Pendahuluan
“Gerak” telah banyak diperbincangkan baik dalam fisika maupun metafisika, dari pandangan fisika “gerak” adalah sebuah fenomena alami sedangkan dari pandangan para filosof ilahi dan metafisika “gerak” adalah sebuah bentuk eksistensi, dari sini dapat dikatakan: pembahasan gerak, pada era ini merupakan salah satu titik temu antara fisika dan filsafat. Para ilmuwan kuno telah pula melakukan pembahasan bab gerak ini dalam masalah natural[1] [2] dan juga dalam maslaah theology dengan makna umum[3] dan khusus.[4]
Dengan kesemuanya ini haruslah dicermati adanya pembauran antara hukum-hukum filosofi gerak dengan hukum-hukum ilmiah (eksperimen)-nya, baik dalam pembauran keduanya dengan sesamanya dan kesimpulan deduktif filosofis dari prinsip ilmiah ataupun sebaliknya, karena hal ini banyak diikuti oleh kerusakan yang merugikan –terutama untuk kalangan para pemula dan mereka yang belum matang-. Immuniti dari bahaya pembauran ini berada pada lingkup pengetahuan atas batasan fisika dan filsafat. Pada tempatnyalah, apabila para filosof ilahi mempunyai metodologi yang matang dalam pembahasan fisika tentang gerak ini, dan ... para pelajar serta peneliti fisika pun melakukan pengamatan dan observasi yang cermat dan teliti dalam pembahasan tema filsafat yang satu ini.
Warna dari pembicaraan kita dalam tulisan ini lebih merupakan warna filosofi dari pada eksperimen (ilmiah). Titik perhatian kami adalah pada analisa teori penggerak awal (prime mover) Aristoteles.
Pembahasan akan kami mulai dari tema “esensi sesuatu” dan kami akan menyajikan uraian pertama tentang teori penggerak awal yang dinisbatkan kepada Aristoteles.
Menurut pendapat Aristoteles untuk menemukan sebab, khususnya untuk menemukan sebab gerak, maka kita harus berhenti pada suatu tempat, dan pada selain keadaan ini tidak akan ada penyebab dari sesuatupun yang bisa ditemukan secara pasti. Hanya harus dilihat di manakah kita harus berhenti. Jawaban untuk pertanyaan ini akan ditemukan melalui tafakkur dan kontemplasi tentang gerak.
Apabila sebab dari sebuah gerak kita hadirkan melalui gerak lainnya, maka keniscayaan yang akan muncul adalah bahwa gerak kedua akan kita dapatkan melalui gerak ketiga dan gerak ketiga melalui gerak keempat dan demikian seterusnya hingga rangkaian ini akan berlanjut terus tanpa akhir. Jadi apabila kita ingin mendapatkan alasan yang pasti, maka kita harus melihat ke dalam majemuk gerak, bukan pada pengaruh sebuah penggerak yang digerakkan melainkan pada sebuah penggerak yang tak digerakkan, ringkasnya kita hendaknya melihat pada sebuah “penggerak yang berhenti”.
Akan tetapi kita mengenal sebuah keadaan dimana dalam keadaan tersebut, gerak secara inderawi dilahirkan melalui proses sebuah “penggerak yang berhenti” dan penggerak tersebut adalah cinta yang muncul melalui sebuah kecantikan. Seseorang yang telah menjadi pecinta akan terseret ke arah yang dicinta, hal ini disebabkan yang dicintai itu telah menarik perhatian pecinta ke arahnya, akan tetapi obyek yang dicintai bukan hanya untuk menggerakkan pecintanya saja sehingga dia tidak memberikan gerakan pada dirinya, melainkan terdapat banyak kemungkinan dimana dia pun tidak sadar dengan kewujudannya. Inilah sebuah gambaran yang menurut perkiraan Aristoteles telah memberikan kefahaman sebab gerakan yang telah membuat dunia bergerak, dan karena gerakan semcam ini ada, maka harus terdapat pula penggerak yang berhenti yang menjadi tempat kebergantungan semuanya dan penggerak tersebut adalah Tuhan.[5]
Kedua uraian di atas –sebagaimana yang telah Anda perhatikan- secara eksternal saling berbeda antara satu dengan lainnya. Pada uraian pertama, penggerak awal diungkapkan sebagai pecinta, akan tetapi pada uraian terakhir penggerak awal diungkapkan sebagai yang dicintai yaitu sesuatu yang terbatas. Dalam kelanjutan pembahasan, kami akan kembali pada point tersebut sekaligus mencoba melakukan analisa dan evaluasi terhadap perangkat dari setiap kedua uraian.
Syeikh Ar-Rais Ibn Sina sebagai penjabar teori Aristoteles, pada kitab “Ilahiyat Shifa” mengetengahkan pembahasan tentang penggerak awal yang dia namakan sebagai sesuatu yang dicintai , kebaikan hakiki, puncak kebaikan, sebab pertama dan penggerak pertama dan universal.
Para ahli sejarah Filsafat dalam menukilkan dan menginterpretasikan pendapat Aristoteles tentang penggerak awal kira-kira sepakat pada point berikut bahwa dia (Aristoteles) tidak menganggap Tuhan sebagai sebuah penggerak dan power mekanik. Pada kitab “Tarikh Filsafat” karangan Will Durant dikatakan:
Aristoteles berkata: Gerak secara pasti memiliki prinsip, dan apabila kita tidak ingin memasuki sebuah interkoneksi (tasalsul) yang melelahkan yang membawa masalah kembali ke belakang selangkah demi selangkah tanpa akhir, maka kita harus menerima adanya sebuah penggerak awal yang tak digerakkan (primum mobile immontum) atau penggerak hakiki sebagai sebuah prinsip yang tegas...Tuhan bukanlah pencipta, melainkan penggerak alam, dia memut ar alam tidak sebagai sebuah kekuatan mekanik, melainkan sebagai sebuah illatul illal (the first cause) dari semua sumber, aktivitas dan perilaku alam. “Tuhan memutar dunia ini sehingga yang dicintai menjadi pecinta.[6]
Aristoteles sepakat bahwa kinetik sebagai sebuah relefansi muncul lebih awal dari kekuatan, hal ini dikarenakan “kinetik” merupakan tujuan akhir dari kekuatan, dan Tuhan telah diungkapkan sebagai kinetik sempurna, dan berkata:
Tuhan sebagai prinsip eternal gerak dan peletak prinsip dari energi ke aktual, harus merupakan sebuah kinetik yang sempurna, yaitu berupa penggerak awal yang tak digerakkan ...penggerak awal yang tak digerakkan atau penggerak hakiki yang merupakan sebab akhir dari setiap prinsip gerak, merupakan sebab akhir menjadi kinetiknya energi, yaitu sebab dari kenapa kebaikan bisa dilahirkan.[7]
Kalimat-kalimat yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah yang dimaksud oleh Aristoteles dalam sifat “Awal” untuk Tuhan bukanlah keawalan dalam pengertian temporal. Menurut pendapat Aristoteles gerak secara urgensi dan dharuri adalah abadi dan tanpa permulaan. Dari sini perkataan “Awal” menurutnya adalah “Superior”.
Setiap gerak dan setiap perpindahan dari potensi ke aktual meniscayakan pada mabda bil fi’il (pemula aktual), akan tetapi apabila setiap benda bergerak mengharuskan adanya sebuah sebab penggerak aktual, maka dunia secara universal akan meniscayakan adanya sebuah “penggerak awal”, akan tetapi penting untuk memperhatikan poin berikut bahwa kata “awal” tidak boleh difahami sebagai pengertian temporal, karena menurut pendapat Aristoteles secara urgensi gerak itu abadi. Lebih baik kiranya apabila kata “Awal” difahami saja sebagai “’Superior” yang maksudnya adalah penggerak awal sebagai prinsip eternaliti, yaitu merupakan gerak yang abadi dan eternal. Menurut pendapat Aristoteles, apabila Tuhan sebagai sebab aktual fisik, berarti dia akan merupakan sebab gerak –dan dengan istilah lain, dia mengemudikan alam- dalam keadaan tersebut diapun akan menerima terjadinya perubahan yaitu reaksi dari yang digerakkan atas penggerak telah mempengaruhinya, oleh karena itu dia harus sebagai sebab akhir, yang menjadi pelaku melalui keinginan itu sendiri.[8]
Arsitoteles dalam kitab “Metafisika” menunjukkan bahwa pemula penggerak ini harus merupakan aktual murni yaitu energi tanpa sedikitpun potensi.[9]
Tentang Tuhan terkadang dia menganggapnya sebagai penggerak awal yang tak digerakkan dan terkadang pula dia menggunakan kata Tuhan itu sendiri.
Gerak, meniscayakan potensi dan kapabilitas dan keduanya ini bersumber dari maddah, oleh karena itu pada tempat dimana ada gerak, berarti ada maddah di sana, dan pada tempat dimana tidak ada gerak berarti tidak ada maddah pula. Aristoteles sepakat: karena tujuan setiap benda di alam ini adalah untuk mencapai keadaan bentuk murni, dengan demikian harus terdapat sebuah eksistensi aktual yang merupakan akhir dari setiap perubahan atau gerak. Eksistensi ini dinamakan sebagai “penggerak tak digerakkan”, meskipun dia tidak menerima sedikitpun kemungkinan terjadinya perubahan dan transformasi –karena dia sama sekali tidak tergolong dalam materi sehingga karena itulah dia tidak mempunyai kapabilitas sedikitpun– sebagai dalil dan sebab gerak segala sesuatu di alam semesta ... dengan demikian melalui cinta terhadap kesempurnaan dalam bentuk murni-lah sehingga alam natural melanjutkan gerak dan perjalannya yang tanpa akhir”.[10]
Harus diperhatikan bahwa dalam metode “Metafisika” nya Aristoteles, penggerak tak digerakkan sama sekali tidak akan pernah turun dari sifat dan posisi ini, karena eksistensi-eksistensi bergerak sama sekali tidak akan pernah sampai pada tingkatan bentuk dan kinetik murni, oleh karena itu senantiasa dalam usaha dan upaya dan sama sekali juga tidak akan pernah sampai pada tujuan lebih jauh tersebut. Dari sinilah penggerak senantiasa penggerak dan yang digerakkan pun senantiasa merupakan obyek yang digerakkan.[11]
Untuk lebih menjelaskan adanya kelebihan teori gerak atas teori-teori lainnya seperti teori keteraturan, teori huduts, wujub-imkan, dan teori sebab-akibat, hal ini mengharuskan kami untuk lebih cermat dan lebih jeli dalam menanggapi premis-premis teori ini serta prinsip middle term-nya.
Allamah Syahid Muthahari (ra) menuliskan:[12]
Teori penggerak awal terdiri dari lima prinsip pokok:
1. Gerak, membutuhkan penggerak,
2. Penggerak dan gerak keduanya adalah bersamaan secara temporal, yaitu mustahil terjadi pemisahan waktu di antara keduanya,
3. Setiap penggerak, mungkin digerakkan dan mungkin konstan,
4. Setiap eksistensi jasmani akan berubah dan digerakkan,
5. Gradasi interkoneksi (tasalsul) tanpa batas adalah mustahil.
Ayatullah Taqi Misbah Yazdy dalam uraiannya atas kitabnya allamah Thabathbai Nihayatul Hikmah mengungkapkan empat premis untuk teori gerak, sebagai berikut[13]:
Argumen gerak bersandar pada empat asas :obyek gerak membutuhkan penggerak, penggerak harus berakhir pada sesuatu yang tidak bergerak, sesuatu yang non materi bukanlah obyek gerak, mata rantai sesuatu non materi harus berakhir pada wajib al wujud.
Harus diketahui bahwa gerak adalah semacam bentuk perubahan dan tidak setara dengan perubahan mutlak. Gerak merupakan perubahan bertahap, dan dalam teori gerak perubahan tidak diperhatikan dari sisi kejadiannya, karena dalam keadaan ini berarti, pertama: tidak akan ada perbedaan antara perubahan seketika dengan perubahan bertahap (gerak), kedua: teori gerak pasti akan kembali kepada teori hudust (dari tiada menjadi ada). Demikian juga harus dicermati bahwa penegasan dalam teori gerak ini tidak diletakkan pada keharmonisan dan keteraturan gerak langit dan seluruh gerakan lainnya, karena dalam keadaan ini teori gerak akan kembali pada teori keteraturan.
Dan juga harus diperhatikan bahwa yang menjadi point pembahasan gerak dalam teori ini bukanlah dari sisi kemungkinannya dan kebutuhannya terhadap wajib, karena hal ini akan berarti tidak ada perbedaan antara perubahan bertahap (gerak) dengan perubahan seketika, karena keduanya merupakan wujud-wujud possibel yang membutuhkan wajib.
Dalam teori gerak, prinsip keberadaan gerak di alam natural adalah jelas dan nyata. Apabila seseorang mengingkari prinsip ini-sebagaimana yang dilakukan oleh filosof Paramandise dkk- maka hal tersebut akan membuat torehan pada teori ini, akan tetapi pengingkaran semacam ini untuk teori-teori seperti teori keteraturan, hudust, imkan-wujub, sebab-akibat, tidak akan memberikan goresan apapun. Oleh karena itu untuk memisahkan teori gerak dari teori-teori lainnya, harus kita perhatikan bahwa dalam teori ini middle termnya adalah “perjalanan benda secara bertahap dari potensi ke aktual”, dan bukan sesuatu yang lain[14], dan gerak baik sebagai persepsi mandiri atas asumsi penggerak ataupun sebagai gerak yang posisinya terletak dibawah persepsi mumkin atau akibat, merupakan sebuah persepsi filosofi, oleh karena itu midle term teori gerak ini adalah middle term yang filosofi, dan oleh karena itu teori gerak tidak bisa hanya dinamakan sebagai teori alami atau bertahap. Bukanlah Aristoteles dalam definisi geraknya mengatakan[15]:
“Gerak merupakan kesempurnaan pertama untuk sesuatu yang potensi, dari sisi kepotensiannya”
Tanpa ragu lagi perspesi seperti kesempurnaan, pertama dan potensi merupakan persepsi filosofis dan bukan persepsi dari kelompok ilmu alam, oleh karena itu perlu ditinjau kembali apabila kita mengatakan: “Aristoteles membahas teori ini dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli ilmu alam bukan dari kapasitasnya sebagai seorang filsosof ilahi” tentu saja tidak ragu lagi bahwa gerak merupakan fenomena alami akan tetapi pembahasan hukum-hukum gerak merupakan pembahasan rasional dan filosofi. (diperhatikan)
Ayatullah Jawadi Amuli, pada pasal kedua dari makalah “teori gerak” –nya menuliskan:
“Pembahasan dalam eksistensi gerak, merupakan partikulasi dari filsafat ilahi yang membahas mulai dari prinsip eksistensi hingga terlahirnya benda, .... akan tetapi pembahasan gerak dalam ilmu alam menjelaskan gerak sebagai sebuah fenomena khusus pada substansi tertentu, yaitu gerak pada ilmu alam membahas tentang apakah fulan substansi mempunyai kepadatan gerak ataukah tidak, bagaimanakah cara dia bergerak serta apa tujuannya, akan tetapi tidak membahas fenomena lain –yang tidak berada dalam lingkup pembahasannya-. Dan secara global pembahasan tentang apakah gerak ada di alam semesta ini ataukah tidak, dengan mengesampingkan substansi-substansi tertentu, berada di luar institusi ilmu alam melainkan berada dalam batasan pembahasan murni filosofi, ..... dan karena pembahasan kita sekarang adalah tentang wujud gerak sebagai sebuah pembahasan filosofi murni, maka hal ini harus dilakukan dengan memanfaatkan metode-metode khusus itu sendiri yang dalam filsafat ilahi dipergunakan untuk membuktikan eksistensi benda, lalu meletakkan inovasi ilmu alam sebagai saksi dan penegas, karena inderawi maupun deduksi tak satupun ada yang mampu membuktikan hakekat gerak dengan makna mendalam sebagaimana yang telah ditafsirkan, dan menjelaskan kemunculannya obyek luar.
Ringkasnya tidak satupun dari kesinambungan, tahapan, perjalanan dari potensi, lepasnya dari potensi dan sampainya pada aktual dan kesempurnaan wujud, tidak akan terindera oleh salah satupun dari panca indera dan ilmu yang perangkatnya adalah indera dan deduktif, tidak akan mempunyai kemampuuan untuk membuktikan hal-hal yang non inderawi dan diapun tidak mempunyai hak untuk mengingkarinya”.[16]
Mulla Sadra (ra) sendiri dalam kitab Asfar-nya pun mengatakan bahwa gerak dan diam merupakan sebuah masalah yang tidak bisa difahami dengan indera, melainkan indera hanyalah sebagai penentu dan sahabat akal dalam memahami mereka.[17]
Saksi lain yang menyatakan bahwa teori gerak merupakan sebuah teori filsafat murni dan bukannya sebuah teori eksperimen adalah bahwa “gerak” sama sekali tidak bisa dikatagorikan atau istilahnya tidak termasuk dalam kelompok mahiyat (esensi) dan akal pertama[18], melainkan termasuk ke dalam akal kedua filsafat dan oleh karena itu pembahasan yang berkaitan dengan masalah tersebut berada dalam institusi hikmah ilahi.
Sheril Warner menuliskan: pemutar pertama tanpa putaran ini adalah wujud abadi, hal ini terjadi karena gerak yang terlahir darinya adalah abadi, dia juga mempunyai kesempurnaan menyatu karena gerak yang dimunculkan merupakan gerak yang koheren dimana koheren meniscayakan pada kebersatuan, akan tetapi menganggap wahidnya pemutar pertama adalah tidak mencukupi. Pemutar pertama mempunyai bagian yang tak bisa diterima pula yaitu dia tidak mempunyai jumlah. Pada hakekatnya dia tidak bisa pula mempunyai jumlah, karena pemutar yang melakukan geraknya secara abadi dan mutlak tidak bisa merupakan akibat dari yang terbatas, akan tetapi pemutar ini bukan merupakan jumlah tak terbatas, karena di dalam alam riil sama sekali tidak ada wujud yang tak terbatas, dengan demikian pemutar tidak mempunyai jumlah dan pada prinsipnya mempunyai bagian yang tak bisa diterima, karena tidak ada jalan untuk berubah, maka dia tidak bisa menjadi sesuatu kecuali apa yang ada dan wajib wujud adalah mutlak.[19]
Pada tempat yang lain lagi dia menuliskan: Penggerak pertama, yaitu wujud sempurna yang telah menarik alam ke arahnya ini adalah apa yang disebut oleh para filosof sebagai Tuhan, dengan demikian penggerak pertama yang tak bergerak ini merupakan bentuk murni, sebuah wujud yang secara mutlak non materi dan bernama Tuhan.[20]
Bertolak belakang dengan pendapat Sheril Warner ini, sebagian sepakat bahwa teori penggerak pertama Aristoteles tidak mampu membuktikan keberadaan Tuhan, dan wajibul wujud serta penggerak tak digerakkan tidak relefan atas wajibul wujud karena bisa saja penggerak tak digerakkan ini merupakan wujud selain Tuhan.
Murtadha Muthahari (ra) dalam footnote-nya atas Usul Falsafah wa Rawaz-e Realism menuliskan: dengan memperhatikan bahwa teori ini secara analogi tidak membuktikan wajibul wujud melainkan hanya membuktikan sesuatu yang metafisik, maka kami menghindari penjelasan yang lebih lanjut.[21]
Ustadz ‘Alamah Jawadi Amuli (damu ‘izzah) dalam sharh Asfar menuliskan: dalam teori gerak, penggerak tak digerakkan-lah yang terbukti bukannya wajibul wujud.[22]
Di antara mereka, ahli kalam bernama Imam Fahrur-Razi mempunyai pendapat yang relevan dengan apa yang dikatakan oleh Sheril Warner. Dia berkata[23]:
Para naturalis berargumentasi atas wujud Tuhan dengan metodologi gerak yang mendasarkan pada hal berikut bahwa pada hakekatnya gerak akan berakhir pada penggerak tak digerakkan dan penggerak yang dirinya tak digerakkan mewajibkan untuk memiliki apa yang mungkin terlahir dalam haknya, dan eksistensi semacam ini secara lazim adalah wajibul wujud”.
Berkaitan dengan teori ini, dalam tafsir Imam Fahrur Razi, terdapat discourse tentang penggerak tak digerakkan dimana pada saat yang bersamaan dia sepakat pula bahwa penggerak tak digerakkan adalah wajibul wujud. Dengan memperhatikan bahwa wajibul wujud adalah esa dan pluralitas wajibul wujud merupakan hal sesuatu yang mustahil, dengan demikian maka harus terdapat penjelasan lain untuk para pengklaim ini.
Kebalikan dari Fahrur Razi, teolog ternama dan filosof terkenal bernama Abdul Razak Lahijy (ra) dalam kitab Shawariq-nya mengatakan bahwa teori gerak tidak bisa membuktikan wajibul wujud secara dzat.
Dalam tingkatan penghakiman atas pendapat-pendapat yang plural ini, ada baiknya apabila sebelumnya diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “gerak” di sini. Apabila yang dimaksud dengan “gerak” adalah perjalanan bertahap sebuah benda dari tingkat potensi menuju aktual, yang hal ini hanya bisa digambarkan pada materi, maka “penggerak tak digerakkan” di sini bisa merupakan salah satu dari possible-possible abstrak –mufaraqat bil-kuliyyah (paradoks secara universal)- dan secara lazim penggerak tak digerakkan pasti bukan wajibul wujud. Dan mereka yang mengatakan bahwa: teori penggerak pertama Aristoteles tidak bisa membuktikan wajibul wujud, bisa jadi maksud mereka adalah point ini.[24]
Akan tetapi apabila “gerak” kita artikan dengan makna luas, selama menjadi eksisnya dan hudust-nya possible-possible kita anggap pula sebagai manifestasi-manifestasi yang muncul dari gerak, dan hal tersebut kita namakan sebagai perjalanan dari tiada kepada ada, maka dalam keadaan ini penggerak tak digerakkan tidak akan relefan kecuali untuk wajibul wujud bil-dzat, karena keseluruhan sesuatu selain realitas wujud Nya akan mempunyai makna penggerak seperti di atas, dan wujud yang mempunyai makna tidak benar dalam perjalanannya dari tiada ke ada hanyalah wajibul wujud bil-dzat.
Mulla Sadra menamai: “menjadi eksisnya esensi possible” dengan “gerak dzatiyah” dan berkata: dalam eksistensi semacam ini, aktual muncul setelah potensi, etrë setelah non-etrë dan wujud muncul setelah tiada, yaitu eksistensi-eksistensi mumkin, tidak mempunyai eksistensi dalam tingkatan dzat dan middle mahiyah dan mereka akan menjadi eksis dengan perantaraan wajib, dan dalam inovasi semacam ini seakan-akan perjalanan dilakukan dari tiada ke ada.
Mulla Sadra (ra) mengatakan: perjalanan semacam ini juga merupakan salah satu bentuk dari gerak, karena transformasi dan perjalanan yang ada dalam empat akal terkenal (quantity, quality, place and position) merupakan gerak temporal, dan sebagaimana yang berlaku dalam gerak temporal dimana yang digerakkan membutuhkan adanya transformasi dan penggerak, maka dalam gerak dari tiada ke wujud ini pun membutuhkan adanya sebuah penggerak yang dirinya sendiri tidak mempunyai gerakan dan transformasi semacam ini, dan dia adalah wajibul wujud.
Ayatullah Jawadi Amuli dalam komentarnya atas kitab Asfar, menganggap perkataan Mulla Sadra (ra) ini sebagai pengecualian dan mempunyai makna terminologi lain dan mengatakan: apa yang ada dalam kitab “mabda’ dan ma’ad” yang berkaitan dengan terlahirnya gerak dalam mujaradad (alam abstraks) merupakan sebuah penjelasan yang berbeda dan mempunyai makna terminologi lain, karena secara istilah “abstrak-abstrak” –yang berasal dari imkan dzati dan mengalami transformasi ke wujub selainnya- tidak dikatakan sebagai “yang digerakkan”. Meskipun dengan makna yang ringan bisa dikatakan bahwa disanapun terdapat gerak, akan tetapi bagaimanapun juga alam abstrak dinamakan sebagai alam konstan.[25]
Apabila gerak -meskipun dengan makna yang ringan dan dangkal- menemukan jalannya di alam abstrak dan termasuk ke dalam akal-akal dan paradoks-paradoks, maka penggerak tak digerakkan hanya akan mempunyai satu obyek saja, dan dia tak lain adalah dzat wajib dan dengan demikian teori gerak akan menjadi affirmasinya wajib.
Point lainnya: apabila gerak kita ketahui sebagai sebuah perjalanan dari tiada ke ada dan hal tersebut kita nisbatkan kepada seluruh possibility yang ada, maka gerak ini akan equivalen dengan hudust dzati, dan penjelasannya adalah sebagai berikut bahwa proposisi “yang digerakkan oleh gerak ini membutuhkan penggerak tak digerakkan” adalah equivalen dan setara dengan apa yang kita katakan bahwa: fakta dzati membutuhkan qadim (ancient) dzati dan karena qadim dzati tidak akan bisa muncul sebelum adanya wahid, dengan demikian eksistensi tak digerakkan ini tak lain dan tak bukan adalah wahid itu sendiri.
Tentang apakah Aristoteles adalah seorang pemikir yang sepakat terhadap teori penggerak awal sebagai Tuhan yang esa(mono) ataukah sebagai Tuhan yang jamak (poly), terdapat banyak perbedaan pendapat di dalamnya, akan tetapi tentang apakah teori gerak mampu membuktikan bahwa Tuhan itu wahid ataukah tidak, hal ini membutuhkan diskursus yang lain lagi.
Dalam kitab Prinsip-prinsip Theology dalam Filsafat Yunani dan Agama-agama Ilahi tertulis: bisa jadi Aristoteles berfikir tentang penggerak-penggerak tak digerakkan dalam bentuk plural. Dengan diketahuinya bahwa Aristoteles telah sampai pada penggambaran Tuhan melalui metodologi gerak dan setiap bentuk dari gerak-gerak yang dia temukan senantiasa berakhir pada sebuah gerak tak digerakkan, maka berarti secara normal Aristoteles harus sepakat dengan kemajemukan Tuhan (polytheisme).[26]
Mungkin saja bisa dikatakan bahwa: Apabila kita menganalisa pluralitas sebagai sebuah longitudinal dan maksud kita dari tuhan-tuhan yang plural dan majemuk adalah penggerak-penggerak tak digerakkan dalam sepanjang longitudinal satu dengan lainnya yang pada akhirnya akan sampai pada satu penggerak pertama, maka matlab semacam ini bisa diperoleh dari discourse Aristoteles dan tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan Tauhid Tuhan dalam agama, akan tetapi apabila yang kita maksud dengan pluralitas adalah aksidensi dan maksud dari tuhan-tuhan yang plural dan majemuk adalah penggerak-penggerak tak digerakkan dalam aksidensi satu dengan lainnya, maka uraian seperti ini tentu saja akan bermakna syirik dalam prinsip keberadaan, akan tetapi dengan memperhatikan pendapat Aristoteles dalam masalah ini maka kita tidak bisa menisbatkan kata “syirik” kepadanya. Ibarat di bawah ini merupakan saksi dari klaim ini dan merupakan penegas yang bisa memberikan rujukan padanya:
“Pemula dan pertama, merupakan eksistensi-eksistensi yang tak digerakkan baik secara dzat maupun secara aksiden, akan tetapi pertama menggerakkan gerak mono-eternal, dengan memperhatikan bahwa yang digerakkan terpaksa menjadi bergerak karena sesuatu dan penggerak pertama secara dzat merupakan eksistensi tak digerakkan, dan gerak eternal menjadi bergerak karena sebuah eksistensi eternal juga, dan sebuah gerak terjadi dari sebuah penggerak, dan juga karena kita melihat bahwa selain gerak mutlak seluruh alam -dimana kita mengatakannya: substansi pertama yang tak digerakkan telah menggerakkannya- terdapat pula gerak-gerak space lainnya, seperti gerak abadi bintang-bintang berputar (yaitu meteor) .... maka setiap gerakan-gerakan space ini pun harus bergerak karena sebuah esensi dzati yang tak digerakkan dan yang abadi, .... jadi apa yang dikatakan bahwa esensi-esensi itu ada dan salah satu dari mereka adalah yang pertama dan selainnya adalah yang kedua, dengan keteraturan serupa, gerakan bintang-bintang menjadi sebuah point yang sangat jelas”.
Dari discourse ini bisa disimpulkan bahwa Aristoteles sepakat dengan adanya sebuah penggerak pertama yang secara dzat tak digerakkan, dan dia menganggapnya sebagai penggerak gerakan mutlak seluruh alam dan dalam sepanjang penggerak pertama ini dia juga percaya terhadap penggerak-penggerak tak digerakkan yang berada pada tingkatan kedua.
Apabila gerak dari tiada menjadi ada dan dari tak wujud menjadi wujud secara hakekat kita ketahui pula sebagai gerak, dalam keadaan ini tentu saja kita tidak akan mampu menganggap bahwa penggerak tak digerakkan dari penggerak-penggerak plural Aristoteles adalah selain penggerak tak digerakkan pertama, karena selain penggerak pertama semuanya mempunyai perjalanan dari tiada ke ada.
Sebagian –sebagaimana kita lihat- menguraikan teori gerak dengan cara sedemikian rupa hingga pada pamungkasnya membuktikan penggerak pertama sebagai sebab aktif gerak dan maksud dari sebab aktif atau pelaku gerak adalah “faktor yang mewujudkan gerak”. Di sini terdapat sebuah ishkal yang mengatakan bahwa pelaku yang langsung mewujudkan gerak maka dia sendiripun harus mempunyai gerak pula, dan atas dasar ini berarti tidak mungkin ada penggerak yang tak digerakkan.
Dalam menjawab kritik ini harus dikatakan bahwa pertama: apa sebenarnya yang dimaksud dengan gerak itu? Adakah yang dimaksud adalah gerak yang berada dalam ruang lingkup substansi ataukah gerak dengan makna kemunculan dan hudust (perjalanan dari tiada ke ada) pun termasuk yang dimaksudkan? Kedua: harus dilihat gerak di sini adalah sebagai akal kedua filsafat dan sebagai sebuah metode eksistensi ataukah gerak sebagai sebuah persoalan esensial dan fenomena aksidensi?
Apabila gerak dalam substansi kita lihat sebagai sebuah fenomena asidensi dan teori penggerak pertama menekankan pada gerak ini, maka pertama: teori ini tidak cukup untuk membuktikan penggerak tak digerakkan, dan kedua: andai kita misalkan mencukupi, hal tersebut tetap tidak akan membuktikan tentang Tuhan, melainkan hanya akan membuktikan penggerak abstrak (metafisik) yang tak digerakkan.
Akan tetapi apabila gerak alam materi kita lihat sebagai sebuah persoalan dzati dalam jauhar (esensi) jism, maka dari sini kreasi gerak akan menjadi kreasi yang simpel dan sederhana bukan kreasi gabungan, dan teori ini akan mampu menjadi pembukti penggerak tak digerakkan, akan tetapi sekali lagi statement ini masih belum matang untuk membuktikan penggerak tak digerakkan sebagai mabda pertama (Tuhan) dan cenderung akan menjadi sempurna hanya dengan bantuan dari pembatalan interkoneksi (tasalsul).
Namun apabila gerak kita ambil dengan makna perjalanan dari tiada ke ada, maka dalam kondisi ini kita akan mampu mengatakan bahwa: eksistensi bisa terpilah dalam dua kelompok, yaitu penggerak atau digerakkan, dan karena yang digerakkan akan tertolak tanpa adanya penggerak, maka dalam keadaan apapun penggerak menjadi lazim dan dharuri. Dengan uraian ini teori gerak tidak memerlukan bantuan pembatalan teori daur atau interkoneksi, karena semua alam bergerak yang tercakup dalam satu wahana mempunyai satu hukum dan hukum tersebut adalah kebutuhannya akan penggerak yang tak digerakkan.
Mulla Sadra dalam kaitannya dengan gerak substansi alam materi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penggerak adalah pencipta atau pengada itu sendiri.
Hal ini akan menjadi lebih jelas dengan apa yang kita maksud bahwa gerak merupakan perjalanan dari tiada ke ada yaitu bahwa kreasi gerak tak lain adalah menciptakan, oleh karena itu penggerak di sini bermakna pemberi wujud atau pengada.
Ayatullah Jawadi Amuli dalam wacana tentang apakah teori gerak membutuhkan pembatalan teori daur ataukah tidak, menuliskannya sebagai berikut:
Apabila setiap dari gerak-gerak tertentu di alam luar diungkapkan sebagai statement, maka dalam menyempurnakan teori gerak meniscayakan untuk mengambil bantuan dari tertolaknya teori daur atau interkoneksi, akan tetapi apabila yang kita ungkapkan adalah majemuk alam natural -yang merupakan sebuah kesatuan riil-, maka hal ini tidak membutuhkan bantuan dari pembatalan interkoneksi, karena apa yang ada di luar alam natural sebagaimana metafisik berakhir pada Tuhan Subhan dan tidak ada satupun dari eksistensi abstrak yang memiliki potensi dan talent sehingga dia perlu melakukan perjalanan bertahap untuk sampai pada kesempurnaan. Dengan demikian tidak ada gerak dalam eksistensi abstrak, melainkan dia konstan, bukan diam dan dari sisi kekuatan dia tidak membutuhkan penggerak.[27]
Sebagaimana telah kami katakan: berargumentasi atas dasar gerak natural tidak akan mampu membuktikan Tuhan secara langsung, melainkan hanya akan membuktikan eksistensi metafisik, dan pembuktian eksistensi metafisik sebagai sebuah penggerak tak digerakkan secara rasional tidak identik dengan pembuktian wajibul wujud (Tuhan), dengan demikian untuk membuktikan Tuhan, teori ini masih membutuhkan penyempurnaan. Begitu juga dengan statement atas dasar gerak-gerak tertentu -sebagaimana yang telah diungkapkan oleh penyusun - membutuhkan pula penyempurnaan. Hanya saja perbedaannya adalah statement atas dasar gerak-gerak khas natural membutuhkan pembatalan interkoneksi (tasalsul) atau teori daur dalam parameter geraknya, akan tetapi teori gerak atas dasar gerak keseluruhan alam natural membutuhkan pembatalan interkoneksi dalam parameter wujudnya yaitu ketika wujud penggerak tak digerakkan yang abstrak telah terbukti, maka pertanyaan berikut ini harus kita ungkapkan yaitu apakah wujud penggerak semacam ini adalah dzati ataukah ditemukan dari selainnya, kemudian dari sini dengan penafian interkoneksi pada akhirnya kita akan membuktikan wajib. Sebagaimana dalam discourse-nya, Ayatullah Jawadi mengatakan: ..... akan berakhir pada Tuhan.[28] Point akhir ini menunjukkan pada kebutuhan teori tersebut terhadap penyempurnaan.
Akan tetapi apabila dikatakan: gerak materi dan alam samasekali tidak membutuhkan penggerak. Klaim ini sangat jelas kekeliruannya, akan tetapi apabila dikatakan: gerak materi tidak membutuhkan penggerak dari luar alam, melainkan penggerak dari gerak ini berada di dalam materi itu sendiri dan gerak ini merupakan gerak dinamik bukan mekanik dan oleh karena itulah sehingga tidak akan berakhir pada penggerak metafisik.
Dalam menjawab hal ini harus dikatakan: misalkan saja kita memiliki sebuah bahan dengan nama A yang bergerak. Gerak ini bisa jadi berada di dalam substansi A itu sendiri dan bisa jadi juga berada dalam aksiden-nya. Apabila gerak tersebut berada di dalam substansi A, berarti A tidak bisa memberikan gerak ini kepada dirinya sendiri, karena hal itu akan berarti bahwa kita harus memisalkan A tidak mempunyai gerak lalu dia memberikan gerak kepada dirinya dan hal ini mustahil, karena “tidak memiliki sesuatu sama sekali tidak akan mampu memberikan sesuatu”, dan pada akhirnya anterioriti sesuatu atas diri sendiri akan meniscayakan kontradiksi yang mustahil, dan apabila gerak tersebut berada dalam aksidensi A maka penyebabnya bisa jadi adalah jauhar atau esensi sebagai pelaku langsung gerak, yang dengan demikian berarti secara urgensi dia sendiri juga harus digerakkan dan dalam keadaan ini matlab di atas akan terulang, atau penyebabnya adalah aksiden itu sendiri yang terlepas dari esensi, muncul sebagai pemicu geraknya sendiri, dimana dalam keadaan ini pun akan muncul kritik anterioriti atas diri sendiri atau pencipta gerak adalah faktor ketiga yang dalam hal ini matlab akan menjadi relefan yaitu kebutuhan yang digerakkan terhadap penggerak selain dirinya menjadi terbukti. Apabila dikatakan: gerak ini merupakan lompatan (tanpa sebab), maka kami akan berkata: berarti hal ini identik dengan revolusi dan mustahil terjadi.
Ayatullah Jawadi Amuli menuliskan: apabila sebuah eksistensi materi ingin melepaskan diri begitu saja dari kekurangannya dan ingin mencapai kesempurnaan dengan sendirinya tanpa bantuan dari eksistensi sempurna, maka kelazimannya adalah bahwa sebuah benda materi dalam kepotensiannya mempunyai aktualitas dan dalam kekurangannya mempunyai kesempurnaan, yang hal ini identik dengan terkumpulnya dua kontradiksi (ijtima naqidhain). Dengan demikian setiap eksistensi bergerak membutuhkan eksistensi sempurna lainnya yang akan mengangkatnya dari kekurangan dan mengantarkannya kepada kesempurnaan dan apabila gerak luar tersebut juga merupakan gerak, maka dia membutuhkan penggerak lainnya pula hingga akhirnya sampai pada penggerak pertama dimana penggerak pertama ini dikarenakan kesuciaan nya dari segala kekurangan, dia akan terlepas dari segala bentuk gerak dan transformasi lainnya dan ini adalah apa yang dinamakan dengan teori gerak dari metodologi keteraturan aktivity.[29]
Maksud dari aktual dan potensi dalam pembicaraan di atas adalah ada dan tiada, dan karena berkumpulnya tiada dan ada adalah mustahil, maka terkumpulnya potensi dan aktual dalam satu benda adalah tidak mungkin.
Dalam uraian teori gerak, penggerak tak digerakkan ditetapkan sebagai tujuan akhir yang merupakan pokok dalam definisi gerak yaitu perjalanan dari potensi ke aktual. Segala sesuatu yang bergerak, untuk dapat bergerak, mengharuskan adanya tujuan, dan apabila tujuan itu sendiri membutuhkan tujuan, ini berarti termasuk dalam suatu kaidah yang pada akhirnya mengharuskan adanya rangkaian aktualitas yang merupakan tujuan dari segala sesuatu yang bergerak yang kemudian berakhir pada satu aktualitas hakiki yang tidak membutuhkan aktualitas lagi dan merupakan dasar dari gerak segala sesuatu yang bergerak, dengan kata lain tujuan akhir (hakiki) meniscayakan ketiadaan potensi dan merupakan kesempurnaan yang hakiki.
Setelah diketahui bahwa sisi aktual apabila dinisbatkan kepada sisi potensi merupakan sisi yang konstan, maka pembuktian penggerak tak digerakkan melalui pencari tujuan gerak menjadi lebih gampang dan lebih sedikit memiliki sanggahan, misalnya sanggahan berikut tidak bisa diungkapkan bahwa tujuan dekat yang bergerak itu sendiri meniscayakan –sebagaimana pelaku dekat dalam gerak- dirinya sebagai yang digerakkan pula, melainkan kebalikannya setiap tujuan dari sisi tujuannya meniscayakan kekonstanan. (perhatikan ini).
Salah satu pembahasan yang disajikan dalam wacana tentang Tuhan-nya Aristoteles dan perbedaannya dengan Tuhan agama-agama langit adalah bahwa Tuhan agama-agama langit bisa dijadikan sebagai pancaran cinta sehingga kita mampu beribadah kepada Nya, hal ini berlawanan dengan Tuhannya Aristoteles (yaitu penggerak tak digerakkan) dimana kita tidak bisa beribadah kepada Nya dengan cinta..
Berdasarkan nukilan Frederick Copleston, dikatakan bahwa Aristoteles sendiri dalam kitabnya yang berjudul “Akhlak Kabir” telah mengungkapkan sub tema ini secara eksplisit bahwa mereka yang berfikir bisa mencintai Tuhan akan terjerumus pada kesalahan, karena pertama: Tuhan (penggerak tak digerakkan) tidak bisa memberikan jawaban dalam menanggapi cinta kita dan kedua: dalam keadaan apapun dia tidak bisa menyuruh kita untuk mencintai Nya.
Tentang hakekat apa yang sebenarnya dimaksud oleh Aristoteles, hal ini membutuhkan kontemplasi dan observasi yang lebih cermat lagi dan dalam bab ini muncul pertanyaan prinsip sebagai berikut yaitu apabila Tuhan atau penggerak tak digerakkan pertama kita letakkan sebagai tujuan akhir dan juga sebagai ma’shuq (yang dicintai) dan penggerak akhir yang relevan, dalam keadaan ini alam gerak secara keseluruhan akan merupakan alam cinta terhadap penggerak tak digerakkan yaitu Tuhan, dan hal ini tidak relevan dengan klaim yang mengatakan bahwa tidak bisa ada cinta terhadap Tuhan, kecuali apabila maksud Aristoteles adalah bahwa cinta terhadap Tuhan tersebut berada di dalam segala sesuatu yang digerakkan secara paksa dan tak dikehendaki sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk cinta, penyembahan dan ibadah yang dikehendaki.[]
Walhamdulillah.
1. Abu ‘Ali Sina, “Fann Sama’ Tabii’i “ (dari kitab Shafa), terjemahan Muhammad Ali Furughy.
2. Aristoteles, “Tabi-iyyat”, terjemah dan pendahuluan Mehdy Fashad.
3. Mula Sadra, Asfar, J. 3, Al-Marhalatus-sabi’ah wa tsamanah, hal. 2 dan 184.
4. Ibid, J. 6, hal. 42-44.
6. Andre Krisson, “Falosife-ye Buzurg”, terjemahan Kadzim Emady, J. 1, hal. 230.
8. Will Durant, “Tarikh Falsafah”, hal. 70; Sheril Warner, “Seir Hikmah dar Yunan”, terjemahan Buzurg Nadir Zad, hal. 148; Bernard Russel, “Falsafeh-ye Gharb” terjemahan Najaf Darya Bandary, J. 1, hal. 251; Hana al Fakhury, Khalil al Bahr, “Tarikh Falsafah dar Jahan Islam”, terjemahan Abdul Hamid A-ety, hal. 71.
9. Frederick Copeleston, “Tarikh Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, J. 1, hal. 423-424.
10. Ibid, hal. 428.
11. Penerjemah “Tarikh Filsafat” Copleston dalam catatan kaki hal 428 menuliskan: Istilah yang cocok untuk aktual murni tanpa kapabilitas bukanlah energi (potensi dalam keadaan kinetik), melainkan intelkhiya.
12. Richard Popkind”Kuliyat-e Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, hal. 172.
13. Ibid, hal. 173.
14. “Usul Falsafah wa Rawesh-e Realism”, J. 5, hal. 6 (catatan kaki).
15. Hal. 416, no. 401.
16. Abdullah Jawadi Amuli, Mabda’ wa Ma’ad, hal. 180.
17. Asfar, J. 3, hal. 24.
18. Mabda wa Ma’ad, hal. 184 dan 185.
17. J. 3, hal. 22; dan J. 8, hal. 203.
18. Syeikh Isyraq (Ra) dalam “Talwihat”, hal. 11, menyatakan gerak sebagai katagori dan merupakan sebuah tema yang tidak membutuhkan ketergesa-gesaan dalam membahasnya.
19. Seir Hikmat dar Yunan, terjemahan Buzurg Nadir Zad, hal. 150.
20. Ibid, hal. 151.
21. Usul Falsafah wa rawasy-e Realism, J. 5, hal. 60.
22. Syarh Hikmah Muta’aliyah, bagian satu dari jilid keenam, hal. 300; juga Muhammad Taqi Mizbah Yazdi, Catatan kecil atas Nihayatul Hikmah, hal. 409.
23. Al Mabahitsul-mashriqiyyah, J. 2, hal. 451.
24. Tim penulis “Ma’arif Islami, 1-2” , hal. 296.
25. Syarh Hikmah Muta'aliyyah, J. 6, hal.. 300.
26. Reza Baranjkar’ Mabany Khuda Shenoshi dar falsafeh Yunan va- adiyan Ilahy, hal. 102.
27. Mabda’ wa Ma’ad, hal. 202.
28. Ibid.
29. Ibid, hal. 201.
“Gerak” telah banyak diperbincangkan baik dalam fisika maupun metafisika, dari pandangan fisika “gerak” adalah sebuah fenomena alami sedangkan dari pandangan para filosof ilahi dan metafisika “gerak” adalah sebuah bentuk eksistensi, dari sini dapat dikatakan: pembahasan gerak, pada era ini merupakan salah satu titik temu antara fisika dan filsafat. Para ilmuwan kuno telah pula melakukan pembahasan bab gerak ini dalam masalah natural[1] [2] dan juga dalam maslaah theology dengan makna umum[3] dan khusus.[4]
Dengan kesemuanya ini haruslah dicermati adanya pembauran antara hukum-hukum filosofi gerak dengan hukum-hukum ilmiah (eksperimen)-nya, baik dalam pembauran keduanya dengan sesamanya dan kesimpulan deduktif filosofis dari prinsip ilmiah ataupun sebaliknya, karena hal ini banyak diikuti oleh kerusakan yang merugikan –terutama untuk kalangan para pemula dan mereka yang belum matang-. Immuniti dari bahaya pembauran ini berada pada lingkup pengetahuan atas batasan fisika dan filsafat. Pada tempatnyalah, apabila para filosof ilahi mempunyai metodologi yang matang dalam pembahasan fisika tentang gerak ini, dan ... para pelajar serta peneliti fisika pun melakukan pengamatan dan observasi yang cermat dan teliti dalam pembahasan tema filsafat yang satu ini.
Warna dari pembicaraan kita dalam tulisan ini lebih merupakan warna filosofi dari pada eksperimen (ilmiah). Titik perhatian kami adalah pada analisa teori penggerak awal (prime mover) Aristoteles.
Teori “Prime-mover” (penggerak awal) Aristoteles
Pembahasan akan kami mulai dari tema “esensi sesuatu” dan kami akan menyajikan uraian pertama tentang teori penggerak awal yang dinisbatkan kepada Aristoteles.
Menurut pendapat Aristoteles untuk menemukan sebab, khususnya untuk menemukan sebab gerak, maka kita harus berhenti pada suatu tempat, dan pada selain keadaan ini tidak akan ada penyebab dari sesuatupun yang bisa ditemukan secara pasti. Hanya harus dilihat di manakah kita harus berhenti. Jawaban untuk pertanyaan ini akan ditemukan melalui tafakkur dan kontemplasi tentang gerak.
Apabila sebab dari sebuah gerak kita hadirkan melalui gerak lainnya, maka keniscayaan yang akan muncul adalah bahwa gerak kedua akan kita dapatkan melalui gerak ketiga dan gerak ketiga melalui gerak keempat dan demikian seterusnya hingga rangkaian ini akan berlanjut terus tanpa akhir. Jadi apabila kita ingin mendapatkan alasan yang pasti, maka kita harus melihat ke dalam majemuk gerak, bukan pada pengaruh sebuah penggerak yang digerakkan melainkan pada sebuah penggerak yang tak digerakkan, ringkasnya kita hendaknya melihat pada sebuah “penggerak yang berhenti”.
Akan tetapi kita mengenal sebuah keadaan dimana dalam keadaan tersebut, gerak secara inderawi dilahirkan melalui proses sebuah “penggerak yang berhenti” dan penggerak tersebut adalah cinta yang muncul melalui sebuah kecantikan. Seseorang yang telah menjadi pecinta akan terseret ke arah yang dicinta, hal ini disebabkan yang dicintai itu telah menarik perhatian pecinta ke arahnya, akan tetapi obyek yang dicintai bukan hanya untuk menggerakkan pecintanya saja sehingga dia tidak memberikan gerakan pada dirinya, melainkan terdapat banyak kemungkinan dimana dia pun tidak sadar dengan kewujudannya. Inilah sebuah gambaran yang menurut perkiraan Aristoteles telah memberikan kefahaman sebab gerakan yang telah membuat dunia bergerak, dan karena gerakan semcam ini ada, maka harus terdapat pula penggerak yang berhenti yang menjadi tempat kebergantungan semuanya dan penggerak tersebut adalah Tuhan.[5]
Kedua uraian di atas –sebagaimana yang telah Anda perhatikan- secara eksternal saling berbeda antara satu dengan lainnya. Pada uraian pertama, penggerak awal diungkapkan sebagai pecinta, akan tetapi pada uraian terakhir penggerak awal diungkapkan sebagai yang dicintai yaitu sesuatu yang terbatas. Dalam kelanjutan pembahasan, kami akan kembali pada point tersebut sekaligus mencoba melakukan analisa dan evaluasi terhadap perangkat dari setiap kedua uraian.
Syeikh Ar-Rais Ibn Sina sebagai penjabar teori Aristoteles, pada kitab “Ilahiyat Shifa” mengetengahkan pembahasan tentang penggerak awal yang dia namakan sebagai sesuatu yang dicintai , kebaikan hakiki, puncak kebaikan, sebab pertama dan penggerak pertama dan universal.
Para ahli sejarah Filsafat dalam menukilkan dan menginterpretasikan pendapat Aristoteles tentang penggerak awal kira-kira sepakat pada point berikut bahwa dia (Aristoteles) tidak menganggap Tuhan sebagai sebuah penggerak dan power mekanik. Pada kitab “Tarikh Filsafat” karangan Will Durant dikatakan:
Aristoteles berkata: Gerak secara pasti memiliki prinsip, dan apabila kita tidak ingin memasuki sebuah interkoneksi (tasalsul) yang melelahkan yang membawa masalah kembali ke belakang selangkah demi selangkah tanpa akhir, maka kita harus menerima adanya sebuah penggerak awal yang tak digerakkan (primum mobile immontum) atau penggerak hakiki sebagai sebuah prinsip yang tegas...Tuhan bukanlah pencipta, melainkan penggerak alam, dia memut ar alam tidak sebagai sebuah kekuatan mekanik, melainkan sebagai sebuah illatul illal (the first cause) dari semua sumber, aktivitas dan perilaku alam. “Tuhan memutar dunia ini sehingga yang dicintai menjadi pecinta.[6]
Aristoteles sepakat bahwa kinetik sebagai sebuah relefansi muncul lebih awal dari kekuatan, hal ini dikarenakan “kinetik” merupakan tujuan akhir dari kekuatan, dan Tuhan telah diungkapkan sebagai kinetik sempurna, dan berkata:
Tuhan sebagai prinsip eternal gerak dan peletak prinsip dari energi ke aktual, harus merupakan sebuah kinetik yang sempurna, yaitu berupa penggerak awal yang tak digerakkan ...penggerak awal yang tak digerakkan atau penggerak hakiki yang merupakan sebab akhir dari setiap prinsip gerak, merupakan sebab akhir menjadi kinetiknya energi, yaitu sebab dari kenapa kebaikan bisa dilahirkan.[7]
Kalimat-kalimat yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah yang dimaksud oleh Aristoteles dalam sifat “Awal” untuk Tuhan bukanlah keawalan dalam pengertian temporal. Menurut pendapat Aristoteles gerak secara urgensi dan dharuri adalah abadi dan tanpa permulaan. Dari sini perkataan “Awal” menurutnya adalah “Superior”.
Setiap gerak dan setiap perpindahan dari potensi ke aktual meniscayakan pada mabda bil fi’il (pemula aktual), akan tetapi apabila setiap benda bergerak mengharuskan adanya sebuah sebab penggerak aktual, maka dunia secara universal akan meniscayakan adanya sebuah “penggerak awal”, akan tetapi penting untuk memperhatikan poin berikut bahwa kata “awal” tidak boleh difahami sebagai pengertian temporal, karena menurut pendapat Aristoteles secara urgensi gerak itu abadi. Lebih baik kiranya apabila kata “Awal” difahami saja sebagai “’Superior” yang maksudnya adalah penggerak awal sebagai prinsip eternaliti, yaitu merupakan gerak yang abadi dan eternal. Menurut pendapat Aristoteles, apabila Tuhan sebagai sebab aktual fisik, berarti dia akan merupakan sebab gerak –dan dengan istilah lain, dia mengemudikan alam- dalam keadaan tersebut diapun akan menerima terjadinya perubahan yaitu reaksi dari yang digerakkan atas penggerak telah mempengaruhinya, oleh karena itu dia harus sebagai sebab akhir, yang menjadi pelaku melalui keinginan itu sendiri.[8]
Arsitoteles dalam kitab “Metafisika” menunjukkan bahwa pemula penggerak ini harus merupakan aktual murni yaitu energi tanpa sedikitpun potensi.[9]
Tentang Tuhan terkadang dia menganggapnya sebagai penggerak awal yang tak digerakkan dan terkadang pula dia menggunakan kata Tuhan itu sendiri.
Penggerak yang tak digerakkan (penggerak hakiki), bukan maddah (bahan, zat) dan bukan materi
Gerak, meniscayakan potensi dan kapabilitas dan keduanya ini bersumber dari maddah, oleh karena itu pada tempat dimana ada gerak, berarti ada maddah di sana, dan pada tempat dimana tidak ada gerak berarti tidak ada maddah pula. Aristoteles sepakat: karena tujuan setiap benda di alam ini adalah untuk mencapai keadaan bentuk murni, dengan demikian harus terdapat sebuah eksistensi aktual yang merupakan akhir dari setiap perubahan atau gerak. Eksistensi ini dinamakan sebagai “penggerak tak digerakkan”, meskipun dia tidak menerima sedikitpun kemungkinan terjadinya perubahan dan transformasi –karena dia sama sekali tidak tergolong dalam materi sehingga karena itulah dia tidak mempunyai kapabilitas sedikitpun– sebagai dalil dan sebab gerak segala sesuatu di alam semesta ... dengan demikian melalui cinta terhadap kesempurnaan dalam bentuk murni-lah sehingga alam natural melanjutkan gerak dan perjalannya yang tanpa akhir”.[10]
Harus diperhatikan bahwa dalam metode “Metafisika” nya Aristoteles, penggerak tak digerakkan sama sekali tidak akan pernah turun dari sifat dan posisi ini, karena eksistensi-eksistensi bergerak sama sekali tidak akan pernah sampai pada tingkatan bentuk dan kinetik murni, oleh karena itu senantiasa dalam usaha dan upaya dan sama sekali juga tidak akan pernah sampai pada tujuan lebih jauh tersebut. Dari sinilah penggerak senantiasa penggerak dan yang digerakkan pun senantiasa merupakan obyek yang digerakkan.[11]
Premis teori gerak dan perbedaannya dengan teori-teori lainnya
Untuk lebih menjelaskan adanya kelebihan teori gerak atas teori-teori lainnya seperti teori keteraturan, teori huduts, wujub-imkan, dan teori sebab-akibat, hal ini mengharuskan kami untuk lebih cermat dan lebih jeli dalam menanggapi premis-premis teori ini serta prinsip middle term-nya.
Allamah Syahid Muthahari (ra) menuliskan:[12]
Teori penggerak awal terdiri dari lima prinsip pokok:
1. Gerak, membutuhkan penggerak,
2. Penggerak dan gerak keduanya adalah bersamaan secara temporal, yaitu mustahil terjadi pemisahan waktu di antara keduanya,
3. Setiap penggerak, mungkin digerakkan dan mungkin konstan,
4. Setiap eksistensi jasmani akan berubah dan digerakkan,
5. Gradasi interkoneksi (tasalsul) tanpa batas adalah mustahil.
Ayatullah Taqi Misbah Yazdy dalam uraiannya atas kitabnya allamah Thabathbai Nihayatul Hikmah mengungkapkan empat premis untuk teori gerak, sebagai berikut[13]:
Argumen gerak bersandar pada empat asas :obyek gerak membutuhkan penggerak, penggerak harus berakhir pada sesuatu yang tidak bergerak, sesuatu yang non materi bukanlah obyek gerak, mata rantai sesuatu non materi harus berakhir pada wajib al wujud.
Harus diketahui bahwa gerak adalah semacam bentuk perubahan dan tidak setara dengan perubahan mutlak. Gerak merupakan perubahan bertahap, dan dalam teori gerak perubahan tidak diperhatikan dari sisi kejadiannya, karena dalam keadaan ini berarti, pertama: tidak akan ada perbedaan antara perubahan seketika dengan perubahan bertahap (gerak), kedua: teori gerak pasti akan kembali kepada teori hudust (dari tiada menjadi ada). Demikian juga harus dicermati bahwa penegasan dalam teori gerak ini tidak diletakkan pada keharmonisan dan keteraturan gerak langit dan seluruh gerakan lainnya, karena dalam keadaan ini teori gerak akan kembali pada teori keteraturan.
Dan juga harus diperhatikan bahwa yang menjadi point pembahasan gerak dalam teori ini bukanlah dari sisi kemungkinannya dan kebutuhannya terhadap wajib, karena hal ini akan berarti tidak ada perbedaan antara perubahan bertahap (gerak) dengan perubahan seketika, karena keduanya merupakan wujud-wujud possibel yang membutuhkan wajib.
Dalam teori gerak, prinsip keberadaan gerak di alam natural adalah jelas dan nyata. Apabila seseorang mengingkari prinsip ini-sebagaimana yang dilakukan oleh filosof Paramandise dkk- maka hal tersebut akan membuat torehan pada teori ini, akan tetapi pengingkaran semacam ini untuk teori-teori seperti teori keteraturan, hudust, imkan-wujub, sebab-akibat, tidak akan memberikan goresan apapun. Oleh karena itu untuk memisahkan teori gerak dari teori-teori lainnya, harus kita perhatikan bahwa dalam teori ini middle termnya adalah “perjalanan benda secara bertahap dari potensi ke aktual”, dan bukan sesuatu yang lain[14], dan gerak baik sebagai persepsi mandiri atas asumsi penggerak ataupun sebagai gerak yang posisinya terletak dibawah persepsi mumkin atau akibat, merupakan sebuah persepsi filosofi, oleh karena itu midle term teori gerak ini adalah middle term yang filosofi, dan oleh karena itu teori gerak tidak bisa hanya dinamakan sebagai teori alami atau bertahap. Bukanlah Aristoteles dalam definisi geraknya mengatakan[15]:
“Gerak merupakan kesempurnaan pertama untuk sesuatu yang potensi, dari sisi kepotensiannya”
Tanpa ragu lagi perspesi seperti kesempurnaan, pertama dan potensi merupakan persepsi filosofis dan bukan persepsi dari kelompok ilmu alam, oleh karena itu perlu ditinjau kembali apabila kita mengatakan: “Aristoteles membahas teori ini dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli ilmu alam bukan dari kapasitasnya sebagai seorang filsosof ilahi” tentu saja tidak ragu lagi bahwa gerak merupakan fenomena alami akan tetapi pembahasan hukum-hukum gerak merupakan pembahasan rasional dan filosofi. (diperhatikan)
Ayatullah Jawadi Amuli, pada pasal kedua dari makalah “teori gerak” –nya menuliskan:
“Pembahasan dalam eksistensi gerak, merupakan partikulasi dari filsafat ilahi yang membahas mulai dari prinsip eksistensi hingga terlahirnya benda, .... akan tetapi pembahasan gerak dalam ilmu alam menjelaskan gerak sebagai sebuah fenomena khusus pada substansi tertentu, yaitu gerak pada ilmu alam membahas tentang apakah fulan substansi mempunyai kepadatan gerak ataukah tidak, bagaimanakah cara dia bergerak serta apa tujuannya, akan tetapi tidak membahas fenomena lain –yang tidak berada dalam lingkup pembahasannya-. Dan secara global pembahasan tentang apakah gerak ada di alam semesta ini ataukah tidak, dengan mengesampingkan substansi-substansi tertentu, berada di luar institusi ilmu alam melainkan berada dalam batasan pembahasan murni filosofi, ..... dan karena pembahasan kita sekarang adalah tentang wujud gerak sebagai sebuah pembahasan filosofi murni, maka hal ini harus dilakukan dengan memanfaatkan metode-metode khusus itu sendiri yang dalam filsafat ilahi dipergunakan untuk membuktikan eksistensi benda, lalu meletakkan inovasi ilmu alam sebagai saksi dan penegas, karena inderawi maupun deduksi tak satupun ada yang mampu membuktikan hakekat gerak dengan makna mendalam sebagaimana yang telah ditafsirkan, dan menjelaskan kemunculannya obyek luar.
Ringkasnya tidak satupun dari kesinambungan, tahapan, perjalanan dari potensi, lepasnya dari potensi dan sampainya pada aktual dan kesempurnaan wujud, tidak akan terindera oleh salah satupun dari panca indera dan ilmu yang perangkatnya adalah indera dan deduktif, tidak akan mempunyai kemampuuan untuk membuktikan hal-hal yang non inderawi dan diapun tidak mempunyai hak untuk mengingkarinya”.[16]
Mulla Sadra (ra) sendiri dalam kitab Asfar-nya pun mengatakan bahwa gerak dan diam merupakan sebuah masalah yang tidak bisa difahami dengan indera, melainkan indera hanyalah sebagai penentu dan sahabat akal dalam memahami mereka.[17]
Saksi lain yang menyatakan bahwa teori gerak merupakan sebuah teori filsafat murni dan bukannya sebuah teori eksperimen adalah bahwa “gerak” sama sekali tidak bisa dikatagorikan atau istilahnya tidak termasuk dalam kelompok mahiyat (esensi) dan akal pertama[18], melainkan termasuk ke dalam akal kedua filsafat dan oleh karena itu pembahasan yang berkaitan dengan masalah tersebut berada dalam institusi hikmah ilahi.
Apakah penggerak pertama merupakan wajibul wujud?
Sheril Warner menuliskan: pemutar pertama tanpa putaran ini adalah wujud abadi, hal ini terjadi karena gerak yang terlahir darinya adalah abadi, dia juga mempunyai kesempurnaan menyatu karena gerak yang dimunculkan merupakan gerak yang koheren dimana koheren meniscayakan pada kebersatuan, akan tetapi menganggap wahidnya pemutar pertama adalah tidak mencukupi. Pemutar pertama mempunyai bagian yang tak bisa diterima pula yaitu dia tidak mempunyai jumlah. Pada hakekatnya dia tidak bisa pula mempunyai jumlah, karena pemutar yang melakukan geraknya secara abadi dan mutlak tidak bisa merupakan akibat dari yang terbatas, akan tetapi pemutar ini bukan merupakan jumlah tak terbatas, karena di dalam alam riil sama sekali tidak ada wujud yang tak terbatas, dengan demikian pemutar tidak mempunyai jumlah dan pada prinsipnya mempunyai bagian yang tak bisa diterima, karena tidak ada jalan untuk berubah, maka dia tidak bisa menjadi sesuatu kecuali apa yang ada dan wajib wujud adalah mutlak.[19]
Pada tempat yang lain lagi dia menuliskan: Penggerak pertama, yaitu wujud sempurna yang telah menarik alam ke arahnya ini adalah apa yang disebut oleh para filosof sebagai Tuhan, dengan demikian penggerak pertama yang tak bergerak ini merupakan bentuk murni, sebuah wujud yang secara mutlak non materi dan bernama Tuhan.[20]
Bertolak belakang dengan pendapat Sheril Warner ini, sebagian sepakat bahwa teori penggerak pertama Aristoteles tidak mampu membuktikan keberadaan Tuhan, dan wajibul wujud serta penggerak tak digerakkan tidak relefan atas wajibul wujud karena bisa saja penggerak tak digerakkan ini merupakan wujud selain Tuhan.
Murtadha Muthahari (ra) dalam footnote-nya atas Usul Falsafah wa Rawaz-e Realism menuliskan: dengan memperhatikan bahwa teori ini secara analogi tidak membuktikan wajibul wujud melainkan hanya membuktikan sesuatu yang metafisik, maka kami menghindari penjelasan yang lebih lanjut.[21]
Ustadz ‘Alamah Jawadi Amuli (damu ‘izzah) dalam sharh Asfar menuliskan: dalam teori gerak, penggerak tak digerakkan-lah yang terbukti bukannya wajibul wujud.[22]
Di antara mereka, ahli kalam bernama Imam Fahrur-Razi mempunyai pendapat yang relevan dengan apa yang dikatakan oleh Sheril Warner. Dia berkata[23]:
Para naturalis berargumentasi atas wujud Tuhan dengan metodologi gerak yang mendasarkan pada hal berikut bahwa pada hakekatnya gerak akan berakhir pada penggerak tak digerakkan dan penggerak yang dirinya tak digerakkan mewajibkan untuk memiliki apa yang mungkin terlahir dalam haknya, dan eksistensi semacam ini secara lazim adalah wajibul wujud”.
Berkaitan dengan teori ini, dalam tafsir Imam Fahrur Razi, terdapat discourse tentang penggerak tak digerakkan dimana pada saat yang bersamaan dia sepakat pula bahwa penggerak tak digerakkan adalah wajibul wujud. Dengan memperhatikan bahwa wajibul wujud adalah esa dan pluralitas wajibul wujud merupakan hal sesuatu yang mustahil, dengan demikian maka harus terdapat penjelasan lain untuk para pengklaim ini.
Kebalikan dari Fahrur Razi, teolog ternama dan filosof terkenal bernama Abdul Razak Lahijy (ra) dalam kitab Shawariq-nya mengatakan bahwa teori gerak tidak bisa membuktikan wajibul wujud secara dzat.
Dalam tingkatan penghakiman atas pendapat-pendapat yang plural ini, ada baiknya apabila sebelumnya diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “gerak” di sini. Apabila yang dimaksud dengan “gerak” adalah perjalanan bertahap sebuah benda dari tingkat potensi menuju aktual, yang hal ini hanya bisa digambarkan pada materi, maka “penggerak tak digerakkan” di sini bisa merupakan salah satu dari possible-possible abstrak –mufaraqat bil-kuliyyah (paradoks secara universal)- dan secara lazim penggerak tak digerakkan pasti bukan wajibul wujud. Dan mereka yang mengatakan bahwa: teori penggerak pertama Aristoteles tidak bisa membuktikan wajibul wujud, bisa jadi maksud mereka adalah point ini.[24]
Akan tetapi apabila “gerak” kita artikan dengan makna luas, selama menjadi eksisnya dan hudust-nya possible-possible kita anggap pula sebagai manifestasi-manifestasi yang muncul dari gerak, dan hal tersebut kita namakan sebagai perjalanan dari tiada kepada ada, maka dalam keadaan ini penggerak tak digerakkan tidak akan relefan kecuali untuk wajibul wujud bil-dzat, karena keseluruhan sesuatu selain realitas wujud Nya akan mempunyai makna penggerak seperti di atas, dan wujud yang mempunyai makna tidak benar dalam perjalanannya dari tiada ke ada hanyalah wajibul wujud bil-dzat.
Mulla Sadra menamai: “menjadi eksisnya esensi possible” dengan “gerak dzatiyah” dan berkata: dalam eksistensi semacam ini, aktual muncul setelah potensi, etrë setelah non-etrë dan wujud muncul setelah tiada, yaitu eksistensi-eksistensi mumkin, tidak mempunyai eksistensi dalam tingkatan dzat dan middle mahiyah dan mereka akan menjadi eksis dengan perantaraan wajib, dan dalam inovasi semacam ini seakan-akan perjalanan dilakukan dari tiada ke ada.
Mulla Sadra (ra) mengatakan: perjalanan semacam ini juga merupakan salah satu bentuk dari gerak, karena transformasi dan perjalanan yang ada dalam empat akal terkenal (quantity, quality, place and position) merupakan gerak temporal, dan sebagaimana yang berlaku dalam gerak temporal dimana yang digerakkan membutuhkan adanya transformasi dan penggerak, maka dalam gerak dari tiada ke wujud ini pun membutuhkan adanya sebuah penggerak yang dirinya sendiri tidak mempunyai gerakan dan transformasi semacam ini, dan dia adalah wajibul wujud.
Ayatullah Jawadi Amuli dalam komentarnya atas kitab Asfar, menganggap perkataan Mulla Sadra (ra) ini sebagai pengecualian dan mempunyai makna terminologi lain dan mengatakan: apa yang ada dalam kitab “mabda’ dan ma’ad” yang berkaitan dengan terlahirnya gerak dalam mujaradad (alam abstraks) merupakan sebuah penjelasan yang berbeda dan mempunyai makna terminologi lain, karena secara istilah “abstrak-abstrak” –yang berasal dari imkan dzati dan mengalami transformasi ke wujub selainnya- tidak dikatakan sebagai “yang digerakkan”. Meskipun dengan makna yang ringan bisa dikatakan bahwa disanapun terdapat gerak, akan tetapi bagaimanapun juga alam abstrak dinamakan sebagai alam konstan.[25]
Apabila gerak -meskipun dengan makna yang ringan dan dangkal- menemukan jalannya di alam abstrak dan termasuk ke dalam akal-akal dan paradoks-paradoks, maka penggerak tak digerakkan hanya akan mempunyai satu obyek saja, dan dia tak lain adalah dzat wajib dan dengan demikian teori gerak akan menjadi affirmasinya wajib.
Point lainnya: apabila gerak kita ketahui sebagai sebuah perjalanan dari tiada ke ada dan hal tersebut kita nisbatkan kepada seluruh possibility yang ada, maka gerak ini akan equivalen dengan hudust dzati, dan penjelasannya adalah sebagai berikut bahwa proposisi “yang digerakkan oleh gerak ini membutuhkan penggerak tak digerakkan” adalah equivalen dan setara dengan apa yang kita katakan bahwa: fakta dzati membutuhkan qadim (ancient) dzati dan karena qadim dzati tidak akan bisa muncul sebelum adanya wahid, dengan demikian eksistensi tak digerakkan ini tak lain dan tak bukan adalah wahid itu sendiri.
Apakah penggerak pertama adalah tunggal?
Tentang apakah Aristoteles adalah seorang pemikir yang sepakat terhadap teori penggerak awal sebagai Tuhan yang esa(mono) ataukah sebagai Tuhan yang jamak (poly), terdapat banyak perbedaan pendapat di dalamnya, akan tetapi tentang apakah teori gerak mampu membuktikan bahwa Tuhan itu wahid ataukah tidak, hal ini membutuhkan diskursus yang lain lagi.
Dalam kitab Prinsip-prinsip Theology dalam Filsafat Yunani dan Agama-agama Ilahi tertulis: bisa jadi Aristoteles berfikir tentang penggerak-penggerak tak digerakkan dalam bentuk plural. Dengan diketahuinya bahwa Aristoteles telah sampai pada penggambaran Tuhan melalui metodologi gerak dan setiap bentuk dari gerak-gerak yang dia temukan senantiasa berakhir pada sebuah gerak tak digerakkan, maka berarti secara normal Aristoteles harus sepakat dengan kemajemukan Tuhan (polytheisme).[26]
Mungkin saja bisa dikatakan bahwa: Apabila kita menganalisa pluralitas sebagai sebuah longitudinal dan maksud kita dari tuhan-tuhan yang plural dan majemuk adalah penggerak-penggerak tak digerakkan dalam sepanjang longitudinal satu dengan lainnya yang pada akhirnya akan sampai pada satu penggerak pertama, maka matlab semacam ini bisa diperoleh dari discourse Aristoteles dan tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan Tauhid Tuhan dalam agama, akan tetapi apabila yang kita maksud dengan pluralitas adalah aksidensi dan maksud dari tuhan-tuhan yang plural dan majemuk adalah penggerak-penggerak tak digerakkan dalam aksidensi satu dengan lainnya, maka uraian seperti ini tentu saja akan bermakna syirik dalam prinsip keberadaan, akan tetapi dengan memperhatikan pendapat Aristoteles dalam masalah ini maka kita tidak bisa menisbatkan kata “syirik” kepadanya. Ibarat di bawah ini merupakan saksi dari klaim ini dan merupakan penegas yang bisa memberikan rujukan padanya:
“Pemula dan pertama, merupakan eksistensi-eksistensi yang tak digerakkan baik secara dzat maupun secara aksiden, akan tetapi pertama menggerakkan gerak mono-eternal, dengan memperhatikan bahwa yang digerakkan terpaksa menjadi bergerak karena sesuatu dan penggerak pertama secara dzat merupakan eksistensi tak digerakkan, dan gerak eternal menjadi bergerak karena sebuah eksistensi eternal juga, dan sebuah gerak terjadi dari sebuah penggerak, dan juga karena kita melihat bahwa selain gerak mutlak seluruh alam -dimana kita mengatakannya: substansi pertama yang tak digerakkan telah menggerakkannya- terdapat pula gerak-gerak space lainnya, seperti gerak abadi bintang-bintang berputar (yaitu meteor) .... maka setiap gerakan-gerakan space ini pun harus bergerak karena sebuah esensi dzati yang tak digerakkan dan yang abadi, .... jadi apa yang dikatakan bahwa esensi-esensi itu ada dan salah satu dari mereka adalah yang pertama dan selainnya adalah yang kedua, dengan keteraturan serupa, gerakan bintang-bintang menjadi sebuah point yang sangat jelas”.
Dari discourse ini bisa disimpulkan bahwa Aristoteles sepakat dengan adanya sebuah penggerak pertama yang secara dzat tak digerakkan, dan dia menganggapnya sebagai penggerak gerakan mutlak seluruh alam dan dalam sepanjang penggerak pertama ini dia juga percaya terhadap penggerak-penggerak tak digerakkan yang berada pada tingkatan kedua.
Apabila gerak dari tiada menjadi ada dan dari tak wujud menjadi wujud secara hakekat kita ketahui pula sebagai gerak, dalam keadaan ini tentu saja kita tidak akan mampu menganggap bahwa penggerak tak digerakkan dari penggerak-penggerak plural Aristoteles adalah selain penggerak tak digerakkan pertama, karena selain penggerak pertama semuanya mempunyai perjalanan dari tiada ke ada.
Penggerak pertama merupakan sebab akhir (a final cause) ataukah sebab aktif (an activity cause)?
Sebagian –sebagaimana kita lihat- menguraikan teori gerak dengan cara sedemikian rupa hingga pada pamungkasnya membuktikan penggerak pertama sebagai sebab aktif gerak dan maksud dari sebab aktif atau pelaku gerak adalah “faktor yang mewujudkan gerak”. Di sini terdapat sebuah ishkal yang mengatakan bahwa pelaku yang langsung mewujudkan gerak maka dia sendiripun harus mempunyai gerak pula, dan atas dasar ini berarti tidak mungkin ada penggerak yang tak digerakkan.
Dalam menjawab kritik ini harus dikatakan bahwa pertama: apa sebenarnya yang dimaksud dengan gerak itu? Adakah yang dimaksud adalah gerak yang berada dalam ruang lingkup substansi ataukah gerak dengan makna kemunculan dan hudust (perjalanan dari tiada ke ada) pun termasuk yang dimaksudkan? Kedua: harus dilihat gerak di sini adalah sebagai akal kedua filsafat dan sebagai sebuah metode eksistensi ataukah gerak sebagai sebuah persoalan esensial dan fenomena aksidensi?
Apabila gerak dalam substansi kita lihat sebagai sebuah fenomena asidensi dan teori penggerak pertama menekankan pada gerak ini, maka pertama: teori ini tidak cukup untuk membuktikan penggerak tak digerakkan, dan kedua: andai kita misalkan mencukupi, hal tersebut tetap tidak akan membuktikan tentang Tuhan, melainkan hanya akan membuktikan penggerak abstrak (metafisik) yang tak digerakkan.
Akan tetapi apabila gerak alam materi kita lihat sebagai sebuah persoalan dzati dalam jauhar (esensi) jism, maka dari sini kreasi gerak akan menjadi kreasi yang simpel dan sederhana bukan kreasi gabungan, dan teori ini akan mampu menjadi pembukti penggerak tak digerakkan, akan tetapi sekali lagi statement ini masih belum matang untuk membuktikan penggerak tak digerakkan sebagai mabda pertama (Tuhan) dan cenderung akan menjadi sempurna hanya dengan bantuan dari pembatalan interkoneksi (tasalsul).
Namun apabila gerak kita ambil dengan makna perjalanan dari tiada ke ada, maka dalam kondisi ini kita akan mampu mengatakan bahwa: eksistensi bisa terpilah dalam dua kelompok, yaitu penggerak atau digerakkan, dan karena yang digerakkan akan tertolak tanpa adanya penggerak, maka dalam keadaan apapun penggerak menjadi lazim dan dharuri. Dengan uraian ini teori gerak tidak memerlukan bantuan pembatalan teori daur atau interkoneksi, karena semua alam bergerak yang tercakup dalam satu wahana mempunyai satu hukum dan hukum tersebut adalah kebutuhannya akan penggerak yang tak digerakkan.
Mulla Sadra dalam kaitannya dengan gerak substansi alam materi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penggerak adalah pencipta atau pengada itu sendiri.
Hal ini akan menjadi lebih jelas dengan apa yang kita maksud bahwa gerak merupakan perjalanan dari tiada ke ada yaitu bahwa kreasi gerak tak lain adalah menciptakan, oleh karena itu penggerak di sini bermakna pemberi wujud atau pengada.
Ayatullah Jawadi Amuli dalam wacana tentang apakah teori gerak membutuhkan pembatalan teori daur ataukah tidak, menuliskannya sebagai berikut:
Apabila setiap dari gerak-gerak tertentu di alam luar diungkapkan sebagai statement, maka dalam menyempurnakan teori gerak meniscayakan untuk mengambil bantuan dari tertolaknya teori daur atau interkoneksi, akan tetapi apabila yang kita ungkapkan adalah majemuk alam natural -yang merupakan sebuah kesatuan riil-, maka hal ini tidak membutuhkan bantuan dari pembatalan interkoneksi, karena apa yang ada di luar alam natural sebagaimana metafisik berakhir pada Tuhan Subhan dan tidak ada satupun dari eksistensi abstrak yang memiliki potensi dan talent sehingga dia perlu melakukan perjalanan bertahap untuk sampai pada kesempurnaan. Dengan demikian tidak ada gerak dalam eksistensi abstrak, melainkan dia konstan, bukan diam dan dari sisi kekuatan dia tidak membutuhkan penggerak.[27]
Sebagaimana telah kami katakan: berargumentasi atas dasar gerak natural tidak akan mampu membuktikan Tuhan secara langsung, melainkan hanya akan membuktikan eksistensi metafisik, dan pembuktian eksistensi metafisik sebagai sebuah penggerak tak digerakkan secara rasional tidak identik dengan pembuktian wajibul wujud (Tuhan), dengan demikian untuk membuktikan Tuhan, teori ini masih membutuhkan penyempurnaan. Begitu juga dengan statement atas dasar gerak-gerak tertentu -sebagaimana yang telah diungkapkan oleh penyusun - membutuhkan pula penyempurnaan. Hanya saja perbedaannya adalah statement atas dasar gerak-gerak khas natural membutuhkan pembatalan interkoneksi (tasalsul) atau teori daur dalam parameter geraknya, akan tetapi teori gerak atas dasar gerak keseluruhan alam natural membutuhkan pembatalan interkoneksi dalam parameter wujudnya yaitu ketika wujud penggerak tak digerakkan yang abstrak telah terbukti, maka pertanyaan berikut ini harus kita ungkapkan yaitu apakah wujud penggerak semacam ini adalah dzati ataukah ditemukan dari selainnya, kemudian dari sini dengan penafian interkoneksi pada akhirnya kita akan membuktikan wajib. Sebagaimana dalam discourse-nya, Ayatullah Jawadi mengatakan: ..... akan berakhir pada Tuhan.[28] Point akhir ini menunjukkan pada kebutuhan teori tersebut terhadap penyempurnaan.
Akan tetapi apabila dikatakan: gerak materi dan alam samasekali tidak membutuhkan penggerak. Klaim ini sangat jelas kekeliruannya, akan tetapi apabila dikatakan: gerak materi tidak membutuhkan penggerak dari luar alam, melainkan penggerak dari gerak ini berada di dalam materi itu sendiri dan gerak ini merupakan gerak dinamik bukan mekanik dan oleh karena itulah sehingga tidak akan berakhir pada penggerak metafisik.
Dalam menjawab hal ini harus dikatakan: misalkan saja kita memiliki sebuah bahan dengan nama A yang bergerak. Gerak ini bisa jadi berada di dalam substansi A itu sendiri dan bisa jadi juga berada dalam aksiden-nya. Apabila gerak tersebut berada di dalam substansi A, berarti A tidak bisa memberikan gerak ini kepada dirinya sendiri, karena hal itu akan berarti bahwa kita harus memisalkan A tidak mempunyai gerak lalu dia memberikan gerak kepada dirinya dan hal ini mustahil, karena “tidak memiliki sesuatu sama sekali tidak akan mampu memberikan sesuatu”, dan pada akhirnya anterioriti sesuatu atas diri sendiri akan meniscayakan kontradiksi yang mustahil, dan apabila gerak tersebut berada dalam aksidensi A maka penyebabnya bisa jadi adalah jauhar atau esensi sebagai pelaku langsung gerak, yang dengan demikian berarti secara urgensi dia sendiri juga harus digerakkan dan dalam keadaan ini matlab di atas akan terulang, atau penyebabnya adalah aksiden itu sendiri yang terlepas dari esensi, muncul sebagai pemicu geraknya sendiri, dimana dalam keadaan ini pun akan muncul kritik anterioriti atas diri sendiri atau pencipta gerak adalah faktor ketiga yang dalam hal ini matlab akan menjadi relefan yaitu kebutuhan yang digerakkan terhadap penggerak selain dirinya menjadi terbukti. Apabila dikatakan: gerak ini merupakan lompatan (tanpa sebab), maka kami akan berkata: berarti hal ini identik dengan revolusi dan mustahil terjadi.
Ayatullah Jawadi Amuli menuliskan: apabila sebuah eksistensi materi ingin melepaskan diri begitu saja dari kekurangannya dan ingin mencapai kesempurnaan dengan sendirinya tanpa bantuan dari eksistensi sempurna, maka kelazimannya adalah bahwa sebuah benda materi dalam kepotensiannya mempunyai aktualitas dan dalam kekurangannya mempunyai kesempurnaan, yang hal ini identik dengan terkumpulnya dua kontradiksi (ijtima naqidhain). Dengan demikian setiap eksistensi bergerak membutuhkan eksistensi sempurna lainnya yang akan mengangkatnya dari kekurangan dan mengantarkannya kepada kesempurnaan dan apabila gerak luar tersebut juga merupakan gerak, maka dia membutuhkan penggerak lainnya pula hingga akhirnya sampai pada penggerak pertama dimana penggerak pertama ini dikarenakan kesuciaan nya dari segala kekurangan, dia akan terlepas dari segala bentuk gerak dan transformasi lainnya dan ini adalah apa yang dinamakan dengan teori gerak dari metodologi keteraturan aktivity.[29]
Maksud dari aktual dan potensi dalam pembicaraan di atas adalah ada dan tiada, dan karena berkumpulnya tiada dan ada adalah mustahil, maka terkumpulnya potensi dan aktual dalam satu benda adalah tidak mungkin.
Dalam uraian teori gerak, penggerak tak digerakkan ditetapkan sebagai tujuan akhir yang merupakan pokok dalam definisi gerak yaitu perjalanan dari potensi ke aktual. Segala sesuatu yang bergerak, untuk dapat bergerak, mengharuskan adanya tujuan, dan apabila tujuan itu sendiri membutuhkan tujuan, ini berarti termasuk dalam suatu kaidah yang pada akhirnya mengharuskan adanya rangkaian aktualitas yang merupakan tujuan dari segala sesuatu yang bergerak yang kemudian berakhir pada satu aktualitas hakiki yang tidak membutuhkan aktualitas lagi dan merupakan dasar dari gerak segala sesuatu yang bergerak, dengan kata lain tujuan akhir (hakiki) meniscayakan ketiadaan potensi dan merupakan kesempurnaan yang hakiki.
Setelah diketahui bahwa sisi aktual apabila dinisbatkan kepada sisi potensi merupakan sisi yang konstan, maka pembuktian penggerak tak digerakkan melalui pencari tujuan gerak menjadi lebih gampang dan lebih sedikit memiliki sanggahan, misalnya sanggahan berikut tidak bisa diungkapkan bahwa tujuan dekat yang bergerak itu sendiri meniscayakan –sebagaimana pelaku dekat dalam gerak- dirinya sebagai yang digerakkan pula, melainkan kebalikannya setiap tujuan dari sisi tujuannya meniscayakan kekonstanan. (perhatikan ini).
Apakah gerak yang terpancar dari penggerak pertama muncul dari cinta?
Salah satu pembahasan yang disajikan dalam wacana tentang Tuhan-nya Aristoteles dan perbedaannya dengan Tuhan agama-agama langit adalah bahwa Tuhan agama-agama langit bisa dijadikan sebagai pancaran cinta sehingga kita mampu beribadah kepada Nya, hal ini berlawanan dengan Tuhannya Aristoteles (yaitu penggerak tak digerakkan) dimana kita tidak bisa beribadah kepada Nya dengan cinta..
Berdasarkan nukilan Frederick Copleston, dikatakan bahwa Aristoteles sendiri dalam kitabnya yang berjudul “Akhlak Kabir” telah mengungkapkan sub tema ini secara eksplisit bahwa mereka yang berfikir bisa mencintai Tuhan akan terjerumus pada kesalahan, karena pertama: Tuhan (penggerak tak digerakkan) tidak bisa memberikan jawaban dalam menanggapi cinta kita dan kedua: dalam keadaan apapun dia tidak bisa menyuruh kita untuk mencintai Nya.
Tentang hakekat apa yang sebenarnya dimaksud oleh Aristoteles, hal ini membutuhkan kontemplasi dan observasi yang lebih cermat lagi dan dalam bab ini muncul pertanyaan prinsip sebagai berikut yaitu apabila Tuhan atau penggerak tak digerakkan pertama kita letakkan sebagai tujuan akhir dan juga sebagai ma’shuq (yang dicintai) dan penggerak akhir yang relevan, dalam keadaan ini alam gerak secara keseluruhan akan merupakan alam cinta terhadap penggerak tak digerakkan yaitu Tuhan, dan hal ini tidak relevan dengan klaim yang mengatakan bahwa tidak bisa ada cinta terhadap Tuhan, kecuali apabila maksud Aristoteles adalah bahwa cinta terhadap Tuhan tersebut berada di dalam segala sesuatu yang digerakkan secara paksa dan tak dikehendaki sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk cinta, penyembahan dan ibadah yang dikehendaki.[]
Walhamdulillah.
Catatan Kaki:
1. Abu ‘Ali Sina, “Fann Sama’ Tabii’i “ (dari kitab Shafa), terjemahan Muhammad Ali Furughy.
2. Aristoteles, “Tabi-iyyat”, terjemah dan pendahuluan Mehdy Fashad.
3. Mula Sadra, Asfar, J. 3, Al-Marhalatus-sabi’ah wa tsamanah, hal. 2 dan 184.
4. Ibid, J. 6, hal. 42-44.
6. Andre Krisson, “Falosife-ye Buzurg”, terjemahan Kadzim Emady, J. 1, hal. 230.
8. Will Durant, “Tarikh Falsafah”, hal. 70; Sheril Warner, “Seir Hikmah dar Yunan”, terjemahan Buzurg Nadir Zad, hal. 148; Bernard Russel, “Falsafeh-ye Gharb” terjemahan Najaf Darya Bandary, J. 1, hal. 251; Hana al Fakhury, Khalil al Bahr, “Tarikh Falsafah dar Jahan Islam”, terjemahan Abdul Hamid A-ety, hal. 71.
9. Frederick Copeleston, “Tarikh Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, J. 1, hal. 423-424.
10. Ibid, hal. 428.
11. Penerjemah “Tarikh Filsafat” Copleston dalam catatan kaki hal 428 menuliskan: Istilah yang cocok untuk aktual murni tanpa kapabilitas bukanlah energi (potensi dalam keadaan kinetik), melainkan intelkhiya.
12. Richard Popkind”Kuliyat-e Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, hal. 172.
13. Ibid, hal. 173.
14. “Usul Falsafah wa Rawesh-e Realism”, J. 5, hal. 6 (catatan kaki).
15. Hal. 416, no. 401.
16. Abdullah Jawadi Amuli, Mabda’ wa Ma’ad, hal. 180.
17. Asfar, J. 3, hal. 24.
18. Mabda wa Ma’ad, hal. 184 dan 185.
17. J. 3, hal. 22; dan J. 8, hal. 203.
18. Syeikh Isyraq (Ra) dalam “Talwihat”, hal. 11, menyatakan gerak sebagai katagori dan merupakan sebuah tema yang tidak membutuhkan ketergesa-gesaan dalam membahasnya.
19. Seir Hikmat dar Yunan, terjemahan Buzurg Nadir Zad, hal. 150.
20. Ibid, hal. 151.
21. Usul Falsafah wa rawasy-e Realism, J. 5, hal. 60.
22. Syarh Hikmah Muta’aliyah, bagian satu dari jilid keenam, hal. 300; juga Muhammad Taqi Mizbah Yazdi, Catatan kecil atas Nihayatul Hikmah, hal. 409.
23. Al Mabahitsul-mashriqiyyah, J. 2, hal. 451.
24. Tim penulis “Ma’arif Islami, 1-2” , hal. 296.
25. Syarh Hikmah Muta'aliyyah, J. 6, hal.. 300.
26. Reza Baranjkar’ Mabany Khuda Shenoshi dar falsafeh Yunan va- adiyan Ilahy, hal. 102.
27. Mabda’ wa Ma’ad, hal. 202.
28. Ibid.
29. Ibid, hal. 201.