Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Sabtu, 27 Juli 2013

Misi Wahabi Dibalik Tayangan “Hadits-Hadits Palsu” di RCTI

Seharusnya seluruh tayangan di televisi harus bersifat mendidik serta memberi pencerahan kepada pemirsanya. Selain dua faktor di atas, konten tayangan pun harus bersifat objektif dan jauh dari kesan subjektif dan memojokkan salah satu kelompok/pihak. Terlebih bila itu tayangan yang berbau agama layaknya ‘Khazanah Tran7 dan khususnya Hadist-Hadist Palsu’ yang ditayangkan setiap hari selama bulan Ramadhan 1434 H di RCTI.


Selama ini hampir tak ada masalah dengan tayangan tersebut. Di tengah kekeringan umat akan tayangan agama yang bersifat mendidik dan juga menghibur, “Khazanah Tran7 atau Hadist-Hadist Palsu” datang menyapa umat dan memberikan pencerahan pada umat islam.

Namun menyimak tayangan RCTI bertajuk “Hadist-hadist palsu”, kalau tidak salah ingat pada hari ke-6 puasa kesan mendidik dan memberikan pencerahan terhadap umat menjadi hilang seketika. Alih-alih objektif tayangan “Hadist-Hadist Palsu” dengan judul tersebut justru terkesan melemahkan semangat umat islam dalam beribadah dan beramal shalih.

Hadist-hadist palsu merupakan tayangan dan program RCTI yang katanya mengungkap hadist-hadist lemah dan palsu yang tersebar dan populer di masyarakat, namun betulkah demikian realitasnya ?

Dalam judul program diatas jelas “Hadits-Hadits Palsu” (Maudhu’), tapi kenapa memasukkan di dalam tayangannya tentang hadits dho’if (Lemah). Padahal beda atara Dho’if dan Maudhu’ (lemah dan palsu).

Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dho’if banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.

Hadits Maudhu’: adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.

Kata Dho’if di ambil dari kata dhu’fu atau dha’fu (Lemah) yang merupakan isim sifat dhifa yang berarti lawan dari kata (quwwah)kuat. Secara terminology hadist dhoif yaitu hadist yang tidak memiliki shifat “hasan” dah jauh dari “shahih”. Secara spesifik Hadis Dhaif adalah Setiap hadis yang tidak terhimpun padanya semua syarat hadis sahhih dan tidak pula semua syarat hadis Hassan. (Al-manhal ar-Rawiy (ms/38);Muqadimatu Ibni Ash-Shalah (ms/20); Irsyad Thullab Al-Haqaiq (1/153)

Pendapat Tentang Hadist Dho’if :
1. Syeikh Al-Qasimi : Refrensi dari kitab ’Uyun al-athar dan Fathul Mughis, di dalam kitabnya beliau berkata “Diceritakan oleh Ibnu Sayyid al-Nas didalam kitab ’Uyun al-athar dari Yahya Bin Mu’in dan dinisbahkan pula didalam karya Abi Bakr Ibni Arabi “Secara zahirnya sesungguhnya mazhab al-bukhari, Muslim mengatakan : “Tidak boleh beramal dengan mengunakan hadis Dha’if’’.
2. Syeikh Ali al-Qari : kitab Al-Maraqah jilid 2 ms/381, didalam kitab Al-Maraqah jilid 2 ms/381. Beliau berkata : “Sesungguhnya hadis Dhaif ini “boleh” diamalkan didalam perkara-perkara yang tergolong dalam amalan-amalan tambahan(fadail amal),dan sesungguhnya perkara itu merupakan hasil ijmak ulama yang sebagaimana telah dikatakan oleh Imam nawawi.Namun,yang dimaksudkan itu (fadhail a’mal) disini adalah amalan-amalan yang sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ’’
3. Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: “Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya.”
4. Ibnu Hajar Al Asqalany: ” Membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla’ilul amal dalam 3 syarat, yaitu:
a. Syarat yang pertama : Hadits dhoif itu tidak dilebih-lebihkan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla’ilul amal.
b. Syarat yang kedua : Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
c. Syarat yang ketiga : Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
5. Pendapat Imam An-Nawawi Di-Syarah Arbain : Jumhur Ulama telah sepakat membolehkan mengamalkan Hadits Dhaif Untuk Keutamaan-Keutamaan Amal(fadhailul-A’mal)
Untuk mengkritisi kenapa tayangan “Hadits-Hadits Palsu” RCTI itu tidak obyektif salah satu buktinya adalah ketika narator menjelaskan tentang, “Beramallah untuk duniamu seolah-olah Anda akan hidup selama-lamanya! Dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah Anda akan meninggal dunia esok hari!” itu adalah sebuah maqolah dan bukan hadits.
Padahal salah satu ulama kondang WAHABI membahas tentang hadits dimaksud dengan menyatakan DHO’IF (lemah) bukan MAUDHU’ (palsu), sebagaimana penjelasan albani berikut ini:

” اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا , و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا ” .
قال الألباني في سلسلة الأحاديث الضعيفة ( 1 / 63 ) : لا أصل له مرفوعا . و إن اشتهر على الألسنة في الأزمنة المتأخرة حتى إن الشيخ عبد الكريم العامري الغزي لم يورده في كتابه ” الجد الحثيث في بيان ما ليس بحديث ” .
و قد وجدت له أصلا موقوفا , رواه ابن قتيبة في ” غريب الحديث ” ( 1 / 46 / 2 )
حدثني السجستاني حدثنا الأصمعي عن حماد بن سلمة عن عبيد الله بن العيزار عن ‏عبد الله بن عمرو‏أنه قال : فذكره موقوفا عليه إلا أنه قال : ” احرث لدنياك ” إلخ . و عبيد الله بن العيزار لم أجد من ترجمه .
ثم وقفت عليها في “‏تاريخ البخاري ” ( 3 / 394 ) و ” الجرح و التعديل ” ( 2 / 2
/ 330 ) بدلالة بعض أفاضل المكيين نقلا عن تعليق للعلامة الشيخ عبد الرحمن
المعلمي اليماني رحمه الله تعالى و فيها يتبين أن الرجل وثقه يحيي بن سعيد القطان و أنه يروي عن الحسن البصري و غيره من التابعين فالإسناد منقطع .
و يؤكده أنني رأيت الحديث في ” زوائد مسند الحارث ” للهيثمي ( ق 130 / 2 ) من طريق أخرى عن ابن العيزار قال : لقيت شيخا بالرمل من الأعراب كبيرا فقلت : لقيت أحدا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ? فقال : نعم , فقلت : من ? فقال : عبد الله بن عمرو بن العاص ….
ثم رأيت ابن حبان قد أورده في ” ثقات أتباع التابعين ” ( 7 / 148 ) . و رواه ابن المبارك في ” الزهد ” من طريق آخر فقال ( 218 / 2 ) : أنبأنا محمد ابن عجلان عبد الله بن عمرو بن العاص قال : فذكره موقوفا , و هذا منقطع و قد روي مرفوعا , أخرجه البيهقي في سننه ( 3 / 19 ) من طريق أبي صالح حدثنا الليث عن ابن عجلان عن مولى لعمر بن عبد العزيز عن عبد الله بن عمرو بن العاص عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال : فذكره في تمام حديث أوله : ” إن هذا الدين متين فأوغل فيه برفق , و لا تبغض إلى نفسك عبادة ربك , فإن المنبت لا سفرا قطع و لا ظهرا أبقى , فاعمل عمل امريء يظن أن لن يموت أبدا , و احذر حذر ( امريء ) يخشى أن يموت غدا ” .
و هذا سند ضعيف و له علتان جهالة مولى عمر بن عبد العزيز و ضعف أبي صالح و هو عبد الله بن صالح كاتب الليث كما تقدم في الحديث ( 6 ) . ثم إن هذا السياق ليس نصا في أن العمل المذكور فيه هو العمل للدنيا , بل الظاهر منه أنه يعني العمل للآخرة , و الغرض منه الحض على الاستمرار برفق في العمل الصالح و عدم الانقطاع عنه , فهو كقوله صلى الله عليه وسلم : ” أحب الأعمال إلى الله أدومها و إن قل ” متفق عليه والله أعلم .
هذا و النصف الأول من حديث ابن عمرو رواه البزار [ 1 / 57 / 74 ـ كشف الأستار] من حديث جابر , قال الهيثمي في ” مجمع الزوائد ” ( 1 / 62 ) : و فيه يحيى بن المتوكل أبو عقيل و هو كذاب . قلت : و من طريقه رواه أبو الشيخ ابن حيان في كتابه ” الأمثال ” ( رقم 229 ) .
لكن يغني عنه قوله صلى الله عليه وسلم : ” إن هذا الدين يسر , و لن يشاد هذا الدين أحد إلا غلبه , فسددوا و قاربوا و أبشروا … ” أخرجه البخاري في صحيحه من حديث أبي هريرة مرفوعا.
_________________________________________
 
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
“Beramallah untuk duniamu seolah-olah Anda akan hidup selama-lamanya! Dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah Anda akan meninggal dunia esok hari!”

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata dalam kitabnya “Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah” jilid pertama halaman 63-65, hadits nomor 8 :
Riwayat Hadits ini secara marfu’ tidak ada asal-usulnya, walaupun hadits ini sangat terkenal di kalangan kaum muslimin terlebih pada zaman terakhir saat ini, sampai-sampai Syaikh Abdul Karim al-Amiri al-Ghazzi tidak mencantumkan hadits ini dalam kitabnya“al-Jadd al-Hatsits fii Bayaani Maa Laisa Bihadits”.

Saya telah menemukan asal hadits ini secara mauquf. Ibnu Qutaibah meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya “Gharibul Hadits” (1/46/2) : “as-Sijistani telah menceritakan sebuah hadits kepadaku, al-Asmu’i telah menceritakan sebuah hadits kepada kami, dari Hammad bin Salamah dari Ubaidillah bin al-‘Iizar dari Abdullah bin ‘Amru, sesungguhnya ia telah berkata : ..(kemudian ia menyebutkan hadits ini secara mauquf sampai kepada Abdullah bin ‘Amru, hanya saja lafadz hadits ini berbunyi, “Tanamlah untuk duniamu…..hingga akhir hadits.)

Adapun Ubaidillah bin al-‘Iizar, maka saya belum mendapatkan biografinya.

Kemudian saya mendapatkan biografinya dalam kitab “Tarikh al-Bukhari” (3/394) dan dalam kitab “al-Jarh wat Ta’dil” (2/330) atas petunjuk beberapa orang ahli ilmu yang tinggal di Mekkah. Mereka menukil komentar al-‘Allamah Syaikh Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani rahimahullah. Ternyata orang ini (Ubaidillah bin al-‘Iizar) dianggap tsiqah oleh Yahya bin Said al-Qaththan, dan ia meriwayatkan hadits dari al-Hasan al-Bashri dan ulama lainnya dari kalangan tabi’in. Dengan demikian maka sanad hadits ini munqathi’ (terputus).

Hal ini diperkuat lagi ketika saya menemukan hadits ini dalam kitab “Zawaid Musnad al-Harits” karya al-Haitsami (Qaf 130/2) dari jalur sanad yang lain dari Ahmad Ubaidillah Zenh) bin al-‘Iizar, ia berkata, “Saya pernah bertemu dengan seorang syaikh yang sudah tua dari kalangan orang arab badui di suatu tempat yang bernama ar-Raml. Aku bertanya kepadanya, “Apakah Anda pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Siapa?” Ia menjawab, “Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash…”

Kemudian saya mendapati bahwa Ibnu Hibban telah menyebutkan nama Ubaidillah bin al-‘Iizar dalam kelompok “Tsiqat Atba’ut Tabi’in” (7/148).

Ibnul Mubarak juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab “az-Zuhd” dari jalur sanad yang lain. Beliau (Ibnul Mubarak) berkata (2/218), “Muhammad bin ‘Ajlan telah mengabarkan kepada kami bahwa Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash berkata, “….(kemudian beliau menyebutkan hadits ini secara mauquf). Maka sanad hadits ini pun munqathi’ (terputus).

Hadits ini juga diriwayatkan secara marfu. Al-Baihaqi mentakhrij hadits ini dalam kitab “Sunan al-Baihaqi” (3/19) dari jalur sanad Abu Shalih, ia berkata, “al-Laits telah menceritakan suatu hadits kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan dari seorang maula (budak yang telah dimerdekakan) Umar bin Abdul Aziz dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa sesungguhnya beliau pernah bersabda, “…” (kemudian dia menyebutkan hadits ini dengan redaksi yang lebih sempurna. Bunyi awal hadits ini :

إن هذا الدين متين فأوغل فيه برفق ، و لا تبغض إلى نفسك عبادة ربك ، فإن المنبت لا سفرا قطع و لا ظهرا أبقى ، فاعمل عمل امريء يظن أن لن يموت أبدا ، و احذر حذر ( امريء ) يخشى أن يموت غدا
“Sesungguhnya agama Islam ini adalah agama yang kokoh dan kuat, maka masuklah ke dalamnya dengan kelemahlembutan. Dan janganlah Anda menbenci untuk diri Anda ibadah kepada Allah. Karena sesungguhnya orang yang kekelahan, ia tidak dapat menempuh perjalanan dan tidak pula meninggalkan punggung hewan tunggangannya. Maka beramallah seperti amalnya seseorang yang meyakini bahwa ia tidak akan meninggal dunia untuk selamanya! Dan berhati-hatilah seperti kehati-hatiannya seseorang yang khawatir akan meninggal dunia esok hari.”

Sanad hadits ini juga dha’if (lemah) karena di dalam sanadnya terdapat dua ‘illat (sebab yang dapat melemahkan hadits). (Pertama) kemajhulan maula (budak yang telah dimerdekakan) Umar bin Abdul Aziz dan (ke dua) kelemahan Abu Shalih yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin Shalih juru tulis al-Laits.

Kemudian, redaksi hadits di atas tidak menjadi nash yang menunjukkan bahwa amal yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah amal untuk dunia, bahkan sebaliknya, dhahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah amal untuk akhirat. Tujuan dari hadits ini adalah anjuran untuk senantiasa konsisten dalam beramal shalih secara bertahap sedikit demi sedikit tanpa terputus. Makna hadits ini sesuai dengan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amal yang paling dicintai Allah adalah amalan yang paling konsisten dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus meskipun amal itu sedikit.” Wallahu a’lam.

Bagian pertama dari hadits (Abdullah) Ibnu ‘Amru diriwayatkan oleh al-Bazzar (1/57/74 – Kasyful Astar) dari hadits Jabir. Al-Haitsami berkata dalam kitab “Majma az-Zawa’id” (1/62), “Dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Yahya bin al-Mutawakkil Abu ‘Uqail. Dia adalah seorang pendusta.”

Aku (al-Albani) berkata, “Hadits dengan sanad ini diriwayatkan pula oleh Abu asy-Syaikh dalam kitabnya “al-Amtsal” (nomor 229). Akan tetapi hadits (shahih) berikut ini telah cukup (untuk kita pegang daripada hadits di atas), yaitu sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

إن هذا الدين يسر ، ولن يشاد هذا الدين أحد إلا غلبه ، فسددوا وقاربوا وأبشروا ….

“Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah. Dan tidaklah seseorang mempersulit agama ini dengan cara memaksakan dirinya untuk melakukan ibadah-ibadah yang tidak sanggup ia lakukan, melainkan agama ini akan mengembalikannya ke jalan kemudahan dan pertengahan. Maka hendaklah kalian beramal secara proporsional (pertengahan) dan berusahalah menyempurnakan amal ibadah secara optimal dan berikanlah kabar gembira…

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah secara marfu’. (terjemahan link diatas)

Maka wajar bila publik beranggapan bahwa ada “sesuatu” yang menunggangi tayangan “Hadits-Hadits Palsu” RCTI, sehingga memberi kesan tendensius, subjektif dan memojokkan salah satu kelompok yang mengamalkan hadits dho’if untuk semangat beribadah dan amal shaleh. Dan “sesuatu itu ialah “Wahabi”.

Mengapa “wahabi”? Publik punya penilaian sendiri. Selama ini dakwah yang dilontarkan oleh para penganut aliran “wahabi”-lah yang sering melemparkan panah-panah beracun terhadap amaliyah yang sedari dahulu telah dijalankan umat islam pada umumnya “Panah-panah” semacam “syirik, kufur, bid’ah, dho’if” bertebaran di situs-situs yang mengusung paham wahabi. Dan panah itu justru tanpa rasa intoleran menacap di ulu hati para pengamal “Fadhoil al-A’mal” dan semisalnya.

Terlepas dari “sesuatu” bernama wahabi di balik tayangan “Hadits-Hadits Palsu”, maka sewajarnya suatu tayangan agama lebih berimbang dalam menyajikan suatu opini. Sehingga tayangan agama tersebut benar-benar memberi pencerahan terhadap umat, dan bukan keresahan serta pendangkalan materi. Gitu aja koq repot! Wallahu a’lam bish-Shawab dan semoga bermanfa’at. Aamiin

(Oleh: KH. Ibnu Mas’ud, Anggota Laskar Tim Sarkub)

Sumber: sarkub
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...