Pendahuluan
Semenjak masa Immanuel Kant hingga masa kini, lahir berbagai bentuk pemikiran dalam upaya menetapkan eksistensi Tuhan tidak dengan pendekatan realitas eksistensi alam ini atau dengan metode keteraturan alam, tetapi dengan menggunakan suatu argumen khusus dimana semua manusia mempunyai pengalaman tentangnya, yakni metode menegaskan eksistensi Tuhan lewat pengalaman-pengalaman akhlak yang dialami oleh setiap manusia. Oleh sebab itu, secara umum manusia dengan mudah mencerap dan memahami argumen ini.
Sebelumnya, Hume dan Kant telah berhasil membangun skeptisitisisme dan keragu-raguan di dunia Barat terhadap validitas argumen-argumen rasional (dengan akal teoritis) tradisional tentang ketuhanan dari para ahli teologi. Kritik-kritik yang mereka lontarkan dalam menolak setiap bentuk argumen rasional pembuktian eksistensi Tuhan dianggap telah berhasil menggoyahkan keimanan dan kepercayaan masyarakat religius. Sementara itu, Hume sendiri tidak mempunyai konstruksi argumen dalam bentuk akal teoritis untuk membuktikan eksistensi Tuhan sebagai pengganti dari argumen-argumen rasional tradisional tersebut (perlu diketahui bahwa David Hume adalah seorang filosof Materialisme dan ateis : lihat tulisan Tuhan Ditolak dan Ditetapkan). Demikian juga Kant, dalam hal ini tidak membangun argumen dengan pondasi akal teoritis untuk menggantikan argumen-argumen yang ditolaknya, ia selanjutnya beralih pada sistem filsafat akhlak dimana menurutnya argumen yang berpijak pada akal praktis mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh argument dengan pondasi akal teoritis. Oleh karena itu, untuk menemukan kembali pemikiran ketuhanan Kant dalam sistem filsafat, harus merujuk pada perubahan mendasar atas penolakannya kepada akal teoritis dan pembelaan Kant kepada akal praktis dalam menyingkap substansi-substansi realitas akhlak manusia.
Dalam rentang zaman dari masa Kant hingga pertengahan abad ke 20 M keraguan dan skeptisisme para pemikir teoritis tidak semakin kurang dan ringan bahkan semakin tajam dan mendalam dihubungkan dengan dalil-dalil dengan pijakan akal teoritis dalam pembuktian eksistensi Tuhan, sebab itu, tidak sedikit para ahli teologi dan kalam berjalan di atas garis argumen akhlak yang dikonstruksi Kant (yakni jalan filsafat akhlak praktis) dalam menetapkan eksistensi Tuhan.[1]
Argumen akhlak memiliki keabsahan filosofis jika dipisahkan dari unsur-unsur nasihat dan wejangan. Dalam konteks ini, argumen akhlak tidak hanya menetapkan eksistensi Tuhan tetapi juga menetapkan sifat-sifat Tuhan, seperti yang mencipta, bijaksana, kehendak dan mahapengatur di dunia dan di akhirat.
Perlu kita ketahui bahwa jenis argumen ini harus disandarkan pada argumen fitrah, atau dirujukkan pada argumen tentang kemestian diutusnya para nabi, dimana argumen tentang kenabian itu sendiri terletak sesudah pembuktian eksistensi Tuhan dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, atau didasarian pada salah satu argumen-argumen, seperti argumen imkan dan wujub, huduts, gerak. Jika demikian, maka argumen akhlak memiliki kesetaran validitas dengan argumen-argumen tersebut di atas dan terhitung sebagai bentuk argumen baru. Dan jika argumen akhlak tidak disandarkan pada salah satu dari argumen-argumen yang disebutkan di atas, maka ia sama sekali tidak memiliki validitas sebagai sebuah argumen atau dalil dalam menetapkan eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, apabila argumen akhlak diasumsikan memiliki landasan-landasan yang sempurna, maka tetap dikategorikan sebagai filsafat praktis dan bukan merupakan filsafat teoritis dan tidak dapat digunakan sebagai dalil pembuktian Sumber Eksistensi. Jika argumen-argumen akhlak digolongkan dalam wilayah wahyu dan kenabian, wilayah tersebut terhitung sebagai bagian dari pembahasan filsafat teoritis dan masalah penetapan Tuhan merupakan asas makrifat agama, kenabian dan wahyu, maka tetap tidak dapat dijangkau oleh argumen ini, yakni argumen ini tidak dapat membuktikan prinsipalitas wujud Tuhan.
Kesimpulannya, jika argumen akhlak disandarkan pada filsafat teoritis maka dapat terhitung sebagai bagian dari dalil dan argumen penetapan eksistensi Tuhan dan itupun harus bersandar pada argumen fitrah; karena argumen fitrah selain sebagai bagian filsafat teoritis, juga landasan-landasan yang digunakan cukup sempurna. Dengan demikian argumen akhlak bisa menjadi salah satu dari argumen untuk menetapkan eksistensi Tuhan.[2]
Apakah hukum akal mengenai kebaikan? Apakah kebaikan memiliki makna kemestian jika ditinjau dari bentuknya yang mutlak? Secara hakiki makna kebaikan yang ada dalam kebaikan akhlak dan kebaikan alami (yang bersifat inderawi) adalah sama. Oleh karena itu, kebaikan akhlak bukan satu-satunya kebaikan, meskipun kebaikan tersebut adalah paling tinggi, terdapat juga kebaikan yang merupakan subyek keinginan-keinginan indrawi. Jadi kebaikan mutlak tersusun dari dua kebaikan tersebut, dan dua kebaikan tersebut mengantarkan kita untuk mengkonsepsi suatu komprehensi dan pengertian tentang kebaikan tertinggi, kebaikan tertinggi inilah yang secara hakiki menyatukan keinginan-keinginan alamiah dan kehendak murni. Dan kebaikan tersebut, jika dipandang dari sisi keutamaan adalah kebahagiaan, sedangkan keutamaan dilihat dari dimensi bahwa dia adalah kebaikan maka secara esensi menjadi syarat kebahagiaan. Untuk terwujudnya kebaikan tertinggi yang berpengaruh terhadap semua realitas wujud maka harus dikonsepsi suatu wujud yang pada dirinya menyatu secara bersama kesucian, keutamaan dan kebahagiaan. Dan wujud ini disebut sebagai Tuhan. Untuk memahami kemestian eksistensi Tuhan harus diketahui secara mendalam hubungan antara manusia, alam dan akhlak.
Kebahagiaan adalah kondisi pribadi dimana segala sesuatu didapatkan sesuai dengan keinginan dan kehendak. Jadi kebahagiaan adalah kesesuaian dan keselarasan antara watak alami dan tujuan-tujuan yang diusahakan hingga tercapai. Jika wujud kebahagiaan mesti berhubungan dengan keutamaan dan saling bersesuaian dengannya, maka tidak mungkin kebahagiaan ini mewujud kecuali dengan perantara adanya suatu sebab bagi seluruh realitas alam yang berbeda darinya, yang meliputi landasan hadirnya kesesuaian dan kesatuan antara kebahagiaan dan keutamaan. Oleh karena itu, kebaikan hakiki (mutlak) tertinggi menjadi perantara terwujudnya kebaikan tinggi relatif, yakni kebaikan mutlak tertinggi menciptakan suatu alam yang merupakan paling baik dan sempurnanya alam.
Menurut Kant perkara-perkara, seperti kebebasan, keabadian jiwa dan Tuhan adalah hal yang hanya dapat dijangkau dengan dalil-dalil yang berpijak pada akal praktis dan bukan berdasar pada akal teoritis. Dan perkara-perkara tersebut telah menjadi "hal yang sudah diterima" (al-musallamah) oleh akal praktis.[3]
"Al-Musallamah" tersebut bukan sekedar keyakinan pribadi yang subyektif, akan tetapi sesuatu yang obyektif dan universal; sebab akal sendiri yang mengasumsikan "al-musallamah" tersebut, karena itu keyakinan terhadapnya merupakan hal yang valid dan benar serta penerimaan terhadap "al-musallamah" tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan tinggi akal praktis atas akal teoritis. Derajatnya yang tinggi tersebut tidak bermakna bahwa dari jalan akal praktis dihasilkan suatu ilmu terhadap "al-musallamah" itu, dimana akal teoritis tidak memiliki kemampuan untuk mengetahuinya, akan tetapi ketinggian derajat tersebut berarti bahwa dengan perantaraan amal (praktiis) atau akhlak, kita menetapkan kemestian-kemestiannya (syarat-syaratnya) dan kemudian kita menyandarkan keimanan kepada akhlak atau amal (praktis) tersebut, dimana keimanan ini berlandaskan pada kebutuhan-kebutuhan akal praktis yang bersifat universal. Tidak terdapat problem yang mengarah pada keimanan ini, tetapi sebaliknya, keimanan ini secara sempurna sesuai dengan kita. Oleh karena itu, jika kita memiliki ilmu teoritis yang sempurna tentang Tuhan dan keabadian jiwa, maka ditinjau dari dimensi kesusastraan adalah mustahil tak terdapat pemaksaan dan tekanan dari ilmu ini yang mengarah kepada irâdah (kehendak) kita, atau akhlak menjadi perantara dan kita menyerupai suatu darah yang mengalirkan ketakutan dan keinginan kepadanya, padahal keimanan menyiapkan suatu wadah bagi pilihan kehendak, kemuliaan dan keutamaan.
Konklusi dari teori ini membenarkan kita melihat tugas-tugas dalam bentuk perintah-perintah yang tidak hanya bersumber dari akal tetapi juga berasal dari Tuhan. Jadi dengan bentuk tersebut maka kita menerima agama dimana suatu agama yang diletakkan setelah akhlak dan peletakan tugas-tugas, akan tetapi kebalikan dari itu adalah suatu agama yang berlandaskan atas akhlak dan akhlak juga berlandaskan atas akal (akal praktis).[4]
Argumen akhlak memiliki rumusan dan uraian yang beragam. Sebagian diantaranya berdalil dengan ketetapan dan kemutlakan perintah-perintah akhlak atas keberadaan pemberi perintah dan pengatur yang tetap dan mutlak dimana disebut sebagai Tuhan. Dan sebagian lagi berdalil atas keberadaan sumber selain insan yang mempunyai kehendak lebih tinggi dari kehendak manusia, dari perasaan kekuatan akhlak dalam kondisi dan syarat dimana kehendak partikular manusia mengamalkan kebalikan darinya. Sebagian lagi menggunakan keniscayaan undang-undang dengan pembuat undang-undang untuk menetapkan sumber undang-undang, atau dikarenakan adanya undang-undang akhlak yang sama dalam kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda menegaskan asumsi adanya Tuhan yang meletakkan pandangan undang-undang ini dalam kalbu manusia.
Panggilan nurani atau perintah akhlak kemudian disusul oleh perasaan bersalah, malu dan menyesal, atau takut ketika melakukan kemaksiatan, atau takut sebelum melakukan perbuatan buruk, merupakan premis-premis yang terdapat pada semua argumen-argumen akhlak, sebab sesudah menetapkan semua itu memungkinkan terbentuk rumusan dan uraian -yang mungkin berbeda dengan rumasan-rumusan yang telah disebutkan di atas- tentang keberadaan Sumber Eksistensi, meskipun rumusan argumen tersebut belum sampai menetapkan kemestian esensi dan keazalian dzat Tuhan.
Jika mukadimah pertama yakni keberadaan undang-undang yang sama adalah diterima dimana manusia sebelum melakukan perbuatan merasa cemas dan sesudah melakukan keburukan merasa menyesal dan malu. Keuniversalan undang-undang dan hukum-hukum ini dimana individu-individu yang berbeda dan bangsa-bangsa yang beragam serta kebudayaan-kebudayaan dan kondisi-kondisi kemasyarakatan yang beragam mencapai puncak puncak kekuatan atau jatuh ke lembah kehinaan, atau mendapat dukungan atau penentangan, atau terasing dari masyarakat atau berjaya di masyarakat desa atau masyarakat kota modern ketika mengamalkan undang-undang atau terdapat perasaan takut dan berdosa ketika menyalahinya, maka dapat diambil konklusi bahwa sumber undang-undang ini sama sekali tidak dari kondisi-kondisi dan asumsi-asumsi yang disebutkan, tapi baginya terdapat sebab dan sumber luar yang menyertai keseluruhan ini.[5]
Argumen akhlak dalam bentuk dan rumusan yang berbeda-beda berdiri diatas prinsip bahwa pengalaman akhlak dan secara khusus berhubungan dengan perasaan bertanggung jawab dimana merupakan sesuatu yang tak dapat diingkari oleh individu-individu manusia, hal inilah meniscayakan keberadaan realitas Tuhan sebagai Sumber Pemberi tanggung jawab tersebut.[6]
Argumen akhlak bisa dipaparkan dalam bentuk konklusi logis dari realitas hukum-hukum akhlak berkaitan dengan keberadaan Pembuat Syariat (hukum-hukum ilahi), atau berangkat dari sebuah kenyataan adanya nilai-nilai akhlak atau nilai-nilai universal yang bersumber dari nilai-nilai transenden, atau dari realitas fitrah ketuhanan dimana seruan-Nya merupakan sumber nurani dan fitrah itu sendiri.
Cardinal Newman menjelaskan makna di atas sebagai berikut, "Kalau kita, ketika kita menyalahi panggilan nurani, merasa bertanggung jawab, maka kita akan merasa malu, takut dan cemas, keadaan pelaku seperti ini adalah menunjukkan keberadaan sesuatu yang hakiki dalam dirinya, kita memandang diri kita sebagai penanggung jawab, kita merasa malu dihadapannya dan kita merasa takut dari pemeriksaan dan pengadilannya. Jika sebab perasaan tersebut tidak bersandar dengan alam materi ini, maka pijakan dan sandaran persepsi tersebut harus kembali pada dimensi supranatural dan aspek ketuhanan.[7]
Asumsi dasar argumen ini adalah bahwa nilai-nilai akhlak tak dapat dijelaskan berdasarkan sudut pandang fisika dan empiris serta sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan kecenderungan-kecenderungan manusia atau dalam bentuk lain yang membutuhkan rujukan dan perantara non metafisik. Akan tetapi menggunakan asumsi tersebut tak lain adalah "petitio principii" (proposisi yang masih membutuhkam pembuktian, padahal inti pembuktian terdapat pada premisnya sendiri yakni ia menetapkan dirinya sendiri, bentuk ini adalah daur). Dari sisi ini, premis mendasar dari argumen tersebut adalah mengambil konklusi dari aksiologi dalam menetapkan eksistensi Tuhan, tapi hal ini bisa menjadi sasaran kritik dan prinsip ini, dari sudut pandang kaum skeptis empirisisme, tak dapat menetapkan sesuatu, oleh sebab itu, argumen ini tak dapat dijadikan pijakan dalam pembuktian eksistensi Tuhan.[8]
Menurut ayatullah Jawadi Amuli, bentuk argumen akhlaknya Kant tak dapat menjadi suatu argumen untuk penetapan eksistensi Tuhan dan eksistensi jiwa serta iradah, sebab-sebab komprehensi akal menurut pandangan Kant ketika tidak disertai dengan penyaksian panca indera, tidak mempunyai andil dalam penggambaran alam luar dan tidak memiliki makna jika dihubungkan dengan teks realitas. Oleh karena itu, menurut pandangannya kemestian antara hukum akal praktis dan kepercayaan kepada Tuhan hanya bersumber dari nilai akhlak dan tidak berdasarkan realitas alam.[9]
Dalil akhlak, tidak menetapkan wujud Tuhan dengan jalan keabsahan realitas dan tidak dapat memuaskan kaum Skeptik dalam wacana eksistensi Tuhan, tapi hanya mengatakan pada mereka bahwa jika berpikir berdasarkan akhlak, harus membenarkan asumsi proposisi ini dibawah kaidah-kaidah akal praktis sendiri.[10] Yakni jika manusia mengakui bahwa hukum-hukum akhlak adalah pengetahuan-pengetahuan apriori akal praktis
maka ia harus mempercayai keberadaan kehendak dan ikhtiyar manusia, keberadaan jiwa dan keabadiannya serta eksistensi kebaikan yang paling agung. Akan tetapi pengakuan ini menurut Kant hanya mempunyai nilai akhlak dan amal tapi sama sekali tidak bernilai dari sisi menggambarkan hubungan dengan alam realitas. Oleh karena itu, argumen akhlak Kant tidak menetapkan eksistensi Tuhan sebagai suatu realitas "fi al-nafsih" (berdasarkan realitas dirinya sendiri) yang menjadi dakwah agama-agama Ilahi serta gerak dan mikraj manusia menuju kepada-Nya.
Kritik-kritik yang ditujukan pada argumen akhlak bentuk pertama tidak mengena untuk bentuk kedua ini, sebab pada dasarnya bentuk kedua ini secara makna yang lebih dalam bukanlah suatu jenis argumen, akan tetapi statemen bahwa setiap orang yang secara sungguh-sungguh menghormati nilai-nilai akhlak dan ia memandang nilai-nilai tersebut sebagai suatu prinsip yang berkuasa atas kehidupannya maka niscaya ia harus secara nyata mempercayai suatu realitas sebagai sumber di atas manusia dan pangkal bagi nilai-nilai ini, yang agama menyebut itu sebagai Tuhan. Berasaskan ini, Kant berpandangan bahwa keabadian ruh dan juga eksistensi Tuhan adalah postulat-postulat kehidupan akhlak, yakni prinsip-prinsip yang setiap orang memandangnya sebagai tanggung jawab yang tidak berkait dan bersyarat yang sudah diletakkan secara hak atas perjanjian manusia, itu semua mesti diterima sebagai prinsip yang niscaya harus diterima.[11]
Memandang benar tanggung jawab akhlak dan kedahuluannya atas manfaat pribadi, adalah suatu konklusi bermakna keyakinan terhadap realitas selain alam material yang lebih tinggi dari kita dan layak untuk ditaati dan disembah. Ini adalah suatu gerak minimum ke arah keyakinan pada Tuhan yang dalam tradisi agama samawi dikenal sebagai hakikat akhlak mutlak. Akan tetapi ia tidak dapat berdiri sebagai argumen penetapan eksistensi Tuhan, sebab bisa saja validitas kemutlakan tanggung jawab akhlak menjadi tempat keraguan, dan bahkan sampai kita terima bahwa nilai-nilai akhlak mengarah pada suatu sumber transendental, masih belum dapat dikatakan diseluruh tempat dan tanpa kesalahan mengarah pada pencipta yang tidak terbatas, melakukan apa yang ia kehendaki dan berdiri dengan zatnya sendiri, yang menjadi subyek dan ikatan iman penganut agama samawi.
Dengan berdasarkan pada keberadaan hukum-hukum akhlak yang menjadi rujukan universal akhlak, maka sesuai dengan realitas ini meniscayakan pandangan tentang keberadaan realitas Tuhan, dimana hanya Dia yang dapat menjadi pembenar dan pengabsah terhadap rujukan akhlak. Oleh sebab itu jika kita berpandangan tentang eksistensi sumber rujukan akhlak, mesti sesuai dengan realitas ini, kita berpandangan tentang eksistensi Tuhan sebagai penjamin dari nilai kebenaran dan validitas hukum-hukum akhlak. Jadi pangkal dan sumber rujukan ini serta jaminan validitasnya harus secara totalitas keluar dari kehendak dan pilihan manusia. Dengan kata lain komprehensi undang-undang akhlak sebagai realitas dirinya sendiri tanpa dirujukkan dan disandarkan pada Tuhan, adalah tidak sempurna dan nilainya kurang (tidak valid), sebab undang-undang itu sendiri memestikan keberadaan peletaknya, yakni Pembuat Syariat. Kesimpulannya, dengan hanya mengakui dan meyakini eksistensi undang-undang akhlak, maka niscaya berpandangan tentang eksistensi Tuhan.
Kritikan mendasar bagi argumen-argumen akhlak mengarah pada tinjauan kemestian hukum-hukum akhlak dihubungkan dengan proposisi-proposisi teoritis seperti eksistensi Tuhan dan atau keabadian jiwa manusia. Sebab dalam konteks ini (keberadaan hukum-hukum akhlak meniscayakan keberadaan Tuhan dan keabadian ruh), berpandangan tentang eksistensi Tuhan dan keabadian ruh adalah jalan pemecahan untuk hukum antinomi (dialektika dari dua sisi), yakni komprehensi dan rasionalisasi sesuatu tanpa tinjauan atau landasan, dan hal ini malah melahirkan kondisi yang tidak dapat dijelaskan serta tinggal dalam keadaan tanpa pengertian. Tetapi sekarang apakah kenyataan bahwa berpandangan tentang Tuhan, menjadi penyebab terpecahkannya komprehensi dan rasionalisasi? Atau dengan ungkapan lain apakah dalam inti ini sendiri (berpandangan tentang eksistensi Tuhan) tidak tersembunyi rahasia lebih banyak yang pada akhirnya membuat kesamaran menjadi lebih dalam dan malah tidak membuatnya lebih jelas? Jika kebebasan, pilihan dan ikhtiar adalah kemestian dari amal pelaku akhlak, dan kebebasan serta ikhtiar itu juga menjadi kadar niscaya untuk pandangan tentang keberadaan alam akhirat, dimana ikhtiar itu hanya berguna untuk alam ini, masa hidup sekarang ini dan di alam akhirat yang tersisa hanya dampak darinya. Namun yang pasti asas dan prinsip ini, yakni keyakinan terhadap eksistensi Tuhan dan keabadian ruh sama sekali tidak dapat diperoleh dari keniscayaan hukum-hukum akhlak dan atau filsafat praktis dengan sendirinya, tanpa ditopang oleh argumen-argumen akal teoritis lainnya sebagai penjamin dari argumen tersebut.
Menurut ayatullah Jawadi Amuli, hukum-hukum akhlak yang berhubungan dengan akal praktis, mempunyai subyek-subyek dan predikat-predikat khusus dan kelompok proposisi-proposisi ini sebagaimana yang diakui oleh Kant adalah mengandung sebagian dari proposisi "al-awwali" dan "al-bayyini" (proposisi jelas dan swa-bukti) dimana ia secara esensi diakui oleh akal praktis. Dengan tidak menghiraukan proposisi-proposisi yang mana yang merupakan hukum-hukum prima akal praktis, tidak pernah ada suatu proposisi yang berhubungan dengan akal praktis, tidak diambil konklusinya dari suatu proposisi yang berhubungan dengan akal teoritis dan konklusi hukum-hukum akhlak tidak meniscayakan stetmen-stetemen teoritis. Bahkan, hukum-hukum akal praktis dengan menggunakan proposisi-proposisi dan hukum-hukum yang berhubungan dengan akal teoritis akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan baru yang berada dalam wilayah akal praktis, yakni hukum akal praktis setiap kali dalam bentuk mayor akan digabungkan dengan satu proposisi lain yang berhubungan dengan akal teoritis, dari penggabungan dengan proposisi itu yang berfungsi sebagai minor membentuk suatu silogisme akhlak dimana konklusinya secara kuantitas dan kualitas serta juga secara teoritis dan praktis, mengikuti premis yang "al-akhass" (yang lebih lemah dan lebih rendah, seperti proposisi negatif lebih rendah dari proposisi positif) dari dua premis dan sebab dalam silogisme ini, mayor adalah proposisi praktis, maka natijah juga adalah suatu proposisi praktis dan tidak berhubungan dengan akal teoritis. Misalnya guru mengajarkan ilmu kepada murid, setiap orang yang mengajarkan ilmu pada orang lain maka nisbah terhadapnya mempunyai hak untuk dihormati, jadi guru dinisbahkan kepada murid mempunyai hak untuk dihormati.[12]
Dalam contoh di atas, proposisi pertama mengungkapkan pemberitaan kenyataan luar dan proposisi kedua adalah yang berhubungan dengan akal praktis, sebab itu konklusi dari deduksi juga adalah hukum-hukum praktis dan akhlak.
Hukum-hukum praktis sebelum mencapai tahap realisasi dan sebelum mendapatkan kedudukan dalam model kaidah serta aturan khusus berbentuk tanggung jawab partikuler dalam teks ikhtiyar dan iradah manusia, harus bersandar pada hukum-hukum dan statmen-statmen teoritis partikular dan khusus yang meninjau individu-individu dan hakikat-hakikat luar.
Oleh karena itu hukum-hukum akhlak untuk mendapatkan aktualisasi, harus menggunakan pernyataan-pernyataan teoritis dan ontologi khusus yang melukiskan tentang keberadaan realitas-realitas tertentu dan keberadaan partikular yang banyak, seperti pernyataan: "Kebaikan tertinggi mewujud", "maujud yang berihtiar memiliki realitas wujud", "kebutuhan dan kemampuan mempunyai realitas wujud luar"; karena jika "kebaikan tertinggi" tidak memiliki wujud di luar, maka proposisi akhlak "kebaikan tertinggi" yang harus diusahakan untuk dihasilkan atau sampai kepadanya, selamanya tidak akan pernah sampai mengaktual dan tidak membebani tanggung jawab di atas pundak manusia.
Konklusi dari ini adalah bahwa anggaplah hukum-hukum apriori untuk akal praktis diterima, namun tetap tidak akan ada dari hukum-hukum ini yang bertanggung jawab menetapkan ekstensi (al-misdaq) luar yang menjamin subyek-subyek mereka dan atau syarat-syarat serta keniscayaan-keniscayaan hasil dan atau keaktualan mereka. Ragu dihubungkan dengan ikhtiar dan irâdah manusia atau ragu dihubungkan dengan realitas, ragu tentang kebaikan yang hukum-hukum akhlak mengarah padanya, tidak dapat ditolak dengan bertumpu pada hukum-hukum akhlak. Akan tetapi penetapan teoritis (akal teoritis) bentuk ini dari hakikat-hakikat dan pembenaran (justification) terhadap mereka merupakan wadah yang menjamin menyatanya dan mengaktualnya hukum-hukum akhlak, sebab mengkonsep perkara-perkara yang disebutkan tersebut menyiapkan syarat niscaya untuk abstraksi komprehensi-komprehensi "al-awwali" dan keluarnya hukum-hukum yang gamblang dan swa-bukti (badihi) akhlak. Oleh sebab itu, menyalahi dari apa yang Kant konsepsi, selamanya kendatipun keniscayaan antara hukum-hukum akhlak dan sebagian dari proposisi-proposisi teoritis, bukan keniscayaan dari sisi hukum-hukum akhlak, yakni keberadaan sebagian dari gagasan dan konsepsi (al-tashawwur) dan afirmasi dan penegasan (al-tashdiq) teoritis tentang manusia dan alam, dengan penjelasan yang telah disebutkan, meniscayakan hukum-hukum asli dan prinsipil akhlak. Dalam bentuk bahwa kehidupan manusia terbatas pada kehidupan dunia dan jiwa manusia tidak abadi dan atau dalam jiwa manusia terdapat keraguan dan atau jika Tuhan dan kebaikan tertinggi yang menjadi pencarian secara esensi, merupakan satu komprehensi murni yang tidak memiliki ekstensi (al-mishdaq) luar, meskipun terdapat pengakuan akal praktis dihubungkan dengan proposisi-proposisi akhlak (dari mengkonsepsi subyek dan predikat mereka), tidak ada satupun hukum-hukum akhlak yang akan mencapai keaktualan dan dalam bentuk tanggung jawab khusus tidak ada yang mengikuti sifat altruisme dan pemaaf dihubungkan dengan kecenderungan-kecenderungan alamiah.[13]
[1] . Penerjemah Bahauddin Khuramsyahi, Khuda Dar Falsafeh, hal.98.
2 . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin Itsbat-e Khudo, Hal.59-60.
3 . Yusuf Karam, Falsafah Kant, Naqd wa Barrasi-e On, hal.100.
[4] . Yusuf Karam, Falsafah Kant: Naqd wa Barrasi-e On, Hal.100-102.
[5] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin-e Etsbat-e Khuda, Hal.269-270.
[6] . John Hick, Penerjemah: Behjad Saleki, Falsafe-ye Din, Hal.70.
[7] . John Hick, Penerjemah Behzood Sooleky, Falsafeye Din, hal.70.
[8] . Ibid. hal. 71.
[9] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin-e Itsbat-e Khuda, hal. 274.
[10] . Immanuel Kant, Prederick Kapileston, penerjemah Manucer Buzurg Meher, hal.257.
[11] . Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, Book 2. Secs 4 dan 5.
[12] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyine Barahine Itsbate Khuda, hal.275.
[13] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyine Barohine Itsbate Khuda, hal. 276-277.
Semenjak masa Immanuel Kant hingga masa kini, lahir berbagai bentuk pemikiran dalam upaya menetapkan eksistensi Tuhan tidak dengan pendekatan realitas eksistensi alam ini atau dengan metode keteraturan alam, tetapi dengan menggunakan suatu argumen khusus dimana semua manusia mempunyai pengalaman tentangnya, yakni metode menegaskan eksistensi Tuhan lewat pengalaman-pengalaman akhlak yang dialami oleh setiap manusia. Oleh sebab itu, secara umum manusia dengan mudah mencerap dan memahami argumen ini.
Sebelumnya, Hume dan Kant telah berhasil membangun skeptisitisisme dan keragu-raguan di dunia Barat terhadap validitas argumen-argumen rasional (dengan akal teoritis) tradisional tentang ketuhanan dari para ahli teologi. Kritik-kritik yang mereka lontarkan dalam menolak setiap bentuk argumen rasional pembuktian eksistensi Tuhan dianggap telah berhasil menggoyahkan keimanan dan kepercayaan masyarakat religius. Sementara itu, Hume sendiri tidak mempunyai konstruksi argumen dalam bentuk akal teoritis untuk membuktikan eksistensi Tuhan sebagai pengganti dari argumen-argumen rasional tradisional tersebut (perlu diketahui bahwa David Hume adalah seorang filosof Materialisme dan ateis : lihat tulisan Tuhan Ditolak dan Ditetapkan). Demikian juga Kant, dalam hal ini tidak membangun argumen dengan pondasi akal teoritis untuk menggantikan argumen-argumen yang ditolaknya, ia selanjutnya beralih pada sistem filsafat akhlak dimana menurutnya argumen yang berpijak pada akal praktis mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh argument dengan pondasi akal teoritis. Oleh karena itu, untuk menemukan kembali pemikiran ketuhanan Kant dalam sistem filsafat, harus merujuk pada perubahan mendasar atas penolakannya kepada akal teoritis dan pembelaan Kant kepada akal praktis dalam menyingkap substansi-substansi realitas akhlak manusia.
Dalam rentang zaman dari masa Kant hingga pertengahan abad ke 20 M keraguan dan skeptisisme para pemikir teoritis tidak semakin kurang dan ringan bahkan semakin tajam dan mendalam dihubungkan dengan dalil-dalil dengan pijakan akal teoritis dalam pembuktian eksistensi Tuhan, sebab itu, tidak sedikit para ahli teologi dan kalam berjalan di atas garis argumen akhlak yang dikonstruksi Kant (yakni jalan filsafat akhlak praktis) dalam menetapkan eksistensi Tuhan.[1]
Kedudukan dan Validitas Argumen Akhlak
Argumen akhlak memiliki keabsahan filosofis jika dipisahkan dari unsur-unsur nasihat dan wejangan. Dalam konteks ini, argumen akhlak tidak hanya menetapkan eksistensi Tuhan tetapi juga menetapkan sifat-sifat Tuhan, seperti yang mencipta, bijaksana, kehendak dan mahapengatur di dunia dan di akhirat.
Perlu kita ketahui bahwa jenis argumen ini harus disandarkan pada argumen fitrah, atau dirujukkan pada argumen tentang kemestian diutusnya para nabi, dimana argumen tentang kenabian itu sendiri terletak sesudah pembuktian eksistensi Tuhan dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, atau didasarian pada salah satu argumen-argumen, seperti argumen imkan dan wujub, huduts, gerak. Jika demikian, maka argumen akhlak memiliki kesetaran validitas dengan argumen-argumen tersebut di atas dan terhitung sebagai bentuk argumen baru. Dan jika argumen akhlak tidak disandarkan pada salah satu dari argumen-argumen yang disebutkan di atas, maka ia sama sekali tidak memiliki validitas sebagai sebuah argumen atau dalil dalam menetapkan eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, apabila argumen akhlak diasumsikan memiliki landasan-landasan yang sempurna, maka tetap dikategorikan sebagai filsafat praktis dan bukan merupakan filsafat teoritis dan tidak dapat digunakan sebagai dalil pembuktian Sumber Eksistensi. Jika argumen-argumen akhlak digolongkan dalam wilayah wahyu dan kenabian, wilayah tersebut terhitung sebagai bagian dari pembahasan filsafat teoritis dan masalah penetapan Tuhan merupakan asas makrifat agama, kenabian dan wahyu, maka tetap tidak dapat dijangkau oleh argumen ini, yakni argumen ini tidak dapat membuktikan prinsipalitas wujud Tuhan.
Kesimpulannya, jika argumen akhlak disandarkan pada filsafat teoritis maka dapat terhitung sebagai bagian dari dalil dan argumen penetapan eksistensi Tuhan dan itupun harus bersandar pada argumen fitrah; karena argumen fitrah selain sebagai bagian filsafat teoritis, juga landasan-landasan yang digunakan cukup sempurna. Dengan demikian argumen akhlak bisa menjadi salah satu dari argumen untuk menetapkan eksistensi Tuhan.[2]
Landasan Filsafat Praktis
Apakah hukum akal mengenai kebaikan? Apakah kebaikan memiliki makna kemestian jika ditinjau dari bentuknya yang mutlak? Secara hakiki makna kebaikan yang ada dalam kebaikan akhlak dan kebaikan alami (yang bersifat inderawi) adalah sama. Oleh karena itu, kebaikan akhlak bukan satu-satunya kebaikan, meskipun kebaikan tersebut adalah paling tinggi, terdapat juga kebaikan yang merupakan subyek keinginan-keinginan indrawi. Jadi kebaikan mutlak tersusun dari dua kebaikan tersebut, dan dua kebaikan tersebut mengantarkan kita untuk mengkonsepsi suatu komprehensi dan pengertian tentang kebaikan tertinggi, kebaikan tertinggi inilah yang secara hakiki menyatukan keinginan-keinginan alamiah dan kehendak murni. Dan kebaikan tersebut, jika dipandang dari sisi keutamaan adalah kebahagiaan, sedangkan keutamaan dilihat dari dimensi bahwa dia adalah kebaikan maka secara esensi menjadi syarat kebahagiaan. Untuk terwujudnya kebaikan tertinggi yang berpengaruh terhadap semua realitas wujud maka harus dikonsepsi suatu wujud yang pada dirinya menyatu secara bersama kesucian, keutamaan dan kebahagiaan. Dan wujud ini disebut sebagai Tuhan. Untuk memahami kemestian eksistensi Tuhan harus diketahui secara mendalam hubungan antara manusia, alam dan akhlak.
Kebahagiaan adalah kondisi pribadi dimana segala sesuatu didapatkan sesuai dengan keinginan dan kehendak. Jadi kebahagiaan adalah kesesuaian dan keselarasan antara watak alami dan tujuan-tujuan yang diusahakan hingga tercapai. Jika wujud kebahagiaan mesti berhubungan dengan keutamaan dan saling bersesuaian dengannya, maka tidak mungkin kebahagiaan ini mewujud kecuali dengan perantara adanya suatu sebab bagi seluruh realitas alam yang berbeda darinya, yang meliputi landasan hadirnya kesesuaian dan kesatuan antara kebahagiaan dan keutamaan. Oleh karena itu, kebaikan hakiki (mutlak) tertinggi menjadi perantara terwujudnya kebaikan tinggi relatif, yakni kebaikan mutlak tertinggi menciptakan suatu alam yang merupakan paling baik dan sempurnanya alam.
Menurut Kant perkara-perkara, seperti kebebasan, keabadian jiwa dan Tuhan adalah hal yang hanya dapat dijangkau dengan dalil-dalil yang berpijak pada akal praktis dan bukan berdasar pada akal teoritis. Dan perkara-perkara tersebut telah menjadi "hal yang sudah diterima" (al-musallamah) oleh akal praktis.[3]
"Al-Musallamah" tersebut bukan sekedar keyakinan pribadi yang subyektif, akan tetapi sesuatu yang obyektif dan universal; sebab akal sendiri yang mengasumsikan "al-musallamah" tersebut, karena itu keyakinan terhadapnya merupakan hal yang valid dan benar serta penerimaan terhadap "al-musallamah" tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan tinggi akal praktis atas akal teoritis. Derajatnya yang tinggi tersebut tidak bermakna bahwa dari jalan akal praktis dihasilkan suatu ilmu terhadap "al-musallamah" itu, dimana akal teoritis tidak memiliki kemampuan untuk mengetahuinya, akan tetapi ketinggian derajat tersebut berarti bahwa dengan perantaraan amal (praktiis) atau akhlak, kita menetapkan kemestian-kemestiannya (syarat-syaratnya) dan kemudian kita menyandarkan keimanan kepada akhlak atau amal (praktis) tersebut, dimana keimanan ini berlandaskan pada kebutuhan-kebutuhan akal praktis yang bersifat universal. Tidak terdapat problem yang mengarah pada keimanan ini, tetapi sebaliknya, keimanan ini secara sempurna sesuai dengan kita. Oleh karena itu, jika kita memiliki ilmu teoritis yang sempurna tentang Tuhan dan keabadian jiwa, maka ditinjau dari dimensi kesusastraan adalah mustahil tak terdapat pemaksaan dan tekanan dari ilmu ini yang mengarah kepada irâdah (kehendak) kita, atau akhlak menjadi perantara dan kita menyerupai suatu darah yang mengalirkan ketakutan dan keinginan kepadanya, padahal keimanan menyiapkan suatu wadah bagi pilihan kehendak, kemuliaan dan keutamaan.
Konklusi dari teori ini membenarkan kita melihat tugas-tugas dalam bentuk perintah-perintah yang tidak hanya bersumber dari akal tetapi juga berasal dari Tuhan. Jadi dengan bentuk tersebut maka kita menerima agama dimana suatu agama yang diletakkan setelah akhlak dan peletakan tugas-tugas, akan tetapi kebalikan dari itu adalah suatu agama yang berlandaskan atas akhlak dan akhlak juga berlandaskan atas akal (akal praktis).[4]
Tinjauan Hukum Akhlak Sebagai Dasar Argumen
Argumen akhlak memiliki rumusan dan uraian yang beragam. Sebagian diantaranya berdalil dengan ketetapan dan kemutlakan perintah-perintah akhlak atas keberadaan pemberi perintah dan pengatur yang tetap dan mutlak dimana disebut sebagai Tuhan. Dan sebagian lagi berdalil atas keberadaan sumber selain insan yang mempunyai kehendak lebih tinggi dari kehendak manusia, dari perasaan kekuatan akhlak dalam kondisi dan syarat dimana kehendak partikular manusia mengamalkan kebalikan darinya. Sebagian lagi menggunakan keniscayaan undang-undang dengan pembuat undang-undang untuk menetapkan sumber undang-undang, atau dikarenakan adanya undang-undang akhlak yang sama dalam kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda menegaskan asumsi adanya Tuhan yang meletakkan pandangan undang-undang ini dalam kalbu manusia.
Panggilan nurani atau perintah akhlak kemudian disusul oleh perasaan bersalah, malu dan menyesal, atau takut ketika melakukan kemaksiatan, atau takut sebelum melakukan perbuatan buruk, merupakan premis-premis yang terdapat pada semua argumen-argumen akhlak, sebab sesudah menetapkan semua itu memungkinkan terbentuk rumusan dan uraian -yang mungkin berbeda dengan rumasan-rumusan yang telah disebutkan di atas- tentang keberadaan Sumber Eksistensi, meskipun rumusan argumen tersebut belum sampai menetapkan kemestian esensi dan keazalian dzat Tuhan.
Jika mukadimah pertama yakni keberadaan undang-undang yang sama adalah diterima dimana manusia sebelum melakukan perbuatan merasa cemas dan sesudah melakukan keburukan merasa menyesal dan malu. Keuniversalan undang-undang dan hukum-hukum ini dimana individu-individu yang berbeda dan bangsa-bangsa yang beragam serta kebudayaan-kebudayaan dan kondisi-kondisi kemasyarakatan yang beragam mencapai puncak puncak kekuatan atau jatuh ke lembah kehinaan, atau mendapat dukungan atau penentangan, atau terasing dari masyarakat atau berjaya di masyarakat desa atau masyarakat kota modern ketika mengamalkan undang-undang atau terdapat perasaan takut dan berdosa ketika menyalahinya, maka dapat diambil konklusi bahwa sumber undang-undang ini sama sekali tidak dari kondisi-kondisi dan asumsi-asumsi yang disebutkan, tapi baginya terdapat sebab dan sumber luar yang menyertai keseluruhan ini.[5]
Bentuk Argumen Akhlak
Argumen akhlak dalam bentuk dan rumusan yang berbeda-beda berdiri diatas prinsip bahwa pengalaman akhlak dan secara khusus berhubungan dengan perasaan bertanggung jawab dimana merupakan sesuatu yang tak dapat diingkari oleh individu-individu manusia, hal inilah meniscayakan keberadaan realitas Tuhan sebagai Sumber Pemberi tanggung jawab tersebut.[6]
Argumen Akhlak Bentuk Pertama
Argumen akhlak bisa dipaparkan dalam bentuk konklusi logis dari realitas hukum-hukum akhlak berkaitan dengan keberadaan Pembuat Syariat (hukum-hukum ilahi), atau berangkat dari sebuah kenyataan adanya nilai-nilai akhlak atau nilai-nilai universal yang bersumber dari nilai-nilai transenden, atau dari realitas fitrah ketuhanan dimana seruan-Nya merupakan sumber nurani dan fitrah itu sendiri.
Cardinal Newman menjelaskan makna di atas sebagai berikut, "Kalau kita, ketika kita menyalahi panggilan nurani, merasa bertanggung jawab, maka kita akan merasa malu, takut dan cemas, keadaan pelaku seperti ini adalah menunjukkan keberadaan sesuatu yang hakiki dalam dirinya, kita memandang diri kita sebagai penanggung jawab, kita merasa malu dihadapannya dan kita merasa takut dari pemeriksaan dan pengadilannya. Jika sebab perasaan tersebut tidak bersandar dengan alam materi ini, maka pijakan dan sandaran persepsi tersebut harus kembali pada dimensi supranatural dan aspek ketuhanan.[7]
Asumsi dasar argumen ini adalah bahwa nilai-nilai akhlak tak dapat dijelaskan berdasarkan sudut pandang fisika dan empiris serta sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan kecenderungan-kecenderungan manusia atau dalam bentuk lain yang membutuhkan rujukan dan perantara non metafisik. Akan tetapi menggunakan asumsi tersebut tak lain adalah "petitio principii" (proposisi yang masih membutuhkam pembuktian, padahal inti pembuktian terdapat pada premisnya sendiri yakni ia menetapkan dirinya sendiri, bentuk ini adalah daur). Dari sisi ini, premis mendasar dari argumen tersebut adalah mengambil konklusi dari aksiologi dalam menetapkan eksistensi Tuhan, tapi hal ini bisa menjadi sasaran kritik dan prinsip ini, dari sudut pandang kaum skeptis empirisisme, tak dapat menetapkan sesuatu, oleh sebab itu, argumen ini tak dapat dijadikan pijakan dalam pembuktian eksistensi Tuhan.[8]
Menurut ayatullah Jawadi Amuli, bentuk argumen akhlaknya Kant tak dapat menjadi suatu argumen untuk penetapan eksistensi Tuhan dan eksistensi jiwa serta iradah, sebab-sebab komprehensi akal menurut pandangan Kant ketika tidak disertai dengan penyaksian panca indera, tidak mempunyai andil dalam penggambaran alam luar dan tidak memiliki makna jika dihubungkan dengan teks realitas. Oleh karena itu, menurut pandangannya kemestian antara hukum akal praktis dan kepercayaan kepada Tuhan hanya bersumber dari nilai akhlak dan tidak berdasarkan realitas alam.[9]
Dalil akhlak, tidak menetapkan wujud Tuhan dengan jalan keabsahan realitas dan tidak dapat memuaskan kaum Skeptik dalam wacana eksistensi Tuhan, tapi hanya mengatakan pada mereka bahwa jika berpikir berdasarkan akhlak, harus membenarkan asumsi proposisi ini dibawah kaidah-kaidah akal praktis sendiri.[10] Yakni jika manusia mengakui bahwa hukum-hukum akhlak adalah pengetahuan-pengetahuan apriori akal praktis
maka ia harus mempercayai keberadaan kehendak dan ikhtiyar manusia, keberadaan jiwa dan keabadiannya serta eksistensi kebaikan yang paling agung. Akan tetapi pengakuan ini menurut Kant hanya mempunyai nilai akhlak dan amal tapi sama sekali tidak bernilai dari sisi menggambarkan hubungan dengan alam realitas. Oleh karena itu, argumen akhlak Kant tidak menetapkan eksistensi Tuhan sebagai suatu realitas "fi al-nafsih" (berdasarkan realitas dirinya sendiri) yang menjadi dakwah agama-agama Ilahi serta gerak dan mikraj manusia menuju kepada-Nya.
Argumen Akhlak Bentuk Kedua
Kritik-kritik yang ditujukan pada argumen akhlak bentuk pertama tidak mengena untuk bentuk kedua ini, sebab pada dasarnya bentuk kedua ini secara makna yang lebih dalam bukanlah suatu jenis argumen, akan tetapi statemen bahwa setiap orang yang secara sungguh-sungguh menghormati nilai-nilai akhlak dan ia memandang nilai-nilai tersebut sebagai suatu prinsip yang berkuasa atas kehidupannya maka niscaya ia harus secara nyata mempercayai suatu realitas sebagai sumber di atas manusia dan pangkal bagi nilai-nilai ini, yang agama menyebut itu sebagai Tuhan. Berasaskan ini, Kant berpandangan bahwa keabadian ruh dan juga eksistensi Tuhan adalah postulat-postulat kehidupan akhlak, yakni prinsip-prinsip yang setiap orang memandangnya sebagai tanggung jawab yang tidak berkait dan bersyarat yang sudah diletakkan secara hak atas perjanjian manusia, itu semua mesti diterima sebagai prinsip yang niscaya harus diterima.[11]
Memandang benar tanggung jawab akhlak dan kedahuluannya atas manfaat pribadi, adalah suatu konklusi bermakna keyakinan terhadap realitas selain alam material yang lebih tinggi dari kita dan layak untuk ditaati dan disembah. Ini adalah suatu gerak minimum ke arah keyakinan pada Tuhan yang dalam tradisi agama samawi dikenal sebagai hakikat akhlak mutlak. Akan tetapi ia tidak dapat berdiri sebagai argumen penetapan eksistensi Tuhan, sebab bisa saja validitas kemutlakan tanggung jawab akhlak menjadi tempat keraguan, dan bahkan sampai kita terima bahwa nilai-nilai akhlak mengarah pada suatu sumber transendental, masih belum dapat dikatakan diseluruh tempat dan tanpa kesalahan mengarah pada pencipta yang tidak terbatas, melakukan apa yang ia kehendaki dan berdiri dengan zatnya sendiri, yang menjadi subyek dan ikatan iman penganut agama samawi.
Analisa Fundamental atas Argumen Akhlak
Dengan berdasarkan pada keberadaan hukum-hukum akhlak yang menjadi rujukan universal akhlak, maka sesuai dengan realitas ini meniscayakan pandangan tentang keberadaan realitas Tuhan, dimana hanya Dia yang dapat menjadi pembenar dan pengabsah terhadap rujukan akhlak. Oleh sebab itu jika kita berpandangan tentang eksistensi sumber rujukan akhlak, mesti sesuai dengan realitas ini, kita berpandangan tentang eksistensi Tuhan sebagai penjamin dari nilai kebenaran dan validitas hukum-hukum akhlak. Jadi pangkal dan sumber rujukan ini serta jaminan validitasnya harus secara totalitas keluar dari kehendak dan pilihan manusia. Dengan kata lain komprehensi undang-undang akhlak sebagai realitas dirinya sendiri tanpa dirujukkan dan disandarkan pada Tuhan, adalah tidak sempurna dan nilainya kurang (tidak valid), sebab undang-undang itu sendiri memestikan keberadaan peletaknya, yakni Pembuat Syariat. Kesimpulannya, dengan hanya mengakui dan meyakini eksistensi undang-undang akhlak, maka niscaya berpandangan tentang eksistensi Tuhan.
Kritikan mendasar bagi argumen-argumen akhlak mengarah pada tinjauan kemestian hukum-hukum akhlak dihubungkan dengan proposisi-proposisi teoritis seperti eksistensi Tuhan dan atau keabadian jiwa manusia. Sebab dalam konteks ini (keberadaan hukum-hukum akhlak meniscayakan keberadaan Tuhan dan keabadian ruh), berpandangan tentang eksistensi Tuhan dan keabadian ruh adalah jalan pemecahan untuk hukum antinomi (dialektika dari dua sisi), yakni komprehensi dan rasionalisasi sesuatu tanpa tinjauan atau landasan, dan hal ini malah melahirkan kondisi yang tidak dapat dijelaskan serta tinggal dalam keadaan tanpa pengertian. Tetapi sekarang apakah kenyataan bahwa berpandangan tentang Tuhan, menjadi penyebab terpecahkannya komprehensi dan rasionalisasi? Atau dengan ungkapan lain apakah dalam inti ini sendiri (berpandangan tentang eksistensi Tuhan) tidak tersembunyi rahasia lebih banyak yang pada akhirnya membuat kesamaran menjadi lebih dalam dan malah tidak membuatnya lebih jelas? Jika kebebasan, pilihan dan ikhtiar adalah kemestian dari amal pelaku akhlak, dan kebebasan serta ikhtiar itu juga menjadi kadar niscaya untuk pandangan tentang keberadaan alam akhirat, dimana ikhtiar itu hanya berguna untuk alam ini, masa hidup sekarang ini dan di alam akhirat yang tersisa hanya dampak darinya. Namun yang pasti asas dan prinsip ini, yakni keyakinan terhadap eksistensi Tuhan dan keabadian ruh sama sekali tidak dapat diperoleh dari keniscayaan hukum-hukum akhlak dan atau filsafat praktis dengan sendirinya, tanpa ditopang oleh argumen-argumen akal teoritis lainnya sebagai penjamin dari argumen tersebut.
Menurut ayatullah Jawadi Amuli, hukum-hukum akhlak yang berhubungan dengan akal praktis, mempunyai subyek-subyek dan predikat-predikat khusus dan kelompok proposisi-proposisi ini sebagaimana yang diakui oleh Kant adalah mengandung sebagian dari proposisi "al-awwali" dan "al-bayyini" (proposisi jelas dan swa-bukti) dimana ia secara esensi diakui oleh akal praktis. Dengan tidak menghiraukan proposisi-proposisi yang mana yang merupakan hukum-hukum prima akal praktis, tidak pernah ada suatu proposisi yang berhubungan dengan akal praktis, tidak diambil konklusinya dari suatu proposisi yang berhubungan dengan akal teoritis dan konklusi hukum-hukum akhlak tidak meniscayakan stetmen-stetemen teoritis. Bahkan, hukum-hukum akal praktis dengan menggunakan proposisi-proposisi dan hukum-hukum yang berhubungan dengan akal teoritis akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan baru yang berada dalam wilayah akal praktis, yakni hukum akal praktis setiap kali dalam bentuk mayor akan digabungkan dengan satu proposisi lain yang berhubungan dengan akal teoritis, dari penggabungan dengan proposisi itu yang berfungsi sebagai minor membentuk suatu silogisme akhlak dimana konklusinya secara kuantitas dan kualitas serta juga secara teoritis dan praktis, mengikuti premis yang "al-akhass" (yang lebih lemah dan lebih rendah, seperti proposisi negatif lebih rendah dari proposisi positif) dari dua premis dan sebab dalam silogisme ini, mayor adalah proposisi praktis, maka natijah juga adalah suatu proposisi praktis dan tidak berhubungan dengan akal teoritis. Misalnya guru mengajarkan ilmu kepada murid, setiap orang yang mengajarkan ilmu pada orang lain maka nisbah terhadapnya mempunyai hak untuk dihormati, jadi guru dinisbahkan kepada murid mempunyai hak untuk dihormati.[12]
Dalam contoh di atas, proposisi pertama mengungkapkan pemberitaan kenyataan luar dan proposisi kedua adalah yang berhubungan dengan akal praktis, sebab itu konklusi dari deduksi juga adalah hukum-hukum praktis dan akhlak.
Hukum-hukum praktis sebelum mencapai tahap realisasi dan sebelum mendapatkan kedudukan dalam model kaidah serta aturan khusus berbentuk tanggung jawab partikuler dalam teks ikhtiyar dan iradah manusia, harus bersandar pada hukum-hukum dan statmen-statmen teoritis partikular dan khusus yang meninjau individu-individu dan hakikat-hakikat luar.
Oleh karena itu hukum-hukum akhlak untuk mendapatkan aktualisasi, harus menggunakan pernyataan-pernyataan teoritis dan ontologi khusus yang melukiskan tentang keberadaan realitas-realitas tertentu dan keberadaan partikular yang banyak, seperti pernyataan: "Kebaikan tertinggi mewujud", "maujud yang berihtiar memiliki realitas wujud", "kebutuhan dan kemampuan mempunyai realitas wujud luar"; karena jika "kebaikan tertinggi" tidak memiliki wujud di luar, maka proposisi akhlak "kebaikan tertinggi" yang harus diusahakan untuk dihasilkan atau sampai kepadanya, selamanya tidak akan pernah sampai mengaktual dan tidak membebani tanggung jawab di atas pundak manusia.
Konklusi dari ini adalah bahwa anggaplah hukum-hukum apriori untuk akal praktis diterima, namun tetap tidak akan ada dari hukum-hukum ini yang bertanggung jawab menetapkan ekstensi (al-misdaq) luar yang menjamin subyek-subyek mereka dan atau syarat-syarat serta keniscayaan-keniscayaan hasil dan atau keaktualan mereka. Ragu dihubungkan dengan ikhtiar dan irâdah manusia atau ragu dihubungkan dengan realitas, ragu tentang kebaikan yang hukum-hukum akhlak mengarah padanya, tidak dapat ditolak dengan bertumpu pada hukum-hukum akhlak. Akan tetapi penetapan teoritis (akal teoritis) bentuk ini dari hakikat-hakikat dan pembenaran (justification) terhadap mereka merupakan wadah yang menjamin menyatanya dan mengaktualnya hukum-hukum akhlak, sebab mengkonsep perkara-perkara yang disebutkan tersebut menyiapkan syarat niscaya untuk abstraksi komprehensi-komprehensi "al-awwali" dan keluarnya hukum-hukum yang gamblang dan swa-bukti (badihi) akhlak. Oleh sebab itu, menyalahi dari apa yang Kant konsepsi, selamanya kendatipun keniscayaan antara hukum-hukum akhlak dan sebagian dari proposisi-proposisi teoritis, bukan keniscayaan dari sisi hukum-hukum akhlak, yakni keberadaan sebagian dari gagasan dan konsepsi (al-tashawwur) dan afirmasi dan penegasan (al-tashdiq) teoritis tentang manusia dan alam, dengan penjelasan yang telah disebutkan, meniscayakan hukum-hukum asli dan prinsipil akhlak. Dalam bentuk bahwa kehidupan manusia terbatas pada kehidupan dunia dan jiwa manusia tidak abadi dan atau dalam jiwa manusia terdapat keraguan dan atau jika Tuhan dan kebaikan tertinggi yang menjadi pencarian secara esensi, merupakan satu komprehensi murni yang tidak memiliki ekstensi (al-mishdaq) luar, meskipun terdapat pengakuan akal praktis dihubungkan dengan proposisi-proposisi akhlak (dari mengkonsepsi subyek dan predikat mereka), tidak ada satupun hukum-hukum akhlak yang akan mencapai keaktualan dan dalam bentuk tanggung jawab khusus tidak ada yang mengikuti sifat altruisme dan pemaaf dihubungkan dengan kecenderungan-kecenderungan alamiah.[13]
Catatan Kaki:
[1] . Penerjemah Bahauddin Khuramsyahi, Khuda Dar Falsafeh, hal.98.
2 . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin Itsbat-e Khudo, Hal.59-60.
3 . Yusuf Karam, Falsafah Kant, Naqd wa Barrasi-e On, hal.100.
[4] . Yusuf Karam, Falsafah Kant: Naqd wa Barrasi-e On, Hal.100-102.
[5] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin-e Etsbat-e Khuda, Hal.269-270.
[6] . John Hick, Penerjemah: Behjad Saleki, Falsafe-ye Din, Hal.70.
[7] . John Hick, Penerjemah Behzood Sooleky, Falsafeye Din, hal.70.
[8] . Ibid. hal. 71.
[9] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyin-e Barahin-e Itsbat-e Khuda, hal. 274.
[10] . Immanuel Kant, Prederick Kapileston, penerjemah Manucer Buzurg Meher, hal.257.
[11] . Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, Book 2. Secs 4 dan 5.
[12] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyine Barahine Itsbate Khuda, hal.275.
[13] . Ayatullah Jawadi Amuli, Tabyine Barohine Itsbate Khuda, hal. 276-277.