Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Kamis, 11 Juli 2013

Pentingnya Menguji Akurasi Jadwal Imsakiyah

Puasa Ramadhan 1434 H / 2013 M sudah dimulai dimeriahkan dengan kegiatan ibadah yang berbentuk mahdlah (murni) maupun ghairu mahdlah (tidak murni). Tidak hanya keramaian atas masuk di bulan suci itu dengan kegiatan yang bersifat mental maupun jasmani saja, tapi juga diramaikan dengan tersebarnya jadwal imsakiyah di masyarakat.

Jadwal imsakiyah inilah yang nanti di bulan Ramadhan yang memberi informasi kepada masyarakat Islam tentang kapan dimulai berpuasa maupun diperbolehkan berbuka puasa dalam setiap hari sehingga sangat dibutuhkan baik untuk perorangan yang nantinya dipasang di rumah ataupun masjid, mushalla dan langgar yang akan dipasang di tempatnya masing-masing sebagai pedoman mengumandangkan azan dalam setiap waktu sholat, berbuka puasa (memasuki waktu magrib) dan informasi memasuki waktu imsakiyah dalam setiap harinya dalam bulan suci Ramadhan, akan tetapi di bulan suci Ramadhan 1434 H ini, ada kemungkinan perbedaan dalam memulai puasa, ada yang memulai tanggal 09 Juli 2013 atau 10 Juli 2013.


Dalam realitanya, jadwal imsakiyah ini tidak hanya berfungsi utama untuk pedoman menentukan awal dan akhir berpuasa dalam setiap harinya, tapi bisa diambil manfaat ekonomi dalam publikasi produk suatu perusahaan. Dengan mencetak jadwal imsakiyah dan mendistribusikannya dengan sederhana, maka dengan sendirinya publikasi produk akan ikut juga karena biasanya produknya sudah tertuang di sekitar jadwal tersebut. Hal tersebut wajar dan logis akan tetapi perlu juga dipertimbangkan apakah jadwal imsakiyah yang dicetak dan didistribusikan sudah valid dengan daerah dimana jadwal imsakiyah itu diterima oleh masyarakat daerah tersebut dan dapat dibuat pedoman sesuai dengan kriteria pembuatan jadwal imsakiyah tersebut.


Nilai Akurasi Jadwal Imsakiyah
Dalam jadwal imsakiyah biasanya dimulai dengan kolom waktu imsak kemudian dilanjutkan shubuh, terbit, duha, dhuhur, ashar, magrib, isya’. Dengan kolom inilah maka salah satu argumen kenapa jadwal shalat ini dinamakan jadwal imsakiyah, disamping karena salah waktu yang tertera di jadwal itu yang penting adalah waktu imsakiyah dengan maksud untuk persiapan awal waktu menahan makan, minum dan hal-hal yang terkait, serta merupakan waktu yang awal-awal ditemui oleh pelaksana puasa pertama kalinya. Bahkan dalam kolom jadwal imsakiyah ini lebih banyak dibandingkan kolom jadwal shalat harian dengan ditambah kolom waktu imsakiyah, terbit, dhuha untuk memberi informasi ke masyarakat muslim tentang waktu ibadah sunah sekaligus kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah dari sisi waktu sehingga bulan Ramadhan bisa dilaksanakan semaksimal mungkin dan tinggi nilai akurasinya dalam pelaksanakaan ibadah.

Pedoman waktu shalat bermula mengacu pada alam yakni posisi matahari sebagaimana dijelaskan dalam kriteria waktu shalat di penjelasan fiqih, walaupun demikian tidak semudah itu kita mengamati matahari sehingga bisa menentukan awal waktu shalat sesuai syariat. Dengan adanya hal tersebut, maka diadakan penelitian berkaitan posisi matahari yang menunjukkan awal maupun akhir waktu shalat sehingga kewajiban pelaksanaan shalat tetap dijalani walaupun posisi matahari tidak bisa dilihat secara langsung namun bisa ditemukan secara tidak langsung dengan melihat hasil penelitian yang akurat yang akhirnya dituangkan dengan jam yang akurat.

Waktu shalat dalam jadwal imsakiyah tidak banyak dipermasalahkan secara signifikan, hanya beberapa awal waktu shalat yang banyak diperselisihkan dalam penentuannya. Sebagaimana halnya dalam penentuan awal waktu shubuh diperlukan untuk penentuan awal shaum (puasa) dan shalat, karena merupakan waktu awal shaum disebutkan dalam Al-Quran, “… makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS 2:187). Sedangkan tentang awal waktu shubuh disebutkan di dalam hadits dari Abdullah bin Umar, “… dan waktu shalat shubuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit matahari” (HR Muslim).

Yang menjadi pertanyaan fajar apa yang dimaksud dalam hadis tersebut? Karena dalam pemahaman fajar dibagi dua macam, pertama yang melarang makan, tetapi membolehkan shalat, yaitu yang terbit melintang di ufuk. Lainnya, fajar yang melarang shalat (shubuh), tetapi membolehkan makan, yaitu fajar seperti ekor srigala” (HR Hakim). Dalam fiqih kita mengenalnya sebagai fajar shadiq (benar) dan fajar kidzib (palsu).

Maka perlu penjelasan fenomena sesungguhnya fajar kidzib dan fajar shadiq dan ada batasan kuantitatif yang dapat digunakan dalam formulasi perhitungan untuk diterjemahkan dalam rumus atau algoritma program komputer. Fajar kidzib memang bukan fajar dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut cahaya zodiak. Cahaya zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari). Oleh karenanya fajar kidzib tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika. Fajar kidzib muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap.

Sedang fajar shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan “terang bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam bermakna tidak ada cahaya yang dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari matahari dan penghamburnya adalah udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk (horizon, kaki langit). Itu pertanda akhir malam, menjelang matahari terbit. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin terang fajar shadiq. Jadi, batasan yang bisa digunakan adalah jarak matahari di bawah ufuk.

Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12 derajat di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6 derajat. Sehingga fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap. Kalau demikian, fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam.

Waktu shalat dalam jadwal imsakiyah yang banyak diperselisihkan yang lain yakni awal waktu maghrib karena adakalanya tidak mempertimbangkan ketinggian tempat dimana pelaku puasa berada dan adakalanya mempertimbangkannya. Hal tersebut yang biasanya membedakan hasil perhitungan jadwal imsakiyah yang tersebar di masyarakat.


Perlu Ikhtiyat dalam Memilih Jadwal Imsakiyah

Berkaitan dengan perbedaan yang terjadi dalam proses perhitungan atau pembuatan jadwal imsakiyah, tentunya jangan hanya melihat jadwal imsakiyah yang lebih dahulu dalam awal waktu maghrib dan awal waktu imsak yang terakhir serta tampilan cover jadwal imsakiyah, tapi melihat akurasi jadwal imsakiyah itu yang sesuai dengan daerah dan pedoman syariah.

Untuk menentukan akurasi jadwal imsakiyah bisa dilihat secara sederhana karena kalau dilihat secara mendetail dan terperinci sangatlah sulit. Ada beberapa faktor yang dapat dilihat antara lain: pertama, jadwal imsakiyah menggunakan lintang dan bujur sesuai dengan tempat penyebaran jadwal tersebut yang biasanya menggunakan alat GPS. Kedua, mempertimbangkan tinggi tempat yang biasanya menggunakan altimeter sebagai dasar penentuan awal waktu maghrib maupun terbit, Ketiga, mempertimbangkan ikhtiyat (hati-hati dalam menentukan waktu shalat) karena faktor ini merupakan pertimbangan yang sangat diperhatikan dalam menentukan dalam setiap awal waktu shalat maupun yang lain, dan faktor-faktor lain.

Harapan penulis terhadap masyarakat dalam menggunakan jadwal imsakiyah menggunakan jadwal yang telah mempertimbangkan beberapa faktor di atas agar nilai akurasinya sangat baik. Namun tidak semuanya bisa meneliti jadwal tersebut dari beberapa faktor di atas, untuk penggunaan yang sederhana bisa menggunakan jadwal imsakiyah yang dikeluarkan badan hisab rukyat daerah (BHRD), ormas, perguruan tinggi, atau pesantren yang bisa dipercaya keakurasiannya.

M Agus Yusrun Nafi’, S.Ag, M.Si Ketua Lajnah Falakiyah NU Kudus dan� Pengasuh Pondok Pesantren Sirojul Hannan Jekulo, Kudus, Jawa Tengah
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...