Acara Indonesia Lawyers Club tadi malam
dengan tema”Syiah Diusir, Negara Ke Mana” memancarkan pesan yang sangat
jelas bahwa kita mengalami krisis kemanusiaan.
Saya mendengar langsung bagaimana 2 Kiai
Sampang berbicara. Saya menyimak bagaimana dua wakil MUI mengembangkan
argumennya soal kasus Sampang. Lalu kemudian saya sedih dan marah karena
mereka yang katanya ulama, lebih memilih menyatakan sesegera mungkin
betapa berbedanya iman mereka dari pengungsi Sampang. Betapa sesatnya
Tajul Muluk dan pengikutnya ketimbang mendahului barang sejenak bahwa
atas nama Islam yang mereka banggakan, mereka berempati dan menyesal
atas terjadinya pengusiran pengungsi Syiah dari GOR Sampang ke Rusunawa
Puspa Agro di Sidioarjo karena kemanusiaan yang sama.
Seorang Prof bernama Baharun yang juga
Ketua Komisi Hukum dan UU MUI Pusat bahkan tidak bisa menutupi
kedengkiannya. Dia tidak ingin, mungkin pula berusaha mengelak untuk
menganggap peristiwa pengeluaran pengungsi dari GOR di Sampang adalah
pengusiran. Dia kesulitan membedakan pengusiran dari pemindahan dan pada
puncaknya dia mengolok-olok dirinya dengan mempertanyakan hal yang
sangat tidak penting di luar masalah kemanusiaan seperti Syiah yang
mana, ajaran Syiah Tajul, dan kalo pertanyaan rakyat, rakyatyang mana.
Dia terus saja mempermalukan dirinya
dengan berhenti menggunakan argumen dan pada akhirnya terjatuh sama
persis dengan kiai-kiai sejawatnya yang tak bisa lain kecuali hanya bisa
mengancam atas nama orang Madura di balik pesannya yang tampak mewakili
agama yang suci.
Saya tidak tahu apakah saya, Anda, harus
malu, kecewa atau gembira melihat kualitas MUI dan kiai kita seperti
itu. Tapi terus terang saya sedih karena sungguh tak ada sama sekali
maksud saya untuk melihat mereka terhina dan mengolok-olok diri mereka
sendiri di sana.
Jika saja kita bisa keluar dari sekat
perbedaan dan menjadi manusia bebas, kita tahu dalam acara itu ada diksi
yang sangat tidak sensitif. Saya tidak setuju dengan istilah konflik
yang keluar dari bibir Wakapolres Sampang, Kabidhumas Polda Jatim dan
Pemprov Jatim. Konflik mengandaikan dua belah pihak yang saling ingin
menghabiskan, menghancurkan dan memusuhi. Yang terjadi sebenarnya adalah
penindasan.
Tajul Muluk telah dipaksa menjadi sama
dengan mereka. Lalu karena dia menolak, mereka mengusirnya. Jauh dalam
pengusiran, rumah, pesantren, mushalla, koperasi Tajul Muluk dan
keluarga dibakar pada akhir 2011. Pengikut Tajul Muluk diungsikan,
sementara harta mereka dijarah di kampung. Saat mereka kembali dari
pengungsian, hidup mereka diitimidasi akan dibunuh. Anak-anak mereka
dibully di sekolah karena terlahir sebagai anak Syiah. Pekerja dipecat
karena tak mau pindah ke Sunni. Tajul pun dikriminalisasi dengan hukuman
4 tahun penjara.
Tak cukup hanya itu, penyerangan kembali
terjadi 26 Agustus 2012. Satu orang bernama Hamamah tewas dikeroyok. 7
orang luka, 46 rumah dibakar dan mereka mengungsi hampir 10 bulan di GOR
Sampang hingga akhir diusir paksa dalam relokasi ke Sidoarjo. Jadi
siapa bilang ini hanya tentang Tajul Muluk. Ini pembersihan seluruh
warga muslim Syiah dari kampung halamannya sendiri.
Mereka adalah orang-orang tertindas yang
beriman. Saya mendengar sendiri dari mulut pengungsi bahwa Ustad Tajul
mengajarkan mereka haram hukumnya menyerang orang lain apalagi sesama
muslim. Tak boleh mendendam, tak boleh menyakiti yang sudah meminta maaf
atau terjatuh dalam perkelahian.
Saya tak berharap para kiai dan MUI akan
sensitif terhadap ketidakadilan penggunaan diksi konflik tersebut.
Tentu saja saya tak perlu menjadi profesor dan ulama elit MUI untuk tahu
itu bukan konflik melainkan penindasan. Pengusiran dan bukan
pemindahan. Tapi saya marah besar kalau pejabat polisi dan pejabat
Pemprov gagal untuk melihat masalah ini sebagai penindasan. Kegagalan
kita melihat masalah ini menghalangi kita untuk menyelesaikan masalah
dan memberi keadilan.
Pada akhirnya renungan dari acara ILC
tersebut kembali kepada negara. Apakah negara bisa berdiri di atas semua
golongan dan mengayomi mereka dengan logika recht staat dan bukan maach
staat? Apakah hari ini perbedaan akan disikapi sebagai kejahatan dan
penyelesaian konflik akan selalu mencari jalan gampangan berupa relokasi
dan bukan rekonsiliasi?
Negara hari-hari ini tidak memberikan
jalan menginspirasi dalam menyelesaikan ketegangan dari perbedaan umat
beragama. Negara membiarkan dirinya dipinjam oleh kekuatan intoleran
untuk melakukan praktek-praktek koersi, diskriminasi bahkan penyuburan
kebencian dengan kekerasan. Menarik bagi saya mengetahui bahwa bukan
kiai dan ulama MUI yang mengajarkan dan menegaskan tentang kemanusiaan
dan kebhinekaan, tetapi Mat Rosid, 24 tahun pegungsi dan pegowes Syiah
yang tak mengenyam bangku sekolah.
Allah, Tuhan Mahasuci selalu punya cara
mendidik kita dengan sangat halus dan lembut kali ini dengan menampakkan
kekerdilan mereka yang kita anggap agung dan membesarkan mereka yang
kita anggap bukan siapa-siapa. Saya sekarang makin yakin agar negara
tidak terjebak dengan stereotipikal. Tidak setiap kiai lantas menjadi
berbudi. Tidak setiap ulama lantas beragama. Tidak setiap yang
beratribusi profesor lantas menjadi waras. Mereka yang kehilangan
kemanusiaan karena membela agamanya (vested interestnya) sebenarnya
telah lebih dulu kehilangan agamanya.
http://beritaprotes.com/2013/06/show-ilc-memudarnya-kemanusiaan-kiai/
http://beritaprotes.com/2013/06/show-ilc-memudarnya-kemanusiaan-kiai/