan pengenalan rasionalitas atas wujud dan sifat-sifat Tuhan, maka akan terdapat kesalahan dalam pemahaman agama.
[9]

Pengalaman keagamaan adalah substansi agama dengan makna bahwa hakikat agama adalah perasaan khas yang lahir ketika berhadapan dengan hakikat tak terbatas. Hal-hal lain, seperti pemikiran agama, amal perbuatan dan akhlak tidak termasuk dalam hakikat dan inti agama. Oleh karena itu, jika keadaan perasaan tersebut hadir pada diri seseorang, maka dia disebut memiliki agama. Tetapi jika sebaliknya, maka dia tidak dikategorikan sebagai orang yang beragama. Apabila perasaan tersebut semakin sempurna, maka agama pun semakin sempurna. Agama dan perasaan berbanding lurus.

Pengalaman keagamaan adalah inti dan substansi agama dengan tafsiran bahwa ia merupakan tujuan dan maksud hakiki agama. Ibn 'Arabi menerima pengalaman keagamaan sebagai substansi agama dalam pengertian tersebut. Menurut dia, syariat adalah jalan yang mengantarkan pesuluk mencapai penyaksian (syuhudi) dan penyatuan dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Tingkatan inilah yang dimaksud tujuan dan kesempurnaan agama. Jadi, kesempurnaan agama seseorang bergantung pada kemanunggalannya dengan nama dan sifat Tuhan. Semakin banyak dia menyerap nama dan sifat Tuhan, semakin sempurna agamanya.


Bentuk-bentuk pengalaman keagamaan


1. Pengalaman interpretatif

Yang dimaksud dengan pengalaman interpretative (interpretative experiences) adalah warna pengalaman agama ini bukan disebabkan oleh kekhususan-kekhususan pengalaman itu sendiri, tetapi ditentukan oleh penafsirannya atas agama.

Jadi, pelaku yang meraih pengalaman keagamaan, memandang pengalamannya sendiri berdasarkan suatu penafsirannya atas agama. Seperti seorang muslim yang memandang kematian anaknya sebagai balasan atas dosanya sendiri, atau seorang penganut Kristen menafsirkan kematian anaknya sebagai ikut serta dalam penderitaan Isa As. Jadi, mereka bersabar dalam musibah tersebut dan menghasilkan ekspresi kejiwaan dalam bentuk kesedihan, kenikmatan atau kebahagiaan.

Poin penting dalam masalah ini adalah dengan bantuan penafsiran, maka semua hal yang terjadi dalam kehidupan dapat diwarnai dengan warna keagamaan, lantas diamalkan dan dihayati. Sisi epistemologi dalam pengalaman ini bukanlah hal yang dipentingkan. [10]


2. Pengalaman inderawi

Pengalaman inderawi (sensory experience) adalah pengalaman yang bersifat penginderaan yang dipengaruhi oleh lima panca indera. Penglihatan-penglihatan yang bersifat keagamaan, perasaan menderita ketika melakukan pengamalan keagamaan, melihat malaikat, mendengar wahyu dan percakapan Musa as dengan Tuhan, kesemuanya itu dikategorikan dalam pengalaman inderawi. [11]


3. Pengalaman wahyu

Pengalaman ini meliputi wahyu, ilham dan bashirah yang seketika. Pengalaman wahyu (revelatory experience) yang bersifat seketika, tanpa penungguan sebelumnya, hadir dalam diri pesuluk. Dan warna keagamaan pengalaman ini berkaitan dengan isi dan makna dari wahyu tersebut. Menurut Davis, pengalaman ini memiliki lima kriteria:

a. Bersifat tiba-tiba dan waktunya yang singkat

b. Meraih pengetahuan baru tanpa tafakkur dan argumen

c. Berpengaruhnya faktor eksternal

d. Keyakinan akan kebenaran yang diperoleh

e. Tidak dapat dijelaskan dan digambarkan[12]


4. Pengalaman pembaharuan

Pengalaman ini merupakan bentuk pengalaman keagamaan yang paling umum. Pengalaman pembaharuan (regenerative experiences) ini adalah pengalaman yang menjadikan keimanan pelaku semakin bertambah sempurna. Pengalaman ini merubah secara drastis keadaan jiwa dan akhlak pelaku. Seseorang akan merasa bahwa Tuhan sedang mengarahkan dirinya kepada hakikat kebenaran. [13]


5. Pengalaman mistik

Pengalaman mistik (mystical experience) merupakan salah satu bentuk pengalaman keagamaan yang paling penting. Rudolf Otto dalam karyanya
[14], membagi pengalaman mistik menjadi dua bagian:

1. Pengalaman yang berhubungan dengan sisi internal jiwa. Pada dimensi ini pesuluk memperhatikan ke dalam diri dan tenggelam dalam lautan kejiwaannya, serta berupaya menyelam ke dasar jiwa untuk meraih kekuatan suci. Seorang pesuluk, berupaya jauh dari pengaruh indera lahiriah dan lebih memperhatikan sisi-sisi batin. Hal ini dicapai dengan pemusatan konsentrasi pada satu perkara. Ketika dia berhasil meraih kesempurnaan konsentrasi, tahap selanjutnya adalah menghilangkan semua rasa dan menghapus semua gambaran inderawi dan gambaran pikiran hingga mencapai “kekosongan” dan “ketiadaan” yang sempurna. Menurut para arif, pesuluk yang sampai pada tingkatan ini, akan meraih pengetahuan sejati dan suci. Dapat dikatakan bahwa arif dalam pengalaman ini, lepas dari perasaan ego dan menyatu dengan ego suci.

2. Pengalaman yang berkaitan dengan penyaksian kesatuan wujud. Sisi ini memiliki tiga tingkatan:

Tingkatan pertama adalah arif mengetahui adanya kesatuan alam. Fenomena-fenomena alam menjadi satu kesatuan dengan diri arif.

Tingkatan kedua, bukan hanya alam tapi juga ada kekuatan supra natural yang mempengaruhinya. Arif melihat kesatuan lewat kejamakan alam.

Tingkatan ketiga, alam menjadi “tiada” dalam pandangan arif, dia memandang kesatuan tanpa kejamakan alam. Yang ada hanyalah kesatuan itu sendiri.[15]


Titik kesamaan pengalaman keagamaan

Dengan memperhatikan bentuk-bentuk pengalaman keagamaan di atas akan muncul pertanyaan bahwa apakah bentuk-bentuk tersebut memiliki titik kesamaan?

Masalah ini menjadi sangat penting ketika pengalaman keagamaan itu diartikan sebagai: Pertama: Hakikat dan prinsip yang paten dalam agama yang mendasari semua perkara yang bersifat keyakinan, amal perbuatan dan akhlak Kedua: Cara meraih pengetahuan dan mengenal hakikat.

Pengalaman-pengalaman keagamaan tersebut akan bermamfaat jika menghasilkan pangetahuan yang sama, walaupun dengan derajatnya yang berbeda. Apabila hal ini tidak terjadi, maka setiap pengetahuan yang dihasilkan dari satu bentuk pengalaman keagamaan -bisa jadi- akan bertentangan satu dengan yang lainnya, dan berujung pada ketidakabsahannya sebagai parameter dalam kebenaran pengetahuan.

Wiliam James [16] menawarkan empat titik kesamaan dalam pengalaman-pengalaman keagamaan :

1. Tidak bisa disifatkan, dijelaskan dan digambarkan

2. Memberikan pengetahuan

3. Cepat berlangsung

4. Bersifat reaktif[17]


Kriteria pengalaman keagamaan

Pesuluk dalam pengalaman keagamaan, berhubungan langsung (hudhuri) atau dengan perantara (hushuli) dengan hakikat dan wujud tak terbatas. Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam wujud pesuluk hingga dia meraih pengetahuan sejati.

a. Pengalaman keagamaan para nabi, jika dalam bentuk ilmu hudhuri, sama dengan pengalaman mistik; Pesuluk membutuhkan manifestasi Tuhan dalam membangun hubungan hudhurinya dengan Tuhan dan juga dalam menafsirkan pengalaman hudhuri-nya. Oleh karena itu, hakikat-hakikat agama yang lahir dalam bentuk ilmu hushuli, juga disebut wahyu yang datangnya dari Tuhan yang terpancar lewat wujud pesuluk.

b. Kriteria-kriteria pribadi dan faktor-faktor alami serta kondisi kejiwaan pesuluk, bukanlah faktor yang berpengaruh atas hadirnya hubungan hushuli atau hudhuri dengan Tuhan. Sebagaimana pengalaman keagamaan para nabi yang terjaga dari ilham syaitan dan hawa nafsu.

c. Pesuluk, dalam pengalaman keagamaan, mengalami penyingkapan dan penyaksian eksistensi Tuhan serta ber”cengkerama” dengan-Nya. Pengetahuan ontologinya sesuai dengan realitas dan tujuan akhir manusia.

d. Pengalaman keagamaan - seperti wahyu dan ilham – berbeda dengan pengalaman mistik, mengandung pengalaman suci dan transenden. Tetapi pengalaman mistik dipengaruhi oleh pemahaman dan pemikiran teoritis. Misalnya pemikiran Mu’tazilah berpengaruh pada pengalaman mistik Mu’tazilah, demikian juga pemikiran teologis Asy’ari.

e. Pengalaman keagamaan dan mistik, sama seperti pengalaman inderawi dan empiris, yang membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Karenanya, membutuhkan epistemologi ontologis.

f. Pengalaman keagamaan dan mistik bersifat khusus, pasti dan berkelanjutan, jika dibandingkan dengan pengalaman inderawi dan empiris.

g. Pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman keagamaan bersifat luas yang meliputi alam, manusia dan Tuhan.[18]


Pengalaman keagamaan dan eksistensi Tuhan

Bentuk-bentuk argumen pengalaman keagamaan dalam menetapkan eksistensi Tuhan sebagai berikut:

1. Kita berasal dari satu hakikat wujud, kita memiliki pengalaman-pengalaman yang sangat dalam, penuh makna dan sangat berharga. Pengalaman-pengalaman ini tidak bisa ditetapkan dan dihadirkan dengan asumsi-asumsi natural; Karenanya pasti berasal dari satu eksistensi metafisik yaitu Tuhan, Dialah yang memberikan ilham atas pengalaman-pengalaman tersebut.

2. Begitu banyak orang dari tempat dan zaman yang berbeda, mengakui dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman ketuhanannya. Sangat tidak masuk akal jjika kita menyatakan bahwa mereka itu lalai dan tertipu.

3. Pengalaman keagamaan secara esensial, bukanlah monoteistik, trinitas atau panteistik. Semua perbedaan-perbedaan yang ada ini hasil dari penafsiran atas pengalaman keagamaan. Pengalaman keagamaan memiliki sisi yang berharga, karena bertentangan dengan materialisme dan naturalisme.

4. Argumen yang nyata atas wujud Tuhan, diperoleh dari perasaan seseorang akan kehadiran Tuhan dan pengetahuan tentang kehendak-Nya serta perasaan yang sangat tenang dalam menerima perkara-perkara ilahi.[19]

Menurut sebagian besar para teolog, argumen pengalaman keagamaan, bukanlah argumen yang berdiri sendiri dalam menetapkan wujud Tuhan. Argumen ini hanya digunakan sebagi pelengkap atas argumen-argumen lain tentang pembuktian wujud Tuhan. Sebagian kecil teolog seperti C.D Broad, William Alston, berupaya mendukung dan mempertahankan argumen ini. Ada juga yang mengingkari argumen terserbut dalam menetapkan wujud Tuhan.


Argumen pengalaman keagamaan

Beberapa pendahuluan mengenai argumen ini, dapat dipaparkan sebagi berikut:

Pertama: Para arif sepakat tentang adanya esensi spiritual realistis yaitu Tuhan.

Kedua: Adanya kesepakatan para arif dan pesuluk, yang mereka sendiri mengakui dan memproklamirkan pengalaman tersebut, menandakan bahwa pengalaman-pengalaman mereka itu adalah sesuatu yang sah, nyata dan logis.

Ketiga: Tak satupun dalil dan argumentasi yang menetapkan, bahwa pengalaman-pengalaman tersebut adalah bersifat khayal dan tidak realistis. Karenanya, keyakinan akan wujud Tuhan yang diperoleh dari pengalaman keagamaan dan mistik merupakan hal yang sangat logis.[20]


Kritik atas argumen pengalaman keagamaan

Kelemahan dalam pembahasan rasionalitas dan prinsip-prinsip pemikiran filsafat, menyebabkan sebagian teolog kristen salah dalam membangun prinsip-prinsip rasional dalam proses pembuktian wujud Tuhan.

Salah satu argumen yang kehilangan keabsahan filosofisnya adalah argumen pengalaman keagamaan yang bersandar pada pengalaman-pengalaman, pencapaian dan penyaksian realitas yang bersumber dari nilai dan kesucian yang dalam.

Pengetahuan syuhudi atas hakikat eksistensi, walaupun merupakan hal yang mungkin dicapai dalam pandangan akal, tetapi ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan:

Pertama: Syuhud[21] memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda. Pada tingkatan tertentu, yaitu penyaksian hal-hal yang particular, terkadang menghadirkan keraguan dan ketidakyakinan.

Kedua: Syuhudnya para arif bagi orang-orang yang tidak mencapai tingkatan tersebut tidaklah menghasilkan keyakinan. Dan syuhud tersebut juga tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak dan membatalkan kesyuhudan orang lain.[22]

Jadi, seseorang yang tidak dapat meraih pengetahuan syuhudi, bisa menjadikan pengetahuan syuhudi orang lain sebagai sumber pengetahuan dan keyakinan, manakala keberadaan pengetahuan syuhudi tersebut dapat diargumentasikan. Dan argumentasi ini -secara langsung- menetapkan hakikat dan eksistensi yang disyuhud tersebut, seperti argumen yang secara langsung menetapkan eksistensi Tuhan.

Kelemahan lain yang mendasar dari argumen ini adalah adanya ketidakpastian bahwa yang ditetapkan itu adalah wujud Tuhan. Karena bisa saja wujud yang dirasakan kehadirannya itu merupakan wujud-wujud gaib selain Tuhan, seperti malaikat, jin dan syaitan. Jadi argumen ini tidak mampu secara langsung menetapkan keniscayaan dan keesaan wujud Tuhan.[]


Catatan Kaki:

[1] . Kualitas wujud manusia sangat ditentukan oleh kualitas rasio dan akalnya. Semakin tinggi kesadaran rasionalnya, maka semakin luas dan sempurna wujudnya. Penyempurna hakiki wujud manusia adalah ilmu. Dan ilmu yang paling tinggi adalah ilmu ketuhanan. Metode untuk meraih ilmu: dengan pendekatan rasional dan akal. Jadi, tanpa akal, artinya tanpa ilmu. Dan tanpa ilmu, bermakna ketiadaan kesempurnaan manusia.

[2] . Tidak membutuhkan argumen, sesuatu yang jelas dan gamblang.

[3] . Pembuktian rasional dari akibat ke sebab.

[4] . Pembuktian rasional dari sebab ke akibat.

[5] . Dalam diri setiap orang ada perasaan dan kecenderungan yang secara otomatis menarik ia kepada Tuhan.

[6] . Pembuktian Tuhan dengan mengenal keteraturan dan keseimbangan dalam tatanan alam semesta. Lewat pendekatan ini dikatakan bahwa keteraturan ini pastilah memiliki pengatur yang maha mengetahui dan bijak.

[7] . Dengan menggunakan argumen filosofis dan hukum-hukum akal dalam menetapkan wujud Tuhan.

[8] . Ilahiyat Falsafi, hal.269, Mohammad Rezayi.

[9] .Jastarhaye Dar Kalâm Jadid, hal. 175, Ali syirwani.

[10] . Mabani nazari tajrebeye dini, hal.118, Ali syirwani.

[11] . ibid.

[12] . The evidential force of religious experience, hal 39-44, Davis.

[13] . Mabâni Nazari Tajrebey-e Dini, hal. 121, Ali Syirwani.

[14] . The Idea of the Holy, hal 10, Otto.

[15] . Mabâni Nazari Tajrebey-e Dini, hal.122, Ali syirwani.

[16] . The Varieties of Religious Experience, bab 16. James wiliam.

[17] . Pengaruh pengamalan berbagai adab dan tingkatan-tingkatan amal akan menghasilkan keadaan yang khas bagi jiwa dan menghantarkan jiwa pada kesadaran transenden bahwa dia diliputi oleh kehendak dan kekuatan luar yang tak terbatas.

[18] . Kalâm-e Jâdid, hal. 300, Abdul husain khusrupanoh.

[19] . Ilahiyat Falsafi, hal. 270, Muhammad Riza-i.

[20] . The Argument From Religious Experience, In: Philosophy of Religion, hal 15-108, C.D. Broad.

[21] . Penyaksian langsung hakikat-hakikat metafisik.

[22] .. Tabyin Barâhin Itsbat-e Khudâ, hal. 259, Ayatullah Jawadi Amuli
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...