Pembuktian Mukjizat
Apakah keberadaan mukjizat bisa ditetapkan dengan bantuan bukti-bukti dan dalil-dalil? Semua orang beriman yakin dan percaya akan kejadian dan keberadaan mukjizat. Tetapi dari sudut pandang seorang filosof agama, lahir sebuah pertanyaan, bagaimana suatu peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam dapat ditegaskan dan diargumentasikan dengan menggunakan bukti-bukti dan dalil-dalil? Apakah pertentangan kejadian itu dengan hukum alam tidak menyebabkan tiadanya kemungkinan secara esensial bahwa masalah tersebut tak bisa ditetapkan dengan perantaraan bukti otentik dan argumen rasional? Apakah dengan asumsi bahwa kejadian mukjizat dapat ditetapkan dengan dalil dan bukti, terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik berkaitan dengan kejadian itu?
David Hume, filosof Empirisme asal Skotlandia adalah orang pertama yang menjabarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. David Hume mengurai secara terperinci masalah-masalah tersebut dalam makalahnya yang sangat terkenal bertema "Darbore-ye mukjizat (tentang mukjizat)". Pada bagian pertama dalam makalah tersebut Hume berusaha menunjukkan bahwa kejadian mukjizat dikarenakan bertolak belakang dengan hukum alam maka menjadi sangat kecil kemungkinannya dapat ditetapkan dengan bantuan bukti sejarah, kendatipun bukti itu sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi mungkin bila dijelaskan dengan dalil-dalil rasional tentang keadaan dan proses yang paling sempurna dari kejadiannya. Bagian kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat dapat dibuktikan, walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik -dimana digunakan oleh semua orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat- tetapi tak satupun yang dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat.
Kita akan membedah perspektif dan sudut pandang Hume tersebut di atas. Sebenarnya bagian pertama dari makalahnya merupakan pokok dan inti pembahasan, dimana ia menekankan bahwa kejadian mukjizat tak dapat dibuktikan. Anggapan inilah yang akan ia pertahankan dengan argumen dan menjadi bahan perbincangan dan perdebatan. Berdasarkan penafsiran yang umum tentang makalahnya, Hume pada bagian pertama makalahnya beranggapan bahwa kejadian mukjizat mustahil dapat dibuktikan walaupun perwujudan mukjizat itu sendiri memiliki probabilitas secara rasional. Tapi terdapat dua penafsiran lain berkaitan dengan bagian pertama dari makalah itu: R.F. Holland beranggapan bahwa menurut Hume bukan hanya kejadian mukjzat itu mustahil dibuktikan bahkan kemungkinan perwujudan mukjizat itu sendiri juga tidak dapat ditetapkan dan inilah yang menjadi inti alasan kemustahilan dalam pembuktian dan penegasannya.[1]
Perspektif lain, yang merupakan pandangan terbaru atas makalah Hume dan berlawanan dengan pandangan Holland, yang menyatakan bahwa David Hume di bagian pertama makalahnya tidak membantah adanya kemungkinan pembuktian kejadian mukjizat, karena kalau ia menolak adanya probabilitas itu maka hal ini tidak sesuai dengan pandangan Hume sendiri di bagian kedua dari makalahnya, sebagaimana Hume berkata, "Jika terdapat banyak sumber berita yang dapat dipercaya memberikan informasi tentang terjadinya kegelapan selama delapan hari di seluruh dunia pada bulan Juni 1600 M maka saya pasti akan menerimanya."
Argumen Hume
Argumen David Hume dalam menolak adanya kemungkinan pembuktian mukjizat berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:
1. Eksperimen ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam berargumen tentang masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk penyelesaian segala perbedaan.
2. Orang yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil dan argumen, oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan dengan realitas keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang terjadi mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan akan dalil dan bukti yang kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan subyek masalah yang ajaib, asing, aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum alam, karena dalam hal ini, kita berhadapan dengan dua realitas yang saling bertolak-belakang, maka kita terpaksa membandingkan dua realitas tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut yang mengandung tingkat persentase pertentangan yang rendah.
3. Keyakinan kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan empiris. Alasan kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama sekali tidak berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu sama lain.
4. Pertentangan mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman kehidupan manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan pembuktiannya.
Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, "Jika ada bukti dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan dalil tersebut sebagai dalil versus dalil, karena dari satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan otentik sehingga ketika obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan dalil yang sempurna. Tetapi dari dimensi lain bahwa obyek informasi adalah mukjizat dan pada saat yang sama mukjizat bertentangan secara langsung dengan realitas kehidupan di alam materi dan hukum alam, karena kita tidak bisa menghindari hadirnya perbedaan di antara dua dalil dan bukti maka kita harus mengedepankan bukti yang lebih kuat dengan bersandar pada dasar kedua (dari empat dasar di atas).
Tapi apakah kita bisa mendapatkan satu dalil yang sempurna dan kuat di alam ini yang tak bertentangan dengan mukjizat? Kalau pun kita memperoleh bukti, apakah ia dapat menetapkan dan membuktikan mukjizat? Hume memberikan jawaban yang negatif atas pertanyaan tersebut. Dalam pandangannya, bukti dan dalil empiris sangat kecil kemungkinan kesalahannya sedangkan bukti dan pembawa berita tentang mukjizat sangat besar kemungkinan adanya kesalahan dan kebohongan, kecuali pembawa berita dapat menghadirkan mukjizat itu sendiri dan bukan sekedar sebuah kabar dan keterangan tentang peristiwa mukjizat.[2]
Maksud Hume tentang "dalil", adalah suatu argumen yang bersumber dari pengalaman dan penyelidikan empiris yang terus menerus dan menyodorkan kepada kita derajat keyakinan yang paling tinggi tentang suatu perkara, dimana tak menyisakan lagi segala bentuk keraguan dan skeptis, sebagai contoh keyakinan kita kepada proposisi "matahari akan terbit besok pagi". Sementara pemahaman ia tentang sebuah "kemungkinan" adalah suatu argumen yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman terdahulu yang meliputi peristiwa-peristiwa khusus; realitas sejarah yang telah menguji mana peristiwa yang secara hakiki telah terjadi dan mana peristiwa yang mustahil terjadi.
Oleh karena itu, peristiwa yang telah terjadi pada zaman dahulu kita coba bandingkan dengan kondisi kekinian berkaitan dengan faktor kemungkinan berulangnya kejadian dan peristiwa tersebut. Berdasarkan perbedaan antara "dalil" dan "kemungkinan" tersebut, Hume berkata, " bukti-bukti yang ada tentang mukjizat belum dapat dikatakan sebagai "dalil", karena berlawanan dengan pengalaman empiris manusia dari dahulu hingga sekarang ini."[3]
Sanggahan Anthony Flew Terhadap Hume
Anthony Flew, seorang filosof Amerika dan guru filsafat, yang berpandangan sama dengan Hume bahwa mukjizat tersebut tak bisa dibuktikan dengan bantuan bukti sejarah dan ia juga menerima mayoritas argumentasi Hume. Tapi ia mengeritik penjabaran Hume dan berkata, "Analisa Hume atas kausalitas dan pemahamannya atas hukum-hukum alam hanyalah sebatas dua fenomena yang dipertentangkan dalam pikiran, sementara itu Hume untuk dapat membedakan secara teliti antara mukjizat dengan perkara yang asing dan aneh serta menggambarkan secara jelas pertentangan di antara dalil-dalil yang ada (pokok keempat dari dasar argumentasi David Hume di atas) membutuhkan pemahaman yang benar, komprehensif dan universal atas hukum-hukum alam.
Berdasarkan teori Hume, kausalitas (sebab-akibat) di antara dua realitas wujud (A) dan (B) hanyalah bermakna bahwa wujud (A) yang kita lihat serta merta diikuti oleh wujud (B), dan karena terjadi pengulangan realitas yang terus menerus maka pikiran dan jiwa kita sudah terbiasa menggambarkan kedua wujud tersebut untuk hadir secara bersamaan, dimana perwujudan yang satu melahirkan perwujudan yang lain. Hal inilah yang kemudian mendasari lahirnya hukum alam yang tiada lain bersumber dari pengamatan yang panjang dan kontinuitas atas segala rangkaian dan mata rantai peristiwa yang kemudian membentuk "kebiasaan" dalam cara berpikir kita tentang adanya hubungan-hubungan di antara realitas-realitas wujud atau kejadian-kejadian tersebut, dan kita senantiasa berharap bahwa di masa yang akan datang mata rantai dari hubungan-hubungan peristiwa dan kejadian tersebut tetap ada dan terpelihara sebagaimana yang telah kita saksikan.
Mukjizat dalam hal ini, jika dipandang dari hukum alam tersebut semata-mata merupakan peristiwa ajaib yang berlawanan dengan kebiasaan alam dan tidak adanya pertentangan antara dalil-dalil - sebagaimana anggapan Hume - karena hukum alam tak mencegah munculnya suatu peristiwa yang dapat dikecualikan (baca: mukjizat). Oleh karena itu, dengan berdasarkan pada hukum alam adalah sangat tak logis menolak adanya bukti kuat, petunjuk yang jelas, informasi dan peninggalan sejarah yang otentik.
Tafsiran Baru Anthony Flew atas Dalil Hume dengan Berpijak pada Proposisi Nomologikal
Anthony Flew, dalam penjabaran terbarunya atas dalil Hume, berusaha untuk membangun kerangka logis yang bersumber dari pokok keempat (dasar keempat dari argumen David Hume) tentang pertentangan dalil-dalil yang berkaitan dengan bukti-bukti nyata atas kejadian mukjizat. Dengan maksud inilah ia menekankan bahwa proposisi-proposisi ilmiah adalah nomologikal, yakni dalam batasan ilmu dan pengetahuan kita proposisi seperti itu bersifat niscaya dan universal serta dikategorikan sebagai hukum-hukum alam. Dengan menerima laporan ilmiah dan hukum alam maka dapat ditentukan dimensi logis dari kemustahilan setiap kejadian berdasarkan kesesuaiannya dengan hukum alam, hal ini berarti bahwa dengan berpijak pada hukum universal alam kita dapat menyatakan bahwa peristiwa tertentu mustahil terjadi. Dan dengan adanya bukti sejarah yang otentik atas kejadian-kejadian sejarah tertentu (baca: mukjizat) maka pasti terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan dan bukti sejarah yang otentik.
Hadirnya pertentangan tersebut secara sepintas dapat dibenarkan bahwa mukjizat itu mungkin terjadi, maka dari itu ada kemungkinan bahwa proposisi yang kita sebut sebagai nomologikal sebenarnya adalah bukan nomologikal, oleh karena itu kita mesti kembali menguji dan melakukan pengetesan atasnya dan jika tetap tergolong sebagai sesuatu yang ilmiah maka pertentangan dalil-dalil tersebut akan semakin kuat dan konsekuensi dari kondisi ini adalah pengesahan dan pembenaran salah satu dari dua realitas tersebut. Apakah kita menolak proposisi nomologikal dan menerima petunjuk dan keterangan tentang realitas mukjizat? Ataukah dengan berpijak pada proposisi nomologikal kita mesti menolak peristiwa-peristiwa mukjizat walaupun ada bukti-bukti sejarah yang otentik mendukung terjadinya peristiwa itu? Anthony Flew dalam uraian terbarunya atas burhan Hume berupaya menerima pilihan yang kedua tersebut.[4]
Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa Anthony Flew sampai pada konklusi tersebut dengan (nomologikal) memahami kaidah-kaidah ilmiah. Maka dari itu, yang pertama mesti dilakukan adalah mencari titik perbedaan antara proposisi nomologikal yang berpijak pada pemahaman Hume atas Hukum alam dan pengertian proposisi nomologikal menurut Anthony Flew, dan yang kedua adalah menemukan tolok ukur penerimaan terhadap nomologikal dan penolakan terhadap bukti dan keterangan sejarah yang otentik.
Menurut Anthony Flew proposisi tersebut mempunyai tiga sinonim, antara lain: lawlike proposition, nomological proposition, nomic proposition, para ilmuan meletakkan dua prinsip mendasar untuk jenis dan bentuk proposisi tersebut, sebagai berikut:
1. Bersifat umum dan universal. Proposisi nomologikal berdasarkan kaidah-kaidah logika adalah universal dan tak terikat oleh waktu, oleh karena itu dikategorikan sebagai bentuk proposisi universal.
2. Menerima unsur benar dan salah. Jika diasumsikan bahwa kaidah-kaidah ilmiah dapat benar dan juga bisa salah dan laporan-laporan pengamatan bisa mengesahkannya atau membatalkannya, maka proposisi nomologikal memiliki peran sentral sebagai penyampai informasi dan sekaligus sebagai pisau analisa.
Dua prinsip mendasar tersebut kurang lebih telah disepakati, tetapi subyek yang menjadi perdebatan adalah apakah proposisi universal yang mempunyai dua karakter tersebut dapat dikatakan sebagai nomologikal ataukah harus kita bedakan antara proposisi nomologikal dan proposisi universal rasional (al-kulli al-aqli)[5] dan kalau terdapat perbedaan lantas dimana letak perbedaan antara keduanya? Berkaitan dengan tema dan subyek tersebut terdapat dua pandangan, pertama, pandangan keniscayaan (necessity view) dan kedua, perspektif keteraturan (regularity view).
Berdasarkan pandangan keniscayaan terdapat perbedaan secara logika antara proposisi universal rasional dan nomologikal, perbedaan di antara keduanya adalah proposisi nomologikal murni dan sangat kuat berpijak pada keuiniversalan dan keumuman yang dapat dijelaskan dalam bentuk modal proposition (al-qadhiyah al-muwajjah)[6] dimana salah satu predikatnya adalah bersifat niscaya terhadap subyek proposisi, oleh karena itu jenis proposisi tersebut dapat diprediksikan dan meliputi semua individu-individu luarnya (al-mashâdiq) yang bersifat niscaya dan mungkin. Perbedaan dua proposisi tersebut bisa diungkapkan dalam contoh sebagai berikut:
1. Titik didih semua unsur emas adalah 1063°C.
2. Semua batu yang terdapat di kebun saya adalah batu endapan.
Proposisi nomologikal seperti contoh pertama dan proposisi yang bersyarat dapat dituliskan sebagai berikut, segala sesuatu sebagai x dan keseluruhan waktu adalah t, jika x adalah salah satu contoh dari emas dan dipanaskan pada derajat 1063°C maka pasti emas tersebut akan mendidih. Maka dari itu, proposisi ini, walaupun contohnya bukan emas tetapi jika diletakkan dalam derajat tersebut maka tetap berlaku hukum tersebut (akan mendidih atau meleleh).
Para pendukung pandangan keniscayaan berbeda pendapat berkaitan dengan bentuk dan jenis keniscayaan yang terdapat di dalam proposisi nomologikal, sebagian beranggapan bahwa bentuk keniscayaan tersebut adalah keniscayaan logikal dan sebagian berpandangan bahwa keniscayaan itu lebih rendah dari keniscayaan logikal, anggapan kedua ini banyak dianut oleh para pendukung pandangan keniscayaan dewasa ini termasuk Anthony Flew sendiri.
Sementara berdasarkan pandangan keteraturan, proposisi nomologikal tidak mesti didasarkan pada keniscayaan, dari dimensi ini kita bisa mengolongkan Hume menganut pandangan keteraturan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan aliran Hume kaidah-kaidah ilmiah tidak terlalu berbeda dengan proposisi universal rasional dimana hal itu sama dengan proposisi aktual (actual proposition/al qadhiyah al-khârijiyah)[7] yang mengabarkan adanya kebersamaan (at-taqârun) dan kebersusulan peristiwa-peristiwa di alam materi.
Anthony Flew yang menganut gagasan keniscayaan berkata, "Sebuah proposisi, seperti setiap X mesti A, adalah nomologikal dan proposisi seperti ini mengharuskan proposisi bersyarat yang berlawanan dengan kenyataan, seperti jika X mesti B (walaupun pada kenyataannya tak ada keharusan) maka X itu adalah A. Proposisi nomologikal menjelaskan hubungan X dan A di alam nyata, disamping itu ia menyatakan bahwa antara X dan A terdapat hubungan yang konstan sedemikian sehingga meliputi juga asumsi yang bertolak belakang dengan kenyataan alam (hukum alam).
Menurut Anthony Flew, bentuk hubungan yang terdapat pada proposisi nomologikal tidak dapat dijadikan sandaran dan pijakan, karena tak berada dalam cakupan universal rasional untuk dapat secara lansung diuji dan dieksperimenkan. Akan tetapi bukti-bukti yang menegaskan tentang kejadian mukjizat bersifat partikular, individual dan relatif serta dijelaskan dalam bentuk kalimat lampau yang sederhana, seperti: X ini di masa lalu adalah bukan A, karena proposisi nomologikal bisa diuji secara langsung pada setiap waktu maka senantiasa dapat diyakini kebenarannya, oleh karena itu bisa dijadikan tolok ukur atas penolakan proposisi yang lain. Maka dari itu, kaidah-kaidah rasionalitas mengharuskan kita menolak setiap bukti-bukti yang partikular tentang kejadian di zaman dahulu yang tidak sesuai dengan proposisi nomologikal, jejak-jejak peristiwa sejarah dan peninggalan masa lalu yang berada dalam jangkauan kita, mesti ditafsirkan dalam kerangka pengetahuan kekinian kita yang bersumber dari manusia dan alam, dan juga ilmu kontemporer kita tersebut sekaligus merupakan tolok ukur kritikan dan analisa atas segala bukti, keterangan, informasi dan petunjuk sejarah.
Kritik atas Dalil Hume dan Anthony Flew
Konklusi argumentasi Anthony Flew dan Hume adalah menolak segala bentuk bukti dan dalil tentang peristiwa dan kejadian yang bertentangan dengan hukum alam atau nomologikal. Berdasarkan pandangan Michael Patrison, kalau beberapa dokter terkenal dunia mengabarkan bahwa mereka beberapa kali melihat kaki yang luka parah sembuh seketika dan kembali seperti biasa, informasi seperti ini tidak dapat dipercaya karena keterangan mereka bertolak belakang dengan hukum alam dan nomologikal.
Richard Swinburne, guru filsafat universitas Oxford beragama Kristen, adalah orang yang secara terperinci melakukan analisa dan mengeritik argumen Hume dan Flew. Ia, berbeda dengan Hume dan Flew, beranggapan bahwa pembuktian mukjizat adalah mungkin dengan dukungan bukti dan keterangan sejarah yang otentik.
Swinburne menyatakan untuk meneliti suatu peristiwa yang terjadi pada zaman yang lampau terdapat empat jenis petunjuk dan dalil yang dapat dijadikan sandaran dan pijakan, antara lain:
1. Dari jalur ingatan, memori dan hafalan;
2. Bukti dari saksi mata, pelaku sejarah dan periwayatan sejarah;
3. Penelitian terhadap peninggalan fisikal, sejenis penelitian yang biasa digunakan dalam bidang kriminologi;
4. Kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dijadikan tolok ukur tentang kemustahilan dan ketidakmungkinan kejadian suatu peristiwa atau pijakan dan sandaran dalam meneliti segala bukti, periwayatan, keterangan saksi, informasi sejarah dan peninggalan fisikal.
Akan tetapi Hume dan Flew hanya menerima dalil kedua dan keempat di atas dan dalil keempat dijadikan sebagai tolok ukur dalam keabsahan dalil kedua. Sementara kita dapat memperoleh informasi tentang kejadian mukjizat dengan dukungan dalil pertama dan ketiga. Seperti melihat dengan mata kepala sendiri seseorang berjalan di atas air atau dengan meneliti peninggalan-peninggalan fisik suatu peristiwa disimpulkan bahwa kejadian itu bertentangan dengan hukum alam. Kita asumsikan kejadian mukjizat dengan (S) dan suatu kondisi (M) dimana memunculkan keadaan yang lain (A). Jika kita memiliki bukti dan peninggalan fisik dua keadaan (M) dan (A) tersebut maka kita bisa menentukan terjadinya peristiwa (S).[8]
Tapi Swinburne mengaku mengalami kesulitan praktis dalam metodologi observasi atas peninggalan-peninggalan fisikal suatu mukjizat historikal, ia berkata, "Metode ini lebih bermanfaat untuk pembuktian suatu mukjizat yang baru terjadi daripada mukjizat yang sudah lama berlalu, sebab sebagian besar bukti, jejak dan peninggalan fisikal mukjizat itu hilang dengan berlalunya waktu. Walaupun terdapat beberapa peninggalan yang tidak hilang yang dapat dijadikan bahan analisa sejarah, sebagai contoh dengan meneliti karakter huruf dan metode penulisan sebuah peninggalan teks sejarah kita dapat menentukan di abad keberapa seorang penulis teks sejarah tersebut hidup, cara seperti ini masih terus digunakan dan ilmu pengetahuan senantiasa menemukan bukti sah dan peninggalan yang terbaru sehingga dapat mengungkap realitas kejadian-kejadian yang menakjubkan pada zaman yang lalu."[9]
Menurut pandangan Swinburne terdapat empat dalil dan bukti untuk meneliti mukjizat, tetapi berkenan dengan mukjizat terdapat kontradiksi antara dalil keempat dan dalil ketiga, lantas bagaimana menghilangkan kontradiksi tersebut? Untuk menyelesaikan masalah ini Swinburne mengusulkan beberapa jalan keluar, diantaranya:
1. Macam-macam bukti dan dalil yang ada dipisahkan berdasarkan tingkat keabsahannya, seperti orang yang masih mengingat suatu kejadian yang dilihatnya secara langsung harus lebih dikedepankan daripada bukti-bukti nyata yang lain, karena bukti-bukti yang lain memiliki kemungkinan benar dan kemungkinan salah.
2. Macam-macam bukti dan dalil yang memiliki perbedaan validitas disusun berdasarkan peringkat dan kualitas keabsahan. Kalau terjadi kontradiksi di antara bukti-bukti tersebut kita dapat mengetahui peringkat dan kualitas bukti yang saling kontradiksi, misalnya si A dan si B memiliki laporan yang berbeda dalam kasus tertentu (X), maka langkah praktis kita adalah meneliti laporan mereka atas perkara yang lain (Y), kalau laporan si A lebih sesuai dengan realitas kejadian perkara (Y) daripada laporan si B maka hal ini dapat menjadi bukti otentik dan dalil yang valid bagi kita untuk menerima laporan si A berkaitan dengan kasus tertentu (X).
3. Diupayakan semua dalil dan bukti yang diterima memiliki kualitas kemungkinan yang maksimal. Oleh karena, kalau ada satu orang yang memberikan kabar tertentu tetapi terdapat lima orang yang menginformasikan berbeda dari yang satu orang, maka penyaksian dari lima orang tersebut yang mesti diterima. Begitu pula, kalau ada kesimpulan yang berasal dari satu fenomena sejarah tetapi ada juga kesimpulan yang berbeda yang bersumber dari lima fenomena sejarah yang lain, maka yang harus dikedepankan dan diterima adalah kesimpulan yang bersumber dari lima fenomena tersebut.
4. Tidak mengubah dalil dan bukti yang saling menguatkan dan tidak saling kontradiksi kecuali untuk menyesuaikan dalil-dalil dengan subyek pembahasan dan pembuktian lain yang lebih nyata. Oleh karena itu, adalah sangat tidak logis menolak lima bukti nyata dan saksi sejarah atas satu perkara, kecuali kita dapat membuktikan bahwa lima bukti dan saksi tersebut adalah palsu dan direkayasa.
Swinburne beranggapan bahwa dengan berpijak pada pokok-pokok tersebut di atas kita dapat menyelesaikan kontradiksi antara dalil ketiga dan dalil keempat. Menurut teori Swinburne: pertama, berbeda dengan pandangan Flew, teks-teks sejarah dan kaidah-kaidah ilmiah keduanya dapat dibuktikan berdasarkan metodologi ilmiah tetapi dalam hal ini teks sejarah yang berhubungan dengan mukjizat tidak didukung oleh kaidah-kaidah ilmiah, kedua dengan memanfaatkan pokok keempat di atas, para peneliti sejarah dapat menggunakan ketiga dalil pertama (yang berkaitan dengan kejadian mukjizat) untuk mendukung dalil keempat ( proposisi nomologikal).
Realitas tersebut di atas sama dengan hukum alam (dari sisi hubungan keuniversalan hukumnya dengan data-data ilmiah yang bersifat statistik) yang berhubungan secara universal antara mukjizat dan bukti-bukti otentik (sebagai kabar berita). Apabila hubungan antara keduanya tergolong kedalam pokok yang pertama (dari keempat pokok di atas) maka kabarnya adalah pasti (yakin), dan jika hubungan antara keduanya dikategorikan kedalam pokok yang kedua maka kejadiannya memiliki probabilitas yang tinggi.
Oleh Karena itu, dalil dan bukti otentik sama seperti hukum alam yang didasarkan dengan metode penelitian dan jika terdapat kontradiksi di antara dalil-dalil maka harus dirujukkan kepada pokok-pokok yang telah disebutkan, seperti suatu bukti (M) yang berhubungan dengan dua kejadian mukjizat (A). Dan bukti-bukti yang lain dapat disimbolkan dengan M1, M2, M3… dan diasumsikan bahwa bukti-bukti tersebut dapat dijadikan pegangan dan pijakan karena sebelumnya sudah diteliti dan dibandingkan dengan realitas alam nyata. Dan bukti lain yang berlawanan dengan bukti-bukti tersebut disimbolkan dengan (H) dan banyaknya bukti yang berlawanan sebagai H1, H2, H3. Oleh karena itu, setiap bukti M1, M2, M3 telah diperhadapkan dengan bukti H1, H2, H3 dan telah dibuktikan validitasnya berkaitan dengan peristiwa mukjizat (A) dan bukti-bukti ini, dari sisi kuantitas dan kesesuaiannya, berdasarkan pokok ketiga dan keempat adalah didahulukan daripada bukti yang bersumber dari hukum-hukum alam.
Richard Swinburne berkata, "Walaupun kita tidak dapat secara teliti menentukan bukti-bukti yang mempunyai validitas yang tinggi tetapi dengan berpijak pada pembahasan sebelumnya kita bisa dengan logis menunjukkan bahwa bukti-bukti yang diinginkan lebih kuat dan tidak berlawanan dengan hukum alam. Tetapi mengaplikasikan metode ini terhadap bukti-bukti tentang mukjizat yang terjadi pada zaman yang lampau merupakan hal yang sangat sulit dikarenakan kita mempunyai bukti dan informasi yang sangat terbatas, jarang dan langkah, oleh karena itu sangat dibutuhkan usaha dan ketelitian yang tinggi untuk menguji segala hubungan bukti-bukti tersebut dengan realitas hukum alam.[10]
Argumen Hume dan Flew juga dapat dikritik dalam tiga sudut, dimana pada argumen tersebut terdapat tiga asumsi masalah yang ketiganya masih diperdebatkan. Pertama, menurut pandangan Flew dan Hume, hukum alam menolak segala proposisi yang berlawanan dengannya. Kedua, Kaidah-kaidah ilmiah pasti kontradiksi dengan segala proposisi yang menceritakan tentang peristiwa mukjizat. Dan ketiga, faktor-faktor non-alam (non-materi), seperti kehendak dan iradah Tuhan, tidak dikategorikan sebagai faktor-faktor dalam pengkajian peristiwa-peristiwa sejarah, dan hukum-hukum alam (kaidah ilmiah) merupakan satu-satunya sandaran dan tolok ukur dalam menganalisa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah.
1. Apakah kaidah-kaidah ilmiah menutup kemungkinan kebenaran segala proposisi yang bertentangan dengannya? Persoalan ini dapat berhubungan dengan salah satu dari tiga bentuk kemungkinan:
Pertama, induksi[11] yang terbatas tidak selalu tetap dan universal walaupun dengan dukungan kaidah-kaidah rasionalitas seperti hukum kausalitas, dan hukum alam tersebut kemudian kita generalisasikan untuk menghukumi semua perkara yang dianggap "serupa" dengannya ("serupa" dengan hal-hal partikular dimana merupakan sumber hukum "universal" alam), dan juga hukum alam atau kaidah ilmiah tersebut dijadikan tolok ukur untuk menolak satu peristiwa atau lebih yang bertentangan dengannya. Tetapi sekarang ini, berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disebutkan, kita tak bisa menghukumi secara universal kesimpulan induksi yang terbatas itu terhadap semua perkara yang terjadi, hal ini juga bertolak belakang dengan pandangan David Hume sendiri.[12]
Kedua, bukti-bukti partikular dan pengamatan langsung menaikkan derajat validitas kaidah ilmiah, jika pengamatan atau eksperimen tersebut semakin intens maka semakin besar pula sisi kemungkinan tertolaknya informasi peristiwa-peristiwa tertentu (baca: mukjizat). Realitas ini, walaupun secara sepintas bisa diterima dimana tingkat validitas hukum alam berbanding lurus dengan kuantitas penemuan dan percobaan ilmiah (yang bersifat induksi partkular), tetapi sesuai dengan pandangan Max Black, segala upaya dilakukan untuk tujuan merumuskan hukum universal yang berangkat dari metode induksi, tetapi tidak berhasil karena berhadapan dengan banyak masalah-masalah praktis yang rumit. Merumuskan proposisi universal yang meliputi segala realitas alam dimana didasarkan pada bukti-bukti partikular dan percobaan induksi yang sangat terbatas, mustahil meningkatkan validitas hukum alam, karena bagaimanapun bukti-bukti partikular tersebut terhitung nol jika diperhadapkan dengan wujud partikular-partikular alam yang tak terbatas jumlahnya.[13]
Ketiga, adanya kemungkinan kebenaran sesuatu yang didasarkan pada hukum-hukum dan teori-teori ilmiah bergantung pada salah satu hipotesa-hipotesa yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Berdasarkan ini, arah dan tujuan ilmu, sebagai contoh menentukan kemungkinan besok terbit matahari dan bukan menentukan kemungkinan bahwa matahari pasti senantiasa terbit, berdasarkan hal ini sangat kecil adanya kemungkinan kebenaran proposisi yang berlawanan dengan hukum-hukum dan teori-teori ilmiah. Tetapi jalan penyelesaian ini tetap bertemu dengan problem penyelesaian sebelumnya, sebab ada kemungkinan benarnya peristiwa-peristiwa ajaib (mukjizat) yang tetap berpijak pada hukum-hukum dan teori-teori universal, para pemuja metodologi induksi gagal dalam usaha untuk menghilangkan keberadaan probabilitas dan kemungkinan kebenaran peristiwa-peristiwa tersebut hingga ke titik nol.[14]
2. Apakah hukum ilmiah bertentangan dengan proposisi-proposisi yang berkaitan dengan peristiwa mukjizat? Terdapatnya kontradiksi antara kaidah-kaidah ilmiah dan proposisi mukjizat yang dijelaskan oleh Hume dan Flew, berpijak pada penerimaan asumsi bahwa terdapat perbedaan experimen dan pengalaman yang kemudian berujung pada pertentangan tersebut, dikarenakan kaidah-kaidah ilmiah dan proposisi mukjizat bersumber dari dua pengalaman yang berbeda. Kebenaran kaidah ilmiah dan keberadaan hukum alam berhubungan dengan proposisi mukjizat diterima sebagai postulat serta proposisi ini hanya dikabarkan sebagai hal yang bertolak belakang dengannya, dimana diasumsikan terjadi karena pengaruh faktor supranatural. Dan teori ilmiah juga tidak mampu menegaskan bahwa hukum alam tak bisa diubah oleh faktor metafisika dan supranatural, oleh karena itu tak ada kontradiksi antara dua proposisi - (hukum alam dan mukjizat) yang masing-masing bersumber dari dua realitas pengalaman yang berbeda - hingga dikatakan terdapat pertentangan argumen.
3. Apakah hukum alam merupakan satu-satunya tolok ukur dalam menganalisa dan mengoreksi peristiwa-peristiwa sejarah? Flew dan Hume menolak faktor-faktor non-natural dalam penyelidikan atas peristiwa-peristiwa sejarah, menurut sebagian para pemikir dan peneliti Barat, metodologi argumentasi ini kurang tepat dan bersifat hipotesa belaka. Apa dalil-dalil mereka yang menyatakan bahwa kaidah dan hukum alam merupakan satu-satunya tolok ukur, sumber penelitian yang pasti dan konklusi terakhir dalam mengkaji kebenaran akan peristiwa-peristiwa sejarah, dan mengapa mereka menolak menjadikan faktor-fakor supranatural sebagai bagian dari faktor-faktor yang berpengaruh? Sebagai contoh, begitu banyak ahli iman yang karena keyakinan mereka atas perkara-perkara gaib dan hal-hal yang bersifat supranatural, memiliki gambaran atas suatu realitas wujud yang mengatur alam semesta ini dimana hal inilah yang kemudian mendasari sisi kepercayaan mereka atas peristiwa mukjizat, dan informasi tentang kejadian mukjizat justru menguatkan orang mukmin terhadap keyakinan bahwa kehendak dan iradah Tuhan masih terus berpengaruh di dalam tatanan alam natural ini.
Michael Patrison yakin bahwa sanggahan tersebut bukan dialamatkan untuk Flew, karena Flew senantiasa mengungkapkan bahwa apakah seseorang dapat membuktikan peristiwa mukjizat dengan hanya memperhatikan dalil valid dan bukti otentik sejarah tanpa melibatkan unsur-unsur keimanan.[15] Tapi menurut sebuah pandangan bahwa seseorang dapat melibatkan sisi rasionalitas dan faktor-faktor supranatural dalam mengkaji realitas sejarah dan alam dengan dukungan dalil-dalil filsafat tanpa harus menggunakan petunjuk-petunjuk kebenaran (ajaran agama) yang diperoleh lewat pembuktian mukjizat. Bentuk pemikiran dan keyakinan seperti ini membuka celah adanya kemungkinan terjadinya peristiwa mukjizat.
Implikasi Mukjizat
Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang implikasi mukjizat berkaitan dengan dua dimensi, antara lain:
1. Implikasi mukjizat atas penegasan eksistensi Tuhan;
2. Implikasi mukjizat atas pembuktian kenabian seseorang.
Dimensi kedua di atas juga mempunyai dua substansi masalah:
1. Apakah mukjizat berimplikasi secara langsung dan logis kepada sang pembawa pesan mukjizat?
2. Apakah keberadaan mukjizat sekaligus membuktikan kebenaran risalah dan ajaran sang pembawa mukjizat?
Implikasi mukjizat yang tersebut di atas masih menjadi subyek pembahasan dan perdebatan, dibawah ini yang pertama kita bahas adalah perdebatan dan kritikan yang bersifat umum dan setelah itu secara terpisah kita akan mengupas dan menganalisa berbagai kritikan yang bersifat khusus atas implikasi-implikasi itu.
Tiga Persoalan Mendasar pada Implikasi Mukjizat
Asumsi pertama yang penting pada implikasi mukjizat adalah mukjizat merupakan perbuatan langsung Tuhan atau sesuatu yang diijinkan oleh Dia. Asumsi ini bisa diterima kalau peristiwa mukjizat tersebut tak dapat dijelaskan dan diuraikan dengan cara yang lain. Jika tidak demikian maka implikasi mukjizat yang disebutkan di atas tidaklah tepat. Teolog Muslim seperti Fakhrurrazi dan Imam Gazali melemparkan kritikan atas asumsi pertama tersebut, Fakhrurrazi dalam penjelasannya tentang kejadian mukjizat mengungkapkan tiga kemungkinan lain berkaitan dengan campur tangan Tuhan.
Ia berkata bahwa kemungkinan kualitas spiritual pembawa mukjizat tersebut berbeda dengan kualitas spiritual manusia lain sehingga menyebabkan orang lain tidak mampu melakukan hal yang sama, kemungkinan kedua adalah pembawa mukjizat menguasai salah satu unsur materi yang merupakan sumber dan penyebab keajaiban tersebut serta membatunya dalam mewujudkan sesuatu yang aneh, dan kemungkinan ketiga adalah para jin, syaitan, arwah-arwah dan malaikat membantu seorang Nabi melahirkan perbuatan ajaib, aneh dan menakjubkan[16].
Sementara Imam Gazali juga beranggapan adanya suatu kemungkinan bahwa dalam perubahan tongkat Nabi Musa As menjadi ular-ular besar mungkin terdapat tipu muslihat.[17] Di zaman sekarang ini, kritikan tersebut diungkapkan dalam bentuk yang lain dan terdapat tiga sanggahan utama berhubungan dengan implikasi mukjizat yang disebutkan sebagai berikut:
1. Mukjizat dan probabilitas penjabarannya secara ilmiah
Masalah ini secara hakiki kembali kepada persoalan bahwa bagaimana kita dapat yakin perkara mukjizat tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
Menurut Richard Purtiil, salah satu persoalan pokok yang berkaitan dengan tingkat kevaliditasan bukti mukjizat adalah kemungkinan penjabaran mukjizat dengan bantuan kaidah-kaidah ilmiah. Tapi ia menyangkal adanya probabilitas tersebut dengan beberapa alasan:
Pertama, kemungkinan terjadinya mukjizat di masa mendatang adalah sangat kecil, maka dari itu kita tak berpegang padanya.
Kedua, berdasarkan kemungkinan bahwa di masa depan ditemukan sebab natural mukjizat lantas bagaimana seorang bisa menjelaskan suatu ilmu pengetahuan (tentang mukjizat) yang tidak ia pahami, misalnya mengembalikan penglihatan seorang anak yang buta sejak lahir dan seorang yang menghidupkan kembali mayat-mayat? Kalau kita katakan bahwa peristiwa itu (menghidupkan kembali mayat) memiliki faktor-faktor yang tak dikenali maka kita harus menjawab persoalan yang lain yaitu apakah hukum-hukum dan faktor-faktor yang tak dikenali itu secara kebetulan bersamaan dengan kehendak Nabi Isa as (mengobati orang sakit, mengembalikan penglihatan, menghidupkan kembali mayat)?[18] Argumen pertama Purtiil sangat lemah karena adanya kemungkinan tersebut membuat kita tak bisa menghubungkan mukjizat tersebut kepada Tuhan, sementara penguraian dan penjelasannya atas dalil kedua cukup bisa diterima.
2. Mukjizat dan pengaruh faktor-faktor supranatural
Kerumitan yang kedua sebagaimana yang diungkapkan oleh Purtiil adalah nilai kevaliditasan mukjizat yang bersifat mungkin, karena mungkin saja faktor-faktor non-alam selain Tuhan atau lebih rendah dari Tuhan yang berpengaruh dalam perwujudan mukjizat tersebut atau karena pengaruh kekuatan yoga seseorang yang kemudian melahirkan hal-hal aneh. Richard Purtiil mengusulkan tiga poin dalam penyelesaian berbagai kerumitan dalam persoalan-persoalan tersebut, antara lain:
1. Para pengingkar mukjizat diajak untuk melakukan hal yang sama dan kalau mereka mampu mewujudkan perkara-perkara yang ajaib (mukjizat) maka akan terjadi kontradiksi di antara mukjizat.
2. Memandang kepada hakikat mukjizat, karena sebuah mukjizat seperti menghidupkan orang mati dan menciptakan makanan hanya berhubungan secara langsung dengan perbuatan dan prilaku Tuhan.
3. Apakah Tuhan Yang Maha Bijaksana (Hakim) mengijinkan adanya mukjizat lain yang terwujud dari faktor selain-Nya yang dengannya manusia menjadi tersesat? Keberadaan mukjizat lain menyebabkan munculnya ajaran sesat yang bertolak belakang dengan ajaran yang dibawa para Nabi dimana mukjizat Tuhan bersama dengannya.[19]
Dalam poin kedua, Purtiil tidak menjelaskan bahwa dengan memandang hakikat mukjizat - seperti menghidupkan orang mati - kita bisa menyimpulkan bahwa yang mewujudkan mukjizat tersebut adalah Tuhan dan bukan faktor selain-Nya. Pada poin pertama dan ketiga sama dengan yang dilakukan oleh para teolog Muslim dalam mengungkap hubungan mukjizat dengan sisi pengakuan kenabian.
3. Mukjizat-mukjizat yang saling kontradiktif
Richard Purtiil berkata, "Jika kita ingin mendukung - agama-agama yang saling bertentangan tersebut dimana masing-masing mempunyai mukjizat dan semuanya mengaku berasal dari Tuhan dan mengajak kepada-Nya - sebagaimana kalau kita bersaksi atas dua kelompok yang saling berlawanan, maka dalam hal ini, kita terpaksa memilih salah satu dari tiga teori dan pandangan di bawah ini:
a. Mukjizat tak berhubungan dengan salah satu ajaran dan agama.
b. Saling kontradiksi di antara mukjizat hanya bersifat lahiriah.
c. Salah satu dari mukjizat yang saling kontradiksi tersebut adalah bukan mukjizat yang hakiki.
Richard Purtiil cenderung memilih gagasan ketiga, menurut ia mukjizat Nabi Isa As terkhusus untuk beliau dan tidak satupun "mukjizat" yang dapat menyamainya. Lagi pula begitu banyak kontradiksi yang ada di antara mukjizat-mukjizat dari berbagai ajaran agama hanya bersifat permukaan dan lahiriah belaka[20].
Juga dalam pandangan teolog Muslim, mukjizat-mukjizat dari agama pra Islam tidak bertolak belakang dengan mukjizat agama Islam, dan perkara-perkara ajaib (bukan mukjizat) yang diwujudkan oleh masing-masing para pertapa bersumber dari perbedaan kekuatan jiwa dan kesempurnaan spiritual para pertapa itu sendiri, tetapi hal ini bukan menunjuk pada kebenaran ajaran mereka; sebab baru jika perbuatan mereka yang ajaib dan aneh itu bersama dengan pengakuan kenabian serta menantang semua orang untuk melakukan hal yang sama, bisa dikategorikan sebagai bukti kebenaran pembawa mukjizat (para Nabi dan Rasul).
Catatan Kaki:
[1] . Holland, R.F, The Miracleous, hal. 56.
[2] . Hume, David, Darbore-ye Mukjizat, hal. 412.
[3] . ibid, hal. 403.
[4] . Flew, Anthony, Scientific Versus Historical Evidence in Miracles, hal. 97.
[5] . Universal rasional, seperti proposisi manusia universal yakni penggambaran manusia dengan syarat keuniversalan. Dalam contoh tersebut, manusia adalah subyek yang memiliki individu (seperti Muhammad, Ali) di alam nyata dan kata universal adalah predikat, jadi gabungan subyek dan predikat tersebut dikatakan universal rasional.
[6] . Proposisi yang memiliki landasan hubungan keniscayaan, kemungkinan, konstan dan kemustahilan anatara predikat dan subyek.
[7] . Proposisi yang menghukumi individu-individu luar atau hukum yang berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar pikiran kita, misalnya semua prajurit Israel terbunuh.
[8] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 133.
[9] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 134.
[10] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 151.
[11] . Penetapan hukum atau kaidah yang berangkat dari hal-hal yang partikular.
[12] . Untuk mengetahui secara rinci penjelasan masalah ini silahkan merujuk pada: Muhammad Amin Ahmadi, Tanaqudh Nemo yo Ghaib Nemum (Negaresy-e Nu be Mukjizat), hal. 205.
[13] . Black, Max, Istiqra ('Ilm Syenosy Falsafi), penerjemah: Abdul Karim Surusy, hal. 215.
[14] . Charles, Allen, Cisty 'Ilm, penerjemah: Said Zibo Kalam, hal 29.-30.
[15] . Patrison, Michael, 'Aql wa I'tiqâd Diny, penerjemah: Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hal. 75.
[16] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Muhashshal al-Ma'ruf be Naqd al-Muhashshal, hal. 94.
[17] . Al Gazali, Abu Hamid, al-qisthâs al-mustaqim, hal. 80.
[18] . Purtiil, Richard L, "Miracles: What if Thay Happen?" in Miracles, hal. 203.
[19] . Purtiil, Richard L, "Miracles: What if Thay Happen?" in Miracles, hal. 203.
[20] . Purtiil, Richard L, "Miracles What Thay if Happen?" in Miracles, hal. 203.