Peristiwa Ghadir Khum merupakan momentum terbaik diantara momentum-momentum sebelumnya bagi Rasulullah Saw dalam memperkenalkan keutamaan dan kelayakan Ali bin Abi Thalib As untuk mewarisi tampuk kepemimpinan kaum muslimin setelahnya
Pada hari Kamis, tepatnya pada tanggal 18 Ddzulhijjah tahun ke-10 H dalam suatu perjalanan pulang dari Mekkah menuju Madinah, Rasulullah Saw ditengah perjalanan tiba-tiba saja menyeru para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang saat itu tergabung dalam kafilah beliau untuk berhenti disuatu tempat yang dinamai dengan Ghadir Khum, suatu daerah yang tidak jauh dari wilayah Juhfah. Bukan hanya itu Rasulullah Saw juga menginstruksikan untuk memanggil rombongan yang telah lewat untuk kembali sembari menunggu mereka yang masih tertinggal dibelakang. Safar haji musim ini sedikit berbeda dengan safar-safar sebelumnya karena pada musim haji kali ini jumlah kaum muslimin yang ikut serta dalam menunaikan ibadah haji mencapai ratusan ribu jamaah,perhelakan akbar ini juga tercatat dalam sejarah sebagai haji wada` atau haji terakhir yang dilaksanakan Rasulullah Saw sebelum wafatnya. Setelah seluruh jamaah berkumpul Rasulullah Saw pun memulai khutbahnya dan tak lama berselang Rasulullah Saw kemudian menjabat tangan Ali bin Abi Thalib as. lalu mengangkatnya ke atas dan bersabda : “…fa man kuntu mawlaahu fa Aliyyun mawlaahu…”[1]. Dengan deklarasi ini Rasulullah Saw menyempurnakan hujjah atas kaum muslimin, beliau secara gamlang telah memperkenalkan pengganti dan penjaga risalah sepeninggalnya dihadapan mayoritas kaum mukminin.Agama Islam telah menyempurna dengan ke-washi-an Ali bin Abi Thalib As, apa yang selama ini ‘terpendam’ didada Rasulullah telah tersingkap jelas dan tak ada lagi ‘mata yang buta’ ataupun ‘telinga yang tuli’ atas wilayah dan kedudukan Ali bin Abi Thalib As atas kaum mukminin.
Peristiwa ghadir khum adalah satu diantara peristiwa-peristiwa penting yang terekam baik dalam sejarah melalui sebuah proses periwayatan yang rapi sehingga sulit bagi siapapun untuk mengingkari validitasnya. Dalam peristilahan ilmu hadist jenis riwayat yang menukilkan peristiwa bersejarah ini tergolong dalam kategori mutawatir. Kendati demikian masyarakat Islam, khususnya para ulama, tetap saja memiliki pandangan-pandangan atau interpretasi yang berbeda-beda tentang hal ini, umumnya mereka tidak mengingkari hakikat dan keaslian peristiwa tersebut, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan atau memahami kejadian atau riwayat yang menghikayatkan catatan-catatan peristiwa seputar peristiwa ghadir khum, sebut saja misalnya; dalam kaitannya dengan ayat yang turun pada saat itu atau tentang pemaknaan kata waliya-mawla pada riwayat yang terkait dengan peristiwa tersebut.
Mungkin ada baiknya untuk mengupas hal ini lebih jauh dalam kaitannya dengan konsep imamah, sebab tak dapat dipungkiri permasalahan ghadir khum adalah suatu persoalan yang sangat erat kaitannya dengan doktrin-doktrin keimanan Islam lainnya.
PERLUNYA WILAYAH DAN IMAMAH
Peristiwa Ghadir Khum merupakan momentum terbaik diantara momentum-momentum sebelumnya bagi Rasulullah Saw dalam memperkenalkan keutamaan dan kelayakan Ali bin Abi Thalib As untuk mewarisi tampuk kepemimpinan kaum muslimin setelahnya. Sebagaimana halnya dengan para Rasul dan Nabi-nabi terdahulu, Rasulullah Saw senantiasa terbatasi secara natural dengan fisik duniawinya sehingga dapat dipastikan bahwa kepemimpinan lahiriah beliau pada suatu saat akan berakhir. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw disepanjang hidupnya selalu berusaha untuk mengisyaratkan kelebihan atau fadhilah-fadhilah Ali bin Abi Thalib as. sebagai orang yang mempunyai potensi dan kelayakan dalam memimpin sebagaimana dirinya.Hal ini menjadi penting mengingat tugas kepemimpinan yang dibebankan kepada Nabi Saw bersifat mutlak adanya, dalam artian bahwa; kepemimpinan Rasulullah Saw tidaklah semata pada aspek lahiriah kehidupan manusia saja tetapi lebih dari itu mencakup aspek batiniah atau kehidupan maknawiah mereka.Dalam Islam dijelaskan bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya terangkap atas kehidupan yang bersifat lahiriah (dimensi duniawi) dan kehidupan yang bersifat batiniah(dimensi ukhrawi). Perilaku dan perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupan lahiriahnya sangat menentukan kehidupan batiniahnya, sebab kedua dimensi kehidupan ini merupakan suatu realitas hakiki dimana korelasi antara keduanya pun bersifat hakiki dan eksistensial[2].
Kenyataan ini semakin menegaskan bahwa kebutuhan manusia akan kehadiran seorang imam atau mursyid kehidupan tidak mungkin tertolak, karena manusia dengan seluruh kekurangan dan keterbatasannya mustahil dapat menjalani kehidupan ini dengan sendiri.
Kepemimpinan Rasulullah Ssw tidak bisa dibandingkan apalagi disandingkan dengan kepemimpinan para raja ataupun petinggi kabilah dalam tradisi masyarakat Arab pada saat itu. Sebab kepemimpinan raja atau semacamnya hanya terbatas pada urusan-urusan yang bersifat profan dan duniawi sementara aspek spiritual dan transendenitas manusia terabaikan atau hanya terpusatkan pada institusi-institusi keulamaan atau kependetaan yang lebih cenderung bersifat sekuler. Dengan demikian eksistensi nubuwwah atau imamah –dimana keduanya menyiratkan dimensi wilayah– merupakan kemestian penciptaan dan sekaligus merupakan manifestasi lahir dari sifat adil dan bijak Tuhan.
Berbicara tentang wilayah, dapat kita mulai dengan mengurai makna kata wilayah secara etimologi dan kemudian melihat penerapan istilah ini berikut pembagiannya.Wilayah adalah sebuah istilah dalam Bahasa Arab yang berasal dari akar kata wal atau waliya yang juga bermakna qaruba atau dekat. Oleh karena itu, kata ini dapat pula diterapkan dalam hal kedekatan dan mawaddah[3]. Kata wal atau waliya juga dapat dimaknai dengan datangnya sesuatu mengikuti sesuatu yang lain dengan tanpa ada jarak diantara keduanya, kemampuan dan keber-iring-an seperti ini memestikan adanya kedekatan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu kata wal atau waliya dengan berbagai bentuk perubahannya (dengan kastra atau fatha) dapat diartikan atau dimaknai dengan: cinta-persahabatan,penolong-pertolongan,mengikuti,pengasuh atau pemimpin, dimana keseluruhan kata tersebut mengandung kesamaan makna dalam hal “kedekatan”[4].
Sebagai salah satu contoh ketika wal atau waliya yang merupakan akar kata dari wilayah dimaknai sebagai pemimpin (baca: yang memiliki hak dan kuasa dalam mengatur dan mengawasi segala urusan), dapat kita lihat dalam ayat 55 surah Al-Maidah: “ Sesungguhnya pemimpin(wali) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan mereka dalam keadaan ruku`” dan ayat 6 pada surah Al-Ahzab: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” dirangkaikan dengan ayat 36 pada surah yang sama: “ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka…dst” Atau dalam ayat 9 surah Asy-Syura: “Apakah patut mereka mengambil pemimpin-pemimpin (penguasa dalam mengatur dan mengawasi) selain Allah? Maka Allah, Dia-lah pemimpin (yang sebenarnya)”. Pada ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya Allah Swt dan rasul-Nya serta orang mukmin yang mendirikan shalat dan bersedekah (mengeluarkan zakat) dalam keadaan ruku` adalah wali atau pemimpin orang-orang beriman. Bahkan ditegaskan lebih jauh lagi bahwa sesungguhnya hanya Allah Swt sajalah wali atau pemimpin (yang memiliki kekuasaan hakiki) atas orang-orang beriman. Jika kita renungkan sejenak saja, maka dengan sendirinya sangat jelas bahwa sudah selayaknya jika Allah Swt menjadi satu-satunya wali atau penguasa hakiki bagi orang-orang beriman (bahkan seluruh makhluk tak terkecuali manusia). Sebab Tuhanlah yang paling dekat dengan makhluknya (lebih dekat dari urat lehernya) terlebih lagi dengan orang-orang beriman yang senantiasa mendapatkan inayah khusus dari-Nya. Begitu pula dengan Rasul dan orang mukmin yang dipilih-Nya sebab keduanya secara gradatif adalah wakil-wakil Ilahi (khalifatullah) dan merupakan manifestasi sempurna dari sifat-sifat Tuhan sehingga merekalah yang paling “dekat” dan “lebih utama” setelah Allah Swt terhadap seluruh makhluk khususnya manusia-manusia beriman.
Mungkin saja sebagian orang lebih cenderung untuk memaknai atau mengartikan kata wal atau waliya pada ayat-ayat tersebut dengan makna “penolong” atau “pelindung”. Namun hal itu tidaklah kontradiktif dengan makna pemimpin (baca: yang memiliki hak dan kuasa mengatur serta mengawasi dalam segala urusan). Sebab wujud kepemimpinan seorang Rasul atau Imam atas seluruh kaum mukminin pada dasarnya merupakan salah satu misdaq paling jelas dari sifat “penolong” dan “pelindung” Tuhan itu sendiri. Adakah pertolongan dan perlindungan yang lebih agung dari ke-tercegah-an manusia untuk hidup dalam kegelapan dan kesesatan? Bukankah kepemimpinan Tuhan melalui khalifah-Nya (rasul atau imam) akan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan wujudnya hingga ia layak mendapatkan surga keridhaan-Nya? Dengan demikian dapat dipahami bahwa makna-makna tersebut (penolong, pelindung, pemimpin atau kekuasaan dalam mengatur dan mengawasi segala urusan) pada dasarnya menyiratkan hakikat yang sama yaitu; jaminan kesempurnaan, keridhaan dan keterbebasan dari belenggu kesesatan dan kekufuran.
Para filosof dan mutakallimin membagi istilah wilayah ini menjadi dua bagian, yaitu; wilayah takwini dan wilayah tasyri`i. Wilayah takwini diartikan sebagai kekuasaan dalam mengatur segala sesuatu yang ada dialam ini secara hakiki sebagaimana halnya kekuasaan jiwa (ruh) dalam mengatur dan mengendalikan kekuatan-kekuatan yang ada padanya seperti; marah, senang, syahwat, hayal, berpikir dsb. Wilayah takwini merupakan suatu hubungan atau korelasi yang bersifat sebab-akibat sehingga mustahil terjadi peyimpangan didalamnya. Sedangkan wilayah tasyri`i dicabangkan lagi menjadi; kekuasaan dalam membuat aturan atau hukum-hukum dalam kaitannya dengan pengaturan alam semesta (wilayah atas tasyri`) serta kekuasaan dalam mengatur dan menerapkan hukum berdasarkan batasan atau aturan-aturan yang telah dibuatnya (wilayah dalam tasyri`). Berbeda dengan wilayah takwini,wilayah tasyri`i lebih bersifat i`tibari dan berbentuk kesepakatan sehingga memungkinkan penolakan ataupun ketaatan atasnya[5].
Seorang mukmin atau muwahhid sejati tentu saja hanya akan menisbahkan kedua bentuk wilayah tersebut kepada Allah Swt. Penisbahan mutlak itu sendiri dapat kita bagi menjadi dua bentuk penisbahan.Wilayah secara substansial (bil-dzat), dimana wilayah tersebut mustahil dapat dinisbahkan kepada selain Allah Swt (Asy Syuura/9). Akan tetapi secara aksidental (bil-aradh), wilayah itu dapat dinisbahkan kepada selain-Nya (Al-Maidah/55). Oleh karena itu, dalam hal ini terdapat makhluk Tuhan yang memiliki potensi atau kemampuan mewakili Allah Swt (menjadi khalifatullah) dalam mengemban wilayah-Nya dan makhluk tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah manusia sempurna (insan kamil), dimana para Rasul, Nabi, dan juga para Walinya merupakan misdaq utamanya.
IMAMAH DAN IMAN ISLAM
Para ilmuan dari kalangan teolog dan filosof agama mendefinisikan agama secara beragam dan berbeda-beda, bahkan dengan sangat jelas terlihat adanya perbedaan-perbedaan yang bersifat prinsip dan mendasar diantara definisi-definisi yang ditawarkan. Sebagian mecoba mendefinisikan agama dengan batasan yang begitu luas hingga mencakup ajaran-ajaran yang bahkan didalamnya tidak terdapat kepercayaan akan adanya wujud Tuhan semisal budisme atau ajaran-ajaran yang bersifat materialis dan sebaliknya terdapat suatu definisi yang sangat mempersempit batasan agama hingga hanya mencakup satu bentuk kepercayaan atau mazhab saja. Dalam urf dan tradisi masyarakat muslim, agama dipahami sebagai suatu ajaran atau aturan (syariat) yang bersumbu pada hakikat, berdasarkan pemahaman ini agama didefinisikan sebagai suatu ajaran yang memiliki keyakinan-keyakinan benar dan bersesuaian dengan realitas serta menganjurkan perbuatan-perbuatan yang berefek dalam mengantar manusia kepada kesejahteraan dan kesempurnaan hakiki atau dalam penjelasan yang lain,agama didefinisikan sebagai sekumpulan petunjuk atau bimbingan ilmu dan amal untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia didunia dan diakhirat yang diperoleh melalui wahyu dan sunnah[6]. Pada agama terdapat keyakinan atau keimanan yang bersifat asasi dan juga terdapat keimanan dan kepercayaan yang sifatnya cabang, yang pertama disebut sebagai usuluddin dan yang terakhir disebut dengan furu`uddin. Tauhid (iman atas wujud dan ke-esa-an Allah Swt) berada pada puncak keimanan Islam dan setelah itu secara berurutan kenabian (nubuwwah) dan hari kiamat (ma`ad) adapun furu`uddin dipenuhi dengan aturan-aturan hukum dan akhlak, tiga keimanan pertama pada dasarnya merupakan ciri agama-agama langit (samawi) yang jika ditelaah lebih jauh lagi akan mengerucut kepada keimanan atas Tauhid, sebab, dari wujud Tuhan memancar ke-esa-an (tauhid) dan darinya pula memancar ke-adil-an dan ke-bijaksana-an dimana keduanya (sifat adil dan bijaksana) meniscayakan kenabian (nubuwwah) dan hari pembalasan (ma`ad), disini kita tidak bermaksud membahas sifat-sifat Tuhan, empat sifa-sifat Tuhan yang telah disebutkan (Wujud, Esa, Adil, Bijaksana) hanyalah sebagian dari sifat-sifat-Nya yang tak terbatas.
Imamah sebagai bagian dari keimanan Islam merupakan ke-lazim-an dari kenabian itu sendiri. Tanpa imamah, kenabian tidak bermakna. Sebab seluruh argumentasi yang meniscayakan adanya kenabian berlaku pula atas eksistensi dan kemestian imamah. Dan jika kenabian didasarkan atas kebijakan dan keadilan Tuhan, maka dengan keadilan dan kebijakan yang sama, imamah menjadi sesuatu yang niscaya bagi umat ini[6]. Bukankah kenabian Rasulullah Saw tidak hanya terbatas dizamannya saja? Bukankah ia adalah penutup para nabi dan tidak akan datang lagi nabi setelahnya sementara disatu sisi beliau membawa suatu ajaran paripurna yang diperuntukkan bagi umat manusia hingga akhir zaman? Bukankah kita menyakini Rasulullah Saw sebagai Nabi masa kini meskipun beliau terlahir dan terbatasi dalam jasad materi yang secara natural akan punah dan hancur? Hari ini Rasulullah Saw tidak lagi hidup dan berinteraksi fisikal dengan umatnya, apakah hal ini berarti Tuhan telah meninggalkan hamba-hambanya serta tidak berlaku adil dengan mereka? Apakah dengan tidak adanya utusan (nabi atau imam maksum), kebijakan dan keadilan Tuhan tidak perlu dipertanyakan? Dengan jaminan apa kebenaran risalah Rasulullah Saw senantiasa terjaga dan tidak mengalami distorsi tanpa keberadaan seorang maksum? Bukankah sejarah telah mempertontonkan dan menginformasikan kepada kita akan berbagai penyimpangan dan penyelewengan informasi dan fakta-fakta kebenaran?
Jika sebuah rezim berkuasa sekitar 32 tahun saja (misal: Rezim Soeharto) dapat mengubah dan memanipulasi data-data penting sejarah republik tercinta, lalu mengapa kita terlarang untuk kritis dan mempertanyakan data-data atau informasi akan kemurnian Agama tercinta kita (Al-Islam) yang telah diwarisi oleh puluhan rezim khilafah selama kurang lebih 14 abad? Bagaimanakah akal dan nurani kita menjawabnya?
IMAMAH DAN OTORITAS KETUHANAN
Imamah sebagai bagian dari keimanan Islam tidak dapat dinafikan begitu saja. Sebab al Qur`an sendiri telah mengabarkan kepada kita disalah satu ayatnya,dikisahkan bahwa setelah Nabi Ibrahim As berhasil melalui pelbagai ujian dan kesulitan, sembari berdo`a ia memohon kepada Rabnya, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata: “Dan saya mohon juga dari keturunanku.” Allah berfirman : “janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim” [8].
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kenabian dan imamah adalah dua hal yang berbeda dan sekaligus dua hal yang sangat berhubungan. Sebagaimana halnya makam kenabian hanya dapat diraih dengan izin-Nya, makam imamah pun tidak bisa diraih begitu saja oleh setiap orang. Pengankatan atau penobatan seorang imam merupakan hak prerogatif dan otoritas Tuhan. Imamah bukanlah suatu pengukuhan murni dari seorang Nabi tetapi lebih dari itu imamah adalah pemberian Tuhan bagi orang-orang yang ‘layak’ atasnya. Nabi hanyalah sebatas mengabarkan dan mengenalkannya kepada umat. Sekiranya seorang nabi memiliki otoritas dalam hal ini, maka sungguh tidak bermakna ketika Ibrahim As memintanya dari Tuhan. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bersama, Ibrahim As pada saat itu telah meraih dan menduduki makam kenabian. Ia adalah nabi yang kemudian menjadi imam. Perlu diketahui pula bahwa Rasulullah Saw sendiri tidaklah berbeda dengan nabi Ibrahim As dari sisi bahwa ia adalah Nabi dan sekaligus imam. Hanya saja, Al Qur`an lebih sering menyebut beliau dengan Nabi atau Rasul ketimbang Imam. Sementara dari ayat Al Qur`an itu sendiri (Al-Baqarah : 124) dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah merupakan derajat yang lebih tinggi dari kenabian atau dengan kata lain tidak semua Nabi adalah Imam dan begitu pula sebaliknya[9].
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa Nabi Saw dalam peristiwa Ghadir Khum telah mengenalkan pengganti dan penjaga risalahnya dan peristiwa ini berlangsung tidaklah semata atas kehendak Nabi Saw tetapi, lebih dari itu adalah perintah Allah Swt. Hal ini terlihat jelas dengan turunnya ayat: “ Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak meyampaikan amanat-Nya (risalah-Nya). Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir itu”(Q.S. Al-Maidah : 67)[10].
Sebagaimana maklum, Rasulullah Saw adalah manusia suci dan maksum serta mustahil (bukan mustahil dzati) untuk melakukan sesuatu yang tidak didasarkan atas wahyu Ilahi[11],. Dalam beberapa moment atau kejadian tertentu, terkadang Rasulullah Saw mendapatkan perintah secara khusus yang ditandai dengan turunnya wahyu kepada beliau, hal ini dapat menggiring kita untuk memahami bahwa kejadian atau peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang sangat penting. Salah satu diantara kejadian-kejadian itu adalah peristiwa Ghadir Khum. Betapa tidak, didalam ayat disebutkan bahwa: “Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan, (berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya” dan juga disebutkan: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”, dari penggalan ayat tersebut dapat dimengerti bahwa “sesuatu” yang mesti tersampaikan itu adalah sesuatu yang sangat besar dan agung setimbang dengan “risalah yang telah tersampaikan”. Dalam artian bahwa; seakan-akan Allah Swt hendak menyatakan bahwa risalah Islam yang selama ini telah didakwahkan Rasulullah Saw selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai ujian,kesulitan dan tantangan yang begitu dahsyat menjadi sia-sia manakala Rasulullah Saw tidak menyampaikan sesuatu tersebut. Kemudian disisi lain, ayat diatas juga menyiratkan suatu kondisi sosial politik yang tidak kondusif serta tidak mengizingkan Nabi untuk secara gamlang menyampaikan apa yang telah ‘dipesankan’ Tuhan kepadanya. Rasulullah seakan-akan ragu dan merasa takut untuk mengungkapkan “amanat” Tuhan yang telah turun kepadanya, hingga turunnya wahyu dalam menegaskan hal itu.
Terdapat beberapa tafsiran atau pandangan dalam kaitannya dengan kalimat “…apa yang diturunkan Tuhan kepadamu dari Tuhanmu…”, dimana dalam kaitannya dengan ayat yang turun,sebagian berpendapat bahwa yang dimaksudkan Allah Swt tidak lain dan tidak bukan adalah menyangkut masalah-masalah usuluddin dan serangkaian hukum-hukum syar`i semisal tauhid, shalat, zakat, puasa dll. Akan tetapi, jika kita renungkan lebih mendalam lagi, rasanya hal itu sangat jauh dari yang diinginkan. Sebab dari serangkaian ayat yang terkait serta dengan mencermati kondisi dan situasi yang ada pada saat itu, dapat disimpulkan bahwa aqidah dan hukum-hukum syariat semisal tauhid, shalat, puasa dsb, itu bukanlah maksud dari ayat itu. Sebab saat itu adalah hari-hari terakhir dari masa kenabian Rasulullah Saw dan selama ini beliau telah sering menjelaskan masalah-masalah aqidah dan perkara-perkara hukum syar`i dan tidak perlu merasa takut dengannya[12].
Begitu pula halnya dengan pemaknaan kata “waliya-mawla” dalam penggalan hadist Nabi Saw:“…fa man kuntu mawlahu fa Aliyyun mawlahu…”. Apakah Nabi Islam Saw dalam suatu safar yang sulit dan melelahkan, ditengah padang yang gersang serta dibawah terik matahari yang begitu panas, menunggu mereka yang tertinggal dan memanggil para sahabat yang telah berjalan jauh untuk kembali hanya ingin menyampaikan atau mengumumkan bahwa: “…barang siapa menjadikanku kecintaanya (mencintaiku), maka Ali As menjadi kecintaannya (mencintainya…)” atau “…barang siapa menjadikanku penolongnya maka Ali As menjadi penolongnya…” atau “…barang siapa menjadikanku sahabatnya (temannya), maka Ali As menjadi sahabatnya (temannya)…?”.
Apakah selama ini mereka tidak mengenal Ali bin Abi Thalib As yang telah memeluk Islam sejak masih kanak-kanak dan senantiasa tumbuh dan besar dalam didikan Rasulullah Saw?. Apakah mereka lupa bahwa Ali bin Abi Thalib As adalah orang yang telah menggantikan Rasulullah Saw ditempat tidurnya ketika hendak diteror orang-orang kafir? Apakah mereka tidak tahu bahwa Ali bin Abi Thalib As adalah suami dari putri terkasih beliau Sayyidah Fatimah Az -Zahra As sehingga beliau mesti mengumungkan kepada khalayak bahwa ia mencintai Ali As, atau bahwa Ali As adalah sahabatnya ? Apakah mungkin Rasulullah Saw menikahkan putrinya dengan orang yang tidak dicintainya, dimana sayyidah Zahra As menerima lamaran seseorang yang dibenci ayahnya? Jika Nabi Saw mencintai Ali bin Abi Thalib As, lalu mengapa hal itu mesti diumumkan, itupun ditengah padang pasir yang tandus dengan kondisi para musafir yang sedang lelah? Yakni; apa pentingnya untuk mengumumkan hal itu sementara kaum muslimin telah mengetahui kedudukan Ali bin Abi Thalib As disisi Rasulullah Saw jauh sebelum mereka datang dan bergabung dalam kafilah haji Rasulullah Saw.
Disinilah dibutuhkan kecermatan dan ketelitian dalam memaknai perkataan (hadist) Nabi Saw. Sebab, kata waliya-mawla itu sendiri memiliki beberapa makna dan tidak terbatas kepada makna yang telah disebutkan diatas. Kata waliya-mawla juga dapat bermakna “pemimpin” atau “yang memiliki hak dan kuasa mengatur serta mengawasi dalam segala urusan”[13]. Apakah makna yang terakhir ini tidak lebih tepat dibandingkan dengan dua atau tiga makna yang pertama? Yaitu; Rasulullah Saw sesungguhnya bersabda: “Barang siapa menjadikanku pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya”. Sekedar catatan bahwa Allamah Amini Ra didalam kitab Al Ghadirnya telah mengumpulkan serangkaian data-data terkait dengan hadist atau ucapan Rasulullah Saw seusai mendeklarasikan wilayah atau imamah Ali bin Abi Thalib As pada sabdanya yang terkenal; “…fa man kuntu mawlahu fa Aliyyun mawlahu…”, dalam hadist tersebut Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya: “Allah Maha besar atas tersempurnakannya agama dan tercukupkannya nikmat dan telah ridhanya Tuhan atas kerasulanku dan wilayah Ali setelahku[14].
Walluhu a’lam bishawab[]
———————————————————————————————————————————————————————————————————-
Penulis : Alumni program S1 pada Al-Mustafa International University Qom-Iran.
[1]. Al Ghadir,Allamah Amini,Jilid 1 atau Gozide-i jame az Al Ghadir,Allamah Amini(Hasan Syafii Syahrudi),Hal: 41-42 dan Muhaadheraat fil Ilahiyaat,Ayatullah Subhani(Ali Rabbani Gulpaegani),Hal: 366-367.
[2]. Shi-e dar Islam,Allamah Thabathabai(Sayyed Hadi Husyru syahi),Hal: 163-165.
[3]. Velayat-e Faqih, Ayatullah Hadi Ma`rifat,Hal: 40
[4]. Velayat-e Faqih;velayat-e feqahat va edalat, Ayatullah Jawadi Amuli,Hal: 122
[5]. Ibid,Hal: 123-124
[6]. Mabani-e ma`refat-e Dini,Muhammad Husein Zadeh,Hal: 17-19
[7]. Tarjemeh va sharh-e Bab hadi asyr,Dr.Ali Syirwani,Hal: 154
[8]. Q.S. Al-Baqarah : 124
[9]. Fadak, Ayatullah Ridha Ustadzi,Hal: 255.
[10]. Dikalangan syi`ah ayat ini diyakini(secara ijma)turun ketika nabi sedang dalam perjalanan pulang dari mekkah menuju madinah seusai menunaikan ibadah haji,tepatnya didaerah yang dikenal dengan ghadir khum yang letaknya tidak jauh dari juhfah.Allamah Syaikh Abdul Husein Amini ra. didalam kitabnya Al Ghadir ,jilid 1,hal:438-424,mengutipkan sekitar 30 hadist(pendapat) dari kalangan ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat ini telah turun dalam perjalanan pulang nabi dari mekkah menuju madinah sebagaimana yang diyakini kalangan syi`ah,diantara tokoh-tokoh ahlussunnah yang dimaksud adalah : Thabari(w. 310),Hakim Hasakani-Abu al Qasim(w. 490),Abu al Qasim Ibnu Asakir(w. 571) bermazhab syafi`i,Fakhruddin Razi(w. 606) bermazhab syafi`i,Jalaluddin Suyuthi(w. 911) bermazhab syafi`i,Qhadi Sukani(w. 1250),Sayyed Syahabuddin Alusi-Bagdadi(w. 1270)bermazhab syafi`i,Syaikh Sulaiman Qundusi(w. 1293) bermazhab Hanafi,Syaikh Muhammad Abduh(w. 1323).(Lihat : Gozide-i jame az Al Ghadir,Allamah Amini(Hasan Syafii Syahrudi),Hal:64-67)
[11]. Q.S. An Najm : 3-4
[12]. Kalam Islami, Jilid 2, Muhammad Saidi Mehr, Hal: 160
[13]. Al Mufradat (Darul Ma`rifah,Beirut-Libanon), Raghib Isfahani,Hal: 533, Shamim-e Velayat, Ayatullah Jawadi Amuli(Sayyed Mahmud Shadiqi), Hal: 171-172 dan Aqaid Istidlali, Jilid 2, Ali Rabbani Gulpaegani, Hal: 155
[14]. Aqaid-e Islami dar partu qur`an, hadist va akl, Ayatullah Subhani, Hal: 501
“Peristiwa Ghadir Khum adalah satu diantara peristiwa-peristiwa penting yang terekam baik dalam sejarah melalui sebuah proses periwayatan yang rapi sehingga sulit bagi siapapun untuk mengingkari validitasnya. Dalam peristilahan ilmu hadist jenis riwayat yang menukilkan peristiwa bersejarah ini tergolong dalam kategori mutawatir”
Pada hari Kamis, tepatnya pada tanggal 18 Ddzulhijjah tahun ke-10 H dalam suatu perjalanan pulang dari Mekkah menuju Madinah, Rasulullah Saw ditengah perjalanan tiba-tiba saja menyeru para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang saat itu tergabung dalam kafilah beliau untuk berhenti disuatu tempat yang dinamai dengan Ghadir Khum, suatu daerah yang tidak jauh dari wilayah Juhfah. Bukan hanya itu Rasulullah Saw juga menginstruksikan untuk memanggil rombongan yang telah lewat untuk kembali sembari menunggu mereka yang masih tertinggal dibelakang. Safar haji musim ini sedikit berbeda dengan safar-safar sebelumnya karena pada musim haji kali ini jumlah kaum muslimin yang ikut serta dalam menunaikan ibadah haji mencapai ratusan ribu jamaah,perhelakan akbar ini juga tercatat dalam sejarah sebagai haji wada` atau haji terakhir yang dilaksanakan Rasulullah Saw sebelum wafatnya. Setelah seluruh jamaah berkumpul Rasulullah Saw pun memulai khutbahnya dan tak lama berselang Rasulullah Saw kemudian menjabat tangan Ali bin Abi Thalib as. lalu mengangkatnya ke atas dan bersabda : “…fa man kuntu mawlaahu fa Aliyyun mawlaahu…”[1]. Dengan deklarasi ini Rasulullah Saw menyempurnakan hujjah atas kaum muslimin, beliau secara gamlang telah memperkenalkan pengganti dan penjaga risalah sepeninggalnya dihadapan mayoritas kaum mukminin.Agama Islam telah menyempurna dengan ke-washi-an Ali bin Abi Thalib As, apa yang selama ini ‘terpendam’ didada Rasulullah telah tersingkap jelas dan tak ada lagi ‘mata yang buta’ ataupun ‘telinga yang tuli’ atas wilayah dan kedudukan Ali bin Abi Thalib As atas kaum mukminin.
Peristiwa ghadir khum adalah satu diantara peristiwa-peristiwa penting yang terekam baik dalam sejarah melalui sebuah proses periwayatan yang rapi sehingga sulit bagi siapapun untuk mengingkari validitasnya. Dalam peristilahan ilmu hadist jenis riwayat yang menukilkan peristiwa bersejarah ini tergolong dalam kategori mutawatir. Kendati demikian masyarakat Islam, khususnya para ulama, tetap saja memiliki pandangan-pandangan atau interpretasi yang berbeda-beda tentang hal ini, umumnya mereka tidak mengingkari hakikat dan keaslian peristiwa tersebut, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan atau memahami kejadian atau riwayat yang menghikayatkan catatan-catatan peristiwa seputar peristiwa ghadir khum, sebut saja misalnya; dalam kaitannya dengan ayat yang turun pada saat itu atau tentang pemaknaan kata waliya-mawla pada riwayat yang terkait dengan peristiwa tersebut.
Mungkin ada baiknya untuk mengupas hal ini lebih jauh dalam kaitannya dengan konsep imamah, sebab tak dapat dipungkiri permasalahan ghadir khum adalah suatu persoalan yang sangat erat kaitannya dengan doktrin-doktrin keimanan Islam lainnya.
PERLUNYA WILAYAH DAN IMAMAH
Peristiwa Ghadir Khum merupakan momentum terbaik diantara momentum-momentum sebelumnya bagi Rasulullah Saw dalam memperkenalkan keutamaan dan kelayakan Ali bin Abi Thalib As untuk mewarisi tampuk kepemimpinan kaum muslimin setelahnya. Sebagaimana halnya dengan para Rasul dan Nabi-nabi terdahulu, Rasulullah Saw senantiasa terbatasi secara natural dengan fisik duniawinya sehingga dapat dipastikan bahwa kepemimpinan lahiriah beliau pada suatu saat akan berakhir. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw disepanjang hidupnya selalu berusaha untuk mengisyaratkan kelebihan atau fadhilah-fadhilah Ali bin Abi Thalib as. sebagai orang yang mempunyai potensi dan kelayakan dalam memimpin sebagaimana dirinya.Hal ini menjadi penting mengingat tugas kepemimpinan yang dibebankan kepada Nabi Saw bersifat mutlak adanya, dalam artian bahwa; kepemimpinan Rasulullah Saw tidaklah semata pada aspek lahiriah kehidupan manusia saja tetapi lebih dari itu mencakup aspek batiniah atau kehidupan maknawiah mereka.Dalam Islam dijelaskan bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya terangkap atas kehidupan yang bersifat lahiriah (dimensi duniawi) dan kehidupan yang bersifat batiniah(dimensi ukhrawi). Perilaku dan perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupan lahiriahnya sangat menentukan kehidupan batiniahnya, sebab kedua dimensi kehidupan ini merupakan suatu realitas hakiki dimana korelasi antara keduanya pun bersifat hakiki dan eksistensial[2].
Kenyataan ini semakin menegaskan bahwa kebutuhan manusia akan kehadiran seorang imam atau mursyid kehidupan tidak mungkin tertolak, karena manusia dengan seluruh kekurangan dan keterbatasannya mustahil dapat menjalani kehidupan ini dengan sendiri.
Kepemimpinan Rasulullah Ssw tidak bisa dibandingkan apalagi disandingkan dengan kepemimpinan para raja ataupun petinggi kabilah dalam tradisi masyarakat Arab pada saat itu. Sebab kepemimpinan raja atau semacamnya hanya terbatas pada urusan-urusan yang bersifat profan dan duniawi sementara aspek spiritual dan transendenitas manusia terabaikan atau hanya terpusatkan pada institusi-institusi keulamaan atau kependetaan yang lebih cenderung bersifat sekuler. Dengan demikian eksistensi nubuwwah atau imamah –dimana keduanya menyiratkan dimensi wilayah– merupakan kemestian penciptaan dan sekaligus merupakan manifestasi lahir dari sifat adil dan bijak Tuhan.
Berbicara tentang wilayah, dapat kita mulai dengan mengurai makna kata wilayah secara etimologi dan kemudian melihat penerapan istilah ini berikut pembagiannya.Wilayah adalah sebuah istilah dalam Bahasa Arab yang berasal dari akar kata wal atau waliya yang juga bermakna qaruba atau dekat. Oleh karena itu, kata ini dapat pula diterapkan dalam hal kedekatan dan mawaddah[3]. Kata wal atau waliya juga dapat dimaknai dengan datangnya sesuatu mengikuti sesuatu yang lain dengan tanpa ada jarak diantara keduanya, kemampuan dan keber-iring-an seperti ini memestikan adanya kedekatan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu kata wal atau waliya dengan berbagai bentuk perubahannya (dengan kastra atau fatha) dapat diartikan atau dimaknai dengan: cinta-persahabatan,penolong-pertolongan,mengikuti,pengasuh atau pemimpin, dimana keseluruhan kata tersebut mengandung kesamaan makna dalam hal “kedekatan”[4].
Sebagai salah satu contoh ketika wal atau waliya yang merupakan akar kata dari wilayah dimaknai sebagai pemimpin (baca: yang memiliki hak dan kuasa dalam mengatur dan mengawasi segala urusan), dapat kita lihat dalam ayat 55 surah Al-Maidah: “ Sesungguhnya pemimpin(wali) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan mereka dalam keadaan ruku`” dan ayat 6 pada surah Al-Ahzab: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” dirangkaikan dengan ayat 36 pada surah yang sama: “ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka…dst” Atau dalam ayat 9 surah Asy-Syura: “Apakah patut mereka mengambil pemimpin-pemimpin (penguasa dalam mengatur dan mengawasi) selain Allah? Maka Allah, Dia-lah pemimpin (yang sebenarnya)”. Pada ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya Allah Swt dan rasul-Nya serta orang mukmin yang mendirikan shalat dan bersedekah (mengeluarkan zakat) dalam keadaan ruku` adalah wali atau pemimpin orang-orang beriman. Bahkan ditegaskan lebih jauh lagi bahwa sesungguhnya hanya Allah Swt sajalah wali atau pemimpin (yang memiliki kekuasaan hakiki) atas orang-orang beriman. Jika kita renungkan sejenak saja, maka dengan sendirinya sangat jelas bahwa sudah selayaknya jika Allah Swt menjadi satu-satunya wali atau penguasa hakiki bagi orang-orang beriman (bahkan seluruh makhluk tak terkecuali manusia). Sebab Tuhanlah yang paling dekat dengan makhluknya (lebih dekat dari urat lehernya) terlebih lagi dengan orang-orang beriman yang senantiasa mendapatkan inayah khusus dari-Nya. Begitu pula dengan Rasul dan orang mukmin yang dipilih-Nya sebab keduanya secara gradatif adalah wakil-wakil Ilahi (khalifatullah) dan merupakan manifestasi sempurna dari sifat-sifat Tuhan sehingga merekalah yang paling “dekat” dan “lebih utama” setelah Allah Swt terhadap seluruh makhluk khususnya manusia-manusia beriman.
Mungkin saja sebagian orang lebih cenderung untuk memaknai atau mengartikan kata wal atau waliya pada ayat-ayat tersebut dengan makna “penolong” atau “pelindung”. Namun hal itu tidaklah kontradiktif dengan makna pemimpin (baca: yang memiliki hak dan kuasa mengatur serta mengawasi dalam segala urusan). Sebab wujud kepemimpinan seorang Rasul atau Imam atas seluruh kaum mukminin pada dasarnya merupakan salah satu misdaq paling jelas dari sifat “penolong” dan “pelindung” Tuhan itu sendiri. Adakah pertolongan dan perlindungan yang lebih agung dari ke-tercegah-an manusia untuk hidup dalam kegelapan dan kesesatan? Bukankah kepemimpinan Tuhan melalui khalifah-Nya (rasul atau imam) akan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan wujudnya hingga ia layak mendapatkan surga keridhaan-Nya? Dengan demikian dapat dipahami bahwa makna-makna tersebut (penolong, pelindung, pemimpin atau kekuasaan dalam mengatur dan mengawasi segala urusan) pada dasarnya menyiratkan hakikat yang sama yaitu; jaminan kesempurnaan, keridhaan dan keterbebasan dari belenggu kesesatan dan kekufuran.
Para filosof dan mutakallimin membagi istilah wilayah ini menjadi dua bagian, yaitu; wilayah takwini dan wilayah tasyri`i. Wilayah takwini diartikan sebagai kekuasaan dalam mengatur segala sesuatu yang ada dialam ini secara hakiki sebagaimana halnya kekuasaan jiwa (ruh) dalam mengatur dan mengendalikan kekuatan-kekuatan yang ada padanya seperti; marah, senang, syahwat, hayal, berpikir dsb. Wilayah takwini merupakan suatu hubungan atau korelasi yang bersifat sebab-akibat sehingga mustahil terjadi peyimpangan didalamnya. Sedangkan wilayah tasyri`i dicabangkan lagi menjadi; kekuasaan dalam membuat aturan atau hukum-hukum dalam kaitannya dengan pengaturan alam semesta (wilayah atas tasyri`) serta kekuasaan dalam mengatur dan menerapkan hukum berdasarkan batasan atau aturan-aturan yang telah dibuatnya (wilayah dalam tasyri`). Berbeda dengan wilayah takwini,wilayah tasyri`i lebih bersifat i`tibari dan berbentuk kesepakatan sehingga memungkinkan penolakan ataupun ketaatan atasnya[5].
Seorang mukmin atau muwahhid sejati tentu saja hanya akan menisbahkan kedua bentuk wilayah tersebut kepada Allah Swt. Penisbahan mutlak itu sendiri dapat kita bagi menjadi dua bentuk penisbahan.Wilayah secara substansial (bil-dzat), dimana wilayah tersebut mustahil dapat dinisbahkan kepada selain Allah Swt (Asy Syuura/9). Akan tetapi secara aksidental (bil-aradh), wilayah itu dapat dinisbahkan kepada selain-Nya (Al-Maidah/55). Oleh karena itu, dalam hal ini terdapat makhluk Tuhan yang memiliki potensi atau kemampuan mewakili Allah Swt (menjadi khalifatullah) dalam mengemban wilayah-Nya dan makhluk tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah manusia sempurna (insan kamil), dimana para Rasul, Nabi, dan juga para Walinya merupakan misdaq utamanya.
IMAMAH DAN IMAN ISLAM
Para ilmuan dari kalangan teolog dan filosof agama mendefinisikan agama secara beragam dan berbeda-beda, bahkan dengan sangat jelas terlihat adanya perbedaan-perbedaan yang bersifat prinsip dan mendasar diantara definisi-definisi yang ditawarkan. Sebagian mecoba mendefinisikan agama dengan batasan yang begitu luas hingga mencakup ajaran-ajaran yang bahkan didalamnya tidak terdapat kepercayaan akan adanya wujud Tuhan semisal budisme atau ajaran-ajaran yang bersifat materialis dan sebaliknya terdapat suatu definisi yang sangat mempersempit batasan agama hingga hanya mencakup satu bentuk kepercayaan atau mazhab saja. Dalam urf dan tradisi masyarakat muslim, agama dipahami sebagai suatu ajaran atau aturan (syariat) yang bersumbu pada hakikat, berdasarkan pemahaman ini agama didefinisikan sebagai suatu ajaran yang memiliki keyakinan-keyakinan benar dan bersesuaian dengan realitas serta menganjurkan perbuatan-perbuatan yang berefek dalam mengantar manusia kepada kesejahteraan dan kesempurnaan hakiki atau dalam penjelasan yang lain,agama didefinisikan sebagai sekumpulan petunjuk atau bimbingan ilmu dan amal untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia didunia dan diakhirat yang diperoleh melalui wahyu dan sunnah[6]. Pada agama terdapat keyakinan atau keimanan yang bersifat asasi dan juga terdapat keimanan dan kepercayaan yang sifatnya cabang, yang pertama disebut sebagai usuluddin dan yang terakhir disebut dengan furu`uddin. Tauhid (iman atas wujud dan ke-esa-an Allah Swt) berada pada puncak keimanan Islam dan setelah itu secara berurutan kenabian (nubuwwah) dan hari kiamat (ma`ad) adapun furu`uddin dipenuhi dengan aturan-aturan hukum dan akhlak, tiga keimanan pertama pada dasarnya merupakan ciri agama-agama langit (samawi) yang jika ditelaah lebih jauh lagi akan mengerucut kepada keimanan atas Tauhid, sebab, dari wujud Tuhan memancar ke-esa-an (tauhid) dan darinya pula memancar ke-adil-an dan ke-bijaksana-an dimana keduanya (sifat adil dan bijaksana) meniscayakan kenabian (nubuwwah) dan hari pembalasan (ma`ad), disini kita tidak bermaksud membahas sifat-sifat Tuhan, empat sifa-sifat Tuhan yang telah disebutkan (Wujud, Esa, Adil, Bijaksana) hanyalah sebagian dari sifat-sifat-Nya yang tak terbatas.
Imamah sebagai bagian dari keimanan Islam merupakan ke-lazim-an dari kenabian itu sendiri. Tanpa imamah, kenabian tidak bermakna. Sebab seluruh argumentasi yang meniscayakan adanya kenabian berlaku pula atas eksistensi dan kemestian imamah. Dan jika kenabian didasarkan atas kebijakan dan keadilan Tuhan, maka dengan keadilan dan kebijakan yang sama, imamah menjadi sesuatu yang niscaya bagi umat ini[6]. Bukankah kenabian Rasulullah Saw tidak hanya terbatas dizamannya saja? Bukankah ia adalah penutup para nabi dan tidak akan datang lagi nabi setelahnya sementara disatu sisi beliau membawa suatu ajaran paripurna yang diperuntukkan bagi umat manusia hingga akhir zaman? Bukankah kita menyakini Rasulullah Saw sebagai Nabi masa kini meskipun beliau terlahir dan terbatasi dalam jasad materi yang secara natural akan punah dan hancur? Hari ini Rasulullah Saw tidak lagi hidup dan berinteraksi fisikal dengan umatnya, apakah hal ini berarti Tuhan telah meninggalkan hamba-hambanya serta tidak berlaku adil dengan mereka? Apakah dengan tidak adanya utusan (nabi atau imam maksum), kebijakan dan keadilan Tuhan tidak perlu dipertanyakan? Dengan jaminan apa kebenaran risalah Rasulullah Saw senantiasa terjaga dan tidak mengalami distorsi tanpa keberadaan seorang maksum? Bukankah sejarah telah mempertontonkan dan menginformasikan kepada kita akan berbagai penyimpangan dan penyelewengan informasi dan fakta-fakta kebenaran?
Jika sebuah rezim berkuasa sekitar 32 tahun saja (misal: Rezim Soeharto) dapat mengubah dan memanipulasi data-data penting sejarah republik tercinta, lalu mengapa kita terlarang untuk kritis dan mempertanyakan data-data atau informasi akan kemurnian Agama tercinta kita (Al-Islam) yang telah diwarisi oleh puluhan rezim khilafah selama kurang lebih 14 abad? Bagaimanakah akal dan nurani kita menjawabnya?
IMAMAH DAN OTORITAS KETUHANAN
Imamah sebagai bagian dari keimanan Islam tidak dapat dinafikan begitu saja. Sebab al Qur`an sendiri telah mengabarkan kepada kita disalah satu ayatnya,dikisahkan bahwa setelah Nabi Ibrahim As berhasil melalui pelbagai ujian dan kesulitan, sembari berdo`a ia memohon kepada Rabnya, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata: “Dan saya mohon juga dari keturunanku.” Allah berfirman : “janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim” [8].
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kenabian dan imamah adalah dua hal yang berbeda dan sekaligus dua hal yang sangat berhubungan. Sebagaimana halnya makam kenabian hanya dapat diraih dengan izin-Nya, makam imamah pun tidak bisa diraih begitu saja oleh setiap orang. Pengankatan atau penobatan seorang imam merupakan hak prerogatif dan otoritas Tuhan. Imamah bukanlah suatu pengukuhan murni dari seorang Nabi tetapi lebih dari itu imamah adalah pemberian Tuhan bagi orang-orang yang ‘layak’ atasnya. Nabi hanyalah sebatas mengabarkan dan mengenalkannya kepada umat. Sekiranya seorang nabi memiliki otoritas dalam hal ini, maka sungguh tidak bermakna ketika Ibrahim As memintanya dari Tuhan. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bersama, Ibrahim As pada saat itu telah meraih dan menduduki makam kenabian. Ia adalah nabi yang kemudian menjadi imam. Perlu diketahui pula bahwa Rasulullah Saw sendiri tidaklah berbeda dengan nabi Ibrahim As dari sisi bahwa ia adalah Nabi dan sekaligus imam. Hanya saja, Al Qur`an lebih sering menyebut beliau dengan Nabi atau Rasul ketimbang Imam. Sementara dari ayat Al Qur`an itu sendiri (Al-Baqarah : 124) dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah merupakan derajat yang lebih tinggi dari kenabian atau dengan kata lain tidak semua Nabi adalah Imam dan begitu pula sebaliknya[9].
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa Nabi Saw dalam peristiwa Ghadir Khum telah mengenalkan pengganti dan penjaga risalahnya dan peristiwa ini berlangsung tidaklah semata atas kehendak Nabi Saw tetapi, lebih dari itu adalah perintah Allah Swt. Hal ini terlihat jelas dengan turunnya ayat: “ Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak meyampaikan amanat-Nya (risalah-Nya). Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir itu”(Q.S. Al-Maidah : 67)[10].
Sebagaimana maklum, Rasulullah Saw adalah manusia suci dan maksum serta mustahil (bukan mustahil dzati) untuk melakukan sesuatu yang tidak didasarkan atas wahyu Ilahi[11],. Dalam beberapa moment atau kejadian tertentu, terkadang Rasulullah Saw mendapatkan perintah secara khusus yang ditandai dengan turunnya wahyu kepada beliau, hal ini dapat menggiring kita untuk memahami bahwa kejadian atau peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang sangat penting. Salah satu diantara kejadian-kejadian itu adalah peristiwa Ghadir Khum. Betapa tidak, didalam ayat disebutkan bahwa: “Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan, (berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya” dan juga disebutkan: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”, dari penggalan ayat tersebut dapat dimengerti bahwa “sesuatu” yang mesti tersampaikan itu adalah sesuatu yang sangat besar dan agung setimbang dengan “risalah yang telah tersampaikan”. Dalam artian bahwa; seakan-akan Allah Swt hendak menyatakan bahwa risalah Islam yang selama ini telah didakwahkan Rasulullah Saw selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai ujian,kesulitan dan tantangan yang begitu dahsyat menjadi sia-sia manakala Rasulullah Saw tidak menyampaikan sesuatu tersebut. Kemudian disisi lain, ayat diatas juga menyiratkan suatu kondisi sosial politik yang tidak kondusif serta tidak mengizingkan Nabi untuk secara gamlang menyampaikan apa yang telah ‘dipesankan’ Tuhan kepadanya. Rasulullah seakan-akan ragu dan merasa takut untuk mengungkapkan “amanat” Tuhan yang telah turun kepadanya, hingga turunnya wahyu dalam menegaskan hal itu.
Terdapat beberapa tafsiran atau pandangan dalam kaitannya dengan kalimat “…apa yang diturunkan Tuhan kepadamu dari Tuhanmu…”, dimana dalam kaitannya dengan ayat yang turun,sebagian berpendapat bahwa yang dimaksudkan Allah Swt tidak lain dan tidak bukan adalah menyangkut masalah-masalah usuluddin dan serangkaian hukum-hukum syar`i semisal tauhid, shalat, zakat, puasa dll. Akan tetapi, jika kita renungkan lebih mendalam lagi, rasanya hal itu sangat jauh dari yang diinginkan. Sebab dari serangkaian ayat yang terkait serta dengan mencermati kondisi dan situasi yang ada pada saat itu, dapat disimpulkan bahwa aqidah dan hukum-hukum syariat semisal tauhid, shalat, puasa dsb, itu bukanlah maksud dari ayat itu. Sebab saat itu adalah hari-hari terakhir dari masa kenabian Rasulullah Saw dan selama ini beliau telah sering menjelaskan masalah-masalah aqidah dan perkara-perkara hukum syar`i dan tidak perlu merasa takut dengannya[12].
Begitu pula halnya dengan pemaknaan kata “waliya-mawla” dalam penggalan hadist Nabi Saw:“…fa man kuntu mawlahu fa Aliyyun mawlahu…”. Apakah Nabi Islam Saw dalam suatu safar yang sulit dan melelahkan, ditengah padang yang gersang serta dibawah terik matahari yang begitu panas, menunggu mereka yang tertinggal dan memanggil para sahabat yang telah berjalan jauh untuk kembali hanya ingin menyampaikan atau mengumumkan bahwa: “…barang siapa menjadikanku kecintaanya (mencintaiku), maka Ali As menjadi kecintaannya (mencintainya…)” atau “…barang siapa menjadikanku penolongnya maka Ali As menjadi penolongnya…” atau “…barang siapa menjadikanku sahabatnya (temannya), maka Ali As menjadi sahabatnya (temannya)…?”.
Apakah selama ini mereka tidak mengenal Ali bin Abi Thalib As yang telah memeluk Islam sejak masih kanak-kanak dan senantiasa tumbuh dan besar dalam didikan Rasulullah Saw?. Apakah mereka lupa bahwa Ali bin Abi Thalib As adalah orang yang telah menggantikan Rasulullah Saw ditempat tidurnya ketika hendak diteror orang-orang kafir? Apakah mereka tidak tahu bahwa Ali bin Abi Thalib As adalah suami dari putri terkasih beliau Sayyidah Fatimah Az -Zahra As sehingga beliau mesti mengumungkan kepada khalayak bahwa ia mencintai Ali As, atau bahwa Ali As adalah sahabatnya ? Apakah mungkin Rasulullah Saw menikahkan putrinya dengan orang yang tidak dicintainya, dimana sayyidah Zahra As menerima lamaran seseorang yang dibenci ayahnya? Jika Nabi Saw mencintai Ali bin Abi Thalib As, lalu mengapa hal itu mesti diumumkan, itupun ditengah padang pasir yang tandus dengan kondisi para musafir yang sedang lelah? Yakni; apa pentingnya untuk mengumumkan hal itu sementara kaum muslimin telah mengetahui kedudukan Ali bin Abi Thalib As disisi Rasulullah Saw jauh sebelum mereka datang dan bergabung dalam kafilah haji Rasulullah Saw.
Disinilah dibutuhkan kecermatan dan ketelitian dalam memaknai perkataan (hadist) Nabi Saw. Sebab, kata waliya-mawla itu sendiri memiliki beberapa makna dan tidak terbatas kepada makna yang telah disebutkan diatas. Kata waliya-mawla juga dapat bermakna “pemimpin” atau “yang memiliki hak dan kuasa mengatur serta mengawasi dalam segala urusan”[13]. Apakah makna yang terakhir ini tidak lebih tepat dibandingkan dengan dua atau tiga makna yang pertama? Yaitu; Rasulullah Saw sesungguhnya bersabda: “Barang siapa menjadikanku pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya”. Sekedar catatan bahwa Allamah Amini Ra didalam kitab Al Ghadirnya telah mengumpulkan serangkaian data-data terkait dengan hadist atau ucapan Rasulullah Saw seusai mendeklarasikan wilayah atau imamah Ali bin Abi Thalib As pada sabdanya yang terkenal; “…fa man kuntu mawlahu fa Aliyyun mawlahu…”, dalam hadist tersebut Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya: “Allah Maha besar atas tersempurnakannya agama dan tercukupkannya nikmat dan telah ridhanya Tuhan atas kerasulanku dan wilayah Ali setelahku[14].
Walluhu a’lam bishawab[]
———————————————————————————————————————————————————————————————————-
Penulis : Alumni program S1 pada Al-Mustafa International University Qom-Iran.
[1]. Al Ghadir,Allamah Amini,Jilid 1 atau Gozide-i jame az Al Ghadir,Allamah Amini(Hasan Syafii Syahrudi),Hal: 41-42 dan Muhaadheraat fil Ilahiyaat,Ayatullah Subhani(Ali Rabbani Gulpaegani),Hal: 366-367.
[2]. Shi-e dar Islam,Allamah Thabathabai(Sayyed Hadi Husyru syahi),Hal: 163-165.
[3]. Velayat-e Faqih, Ayatullah Hadi Ma`rifat,Hal: 40
[4]. Velayat-e Faqih;velayat-e feqahat va edalat, Ayatullah Jawadi Amuli,Hal: 122
[5]. Ibid,Hal: 123-124
[6]. Mabani-e ma`refat-e Dini,Muhammad Husein Zadeh,Hal: 17-19
[7]. Tarjemeh va sharh-e Bab hadi asyr,Dr.Ali Syirwani,Hal: 154
[8]. Q.S. Al-Baqarah : 124
[9]. Fadak, Ayatullah Ridha Ustadzi,Hal: 255.
[10]. Dikalangan syi`ah ayat ini diyakini(secara ijma)turun ketika nabi sedang dalam perjalanan pulang dari mekkah menuju madinah seusai menunaikan ibadah haji,tepatnya didaerah yang dikenal dengan ghadir khum yang letaknya tidak jauh dari juhfah.Allamah Syaikh Abdul Husein Amini ra. didalam kitabnya Al Ghadir ,jilid 1,hal:438-424,mengutipkan sekitar 30 hadist(pendapat) dari kalangan ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat ini telah turun dalam perjalanan pulang nabi dari mekkah menuju madinah sebagaimana yang diyakini kalangan syi`ah,diantara tokoh-tokoh ahlussunnah yang dimaksud adalah : Thabari(w. 310),Hakim Hasakani-Abu al Qasim(w. 490),Abu al Qasim Ibnu Asakir(w. 571) bermazhab syafi`i,Fakhruddin Razi(w. 606) bermazhab syafi`i,Jalaluddin Suyuthi(w. 911) bermazhab syafi`i,Qhadi Sukani(w. 1250),Sayyed Syahabuddin Alusi-Bagdadi(w. 1270)bermazhab syafi`i,Syaikh Sulaiman Qundusi(w. 1293) bermazhab Hanafi,Syaikh Muhammad Abduh(w. 1323).(Lihat : Gozide-i jame az Al Ghadir,Allamah Amini(Hasan Syafii Syahrudi),Hal:64-67)
[11]. Q.S. An Najm : 3-4
[12]. Kalam Islami, Jilid 2, Muhammad Saidi Mehr, Hal: 160
[13]. Al Mufradat (Darul Ma`rifah,Beirut-Libanon), Raghib Isfahani,Hal: 533, Shamim-e Velayat, Ayatullah Jawadi Amuli(Sayyed Mahmud Shadiqi), Hal: 171-172 dan Aqaid Istidlali, Jilid 2, Ali Rabbani Gulpaegani, Hal: 155
[14]. Aqaid-e Islami dar partu qur`an, hadist va akl, Ayatullah Subhani, Hal: 501
Sumber:http://syiahali.wordpress.com/2011/04/10/peristiwa-ghadir-khum-merupakan-momentum-terbaik-diantara-momentum-momentum-sebelumnya-bagi-rasulullah-saw-dalam-memperkenalkan-keutamaan-dan-kelayakan-ali-bin-abi-thalib-as-untuk-mewarisi-tampuk-kepe/