Pendahuluan
Kehidupan manusia dibangun atas iman dan keyakinan. Sentral ajaran seluruh keyakinan agama-agama adalah iman dan yakin akan adanya Sang Pencipta. Kegagalan dalam memahami fondasi-fondasi konseptual dan pembenaran (al-maba-di- al-tasawuriyyah wa al-tasdi-qiyyah) masalah ketuhanan dapat menimbulkan keraguan dan kesangsian terhadap keyakinan kepada Tuhan. Jalan terbaik untuk sampai kepada Tuhan, yang Wujud-Nya adalah lebih jelas dan nyata dari segala hal dan kehadiran-Nya lebih dekat kepada segala sesuatu serta melebihi segala sesuatu, adalah dengan membersihkan alur pengetahuan dari orang-orang yang buta oleh ego dan ananiyah.
Kegaiban Tuhan adalah dikarenakan oleh kuatnya intensitas manifestasi-Nya dan kejauhan-Nya adalah lantaran hebatnya kedekatan-Nya. Jika jelmaan sebuah entitas lebih nyata dari pengetahuan, gagasan, dan ilmu, dan apabila jelmaan entitas sedemikian dekat bahkan lebih dekat dari diri mereka sendiri, maka jelmaan dan manifestasi semacam ini meniscayakan invisibilitas (kegaiban), dan hebatnya kedekatan ini menyebabkan kejauhan.
Kegaiban dan kejauhan ini adalah bagaimanapun merata pada setiap mata yang terhijabi; lantaran seseorang yang melihat dirinya, tidak dapat melihat Tuhan. Namun, dengan berjuang melawan godaan ego dan terbebas dari arogansi dan kecongkakan, ketidakmampuan ini dapat diubah menjadi kemampuan, dan kemudian mencapai proporsi kapasitas ontologikal (si?a al-wuju-diyyah), dimana ia dapat melihat Tuhan. Dan dengan mengakui, “Kami tidak mengenal-Mu dengan sebenar-benarnya pengenalan.”[1] Ia dapat membersihkan makrifat kepada-Nya menjadi sempurna. Di antara seabrek argumen dan burhan dalam menetapkan wujud Sang Pencipta, terdapat satu burhan yang pure inovasi dari filosof Islam yang mengusung jargon "Qur'an, Burhan dan Irfan." Dengan mengambil inspirasi dari ketiganya, sebuah burhan yang sama sekali baru, setelah filosof-filosof Peripatetik, lahir dari rahim filosof ini. Dan burhan itu adalah burhân imkân al-faqrî.
Burha-n al-imka-n al-faqri- merupakan sebuah inovasi cerdas pendiri Filsafat Hikmah "Transcendent Wisdom" , Sadr al-Muta’allihi-n al-Shira-zi-. Bersandar pada prinsip kehakikian wujud (ashalah al-wujud) "principality of existence", Sadr al-Muta’allihi-n memindahkan kontingen dari kuiditas kepada wujud, dan hal ini menuntun kepada konstruksi argumen baru bagi wujud Wajib. Bentuk logis burhan ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Terdapat sebuah realitas "realita .
2. Terdapat setidaknya satu entitas terbatas.
3. Wujudlah yang hakiki.
4. Atribut-atribut wujud adalah identik dengan realitas wujud, lantaran apabila terdapat sesuatu selain wujud dan addisional terhadapnya, maka hal itu berarti bahwa ada sesuatu selain eksistensi yang memiliki aktualitas dan akan berbeda dengan premis sebelumnya yang menegaskan kehakikian wujud (ashâlah al-wujud).
5. Keterbatasan dan kontingen merupakan entitas yang disebutkan pada premis kedua adalah sangat memiliki kondisi yang terbatas (finitude) dan bergantung serta berhajat kepada sebab eksternal yang menghasilkannya, sebagai kebalikan dari wujud, ia (kontingen) merupakan sebuah esensi yang dikarakterkan oleh sebuah kondisi yang terbatas (finitude) dan kontingensi.
Kehadiran sesuatu yang sangat bergantung dan berhajat kepada sebab eksternal, adalah mustahil tanpa adanya sebuah realitas yang terbebas dari kontingensi dan kebergantungan.
Salah satu natijah kaidah kehakikian wujud (asalah al-wujud) adalah pembagian akurat yang dilakukan oleh Mulla Shadra untuk wujud. Dan pembagian tersebut terbagi menjadi tiga bagian:
1. Wujud, maujud bagi dirinya dan swa-maujud (qâim bi nafsihi) bagi dirinya (yang disebut sebagai wujud nafsi atau wujud mahmuli [predikat])[2]
2. Wujud, maujud untuk sesuatu yang lain seperti wujud ajektif-ajektif dan aksiden-aksiden (semisal warna putih bagi kertas); lantaran kendati misalnya warna putih kita asumsikan sebagai wujud yang mandiri akan tetapi keberadaan warna putih tidak akan mewujud dan mengada kecuali pada kertas dan predikat (mahmul) serta ajektif bagi kertas (berbeda dengan jenis pertama [wujud] adalah subyek dan keberadaannya adalah berkenaan dengan dirinya sendiri).
3. Wujud yang ditemukan dalam relasi dan hubungan antara subyek dan predikat (yang dalam bahasa Indonesia ditunjukkan sebagai [adalah] dan dalam bahasa Inggris [is]. Wujud ini tidak secuil pun memiliki kemandirian pada dirinya dan bahkan tidak dapat diasumsikan secara mandiri sendiri, seperti aksiden-aksiden dan ajektif-ajektif, dalam benak. Wujud semacam ini tidak lain kecuali hubungan dengan subyek (wujud asil) dan ia tidak memiliki saham keberadaan atas dirinya sendiri.
Dalam filsafat Islam wujud bagian pertama dan bagian kedua disebut sebagai "makna nomina" yaitu memiliki kemandirian pada benak dan wujud bagian ketiga disebut sebagai "makna preposisional (al-ma'na al-harf)" karena huruf preposisional dan huruf addisional dengan sendirinya tidak memiliki makna.
Mulla Shadra dengan kejelian yang tinggi menggiring pembahasan ini kepada pembahasan illah (sebab) dan ma'lul (akibat). Ia berkata bahwa imkan (kontingen), memiliki dua domain: Pertama, imkan dalam domain kuiditas-kuiditas (al-mahiyyât) dimana para filosof meletakkannya di samping domain wujub dan imtina' dan dalam ilmu Logika disebut sebagai muwajjihat (modality). Dan imkan dalam domain maujud-maujud eksternal. Relasi antara sebab (illah) dan akibat (ma'lul) senantiasa merupakan relasi pemberian wujud dari sebab ke akibat. Sebab, yang hakiki adalah "sebab" dimana senantiasa menjadi pemberi wujud; oleh karena itu keberadaan akibat selalu memerlukan dan bergantung kepada sebuah wujud sebab yang memberikan wujud kepadanya (sebagaimana wujud merupakan sebuah bentuk teknis dalam benak Anda yang bergantung kepada perhatian kreatif Anda dan apabila perhatian Anda berpaling kepada yang lain maka bentuk teknis tersebut juga akan tiada).
Oleh karena itu, tidaklah demikian maujud-maujud eksternal dimana ia merupakan akibat dari Tuhan – dan Dia (Tuhan) adalah wujud murni dan hakiki dan sebab sempurna dan sebab hakiki atas segala eksistensi – dan (mereka tidaklah) mandiri dari wujud itu sendiri (sebagaimana kita menerima hal ini pada ajektif-ajektif dan aksiden-aksiden), melainkan relasi antara seluruh eksistensi dan wâjib al-wujud, merupakan jenis "rabt mahdh" (murni relasi) dan kita melihat bahwa wujud râbith (wujud relasional) pada seluruh detik dan menit, faqir dan memerlukan wujud subyek (subyek dalam preposisi) dan tidak memiliki sesuatu apa pun dari dirinya.
Mulla Shadra menganggap relasi keakibatan (ma'lulât) semacam ini (yaitu seluruh maujud) merupakan jenis kontingen (mumkin) akan tetapi ia berada dalam tipologi domain ontologi dan menyebutnya sebagai imkân faqrî. Dan alih-alih menyebutnya sebagai sebab dan akibat – yang menunjukkan jenis dikotomi dan menjatuhkan benak dalam lubang kesalahan dimana akibat juga merupakan wujud mandiri di hadapan sebab – ia menggunakan terminologi imkân faqrî..
Dalam perspektif ini, seluruh maujud mumkin, dirinya sendiri adalah faqr dan tidak hanya pada kaidah pengadaan wujud mereka butuh terhadap sebab, akan tetapi pada tinggalnya dirinya juga secara permanen memerlukan sebab.
Pandangan jeluk filosofis terhadap sebab dan akibat ini, yang disampaikan pada berbagai tempat dalam kitab Al-Asfar dengan penalaran filosofis merupakan salah satu tipologi filsafat Mulla Shadra. Harus diketahui bahwa imkân faqrî – berbeda dengan imkân mantiqî– bukan hanya bersebelahan dengan keniscayaan dan wujud tapi ia adalah dirinya sendiri dan asumsinya bergantung kepada asumsi wujud dan hubungan wujud.
Imkân faqrî adalah sebuah pandangan gnostikal (irfani) yang dimasukkan oleh Mulla Shadra ke dalam domain filsafat dan memberik corak filsafat atasnya. Dalam perspektif irfan Islam, hanya Tuhanlah yang memiliki kelayakan untuk disebut sebagai wujud, dan sumber wujud. Dan alam semesta serta seluruh eksistensi, semuanya merupakan manifestasi-manisfestasi dan jelmaan-jelmaan wujud-Nya. Mulla Shadra membawa ungkapan ini dalam kerangka sebab dan akibat dan berkata, sebab senantiasa asl (hakiki) dan akibat, lantaran hajatnya kepada sebab dalam menerima wujud dan bukan hal yang lain, oleh karena itu, ia tiada tanpa sebab. Akibat merupakan turunan sebab dan merupakan jelmaan darinya.
Problem keharusan keselarasan (sinkhiyyat) maujud-maujud dan mumkin-mumkin dengan wajib al-wujud dan ma'lulat (keakibatan) dengan sebabnya juga akan menjadi jelas dengan penalaran ini. Harus diketahui bahwa sebab dalam pembahasan ini adalah sebab sempurna dan paripurna.
Pengkajian teliti atas quidditative contingency (al-imka-n al-ma-hu-wi-) menuntun kita kepada jenis baru kontingen (imkan), yang disebut sebagai contingency of impoverishment (al-imka-n al-faqri-). Imkan semacam ini menyediakan lahan bagi terciptanya burhan yang lebih superior dalam membuktikan keberadaan Wujud Wajib.
Kesetaraan relasi antara ada dan tiada, dimana keharusan tiada adalah keharusan ada dan tiada serta tiadanya tuntutan antara ada dan tiada, dan kemudian menghasilkan imkan mahuwi. Jelas bahwa hal entitas terbatas seperti ini untuk mengada memerlukan hal agent external. Ekternal agen ini yang memberikan wujud dan mengeluarkannya dari batasan ekuivalen antara ada dan tiada. Dengan kata lain, kuiditas menemukan keberadaan berkat anugrah penciptaan dari sebab eksistensialnya.
Oleh karena itu, harus diajukan pertanyaan, "Dengan perantara apa kuiditas tersebut menemukan preferensi [untuk memilih antara ada dan tiada]? Jawabannya adalah, "Dengan perantara wujud yang ia dapatkan dari sebab pelaku (efficient cause). Namun, pertanyaan ini dapat dipindahkan dari kuiditas kepada wujud, dengan mengajukan, bagaimana sebuah wujud, yang bukan merupakan qâim bi dzatihi (swa-maujud, self-subsistent), mewujud dan apa alasan kebutuhannya terhadap sebab pelaku (illat faili, efficient cause). Jawaban pertanyaan ini harus dikaji sedemikian bahwa, relasi wujud ini tidak dapat menjadi ekuivalen antara ada dan tiada, lantaran keniscayaan tsubutnya (tetapnya) sesuatu atas dirinya, keberadaan bagi dirinya adalah sesuatu yang mesti dan ketiadaan menjadi sesuatu yang tercegah (mumtani'), maka keberadaan maujud-maujud imkan, tidak memiliki atribut imkan mahuwi yaitu kesetaraan relasi antara ada dan tiada. Dan dari sisi yang lain, lantaran keterbatasannya, kontingen-kontingen tersebut tidak memiliki kemestian azali (eternal necessity, al-dharu-ra al-azaliyya), dan keberadaannya terbatas pada kondisi-kondisi tertentu yang ada hanya pada level tertentu dari hakikat gradasi bagi wujud (al-haqi-qah al-musyakkikah lil-wuju-d).[3]
Kondisional dan terbatasnya keberadaan kontingen-kontingen (mumkina-t) menunjukkan kenisbian, kebutuhan dan kebergantungannya, yang hanya dapat terpenuhi dalam keadaan-keadaan tertentu. Tidak seperti bilangan genap bagi angka empat, kebutuhan dan kebergantungannya bukan sebuah atribut atau aksiden yang dapat menjadi tambahan bagi wujud-wujud terbatas, lantaran apabila kebutuhan dan hajat ini merupakan tambahan bagi dzat, keberadaan sesuatu yang merupakan realitas atau hakikat itu sendiri, maka akan lepas dari kebutuhan dan hajat terhadap dzat atau esensinya.
Karena realitas senantiasa berkesesuaian dengan dua sisi kontradiksi, absen dari hajat dalam keterbatasan eksistensi, kebalikannya yaitu, kaya dari kebutuhan dan mandiri, yang berbalikan dengan kenyataan bahwa eksistensi yang terbatas dan kondisional adalah berhajat dan bergantung (kontingen).
Wujud bukanlah sebuah fenomena mental sebagaimana kuiditas sehingga dalam tinjauan mental (dzhin) hanya esensi (dzat) dan esensial-esensial yang menjadi perhatian. Dan hal-hal yang lain, kendati pada dua sisi yang kontradiktif, adalah keluar dari batasannya. Misalnya, ada dan tiada adalah dua hal yang kontradiksi, dimana keduanya tidak berada pada batasan kuiditas, misalnya manusia dan lainnya. Akan tetapi wujud merupakan realitas itu sendiri dan faktual bagi keberadaan dan terealisirnya sesuatu; dan dunia ektrenal tidak pernah kosong dari dua sisi kontradiksi tersebut. Atas alasan ini, hajat, kebutuhan dan kebergantungan, yang telah terbukti bagi kontingen-kontingen adalah dzatnya itu sendiri dan bukan kemestian dzatnya.
Kebutuhan dan imkân mahuwi kendati merupakan kemestian esensial kuiditas akan tetapi ia keluar dari dzat (esensi) dan bagian-bagian esensi, yaitu makna kontingen, maka genus dan differensia bukanlah kuiditas. Akan tetapi kebutuhan dan hajat bagi wujud-wujud akibat menjadi terbukti merupakan dzat itu sendiri yang bermakna identitas (huwiyyah) dan realitasnya(wâqi'iyyah), bukan dzat yang bermakna kuiditas dan senada dengan hajat, dan kebutuhan tersebut jenis lain dari imkân, dan bukan merupakan tambahan atas esensi akibat serta jenis yang akan ditetapkan. Dan jenis imkan yang merupakan kebutuhan dan hajat yang berkaitan dengannya adalah dzat mumkin tersebut dan berhajat ini disebut sebagai imkan faqri.
Imkân faqrî adalah identik kebutuhan dan kefakiran itu sendiri dimana ia memiliki tempat pada dzat akibat (ma'lul) dan lantaran dzat akibat tatkala ia melihat keberadaan dan eksistensi, tidak ada sesuatu selain wujud dan keberadaan wujud baginya adalah niscaya (dharuri), oleh karena itu imkan faqri berbeda dengan imkân mahuwi, ia tidak menuntut penafian kemestian dua sisi ada dan tiada melainkan kemestian wujud itu sendiri.
Dengan demikian, dengan menganalisa kuiditas dan imkan mahuwi, keberadaan dan kemestian akan terbukti bahwa ia pada hakikatnya adalah murni hajat, bergantung dan kefaqiran itu sendiri, dan dirinya bersandar dan menempel pada yang lain, bukan yang dimestikan adanya kebutuhan dan adanya hajat merupakan kemestian, serta terkemudian datangnya.
Dalam analisa rasional terhadap realitas eksternal, pertama-tama kita melihat kuiditasnya dan kemudian keberadaan dan realitasnya. Lalu melalui komparasi antara kuiditas dan wujud, kita memahami kebutuhan dan imkan kuiditas dan kita menemukan bahwa kuiditas merupakan sesuatu yang memiliki kebutuhan dan memiliki atribut imkan. Akan tetapi karena kita melihat wujud dimana kuiditas mengada berdasarkan atribut realitas yang melekat padanya maka kita melihat keterbatasan dan ketergantungan wujud tersebut, kita memahami kebutuhan dan hajat yang mengaksiden bukan pada esensi kebutuhan dan kontingen, tetapi pada esensi kebutuhan dan kebergantungan itu sendiri dan atas alasan ini jenis kontingen ini yang merupakan kefaqiran dan kebutuhan itu sendiri disebut sebagai al-imkân al-faqrî.
Kehakikian wujud dan (ashâlah al-wujûd) dan terpersepsi mentalnya kuiditas (i?tibâriyyah al-mâhiyyah ) merupakan realitas yang memfasilitasi transisi dari kuiditas dan imkan mahuwi ke wujud dan imkan faqri. Lantaran berdasarkan prinsip kehakikian wujud, kuiditas tidak memiliki kapasitas untuk menjadi subyek terhadap kreasi (ja?l), emanasi (ifâdhah), kesebaban (?illiyyah), dan sebagainya; dan tidak dapat mengada kecuali di bawah naungan wujud. Keberadaan, ketiadaan, kemandirian, kefaqiran dan semacamnya tidak berada pada cakupan esensi (dzat) dan esensial-esensial (dzâtiyyât) kuditas dan kuiditas sekali-kali tidak mengambil manfaat darinya untuk merealitas. Melainkan, merupakan kebutuhan dan kefaqiran terhadap wujud yang dapat diabstraksikan dari batasan-batasan kuiditas. Dan wujud faqir ini, berhajat terhadap esensinya, dan untuk membuktikan keberhajatannya ia tidak memerlukan sebab dan illat lain yang keluar dari dzatnya. Akan tetapi kuiditas sebagaimana dzatnya hampa dan kosong dari keberadaan dan ketiadaan dan hanya di bawah naungan keberadaan ia menemukan sebuah manifestasi ikutan (an auxiliary manifestation, al-burûz al-taba?î), demikian juga, kosong dari kefaqiran dan kemandirian. Dan selain dari mengikuti wujud dan keberadaan ia tidak memiliki atribut kefakiran dan kebutuhan.
Oleh karena itu, apa yang disebutkan ihwal alasan kebutuhan dan adanya hajat kuiditas kurang tepat juga dan terbuka bagi ruang kritikan baginya.
Filosof Peripatetik berpandangan bahwa untuk mewujudnya sebuah kuiditas ia membutuhkan sebab dan sebab kebutuhan kuiditas ini adalah kontingen (imkan). Betapapun, pandangan ini rawan kritikan, dan sebuah kritikan juga dilontarkan terhadap postulasi kaum teolog yang beranggapan bahwa huduts-lah yang merupakan alasan sebuah akibat memerlukan sebab. Padahal huduts merupakan akibat dari atribut wujud.
Dalam analisis rasional, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, huduts adalah mutakhir beberapa derajat dari kebutuhan dan hajat akibat kepada sebab, demikian juga halnya imkân mahuwi yang merupakan anteseden dan hal yang mutakhir dari kuiditas dan keharusannya, berdasarkan prinsip kehakikian wujud (ashâlah al-wujud) dan sebagai hasil presedennya wujud atas kuiditas, antesedennya kuiditas atas wujud.
Lantaran setelah ijad (kreasi) dan ijad setelah ijab (necessitation), dan ijab mengikut hajat dan kebutuhan. Imkan mahuwi adalah posterior (terbelakang) beberapa derajat setelah hajat dan kebutuhan. Dan apabila imkan yang terbelakang (posterior) ini adalah sebab hajat dan kebutuhan juga, dengan menjaga tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya, maka ia beberapa derajat terkemudian (prioritas) atasnya dan demikian juga akan terbelakang darinya.
Oleh karena itu, berdasarkan prinsip kehakikan wujud (ashalah al-wujud) imkan mahuwi kendati dapat sebagaimana huduts menjadi tanda dan lambang kebutuhan akibat terhadap sebab akan tetapi bukan merupakan sebab dan ukuran kebutuhan akibat terhadap sebab.
Lantaran kuiditas juga, dengan analisis tajam, hampa dari dua sisi kefakiran dan kemandirian dan hampa dari ada dan tiada.
Dengan menjelaskan imkân faqrî menjadi jelas bahwa wujud, ijad, wujub, ijab dan hajat bukan merupakan hal yang berbeda dan keniscayaan antara satu dengan yang lain, melainkan wujud akibat merupakan entitas tunggal yang faqir, membutuhkan dan berhajat kepada yang lain dan merupakan emanasi, kreasi dan ijab itu sendiri. Dan karena wujudnya tidak lain merupakan wujud yang fakir dan keberadaannya adalah mengaksiden dan berhubungan dengan yang lain maka keniscayaan dan wujubnya bersandar kepada yang lain.
Kehadiran fakir dalam tataran wujud yang selaras dengan kuiditas –atau lebih spesifik, batasan-batasan wujud yang menarasikan kuiditas- menegasikan segala jenis kemandirian darinya dan mengilustrasikan realitasnya sebagai makna-makna preposisional (al-ma?ânî al-harfiyyah) yang tidak lain kecuali relasi dan kebergantungan terhadap yang lain.
Sebuah huruf preposisional merupakan sebuah huruf yang tak memiliki makna apapun. Jika makna dapat dilihat dari sebuah huruf preposisional hal itu adalah berkat naungan kebergantungan dan relasinya terhadap yang lain, dan dari yang lain dimana preposisi itu bergantung. Dan Yang memberikan anugrah makna terhadap sebuah preposisi haruslah nomina (al-ma?na al-ismî).
Analisis hakikat eksistensi kuiditas yang memiliki imkan mahuwi, menjelaskan imkan faqri dan wujud-wujud yang berhubungan dengan kuiditas secara kuat dan cepat, dan menuntun ke jalan membangun sebuah argumen dan burhan yang lebih dapat dipertahankan, tangkas, lebih luas jangkauan aplikasinya ketimbang yang dicakup oleh argumen-argumen sebelumnya.
Hal ini dikarenakan realitas dan wujud dirinya yang hampa makna dan dengan ungkapan yang lebih jelas hampa diri, dan merupakan keberhubungan itu sendiri dan bertaut serta bergantung kepada yang lain.
Tentu saja, hakikatnya tidak lain kecuali kebergantungan dan keberhubungan terhadap yang lain. Tanpa yang lain yang memberi hubungan maka ia tidak akan mewujud. Akan tetapi, yang lain yang merupakan wujud yang fakir yaitu yang menyediakan lahan untuk mewujudnya wujud-wujud imkan maka ia sekali-kali tidak menjadi wujud dan realitas yang fakir. lantaran setiap wujud preposisional dipandang tidak memiliki sesuatu yang lain melainkan ketiadaan konsepsi baginya esensi, sampai terpenuhi hajat urusan yang ia tidak miliki selain kefakiran.
Dari perspektif ini, seluruh wujud kontingen merupakan lambang realitas yang teragungkan dari kefakiran dan kebutuhan serta memiliki kemandirian. Kendati secara sekilas sebuah kontingen dapat terlihat sebagai sebab bagi kontingen lain, dan bahkan mediasi ini menunjukkan kausalitas dari sebuah sumber yang mandiri yang terjelmakan dalam tanda ini.
Lantaran seluruh aspek sebuah entitas, yang murni berhajat dan bergantung, adalah kebutuhan dan kebergantungan yang memunculkan yang lain, dan apa yang terefleksikan darinya adalah ibarat sebuah cahaya dari sebuah cermin.
Cahaya yang tampil dalam cermin dapat ditelusuri dari sumber sebuah bintang, yang terjelma di dalamnya, tanpa meminta invalidasi daur. Jika cermin merupakan sebuah mediasi dalam penjelmaan cahaya di dalamnya, maka ia hanya dapat merefleksikan agen cahaya; dan ia tidak dapat dianggap sebagai memiliki cahaya sendiri yang ia berikan kepada cermin selanjutnya.
Alamat (?alama-t) terdiri dari dua jenis: alamat konvensional (al-?alama-t al-e?teba-riyyah) dan alamat faktual (al-?alama-t al-haqi-qiyyah). Alamat-alamat konvensional seperti kata-kata, tulisan-tulisan, sinyal-sinyal lalu-lintas, bendera nasional beragam negara, dan sebagainya. Alamat-alamat faktual seperti gambar seseorang di hadapan cermin. Alamat-alamat faktual selanjutnya dibagi menjadi tiga macam:
· Alamat-alamat terbatas: Seperti indkasi asap yang menunjukkan adanya api, padang rumput yang luas atau rawa yang menunjukkan adanya air. Indikasi alamat-alamat semacam ini tidak bergantung pada konvensi sekelompok orang-orang tertentu, namun demikian, ketika asap atau padang rumput berganti, "perlambang"nya dan indikasinya yang menunjukkan api dan air juga berganti.
· Alamat-alamat permanen: Jenis alamat semacam ini berkaitan dengan yang indikasinya tidak terbatas pada masa tertentu, seperti angka empat merupakan bilangan genap yang selalu bersama dengan realitas yang dibubuhi alamat.
· Alamat-alamat esensial: Artinya menjadi alamat bukan merupakan atribut niscaya dan bahkan ia identik dengan dzat dan realitas sesuatu, dan perbedaannya dengan alamat-alamat sebelumnya terletak pada menjadi alamat dan tanda bagi alamat-alamat sebelumnya merupakan atribut niscaya pada derajat esensi, dan pada realitas dirinya sendiri tidak mengindikasikan dan menandakan sesuatu yang lain dan mandiri darinya, akan tetapi pada bagian akhir (alamat akhir), untuk sesuatu yang diasumsikan sebagai esensi tidak lain kecuali sekedar menunjukkan dan mengisahkan.
Imej-imej, yang terpampang pada sebuah cermin merupakan cermin karena esensinya. Lantaran imej yang terilustrasikan pada cemin – dalam terminologi Irfan cermin tidak lain kecuali imej tersebut – bukan kaca, frame, panjangnya, lebar, kedalaman, cahaya, warna, angle, dan sebagainya. Akan tetapi, cermin merupakan narasi, indikasi, dan relasi yang memiliki nisbah kepada imej yang hakiki. Dan adapun kaca dan bagian-bagian fisik lainnya yang merupakan cermin pada urf masyarakat, bukan cermin pada urf irfan yang fokus pada hati.
Imkan faqri menguraikan "realitas dan wujud cermin yang terjelmakan dan muncul dalam imej beragam dari kuiditas. Metode analisis "keakibatan" (ma?lu-liyyah) memajangkan dunia sebagai yang dipersepsikankan oleh ahli makrifat; sebagai tajalliyat Tuhan yang beragam, yang menghasilkan benda-benda yang berbeda, usia dan masa.
Dan persepsi semacam ini terinspirasi dari ajaran-ajaran Qur'an dimana tujuh petala langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya adalah diidentifikasi sebagai pengemis, membutuhkan dan mengenal Tuhan sebagai realitas dimana seluruh gradasi eksistensi merupakan jelmaan dan manifestasi keagungan-Nya yang nir-batas. "Seluruh apa yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya…"(Qs. Ar-Rahman [55]:29)
Tingkatan beragam wujud merupakan dimensi dan roman serta paras beragam Ilahi yang hal tersebut adalah wajhulLah dan dalam redaksi al-Qur'an disebut sebagai "Dan tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Qs. ar-Rahman [55];27) dan itulah simbol kenirbatasan Tuhan yang hadir di segala ruang dan tempat (omnipresence); "Dan Dia bersamamu dimana pun engkau berada." (Qs. al-Hadid [57]:4) dengan demikian roman dan paras tersebut ada di seantero penjuru entitas "Kemanapun engkau hadapkan dirimu engkau mendapati wajah Allah." (Qs. al-Baqarah [2]:115).
Analisis rasional mengilustrasikan dunia sebagai sebuah cermin yang di dalamnya wujud-wujud terefleksikan dalam bentuk beragam jelmaan Tuhan. Kendati seseorang, yang tidak memperhatikan pada "mirror-like" (serupa cermin) realitasnya dan eksistensi figuratifnya, menganggapnya sebagai mandiri; namun demikian tatkala cermin tersebut retak dan pecah dan realitas tersingkap, paras Ilahi pada setiap entitas akan memanifestasi.
Dan tatkala ditanya, "Siapakah Penguasa hari ini?" (Qs. Ghafir [23]:16) dalam jawaban atas pertanyaan ini, yang bergema dalam realitas setiap ruang dan waktu terdengar, "Tuhan, Esa dan Perkasa." (Qs. Ghafir [23]:16) artinya kerajaan khusus dimiliki oleh Tuhan yang Esa dan Perkasa.
Tuhan, Esa dan Perkasa merupakan realitas yang tak bergantung dan tak membutuhkan yang memuaskan dan melepaskan harapan dan asa tak henti orang dan benda yang membutuhkan. Perbuatan-Nya yang memuaskan dan memenuhi hajat bukanlah sekedar fashion, yang akan menghilangkan hajat dan permohonan orang-orang yang fakir, karena hajat dan kebergantungan hadir dalam sebuah jawaban yang diterima dari-Nya, kebergantungan tidak mengosongkan setiap dimensi kontingen-kontingen.
Atas dasar ini, Almarhum Agha Ali Hakim dalam Badâ’i? al-Hikam, mengisyaratkan oposisi (taqâbul) kebergantungan dan hajat seluruh kontingen kepada kemandirian Wajib sebagai sebuah oposisi afirmasi dan negasi (taqâbul al-salb wa al-eijâb) dan bukan sebuah oposisi privasi dan posesi (taqâbul malâkah wa 'adam wa al-malaka).[4]
Dalam oposisi privasi dan posesi, ketiadaan adalah hampa dari wujud, dan realitas sebagai titik berseberangan darinya, tidak lain, merupakan individual, kelas, macam, atau jenis , yang dapat memiliki sisi berseberangan.
Namun demikian, wujud yang terbatas merupakan sebuah realitas fakir; dan kefakiran ini semakin ia bersyukur kepada Sang Wajib semakin larut dalam kefakiran. Seterusnya dalam keadaan dan kondisi apapun kontingen dapat meraih kapasitas meraih kemandirian, yang merupakan sebuah atribut atau gelar ekslusif bagi Sang Wajib.
Dengan kata lain, Tuhan merupakan dzat yang mandiri dan segala sesuatu selainnya adalah bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dan oposisi antara kemandirian-Nya dan kebergantungan ini bukanlah oposisi antara privasi dan posesi (taqâbul malâkah wa adamul malâkah) lantaran dengan menimbang individual, kelas, macam, atau genus, tidak ada satu pun wujud terbatas dapat memiliki kemandirian wujub atau mutlak. Oleh karena itu, afirmasi sisi berseberangan, adalah mustahil bagi wujud-wujud terbatas; dan oposisi antara keduanya merupakan oposisi afirmasi dan negasi, bukan oposisi privasi dan posesi.
Hadirnya kefakiran dan kemiskinan pada setiap dimensi kontingen-kontingen memberikan indikasi dan narasi yang mereka punyai dalam hubungannya dengan Dzat Serba Tercukupi dan Mandiri, dan juga kognisi dan kesadaran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan merupakan jelmaan dan manifestasi Dzat tersebut. Inilah makna dari ungkapan agung: "Wahai yang menunjukkan Dzat-Nya dengan Dzat-Nya."[5]
Burhân Imkân Faqrî "contingency of impoverishment", sesuai dengan versi yang diutarakan dalam makalah ini, sebagai tambahan atas kemurniannya dari kekurangan di antara argumen-argumen dalam membuktikan wujud Tuhan. Dengan demikian burhan ini unggul dan unik dengan memiliki seabrek dan selaksa keistimewaan tipikal.
Lantaran burhan huduts dan gerak, bahkan dengan asumsi ia terpenuhi dengan gerakan substansial (harakah al-jauhariyah) dalam dunia fisik , ia hanya memiliki alur dalam domain dunia materi dan hanya menunjukkan pada sebuah sumber non-materi untuk maujud-maujud materi.
Demikian juga burhan keteraturan, dengan asumsi keseluruhannya, kendati tidak terkhusus pada maujud materi dan bergerak dan maujud non-materi juga termasuk di dalamnya, akan tetapi dalam bentuk majemuk struktur dan tujuan yang satu… dapat dikonstruksi. Sementara burhân imkân faqrî tidak terikat dan tersyaratkan dengan maujud-maujud fisikal dan dapat dibangun dengan menggunakan wujud-wujud non-fisikal. Muatan burhan keteraturan, membuktikan penggerak, muhdith atau penata kosmos (cosmic designer) dan bukan sifat-sifat yang common Wajib dan selainnya; sebaliknya, burhân imkân faqri secara langsung membuktikan sumber Wajib.
Burhân al-Imkân al-Faqrî terbebas dari sebagian kekurangan-kekurangan yang terdapat pada imkân mahuwi. Kekurangan hajat pada kemustahilan daur dan tasalsul lebih jelas terlihat pada burhân imkân mahuwi. Dengan membangun burhân al-imkân al-faqri, pertama, Wajib dapat dibuktikan, dan kemudian, keterbatasan rangkaian mediasi yang menunjukkan sababiyyah dan illiyah (kausalitas) mutlak wajib dapat dibuktikan.
Burhan yang bersandar pada imkan mahuwi yang merupakan inovasi filosof Islam yang dapat dijumpai dari karya-karya filosof Peripatetik, tanpa premis-premis rasional yang jelimet, dan filosof Skolastik serta kemudian melalui terjemahan-terjemahan non akurat, memasuki akademi, dan menerima ajaran-ajaran filsafat melalui channel tersebut; namun demikian, burhân al-imkân al-faqrî, yang merupakan hasil kognitif teosof Imamiyah dan telah menjadi kurikulum pelajaran-pelajaran filsafat Syiah selama berabad-abad, disuguhi dengan kegemaran dan keantusiasan di kediamannya yang asli.
Mental orang-orang yang putus asa pseudo filosof Barat (mutafalsafin) dan sejarawan filsafat- yang goyah di bawah sensasionalisme telah meninggalkan rasionalitas dan tunduk oleh Skeptisisme basith dan murakkab tidak berhasil mendapatkan keuntungan dari burhan ini.[]
[1]. Al-Majlisî, Muhammad Bâqir, Bihâr al-Anwâr. (Tehran: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, vol. 71, 23.
[2] . Kant menyebut wujud semacam ini sebagai preposisi-preposisi keliru dan berkata bahwa ketika wujud kita letakkan pada predikat sebuah proposisi maka nilai subyek tidak akan bertambah sedikitpun. Mulla Shadra yang hidup dua abad sebelumnya, telah memberi jawaban atas isykalan ini. Ia berkata: "Wujud dalam proposisi semacam ini (masyhur sebagai haliyah al-bashithah) adalah yang membentuk subyek, dan ia menunjukkan keberadaan subyek, bukan keberadaan predikat atas subyek.
[3]. Gradasi wujud (tasyki-k al-wuju-d): Setelah disepakati bahwa di dunia luar terdapat realitas dan hakikat dan bahwa dunia bukan sekedar fantasi, kita akan ketahui bahwa realitas atau hakikat tersebut mencakup banyak sekali objek yang berbeda, seperti pepohonan, lautan, galaksi dan sebagainya. Kita kaji bahwa apakah keragaman ini, yang dicerap oleh pikiran di dunia luar, riil atau sekedar fantasi, hal ini akan menjadi investigasi multplisitas dan unitas dari realitas. Jika dua hal berbeda satu dengan yang lain, perbedaannya adalah salah satu dari empat jalan di bawah ini:
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan seluruh esensinya (tama-m al-dzawa-t) dan tidak memiliki sesuatu yang common (sama), seperti perbedaan yang terdapat di antara kategori-kategori Aristotelian.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran differensia-differensia (fusu-l) yang mereka miliki. Perbedaan semacam ini adalah ekskulif pada kuiditas-kuiditas yang terdiri dari genus (jins) dan differensia (fashl) dan kategori-kategori yang berada pada genus yang sama, seperti pada kuda dan domba.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran aksiden-aksiden individual, namun keduanya bersama pada spesies atau macam yang sama – seperti dua orang manusia.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran persamaan yang mereka miliki (ma- bihi al-isytara-k).
Jalan terakhir dari perbedaan yang terdapat pada poin-poin di atas diintrodusir oleh Syaikh al-Ishra-q al-Suhrawardi-. Ia beranggapan bahwa perbedaan dari perbedaan jenis cahaya yang ada di alam semesta adalah bukan dari sesuatu eksternal kepada esensi cahaya, lantaran ia percaya bahwa cahaya itu adalah tipis dan "tidak terkombinasi". Sebaliknya, mereka berbeda dari satu dengan yang lainnya lantaran persamaan yang mereka miliki secara bersama (in common, musytarak), dan perbedaannya adalah pada kuat dan lemahnya hakikat mereka. Ia beralasan bahwa karena kegelapan adalah sebuah fenomena ketiadaaan, seseorang tidak dapat beralasan bahwa cahaya lemah berbeda dengan cahaya kuat karena cahaya lemah memiliki kegelapan di dalamnya.
Dari posisi kehakikian kuiditas (ashalah al-mahiyyah), jawaban terhadap pertanyaan multiplisitas dan unitas dari realitas adalah jelas; yaitu, realitas adalah tidak lain kecuali keragaman kuiditas-kuiditas. Namun, dari perspektif Hikmah Muta'aliyah (Transcendent Wisdom), kehakikian wujud (ashâlah al-wujud, principality of existence), realitas tidak lain kecuali wujud, dan kuiditas-kuiditas merupakan reifikasi benak dari batasan-batasan keragaman wujud-wujud. Selanjutnya, apa yang membuat dua hal berbeda dari satu dengan yang lainnya bukanlah sesuatu eksternal dari realitas eksistensi, karena tidak ada sesuatu kecuali keberadaan, dan lantaran keberadaan itu simpel, yaitu wujud atau keberadaan itu bukan rangkapan, jika dua wujud atau keberadaan berbeda, perbedaan mereka adalah karena kuat dan lemahnya realitas eksistensinya. Perbedaan semacam ini disebut sebagai al-ikhtilâf al-tasykîkî lil wujûd (perbedaan gradasi pada wujud).
[4] Haki-m, A-gha- Ali. Bada-’i? al-Hikam. (Tehran: lithographed print), 39.
[5] Al-Qummi-, Shaykh ?Abba-s. Mafa-ti-h al-Jina-n. Doa Sahar.
Kehidupan manusia dibangun atas iman dan keyakinan. Sentral ajaran seluruh keyakinan agama-agama adalah iman dan yakin akan adanya Sang Pencipta. Kegagalan dalam memahami fondasi-fondasi konseptual dan pembenaran (al-maba-di- al-tasawuriyyah wa al-tasdi-qiyyah) masalah ketuhanan dapat menimbulkan keraguan dan kesangsian terhadap keyakinan kepada Tuhan. Jalan terbaik untuk sampai kepada Tuhan, yang Wujud-Nya adalah lebih jelas dan nyata dari segala hal dan kehadiran-Nya lebih dekat kepada segala sesuatu serta melebihi segala sesuatu, adalah dengan membersihkan alur pengetahuan dari orang-orang yang buta oleh ego dan ananiyah.
Kegaiban Tuhan adalah dikarenakan oleh kuatnya intensitas manifestasi-Nya dan kejauhan-Nya adalah lantaran hebatnya kedekatan-Nya. Jika jelmaan sebuah entitas lebih nyata dari pengetahuan, gagasan, dan ilmu, dan apabila jelmaan entitas sedemikian dekat bahkan lebih dekat dari diri mereka sendiri, maka jelmaan dan manifestasi semacam ini meniscayakan invisibilitas (kegaiban), dan hebatnya kedekatan ini menyebabkan kejauhan.
Kegaiban dan kejauhan ini adalah bagaimanapun merata pada setiap mata yang terhijabi; lantaran seseorang yang melihat dirinya, tidak dapat melihat Tuhan. Namun, dengan berjuang melawan godaan ego dan terbebas dari arogansi dan kecongkakan, ketidakmampuan ini dapat diubah menjadi kemampuan, dan kemudian mencapai proporsi kapasitas ontologikal (si?a al-wuju-diyyah), dimana ia dapat melihat Tuhan. Dan dengan mengakui, “Kami tidak mengenal-Mu dengan sebenar-benarnya pengenalan.”[1] Ia dapat membersihkan makrifat kepada-Nya menjadi sempurna. Di antara seabrek argumen dan burhan dalam menetapkan wujud Sang Pencipta, terdapat satu burhan yang pure inovasi dari filosof Islam yang mengusung jargon "Qur'an, Burhan dan Irfan." Dengan mengambil inspirasi dari ketiganya, sebuah burhan yang sama sekali baru, setelah filosof-filosof Peripatetik, lahir dari rahim filosof ini. Dan burhan itu adalah burhân imkân al-faqrî.
Selayang Pandang Argumen Imkân Faqrî
Burha-n al-imka-n al-faqri- merupakan sebuah inovasi cerdas pendiri Filsafat Hikmah "Transcendent Wisdom" , Sadr al-Muta’allihi-n al-Shira-zi-. Bersandar pada prinsip kehakikian wujud (ashalah al-wujud) "principality of existence", Sadr al-Muta’allihi-n memindahkan kontingen dari kuiditas kepada wujud, dan hal ini menuntun kepada konstruksi argumen baru bagi wujud Wajib. Bentuk logis burhan ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Terdapat sebuah realitas "realita .
2. Terdapat setidaknya satu entitas terbatas.
3. Wujudlah yang hakiki.
4. Atribut-atribut wujud adalah identik dengan realitas wujud, lantaran apabila terdapat sesuatu selain wujud dan addisional terhadapnya, maka hal itu berarti bahwa ada sesuatu selain eksistensi yang memiliki aktualitas dan akan berbeda dengan premis sebelumnya yang menegaskan kehakikian wujud (ashâlah al-wujud).
5. Keterbatasan dan kontingen merupakan entitas yang disebutkan pada premis kedua adalah sangat memiliki kondisi yang terbatas (finitude) dan bergantung serta berhajat kepada sebab eksternal yang menghasilkannya, sebagai kebalikan dari wujud, ia (kontingen) merupakan sebuah esensi yang dikarakterkan oleh sebuah kondisi yang terbatas (finitude) dan kontingensi.
Kehadiran sesuatu yang sangat bergantung dan berhajat kepada sebab eksternal, adalah mustahil tanpa adanya sebuah realitas yang terbebas dari kontingensi dan kebergantungan.
Pembagian Wujud
Salah satu natijah kaidah kehakikian wujud (asalah al-wujud) adalah pembagian akurat yang dilakukan oleh Mulla Shadra untuk wujud. Dan pembagian tersebut terbagi menjadi tiga bagian:
1. Wujud, maujud bagi dirinya dan swa-maujud (qâim bi nafsihi) bagi dirinya (yang disebut sebagai wujud nafsi atau wujud mahmuli [predikat])[2]
2. Wujud, maujud untuk sesuatu yang lain seperti wujud ajektif-ajektif dan aksiden-aksiden (semisal warna putih bagi kertas); lantaran kendati misalnya warna putih kita asumsikan sebagai wujud yang mandiri akan tetapi keberadaan warna putih tidak akan mewujud dan mengada kecuali pada kertas dan predikat (mahmul) serta ajektif bagi kertas (berbeda dengan jenis pertama [wujud] adalah subyek dan keberadaannya adalah berkenaan dengan dirinya sendiri).
3. Wujud yang ditemukan dalam relasi dan hubungan antara subyek dan predikat (yang dalam bahasa Indonesia ditunjukkan sebagai [adalah] dan dalam bahasa Inggris [is]. Wujud ini tidak secuil pun memiliki kemandirian pada dirinya dan bahkan tidak dapat diasumsikan secara mandiri sendiri, seperti aksiden-aksiden dan ajektif-ajektif, dalam benak. Wujud semacam ini tidak lain kecuali hubungan dengan subyek (wujud asil) dan ia tidak memiliki saham keberadaan atas dirinya sendiri.
Dalam filsafat Islam wujud bagian pertama dan bagian kedua disebut sebagai "makna nomina" yaitu memiliki kemandirian pada benak dan wujud bagian ketiga disebut sebagai "makna preposisional (al-ma'na al-harf)" karena huruf preposisional dan huruf addisional dengan sendirinya tidak memiliki makna.
Mulla Shadra dengan kejelian yang tinggi menggiring pembahasan ini kepada pembahasan illah (sebab) dan ma'lul (akibat). Ia berkata bahwa imkan (kontingen), memiliki dua domain: Pertama, imkan dalam domain kuiditas-kuiditas (al-mahiyyât) dimana para filosof meletakkannya di samping domain wujub dan imtina' dan dalam ilmu Logika disebut sebagai muwajjihat (modality). Dan imkan dalam domain maujud-maujud eksternal. Relasi antara sebab (illah) dan akibat (ma'lul) senantiasa merupakan relasi pemberian wujud dari sebab ke akibat. Sebab, yang hakiki adalah "sebab" dimana senantiasa menjadi pemberi wujud; oleh karena itu keberadaan akibat selalu memerlukan dan bergantung kepada sebuah wujud sebab yang memberikan wujud kepadanya (sebagaimana wujud merupakan sebuah bentuk teknis dalam benak Anda yang bergantung kepada perhatian kreatif Anda dan apabila perhatian Anda berpaling kepada yang lain maka bentuk teknis tersebut juga akan tiada).
Oleh karena itu, tidaklah demikian maujud-maujud eksternal dimana ia merupakan akibat dari Tuhan – dan Dia (Tuhan) adalah wujud murni dan hakiki dan sebab sempurna dan sebab hakiki atas segala eksistensi – dan (mereka tidaklah) mandiri dari wujud itu sendiri (sebagaimana kita menerima hal ini pada ajektif-ajektif dan aksiden-aksiden), melainkan relasi antara seluruh eksistensi dan wâjib al-wujud, merupakan jenis "rabt mahdh" (murni relasi) dan kita melihat bahwa wujud râbith (wujud relasional) pada seluruh detik dan menit, faqir dan memerlukan wujud subyek (subyek dalam preposisi) dan tidak memiliki sesuatu apa pun dari dirinya.
Mulla Shadra menganggap relasi keakibatan (ma'lulât) semacam ini (yaitu seluruh maujud) merupakan jenis kontingen (mumkin) akan tetapi ia berada dalam tipologi domain ontologi dan menyebutnya sebagai imkân faqrî. Dan alih-alih menyebutnya sebagai sebab dan akibat – yang menunjukkan jenis dikotomi dan menjatuhkan benak dalam lubang kesalahan dimana akibat juga merupakan wujud mandiri di hadapan sebab – ia menggunakan terminologi imkân faqrî..
Dalam perspektif ini, seluruh maujud mumkin, dirinya sendiri adalah faqr dan tidak hanya pada kaidah pengadaan wujud mereka butuh terhadap sebab, akan tetapi pada tinggalnya dirinya juga secara permanen memerlukan sebab.
Pandangan jeluk filosofis terhadap sebab dan akibat ini, yang disampaikan pada berbagai tempat dalam kitab Al-Asfar dengan penalaran filosofis merupakan salah satu tipologi filsafat Mulla Shadra. Harus diketahui bahwa imkân faqrî – berbeda dengan imkân mantiqî– bukan hanya bersebelahan dengan keniscayaan dan wujud tapi ia adalah dirinya sendiri dan asumsinya bergantung kepada asumsi wujud dan hubungan wujud.
Sebuah Pandangan Gnostikal
Imkân faqrî adalah sebuah pandangan gnostikal (irfani) yang dimasukkan oleh Mulla Shadra ke dalam domain filsafat dan memberik corak filsafat atasnya. Dalam perspektif irfan Islam, hanya Tuhanlah yang memiliki kelayakan untuk disebut sebagai wujud, dan sumber wujud. Dan alam semesta serta seluruh eksistensi, semuanya merupakan manifestasi-manisfestasi dan jelmaan-jelmaan wujud-Nya. Mulla Shadra membawa ungkapan ini dalam kerangka sebab dan akibat dan berkata, sebab senantiasa asl (hakiki) dan akibat, lantaran hajatnya kepada sebab dalam menerima wujud dan bukan hal yang lain, oleh karena itu, ia tiada tanpa sebab. Akibat merupakan turunan sebab dan merupakan jelmaan darinya.
Problem keharusan keselarasan (sinkhiyyat) maujud-maujud dan mumkin-mumkin dengan wajib al-wujud dan ma'lulat (keakibatan) dengan sebabnya juga akan menjadi jelas dengan penalaran ini. Harus diketahui bahwa sebab dalam pembahasan ini adalah sebab sempurna dan paripurna.
Transisi dari Imkân Mâhuwi ke Imkân Faqri-
Pengkajian teliti atas quidditative contingency (al-imka-n al-ma-hu-wi-) menuntun kita kepada jenis baru kontingen (imkan), yang disebut sebagai contingency of impoverishment (al-imka-n al-faqri-). Imkan semacam ini menyediakan lahan bagi terciptanya burhan yang lebih superior dalam membuktikan keberadaan Wujud Wajib.
Kesetaraan relasi antara ada dan tiada, dimana keharusan tiada adalah keharusan ada dan tiada serta tiadanya tuntutan antara ada dan tiada, dan kemudian menghasilkan imkan mahuwi. Jelas bahwa hal entitas terbatas seperti ini untuk mengada memerlukan hal agent external. Ekternal agen ini yang memberikan wujud dan mengeluarkannya dari batasan ekuivalen antara ada dan tiada. Dengan kata lain, kuiditas menemukan keberadaan berkat anugrah penciptaan dari sebab eksistensialnya.
Oleh karena itu, harus diajukan pertanyaan, "Dengan perantara apa kuiditas tersebut menemukan preferensi [untuk memilih antara ada dan tiada]? Jawabannya adalah, "Dengan perantara wujud yang ia dapatkan dari sebab pelaku (efficient cause). Namun, pertanyaan ini dapat dipindahkan dari kuiditas kepada wujud, dengan mengajukan, bagaimana sebuah wujud, yang bukan merupakan qâim bi dzatihi (swa-maujud, self-subsistent), mewujud dan apa alasan kebutuhannya terhadap sebab pelaku (illat faili, efficient cause). Jawaban pertanyaan ini harus dikaji sedemikian bahwa, relasi wujud ini tidak dapat menjadi ekuivalen antara ada dan tiada, lantaran keniscayaan tsubutnya (tetapnya) sesuatu atas dirinya, keberadaan bagi dirinya adalah sesuatu yang mesti dan ketiadaan menjadi sesuatu yang tercegah (mumtani'), maka keberadaan maujud-maujud imkan, tidak memiliki atribut imkan mahuwi yaitu kesetaraan relasi antara ada dan tiada. Dan dari sisi yang lain, lantaran keterbatasannya, kontingen-kontingen tersebut tidak memiliki kemestian azali (eternal necessity, al-dharu-ra al-azaliyya), dan keberadaannya terbatas pada kondisi-kondisi tertentu yang ada hanya pada level tertentu dari hakikat gradasi bagi wujud (al-haqi-qah al-musyakkikah lil-wuju-d).[3]
Kondisional dan terbatasnya keberadaan kontingen-kontingen (mumkina-t) menunjukkan kenisbian, kebutuhan dan kebergantungannya, yang hanya dapat terpenuhi dalam keadaan-keadaan tertentu. Tidak seperti bilangan genap bagi angka empat, kebutuhan dan kebergantungannya bukan sebuah atribut atau aksiden yang dapat menjadi tambahan bagi wujud-wujud terbatas, lantaran apabila kebutuhan dan hajat ini merupakan tambahan bagi dzat, keberadaan sesuatu yang merupakan realitas atau hakikat itu sendiri, maka akan lepas dari kebutuhan dan hajat terhadap dzat atau esensinya.
Karena realitas senantiasa berkesesuaian dengan dua sisi kontradiksi, absen dari hajat dalam keterbatasan eksistensi, kebalikannya yaitu, kaya dari kebutuhan dan mandiri, yang berbalikan dengan kenyataan bahwa eksistensi yang terbatas dan kondisional adalah berhajat dan bergantung (kontingen).
Wujud bukanlah sebuah fenomena mental sebagaimana kuiditas sehingga dalam tinjauan mental (dzhin) hanya esensi (dzat) dan esensial-esensial yang menjadi perhatian. Dan hal-hal yang lain, kendati pada dua sisi yang kontradiktif, adalah keluar dari batasannya. Misalnya, ada dan tiada adalah dua hal yang kontradiksi, dimana keduanya tidak berada pada batasan kuiditas, misalnya manusia dan lainnya. Akan tetapi wujud merupakan realitas itu sendiri dan faktual bagi keberadaan dan terealisirnya sesuatu; dan dunia ektrenal tidak pernah kosong dari dua sisi kontradiksi tersebut. Atas alasan ini, hajat, kebutuhan dan kebergantungan, yang telah terbukti bagi kontingen-kontingen adalah dzatnya itu sendiri dan bukan kemestian dzatnya.
Apa Itu Imkân Faqrî
Kebutuhan dan imkân mahuwi kendati merupakan kemestian esensial kuiditas akan tetapi ia keluar dari dzat (esensi) dan bagian-bagian esensi, yaitu makna kontingen, maka genus dan differensia bukanlah kuiditas. Akan tetapi kebutuhan dan hajat bagi wujud-wujud akibat menjadi terbukti merupakan dzat itu sendiri yang bermakna identitas (huwiyyah) dan realitasnya(wâqi'iyyah), bukan dzat yang bermakna kuiditas dan senada dengan hajat, dan kebutuhan tersebut jenis lain dari imkân, dan bukan merupakan tambahan atas esensi akibat serta jenis yang akan ditetapkan. Dan jenis imkan yang merupakan kebutuhan dan hajat yang berkaitan dengannya adalah dzat mumkin tersebut dan berhajat ini disebut sebagai imkan faqri.
Imkân faqrî adalah identik kebutuhan dan kefakiran itu sendiri dimana ia memiliki tempat pada dzat akibat (ma'lul) dan lantaran dzat akibat tatkala ia melihat keberadaan dan eksistensi, tidak ada sesuatu selain wujud dan keberadaan wujud baginya adalah niscaya (dharuri), oleh karena itu imkan faqri berbeda dengan imkân mahuwi, ia tidak menuntut penafian kemestian dua sisi ada dan tiada melainkan kemestian wujud itu sendiri.
Dengan demikian, dengan menganalisa kuiditas dan imkan mahuwi, keberadaan dan kemestian akan terbukti bahwa ia pada hakikatnya adalah murni hajat, bergantung dan kefaqiran itu sendiri, dan dirinya bersandar dan menempel pada yang lain, bukan yang dimestikan adanya kebutuhan dan adanya hajat merupakan kemestian, serta terkemudian datangnya.
Dalam analisa rasional terhadap realitas eksternal, pertama-tama kita melihat kuiditasnya dan kemudian keberadaan dan realitasnya. Lalu melalui komparasi antara kuiditas dan wujud, kita memahami kebutuhan dan imkan kuiditas dan kita menemukan bahwa kuiditas merupakan sesuatu yang memiliki kebutuhan dan memiliki atribut imkan. Akan tetapi karena kita melihat wujud dimana kuiditas mengada berdasarkan atribut realitas yang melekat padanya maka kita melihat keterbatasan dan ketergantungan wujud tersebut, kita memahami kebutuhan dan hajat yang mengaksiden bukan pada esensi kebutuhan dan kontingen, tetapi pada esensi kebutuhan dan kebergantungan itu sendiri dan atas alasan ini jenis kontingen ini yang merupakan kefaqiran dan kebutuhan itu sendiri disebut sebagai al-imkân al-faqrî.
Kehakikian wujud dan (ashâlah al-wujûd) dan terpersepsi mentalnya kuiditas (i?tibâriyyah al-mâhiyyah ) merupakan realitas yang memfasilitasi transisi dari kuiditas dan imkan mahuwi ke wujud dan imkan faqri. Lantaran berdasarkan prinsip kehakikian wujud, kuiditas tidak memiliki kapasitas untuk menjadi subyek terhadap kreasi (ja?l), emanasi (ifâdhah), kesebaban (?illiyyah), dan sebagainya; dan tidak dapat mengada kecuali di bawah naungan wujud. Keberadaan, ketiadaan, kemandirian, kefaqiran dan semacamnya tidak berada pada cakupan esensi (dzat) dan esensial-esensial (dzâtiyyât) kuditas dan kuiditas sekali-kali tidak mengambil manfaat darinya untuk merealitas. Melainkan, merupakan kebutuhan dan kefaqiran terhadap wujud yang dapat diabstraksikan dari batasan-batasan kuiditas. Dan wujud faqir ini, berhajat terhadap esensinya, dan untuk membuktikan keberhajatannya ia tidak memerlukan sebab dan illat lain yang keluar dari dzatnya. Akan tetapi kuiditas sebagaimana dzatnya hampa dan kosong dari keberadaan dan ketiadaan dan hanya di bawah naungan keberadaan ia menemukan sebuah manifestasi ikutan (an auxiliary manifestation, al-burûz al-taba?î), demikian juga, kosong dari kefaqiran dan kemandirian. Dan selain dari mengikuti wujud dan keberadaan ia tidak memiliki atribut kefakiran dan kebutuhan.
Oleh karena itu, apa yang disebutkan ihwal alasan kebutuhan dan adanya hajat kuiditas kurang tepat juga dan terbuka bagi ruang kritikan baginya.
Huduts dan Imkân Faqrî
Filosof Peripatetik berpandangan bahwa untuk mewujudnya sebuah kuiditas ia membutuhkan sebab dan sebab kebutuhan kuiditas ini adalah kontingen (imkan). Betapapun, pandangan ini rawan kritikan, dan sebuah kritikan juga dilontarkan terhadap postulasi kaum teolog yang beranggapan bahwa huduts-lah yang merupakan alasan sebuah akibat memerlukan sebab. Padahal huduts merupakan akibat dari atribut wujud.
Dalam analisis rasional, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, huduts adalah mutakhir beberapa derajat dari kebutuhan dan hajat akibat kepada sebab, demikian juga halnya imkân mahuwi yang merupakan anteseden dan hal yang mutakhir dari kuiditas dan keharusannya, berdasarkan prinsip kehakikian wujud (ashâlah al-wujud) dan sebagai hasil presedennya wujud atas kuiditas, antesedennya kuiditas atas wujud.
Lantaran setelah ijad (kreasi) dan ijad setelah ijab (necessitation), dan ijab mengikut hajat dan kebutuhan. Imkan mahuwi adalah posterior (terbelakang) beberapa derajat setelah hajat dan kebutuhan. Dan apabila imkan yang terbelakang (posterior) ini adalah sebab hajat dan kebutuhan juga, dengan menjaga tingkatan-tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya, maka ia beberapa derajat terkemudian (prioritas) atasnya dan demikian juga akan terbelakang darinya.
Oleh karena itu, berdasarkan prinsip kehakikan wujud (ashalah al-wujud) imkan mahuwi kendati dapat sebagaimana huduts menjadi tanda dan lambang kebutuhan akibat terhadap sebab akan tetapi bukan merupakan sebab dan ukuran kebutuhan akibat terhadap sebab.
Lantaran kuiditas juga, dengan analisis tajam, hampa dari dua sisi kefakiran dan kemandirian dan hampa dari ada dan tiada.
Imkân Faqrî Mengindikasikan Kemandirian Dzati Wajib
Dengan menjelaskan imkân faqrî menjadi jelas bahwa wujud, ijad, wujub, ijab dan hajat bukan merupakan hal yang berbeda dan keniscayaan antara satu dengan yang lain, melainkan wujud akibat merupakan entitas tunggal yang faqir, membutuhkan dan berhajat kepada yang lain dan merupakan emanasi, kreasi dan ijab itu sendiri. Dan karena wujudnya tidak lain merupakan wujud yang fakir dan keberadaannya adalah mengaksiden dan berhubungan dengan yang lain maka keniscayaan dan wujubnya bersandar kepada yang lain.
Kehadiran fakir dalam tataran wujud yang selaras dengan kuiditas –atau lebih spesifik, batasan-batasan wujud yang menarasikan kuiditas- menegasikan segala jenis kemandirian darinya dan mengilustrasikan realitasnya sebagai makna-makna preposisional (al-ma?ânî al-harfiyyah) yang tidak lain kecuali relasi dan kebergantungan terhadap yang lain.
Sebuah huruf preposisional merupakan sebuah huruf yang tak memiliki makna apapun. Jika makna dapat dilihat dari sebuah huruf preposisional hal itu adalah berkat naungan kebergantungan dan relasinya terhadap yang lain, dan dari yang lain dimana preposisi itu bergantung. Dan Yang memberikan anugrah makna terhadap sebuah preposisi haruslah nomina (al-ma?na al-ismî).
Analisis hakikat eksistensi kuiditas yang memiliki imkan mahuwi, menjelaskan imkan faqri dan wujud-wujud yang berhubungan dengan kuiditas secara kuat dan cepat, dan menuntun ke jalan membangun sebuah argumen dan burhan yang lebih dapat dipertahankan, tangkas, lebih luas jangkauan aplikasinya ketimbang yang dicakup oleh argumen-argumen sebelumnya.
Hal ini dikarenakan realitas dan wujud dirinya yang hampa makna dan dengan ungkapan yang lebih jelas hampa diri, dan merupakan keberhubungan itu sendiri dan bertaut serta bergantung kepada yang lain.
Tentu saja, hakikatnya tidak lain kecuali kebergantungan dan keberhubungan terhadap yang lain. Tanpa yang lain yang memberi hubungan maka ia tidak akan mewujud. Akan tetapi, yang lain yang merupakan wujud yang fakir yaitu yang menyediakan lahan untuk mewujudnya wujud-wujud imkan maka ia sekali-kali tidak menjadi wujud dan realitas yang fakir. lantaran setiap wujud preposisional dipandang tidak memiliki sesuatu yang lain melainkan ketiadaan konsepsi baginya esensi, sampai terpenuhi hajat urusan yang ia tidak miliki selain kefakiran.
Dari perspektif ini, seluruh wujud kontingen merupakan lambang realitas yang teragungkan dari kefakiran dan kebutuhan serta memiliki kemandirian. Kendati secara sekilas sebuah kontingen dapat terlihat sebagai sebab bagi kontingen lain, dan bahkan mediasi ini menunjukkan kausalitas dari sebuah sumber yang mandiri yang terjelmakan dalam tanda ini.
Lantaran seluruh aspek sebuah entitas, yang murni berhajat dan bergantung, adalah kebutuhan dan kebergantungan yang memunculkan yang lain, dan apa yang terefleksikan darinya adalah ibarat sebuah cahaya dari sebuah cermin.
Cahaya yang tampil dalam cermin dapat ditelusuri dari sumber sebuah bintang, yang terjelma di dalamnya, tanpa meminta invalidasi daur. Jika cermin merupakan sebuah mediasi dalam penjelmaan cahaya di dalamnya, maka ia hanya dapat merefleksikan agen cahaya; dan ia tidak dapat dianggap sebagai memiliki cahaya sendiri yang ia berikan kepada cermin selanjutnya.
Bagian-bagian Alamat
Alamat (?alama-t) terdiri dari dua jenis: alamat konvensional (al-?alama-t al-e?teba-riyyah) dan alamat faktual (al-?alama-t al-haqi-qiyyah). Alamat-alamat konvensional seperti kata-kata, tulisan-tulisan, sinyal-sinyal lalu-lintas, bendera nasional beragam negara, dan sebagainya. Alamat-alamat faktual seperti gambar seseorang di hadapan cermin. Alamat-alamat faktual selanjutnya dibagi menjadi tiga macam:
· Alamat-alamat terbatas: Seperti indkasi asap yang menunjukkan adanya api, padang rumput yang luas atau rawa yang menunjukkan adanya air. Indikasi alamat-alamat semacam ini tidak bergantung pada konvensi sekelompok orang-orang tertentu, namun demikian, ketika asap atau padang rumput berganti, "perlambang"nya dan indikasinya yang menunjukkan api dan air juga berganti.
· Alamat-alamat permanen: Jenis alamat semacam ini berkaitan dengan yang indikasinya tidak terbatas pada masa tertentu, seperti angka empat merupakan bilangan genap yang selalu bersama dengan realitas yang dibubuhi alamat.
· Alamat-alamat esensial: Artinya menjadi alamat bukan merupakan atribut niscaya dan bahkan ia identik dengan dzat dan realitas sesuatu, dan perbedaannya dengan alamat-alamat sebelumnya terletak pada menjadi alamat dan tanda bagi alamat-alamat sebelumnya merupakan atribut niscaya pada derajat esensi, dan pada realitas dirinya sendiri tidak mengindikasikan dan menandakan sesuatu yang lain dan mandiri darinya, akan tetapi pada bagian akhir (alamat akhir), untuk sesuatu yang diasumsikan sebagai esensi tidak lain kecuali sekedar menunjukkan dan mengisahkan.
Imej-imej, yang terpampang pada sebuah cermin merupakan cermin karena esensinya. Lantaran imej yang terilustrasikan pada cemin – dalam terminologi Irfan cermin tidak lain kecuali imej tersebut – bukan kaca, frame, panjangnya, lebar, kedalaman, cahaya, warna, angle, dan sebagainya. Akan tetapi, cermin merupakan narasi, indikasi, dan relasi yang memiliki nisbah kepada imej yang hakiki. Dan adapun kaca dan bagian-bagian fisik lainnya yang merupakan cermin pada urf masyarakat, bukan cermin pada urf irfan yang fokus pada hati.
Imkan faqri menguraikan "realitas dan wujud cermin yang terjelmakan dan muncul dalam imej beragam dari kuiditas. Metode analisis "keakibatan" (ma?lu-liyyah) memajangkan dunia sebagai yang dipersepsikankan oleh ahli makrifat; sebagai tajalliyat Tuhan yang beragam, yang menghasilkan benda-benda yang berbeda, usia dan masa.
Dan persepsi semacam ini terinspirasi dari ajaran-ajaran Qur'an dimana tujuh petala langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya adalah diidentifikasi sebagai pengemis, membutuhkan dan mengenal Tuhan sebagai realitas dimana seluruh gradasi eksistensi merupakan jelmaan dan manifestasi keagungan-Nya yang nir-batas. "Seluruh apa yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya…"(Qs. Ar-Rahman [55]:29)
Tingkatan beragam wujud merupakan dimensi dan roman serta paras beragam Ilahi yang hal tersebut adalah wajhulLah dan dalam redaksi al-Qur'an disebut sebagai "Dan tetap kekal dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Qs. ar-Rahman [55];27) dan itulah simbol kenirbatasan Tuhan yang hadir di segala ruang dan tempat (omnipresence); "Dan Dia bersamamu dimana pun engkau berada." (Qs. al-Hadid [57]:4) dengan demikian roman dan paras tersebut ada di seantero penjuru entitas "Kemanapun engkau hadapkan dirimu engkau mendapati wajah Allah." (Qs. al-Baqarah [2]:115).
Analisis rasional mengilustrasikan dunia sebagai sebuah cermin yang di dalamnya wujud-wujud terefleksikan dalam bentuk beragam jelmaan Tuhan. Kendati seseorang, yang tidak memperhatikan pada "mirror-like" (serupa cermin) realitasnya dan eksistensi figuratifnya, menganggapnya sebagai mandiri; namun demikian tatkala cermin tersebut retak dan pecah dan realitas tersingkap, paras Ilahi pada setiap entitas akan memanifestasi.
Dan tatkala ditanya, "Siapakah Penguasa hari ini?" (Qs. Ghafir [23]:16) dalam jawaban atas pertanyaan ini, yang bergema dalam realitas setiap ruang dan waktu terdengar, "Tuhan, Esa dan Perkasa." (Qs. Ghafir [23]:16) artinya kerajaan khusus dimiliki oleh Tuhan yang Esa dan Perkasa.
Tuhan, Esa dan Perkasa merupakan realitas yang tak bergantung dan tak membutuhkan yang memuaskan dan melepaskan harapan dan asa tak henti orang dan benda yang membutuhkan. Perbuatan-Nya yang memuaskan dan memenuhi hajat bukanlah sekedar fashion, yang akan menghilangkan hajat dan permohonan orang-orang yang fakir, karena hajat dan kebergantungan hadir dalam sebuah jawaban yang diterima dari-Nya, kebergantungan tidak mengosongkan setiap dimensi kontingen-kontingen.
Atas dasar ini, Almarhum Agha Ali Hakim dalam Badâ’i? al-Hikam, mengisyaratkan oposisi (taqâbul) kebergantungan dan hajat seluruh kontingen kepada kemandirian Wajib sebagai sebuah oposisi afirmasi dan negasi (taqâbul al-salb wa al-eijâb) dan bukan sebuah oposisi privasi dan posesi (taqâbul malâkah wa 'adam wa al-malaka).[4]
Dalam oposisi privasi dan posesi, ketiadaan adalah hampa dari wujud, dan realitas sebagai titik berseberangan darinya, tidak lain, merupakan individual, kelas, macam, atau jenis , yang dapat memiliki sisi berseberangan.
Namun demikian, wujud yang terbatas merupakan sebuah realitas fakir; dan kefakiran ini semakin ia bersyukur kepada Sang Wajib semakin larut dalam kefakiran. Seterusnya dalam keadaan dan kondisi apapun kontingen dapat meraih kapasitas meraih kemandirian, yang merupakan sebuah atribut atau gelar ekslusif bagi Sang Wajib.
Dengan kata lain, Tuhan merupakan dzat yang mandiri dan segala sesuatu selainnya adalah bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dan oposisi antara kemandirian-Nya dan kebergantungan ini bukanlah oposisi antara privasi dan posesi (taqâbul malâkah wa adamul malâkah) lantaran dengan menimbang individual, kelas, macam, atau genus, tidak ada satu pun wujud terbatas dapat memiliki kemandirian wujub atau mutlak. Oleh karena itu, afirmasi sisi berseberangan, adalah mustahil bagi wujud-wujud terbatas; dan oposisi antara keduanya merupakan oposisi afirmasi dan negasi, bukan oposisi privasi dan posesi.
Hadirnya kefakiran dan kemiskinan pada setiap dimensi kontingen-kontingen memberikan indikasi dan narasi yang mereka punyai dalam hubungannya dengan Dzat Serba Tercukupi dan Mandiri, dan juga kognisi dan kesadaran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan merupakan jelmaan dan manifestasi Dzat tersebut. Inilah makna dari ungkapan agung: "Wahai yang menunjukkan Dzat-Nya dengan Dzat-Nya."[5]
Keunggulan Unik Argumen Imkân Faqrî
Burhân Imkân Faqrî "contingency of impoverishment", sesuai dengan versi yang diutarakan dalam makalah ini, sebagai tambahan atas kemurniannya dari kekurangan di antara argumen-argumen dalam membuktikan wujud Tuhan. Dengan demikian burhan ini unggul dan unik dengan memiliki seabrek dan selaksa keistimewaan tipikal.
Lantaran burhan huduts dan gerak, bahkan dengan asumsi ia terpenuhi dengan gerakan substansial (harakah al-jauhariyah) dalam dunia fisik , ia hanya memiliki alur dalam domain dunia materi dan hanya menunjukkan pada sebuah sumber non-materi untuk maujud-maujud materi.
Demikian juga burhan keteraturan, dengan asumsi keseluruhannya, kendati tidak terkhusus pada maujud materi dan bergerak dan maujud non-materi juga termasuk di dalamnya, akan tetapi dalam bentuk majemuk struktur dan tujuan yang satu… dapat dikonstruksi. Sementara burhân imkân faqrî tidak terikat dan tersyaratkan dengan maujud-maujud fisikal dan dapat dibangun dengan menggunakan wujud-wujud non-fisikal. Muatan burhan keteraturan, membuktikan penggerak, muhdith atau penata kosmos (cosmic designer) dan bukan sifat-sifat yang common Wajib dan selainnya; sebaliknya, burhân imkân faqri secara langsung membuktikan sumber Wajib.
Burhân al-Imkân al-Faqrî terbebas dari sebagian kekurangan-kekurangan yang terdapat pada imkân mahuwi. Kekurangan hajat pada kemustahilan daur dan tasalsul lebih jelas terlihat pada burhân imkân mahuwi. Dengan membangun burhân al-imkân al-faqri, pertama, Wajib dapat dibuktikan, dan kemudian, keterbatasan rangkaian mediasi yang menunjukkan sababiyyah dan illiyah (kausalitas) mutlak wajib dapat dibuktikan.
Burhan yang bersandar pada imkan mahuwi yang merupakan inovasi filosof Islam yang dapat dijumpai dari karya-karya filosof Peripatetik, tanpa premis-premis rasional yang jelimet, dan filosof Skolastik serta kemudian melalui terjemahan-terjemahan non akurat, memasuki akademi, dan menerima ajaran-ajaran filsafat melalui channel tersebut; namun demikian, burhân al-imkân al-faqrî, yang merupakan hasil kognitif teosof Imamiyah dan telah menjadi kurikulum pelajaran-pelajaran filsafat Syiah selama berabad-abad, disuguhi dengan kegemaran dan keantusiasan di kediamannya yang asli.
Mental orang-orang yang putus asa pseudo filosof Barat (mutafalsafin) dan sejarawan filsafat- yang goyah di bawah sensasionalisme telah meninggalkan rasionalitas dan tunduk oleh Skeptisisme basith dan murakkab tidak berhasil mendapatkan keuntungan dari burhan ini.[]
Catatan Kaki:
[1]. Al-Majlisî, Muhammad Bâqir, Bihâr al-Anwâr. (Tehran: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, vol. 71, 23.
[2] . Kant menyebut wujud semacam ini sebagai preposisi-preposisi keliru dan berkata bahwa ketika wujud kita letakkan pada predikat sebuah proposisi maka nilai subyek tidak akan bertambah sedikitpun. Mulla Shadra yang hidup dua abad sebelumnya, telah memberi jawaban atas isykalan ini. Ia berkata: "Wujud dalam proposisi semacam ini (masyhur sebagai haliyah al-bashithah) adalah yang membentuk subyek, dan ia menunjukkan keberadaan subyek, bukan keberadaan predikat atas subyek.
[3]. Gradasi wujud (tasyki-k al-wuju-d): Setelah disepakati bahwa di dunia luar terdapat realitas dan hakikat dan bahwa dunia bukan sekedar fantasi, kita akan ketahui bahwa realitas atau hakikat tersebut mencakup banyak sekali objek yang berbeda, seperti pepohonan, lautan, galaksi dan sebagainya. Kita kaji bahwa apakah keragaman ini, yang dicerap oleh pikiran di dunia luar, riil atau sekedar fantasi, hal ini akan menjadi investigasi multplisitas dan unitas dari realitas. Jika dua hal berbeda satu dengan yang lain, perbedaannya adalah salah satu dari empat jalan di bawah ini:
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan seluruh esensinya (tama-m al-dzawa-t) dan tidak memiliki sesuatu yang common (sama), seperti perbedaan yang terdapat di antara kategori-kategori Aristotelian.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran differensia-differensia (fusu-l) yang mereka miliki. Perbedaan semacam ini adalah ekskulif pada kuiditas-kuiditas yang terdiri dari genus (jins) dan differensia (fashl) dan kategori-kategori yang berada pada genus yang sama, seperti pada kuda dan domba.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran aksiden-aksiden individual, namun keduanya bersama pada spesies atau macam yang sama – seperti dua orang manusia.
* Keduanya berbeda satu dengan yang lain lantaran persamaan yang mereka miliki (ma- bihi al-isytara-k).
Jalan terakhir dari perbedaan yang terdapat pada poin-poin di atas diintrodusir oleh Syaikh al-Ishra-q al-Suhrawardi-. Ia beranggapan bahwa perbedaan dari perbedaan jenis cahaya yang ada di alam semesta adalah bukan dari sesuatu eksternal kepada esensi cahaya, lantaran ia percaya bahwa cahaya itu adalah tipis dan "tidak terkombinasi". Sebaliknya, mereka berbeda dari satu dengan yang lainnya lantaran persamaan yang mereka miliki secara bersama (in common, musytarak), dan perbedaannya adalah pada kuat dan lemahnya hakikat mereka. Ia beralasan bahwa karena kegelapan adalah sebuah fenomena ketiadaaan, seseorang tidak dapat beralasan bahwa cahaya lemah berbeda dengan cahaya kuat karena cahaya lemah memiliki kegelapan di dalamnya.
Dari posisi kehakikian kuiditas (ashalah al-mahiyyah), jawaban terhadap pertanyaan multiplisitas dan unitas dari realitas adalah jelas; yaitu, realitas adalah tidak lain kecuali keragaman kuiditas-kuiditas. Namun, dari perspektif Hikmah Muta'aliyah (Transcendent Wisdom), kehakikian wujud (ashâlah al-wujud, principality of existence), realitas tidak lain kecuali wujud, dan kuiditas-kuiditas merupakan reifikasi benak dari batasan-batasan keragaman wujud-wujud. Selanjutnya, apa yang membuat dua hal berbeda dari satu dengan yang lainnya bukanlah sesuatu eksternal dari realitas eksistensi, karena tidak ada sesuatu kecuali keberadaan, dan lantaran keberadaan itu simpel, yaitu wujud atau keberadaan itu bukan rangkapan, jika dua wujud atau keberadaan berbeda, perbedaan mereka adalah karena kuat dan lemahnya realitas eksistensinya. Perbedaan semacam ini disebut sebagai al-ikhtilâf al-tasykîkî lil wujûd (perbedaan gradasi pada wujud).
[4] Haki-m, A-gha- Ali. Bada-’i? al-Hikam. (Tehran: lithographed print), 39.
[5] Al-Qummi-, Shaykh ?Abba-s. Mafa-ti-h al-Jina-n. Doa Sahar.