Prioritas dan Signifikansi pembahasan relasi antara sebab-akibat (kausalitas)
Dapat dikatakan, dengan ditemukannya fenomena kemunculan manusia di permukaan bumi, pada saat itu pula muncul pertanyaan “mengapa?”, prioritas dari kata tanya ini terletak pada prioritas insan.
Di antara persoalan filsafat adalah masalah deduktif yang memiliki usia panjang dan prioritas yang mengakar, dan juga menempati urutan pertama kebingungan yang muncul dalam pemikiran manusia.
Pertanyaan tentang sebab diri dan benda-benda lain, merupakan polemik teramai yang menggasak mental insan sejak kemunculannya dan senantiasa memposisikan dirinya sebagai pertanyaan yang paling mengakar ketika dihadapkan dengan pemikiran para filosof dan hukama.
Dalam kitab “Târikh Falsafah”, kita jumpai para ilmuwan pertama Yunani –yang terkenal sebagai para filosof Iyuni - sampai pada kesimpulan bahwa mereka telah berhasil menemukan unsur pertama atau mâddat al-mawâd dari semua benda-benda semesta[1], dengan demikian harus dikatakan bahwa Filsafat telah dimulai dengan persoalan kausalitas dan pada prinsipnya manusia pun telah dimulai dengan kausalitas dimana perenungan dan kontemplasi manusia sama sekali tidak akan pernah terpisah dari persoalan ini.
Dengan kata lain, masalah kausalitas bukanlah sebuah dilema yang dituju oleh manusia, melainkan kausalitas-lah yang berjalan menuju kepada manusia dan dia telah membebankan dirinya atas manusia, memenuhi semua pemikiran manusia dan menyibukkan semua kontemplasi dan perenungannya. Tentu saja dengan sebuah kata “Mengapa” atau “Apakah” kita bisa bertanya untuk setiap kalimat yang ada dan untuk segala hal yang kita temukan, akan tetapi kita sangat paham bahwa semua pertanyaan tersebut pada hakikatnya bukanlah “pertanyaan” kita dan tidak pernah mengusik perenungan dan jiwa kita, tidak pernah mengekang kita dan kitapun tidak pernah bersitegang dengannya, akan tetapi masalah kausalitas tidak akan pernah demikian.
Persoalan kausalitas sebagaimana kebanyakan persoalan filsafat, setiap kali pertanyaan lain diletakkan di bawah naungannya maka pertanyaan tersebut akan diletakkan pada tingkatan kedua. Masalah kausalitas merupakan masalah yang prinsip dan mengakar dan manusia tidak bisa, misalnya, membagi waktu sehari semalamnya dengan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sebagiannya lagi, misalnya satu hingga dua jam untuk merenungkan masalah sebab pertama (the first cause).
Persoalan kausalitas dari dulu hingga sekarang bahkan hinga masa yang akan datang merupakan sebuah pencipta kebingungan.
Kedua persepsi “sebab” dan “akibat” ini, merupakan bagian dari akal kedua filsafat yang merupakan penjelas metode wujud, dan yang diperoleh dengan kontemplasi dan usaha keras otak. Dengan istilah lain, media aksidensi mereka adalah pikiran dan media karakteristik mereka adalah obyek luar. Dari sini karena kedua persepsi tersebut tidak berada dalam satu kategori dan tidak termasuk pula dalam mâhiyat (esensi, keapaan), telah menyebabkannya tidak mempunyai definisi yang hakiki dan logis, dan apa yang didefinisikan dalam kitab Filsafat tentang keduanya hanyalah merupakan syarhul-lafdzi (penjelas kata) saja.
Apabila kita membandingkan antara dua wujud A dan B dan kita melihat bahwa wujud A berada dalam posisi dimana apabila ia eksis maka wujud B pun akan menjadi eksis. Dan selama A tidak eksis maka B pun tidak akan eksis. Dan wujud B merupakan manifestasi penjelas yang bergantung dan berkaitan erat dengan wujud A. Maka dalam kondisi ini kita mengatakan bahwa: A adalah sebabnya B dan B adalah akibat dari A. Oleh karena itu dalam mendefinisikan sebab dan akibat kita akan mengatakan: sebab merupakan wujudun mutawaqqaf ‘alaih (mengadanya sesuatu bergantung kepadanya) dan akibat adalah wujud mutawaqqif (sesuatu yang bergantung).
Kita sepakat bahwa prinsip kausalitas merupakan prinsip logis dan aksiomatis, dan dasar kejelasan dari kaidah ini adalah karena bersandar pada perolehan batin dan ilmu presesensi (hudhuri)
Setiap manusia dengan ilmu hudhuri yang dimilikinya menemukan bahwa fenomena-fenomena yang bersifat nafsâni seperti ilmu, kehendak, dsb, mempunyai bentuk kebergantungan yang khas dengannya dan dengan jiwa-nya. Kebergantungan ini merupakan kebergantungan yang dalam prinsip wujud dan keberadaan berada dalam keadaan dimana tanpa wujudnya jiwa maka mereka pun tidak akan wujud, dan wujud mereka bersandar pada wujudnya jiwa. Di sinilah perangkat jiwa, yaitu pikiran -yang meliputi realitas dan menghadirkannya dengan ilmu hudhuri- terpaksa menghikayatkan realitas ini dengan persepsi yang diperoleh dari ilmu hudhuri, dari sinilah terbentuk persepsi “sebab”, “akibat”, dan “hubungan sebab akibat (kausalitas)”. Pahaman “sebab” dipergunakan dalam kaitannya dengan jiwa. Sedangkan pahaman “akibat” dalam kaitannya dengan ilmu atau kehendak, dan dari jenis kebergantungan dan korelasi wujud semacam inilah kemudian disebut “kausalitas”.
Meskipun dalam ilmu hudhuri kita hanya berinteraksi dengan fenomena-fenomena khas dalam batasan wujudnya, dan menemukan manifestasi tertentu dari sebab dan akibat, tetapi setelah pikiran mempersepsikan apa yang ditemukan oleh hudhuri, dia akan menghapuskan kaidah dari setiap obyeknya, dan menyimpulkan persepsi dalam bentuk mutlak. Artinya, pikiran akan membentuk kaidah mutlak, dimana setiap kali wujud dari sebuah eksistensi bergantung pada wujud eksistensi lain, maka yang pertama, disebut akibat, dan yang kedua disebut sebab. Generalisasi ini sendiri bertolak dari kaidah badihi (gamblang), dimana hukum-hukum negatif dan positif benda-benda similiar (sejenis) –dari sisi kesamaannya- adalah satu. Atas dasar ini, pikiran mengatakan: setiap kali terdapat dua wujud yang korelasi, sebagaimana korelasi jiwa dan efek jiwa, maka akan dinamakan dengan sebab dan akibat. Dan mereka pun mempunyai hukum-hukum “hubungan sebab-akibat (kausalitas)”. Dari sinilah terbentuk kaidah universal “kausalitas”.[2]
Tentu saja menemukan obyek untuk korelasi kausalitas di alam luar, bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini membutuhkan perangkat dan metodologi tertentu, dimana untuk sementara ini tidak termasuk dalam pembahasan kita.
Berdasarkan apa yang telah kami katakan, kaidah kausalitas berdiri di atas asas eksperimen internal/batin dan bukan eksperimen inderawi/fisik. Tentu saja dalam eksperimen-eksperimen inderawi, “keberulangan fenomena” senantiasa merupakan syarat. Tetapi dalam eksperimen batin, pengulangan ini bukan merupakan syarat. Dan kewujudan sebuah kasus telah mampu menjadi sumber abstraksi dari persepsi sebab dan akibat. Dengan alasan ini, kaidah kausalitas tidak bisa dimaknakan dengan “eksperimen” dalam makna idiomnya. Hal ini dikarenakan dia bukan benda fisik dan tidak pula membutuhkan pengulangan.
Tentu saja, dilihat dari satu sisi bisa dikatakan bahwa mereka termasuk dalam kelompok indera batin atau wijdaniyat dan dengan batasan ini dia bisa dimasukkan ke dalam “eksperimen”.
Prinsip kausalitas meliputi semua bentuk eksistensi yang keuniversalannya mencakup semua alam wujud, dari sinilah sehingga kemudian masalah kausalitas dan pembagian wujud dalam bagian sebab dan akibat merupakan salah satu masalah yang menduduki posisi pertama dalam filsafat.
Persoalan kausalitas merupakan dasar seluruh ilmu dan obyektifitas. Tak ada satupun dari 'alim dan pemikir yang berfikir kecuali dikarenakan dia mengetahui bahwa perolehan hakikat merupakan akibat dari tafakkur, kontemplasi dan konsentrasi. Para ilmuwan ekperimen pun sama sekali tidak akan menceburkan diri dalam penelitian dan observasinya, kecuali karena adanya keyakinan bahwa alam ini merupakan alam efek dan pengaruh. Dan setiap kekhususan merupakan akibat dari unsur tertentu, dari setiap benda akan muncul akibat yang tertentu dan setiap efek muncul dari benda yang tertentu pula, dan ini tidak lain adalah prinsip kausalitas. Apabila prinsip kausalitas tidak ada, maka semua harapan menjadi kering, para alim tidak lagi berpikir, para pelaku ('amil) berdiri terpaku, ketakutan dan kegelisahan akan menguasai semuanya, hingga akhirnya pepatah mengatakan: gandum tak lagi dari pohon gandum, padi tak lagi buah dari pohon padi.
Hume berdasarkan pada prinsip positivisme dan empirisisme-nya menolak prinsip kausalitas sebagai sebuah kaidah rasional dan non experience. Dia hanya menginterpretasikannya sebagai ke-sezaman-an atau ke-berganti-an dua fenomena. Dia menganggap kausalitas sebagai sebuah korelasi antara pikiran dengan kemunculan urgensi sebuah makna bukannya sebuah korelasi antara obyek dan wujud. Maksudnya adalah: apabila kita menganggap A sebagai sebabnya B, maka hal tersebut hanyalah dengan makna bahwa dalam pikiran kita terdapat urgensi makna; bahwa persepsi B senantiasa muncul mengikuti persepsi A, dan korelasi ini muncul dari kebergantiannya dua fenomena A dan B di alam luar. Tetapi, apa yang dikatakan bahwa antara keduanya terdapat hubungan ketergantungan wujud, hal ini tidak bisa diterima secara ilmiah.
Sebagian dari sanggahan-sanggahan penting yang muncul seiring dengan perkataan Hume, akan kami jelaskan dalam poin-poin berikut:
1. Apabila prinsip kausalitas (hubungan sebab-akibat) itu diingkari, maka tidak akan ada satupun peristiwa yang bisa diantisipasi sebelum kemunculannya. Dengan demikian, akan terdapat begitu banyak kemungkinan terjadinya berbagai peristiwa pada setiap saat.
2. Apabila prinsip kausalitas dinafikan, tidak akan ada satupun kaidah dan hukum-hukum ilmu dan eksperimen yang bisa diterima. Karena setiap hukum dan kaidah ilmu, bersumber dari prinsip kausalitas.
3. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka tidak ada satupun argumentasi yang terdapat dalam alam fakir. Karena pada hakikatnya konklusi dan kesimpulan senantiasa merupakan akibat yang muncul dari premis-premis. Dan ingkar terhadap kausalitas mempunyai makna ingkar terhadap argumentasi dan teori.
4. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka setiap orang bisa mengingkari hubungan antara aktivitas dan pengaruh dari aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian, jalan untuk teperosok ke dalam setiap kejahatan akan terbuka luas.
5. Apabila prinsip kausalitas hanya diketahui sebagai makna kebergantiannya dua fenomena, maka fenomena-fenomena semacam siang dan malam –yang senantiasa saling bergantian satu dengan lainnya- harus kita anggap sebagai manifestasi dari sebab dan akibat. Padahal kita mengetahui bahwa tidak satupun dari mereka merupakan sebab dari yang lainnya.
6. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka tidak akan terdapat sedikitpun kepastian dan keuniversalan dalam keyakinan.
7. Apabla prinsip kausalitas diingkari, maka sama sekali tidak ada cara untuk mengaffirmasikan wujud-wujud obyektif. Dan hal ini identik dengan Idealisme.
8. Apabila prinsip kausalitas diingkari dengan menganalogikan bahwa wujud merupakan realitas obyek, maka tidak akan terdapat metode untuk mengaffirmasikan relevansi antara persepsi-persepsi dengan bukti-bukti di luar wujud.
9. Apabila sebelum eksperimen, prinsip kausalitas diingkari sebagai sebuah prinsip rasional, maka kelazimannya adalah para ilmuwan sebelum menyaksikan dan melakukan observasinya, sama sekali tidak mempunyai keyakinan terhadapnya. Padahal alasan pokok mereka untuk melakukan observasi itu sendiri bertolak dari adanya keyakinan sebelumnya, yang mengatakan bahwa setiap akibat muncul dari sebuah sebab, dan tidak ada satupun fenomena yang muncul tanpa adanya sebab. (Harap diperhatikan baik-baik masalah ini).
10. Apabila kausalitas ditafsirkan sebagai sebuah kebergantian maka dalam persoalan terjadinya dua fenomena sezaman (bukan bergantian), seperti gerak tangan dan gerak pensil yang ada di tangan, tidak akan ada sebab yang bisa kita persepsikan, padahal kita memahami bahwa di antara kedua gerak ini terdapat hubungan sebab-akibat.
Kaum rasionalis, dalam bab kausalitas berpandangan bahwa keyakinan terhadap prinsip kausalitas merupakan sebuah persoalan yang esensial dan fitri, dan akal kita telah tercipta sedemikian rupa hingga dari awal dan dalam bentuk takwini (tata-cipta) mempunyai persepsi tentang kausalitas, dan bukannya akal membutuhkan upaya dan kontemplasi dalam mempersepsikannya.
Imanuel Kant, seorang filosof Jerman, berpendapat bahwa iliyyat (kesebaban) dan ma’luliyyat (keakibatan) merupakan sebagian dari akal fitri manusia. Oleh karena itu, illiyyat dan ma’luliyyat dia letakkan sebagai salah satu dari kedua belas kategorinya.
Keyakinan terhadap kefitrian dan kerasionalan prinsip kausalitas dengan makna aslinya yang non-eksperimen, non-materi dan lebih awal dari keduanya, merupakan sebuah keyakinan yang benar dan bisa diterima. Tetapi dengan makna bahwa pikiran akan memahaminya secara otomatik dan dzati (esensial) dan sejak awal takwini (penciptaan) persepsi semacam ini telah tercipta, hal yang semacam ini tidak bisa diterima.
Pikiran kita pada awalnya merupakan sebuah tabula kosong tanpa gambar. Lalu, secara bertahap memperoleh gambarnya melalui pertemuan antara potensi pengetahuan (the perceptive faculty) dengan realitas dan peristiwa – dan sebagaimana yang telah kami singgung – dalam bab iliyyat (kesebaban) pun pikiran akan membentuk persepsi sebab dan akibat dari cara perolehan hudhuri kemudian menyempurnakan keduanya.[3]
Menurut keyakinan sebagian teolog (mutakalimin), bahwa faktor-faktor (pelaku-pelaku) otoriter dan berkehendak, sama sekali tidak bisa dinamakan sebagai sebab dan illat, karena terjadinya akibat dari sebab dan munculnya yang disebabkan oleh yang menyebabkan merupakan hal yang urgen dan niscaya, dan kepastian ini tidak relevan dengan otoritas dan kehendak pelaku. Dari satu sisi, semua alam merupakan perbuatan Tuhan. Demikian juga keseluruhan peristiwa alam secara langsung dan tanpa perantara muncul dari kehendak dzat Nya. Dengan demikian, di antara peristiwa pun tidak bisa diketengahkan masalah kausalitas, melainkan harus dikatakan bahwa kebiasaan Tuhan atas cara inilah, sehingga fenomena-fenomena yang biasa kita namakan sebagai akibat, muncul mengikuti fenomena-fenomena lain yang kita namakan dengan sebab. Jadi, pada hakikatnya bukan saja pada korelasi antara Tuhan dan aktivitasnya tidak terdapat hubungan sebab-akibat (kausalitas), melainkan di antara fenomena-fenomena alam imkan (materi) pun tidak ada hubungan semacam ini. Dalam menjawab perkataan mereka ini harus dikatakan:
Pertama: Pada pelaku-pelaku yang otoriter dan berkehendakotoritas dan kehendak itu sendiri merupakan salah satu dari bagian sebab sempurna dan munculnya aktivitas dari pelaku ini meskipun pasti dan dharuri, tetapi bukan dengan makna kesebabannya pelaku.
Kedua: Kesebaban terjadinya peristiwa satu untuk yang lain berada dalam sepanjang aktivitas Tuhan, oleh karena itu tidak ada kontradiksi dengan ke-subyek-an Tuhan.
Ketiga: Sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, kausalitas tidak bisa hanya ditafsirkan sebatas sebagai ketemporalan dan kebergantian-nya dua fenomena. Dari sinilah, kemudian keyakinan terhadap “’A^datAllâh (kebiasaan Tuhan)” dalam bab kausalitas senantiasa akan diikuti dengan rintangan yang dikatakan oleh Hume pada pembahasan sebelum ini.
Persoalan yang berkisar tentang apa rahasia kebergantungan akibat terhadap sebab dan apa sajakah yang menjadi dasar dan parameter kebergantungan tersebut. Hal itu menjadi wacana yang hangat di antara para filosof dan senantiasa dibahas dengan bahasan yang mendalam, cermat dan detail.
Para mutakalimin (teolog) berpendapat, bahwa parameter kebergantungan akibat terhadap sebab adalah “huduts”. Sementara para filosof -dalam hal ini- telah terpilah menjadi dua kelompok. Satu kelompok sepakat terhadap ashâlat al-mahiyah (principiality of essence). Pembahasan ini muncul dalam bentuk formula realitas esensi. Mereka berpendapat bahwa parameter kebergantungan akibat terhadap sebab adalah kemungkinan keterciptaan esensi, yaitu adanya kesejajaran hubungan antara mahiyyah (keapaan) terhadap wujud dan tiada. Dan mereka yang sepakat dengan ashâlat al-wujud – (principiality of existence), seperti Sadralmuta-alihin Ra (Mullah Shadra) dan pengikut transendent wisdom (hikmah muta’aliyah) yang sepakat dengan “imkan faqri wa wujud” sebagai parameter kebergantungan akibat terhadap sebab. Yang dimaksud dengan “imkan faqri dan wujud”, adalah kebergantungan sebuah eksistensi terhadap realitas wujud. Dengan ibarat lain, setiap eksistensi yang wujud obyektifnya bergantung dan membutuhkan wujud lain pasti, merupakan akibat dan mumkin wujud, yang di dalam kaidah kausalitas dikatakan bahwa: kebutuhan dan kebergantungannya terhadap sebab itulah, yang telah memunculkannya.
Apa yang sekarang penting dalam pembahasan kita adalah kita mengetahui dari mana keakibatan (ma’lulilyah) alam bisa terbukti sehingga kemudian kita akan sampai pada hukum kaidah kausalitas untuk membuktikan Tuhan sebagai fâilul-fawâil (subyeknya subyek- pelakunya pelaku) dan illatul-illal (sebabnya sebab, the first cause).
Keakibatan (ma’luliyyah), mempunyai tanda-tanda yang khas. Apabila kita menemukan tanda-tanda tersebut di alam, maka secara dharuri dan pasti, kita akan mengatakan bahwa alam adalah ma’lul (akibat), dan tanda-tanda tersebut antara lain:
Eksistensi yang mengalami transformasi dari keadaan satu ke keadaan lainnya pasti merupakan akibat dan membutuhkan adanya sebab, karena transformasi dan perubahan merupakan salah satu tanda dari kekurangan. Jelaslah bahwa eksistensi mempunyai kekurangan dan aib dimana dia tidak bisa memenuhi atau mengangkat kekurangannya tersebut, melainkan membutuhkan sebuah sebab untuk mengantarkannya dari potensi ke aktual dan menghilangkan kekurangannya.
Huduts bermakna keberadaan yang didahului oleh ketiadaan. Huduts terbagi dalam dua bagian: huduts esensial dan huduts temporal. Huduts esensial adalah keberadaan yang didahului oleh ketiadaan dalam tingkatan dzat dan esensi yang hal ini bisa dijelaskan dalam keseluruhan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tetapi huduts temporal mempunyai makna keberadaan yang didahului oleh ketiadan dalam tempo, dimana jenis dari huduts ini hanya bisa dijelaskan dalam eksistensi-eksistensi materi dan temporal. Eksistensi yang baru saja terwujud pasti merupakan akibat dan membutuhkan kehadiran sebab untuk mewujudkan dirinya dari tiada menjadi ada, sehingga dari sini dikatakan bahwa huduts pun merupakan salah satu dari tanda-tanda keakibatan.
Setiap eksistensi yang bergantung kepada selainnya dengan cara tertentu, pasti merupakan akibat. Dan eksistensi yang di dalam dirinya tidak terdapat kebergantungan -sedikitpun- kepada selainnya, sama sekali tidak akan mempunyai sifat akibat.
Dengan memperhatikan tanda-tanda yang telah tersebut, menjadi jelas bahwa semua tanda-tanda ini dengan sangat mudah bisa kita temukan di alam kita. Keseluruhan alam semesta ini dipenuhi dengan berbagai perubahan, seperti perubahan yang terjadi pada: dunia fauna, flora, langit dan ... dalam setiap inci alam semesta ini senantiasa terjadi perubahan dan transformasi. Pada sisi lain setiap saat akan muncul pula eksistensi-eksistensi serta fenomena-fenomena yang baru. Anak-anak yang terlahir dari ibunya, 'aradhi (aksidensi)??? yang terjadi pada tumbuhan, hewan dan alam in-organik keseluruhannya merupakan manifestasi kejadian dan kemunculan peristiwa-peristiwa baru. Kebergantungan dan kebutuhan pada selainnya diperlihatkan dengan baik di seluruh alam. Apabila kita memperhatikan kemunculan setiap eksistensi di alam ini, maka kita akan melihat bahwa semuanya bersyarat pada keberadaan faktor-faktor dan kondisi-kondisi eksternal dan tidak ada satupun eksistensi di alam ini yang mempunyai makna “mencukupi dirinya sendiri” dengan tepat. Ketiga tanda tersebut di atas merupakan bukti kebenaran dan ke-otentik-an atas ma'luliyyah (keakibatan) alam. Karenanya, dalam hukum kausalitas dikatakan, bahwa keberadaan sebuah sebab -yang telah memunculkan alam semesta, termasuk aktivitasnya- adalah merupakan keniscayaan (dharuri) wujud.
Sebagian filosof Barat mengatakan bahwa persepsi argumen kausalitas adalah bahwa “setiap eksistensi membutuhkan sebab”. Dari sini, mereka mengajukan sanggahan atas apa yang dikemukakan oleh para filosof Ilahi (ketuhanan) yang menurut kaidah ini berarti tidak bisa disepakati adanya wujud sebuah eksistensi yang bernama Tuhan. Hal ini karena keyakinan semacam ini, identik dengan menerima pengecualian (eksepsi) dalam hukum akal. Padahal hukum-hukum dan kaidah-kaidah rasional tidak menerima pengecualian. Oleh karena itu, keuniversalan kaidah ini bukan saja tidak bisa membuktikan Tuhan sebagai sebuah eksistensi yang tidak membutuhkan sebab, bahkan proposisi ini dianggap mustahil terjadi.
Menjawab sanggahan ini dapat kami katakana, bahwa persepsi kaidah kausalitas sama sekali tidak berarti bahwa setiap eksistensi membutuhkan sebab. Kaidah hanya mengatakan bahwa: setiap akibat dan fenomena membutuhkan sebab, dan bukan “setiap eksistensi”. Dengan kata lain, subyek dari proposisi di atas adalah “akibat dan fenomena”, bukan “eksistensi”. Oleh karena itu, “Tuhan” sebagai eksistensi tanpa sebab, sama sekali tidak pernah masuk ke dalam kaidah ini. Sehingga keluarnya dari kaidah ini, bukan merupakan perkecualian dalam hukum-hukum rasional. Dalam istilah ilmu Ushul, keluarnya wajib dari kaidah kausalitas adalah keluarnya subyek, bukan hokum. Dan perkecualian istilah itu terjadi, apabila keluarnya mustastna (kecuali) dari mustastna-minh (yang dikecualikan) merupakan keluarnya sebuah hukum bukan sebuah subyek. Apabila dalam persoalan ini kita ingin menggunakan interpretasi pengecualian –dengan interpretasi sastra- maka kita harus mengatakan: pengecualian di atas merupakan perkecualian mun-qati’ (terputus) bukan perkecualian muttasil (tersambung).
Mereka yang sepakat bahwa subyek dari teori kausalitas adalah “eksistensi”, akan terjerumus dalam teori daur (circular reasoning) atau tasalsul. Karena apabila kita menginginkan di alam wujud terdapat sebuah sebab untuk setiap wujud, maka kita tidak akan pernah sampai pada pemula rangkaian eksistensi. Dan rangkaian ini, pasti tidak akan pernah mempunyai batas henti.
Para filosof mengungkapkan beragam ulasan untuk membatalkan dan menyanggah teori interkoneksi ini[4], sebagaimana argumen “wasat wa taraf” yang diungkapkan oleh Syeikh Ar-Rais dan teori “asad wa akhsar” yang ditulis oleh Farabi.
Sebagian filosof berada di bawah keyakinan ini bahwa pembatalan circular reasoning dalam rangkaian sebab, merupakan perkara yang sangat jelas atau minimal mendekati kepastian. Hal ini dikarenakan apabila rangkaian sebab keberwujudan ingin melanjutkan rangkaiannya dalam bentuk tak terbatas, hal tersebut mempunyai makna bahwa secara mutlak akibat yang bergantung dan membutuhkan, telah terbentuk tanpa adanya sebuah pemula yang menjadi sandaran mandiri. Jelas, bahwa majemuk yang bergantung secara mutlak, sama sekali tidak akan pernah menjadi eksistensi yang mandiri dan tak bergantung. Demikian juga majemuk mutlaknya nol, adalah angka, dan majemuk mutlaknya titik, adalah garis, dan majemuk mutlaknya diam, adalah gerak, dan majemuk mutlaknya garis, adalah kedalaman dan majemuk mutlaknya kedalaman, adalah ketebalan dan majemuk mutlaknya “seketika”, adalah tidak akan pernah merupakan waktu.
Daur (circular reasoning) mempunyai makna: eksistensinya sendiri yang menjadi sebab dari kewujudannya, yaitu bahwa dirinya berasal dari dirinya sendiri. Kelaziman dari hal ini adalah bahwa dirinya muncul lebih dahulu dari dirinya sendiri. Dan kemustahilan dari “anteceden (kelebihdahuluan) sebuah benda atas benda itu sendiri” merupakan hal yang sangat esensial dan jelas. Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan bahwa alam semesta tidak membutuhkan pencipta dari luar dirinya, melainkan dirinyalah yang merupakan sebab dari kemunculan dirinya. Dan ini tak lain adalah daur (circular reasoning) yang batal dan mustahil secara dzati (esensial).
Apabila kita bukanlah sophist atau pengingkar realitas dan eksistensi, maka kita bisa mengatakan bahwa secara rasional “wujud atau eksistensi” bisa dipilah menjadi dua yaitu “wujud bergantung” dan “wujud tak bergantung”. Dan ini merupakan sebuah pembagian yang rasional dan disepakati. Bahkan oleh para penyanggah sekalipun. Dengan demikian, berarti tidak ada analogi ketiga yang bisa dimisalkan. Sekarang, apabila kita memisalkan wujud sebagai sebuah “wujud bergantung”, berdasarkan pembatalan teori daur (circular reasoning) interkoneksi, secara rasional mengharuskankita untuk memisalkan adanya pemula mandiri dan tak bergantung yang bernama “wajibul wujud” dan “sebab awal”. Dan apabila kita meletakkan wujud sebagai sebuah “wujud tak bergantung”, maka dari awal kita telah mengakui adanya wujud wajib. Oleh karena itu, pada kedua pemisalan ini, “wujud wajib” tetap urgen dan niscaya.[5]
Kaum Materialis bukanlah orang-orang yang mengingkari teori kausalitas. Dan jika mereka mengutarakan beberapa teori untuk menjatuhkan teori kausalitas ini, pada hakikatnya hal tersebut muncul dari ketidakfahaman dan ketidakjelian mereka saja.
Prinsip argumen kausalitas – sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya- merupakan sebuah persoalan yang sama sekali tidak bisa diingkari. Bahkan para penganut Empirisisme dan Positivisme pun mempunyai pendapat yang sama terhadap hal ini. Demikian juga dalam praktek, mereka menerima dan mempergunakan prinsip kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada dasarnya perbedaan antara filosof Ilahi dan Materialis, bukan terletak pada prinsip: “akibat, membutuhkan adanya sebab”. Melainkan pada persoalan berikut, yakni bahwa filosof Ilahi sepakat bahwa alam materi tidak bisa mandiri dan memenuhi dirinya sendiri, atau dirinya merupakan sebab dari dirinya sendiri, melainkan materi senantiasa membutuhkan sebuah sebab yang abstrak dan trans-fisik bernama “wâjib al-wujud”. Sementara para filosof Materialis berpendapat bahwa materi adalah pencipta dirinya sendiri dan dia tidak membutuhkan sebuah sebab pun dari luar dirinya.
Dengan kata lain, filosof Ilahi dan materi keduanya sama-sama sepakat dalam prinsip adanya pemula untuk alam ini, hanya saja perbedaannya terletak pada poin berikut, bahwa menurut filosof Ilahi, pemula akibat tersebut adalah sebuah eksistensi yang mempunyai kecerdasan dan persepsi. Sedangkan menurut filosof Materialis, pemula alam adalah materi yang tak memiliki kecerdasan dan persepsi. Akhirnya, Anda sendirilah yang harus menentukan, manakah dari kedua diskursus tersebut yang lebih bisa diterima dan lebih rasional perkataannya.
[1] Frederick Copleston, Târikh Falsafah (Sejarah Filsafat, edisi Persia), J. 1, hal. 33.
[2] Ushul-e Falsafah va Rawesy-e Realism, J. 2, hal. 62; Amuzesh-e Falsafah (Daras Filsafat jilid 2) , J. 2, hal 17; Cikide-ye Cand Bahts Falsafeh, hal. 39-43.
[3] Ushul-e Falsafah wa Rawesy-e Realism, J. 2, hal. 58, Amuzesh-e Falsafah, J. 2, hal. 46, dan juga J. 1, hal. 191.
[4] Nihayat al-Hikmah, tingkatan kedelapan, pasal kelima.
[5] Ibid, tingkatan ke 12, pasal pertama.
Dapat dikatakan, dengan ditemukannya fenomena kemunculan manusia di permukaan bumi, pada saat itu pula muncul pertanyaan “mengapa?”, prioritas dari kata tanya ini terletak pada prioritas insan.
Di antara persoalan filsafat adalah masalah deduktif yang memiliki usia panjang dan prioritas yang mengakar, dan juga menempati urutan pertama kebingungan yang muncul dalam pemikiran manusia.
Pertanyaan tentang sebab diri dan benda-benda lain, merupakan polemik teramai yang menggasak mental insan sejak kemunculannya dan senantiasa memposisikan dirinya sebagai pertanyaan yang paling mengakar ketika dihadapkan dengan pemikiran para filosof dan hukama.
Dalam kitab “Târikh Falsafah”, kita jumpai para ilmuwan pertama Yunani –yang terkenal sebagai para filosof Iyuni - sampai pada kesimpulan bahwa mereka telah berhasil menemukan unsur pertama atau mâddat al-mawâd dari semua benda-benda semesta[1], dengan demikian harus dikatakan bahwa Filsafat telah dimulai dengan persoalan kausalitas dan pada prinsipnya manusia pun telah dimulai dengan kausalitas dimana perenungan dan kontemplasi manusia sama sekali tidak akan pernah terpisah dari persoalan ini.
Dengan kata lain, masalah kausalitas bukanlah sebuah dilema yang dituju oleh manusia, melainkan kausalitas-lah yang berjalan menuju kepada manusia dan dia telah membebankan dirinya atas manusia, memenuhi semua pemikiran manusia dan menyibukkan semua kontemplasi dan perenungannya. Tentu saja dengan sebuah kata “Mengapa” atau “Apakah” kita bisa bertanya untuk setiap kalimat yang ada dan untuk segala hal yang kita temukan, akan tetapi kita sangat paham bahwa semua pertanyaan tersebut pada hakikatnya bukanlah “pertanyaan” kita dan tidak pernah mengusik perenungan dan jiwa kita, tidak pernah mengekang kita dan kitapun tidak pernah bersitegang dengannya, akan tetapi masalah kausalitas tidak akan pernah demikian.
Persoalan kausalitas sebagaimana kebanyakan persoalan filsafat, setiap kali pertanyaan lain diletakkan di bawah naungannya maka pertanyaan tersebut akan diletakkan pada tingkatan kedua. Masalah kausalitas merupakan masalah yang prinsip dan mengakar dan manusia tidak bisa, misalnya, membagi waktu sehari semalamnya dengan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sebagiannya lagi, misalnya satu hingga dua jam untuk merenungkan masalah sebab pertama (the first cause).
Persoalan kausalitas dari dulu hingga sekarang bahkan hinga masa yang akan datang merupakan sebuah pencipta kebingungan.
Definisi sebab dan akibat
Kedua persepsi “sebab” dan “akibat” ini, merupakan bagian dari akal kedua filsafat yang merupakan penjelas metode wujud, dan yang diperoleh dengan kontemplasi dan usaha keras otak. Dengan istilah lain, media aksidensi mereka adalah pikiran dan media karakteristik mereka adalah obyek luar. Dari sini karena kedua persepsi tersebut tidak berada dalam satu kategori dan tidak termasuk pula dalam mâhiyat (esensi, keapaan), telah menyebabkannya tidak mempunyai definisi yang hakiki dan logis, dan apa yang didefinisikan dalam kitab Filsafat tentang keduanya hanyalah merupakan syarhul-lafdzi (penjelas kata) saja.
Apabila kita membandingkan antara dua wujud A dan B dan kita melihat bahwa wujud A berada dalam posisi dimana apabila ia eksis maka wujud B pun akan menjadi eksis. Dan selama A tidak eksis maka B pun tidak akan eksis. Dan wujud B merupakan manifestasi penjelas yang bergantung dan berkaitan erat dengan wujud A. Maka dalam kondisi ini kita mengatakan bahwa: A adalah sebabnya B dan B adalah akibat dari A. Oleh karena itu dalam mendefinisikan sebab dan akibat kita akan mengatakan: sebab merupakan wujudun mutawaqqaf ‘alaih (mengadanya sesuatu bergantung kepadanya) dan akibat adalah wujud mutawaqqif (sesuatu yang bergantung).
Dasar persepsi sebab dan akibat
Kita sepakat bahwa prinsip kausalitas merupakan prinsip logis dan aksiomatis, dan dasar kejelasan dari kaidah ini adalah karena bersandar pada perolehan batin dan ilmu presesensi (hudhuri)
Setiap manusia dengan ilmu hudhuri yang dimilikinya menemukan bahwa fenomena-fenomena yang bersifat nafsâni seperti ilmu, kehendak, dsb, mempunyai bentuk kebergantungan yang khas dengannya dan dengan jiwa-nya. Kebergantungan ini merupakan kebergantungan yang dalam prinsip wujud dan keberadaan berada dalam keadaan dimana tanpa wujudnya jiwa maka mereka pun tidak akan wujud, dan wujud mereka bersandar pada wujudnya jiwa. Di sinilah perangkat jiwa, yaitu pikiran -yang meliputi realitas dan menghadirkannya dengan ilmu hudhuri- terpaksa menghikayatkan realitas ini dengan persepsi yang diperoleh dari ilmu hudhuri, dari sinilah terbentuk persepsi “sebab”, “akibat”, dan “hubungan sebab akibat (kausalitas)”. Pahaman “sebab” dipergunakan dalam kaitannya dengan jiwa. Sedangkan pahaman “akibat” dalam kaitannya dengan ilmu atau kehendak, dan dari jenis kebergantungan dan korelasi wujud semacam inilah kemudian disebut “kausalitas”.
Generalisasi persepsi sebab dan akibat
Meskipun dalam ilmu hudhuri kita hanya berinteraksi dengan fenomena-fenomena khas dalam batasan wujudnya, dan menemukan manifestasi tertentu dari sebab dan akibat, tetapi setelah pikiran mempersepsikan apa yang ditemukan oleh hudhuri, dia akan menghapuskan kaidah dari setiap obyeknya, dan menyimpulkan persepsi dalam bentuk mutlak. Artinya, pikiran akan membentuk kaidah mutlak, dimana setiap kali wujud dari sebuah eksistensi bergantung pada wujud eksistensi lain, maka yang pertama, disebut akibat, dan yang kedua disebut sebab. Generalisasi ini sendiri bertolak dari kaidah badihi (gamblang), dimana hukum-hukum negatif dan positif benda-benda similiar (sejenis) –dari sisi kesamaannya- adalah satu. Atas dasar ini, pikiran mengatakan: setiap kali terdapat dua wujud yang korelasi, sebagaimana korelasi jiwa dan efek jiwa, maka akan dinamakan dengan sebab dan akibat. Dan mereka pun mempunyai hukum-hukum “hubungan sebab-akibat (kausalitas)”. Dari sinilah terbentuk kaidah universal “kausalitas”.[2]
Tentu saja menemukan obyek untuk korelasi kausalitas di alam luar, bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini membutuhkan perangkat dan metodologi tertentu, dimana untuk sementara ini tidak termasuk dalam pembahasan kita.
Berdasarkan apa yang telah kami katakan, kaidah kausalitas berdiri di atas asas eksperimen internal/batin dan bukan eksperimen inderawi/fisik. Tentu saja dalam eksperimen-eksperimen inderawi, “keberulangan fenomena” senantiasa merupakan syarat. Tetapi dalam eksperimen batin, pengulangan ini bukan merupakan syarat. Dan kewujudan sebuah kasus telah mampu menjadi sumber abstraksi dari persepsi sebab dan akibat. Dengan alasan ini, kaidah kausalitas tidak bisa dimaknakan dengan “eksperimen” dalam makna idiomnya. Hal ini dikarenakan dia bukan benda fisik dan tidak pula membutuhkan pengulangan.
Tentu saja, dilihat dari satu sisi bisa dikatakan bahwa mereka termasuk dalam kelompok indera batin atau wijdaniyat dan dengan batasan ini dia bisa dimasukkan ke dalam “eksperimen”.
Universalitas prinsip kausalitas
Prinsip kausalitas meliputi semua bentuk eksistensi yang keuniversalannya mencakup semua alam wujud, dari sinilah sehingga kemudian masalah kausalitas dan pembagian wujud dalam bagian sebab dan akibat merupakan salah satu masalah yang menduduki posisi pertama dalam filsafat.
Persoalan kausalitas merupakan dasar seluruh ilmu dan obyektifitas. Tak ada satupun dari 'alim dan pemikir yang berfikir kecuali dikarenakan dia mengetahui bahwa perolehan hakikat merupakan akibat dari tafakkur, kontemplasi dan konsentrasi. Para ilmuwan ekperimen pun sama sekali tidak akan menceburkan diri dalam penelitian dan observasinya, kecuali karena adanya keyakinan bahwa alam ini merupakan alam efek dan pengaruh. Dan setiap kekhususan merupakan akibat dari unsur tertentu, dari setiap benda akan muncul akibat yang tertentu dan setiap efek muncul dari benda yang tertentu pula, dan ini tidak lain adalah prinsip kausalitas. Apabila prinsip kausalitas tidak ada, maka semua harapan menjadi kering, para alim tidak lagi berpikir, para pelaku ('amil) berdiri terpaku, ketakutan dan kegelisahan akan menguasai semuanya, hingga akhirnya pepatah mengatakan: gandum tak lagi dari pohon gandum, padi tak lagi buah dari pohon padi.
Pandangan Hume (David Hume, 1711-1776)
Hume berdasarkan pada prinsip positivisme dan empirisisme-nya menolak prinsip kausalitas sebagai sebuah kaidah rasional dan non experience. Dia hanya menginterpretasikannya sebagai ke-sezaman-an atau ke-berganti-an dua fenomena. Dia menganggap kausalitas sebagai sebuah korelasi antara pikiran dengan kemunculan urgensi sebuah makna bukannya sebuah korelasi antara obyek dan wujud. Maksudnya adalah: apabila kita menganggap A sebagai sebabnya B, maka hal tersebut hanyalah dengan makna bahwa dalam pikiran kita terdapat urgensi makna; bahwa persepsi B senantiasa muncul mengikuti persepsi A, dan korelasi ini muncul dari kebergantiannya dua fenomena A dan B di alam luar. Tetapi, apa yang dikatakan bahwa antara keduanya terdapat hubungan ketergantungan wujud, hal ini tidak bisa diterima secara ilmiah.
Sebagian dari sanggahan-sanggahan penting yang muncul seiring dengan perkataan Hume, akan kami jelaskan dalam poin-poin berikut:
1. Apabila prinsip kausalitas (hubungan sebab-akibat) itu diingkari, maka tidak akan ada satupun peristiwa yang bisa diantisipasi sebelum kemunculannya. Dengan demikian, akan terdapat begitu banyak kemungkinan terjadinya berbagai peristiwa pada setiap saat.
2. Apabila prinsip kausalitas dinafikan, tidak akan ada satupun kaidah dan hukum-hukum ilmu dan eksperimen yang bisa diterima. Karena setiap hukum dan kaidah ilmu, bersumber dari prinsip kausalitas.
3. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka tidak ada satupun argumentasi yang terdapat dalam alam fakir. Karena pada hakikatnya konklusi dan kesimpulan senantiasa merupakan akibat yang muncul dari premis-premis. Dan ingkar terhadap kausalitas mempunyai makna ingkar terhadap argumentasi dan teori.
4. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka setiap orang bisa mengingkari hubungan antara aktivitas dan pengaruh dari aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian, jalan untuk teperosok ke dalam setiap kejahatan akan terbuka luas.
5. Apabila prinsip kausalitas hanya diketahui sebagai makna kebergantiannya dua fenomena, maka fenomena-fenomena semacam siang dan malam –yang senantiasa saling bergantian satu dengan lainnya- harus kita anggap sebagai manifestasi dari sebab dan akibat. Padahal kita mengetahui bahwa tidak satupun dari mereka merupakan sebab dari yang lainnya.
6. Apabila prinsip kausalitas diingkari, maka tidak akan terdapat sedikitpun kepastian dan keuniversalan dalam keyakinan.
7. Apabla prinsip kausalitas diingkari, maka sama sekali tidak ada cara untuk mengaffirmasikan wujud-wujud obyektif. Dan hal ini identik dengan Idealisme.
8. Apabila prinsip kausalitas diingkari dengan menganalogikan bahwa wujud merupakan realitas obyek, maka tidak akan terdapat metode untuk mengaffirmasikan relevansi antara persepsi-persepsi dengan bukti-bukti di luar wujud.
9. Apabila sebelum eksperimen, prinsip kausalitas diingkari sebagai sebuah prinsip rasional, maka kelazimannya adalah para ilmuwan sebelum menyaksikan dan melakukan observasinya, sama sekali tidak mempunyai keyakinan terhadapnya. Padahal alasan pokok mereka untuk melakukan observasi itu sendiri bertolak dari adanya keyakinan sebelumnya, yang mengatakan bahwa setiap akibat muncul dari sebuah sebab, dan tidak ada satupun fenomena yang muncul tanpa adanya sebab. (Harap diperhatikan baik-baik masalah ini).
10. Apabila kausalitas ditafsirkan sebagai sebuah kebergantian maka dalam persoalan terjadinya dua fenomena sezaman (bukan bergantian), seperti gerak tangan dan gerak pensil yang ada di tangan, tidak akan ada sebab yang bisa kita persepsikan, padahal kita memahami bahwa di antara kedua gerak ini terdapat hubungan sebab-akibat.
Pandangan Kaum Rasionalis
Kaum rasionalis, dalam bab kausalitas berpandangan bahwa keyakinan terhadap prinsip kausalitas merupakan sebuah persoalan yang esensial dan fitri, dan akal kita telah tercipta sedemikian rupa hingga dari awal dan dalam bentuk takwini (tata-cipta) mempunyai persepsi tentang kausalitas, dan bukannya akal membutuhkan upaya dan kontemplasi dalam mempersepsikannya.
Imanuel Kant, seorang filosof Jerman, berpendapat bahwa iliyyat (kesebaban) dan ma’luliyyat (keakibatan) merupakan sebagian dari akal fitri manusia. Oleh karena itu, illiyyat dan ma’luliyyat dia letakkan sebagai salah satu dari kedua belas kategorinya.
Keyakinan terhadap kefitrian dan kerasionalan prinsip kausalitas dengan makna aslinya yang non-eksperimen, non-materi dan lebih awal dari keduanya, merupakan sebuah keyakinan yang benar dan bisa diterima. Tetapi dengan makna bahwa pikiran akan memahaminya secara otomatik dan dzati (esensial) dan sejak awal takwini (penciptaan) persepsi semacam ini telah tercipta, hal yang semacam ini tidak bisa diterima.
Pikiran kita pada awalnya merupakan sebuah tabula kosong tanpa gambar. Lalu, secara bertahap memperoleh gambarnya melalui pertemuan antara potensi pengetahuan (the perceptive faculty) dengan realitas dan peristiwa – dan sebagaimana yang telah kami singgung – dalam bab iliyyat (kesebaban) pun pikiran akan membentuk persepsi sebab dan akibat dari cara perolehan hudhuri kemudian menyempurnakan keduanya.[3]
Pandangan Sebagian Mutakalimin
Menurut keyakinan sebagian teolog (mutakalimin), bahwa faktor-faktor (pelaku-pelaku) otoriter dan berkehendak, sama sekali tidak bisa dinamakan sebagai sebab dan illat, karena terjadinya akibat dari sebab dan munculnya yang disebabkan oleh yang menyebabkan merupakan hal yang urgen dan niscaya, dan kepastian ini tidak relevan dengan otoritas dan kehendak pelaku. Dari satu sisi, semua alam merupakan perbuatan Tuhan. Demikian juga keseluruhan peristiwa alam secara langsung dan tanpa perantara muncul dari kehendak dzat Nya. Dengan demikian, di antara peristiwa pun tidak bisa diketengahkan masalah kausalitas, melainkan harus dikatakan bahwa kebiasaan Tuhan atas cara inilah, sehingga fenomena-fenomena yang biasa kita namakan sebagai akibat, muncul mengikuti fenomena-fenomena lain yang kita namakan dengan sebab. Jadi, pada hakikatnya bukan saja pada korelasi antara Tuhan dan aktivitasnya tidak terdapat hubungan sebab-akibat (kausalitas), melainkan di antara fenomena-fenomena alam imkan (materi) pun tidak ada hubungan semacam ini. Dalam menjawab perkataan mereka ini harus dikatakan:
Pertama: Pada pelaku-pelaku yang otoriter dan berkehendakotoritas dan kehendak itu sendiri merupakan salah satu dari bagian sebab sempurna dan munculnya aktivitas dari pelaku ini meskipun pasti dan dharuri, tetapi bukan dengan makna kesebabannya pelaku.
Kedua: Kesebaban terjadinya peristiwa satu untuk yang lain berada dalam sepanjang aktivitas Tuhan, oleh karena itu tidak ada kontradiksi dengan ke-subyek-an Tuhan.
Ketiga: Sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, kausalitas tidak bisa hanya ditafsirkan sebatas sebagai ketemporalan dan kebergantian-nya dua fenomena. Dari sinilah, kemudian keyakinan terhadap “’A^datAllâh (kebiasaan Tuhan)” dalam bab kausalitas senantiasa akan diikuti dengan rintangan yang dikatakan oleh Hume pada pembahasan sebelum ini.
Parameter kebergantungan akibat terhadap sebab
Persoalan yang berkisar tentang apa rahasia kebergantungan akibat terhadap sebab dan apa sajakah yang menjadi dasar dan parameter kebergantungan tersebut. Hal itu menjadi wacana yang hangat di antara para filosof dan senantiasa dibahas dengan bahasan yang mendalam, cermat dan detail.
Para mutakalimin (teolog) berpendapat, bahwa parameter kebergantungan akibat terhadap sebab adalah “huduts”. Sementara para filosof -dalam hal ini- telah terpilah menjadi dua kelompok. Satu kelompok sepakat terhadap ashâlat al-mahiyah (principiality of essence). Pembahasan ini muncul dalam bentuk formula realitas esensi. Mereka berpendapat bahwa parameter kebergantungan akibat terhadap sebab adalah kemungkinan keterciptaan esensi, yaitu adanya kesejajaran hubungan antara mahiyyah (keapaan) terhadap wujud dan tiada. Dan mereka yang sepakat dengan ashâlat al-wujud – (principiality of existence), seperti Sadralmuta-alihin Ra (Mullah Shadra) dan pengikut transendent wisdom (hikmah muta’aliyah) yang sepakat dengan “imkan faqri wa wujud” sebagai parameter kebergantungan akibat terhadap sebab. Yang dimaksud dengan “imkan faqri dan wujud”, adalah kebergantungan sebuah eksistensi terhadap realitas wujud. Dengan ibarat lain, setiap eksistensi yang wujud obyektifnya bergantung dan membutuhkan wujud lain pasti, merupakan akibat dan mumkin wujud, yang di dalam kaidah kausalitas dikatakan bahwa: kebutuhan dan kebergantungannya terhadap sebab itulah, yang telah memunculkannya.
Apa yang sekarang penting dalam pembahasan kita adalah kita mengetahui dari mana keakibatan (ma’lulilyah) alam bisa terbukti sehingga kemudian kita akan sampai pada hukum kaidah kausalitas untuk membuktikan Tuhan sebagai fâilul-fawâil (subyeknya subyek- pelakunya pelaku) dan illatul-illal (sebabnya sebab, the first cause).
Pembuktian dan Affirmasi Keakibatan Alam
Keakibatan (ma’luliyyah), mempunyai tanda-tanda yang khas. Apabila kita menemukan tanda-tanda tersebut di alam, maka secara dharuri dan pasti, kita akan mengatakan bahwa alam adalah ma’lul (akibat), dan tanda-tanda tersebut antara lain:
1. Mengalami transformasi
Eksistensi yang mengalami transformasi dari keadaan satu ke keadaan lainnya pasti merupakan akibat dan membutuhkan adanya sebab, karena transformasi dan perubahan merupakan salah satu tanda dari kekurangan. Jelaslah bahwa eksistensi mempunyai kekurangan dan aib dimana dia tidak bisa memenuhi atau mengangkat kekurangannya tersebut, melainkan membutuhkan sebuah sebab untuk mengantarkannya dari potensi ke aktual dan menghilangkan kekurangannya.
2. Huduts
Huduts bermakna keberadaan yang didahului oleh ketiadaan. Huduts terbagi dalam dua bagian: huduts esensial dan huduts temporal. Huduts esensial adalah keberadaan yang didahului oleh ketiadaan dalam tingkatan dzat dan esensi yang hal ini bisa dijelaskan dalam keseluruhan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tetapi huduts temporal mempunyai makna keberadaan yang didahului oleh ketiadan dalam tempo, dimana jenis dari huduts ini hanya bisa dijelaskan dalam eksistensi-eksistensi materi dan temporal. Eksistensi yang baru saja terwujud pasti merupakan akibat dan membutuhkan kehadiran sebab untuk mewujudkan dirinya dari tiada menjadi ada, sehingga dari sini dikatakan bahwa huduts pun merupakan salah satu dari tanda-tanda keakibatan.
3. Bergantung kepada selainnya
Setiap eksistensi yang bergantung kepada selainnya dengan cara tertentu, pasti merupakan akibat. Dan eksistensi yang di dalam dirinya tidak terdapat kebergantungan -sedikitpun- kepada selainnya, sama sekali tidak akan mempunyai sifat akibat.
Dengan memperhatikan tanda-tanda yang telah tersebut, menjadi jelas bahwa semua tanda-tanda ini dengan sangat mudah bisa kita temukan di alam kita. Keseluruhan alam semesta ini dipenuhi dengan berbagai perubahan, seperti perubahan yang terjadi pada: dunia fauna, flora, langit dan ... dalam setiap inci alam semesta ini senantiasa terjadi perubahan dan transformasi. Pada sisi lain setiap saat akan muncul pula eksistensi-eksistensi serta fenomena-fenomena yang baru. Anak-anak yang terlahir dari ibunya, 'aradhi (aksidensi)??? yang terjadi pada tumbuhan, hewan dan alam in-organik keseluruhannya merupakan manifestasi kejadian dan kemunculan peristiwa-peristiwa baru. Kebergantungan dan kebutuhan pada selainnya diperlihatkan dengan baik di seluruh alam. Apabila kita memperhatikan kemunculan setiap eksistensi di alam ini, maka kita akan melihat bahwa semuanya bersyarat pada keberadaan faktor-faktor dan kondisi-kondisi eksternal dan tidak ada satupun eksistensi di alam ini yang mempunyai makna “mencukupi dirinya sendiri” dengan tepat. Ketiga tanda tersebut di atas merupakan bukti kebenaran dan ke-otentik-an atas ma'luliyyah (keakibatan) alam. Karenanya, dalam hukum kausalitas dikatakan, bahwa keberadaan sebuah sebab -yang telah memunculkan alam semesta, termasuk aktivitasnya- adalah merupakan keniscayaan (dharuri) wujud.
Tidak Setiap Eksistensi Membutuhkan Sebab
Sebagian filosof Barat mengatakan bahwa persepsi argumen kausalitas adalah bahwa “setiap eksistensi membutuhkan sebab”. Dari sini, mereka mengajukan sanggahan atas apa yang dikemukakan oleh para filosof Ilahi (ketuhanan) yang menurut kaidah ini berarti tidak bisa disepakati adanya wujud sebuah eksistensi yang bernama Tuhan. Hal ini karena keyakinan semacam ini, identik dengan menerima pengecualian (eksepsi) dalam hukum akal. Padahal hukum-hukum dan kaidah-kaidah rasional tidak menerima pengecualian. Oleh karena itu, keuniversalan kaidah ini bukan saja tidak bisa membuktikan Tuhan sebagai sebuah eksistensi yang tidak membutuhkan sebab, bahkan proposisi ini dianggap mustahil terjadi.
Menjawab sanggahan ini dapat kami katakana, bahwa persepsi kaidah kausalitas sama sekali tidak berarti bahwa setiap eksistensi membutuhkan sebab. Kaidah hanya mengatakan bahwa: setiap akibat dan fenomena membutuhkan sebab, dan bukan “setiap eksistensi”. Dengan kata lain, subyek dari proposisi di atas adalah “akibat dan fenomena”, bukan “eksistensi”. Oleh karena itu, “Tuhan” sebagai eksistensi tanpa sebab, sama sekali tidak pernah masuk ke dalam kaidah ini. Sehingga keluarnya dari kaidah ini, bukan merupakan perkecualian dalam hukum-hukum rasional. Dalam istilah ilmu Ushul, keluarnya wajib dari kaidah kausalitas adalah keluarnya subyek, bukan hokum. Dan perkecualian istilah itu terjadi, apabila keluarnya mustastna (kecuali) dari mustastna-minh (yang dikecualikan) merupakan keluarnya sebuah hukum bukan sebuah subyek. Apabila dalam persoalan ini kita ingin menggunakan interpretasi pengecualian –dengan interpretasi sastra- maka kita harus mengatakan: pengecualian di atas merupakan perkecualian mun-qati’ (terputus) bukan perkecualian muttasil (tersambung).
Tertolaknya tasalsul dan daur dalam sebab.
Mereka yang sepakat bahwa subyek dari teori kausalitas adalah “eksistensi”, akan terjerumus dalam teori daur (circular reasoning) atau tasalsul. Karena apabila kita menginginkan di alam wujud terdapat sebuah sebab untuk setiap wujud, maka kita tidak akan pernah sampai pada pemula rangkaian eksistensi. Dan rangkaian ini, pasti tidak akan pernah mempunyai batas henti.
Para filosof mengungkapkan beragam ulasan untuk membatalkan dan menyanggah teori interkoneksi ini[4], sebagaimana argumen “wasat wa taraf” yang diungkapkan oleh Syeikh Ar-Rais dan teori “asad wa akhsar” yang ditulis oleh Farabi.
Sebagian filosof berada di bawah keyakinan ini bahwa pembatalan circular reasoning dalam rangkaian sebab, merupakan perkara yang sangat jelas atau minimal mendekati kepastian. Hal ini dikarenakan apabila rangkaian sebab keberwujudan ingin melanjutkan rangkaiannya dalam bentuk tak terbatas, hal tersebut mempunyai makna bahwa secara mutlak akibat yang bergantung dan membutuhkan, telah terbentuk tanpa adanya sebuah pemula yang menjadi sandaran mandiri. Jelas, bahwa majemuk yang bergantung secara mutlak, sama sekali tidak akan pernah menjadi eksistensi yang mandiri dan tak bergantung. Demikian juga majemuk mutlaknya nol, adalah angka, dan majemuk mutlaknya titik, adalah garis, dan majemuk mutlaknya diam, adalah gerak, dan majemuk mutlaknya garis, adalah kedalaman dan majemuk mutlaknya kedalaman, adalah ketebalan dan majemuk mutlaknya “seketika”, adalah tidak akan pernah merupakan waktu.
Daur (circular reasoning) mempunyai makna: eksistensinya sendiri yang menjadi sebab dari kewujudannya, yaitu bahwa dirinya berasal dari dirinya sendiri. Kelaziman dari hal ini adalah bahwa dirinya muncul lebih dahulu dari dirinya sendiri. Dan kemustahilan dari “anteceden (kelebihdahuluan) sebuah benda atas benda itu sendiri” merupakan hal yang sangat esensial dan jelas. Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan bahwa alam semesta tidak membutuhkan pencipta dari luar dirinya, melainkan dirinyalah yang merupakan sebab dari kemunculan dirinya. Dan ini tak lain adalah daur (circular reasoning) yang batal dan mustahil secara dzati (esensial).
Dengan memperhatikan apa yang telah kami katakan, maka kami dapat mengungkapkan teori kausalitas ini dengan ungkapan yang lebih ringkas, sebagai berikut:
Ringkasan penjelasan atas argumen kausalitas
Apabila kita bukanlah sophist atau pengingkar realitas dan eksistensi, maka kita bisa mengatakan bahwa secara rasional “wujud atau eksistensi” bisa dipilah menjadi dua yaitu “wujud bergantung” dan “wujud tak bergantung”. Dan ini merupakan sebuah pembagian yang rasional dan disepakati. Bahkan oleh para penyanggah sekalipun. Dengan demikian, berarti tidak ada analogi ketiga yang bisa dimisalkan. Sekarang, apabila kita memisalkan wujud sebagai sebuah “wujud bergantung”, berdasarkan pembatalan teori daur (circular reasoning) interkoneksi, secara rasional mengharuskankita untuk memisalkan adanya pemula mandiri dan tak bergantung yang bernama “wajibul wujud” dan “sebab awal”. Dan apabila kita meletakkan wujud sebagai sebuah “wujud tak bergantung”, maka dari awal kita telah mengakui adanya wujud wajib. Oleh karena itu, pada kedua pemisalan ini, “wujud wajib” tetap urgen dan niscaya.[5]
Materialis dan Argumen Kausalitas
Kaum Materialis bukanlah orang-orang yang mengingkari teori kausalitas. Dan jika mereka mengutarakan beberapa teori untuk menjatuhkan teori kausalitas ini, pada hakikatnya hal tersebut muncul dari ketidakfahaman dan ketidakjelian mereka saja.
Prinsip argumen kausalitas – sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya- merupakan sebuah persoalan yang sama sekali tidak bisa diingkari. Bahkan para penganut Empirisisme dan Positivisme pun mempunyai pendapat yang sama terhadap hal ini. Demikian juga dalam praktek, mereka menerima dan mempergunakan prinsip kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada dasarnya perbedaan antara filosof Ilahi dan Materialis, bukan terletak pada prinsip: “akibat, membutuhkan adanya sebab”. Melainkan pada persoalan berikut, yakni bahwa filosof Ilahi sepakat bahwa alam materi tidak bisa mandiri dan memenuhi dirinya sendiri, atau dirinya merupakan sebab dari dirinya sendiri, melainkan materi senantiasa membutuhkan sebuah sebab yang abstrak dan trans-fisik bernama “wâjib al-wujud”. Sementara para filosof Materialis berpendapat bahwa materi adalah pencipta dirinya sendiri dan dia tidak membutuhkan sebuah sebab pun dari luar dirinya.
Dengan kata lain, filosof Ilahi dan materi keduanya sama-sama sepakat dalam prinsip adanya pemula untuk alam ini, hanya saja perbedaannya terletak pada poin berikut, bahwa menurut filosof Ilahi, pemula akibat tersebut adalah sebuah eksistensi yang mempunyai kecerdasan dan persepsi. Sedangkan menurut filosof Materialis, pemula alam adalah materi yang tak memiliki kecerdasan dan persepsi. Akhirnya, Anda sendirilah yang harus menentukan, manakah dari kedua diskursus tersebut yang lebih bisa diterima dan lebih rasional perkataannya.
Catatan Kaki:
[1] Frederick Copleston, Târikh Falsafah (Sejarah Filsafat, edisi Persia), J. 1, hal. 33.
[2] Ushul-e Falsafah va Rawesy-e Realism, J. 2, hal. 62; Amuzesh-e Falsafah (Daras Filsafat jilid 2) , J. 2, hal 17; Cikide-ye Cand Bahts Falsafeh, hal. 39-43.
[3] Ushul-e Falsafah wa Rawesy-e Realism, J. 2, hal. 58, Amuzesh-e Falsafah, J. 2, hal. 46, dan juga J. 1, hal. 191.
[4] Nihayat al-Hikmah, tingkatan kedelapan, pasal kelima.
[5] Ibid, tingkatan ke 12, pasal pertama.