Imam Muhammad Baqir as: “Orang yang mencari ilmu dengan tujuan mendebat ulama (lain), mempermalukan orang-orang bodoh atau mencari perhatian manusia, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka. Kepemimpinan tidak berhak dimiliki kecuali oleh ahlinya”.
LAKUKAN SEKECIL APAPUN YANG KAU BISA UNTUK BELIAU AFS, WALAU HANYA MENGUMPULKAN TULISAN YANG TERSERAK!

فالشيعة هم أهل السنة

Kamis, 16 Juni 2011

Akhirnya Kutemukan Kebenaran (Terjemah: Tsummahtadaaitu) Syaikh Tijani As-Samawi


PERSEMBAHAN
Buku ini sederhana. Mudah dicerna. Suatu kisah perjalanan dan kisah penemuan. Tetapi bukan penemuan teknologi atau biologi. Penemuan dalam bidang agama dan mazhab falsafah kehidupan.
Karena penemuan ini berdasarkan pada pikiran yang sehat dan penelitian yang akurat, dimana dengannya kodrat manusia berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain, maka kupersembahkan buku ini kepada setiap orang yang berpikiran rasional dan berakal sehat. Yakni mereka yang ingin mencari suatu kebenaran sehingga dapat membedakannya dengan yang batil; yang menimbang segala sesuatu yang sampai padanya dengan neraca keadilan; yang hanya akan menerima kebenaran semata-mata karena dalil dan landasannya yang sepenuhnya bisa dipertanggungjawabkan; yang mampu membedakan antara jalan pikiran yang logis dan tidak logis; antara pendapat yang kuat dan pendapat yang lemah. Firman Allah, ” Mereka yang telah mendengar berbagai pendapat lalu ikut mana yang terbaik darinya, maka mereka adalah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka adalah Ulul Albab.”
Kepada mereka semua kupersembahkan buku ini, dengan harapan semoga Allah dapat membukakan akal pikiran kita, membimbing, menyinari dan menunjukkan pada kita mana yang baik agar bisa diikuti, dan mana yang batil agar bisa dihindari.
Semoga Allah berkenan menerima kita semua. Innahu Sami’un Mujib. Sungguh Dia Maha Mendengar dan Maha Menyahuti permohonan hamba-hamba-Nya. Amin.•
Muhammad al-Tijani al-Samawi




SEJARAH RINGKAS HIDUPKU
MASIH tergambar jelas dalam ingatan ketika ayah mengajakku pergi ke masjid jami’ di suatu bulan Ramadhan. Sepuluh tahun usiaku saat itu. Dikenalkannya aku pada jemaah masjid yang kala itu cukup mengagumiku. Berhari-hari guru ngajiku telah mempersiapkanku dengan hafalan-hafalan sejumlah ayat suci AlQuran. Pada saat shalat Teraweh, aku dan anak-anak yang lain ikut berjemaah dua atau tiga malam sampai sang imam membaca separuh AlQuran, yakni surah Maryam.
Ayah sangat menginginkan aku belajar AlQuran, baik di sekolah Tahfiz AlQuran atau pada saat senggang di rumah dengan dibimbing imam masjid jami’, seorang dari kerabat kami yang hafal AlQuran. Aku telah hafal AlQuran sejak kecil, maka wajarlah jika guruku ingin sekali menunjukkan usaha-nya dan kelebihannya ini melaluiku. Diajarkannya padaku tempat-tempat yang sepatutnya rukuk, dan berulang kali beliau melatihku agar benar-benar aku dapat menghafalnya.
Dengan berhasil aku membaca ayat suci di depan jamaah dengan baik, berarti aku lolos uji. Inilah yang telah lama diharap-harapkan oleh ayah dan guruku itu. Semua yang hadir mencium dan memujiku dengan ucapan-ucapan yang sarat kekaguman yang luar biasa. Mereka mengucapkan rasa terima kasih kepada guru yang mengajarku itu; dan memberi selamat pula pada ayahku. Semua mengucapkan kataAlhamdulillah atas nikmat Islam dan “berkatnya Syaikh “.
Hari-hari yang kulalui selanjutnya serasa tak dapat kulupakan begitu saja. Masa kecilku kuisi dengan prestasi yang mengundang kekaguman orang banyak terhadapku dan kemasyhuran yang bahkan merayap jauh ke kampung-kampung yang lain. Peristiwa-peristiwa itu meninggalkan goresan-goresan yang hingga kini masih berbekas dalam hidupku. Setiap kali aku nyaris khilaf, ada kekuatan yang maha dahsyat yang seakan mengekangku dan membawaku kembali ke jalan yang benar. Dan setiap kali kurasakan lemahnya semangat dan tidak bermaknanya kehidupan, kenangan itulah yang mengangkatku kembali pada semangat yang sangat tinggi, dan menyalakan api keimanan di dalam kalbuku untuk melalui hidup ini.
Betapa tidak, ayah dan guruku telah membebankan tanggung jawab yang begitu besar padaku dalam usia yang sangat dini, sedemikian sehingga aku selalu merasa yang aku adalah orang yang tidak layak untuk menjadi orang setaraf itu atau paling tidak taraf yang mereka inginkan dariku.
Itulah kenapa aku lalui masa kecilku dan masa remajaku di dalam suasana istiqamah yang relatif, walaupun kadang-kadang tak luput juga dari kesalahan dan kesia-siaan yang timbul kebanyakannya dari rasa ingin tahu dan taklid buta. Karunia Allah mencurah padaku sehingga aku berbeda dari saudara-saudaraku yang lain dengan sikap tenang dan saleh, tidak terpeleset dalam dunia maksiat dan dosa-dosa besar.
Tidak mungkin kuniscayakan peran besar almarhumah ibuku dalam hidup ini. Beliau yang membukakan mataku dan mengajarkanku surah-surah pendek dalam AlQuran, juga hukum shalat dan wudhu. Beliau mencurahkan perhatian yang besar kepadaku, mungkin karena aku adalah anak lelakinya yang sulung. Di samping beliau juga mempunyai madu yang lebih tua darinya dan telah mempunyai anak-anak yang hampir seusia dengannya. Sedemikian tekun beliau asuh dan mendidikku seakan-akan beliau sedang berlomba dengan madu dan anak-anak suaminya yang lain.
Nama Tijani yang diberikan oleh ibuku juga mempunyai keistimewaan tersendiri dalam keluarga as-Samawi. Mengingat mereka adalah pengikut Tijaniah yang pertama kali sejak salah seorang anak Syaikh Sayyidi Ahmad Tijani yang datang dari Jazair mengunjungi kota Qafsah dan tinggal di rumah as-Samawi. Itulah awalnya. Hingga kini, sejumlah besar penduduk kota itu khususnya kalangan keluarga yang berpendidikan dan kaya-raya mengikuti Tarekat ini dan menyebarkannya. Kesamaan nama itu membuat aku makin dicintai dalam Dar Samawi yang dihuni oleh lebih dari dua puluh keluarga. Begitu juga di luar yang mempunyai hubungan dengan Tarekat Samawi.
Banyak orang-orang tua yang pada waktu bersembahyang pada malam-malam Ramadhan waktu itu –seingatku– mencium kedua tanganku dan kepalaku sambil mengucapkan tahniah kepada ayahku dan berkata: “Ini adalah limpahan berkat dari Sayyidina Syaikh Ahmad Tijani.”
Perlu diketahui bahwa Tarekat Tijaniah tersebar luas di Maghribi, Jazair, Tunisia, Libya, Sudan dan Mesir. Dan pengikut-pengikut tarekat ini agak taassub atau fanatik. Mereka tidak menziarahi kuburan para wali yang lain. Mereka percaya bahwa semua wali telah belajar dari masing-masing secara silsilah, kecuali Syaikh Ahmad Tijani. Beliau telah belajar langsung dari Nabi SAWW walau jaraknya dengan zaman Nabi dipisahkan oleh tiga belas abad. Mereka mengatakan bahwa Nabi SAWW pernah mendatangi Syaikh Ahmad Tijani secara yaqazhatan, yakni secara nyata, bukan melalui mimpi. Mereka juga berkata bahwa sembahyang sempurna yang dilakukan oleh Syaikh adalah lebih baik dari empat puluh kali mengkhatamkan AlQuran.
Sebaiknya kucukupkan saja pembahasan tentang tarekat Tijaniah ini sebelum menjadi bertele-tele. Karena kita akan menyentuhnya juga Insya Allah pada bab lain dari buku ini.
Aku tumbuh seperti layaknya anak-anak muda yang lain di atas kepercayaan ini. Alhamdulillah, karni semua adalah muslim Ahlu Sunnah Wal Jamaah, yang bermazhab Maliki, dari Imam Malik bin Anas, Imam Dar al-Hijrah. Namun kami terpisah di dalam berbagai tarekat sufi yang tumbuh bagai cendawan di Utara Afrika. Di kota Qafsah sendiri, ada Tijaniah, Qadiriah, Rahmaniah, Salamiah dan ’Isawiah. Setiap tarekat mempunyai pengikut yang hafal qasidah, zikir dan wirid-wirid yang dibaca di majlis-majlis tertentu, sembari mengaji AlQuran, seperti saat khatan, majelis syukuran atau karena nazar. Walaupun tidak luput dari unsur-unsur negatif, namun tarekat-tarekat seperti ini memainkan peranan penting dalam menyebarkan syiar-syiar keagamaan dan menghormati para wali dan orang-orang yang shaleh. •


HAJI KE BAITULLAH
USIAKU delapan belas tahun ketika Gerakan Pramuka Tunisia menunjukku untuk mewakili negara dalam Seminar Pertama Penelitian Arab dan Islam di Mekkah. Turut bersamaku dua orang kepala sekolah, seorang guru di Tunis, wakil dari media lokal, dan seorang staf dari Kementerian Pendidikan. Ketika itu aku adalah peserta yang paling muda, baik dalam usia maupun pengalaman.
Kami sempat mengunjungi Athena tiga hari, kemudian Amman empat hari, sebelum akhirnya tiba di Mekkah untuk mengikuti seminar dan melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Ketika pertama kali kulangkahkan kakiku memasuki pelataran Baitullah Al-Haram jantungku berdebar cepat. Tuhan, bagaimana mungkin kulukiskan dengan kata-kata! Degupan hatiku yang kuat seolah-olah ingin mendobrak dinding penghalang untuk dapat melihat sendiri Baitul ‘Atiq yang selama ini cuma terkungkung dalam angan-angan. Air mata mengucur membentuk aliran kecil seakan tak mampu kutahan. Kesadaranku melayang sampai ke bumbung ka’bah lalu menyahuti seruannya dari atas sana:“Labbaik Allahumma Labbaik. Inilah aku Tuhan, yang datang menghadap-Mu”.
Seiring kudengar talbiah jemaah haji, yang meluangkan waktu di sela-sela sisa usia mereka dan datang dengan persiap-an bekal harta. Maka kupikir itulah bedanya, karena kupikir aku tidak punya waktu buat berbenah. ietapi aku datang dengan diriku saja.
Lalu kulukis di benakku ketika ayah menangis dan menciumiku begitu dilihatnya tiket pesawat untuk ke Mekkah. Kuingat jelas di sela isak tangisnya, “Oh, anakku, Allah bahkan telah mengundangmu dalam usia yang begini muda. Ingat, kau adalah anak Sayyidi Ahmad Tijani. Pintaku, doakan ayahmu sesampainya kau di rumah-Nya. Semoga aku diampuni-Nya dan diberinya rizqi untuk menyusul kau ke sana”.
Aku tidak tahu bagaimana aku harus bersyukur atas karunia-Nya yang tidak diberikannya pada tiap orang ini. Adakah orang yang berhak menyahuti panggilan ini lebih dari padaku? Pada ibadah tawafku, shalatku, sa’iku, bahkan ketika meneguk air zam-zam sekalipun. Atau ketika semua orang mencoba saling mengalahkan untuk dapat mencapai gua Hira’ di gunung Jabal Nur. Tidak ada yang dapat mengalahkanku kecuali seorang anak muda dari Sudan. Aku rukuk sujud di sana seakan-akan kucium batu Rasulullah dan kurasakan nafasnya. Kupahat semua ini dalam ingatanku agar tak kan terlupa selama-lamanya.
Satu lagi limpahan karunia yang harus kusyukuri adalah perubahan sikap orang-orang utara yang tadinya sinis terhadapku. lebih dari itu, setiap delegasi lain bahkan yang tidak aku kenal, serta merta menyukaiku ketika melihatku dan meminta alamat supaya dapat berkirim surat. Sekali-sekali dalam beberapa kesempatan, kubawakan syair-syair dan qasidah-qasidah yang kuhafal di hadapan mereka. Beberapa penghargaan bahkan kuraih dalam acara kesenian dan lomba-lomba sejenis. Pada akhir kunjungan, aku berhasil mengumpulkan lebih dari dua puluh alamat teman-teman dari berbagai bangsa.
Dua puluh hari berlalu di Saudi tanpa terasa. Petuah berbagai ulama yang kami kunjungi sempat mengesankanku. Mereka berpegang teguh pada tradisi Wahabi dan alangkah senangnya kalau kaum Muslimin seluruhnya melakukan hal yang sama. Betapa besar rasa hormatku pada mereka yang telah dipilih Allah dari sekian banyak hamba-hambaNya untuk menjaga Baitullah Al-Haram ini. Mereka bahkan dikaruniainya minyak agar dapat melayani dengan khidmat tamu-tamu Allah yang datang dan menjamin keselamatan mereka.
Tiba saat kepulangan ke tanah airku. Aku memakai pakaian ala Saudi lengkap dengan iqal (yang melilit kepala). Aku sangat terkejut. Ternyata orang telah ramai berkumpul di stasiun kereta api, dipimpin sendiri oleh Syaikh Tarekat ‘Isawiyah, Syaikh Tijaniah dan Syaikh Qadiriah , lengkap dengan gendang kebesaran sufi.
Aku diarak mengelilingi jalan-jalan kota, sembari dikumandangkan seruan takbir dan tahlil. Orang-orang memintaku berhenti setiap kali kami melalui sebuah masjid. Masyarakat ramai berdesak-desakan berebut menciumiku, terutama para orang-orang tua, yang sudah tentu amat merindukan saat-saat dapat bertamu ke rumah Allah dan berdiri dekat pusara Nabi SAWW. Di kota Qafsah yang kecil ini, aku adalah orang pertama untuk seusiaku, yang menunaikan ibadah haji.
Itulah hari-hari bahagiaku. Para pemuka daerah berbondong-bondong berkunjung ke rumah untuk mengucapkan selamat dan memintakan doa. Kadang-kadang sekedar untuk memintaku membacakan surat Fatihah. Aku merasa malu juga. Setiap kali para tetamu keluar, ibuku akan masuk sambil meniupkan asap gahru dan memohon perlindungan dari tipu daya orang-orang jahat dan setan yang terkutuk.
Ayahku mengadakan kenduri selama tiga hari berturut-turut demi Yang Mulia Tijaniah. Setiap hari beliau menyembelih seekor kambing. Orang-orang masih saja hadir bertanya segala sesuatu, sampai ke persoalan yang kecil sekalipun. Jawabanku rata-rata berkisar antara rasa kekagumanku terhadap Saudi dan semangat mereka dalam menyebarkan Islam dan membela kaum muslimin.
Sejak itu aku berhak atas sebutan “Tuan Haji”. Dan aku mulai dikenal oleh khalayak, terutama di kalangan aktifis agama, seperti Jamaah Ikhwanul Muslimin. Aku pergi ke masjid-masjid dan melarang orang-orang mencium nisan kuburan atau mengusap kayu-kayunya. Aku berusaha meyakinkan mereka bahwa itu adalah syirik kepada Allah. Aktifitasku pun semakin padat. Aku mulai mengajar di beberapa masjid pada hari Jumat sebelum khutbah. Aku berpindah-pindah dari masjid Abi Ya’qub ke masjid jami’ agung, karena sembahyang Jumat didirikan di kedua mesjid itu pada waktu yang berlainan. Masjid Abi Ya’qub memulai sembahyang Jumat pada waktu Zhuhur, sementara masjid jami’ pada waktu Asar. Pengajian-pengajian hari Ahad juga banyak dihadiri oleh para pelajar tingkat atas, tempat aku mengajar Ilmu Teknik dan Tekhnologi. Mereka kelihatan sangat suka menghadiri pengajianku. Aku berusaha keras mengikis ajaran-ajaran yang mengendap di benak mereka lantaran in-doktrinasi para guru mereka yang atheis, sekuler dan komunis. Mereka yang tidak punya cukup kesabaran untuk menanti saat-saat tiba pengajian itu datang ke rumah. Dan aku juga telah membeli beberapa buku agama sebagai referensi yang menambah pengetahuan supaya aku dapat menjawab setiap pertanyaan dengan baik.
Bersamaan dengan itu sekali lagi aku diberi kesempatan oleh Allah untuk memiliki separuh agamaku yang lain. Hal itu juga yang dicita-citakan ibuku sebelum tiba akhir hayatnya. Aku menikahi seorang gadis pilihan ibuku yang tak pernah kukenal sebelumnya. Ibuku bahkan sempat menyaksikan kelahiran anak pertama dan keduaku. Baru setelah itu ia menghadap panggilan-Nya dengan tenang, menyusul kepergian ayahku dua tahun sebelumnya, sesudah ia sempat menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan bertaubat kepada Allah, Taubatan Nasuha.
Revolusi Libya muncul ke permukaan saat kaum muslimin dan Arab mengalami kekalahan yang memalukan dalam peperangannya dengan Israel. Anak muda pemimpin revolusi itu muncul dan berbicara atas nama Islam. Beliau sembahyang dengan ummat di masjid dan menyeru pada pembebasan al-Quds. Beliau sangat menarik perhatianku dan perhatian seluruh pemuda-pemuda Arab serta penjuru negara Islam yang lain. Rasa ingin tahu kami akhirnya mendorong kami untuk mengadakan kunjungan kebudayaan ke Libya. Bersama dengan empat puluh orang-orang terpelajar, kami pun berangkat menuju ke sana pada masa-masa awal revolusi itu. Kami kembali dengan kekaguman yang luar biasa dan rasa optimis terhadap masa depan yang diharapkan akan dapat membawa kebahagiaan bagi seluruh umat Islam dan Arab secara keseluruhan.
Sementara itu hubungan korespondensiku dengan beberapa teman berjalan dengan tanpa hambatan. Di suatu cuti panjang musim panas, aku berencana ingin mengadakan suatu perjalanan selama tiga bulan melalui Libya , lalu kemudian ke Mesir. Dari sana aku akan melalui jalan laut menuju Lebanon, Syria, Jordan dan Saudi. Di sana aku akan melaksanakan ibadah umrah dan memperbaharui janji setiaku terhadap faham Wahabiah yang telah banyak kupropagandakan di kalangan para mahasiswa dan pelajar serta masjid-masjid yang dihadiri oleh Jamaah Ikhwan Muslimin.
Kemasyhuranku merebak di negeri-negeri yang kulalui. Seorang musafir kadang-kala berlalu di tempat kami lalu sembahyang Jumat dan menghadiri kuliahku. Ketika pulang dia menyebarkan kepada masyarakat sekitarnya, sehingga sampailah ke telinga Syaikh Ismail al-Hadifi, pemimpin tarekat sufi yang terkenal di kota Tuzer, ibu negeri al-Juraid dan tempat persemadian Abul Qasim as-Syabi, seorang penyair yang termasyhur. Syaikh ini mempunyai pengikut dan penggemar di seluruh pelosok Tunisia; bahkan di luar negeri sekalipun di kalangan para pekerja di Perancis dan Jerman.
Suatu hari melalui para wakilnya di Qafsah beliau menjemputku untuk mengunjunginya. Diutusnya sepucuk surat yang panjang untukku dengan ucapan rasa terima kasih karena jasaku terhadap Islam dan kaum muslimin. Orang-orang berkata bahwa semua itu tidak akan mendekatkanku pada Allah sedikit pun jika tidak melalui jalannya Syaikh yang arif itu. Ini berdasarkan hadis yang sangat masyhur di kalangan mereka: “Barang siapa yang tidak memiliki Syaikh maka syaikhnya adalah syaitan. Mereka juga berkata: “Engkau juga seharusnya memiliki Syaikh yang akan menunjukkanmu pada jalan yang benar; kalau tidak maka separuh ilmumu akan sia-sia…” Mereka juga berkata bahwa Shohib Zaman,yakni Syaikh Ismail ini, telah memilihku untuk menjadi Khasal-Khas, yakni kalangan yang paling dekat dengannya.
Mendengar ini hatiku terasa gembira sekali. Aku menangis lantaran sangat terharunya pada karunia Allah yang terus mengangkatku dari makam yang tinggi ke makam yang lebih tinggi lagi dan dari kedudukan yang baik kepada yang lebih baik. Sebelum ini aku pernah menjadi pengikut Sayyidi al-Hadi al-Hufyan, seorang syaikh sufi yang konon mempunyai banyak keramat dan keistimewaan-keistimewaan. Bahkan aku pernah menjadi sahabatnya yang terdekat. Aku juga pernah mendampingi Sayyidi Shaleh Bis Saih dan Sayyidi al-Jilani serta berbagai guru tarekat yang ada. Kutunggu waktu perjumpaan yang dijanjikan itu dengan penuh kesabaran.
Ketika aku masuk ke rumah Syaikh kujumpai berbagai wajah sedang menantinya dengan penuh semangat. Murid-muridnya ramai yang hadir di majlis itu. Di antara mereka ada sejumlah orang-orang tua yang memakai pakaian serba putih. Setelah acara Tahiyah (ucapan salam), maka Syaikh Ismail keluar. Semua yang hadir mencium tangannya dengan penuh sikap hormat. Dan wakilnya yang membawaku ini menggenggam tanganku sambil mengatakan bahwa inilah Syaikh Ismail. Aku tidak merasa kagum sama sekali meng-ingat rupanya tidak sehebat apa yang terbayang di benakku. Wakil dan para pengikutnya telah menceritakan berbagai macam keramat dan mukjizat Syaikh ini sehingga kehebatan ketokohannya terukir besar di dalambayanganku. Namun apa yang kulihat beliau hanyalah seorang syaikh biasa yang tidak mempunyai wibawa dan keagungan. Si wakil memperkenalkanku kepadanya di tengah-tengah majelis. Beliau menyambutku dan mempersilahkan aku duduk di samping kanannya. Setelah makan dan minum, acara dimulai. Kemudian wakil ini memintaku mengambil perjanjian dan wirid dari Syaikh. Setelah itu maka semua yang hadir memberi ucapan selamat kepadaku dan memelukku.
Dari percakapan mereka aku faham bahwa mereka sebenarnya telah sering mendengar namaku. Sebagian jawaban Syaikh kepada orang-orang yang bertanya kadang-kadang kusanggah berdasarkan hujah-hujah AlQuran dan Sunnah. Tetapi sebagian yang hadir rupanya menganggap itu perbuatan cela dan sikap kurang ajar kepada Syaikh. Kerana biasanya mereka tidak berbicara jika berada di dalam majelis kecuali seizinnya. Sikap ketidakpuasan mereka ini dirasakan oleh Syaikh. Dengan cara yang bijak beliau meredakan perasaan mereka seraya berkata: “Barang siapa yang pada mulanya bersikap berapi-api maka pada akhirnya akan cemerlang”. Majelis menganggap ini sebagai “isyarat baik” dari Syaikh, dan akan menjadi jaminan paling besar bagi kecemerlangan akhirku. Mereka memberikan ucapan selamat kepadaku. Tetapi Syaikh adalah seorang yang pandai dan terlatih. Beliau tidak memberiku sedikitpun kesempatan untuk melanjutkan sanggahan yang “mengejutkan” itu.
Diceritakannya hikayat seorang yang A’rif Billah (baca: wali) ketika duduk bersama sejumlah alim-ulama. Kepada salah seorang dari ulama ini si wali berkata,” Bangun dan pergilah mandi!” Si alim pergi dan mandi. Kemudian dia datang semula ke majlis. Sebelum sempat duduk, si wali berkata lagi padanya, Pergi mandi lagi!”. Lalu dia pergi dan mengulangi mandinya dengan cara yang paling baik, khawatir mandi yang pertama tadi tidak benar. Kemudian dia datang lagi untuk duduk di majelis, namun Syaikh tetap saja menyuruhnya pergi dan mandi. Kemudian si alim ini menangis dan berkata, “Ya Tuan Syaikh, aku telah mandi dengan cara ilmuku dan amalku. Tiada apa-apa lain dalam diriku melainkan apa yang akan Allah bukakan kelak melalui kedua tanganmu”. Lalu Syaikh ini berkata: “Sekarang duduklah”.
Aku tahu bahwa yang dimaksudkan dari cerita ini adalah diriku. Begitu pula para hadirin. Begitu Syaikh keluar dari majelis mereka mencelaku dan menyuruhku diam dan wajib hormat bila duduk di hadapannya. Mengingat Syaikh ini adalah Sohib Zaman (Pemilik Zaman), sikapku ini dikhawatirkan akan menggugurkan amal-amal baikku saja. Hujjah mereka adalah firman Allah berikut: “Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi; dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari “. (al-Hujurat: 2)
Aku sadar akan harga diriku. Kuikuti perintah dan nasehat-nasehatnya; dan lebih didekatkannya lagi aku kepadanya. Aku tinggal bersama dengannya tiga hari dimana aku juga bertanya berbagai masalah kepadanya yang sebagiannya sekedar ingin mengujinya. Syaikh tampaknya sadar akan sikapku ini, lalu berkata bahwa AlQuran memiliki makna zahir dan batin, hinggah ke tujuh batin. Allah juga telah membukakan untukku peti rahasia-Nya, dan menunjukkan kepadaku Kursinya yang khas dimana terdapat salasilah orang-orang yang shaleh dan a’rif secara musnad dan bersambung kepada Abul Hasan as-Syazali, dan terus kepada sejumlah para wali sehinggalah sanadnya sampai kepada Imam AliKaramallah Wajhahu.
Perlu kuceritakan juga bahwa majlis-majlis mereka adalah bersifat ritualistik atau kerohanian. Mula-mula Syaikh akan membukanya dengan bacaan beberapa ayat AlQuran yang mudah secara tajwid. Kemudian membaca qasidah yang diikuti oleh para muridnya yang hafal berbagai madah dan zikir yang kebanyakannya mencela dunia dan mengajak pada akhirat, makna zuhud serta wara’. Setelah itu murid yang duduk di sisi kanan Syaikh akan membacakan ayat-ayat AlQuran yang baru, dan Syaikh serta merta akan membacakan qasidah yang akan diikuti oleh semua yang hadir. Begitulah seterusnya secara bergilir walau sekadar satu ayat. Kemudian seperti seolah-olah tak sadar, mulaiah para hadirin menggoyangkan badannya ke kanan dan kiri mengikut rentak madah tadi sampailah tuan Syaikh berdiri dan berdirilah semua yang hadir sehingga membentuk satu lingkaran dengan Syaikh berada di tengah-tengah. Kemudian mereka menyebutkan “zikir-dada” : ah.. ah.. ah. ah. ah.. Dan Syaikh keliling di tengah-tengah mereka dan menghadap setiap satu dari mereka dengan suara bacaan yang keras sekali. Kemudian sebagian dari mereka melompat-lompat dalam satu gerakan bak kegilaan sambil mengangkat suara tinggi-tinggi yang berirama tetapi menakutkan. Setelah keletihan maka majlis tenang kembali dengan diakhiri qasidah Syaikh. Dan setelah mencium kepala Syaikh dan bahunya secara bergilir maka semua yang hadir akan duduk kembali.
Aku telah mengikuti pertemuan mereka beberapa kali hanya sekedar tanda simpati tanpa diiringi sikap rela hati. Jiwaku berkecamuk dengan kacaunya keyakinan yang kupegang sementara ini, yakni coba tidak mensyirikkan Allah seperti bertawassul kepada selain Allah. Aku jatuh ke bumi sambil menangis tersedu-sedu karena bingung dengan dua aliran yang sangat kontradiktif ini; aliran sufi yang penuh dengan acara-acara ritualistik, dimana jiwa manusia akan terasa sesuatu kezuhudan dan kedekatan pada Allah melalui para wali-Nya yang shaleh dan hamba-Nya yang a’rif; dan aliran Wahhabiah yang mengajarku bahwa semua itu adalah syirik pada Allah. Dan Syirik adalah dosa yang tidak terampuni.
Jika Muhammad Rasulullah SAWW tidak mengizinkan bertawassul maka apalah artinya para wali dan orang-orang shaleh itu?
Walau pun Syaikh telah menempatkanku pada “maqam” yang tinggi –sebagai wakilnya di Qafsah– tetapi jiwaku belum merasa puas sama sekali. Walaupun kadang-kadang aku condong pada tarekat sufi dan sering menyimpan rasa hormat dan takzim kepada para wali Allah dan orang-orang shaleh tersebut, namun aku juga tetap berpegang teguh pada firman Allah: “Jangan kamu menyeru bersama Allah Tuhan lain; tiada Tuhan selain Dia” (al- Qishos: 88). Jika ada orang berkata bahwa Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya” (al-Maidah: 35) maka aku akan jawab seperti apa yang diajarkan kepadaku oleh ulama-ulama Saudi bahwa al-wasilah yang dimaksudkan adalah amal yang shaleh.
Alhasil aku hidup waktu itu dengan perasaan yang gelisah dan pemikiran yang ruwet. Kadang-kadang sebagian murid-murid Syaikh datang ke rumahku dan mengadakan acara-acara serupa dalam bentuk halaqah-halaqah sampai para tetanggaku merasa terganggu dengan suara ah.. ah.. kami. Setelah kutahu itu maka aku minta agar mereka mengadakannya di rumah lain dan aku minta maaf lantaran ingin keluar negeri selama tiga bulan. Kemudian aku berpisah dengan keluarga dan kaum kerabatku menuju Tuhanku dengan penuh rasa tawakkal kepada-Nya tanpa mensyirikkan-Nya sekali-kali.

SUKSES DI MESIR
AKU berada di Tripoli hanya selama masa visa yang mereka berikan kepadaku melalui kedutaan Mesir di Tunisia saja. Di sana aku berjumpa teman-teman yang kemudian banyak membantuku. (Semoga Allah membalas jasa mereka). Dalam perjalanan ke Kairo yang memakan waktu tiga hari tiga malam, aku berjumpa empat orang Mesir yang baru pulang kerja dari Libya. Aku berbincang dengan mereka mengenai segala hal, dan kusitir beberapa ayat-ayat suci. Tampaknya mereka menyukaiku dan masing-masing mengajakku singgah ke rumahnya. Akhirnya kuturuti ajakan salah seorang di antara mereka, yang bernama Ahmad. la sangat gembira dan menyambut hangat kesediaanku (Mudah-mudahan Allah berkenan membalas jasanya).
Selama dua puluh hari aku berada di Kairo, aku sempat mengunjungi rumah seorang penyanyi terkenal, Farid al-Athrasy, yang menghadap sungai Nil. Kukenal ia lewat majalah-majalah Mesir yang beredar di Tunisia dan kukagumi pribadi serta sikap kerendahan hatinya. Sayang, hanya dua puluh menit kami sempat berbual, karena ia akan berangkat ke Lebanon. Aku juga sempat mengunjungi kediaman Syaikh Abdul Basit Abdus Somad, qari’ AlQuran yang sangat terkenal itu. la juga termasuk orang-orang yang kukagumi. Selama tiga hari kami berdiskusi tentang banyak hal bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya. Tampaknya mereka kagum terhadap semangat, ketegasan, serta keluasan wawasan yang kumiliki. Jika mereka berbicara tentang seni, aku juga berbicara tentang seni secara panjang lebar. Apabila mereka berbicara tentang zuhud dan kehidupan sufistik, kuceritakan tentang Tarekat Tijaniah yang berprestasi tinggi. Jika mereka berbicara tentang dunia barat, kuceritakan kepada mereka tentang Paris, London, Belgia, Belanda, Italia, dan Spanyol yang sempat kukunjungi di masa-masa liburan musim panas yang lalu. Bila mereka berbicara tentang haji maka kuceritakan bahwa aku juga telah menunaikan ibadah haji dan kini akan pergi umrah pula. Kuceritakan kepada mereka tempat-tempat yang tidak mereka ketahui, sekalipun oleh mereka yang pernah pergi haji sebanyak tujuh kali, seperti Gua Hira’, Gua Thur dan tempat di mana Nabi Ismail disembelih. Bila mereka berbicara tentang sains dan penemuan-penemuan, kuceritakan juga tentang sains secara detail dan rinci. Bila mereka berdiskusi tentang politik, aku dapat patahkan hujah-hujah mereka sambil berkata: “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Nasir Shalahuddin al-Ayyubi yang telah mengharamkan dirinya dari tersenyum apalagi tertawa. Ketika orang-orang dekatnya mencela danberkata, “Dahulunya Nabi SAWW senantiasa tampak tersenyum, maka Ayyubi menjawab: bagaimana kalian inginkan aku tersenyum sementara masjid al-Aqso masih berada di bawah tangan musuh-musuh Allah. Tidak, demi Allah, Aku tidak akan senyum sampai aku dapat membe-baskannya atau mati karenanya.”
Beberapa syaikh dari al-Azhar ikut hadir dalam majlis kami. Mereka sangat kagum dengan segala yang kuhafal seperti hadis, ayat-ayat suci AlQuran, dan hujjah-hujjah kuat lainnya. Mereka bertanya dari universitas mana kuperoleh gelar sarjana. Kujawab bahwa aku adalah sarjana dari Univer-sitas Zaitun, yang telah didirikan sebelum Universitas al-Azhar. Kukatakan pula bahwa orang-orang Fatimiah yang mendirikan al-Azhar itu sebenarnya berasal dari kota al-Mahdiah, Tunisia.
Aku sempat berkenalan dengan sejumlah ulama dari Universitas al-Azhar. Mereka pinjamkan padaku sejumlah buku. Suatu hari, ketika aku sedang mengunjungi salah seorang pegawai administrasi al-Azhar, tiba-tiba datang seorang ahli Dewan Kepemimpinan Revolusi Mesir dan menjemputnya untuk hadir dalam suatu perhimpunan kaum muslimin di sebuah perusahaan besi baja Mesir di Kairo, yang rusak akibat Perang Oktober ketika itu. Beliau tidak mau pergi melainkan aku ikut serta. Di sana mereka memintaku memberikan ceramah kepada para hadirin. Dan kulakukan tugas ini dengan mudah lantaran aku telah terbiasa memberikan ceramah sejenis di masjid-masjid dan markas-markas kebudayaan di Tunisia.
Yang penting dalam bab ini adalah kisah tentang mulai membumbungnya perasaanku dan sikap mengagumi diri yang mulai timbul. Aku berpikir bahwa aku telah menjadi seorang alim yang berpengetahuan tinggi. Betapa tidak, ulama-ulama al-Azhar sendiri telah mengakui hal tersebut. Mereka berkata: “Tempatmu sudah selayaknya di al-Azhar ini”. Dan yang lebih membanggakan lagi adalah “izin” Rasulullah yang diberikan kepadaku untuk melihat peninggalan-peninggalannya, seperti yang dikatakan oleh pegawai yang mengurus masjid Sayyidina Husain di Kairo. Pegawai itu hanya mengajakku untuk masuk ke dalam hujrah, ruang yang tidak dibuka kecuali olehnya sendiri. Dan ketika kami masuk dibukanya sebuah almari dan dikeluarkannya sehelai baju Nabi SAWW, lalu kucium baju tersebut. Juga diperlihatkannya padaku sejumlah peninggalan yang lain. Aku menangis begitu melangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu. Sungguh tidak kusangka perhatian beliau kepadaku. Pegawai itubahkan tidak minta dariku upah sepeser pun. Dia hanya mengambil sesuatu yang sangat sedikit setelah kupaksa dan mendesaknya. Diucapkannya selamat kepadaku sambil berkata bahwa aku adalah orang yang diterima di sisi Nabi SAWW.
Peristiwa ini begitu mengesankanku, sedemikian sehingga aku mulai menyangsikan apa yang dikatakan Wahabiah bahwa selesailah sudah riwayat Nabi SAWW sebagaimana orang-orang lain yang sudah meninggal. Seandainya seorang syahid di jalan Allah tidak “mati”, bahkart hidup mendapatkan rezeki di sisi Tuhannya, maka betapa pula penghulu para nabi dan rasul. Keyakinan ini diperkuat oleh pelajaran-pelajaran tasawwuf yang pernah kudapat dahulu yang memberikan hak dan kebenaran kepada para wali dan syaikh-syaikh mereka untuk “campur tangan” di dalam perjalanan alam fana ini. Mereka percaya bahwa Allah SWT telah memberikan izin kepada mereka, lantaran mereka taat kepada-Nya dan patuh pada segala perintah-Nya. Lagipula ada sebuah hadis qudsi yangberkata:” Wahai hamba-Ku, taatlah kepada-Ku niscaya kau akan menjadi seperti-Ku, mengatakan kepada sesuatu: jadilah, maka ia akan menjadi.” Itulah awal terjadinya konflik-konflik yang hebat dalam batinku.
Aku akhiri kunjungan ke Mesir dengan mengunjungi berbagai masjid dan sembahyang di dalamnya. Di antaranya Masjid Malik, Masjid Abu Hanifah, Masjid Syafi’i dan Masjid Ahmad bin Hanbal. Kemudian kuziarahi juga pusara Sayyidah Zainab dan Sayyidina Husain. Juga tak ketinggalan Pondok Tijaniah yang meninggalkan banyak cerita.


PERJUMPAAN DI ATAS KAPAL
AKU berangkat ke Iskandariah pada hari yang telah ditentukan agar dapat naik kapal Mesir yang akan menuju Beirut. Waktu itu aku sangat lelah dan pikiranku letih. Aku berbaring dan tertidur barang sejenak. Setelah dua atan tiga jam perjalanan, aku dikejutkan oleh suara orang di sebelahku. “Nampaknya saudara yang satu ini sangat keletihan” katanya. “Ya memang. Saya sangat letih karena perjalanan dari Kairo ke Iskandariah. Semalam saya harus menempuh perjalanan yang melelahkan untuk bisa sampai di pelabuhan sesegera mungkin. Jadi terpaksa tidur sedikit tadi malam.” Jawabku.
Dari percakapan kami, aku menduga bahwa ia bukanlah orang Mesir. Seperti biasa rasa ingintahuku mendorongku untuk mengenalnya lebih jauh. Kuperkenalkan diriku. Ternyata beliau berasal dari Iraq dan bertugas sebagai lektor di Universitas Baghdad. Namanya Mun’im. Beliau datang ke Kairo dalam rangka studi untuk mengambil gelar doktor dari Universitas al-Azhar.
Perbincangan kami berkisar tentang Mesir, dunia Arab dan dunia Islam lain. Kami juga berdiskusi tentang kekalahan Arab dan kemenangan Yahudi serta banyak hal. Antara lain kukatakan bahwa puncak kekalahan adalah terpecahnya Arab dan kaum muslimin ke berbagai negara, bangsa dan mazhab. Meskipun jumlah mereka banyak tetapi tidak bernilai sama sekali di mata musuh-musuh mereka.
Kami juga berbicara banyak tentang Mesir dan rakyatnya. Kami sependapat tentang puncak kekalahan mereka. Kutambahkan bahwa aku sebenarnya tidak menyukai perpecahan yang telah direkayasa para imperialis itu. Mereka cuma bertujuan ingin dengan mudah menguasai dan mengalahkan kita. Kita masih membedakan antara Maliki dengan Hanafi. Dan kuceritakan padanya tentang peristiwa pahit yang kualami ketika sembahyang Asar berjama’ah di masjid Abu Hanifah, Kairo. Usai shalat tiba-tiba orang yang berdiri di sampingku dengan nada marah berkata padaku, “Kenapa kau tidak sedekapkan tanganmu ketika sembahyang tadi?”. Kujawab dengan penuh hormat bahwa Mazhab Maliki meluruskan tangannya saat shalat, dan aku adalah penganut mazhab Maliki”. “Kalau begitu sembahyang saja di Masjid Malik!”, jawabnya jengkel. Lalu aku keluar dari masjid dengan perasaan kesal dan kecewa.
Tiba-tiba ustadz Iraq ini tersenyum dan berkata kepadaku bahwa dia bermazhab Syi’ah. Aku terkejut mendengarnya. Lalu tanpa mau perduli kukatakan kepadanya bahwa jika aku tahu yang dia adalah seorang Syi’ah aku tidak akan sudi berbicara dengannya. “Kenapa?” tanyanya. ” Kalian bukan orang-orang muslim. Kalian menyembah Ali bin Abi Thalib. Orang yang paling moderat dari kalian memang menyembah Allah, namun mereka tidak beriman pada Risalah Nabi Muhammad SAWW. Mereka mencaci Malaikat Jibril dan berkata bahwa dia telahberbuat salah. Kalian mengatakan seharusnya wahyu diturunkan kepada Ali, bukan kepada Muhammad”. Dengan tegas kukatakan seperti itu tanpa henti sementara temanku terus mendengarkan sembari sekali-kali tersenyum.
Dia bertanya padaku: “Apakah Anda seorang guru?” “Ya”, jawabku.
“Jika guru yang berpikir seperti ini maka tidak heran kalau orang-orang awam yang tidak terpelajar juga akan berpikir demikian.”
“Apa maksud Anda ?” Tanyaku mengulang.
“Maaf. Dari mana Anda memperoleh propaganda-propaganda bohong seperti ini?”
“Dari buku-buku sejarah dan dari ucapan orang banyak.”
“Tinggalkan apa yang dikatakan orang. Tetapi buku sejarah mana yang Anda baca? “
“Buku Fajrul Islam, Dhuhal Islam dan Zhurul Islam karya Ahmad Amin dan sebagainya.”
“Kapan Ahmad Amin menjadi wakil Syi’ah? Untuk berlaku adil dan objektif Anda mesti merujuk kepada sumbernya yang asli.” Katanya.
“Mengapa saya harus kaji suatu perkara yang telah dikenal oleh kalangan khusus dan umum?”.
“Ahmad Amin sendiri telah berkunjung ke Iraq. Dan aku sempat berjumpa dengannya di Najaf. Ketika kami menyinggung tulisannya tentang Syi’ah, beliau meminta maaf sambil berkata, “Aku tidak tahu apa-apa tentang kalian dan aku tidak pernah berhubungan dengan Syi’ah sebelum ini. Ini adalah yang pertama kali aku berjumpa dengan orang-orang Syi’ah.” Kami katakan padanya bahwa satu permohonan maaf kadangkala lebih buruk dari berbuat kesalahan itu sendiri. Bagaimana Anda tidak tahu apa-apa tentang kami lalu Anda tulis segala sesuatu yang buruk tentang kami.
Kemudian beliau melanjutkan:
“Ya akhi, jika kita menghukumi agama Yahudi dan Nasrani melalui AlQuran, itu salah, kendatipun ia adalah alasan dan hujjah yang sangat kuat bagi kita, namun bagi mereka itu adalah tidak sah. Suatu argumentasi akan menjadi sangat kuat apabila kesalahan mereka kita buktikan melalui kitab-kitab yang mereka percayai sendiri”.
Kata-katanya ini menyentuh hatiku persis seperti hati kering yang tersiram air sejuk. Diriku tiba-tiba saja berobah dari sikap hasad dan dengki menjadi rasa ingin tahu. Kuen-dapkan kata-katanya yang bijak dan hujjahnya yang kuat. Apa salahnya jika aku berendah hati sedikit dan mendengar kata-katanya.
“Kalau begitu Anda percaya pada kenabian Muhammad?” Tanyaku.
“Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam.” Sambungnya. “Semua orang Syi’ah percaya pada kenabian Muhammad. Ya akhi, semestinya Anda teliti sendiri apa itu Syi’ah sampai tuntas agar tidak menaruh prasangka jelek terhadap saudara-saudara Anda dari mazhab Syi’ah. Ketahuilah bahwa sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Apabila Anda benar-benar ingin mengetahui apa itu kebenaran dan mau menyaksikannya dengan mata kepala sendiri saya bersedia mengajak Anda untuk berkunjung ke Iraq dan berjumpa dengan para alim ulama serta orang-orang awam mereka. Dari sana kemudian Anda akan dapat buktikan kebohongan yang telah disebarkan oleh orang-orang yang hasad, dengki dan berniat buruk pada mereka.”
“Memang. Sudah lama saya ingin berkunjung ke Iraq. Insya Allah suatu hari kelak saya akan dapat menunaikannya.” Jawabku spontan. “Saya ingin melihat bukti-bukti sejarah Islam yang ditinggalkan oleh Bani Abbasiah, terutama yang diwariskan oleh Harun ar-Rasyid. Namun sayang, bekal saya sangat terbatas di samping saya telah berencana akan melakukan umrah. Paspor saya juga tidak diizinkan masuk wilayah Iraq.”
“Ketika saya berkata bahwa saya bersedia mengantar Anda berkeliling Iraq, saya bermaksud akan menanggung seluruh ongkos dan biaya Anda sejak dari Beirut sampai Baghdad, pulang dan pergi. Anda juga akan menginap di rumah saya sebagai tamu saya. Adapun masalah paspor, biar kita serahkan pada Allah sajalah untuk mengatasinya. Apabila Allah takdirkan Anda bisa berkunjung ke Iraq, tanpa paspor sekalipun Anda akan mengunjunginya juga. Kita akan berusaha memperoleh visa masuk setibanya kita di Beirut kelak.”
Betapa senangnya hatiku mendengar berita gembira ini. Aku berjanji padanya akan memberi jawaban esok, Insya Allah.
Aku keluar dari kamar dan naik ke atas kapal untuk mencari udara segar. Pikiranku mulai berkecamuk dan melayang-layang di lautan yang tak bertepi itu. Aku membaca tasbih dan memuji-muji Allah yang telah menciptakan alam semesta yang mahaluas ini. Kuucapkan rasa syukur pada-Nya yang telah menghantarku sampai ke tempat ini sambil kumohon pada-Nya agar melindungiku dari segala kejahatan dan memeliharaku dari segala kesalahan. Ingatanku juga jauh melayang merekam kembali berbagai peristiwa yang kualami dan berbagai kebahagiaan yang kulalui sejak masa kecil hingga hari ini. Aku berharap bisa memperoleh masa depan yang lebih baik. Aku merasa seakan Allah dan Rasul-Nya telah menganugerahkan padaku suatu karunia yang sangat istimewa.
Kupandang kembali Mesir yang masih memperlihatkan sebagian pantainya, sambil mengucapkan selamat tinggal pada persada yang di dalamnya telah kucium baju Rasulullah SAWW. Betapa indahnya kenangan itu. Kata-kata orang Syi’ah tadi juga masih mengiang di telingaku dan sangat menggembirakanku. Betapa tidak. Cita-cita melawat Iraq sudah sejak kecil ada dalam benakku. Dan kini nampaknya hampir nyata. Iraq— seperti yang kubayangkan— adalah tanah air Harun ar-Rasyid dan Makmun, pendiri Dar al-Hikmah, sebuah institusi yang menampung berbagai pelajar dari barat pada kurun kegemi-langan peradaban Islam dahulu. Baghdad juga dikenal sebagai tanah air al-Qutb ar-Rabbani wa Syaikh as-Somadani Sayyidi Abdul Qadir al-Jailani, yang namanya dikenal di seluruh pelosok dunia dan tarekat ajarannya ada di semua tempat. Hal ini bagiku adalah sebuah anugerah baru yang sangat khusus dari Allah untukku.
Lama akuberkhayal dan berangan-angan sampai sebuah suara menyentakku. Suara itu mengajak semua penumpang kapal urvtuk menikmati hidangan makan malam di kantin. Aku pergi ke sana dan—seperti biasa—para penumpang tengah berdesakan untuk masuk ke ruang kantin. Tiba-tiba orang Syi’ah tadi memegang bajuku dan dengan perlahan menarikku ke belakang. Katanya: “Mari wahai saudaraku. Tidak perlu kita ikut berdesak-desakan di sini. Biarlah kita makan sebentar lagi setelah desakan ini berkurang. Sejak tadi aku mancarimu. Sudahkan Anda shalat? “Belum” jawabku. ” Mari kita shalat dahulu, baru kemudian kita makan. Saat itu kantin juga sudah sepi.” Katanya.
Sebuah pendapat yang baik. Akhirnya kami pergi ke tempat yang agak sepi untuk wudhu’. Aku memintanya menjadi imam sekadar ingin “menguji” bagaimana dia shalat. Kemudian kelak akan kuulangi shalatku. Seusai kami shalat maghrib, wirid, zikir dan bacaan-bacaan do’anya yang sangat memikat, akhirnya kuubah niatku yang tadinya ingin mengulangi shalat. Aku merenung seakan aku tengah bermakmum dengan salah seorang dari sahabat yang mulia, di mana aku belajar darinya, dari sifat wara’ dan taqwanya. Usai shalat beliau membaca doa yang panjang yang tidak pernah kudengar di Tunisia maupun di negeri-negeri yang pernah kukunjungi. Setiap kali kudengar beliau bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya dan memuji-mujinya hatiku terasa sangat tenteram dan tenang. Kuperhatikan juga bekas-bekas tangis membekas pada kedua belah matanya. Aku juga mendengar beliau meridoakanku semoga Allah membukakan mata hatiku dan membimbingku.
Kami pergi ke kantin. Saat itu memang sudah nampak agak kosong. Beliau tidak mau duduk sebelum aku sendiri yang duduk. Pelayan menghantarkan kepada kami dua pinggan makanan. Kulihat temanku ini menggantikan pingganku dengan pinggannya, karena bagian laukku lebih sedikit dibandingkan dengan bagian dagingnya. Beliau melayaniku seolah-olah aku adalah tamunya. Diceritakannya kepadaku berbagai riwayat tentang makanan, minuman dan adab makan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Sungguh aku sangat kagum pada akhlaknya. la tetap menjadi imam dalam shalat Isya’ dan membaca doa-doa yang panjang sehingga membuatku juga menangis. Aku mohon kepada Allah agar memaafkan prasangkaku padanya, karena sebagian dari prasangka adalah dosa. Tetapi siapa tahu?
Aku tidur dan memimpikan Irak serta seribu satu malamnya. Aku terbangun setelah ia membangunkanku untuk shalat Shubuh. Kami shalat berjemaah dan setelah itu larut dalam diskusi atas nikmat-nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kaum muslimin.
Kami tidur kembali. Ketika bangun kulihat dia tengah duduk di atas ranjangnya sambil melintir tasbih, berzikir pada Allah SWT. Melihatnya hatiku terasa tenteram dan jiwa ini terasa tenang. Lalu kumohon ampunan pada Allah.
Pada saat makan siang, kapten kapal mengumumkan bahwa kapal kami sudah menghampiri pantai Lebanon. Dengan izin Allah kami akan berada di pelabuhan Beirut dalam waktu dua jam kemudian. Dia menanyakan keputusanku. Aku jawab bahwa apabila Allah SWT memudahkan urusan visa masuk, tiada alasan untukku menolak undangannya. Aku juga tak lupa mengucapkan ribuan terima kasih atas amal baiknya ini.
Kami turun di Beirut dan bermalam di sana. Hari berikutnya kami berangkat ke Damascus dan langsung menuju kedutaan Irak. Aku dapat visa masuk dengan sangat mudah; lebih cepat dari yang kuduga. Begitu keluar, dan mengucapkan selamat padaku, sambil memuji-muji kebesaran Allah.


PERTAMA KALI MELAWAT IRAK
KAMI berangkat ke Baghdad dari Damaskus dengan sebuah bus milik Syirkah an-Najafal-A’lamiah. Saat itu suhu panas kota Baghdad mencapai empat puluh derajat celsius. Kami
memasuki wilayah perumahannya yang indah, di Mantiqah al-l’qal. Setibanya di rumah yang “full-ac”, aku rasakan suatu kebahagiaan yang tersendiri. Sejenak setelah istirahat, teman ini keluar dari dalam dengan membawa sehelai baju gamis panjang yang mereka sebut dengan istilah Dasydasyah.
Kemudian dia menghidangkan untukku berbagai jenis buah-buahan dan makanan. Tidak berapa lama setelah itu anggota keluarganya keluar dan mengucapkan salam padaku dengan penuh hormat. Ayahnya memelukku seolah-olah ia telah mengenalku sejak lama. Ibunya berdiri di tepi pintu dengan memakai a’baah (kain panjang) yang hitam sambil mengucapkan salam dan ucapan selamat datang lainnya padaku. Atas nama ibunya, temanku minta maaf karena tidak bisa bersalaman. Menurutnya, bersalaman antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim adalah haram.
Mendengar itu, aku semakin bertambah heran. Ternyata mereka yang kami tuduh sebagai orang yang murtad justru lebih menjaga akhlak Islami dibandingkan kami. Dan selama beberapa hari perjalananku bersamanya, kulihat dalam banyak hal ia memiliki akhlak yang sangat tinggi dan jiwa yang bersih. Sikap rendah-dirinya dan sifat wara’nya belum pernah kujumpai pada orang selainnya. Benar-benar kurasakan seakan aku bukan orang asing yang sedang bertamu di rumahnya.
Pada malam hari kami naik ke bagian atas dari atap rumah. Tempat tidur telah dibentangkan untuk kami di sana. Aku masih terjaga hingga larut malam. Seperti tak percaya apakah aku dalam keadaan mimpi atau memang benar-benar sadar. Benarkah aku berada di Baghdad, di sisi makam Syekh Abdul Qadir al-Jailaini?
Temanku tertawa dan bertanya apa yang dikatakan orang-orang Tunisia tentang Abdul Qadir al-Jailani? Kuceritakan padanya sejumlah keramatnya yang sangat masyhur di tempat kami. Begitu juga tempat-tempat yang menggunakan namanya. Abdul Qadir Jailani adalah pusat dari suatu pusaran, sebagaimana Muhammad Rasulullah SAWW adalah penghulu para Nabi, maka Abdul Qadir al-Jailani adalah penghulu para wali. Telapak kakinya di atas pundak seluruh wali. Beliau pernah berkata: “Seluruh manusia tawaf di sekitar Ka’bah sebanyak tujuh kali dan aku tawaf di sekitar Rumah ini dengan kemahku.”
Aku berusaha meyakinkannya bahwa Syaikh Abdul Kadir al-Jailani bisa datang kepada sejumlah murid dan pecintanya secara nyata, mengobati mereka dan menolong mereka dari berbagai kesukaran. Ketika aku bercerita tentang wali ini aku lupa atau berpura-pura lupa pada akidah Wahabiah yang kuketahui, yang mengatakan bahwa semua itu adalah syirik. Ketika kusadari bahwa dia tidak begitu tertarik dengan ceritaku, akhirnya aku berupaya untuk meyakinkan diriku bahwa yang kuceritakan barusan sama sekali tidak benar; dan kutanyakan bagaimana pendapatnya.
Sambil tertawa ia berkata padaku: “Tidurlah dan istirahatlah dari segala keletihan yang kau alami. Insya Allah besok kita akan ziarah pusara Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.”
Mendengar ini aku merasa sangat gembira. Sedemikian rupa sehingga kuharap kalau-kalau waktu fajar akan segera menyingsing. Tetapi rasa letih yang amat sangat menyebabkan diriku tertidur sangat pulas sampai matahari terbit dan hilang waktu Shubuhku. Temanku mengatakan bahwa dia telah berkali-kali coba membangunkanku. Namun karena terlalu letih, mungkin aku tidak mendengarnya.•



ABDULQADIRAL-JAILANI DAN MUSA AL-KAZIM
USAI makan pagi kami pergi ke makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Darijauh dapat kulihat makam yang sejak lama aku impikan itu. Aku bergegas seolah-olah sangat merindukannya. Dengan penuh semangat aku berjalan masuk ke dalam, tak sabar ingin segera berada dalam pelukannya. Temanku mengikittiku kemana pun aku pergi. Tak lama setelah itu, aku telah berada di antara rombongan para peziarah yang bagaikan jemaah haji Baitullah al-Haram. Ada yang menebarkan segenggam manisan, kemudian direbut oleh penziarah lain. Aku mengikuti kerumunan orang yang memperebutklan manisan itu, dan berhasil mengambil dua buah di antaranya. Satu kumakan sebagai berkat dan satu lagi kusimpan sebavai kenangan.
Kemudian aku shalat dan berdo’a pendek. Kuminum airnya yang kurasakan seperti air zamzam. Kuminta temanku untuk menunggu sejenak karena aku akan menulis sejumlah surat ringkas pada teman-temanku di Tunisia di atas postcard berlatar kubah makam berwarna hijau. Aku hanya ingin menceritakan betapa baiknya nasib yang telah membawaku sampai ke sini.
Sepulang dari sana kami makan siang di sebuah restoran lokal yang terletak di tengah-tengah kota Baghdad. Lalu temanku memanggil taksi dan kudengar ia menyebutkan nama sebuah tempat, Kazimiah. Dalam perjalanan nampak olehku sekumpulan orang, laki-laki dan perempuan membawa bekal masing-masing, berjalan berbondong-bondong menuju satu arah. Lagi-lagi, ini mengingatkanku pada musim haji. Di kejauhan tampak menara dan kubah keemasan amat mencolok mata. Mungkin itu salah satu mesjid mereka. Karena, salah satu kebiasaan kaum Syi’ah yang kuketahui adalah menghias masjid-masjid dengan perak dan emas.
Sungguh berat rasanya melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam. Namun, untuk menghargai niat baik temanku, aku mengikutinya juga.
Kami masuk melalui pintu pertama. Kuperhatikan banyak sekali orang-orang tua yang mengusap-usap dan menciumi pintu-pintu masuk. Sampailah mataku terpandang pada sebuah papan yang ditulis dengan huruf besar “Dilarang Masuk Wanita Yang Tidak Menutup Aurat”. Juga terpampang kata-kata Imam Ali, “Akan datang pada manusia suatu zaman di mana wanita-wanitanya keluar dengan memakai pakaian yang tipis…” Kami tiba di makam. Ketika temanku membaca do’a izin-masuk, kulihat ukiran yang ada dalam pintu itu. Aku sangat kagum akan emas dan ukiran ayat-ayat AlQuran yang ada di dalamnya.
Kuikuti langkah temanku yang terus masuk ke dalam dengan penuh rendah hati. Prasangkaku terhadap Syi’ah tentu tak bisa pupus begitu saja. Terus terang, aku berada dalam suatu tempat yang tak pernah terbayangkan. Bagian dari makamnya sarat dengan ukiran dan hiasan. Orang banyak berkerumun mengelilingi kuburan sambil menangis dan menciumi tiang-tiang dan besi-besinya. Aku melihat mereka dengan perasaan yang jijik. Aku teringat pada hadis yang berbunyi, “Allah telah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka telah jadikan kuburan para wali mereka sebagai masjid.”
Aku menjauh dari temanku yang langsung saja menangis seketika masuk ke dalam. Sambil menunggu dia shalat, kubaca sebuah tulisan doa ziarah yang tergantung di atas makam. Kubaca berulang-ulang, namun tetap tak kumengerti artinya. Kemudian aku berdiri di sebuah sudut yang agak jauh lalu membaca al-Fatehah sambil kutujukan pada orang yang berada dalam kuburan itu. Aku berdoa: “Ya Allah, seadainya penghuni kubur ini termasuk dalam golongan orang-orang muslimin maka kasihanilah dia. Dan Kau lebih tahu dariku”.
Tak lama kemudian temanku mendekat. Dia berbisik, “Apabila kau punya hajat mintalah pada Allah di tempat ini. Kami menamakan tempat ini dengan Bab al-Hawaij ( Pintu Hajat)”. Aku tidak memperdulikan apa yang dikatakannya. (Semoga Allah memaafkanku) Aku terpaku ketika memandang sebagian orang tua yang memakai sorban hitam dan putih, dan di dahi mereka ada tanda hitam bekas sujud. Mereka tampak sangat berwibawa dengan janggut mereka yang terulur rapi dan berbau wangi semerbak. Pandangan mereka tajam dan menakutkan. Setiap kali mereka masuk ke tempat itu tiba-tiba mereka menangis tersedu-sedu. Aku bertanya dalam hati, mungkinkah derai tangis itu adalah tangisan yang tak jujur? Mungkinkah orang-orang tua itu salah?
Aku keluar dari sana dengan diliputi rasa bingung dan takjub. Temanku berjalan mundur ketika keluar meninggalkan makam itu, agar punggungnya tak membelakangi pusara. Aku bertanyakepadanya:
“Siapa penghuni makam ini ?”
“Imam Musa al-Kazim ” jawabnya.
“Siapa itu Imam Musa al-Kazim?”
“Subhanallah. Kalian saudara-saudara kami dari mazhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah telah meninggalkan isi dan berpegang hanya pada kulit.”
“Apa maksud Anda? ” Tanyaku jengkel.
“Ya akhi!” Katanya coba menenangkanku. “Sejak Anda tiba di Irak, sering Anda sebut nama Abdul Qadir al-Jailani. Tahukah Anda siapa itu Abdul Qadir al-Jailani, yang padanya Anda curahkan seluruh perhatian?”
“Beliau adalah zuriat Nabi SAWW. Seandainya ditakdirkan ada Nabi lain setelah Nabi Muhammad maka Abdul Qadir Jailanilah yang akan menjadi nabi.”
“Ya akhi Samawi. Apakah Anda tahu sejarah Islam?.” “Ya” jawabku tanpa ragu-ragu.
Padahal aku tidak tahu sama sekali tentang sejarah Islam. Guru-guru kami dahulunya melarang kami membaca sejarah. Mereka berkata bahwa sejarah itu hitam, gelap dan tidak berguna untuk dipelajari. Aku masih ingat seorang di antara guruku yang mengajar Ilmu Balaghah (sastra). Waktu itu beliau mengajar kepada kami Khutbah Syiqsyiqiyah dari kitab Nahjul Balaghah, koleksi khutbah, surat-surat dan pidato Imam Ali. Aku dan sejumlah murid yang lain merasa agak bingung ketika membacanya. Kuberanikan diri untuk mempertanyakan kebenaran kata-kata Imam Ali. Guru itu menjamab: “Ya. Apakah ada orang lain yang sefaseh Imam Ali. Seandainya buku ini bukan koleksi dari kata-kata Imam AliKarramallah Wajhahu, maka ulama-ulama besar seperti Syaikh Muhammad Abduh, Mufti Besar Mesir misalnya, tidak akan mau men-syarah-kannya. “Kukatakan pada guruku saat itu, “Imam Ali telah menuduh Abubakar dan Umar merampas hak khilafahnya.” Mendengar ini guruku terbelalak dan marah sekali sampai mengancam akan mengeluarkanku apabila kuulangi pertanyaan yang serupa. Katanya, “Kami hanya mengajar ilmu balaghah, bukan ilmu sejarah. Jangan kita peduli dengan sejarah yang telah dihitamkan lembarannya oleh berbagai fitnah dan pertumpahan darah sesama kaum muslimin. Sebagaimana Allah telah sucikan pedang kita dari darah-darah mereka, maka kita sucikan juga lidah-lidah kita dari mencaci mereka.”
Aku tidak puas dengan alasan guruku seperti itu. Aku masih menaruh rasa “dendam” pada guruku yang mengajar ilmu balaghah tanpa mengajarkan maknanya yang jelas. Berkali-kali aku berusaha untuk mengkaji sejarah Islam, namun aku tidak memiliki rujukan yang memadai. Ulama-ulama kami juga tidak memberikan perhatian terhadapnya, seolah-olah ilmu sejarah adalah lembaran hitam yang telah ditutup untuk selama-lamanya.
Ketika temanku menanyakanku pengetahuanku akan ilmu sejarah aku ingin sekedar membantahnya dengan mengatakan “Ya”. Padahal dalambenakku aku berpikir bahwa itu semua tidak berguna. Itu adalah sejarah hitam dan gelap. Tiada lain kecuali fitnah, perang dan berbagai kontradiksi.
Temanku bertanya lagi kepadaku:
“Tahukah Anda kapan Abdul Qadir al-Jailani dilahirkan dan di zaman apa ?”
“Kira-kira pada abad keenam atau ketujuh.”
“Berapa lama jaraknya dengan zaman Rasulullah ?”
“Enam abad.” Jawabku.
“Jika satu abad ada dua generasi—paling sedikit—berarti antara Abdul Qadir al-Jailani dengan Rasulullah dipisahkan oleh dua belas keturunan.”
“Ya.” Jawabku.
“Yang ini adalah Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Fatimah az-Zahra’, yang nasabnya sampai kepada datuknya Nabi SAWW hanya lewat empat ayah saja, atau tepatnya beliau dilahirkan pada abad kedua Hijriah. Mana yang lebih dekat pada Rasulullah, Musa atau Abdul Qadir?”
“Tentu Musa.” Jawabku tanpa berpikir lagi. “Tapi, kenapa kami tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar tentang dirinya?”
“Inilah masalah yang harus kita pikirkan. Itulah mengapa saya katakan tadi bahwa kalian—maaf—meninggalkan isi dan berpegang hanya pada kulit saja. Maafkan saya mengatakan demikian.”
Kami terus berdiskusi sambilberjalan sampailah kami tiba di suatu halaqah, tempat para pelajar dan sejumlah ustadz lain asyik berdiskusi dan bertukar pikiran. Kami duduk di sana. Temanku tampak sedang mencari-cari seseorang. Mungkin ia punya janji dengan temannya. Kemudian ada seseorang datang menghampirinya. Usai mengucapkan salam, akhirnya aku tahu bahwa dia adalah teman semahasiswa dari universitas yang sama. Temanku bertanya akan seseorang yang dari jawabannya kuketahui bahwa dia adalah seorang doktor, dan segera akan datang. Kemudian temankuberkata padaku, “Aku membawamu ke tempat ini karena ingin mengenalkanmu pada seorang doktor ahli sejarah. Beliau adalah lektor Universitas Baghdad. Tesisnya dahulu berkenaan dengan sejarah Abdul Qadir al-Jailani. Insya Allah dia akan bermanfaat besar bagimu, karena saya sendiri bukan pakar dalam bidang ini “.
Kami minum air sari buah yang sejuk. Tak lama kemudian Doktor sejarah itu tiba. Temanku mengucapkan salam padanya sambil berdiri. Diperkenalkannya aku dan dimintanya agar Doktor ini menceritakan padaku tentang sejarah Abdul Qadir al-Jailani secara ringkas. Lalu dia sendiri minta izin sebentar karena beberapa kerjaan penting yang mesti diselesaikannya. Doktor ini pun memesan lagi untukku segelas minuman dingin lainnya, lalu menanyakan namaku, negeriku dan profesiku. la juga memintaku bercerita tentang kemasyhuran Abdul Qadir al-Jailani di Tunisia.
Banyak kuceritakan padanya kisah tentang Abdul Qadir al-Jailani. Bahkan sebagian orang percaya bahwa Syaikh Abdul Qadir telah memikul Nabi pada malam peristiwa mi’raj ketika malaikat Jibril sendiri mundur dan takut terbakar. Kemudian Nabi SAWW berkata padanya: “Telapak kakiku di atas bahumu dan telapak kakimu di atas bahu para wali hingga hari kiamat.”
Doktor ini langsung saja tertawa ketika mendengar ceritaku. Entahlah, apakah karena mendengar cerita itu atau karena sang ustadz Tunisia yang tengah berada di hadapannya. Usai diskusi ringkas tentang wali-wali dan orang-orang shaleh beliau berkata bahwa beliau telah meneliti tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selama tujuh tahun. Beliau telah berkunjung ke Lahore Pakistan, Turki, Mesir, Inggris dan tempat-tempat lain yang menyimpan manuskrip tulisan tangan tentang Abdul Qadir al-Jailani. Semua manuskrip itu dibaca bahkan digambar. Kesemua manuskrip yang ada tidak membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berasal dari keturunan Nabi. Ada sebuah syair yang dinisbahkan kepada salah seorang dari cucunya, yang antara lain berbunyi: “Dan datukku Rasulullah.” Sebagian ulama mengartikan bahwa ucapan itu adalah takwil dari sebuah hadis Nabi yang bermaksud: “Aku adalah datuk bagi setiap orang yang bertakwa”. Sejarah yang sahih juga membuktikan bahwa Abdul Qadir al-Jailani berasal dari Persia, bukan Arab. Beliau dilahirkan di suatu negeri di Iran yang bernama Gilan, dan kepada negerinya itulah Syaikh Abdul Qadir dinisbahkan. Kemudian beliau pergi ke Baghdad untuk belajar dan mengajar di mana akhlak masyarakat saat itu sudah sangat runtuh. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang yang zahid. Masyarakat sekitar sangat mencintainya. Setelah wafatnya mereka dirikan sebuah tarekat yang dinisbahkan pada dirinya yang kemudian populer dengan nama Qadiriyah. Hal ini juga biasa dilakukan oleh pengikut-pengikut para sufi lain.” Kemudian beliau melanjutkan lagi: “Sungguh, dari sisi ini keadaan orang-orang Arab memang sangat mengecewakan.”
Tiba-tiba saja rasa ke-Wahabiah-an muncul kembali dalam diriku. “Kalau begitu Anda telah berpikir seperti orang-orang Wahhabi.” Sahutku. “Mereka berkata seperti Anda bahwa tiada yang disebut wali dalam Islam.”
“Tidak. Aku tidak sependapat dengan Wahabiah. Yang sangat mengecewakan adalah sikap kaum muslimin yang sering bernada ekstrem: Di satu sisi ada yang percaya pada semua khurafat yang tidak bersandarkan pada alasan dan hujjah syara’ dan akal, dan di sisi lain ada juga yang mendustakan hatta mukjizat Nabi kita Muhammad SAWW dan hadis-hadisnya sekalipun, semata-mata karena tidak sejalan dengan akidah dan jalan pikiran mereka. Satu terbit dan yang lain tenggelam. Orang-orang Sufi berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani—misalnya—bisa berada di Baghdad dan di Tunisia pada masa yang sama. Beliau bisa mengobati seseorang yang sakit di Tunisia dan juga menyelamatkan seorang yang tenggelam di dalam sungai Dajlah di Irak dalam masa yang sama. Sikap seperti ini adalah sikap ekstrem dan berlebih-lebihan. Sementara Wahabiah—sebagai reaksi pada Sufi— menolak semua itu bahkan mengatakan bahwa mereka yang bertawasul pada Nabi SAWW adalah syirik. Sikap seperti ini adalah sebuah sikap jumud. Allah berfirman dalam kitab-Nya, “Demikianlah Kami jadikan kamu sebagai ummat yang wasatho (tengah) agar kelak menjadi saksi kepada ummat manusia” (Al Baqarah: 143)
Kata-kata Doktor ini sangat menusuk kalbuku. Aku sangat berterima kasih kepadanya dan kutunjukkan juga rasa kepuasanku pada apa yang diucapkannya. Kemudian beliau membuka tasnya dan mengeluarkan buku karyanya tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Buku itu kemudian dihadiahkannya padaku. la mengundangku untuk berkunjung ke rumahnya. Tapi aku mohon maaf lantaran beberapa hal. Kami terus berbicara tentang Tunisia dan Afrika Utara sampai temanku datang.
Ketika malam tiba kami pulang ke rumah setelah satu hari penuh ziarah dan diskusi. Kurasakan badanku sangat letih sehingga aku bisa tidur lebih awal dari biasanya.
Usai shalat Shubuh keesokan harinya aku baca kitab yang berkaitan dengan biografi Abdul Qadir al-Jailani ini sampai setengahnya. Dari tadi temanku telah berulang kali mengajakku sarapan pagi. Namun kutolak karena penasaran ingin menyelesaikan buku ini. Sungguh sebuah karya yang sangat memukau dan mengajakku untuk berpikir kritis. Tapi kemudian ia segera hilang dibawa angin sebelum aku sempat meninggalkan Irak sekalipun. •


RAGU-RAGU
SELAMA tiga hari aku tinggal di rumah temanku. Seringkali kurenungkan setiap ucapan yang kudengar dari mulut mereka. Aku merasa seakan baru menemukan orang-orang asing yang datang dari bulan. Mengapa berita mereka tidak sampai kepada kami melainkan yang buruk-buruk dan dusta saja? Mengapa orang gemar membenci dan dengki pada orang-orang yang belum mereka kenal? Betapa berkbihan fitnah-fitnah yang seringkali kami dengar tentang mereka; bahwa mereka menyembah Ali, menempatkan imam-imam mereka setara dengan Tuhan, mempercayai ‘hulul’ (inkarnasi) dan menyembah batu. Ketika ayahku pulang haji, beliau bercerita bahwa orang-orang Syi’ah datang ke pusara Nabi kemudian melemparinya dengan koioran dan najis. Karenanya mereka kemudian ditangkap oleh polisi-polisi Suudi dan dihukum mati. Tuduhan-titduhan seperti itu banyak dilemparkan pada mereka yang tak mungkin kuceritakan di sini.
Tidak aneh kalau kemudian itu semua melahirkan rasa benci kaum muslimin terhadap mereka. Bahkan sewaktu-waktu bisa memerangi mereka. Namun bagaimana mungkin aku akan percaya pada fitnah-fitnah seumpama itu sementara mata dan telingaku sendiri menyaksikan sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang mereka katakan. Aku telah tinggal bersama mereka lebih dari satu minggu. Dan aku tidak melihat atau mendengar dari mereka kecuali sesuatu yang rasional yang mampu menembus akal-pikiran tanpa hambatan sedikitpun. Bahkan cara mereka beribadah, sembahyang, berdoa, akhlak dan sikap hormat mereka kepada para ulama sangat mengagumkanku, sampai aku sendiri sempat berangan-angan untuk menjadi seperti mereka.
Aku masih bertanya-tanya benarkah mereka membenci Rasulullah SAWW? Setiap kali aku sebut nama Muhammad untuk menguji mereka, serta merta mereka akan sebut salawat kepada Muhammad dan keluarganya. Mula-mula kupikir bahwa mereka mungkin berpura-pura. Tetapi dugaanku meleset setelah kubuka lembaran-lembaran buku mereka yang kubaca. Di dalamnya tertulis sikap hormat dan memuliakan Nabi lebih dari apa yang tertulis dalam kitab-kitab kami sendiri. Mereka mengatakan bahwa Nabi itu maksum dalam segala hal, baik sebelum beliau diutus sebagai Nabi atau sesudah diutus. Sementara AhluSunnah Wal Jamaah mengatakan bahwa Nabi maksum hanya ketika menyampaikan (wahyu) AlQuran saja. Selebihnya beliau adalah manusia biasa yang juga bersalah. Seringkali kita juga berdalih atas kesalahannya dengan membenarkan tindakan atau pendapat sebagian sahabat. Dalam hal ini kita banyak mempunyai contoh. Namun orang Syi’ah menolak mengatakan bahwa Nabi yang mulia pernah melakukan perbuatan yang salah sementara para sahabat semuanya benar. Nah, bagaimana mungkin aku akan mempercayai propaganda orang yang mengatakan bahwa orang-orang Syi’ah membenci Nabi SAWW?
Suatu hari dalam perbincanganku dengan temanku, aku meminta agar beliau menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan tegas. Aku bertanya, “Benarkah kalian (orang Syi’ah) meletakkan Ali r.a. setara dengan para nabi? Setiap kali kalian menyebut nama Ali, kudengar kalian akan mengiringinya dengan kalimat alaihissalam.”
“Ya, memang benar kami mengucapkan kalimat alaihis-salam setiap kali kami sebut nama Ali atau nama para imam dari keturunan Nabi SAWW. Hal itu tidak berarti bahwa mereka adalah para nabi. Mereka adalah anak keturunan Nabi Muhammad dan keluarganya di mana Allah perintahkan kita untuk mengirimkan salawat padanya. Dengan demikian maka boleh juga kita ucapkan kepada mereka kalimatalaihimussolatu wassalam.”
“Tidak ya akhi,” jawabku. “Kami hanya mengkhususkan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan para nabi sebelumnya saja. Ali dan anak-anaknya r.a. tidak termasuk dalam kategori ini.”
“Kuharap Anda bisa membaca lebih banyak lagi agar dapat mengetahui hakikat yang sebenarnya.”
“Kitab apa yang mesti aku baca. Bukankah Anda mengatakan bahwa kitab-kitab karya Ahmad Amin tidak merujuk kepada Syi’ah. Demikian juga kitab-kitab Syi’ah. Bagi kami kitab-kitab Syi’ah tidak mengandung kekuatan hujjah dan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan. Bukankah kitab-kitab Nasrani mengatakan bahwa Isa pernah menyatakan dirinya: “Sesungguhnya aku adalah anak Allah”. Sementara AlQuran— Kitab yang paling benar—menuliskan kata-kata Isa bin Maryam: “Aku tidak katakan kepada mereka kecuali apa yang Kau perintahkan aku bahwa sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan kalian.”
“Baik. Sungguh baik. Apa yang aku inginkan hanya ini, yakni penggunaan akal dan logika serta berhujjah dengan AlQuran al-Karim dan Sunnah yang sahih sebagaimana yang diperintahkan. Seandainya kita berdiskusi dengan orang-orang Yahudi atau Nasrani, maka hujah kita tentu akan lain lagi bentuknya.”
“Di kitab mana saya bisa dapatkan kebenaran? Setiap pengarang, setiap orang dan setiap mazhab mengaku dirinya pada jalan yang benar.”
“Aku akan tunjukkan padamu suatu dalil yang sangat nyata dan disepakati oleh kaum muslimin dari berbagai mazhab. Sayangnya Anda juga tidak mengetahuinya.”
“Tuhanku tambahkan padaku ilmu pengetahuan.” Jawabku singkat. “Apakah Anda pernah baca tafsir ayat berikut: Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian atasnya dan ucapkanlah salam (al-Ahzab: 56) Para ahli tafsir, Sunnah dan Syi’ah, meriwayatkan bahwa sejumlah sahabat datang kepada Nabi SAWW dan bertanya, “Ya Rasulullah, kami tahu bagaimana cara mengucapkan salam kepadamu, tetapi kami tidak tahu bagaimana cara mengucapkan salawat kepadamu. Kemudian Rasulullah menjawab, “Katakanlah, ya Allah kirimlah salawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad, sebagaimana kau kirimkan salawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim di alam semesta. Sesungguhnya Kau Maha Terpuji dan Maha Agung.” Dan hadis lain, Jangan kalian ucapkan salawat kepadaku dengan salawat yang terputus. Sahabatbertanya, ya Rasulullah apa itu salawat yang terputus. Baginda menjawab: kalian mengucapkan salawat kepada Muhammad, namun setelah itu kalian diam. Sesungguhnya Allah itu Maha Sempurna dan tidak menerima melain-kan yang sempurna juga.”
Itulah mengapa para sahabat dan generasi berikutnya tahu bagaimana cara mengucapkan salawatkepada Rasulullah SAWW secara sempurna. Imam Syafi’i pernah berkata dalam sebuah syairnya:
Wahai keluarga Rasulullah
Mencintai kalian adalah fardu dari Allah di dalam AlQuran yang diturunkan-Nya
Sudah cukup suatu keagungan bagi kalian siapa yang tidak bersalawat kepada kalian maka tiada akan sah sembahyangnya
Kata-kata itu benar-benar mengetuk telingaku dan menembus jauh ke kedalam hatiku. Kudapati sebuah reaksi yang positif dalam jiwaku. Secara jujur harus kuakui bahwaaku pernah membaca tulisan serupa itu dalam sebuah buku. Tetapi aku tidak ingat nama kitab itu secara pasti. Aku katakan kepadanya bahwa ketika kami mengucapkan salawat kepada Nabi kami juga mengucapkan salawat kepada keluarganya dan seluruh sahabatnya. Kami tidak mengkhususkan salam kepada Ali seperti yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah.
“Apa pendapatmu tentang Bukhari? Apakah beliau orang Syi’ah?” Tanyanya kepadaku.
“Beliau adalah seorang imam yang agung dari kalangan Ahli Sunnah Wal Jamaah. Kitabnya adalah kitab yang paling sahih sesudah kitab Allah.” Jawabku.
Kemudian beliau berdiri dan mengambil kitab Shahih al-Bukhari dari perpustakaannya. Dicarinya halaman yang diinginkannya lalu diberikannya kepadaku untuk kubaca. Isinya: “Diriwayatkan oleh Fulan bin Fulan dari Ali alaihis-salam.” Melihat ini rasanya aku tidak percaya sama sekali. Aku terkejut bahkan ragu-ragu apakah benar kitab ini adalah kitab Shahih Bukhari. Berkali-kali kulihat halaman dan nama buku. Memang itu adalah kitab Shahih Bukhari. Ketika temanku menyadari keragu-raguanku, ia ambil kitab itu dari tanganku dan dibukanya lagi halaman yang lain. Isinya: Diriwayatkan oleh Ali bin Husainalaihimassalam. Waktu itu aku hanya bisa mengucap kalimat Subhanallah. Kemudian beliau meninggalkanku dan melangkah keluar.
Aku terus berpikir dan membaca halaman-halaman yang ditunjukkannya padaku berulangkali. Aku teliti cetakan mana yang menerbitkan kitab ini. Kudapati ia dicetak oleh Syarikat al-Halabi Dan Anak-anak, di Mesir.
Ya Ilahi. Kenapa mesti kubantah dan bersikap sombong. Dia telah memberiku suatu hujjah yang nyata dari kitab yang paling shahih di sisi kami. Bukhari pasti bukan seorang Syi’ah. Beliau adalah salah seorang di antara imam-imam Ahlu Sunnah dan ahli hadis yang agung. Apakah aku mesti menyerah pada kebenaran ini, yakni mengatakan alaihissalam ketika menyebut nama Ali. Namun aku masih merasa takut untuk berpegang pada hakikat ini. Karena mungkin ada hakikat lain yang belum kuketahui. Yang pasti, aku telah kalah hujjah di hadapan temanku sebanyak dua kali. Aku telah mengendurkan kepercayaanku akan kesucian Abdul Qadir al-Jailani dan aku mene-rima bahwa Musa al-Kazim adalah lebih utama darinya. Aku juga menerima kenyataan bahwa ucapan alaihissalam adalah benar. Tetapi aku tidak mau menerima kekalahan yang lain. Aku yang sebelum ini dikenal di Mesir sebagai orang alim, bahkan ulama-ulama al-Azhar memuji kehebatanku, tiba-tiba hari ini kudapati diriku kalah dan tak berdaya. Dari siapa? Dari mereka yang sebelum ini dan sampai sekarang masih kupercayai sebagai kelompok yang salah. Aku telah terbiasa mendengar bahwa kalimat Syi’ah identik dengan cacian.
Sungguh ini adalah sikap sombong dan ego, sikap fanatisme dan angkuh. Ya Allah, bimbinglah aku. Bantulah aku dalam menerima kebenaran walaupun pahit. Ya Allah, bukakanlah pandangan mata dan hatiku. Tunjukkanlah aku ke jalan yang lurus. Jadikanlah aku di antara orang-orang yang mendengar perkataan lalu mengikuti yang terbaik. Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran, lalu karuniakan kepada kami untuk mengikutinya. Perlihatkanlah juga kepada kami kebatilan, lalu kurniakan kami untuk menghindarinya.
Sambil membaca-baca doa ini kami kembali pulang ke rumah. Temanku tersenyum. Katanya, “Semoga Allah membimbing kita dan semua kaum muslimin. Allah telah berfirman dalam kitab-Nya:“Dan barang siapa yang berjuang dijalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama omng-orang yang baik”. (al-Ankabut: 69) Kalimat berjuang di dalam ayat ini bermaksud mengkaji ilmu yang mungkin akan menghantar pada suatu kebenaran. Dan Allah SWT pasti akan menyampaikan kepada kebenaran bagi mereka yang mencari kebenaran.


BERANGKAT KE NAJAF
MALAM itu temanku memberitahu bahwa besok Insya Allah kami akan pergi ke Najaf. “Apa itu Najaf?” Tanyaku. “Satu kota ilmu, tempat kuburan Imam Ali” jawabnya. Aku merasa kaget. Bagaimana mungkin Imam Ali mempunyai kuburan yang terkenal. Bukankah syaikh-syaikh kami mengatakan bahwa Sayyidina Ali tidak diketahui dengan pasti di mana kuburannya?
Kami berangkat dengan kendaraan umum hingga sampai di Kufah. Di sana kami melawat Jami’ al-Kufah, salah satu di antara peninggalan Islam yang terkenal. Temanku menunjukkan padaku berbagai tempat bersejarah seperti Jami’ Muslim bin Aqil dan Hani’ bin Urwah. Diceritakannya kepadaku secara ringkas bagaimana mereka berdua syahid. Ditunjukkannya juga kepadaku mihrab tempat syahidnya Imam Ali, dan rumah tempat kediamannya bersama dua putranya Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain. Di rumah itu masih ada sumur tempat mereka mengambil air minum dan berwudhu’. Seketika itu kurasakan jiwa yang penuh nikmat karena menyaksikan betapa zuhudnya kehidupan Imam dan betapa sederhananya beliau; seorang Amir al-Mukminin dan khalifah yang keempat.
Tak dapat kulupakan juga sikap rendah hati dan hormat yang kusaksikan dari penduduk kota Kufah. Setiap kali kami melewati sebuah kerumunan, mereka akan berdiri sambil mengucapkan salam pada kami. Nampaknya temanku banyak mengenal mereka. Salah seorang dari mereka—ketua sebuah akademi di Kufah—mengundang kami ke rumahnya. Di sana kami berjumpa dengan anak-anaknya dan sempat bermalam. Aku merasakan seolah-olah berada di tengah keluargaku. Setiap kali mereka berbicara tentang Ahlu Sunnah Wal Jamaah, mereka akan menyebutnya dengan kata-kata “Saudara-saudara kita dari mazhab Ahlu Sunnah”. Aku sangat senang dengan ucapan-ucapan itu. Kuajukan kepada mereka beberapa pertanyaan untuk menguji sejauh mana kejujuran kata-kata mereka.
Kemudian kami menuju Najaf, sejauh sepuluh kilometer dari Kufah. Setibanya di sana gambaran-gambaran tentang masjid al-Kazimiah terukir kembali di benakku. Menara-menara keemasan nampak mengelilingi kubah yang terbuat dari emas murni. Kami masuk ke Haram Imam (Ali) setelah membaca izin masuk seperti kebiasaan para penziarah Syi’ah. Di sini kulihat sesuatu yang lebih hebat dari pernah yang kulihat di Jami’ Musa al-Kazim. Seperti biasa aku membaca surah al-Fatehah tanpa menaruh keyakinan bahwa orang yang berada di kubur ini adalah Imam Ali. Aku seakan lebih percaya tentang kesederhanaan rumah yang dihuni oleh Imam Ali di Kufah. Aku berkata dalam hati, mana mungkin Imam Ali akan rela dengan kemegahan emas dan perak seperti ini sementara orang-orang Islam mati kelaparan di belahan dunia lain. Khususnya setelah aku saksikan sejumlah fakir miskin yang meminta-minta sedekah di jalan-jalan sekitar wilayah Haram itu. Jiwaku memprotes. Wahai orang-orang Syi’ah, kalian keliru. Paling tidak akuilah kesalahan ini. Imam Ali adalah orang yang diutus oleh Rasul untuk menyamaratakan kuburan, lalu apa artinya kuburan yang dihiasi dengan emas dan perak ini. Walaupun tidak syirik, paling tidak ia adalah suatu kesalahan besar yang tidak akan dimaafkan oleh Islam.
Temanku bertanya padaku sambil mengulurkan sepotong tanah kering apakah aku akan shalat? Kujawab dengan tegas bahwa kami tidak shalat di sekitar kuburan. ” Kalau begitu tunggu saya sebentar untuk shalat sunnat dua rekaat,” Pintanya.
Sambil menunggu aku membaca beberapa tulisan yang tergantung di atas makam. Dari celah-celah besi perak yang berukir aku saksikan sejumlah mata uang yang menumpuk: ada Dirham, Riyal, Dinar, Lerah dan sebagainya. Semua itu diberikan oleh para penziarah sebagai tabarruk (ikut ambil berkat) dalam kerja-kerja bakti yang berkaitan dengan makam ini. Saking banyaknya, aku duga bahwa ia telah terkumpul sejak berbulan-bulan yang lalu. Tetapi temanku berkata bahwa para petugas yang bertanggungjawab memungutnya setiap malam ba’da shalat Isya’.
Aku keluar dengan hati yang kesal. Aku berpikir adalah lebih baik apabila berikan padaku barang sedikit; atau membagi-bagikannya kepada para fakir miskin yang begitu banyak ada di sekitar. Aku perhatikan bahwa di sekitar makam ada sekerumunan orang yang tengah shalat, dan sebagian yang lain kusyu’ terbuai mendengar ceramah yang tengah disampai-kan dari atas mimbar. Aku juga saksikan ada sebagian mereka yang menangis tersedu-sedu dan sebagian yang lain ada yang memukul-mukul dada. Aku ingin sekali bertanya pada temanku gerangan apa yang menyebabkan mereka menangis seperti itu dan memukul-mukul dada. Tiba-tiba sebuah jenazah diusung di dekat kami. Kusaksikan juga ada sebagian mereka yang mengangkat kerandanya di tengah-tengah ruangan lalu menurunkannya di sana. Aku menduga mereka menangis karena jenazah yang baru lalu.


PERJUMPAAN DENGAN ULAMA
TEMANKU mengajakku pergi ke sebuah masjid yang berada di sisi masjid jami’. Di dalamnya terbentang permadani yang indah dan di mihrabnya juga terukir ayat-ayat AlQuran yang sangat menarik. Tiba-tiba mataku tertuju pada kerumunan anak-anak remaja bersorban yang tengak duduk mengelilingi mihrab. Mereka sedang belajar bersama-sama sambil memegang kitab masing-masing. Aku sangat terpesona dengan pemandangan yang indah ini, karena belum pernah kulihat syaikh-syaikh yang begitu muda, yang berumur sekitar tiga belasan sampai enam belasan tahun. Terlebih pakaian yang mereka kenakan itn, benar-benar membuat mereka tampak seperti bulan purnama yang bersinar.
Temanku bertanya tentang Sayed. Mereka menjawab bahwa beliau tengah shalat berjemaah. Aku tidak tahu siapa Sayed yang dimaksudkan. Aku pikir beliau pasti seorang ulama. Kemudian aku diberitahu bahwa beliau adalah Sayed al-Khui, pemimpin Hauzah Ilmiah bagi orang-orang Syi’ah. Gelar Sayed dalam mazhab Syi’ah diberikan kepada mereka yang datang dari keturunan Nabi SAWW. Seorang Sayed yang alim atau yang sedang belajar ilmu-ilmu Islam akan memakai sorban hitam. Sementara ulama-ulama yang lain akan memakai sorban putih dan dipanggil dengan gelar Syaikh. Orang-orang Sayed yang tidak alim, biasanya memakai serban berwarnahijau.
Temanku meminta mereka menemaniku sejenak, dan dia akan pergi menemui Sayed. Mereka menyambutku dengan penuh hangat sambil duduk mengelilingiku. Kuperhatikan wajah-wajah mereka dan kurasakan kebersihan hati mereka. Aku teringat pada sebuah hadis Nabi, “Manusia dikhirkan dalam keadaan suci. Ibu bapaknyalah yang akan meyahudikannya, atau mengkristenkannya atau memajusikannya.” Lalu kukatakan juga pada diriku, atau “mensyi’ahkannya.”
Mereka bertanya dari mana aku berasal. “Dari Tunisia.” Kujawab. “Apakah di sana ada Hauzah ILmiah?” Tanya mereka lagi. “Hanya ada universitas dan sekolah-sekolah biasa.” Jawabku. Berbagai pertanyaan dilemparkan padaku, dan semuanya sungguh sulit kujawab. Apa yang harus kukatakan kepada anak-anak tak berdosa seperti ini yang menduga bahwa seluruh dunia Islam semuanya memiliki Hauzah Ilmiah yang mengajar Fiqh, Usul-fiqih, Usuluddin, Syariah dan Tafsir. Mereka tidak tahu bahwa dunia Islam dan negara-negara kita sekarang telah maju sangat pesat. Kita telah menggantikan madrasah-madrasah yang mengajar AlQuran dengan taman kanak-kanak yang dipimpin oleh pendeta-pendeta Katolik. Apakah harus kukatakan bahwa mereka masih ketinggalan dibanding kita?
Seorang diantara mereka bertanya: “Mazhab apa yang dianut di Tunisia?” “Mazhab Maliki” jawabku. Kuperhatikan ada sebagian mereka yang tertawa. Tetapi aku tak peduli. “Apakah Anda pernah tahu tentang mazhab Ja’fari?” Tanyanya lagi. “Nama baru apa ini? Tidak, kami tidak tahu selain dari empat mazhab. Selain empat itu mereka bukan tergolong dari mazhab Islam. “Jawabku.
Sambil tersenyum, dia berkata lagi: “Maaf, sebenarnya Mazhab Ja’farilah yang benar-benar Islam. Bukankah Imam Abu Hanifah berguru kepada Imam Ja’far as-Shodiq? Itulah mengapa Abu Hanifah berkata: “Kalau bukan kerana dua tahun, maka Nu’man telah celaka.” Aku hanya diam saja. Nama itu baru bagiku, nama yang tidak pernah kudengar sebelum ini. Namun aku memuji Allah bahwa Imam mereka Ja’far as-Shodiq tidak pernah menjadi guru kepada Imam Malik.” Kami ikut mazhab Maliki bukan Hanafi.” Aku coba menjawab. “Imam empat mazhab belajar satu sama lain”, sambungnya. “Ahmad bin Hanbal belajar dari Syafi’i; Syafi’i belajar dari Malik dan Malik belajar dari Abu Hanifah sementara Abu Hanifah sendiri belajar dari Ja’far as-Shodiq. Dengan demikian maka mereka semua adalah murid Ja’far as-Shodiq. Beliau juga adalah orang pertama yang membuka “universitas” Islam di masjid datuknya Rasulullah SAWW. Lebih dari empat ribu ahli hadist dan ahli fiqih berguru padanya.”
Aku sangat terkejut mendengar perkataan anak muda yang bijak ini, yang hafal dengan apa yang dikatakannya seperti hafalnya anak-anak kami suatu surah AlQuran. Lebih terkejut lagi ketika dia sebutkan sebagian buku-buku rujukan sejarah beserta bilangan jilid dan babnya. Dia sangat lancar berbicara seolah-olah seperti seorang guru di tengah muridnya. Aku merasa lemah di hadapannya. Aku berharap kalau-kalau temanku segera datang supaya aku tidak lebih lama berada di antara mereka. Setiap kali mereka bertanya padaku tentang fiqih atau sejarah, aku tak mampu menjawabnya. Mereka bertanya lagi, kepada siapa aku bertaklid? “Imam Malik” jawabku. “Bagaimana Anda mengtaklid seorang yang telah mati, yang jaraknya antara Anda dan beliau sekitar empat belas abad. Jika Anda kini ingin bertanya padanya tentang masalah-masalah yang kontemporer, apakah dia akan menjawab Anda?” Setelah berpikir sejenak, kemudian aku berkata: “Ja’farmu juga telah mati empatbelas abad yang lalu. Lalu kepada siapa Anda bertaklid?” “Kami bertaklid pada Sayed al-Khui. Beliau adalah Imam kami.” Jawabnya yang kemudian diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Aku tidak tahu apakah Khui lebih alim ataukah Ja’far as-Shodiq. Aku berusaha merobah topik permasalahan dengan bertanya hal-hal lain. Aku menanyakan jumlah penduduk di Najaf, berapa jauh jarak antara Najaf dan Baghdad, apakah mereka tahu negara-negara selain Irak. Setiap kali mereka jawab, kuajukan pertanyaan-pertanyaan lain hingga mereka tidak sempat lagi bertanya dariku. Ya, karena aku tidak mampu menjawab dan merasa bodoh. Meskipun jauh dalam lubuk hatiku aku mengakui kebenaran kata-katanya. Segala sanjungan, kemuliaan, dan penghormatan yang kudapat di Mesir, luluh seketika di sini, terlebih setelah berjumpa dengan anak-anak ini. Di situ aku memahami makna sebuah syair yang berkata:
Katakan kepada mereka yang mengaku berfilsafat di dalam ilmu
Hanya sedikit yang kau tahu sementara banyak yang kau tidak tahu.
Sudah barang tentu akal anak-anak muda ini lebih tinggi dari akal syaikh-syaikh yang kujumpai di al-Azhar; dan bahkan lebih tinggi dari akal ulama-ulama yang kukenal di Tunisia.
Sayed Khui masuk disertai serombongan ulama yang semuanya menyandang keagungan dan kewibawaan. Anak-anak berdiri, dan aku juga ikut berdiri. Mereka menghadap Sayed dan mencium tangannya dan aku tidak bergeming dari tempatku. Sayed tidak duduk sampai semua yang hadir duduk terlebih dahulu. Beliau memulai kata-katanya dengan ucapan Massakum Bil Khoir, selamat petang, kepada setiap orang yang hadir. Kemudian dijawab dengan kata-kata yang sama oleh mereka. Beliau juga mengucapkan kata-kata itu kepadaku dan kujawab dengan jawaban yang sama.
Kulihat temanku tengah berbisik sesuatu kepada Sayed, lalu mengisyaratkan aku agar mendekat dan duduk di sisi kanan Sayed. Setelah mengucapkan salam, temanku berkata kepadaku: “Ceritakan kepada Sayed apa yang kalian dengar tentang Syi’ah di Tunisia?” Kukatakan padanya, “Ya akhi,buanglah jauh-jauh segala cerita yang kami dengar tentang Syi’ah dari sana-sini. Yang penting adalah aku ingin tahu dengan mata kepala sendiri apa yang dikatakan oleh Syi’ah. Aku ada beberapa pertanyaan yang kuinginkan jawabannya secara terus terang.” Temanku mengisyaratkanku agar aku mengatakan secara terus terang kepada Sayed tentang bagaimana pandangan kami terhadap Syi’ah. Kukatakan bahwa Syi’ah menurut pandangan kami lebih berbahaya kepada Islam dibandingkan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka menyembah Allah dan beriman kepada Risalah Nabi Musa as, sementara Syi’ah—yang kami dengar— menyembah Ali dan mengkultuskannya. Ada juga di antara mereka yang menyembah Allah, tetapi menempatkan Ali sejajar dengan Rasulullah SAWW. Kubawakan cerita yang mengatakan konon Syi’ah percaya bahwa Jibril telah berkhianat ketika menyampaikan amanah Allah; yang sepatutnya amanah tersebut diberikan kepada Ali tetapi Jibril memberikannya kepada Muhammad.
Sayed menunduk sejenak. Kemudian memandangku dan berkata, “Kami menyaksikan tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah; dan Ali hanyalah seorang hamba Allah.” Kemudian beliau menoleh ke arah para hadirin lalu berkata: “Lihatlah mereka yang tak berdosa ini, betapa tuduhan-tuduhan yang dusta mengorbankan mereka. Ini tidak begitu aneh. Karena saya juga pernah mendengar tuduhan-tuduhan yang lebih berat dari orang-orang lain. Fala Haula Wala Quwwata Illah Billah al-A’li al-A’zim. Kemudin beliau menoleh ke arahku sambil bertanya:
“Apakah Anda membaca AlQuran?”
“Aku bahkan telah hafal setengahnya ketika aku masih usia kurang dari sepuluh tahun.” Jawabku.
“Tahukan Anda bahwa semua mazhab Islam yang beraneka ragam ini telah sepakat akan AlQuran al-Karim. AlQuran yang ada di sisi kami adalah sama dengan AlQuran yang ada di sisi kalian.”
“Ya, aku tahu.” Jawabku.
“Nah, bukankah Anda telah membaca firman Allah, “Muhammad hanyalah seorang Rasul di mana sebelumnya (telah datang) para rasul (yang lain).” (Ali Imran: 144) Dan juga firman-Nya, “Muhammad adalah Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya sangat keras terhadap orang-orang kafir.” (al-Fath: 29). Juga HrmanNya: “Muhammad bukanlah ayah salah seorang di antara laki-laki kalian, namun beliau adalah Rasulullah dan penutup segala Nabi.” (al-Ahzab: 40)
“Ya, aku tahu ayat-ayat tersebut.” Jawabku.
“Lalu di mana Ali? Jika AlQuran berkata bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka dari mana datangnya tuduhan-tuduhan seperti ini?”
Aku diam saja tanpa berniat untuk menjawab sedikit pun. Lalu beliau menyambung lagi: “Tentang pengkhianatan Jibril, oh… (tuduhan) ini lebih buruk dari yang pertama itu. Karena ketika Jibril di utus oleh Allah kepada Muhammad, waktu itu usia Muhammad empat puluh tahun, dan Ali masih seorang anak kecil yang berumur sekitar enam atau tujuh tahunan. Bagaimana mungkin Jibril dapat salah dan tidak dapat membedakan antara Muhammad yang dewasa dan Ali yang masih kecil.”
Aku tetap diam. Lama kurenungkan kata-katanya dan logikanya yang benar-benar menyentuh pikiranku dan mampu mengikis keragu-raguanku. Dalam benakku sempat bertanya kenapa kita tidak pernah menganalisanya dengan cara mantik dan logika seperti ini. Kemudian Sayed al-Khui menyambung kata-katanya:
“Saya katakan lagi bahwa Syi’ah adalah satu-satunya mazhab Islam yang mempercayai akan kemaksuman para Nabi dan Imam. Jika para imam kami maksum (tidak berbuat salah) dari segala kesalahan, sementara mereka adalah manusia seperti kita, maka malaikat Jibril, malaikat yang disebut oleh Allah sebagai malaekat yang muqarrab dan sebagai Ruh al-Amin tentu lebih utama.”
“Lalu dari mana datangnya tuduhan-tuduhan seumpama ini?” Tanyaku kemudian.
“Dari musuh-musuh Islam yang ingin memecah-belah kaum muslimin dan memporak-porandakan mereka. Kaum muslimin itu bersaudara, baik Syi’ah atau Sunnah. Mereka menyembah Allah yang Maha Esa dan tidak mensyirikkan-Nya. AlQuran mereka satu, Nabi mereka satu dan kiblat mereka juga satu. Syi’ah dan Sunnah tidak berselisih apa-apa melainkan dalam sebagian hukum fiqih saja, sebagaimana hal itu juga ada di antara mazhab Sunnah sendiri. Fatwa Malik berbeda dan menyalahi fatwa Abu Hanifah, dan fatwa Abu Hanifah berbeda dengan Syafi’i, dan sebagainya.”
“Jadi apa yang dituduhkan kepada kalian adalah dusta semata-mata? “
“Alhamdulillah, Anda adalah seorang yang berakal dan memahami segala sesuatu. Anda telah melawat negara Syi’ah dan hidup di sekitar mereka. Apakah Anda pernah melihat atau membuktikan tuduhan-tuduhan seumpama itu?”
“Tidak sama sekali. Yang aku lihat hanya kebaikan saja. Alhamdululillah, segala puji bagi Allah yang telah mengenalkan aku dengan ustadz Mun’im saat kami berada di kapal menuju Lebanon. Dialah yang membawa saya ke Irak dan memberitahu banyak hal yang selama ini saya ragukan.”
Temanku Mun’im juga tertawa sambil berkata: “Itu juga berkat pusara Imam Ali ini.” Kemudian aku remas tangannya dan berkata: “Disini saya telah banyak belajar bahkan dari anak-anak muda itu sekalipun. Saya bercita-cita akan belajar di Hauzah seperti mereka jika aku diberi kesempatan.”
“Ahlan Wa Sahlan.” Jawab Sayed serta merta. “Jika memang Anda ingin belajar dan menuntut ilmu, maka Hauzah akan menanggung Anda dan kami sepenuhnya akan berkhidmat pada Anda.”
Para hadirin menyambut baik gagasan ini, terutama Mun’im yang nampak lebih berseri. Kemudian kukatakan bahwa aku telah berkeluarga dan kini punya dua anak.
“Kami akan jamin semua keperluan Anda termasuk tempat tinggal, biaya hidup dan segala yang Anda perlukan. Yang penting Anda belajar saja.” Jawab Sayed.
Aku berfikir sejenak. Rasanya tidak mungkin aku belajar lagi setelah lima tahun aku mengajar dan mendidik generasi muda. Tidak mudah memang untuk mengambil keputusan dalam waktu yang begitu singkat. Akhirnya aku mengucapkan terima kasih pada Sayed al-Khui atas tawarannya itu. Kukatakan bahwa aku akan memikirkan hal ini sepulangnya dari umrah kelak Insya Allah. “Aku perlu sejumlah buku referensi”, kataku. Kemudian Sayed berkata pada orang sekitarnya: “Berikan padanya sejumlah buku.” Dan sebagian orang yang ada di sekitar kemudian berdiri lalu membuka beberapa lemari yang ada. Tidak lama kemudian mereka berikan padaku buku-buku sebanyak tujuh puluh jilid lebih dan beberapa set buku lain. Sayed berkata bahwa ini adalah hadiah darinya. Melihat semua ini rasanya tidak mungkin aku dapat membawanya, apalagi aku akan pergi ke Saudi yang biasanya melarang segala jenis kitab masuk ke dalam negeri mereka, karena khawatir pada berbagai akidah yang berlainan dengan mazhab mereka. Tetapi aku juga tidak mau kehilangan buku-buku seperti ini yang tidak pernah kulihat sepanjang hidupku. Kukatakan kepada temanku dan yang hadir bahwa perjalananku sangat jauh, melalui Damascus, Yordania baru Saudi. Dan ketika pulang justeru lebih jauh lagi. Mengingat aku akan melalui Mesir, Libya hingga Tunisia. Selain dari beratnya bawaan, kebanyakan negara juga melarang membawa buku.
Sayed kemudian meminta alamatku dan kelak beliau akan mengirimkannya ke sana. Kuberikan padanya alamatku di Tunisia dan kuucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga. Ketika aku berdiri untuk pulang, beliau juga berdiri sambil berkata: “Semoga Allah menyelamatkanmu dalam perjalanan. Jika kelak Anda berdiri di hadapan kuburan datukku Rasulullah, sampaikan salamku padanya.” Yang hadir merasa terharu. Begitujuga aku. Kulihat air matanya jatuh. Kukatakan pada diriku bahwa tidak mungkin orang seperti ini akan salah atau berdusta. Sungguh, wibawa, keagungan dan sikap rendah hatinya mencerminkan bahwa beliau benar-benar keturunan Nabi. Lalu aku menjabat tangannya dan menciumnya walau dia coba menolaknya. Semua berdiri dan menyalamiku. Anak-anak muda yang mendebatku tadi juga mengikutiku dan meminta alamatku untuk berkirim surat. Dan aku tidak mengabaikan permintaan mereka.
Kami menuju Kufah memenuhi undangan salah seorang yang hadir di majlis Sayed al-Khui tadi. Beliau adalah teman Mun’im. Namanya Abu Syubbar. Kami menginap di rumah-nya. Malam itu kami berdiskusi panjang dengan sejumlah pemuda aktifis. Di antara mereka terdapat sejumlah murid Sayed Muhammad Baqir as-Sadr. Mereka menyarankanku untuk berjumpa dengannya, dan pertemuan itu akan diatur besok. Temanku sangat setuju tetapi sayang dia tidak dapat hadir lantaran menyelesaikan beberapa urusan penting di Baghdad yang tak dapat ditinggalkan. Kami sepakat untuk tinggal di rumah Sayed Abu Syubbar selama tiga atau empat hari sampai Mun’im kembali. Setelah shalat Shubuh Mun’im pergi ke Baghdad dan kami pergi tidur setelah satu malam suntuk berdiskusi panjang.
Malam itu aku banyak sekali belajar dari mereka. Aku kagum terhadap berbagai ilmu yang mereka pelajari di Hauzah llmiah, Selain dari ilmu-ilmu Islam seperti Fiqih7 Syariah dan Tauhid mereka juga belajar ilmu-ilmu seperti ekonomi, sosiologi dan politik. Begitu pula ilmu-ilmu sejarah, sastra, astronomi dan sebagainya.


PERJUMPAAN DENGAN SAYED MUHAMMAD BAQIR AS-SADR
BERSAMA Abu Syubbar aku pergi ke rumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr. Dalam perjalanan, Abu Syubban memperlakukanku dengan sangat mesra dan bercerita ringkas
tentang beberapa ulama yang masyhur dan tentang taklid dsb. Setibanya kami di rumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr, kudapati rumahnya penuh sesak dengan para Thalabah (pelajar Hauzah) yang kebanyakannya para pemuda yang memakai sorban. Sayed berdiri menyambut kedatangan kami. Setelah diperkenalkan, belian menyambutku begitu mesra dan menempatkanku di sisinya. Beliau bertanya tentang Tunisia dan aljazair dan beberapa ulama yang terkenal seperti al-Khidhir Husain, Thahir bin A’syur dan lain sebagainya. Aku merasa gembira sekali dengan obrolannya.
Sayed Baqir Sadr walau memiliki wibawa yang sangat agung di sisi pengikut-pengikutnya, namun kudapati diriku tidak begitu kaku dengannya seakan telah kukenal beliau sejak lama sebelum pertemuan itu.
Banyak ilmu yang sempat kutimba dari pertemuan kami pada waktu itu. Kudengar berbagai pertanyaan diajukan kepada Sayed, lalu kemudian dijawabnya dengan bijak. Waktu itu aku betul-betul menyaksikan betapa tingginya nilai mentaklid para ulama yang masih hidup. Karena mereka akan segera menjawab setiap persoalan yang diajukan kepada mereka dengan sejelas-jelasnya. Sejak saat itu, aku mulai yakin bahwa Syi’ah adalah kaum muslimin yang menyembah Allah SWT dan beriman kepada Risalah Nabi kita Muhammad SAW. Sebelumnya aku masih ragu, dan setan juga menaburkan rasa waswas bahwa segala apa yang kusaksikan adalah suatu sandiwara semata-mata. Dan mungkin inilah yang dikatakan oleh mereka sebagai Taqiyah, yakni menampakkan sesuatu yang tidak mereka percayai. Tetapi sikap demikian akhirnya segera lenyap dari benakku. Karena—pikirku—tidak mungkin setiap orang yang kulihat dan kusaksikan dengan bilangan yang mencapai ratusan semuanya akan bersandiwara. Untuk apa mereka lakukan itu padaku? Dan siapa aku? Apa yang mereka harus khawatirkan dariku sehingga mau bertaqiyah di hadapanku? Bukankah di sini ada kitab-kitab mereka cetakan lama dan baru. Semua mengesakan Allah dan memuji-muji Rasul-Nya Muhammad SAW. seperti yang kubaca dalam berbagai mukaddimahnya. Kini aku tengah berada di rumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr, seorang Marja’ (mujtahid yang diikuti fatwanya) Syi’ah yang sangat terkenal di Irak dan di luar Irak. Dan setiap kali nama Muhammad disebut, maka semua akan mengangkat suara agak keras membaca salawat: Allahumma Solli A’la Muhammad Wa Ali Mnhammad.
Waktu shalat tiba. Kami pergi ke masjid yang terletak di samping rumah. Kami shalat Zohor dan Asar yang diimami sendiri oleh Sayed Muhammad Baqir Sadr. Ketika itu terasa dalam diriku seakan aku tengah hidup di sekitar para sahabat yang mulia. Di antara dua shalat diselingi bacaan doa dengan suara yang sangat memilukan hati. Sungguh terharunya aku dan terkesan sangat dalam. Usai baca doa, secara serentak para jama’ah membaca salawat bermamai-ramai: Allahumma Solli A’la Muhammad Wa Ali Muhammad. Isi doa semuanya berupa pujian pada Allah SWT, Muhammad serta keluarganya yang suci dan baik.
Sayed Sadr tetap duduk di mihrabnya seusai shalat. Sebagian orang datang menyalaminya lalu mengajukan berbagai pertanyaan secara perlahan atau kadang-kala dengan suara yang agak keras. Dan Sayed juga menjawab setiap pertanyaan dengan perlahan apabila pertanyaannya memang demikian. Dari sana kupahami bahwa pertanyaan tersebut adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah pribadi. Apa-bila jawaban yang diharapkan telah diperoleh, maka sipenanya akan mencium tangannya kemudian pergi. Berbahagialah mereka dengan orang alim yang mulia ini yang ikut membantu menyelesaikan segala permasalahan mereka dan ikut serta dalam suka dan duka mereka.
Sambutan Sayed yang demikian hangat serta perhatiannya yang begitu tinggi membuatku seakan berada di tengah keluargaku sendiri. Kurasa seandainya aku berada bersamanya selama satu bulan saja, niscaya aku akan menjadi Syi’ah karena melihat akhlaknya yang sangat tinggi, sikap tawadhu’-nyadan kemurahan hatinya. Setiap kali mataku terpandang pada matanya kulihat beliau tersenyum dan memulai menyapaku. Beliau juga menanyakan keadaanku yang mungkin perlu bantuan dan sebagainya. Alhasil, sambutannya padaku sangat mesra sekali.
Selama empat hari aku jadi tamunya. Dan selama itu pula aku tidak berpisah dengannya kecuali saat tidur saja, kendati pun yang datang berziarah atau ulama-ulama yang berkun-jung padanya cukup banyak. Aku juga berjumpa dengan orang-orang Saudi di sana. Aku tidak pernah tahu bahwa orang-orang Syi’ah juga ada di Hijaz. Demikian juga ulama-ulama dari Bahrain, Qatar, Emirat Arab, Lebanon, Syria, Iran, Afghanistan, Turki dan Afrika. Sayed berbicara dengan mereka dan membantu hajat-hajat mereka. Semua yang keluar dari rumahnya menampakkan kegembiraan hati. Aku tidak akan pernah lupa pada suatu peristiwa yang kusaksikan di hadapan mataku sendiri dimana Sayed dapat menyelesaikannya sebuah persoalan yang berat dengan begitu bijak. Kukatakan demikian karena ia menyirat suatu pelajaran yang sangat penting agar kaum muslimin tahu betapa ruginya mereka lantaran meninggalkan hukum-hukum Allah.
Ada empat orang datang menghadap Sayed Muhammad Baqir Sadr. Aku menduga bahwa mereka adalah penduduk Iraq sendiri, karena logat bahasanya kupahami demikian. Seorang dari mereka telah memperoleh waris sebuah rumah dari datuknya yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kemudian rumah tersebut dijualnya kepada orang kedua yang juga hadir di sana. Setahun setelah penjualan, datanglah dua orang yang mengaku sebagai pewaris syar’i (sah) dari si mayit. Keempat-empat mereka duduk di hadapan Sayed, dan masing-masing mengeluarkan berbagai kertas dan surat bukti. Setelah Sayed membaca surat-surat tersebut dan berbicara sejenak dengan mereka, kemudian dia keluarkan fatwanya seadil-adilnya: si pembeli tetap mempunyai hak atas rumah yang dibelinya; dan si penjual juga harus memberikan hak waris bagian dua saudara tadi dari hasil jualannya. Usai Sayed memberi fatwa empat orang ini kemudian berdiri lalu mencium tangan Sayed dan mereka saling berpelukan tanda damai dan setuju.
Aku sangat terkejut dan seperti tidak percaya. Kutanyakan kepada Abu Syubbar apakah kasusnya telah selesai. Ya, jawabnya. Setiap mereka telah mendapatkan haknya masing-masing. Subhanallah.Semudah ini dan dalam waktu yang sesingkat ini; hanya beberapa saat saja permasalahan itu dapat diselesaikan! Kasus seperti ini apabila terjadi di negeri kami, paling tidak ia akan memakan waktu sepuluh tahun sampai kadang-kadang sebagian dari mereka telah mati lalu kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Tambah lagi mereka harus bayar biaya pengadilan, pengacara dan lain sebagainya yang kebanyakannya tidak kurang dari nilai rumah itu sendiri. Mula-mula pengadilan umum, kemudian negeri lalu mahkamah agung sampai akhirnya semua kecewa setelah melalui serangkaian kekusutan serta biaya yang mahal dan menyogok sana-sini yang tidak sedikit. Disamping sikap permusuhan dan kebencian yang timbul antar keluarga akibat dari semua itu.
“Hal seperti itu juga ada di sini; bahkan lebih dari itu.” Kata Abu Syubbar menjawab. “Maksud Anda?” Tanyaku. “Jika orang mengangkat permasalahan mereka dan mengajukannya kepada pengadilan negeri maka hasilnya seperti yang Anda ceritakan tadi. Namun jika mereka mentaklid seorang Marja’ agama dan terikat dengan hukum-hukum Islam maka mereka tidak akan mengangkat permasalahan mereka kecuali kepadanya saja. Dan si Marja’ pada gilirannya akan menyelesaikan masalah mereka dalam waktu yang sangat singkat seperti yang Anda saksikan. Apakah ada Hakim yang lebih baik selain daripada Allah bagi orang-orang yang berakal? Sayed Sadr juga tidak memungut sebarang biaya dari mereka. Apabila mereka pergi ke instansi pemerintah yang berkaitan niscaya mereka akan menderita kerugian yang tidak sedikit.”
“Subhanallah. Aku masih tidak percaya apa yang kulihat. Kalaulah mata ini tidak menyaksikannya sendiri mana mungkin aku akan percaya pada kejadian ini. “
“Begitulah wahai sandaraku. Kasus ini masih ringan dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain yang lebih rumit dan menyangkut nyawa. Tapi para marja’ ini dapat menyelesaikannya dalam waktu yang relatif singkat.”
“Jadi di Irak ini ada dua pemerintahan, pemerintahan negara dan pemerintahan ulama, begitu?” Tanyaku takjub.
“Tidak. Di sini ada pemerintahan negara saja. Namun kaum muslimin dari mazhab Syi’ah yang bertaklid pada marja’ mereka tidak memiliki sebarang hubungan dengan pemerintahan. Karena ia adalah pemerintahan Ba’ath bukan pemerintahan Islam. Mereka patuh pada hukum-hukum sipil, pajak, dan hal-hal pribadi lainnya. Seandainya terjadi suatu kasus antara seorang muslim yang shaleh dengan seorang muslim lain yang tidak shaleh, maka pasti ia akan terpaksa mengangkatnya kepada pengadilan negeri. Karena orang kedua ini tidak setuju dengan ketentuan hukum para ulama. Namun jika yang berselisih adalah sesama orang-orang mukmin, maka mereka akan mengembalikannya kepada para marja’. Apa saja yang dihukumkan oleh marja’ tersebut akan diterima oleh semua tanpa ada sebarang keberatan. Itulah kenapa kasus-kasus tertentu dapat diselesaikan oleh para marja’ dalam waktu satu hari, sementara pengadilan negeri mungkin berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.”
Peristiwa itu menggetarkan jiwaku hingga kemudian kurasakan suatu kesadaran untuk rela atas segala hukum Allah SWT. Dari situ aku memahami makna firman Allah yang bermaksud: “Barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. Barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang yang zalim. Dan barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang fasik ” (Al-Maidah: 44,45,47)
Jiwaku juga memberontak dan memprotes orang-orang zalim yang telah merobah hukum-hukum Allah SWT yang adil kepada hukum buatan manusia yang zalim. Bahkan mereka mengejek hukum-hukum Allah dengan cara yang keji. Mereka katakan bahwa hukum Allah adalah barbarism dan kejam karena menegakkan hukum hudud yang memotong tangan pencuri dan merajam penzina serta membunuh si pembunuh. Dari mana datangnya teori-teori yang asing seperti ini? Sudah pasti ia datang dari barat dan dari musuh-musuh Islam yang melihat bahwa pelaksanaan hukum-hukum seperti itu berarti tamatnya kekuasaan mereka secara total. Hal ini tiada lain karena mereka sendiri adalah para pencuri, pengkhianat, penzina dan pembunuh. Apabila hukum-hukum Allah dilaksanakan terhadap mereka maka kita sudah aman dari mereka.
Pada hari-hari yang penuh kenangan itu terjadi serangkaian diskusi antara aku dan Sayed Sadr. Kuajukan padanya berbagai pertanyaan, besar atau kecil dari kesimpulan yang kubuat setelah berbagai diskusi dengan teman-teman, baik yang berkaitan dengan akidah, sahabat (semoga Allah meredhai mereka) atau kepercayaan mereka akan imam dua belas, Ali dan anak-anaknya dan lain sebagainya yang tidak sama dengan akidah kami.
Kutanyakan kepada Sayed Sadr tentang Imam Ali, kenapa namanya diucapkan dalam azan dengan sebutan Waliullah? Beliau menjawab: “Amir al-Mukminin Ali as. adalah di antara hamba Allah yang dipilih oleh-Nya untuk meneruskan tanggung-jawab mengemban Risalah setelah para nabiNya. Mereka adalah para wasi Nabi. Setiap nabi memilik wasi, dan wasi Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Kami mengutamakannya atas semua sahabat karena Allah dan Rasul-Nya mengutamakan-Nya. Dan kami mempunyai dalil akli dan nakli, AlQuran dan Sunnah dalam hal ini. Dalil-dalil ini tidak dapat diragukan kebenarannya, lantaran bersifat mutawatir dan sahih dalam jalur sanad kami, dan hatta dalam jalur sanad Ahlu SunnahWal Jamaah. Para ulama kami telah menulis berbagai buku tentang hal ini. Ketika pemerintahan Bani Umaiyah coba menghapuskan kebenaran ini dan memerangi Amir al-Mukminin Ali dan anak-anaknya serta membunuh mereka bahkan mencaci dan melaknatnya di atas mimbar-mimbar kaum muslimin serta memaksa mereka untuk berbuat serupa, melihat ini maka Syi’ah Ali dan para pengikutnya, semoga Allah meridhai mereka, tetap mengikrarkan bahwa beliau adalahWaliullah, karena seorang muslim yang sejati dilarang mencaci Waliullah. Hal ini dilakukan sebagai bantahan mereka terhadap penguasa yang zalim saat itu hingga kemuliaan yang sebenarnya dapat dikembalikan kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukminin saja; dan biarlah ia wujud sebagai bukti sejarah kepada segenap kaum muslimin yang datang berikutnya, agar mereka tahu tentang kebenaran Ali dan kebatilan musuh-musuhnya.
Para fuqaha (ahli fiqih) kami mengatakan bahwa syahadat kepada wilayah Ali di saat azan adalah sunnat semata-mata, dan dengan niat bahwa ia bukan bagian dari azan atau iqamah. Apabila seorang muazin menganggap bahwa itu adalah bagian dari azan dan iqamah maka azannya dianggap tidak sah. Dan hal-hal sunnat dalam ibadah dan mu’amalat banyak sekali jumlahnya. Seorang muslim akan diberi ganjaran jika melakukannya dan tidak akan berdosa apabila meninggalkannya. Sebagai contoh, dalam suatu hadis disebutkan bahwa usai mungucapkan syahadat kepada Allah dan Muhammad dalam azan, disunatkan juga bersyahadat (bersaksi) bahwa sorga itu adalah benar; neraka itu adalah benar; dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya.”
Kukatakan bahwa para ulama kami mengajarkan bahwa Sayyidina Abubakar as-Shiddiq adalah khalifah yang paling utama, kemudian Sayyidina Umar al-Faruq, Sayyidina Utsman baru kemudian Sayyidina Ali, semoga Allah meridhai mereka semua.
Sayed diam sejenak. Kemudian berkata: “Mereka boleh berkata apa saja tetapi jauh sekali untuk bisa membuktikannya secara valid. Di samping ia bertentangan dengan apa yang tertulis dalam kitab-kitab mereka yang sahih dan muktabar. Di sana tertulis bahwa manusia yang paling utama adalah Abubakar, kemudian Utsman. Tidak ada kata-kata Ali sama sekali. Justru Ali dijadikan sebagai manusia awam semata-mata. Namun para ahli sejarah juga menyebutnya lantaran menyebut-nyebut para khulafa’ rasyidin saja.”
Aku tanyakan juga tentang tanah yang digunakan untuk sujud, atau yang biasa disebut denganTurbah Husainiyah. Beliau menjawab: “Pertama-tama wajib diketahui bahwa kami bukan sujud kepada tanah, seperti yang disangka oleh mereka yang bencikan Syi’ah, tapi kami sujud di atas tanah. Sujud hanya untuk Allah semata-mata. Apa yang terbukti secara dalil bagi kami dan juga di sisi Ahlu Sunnah bahwa yang utama adalah sujud di atas tanah atau di atas sesuatu yang tumbuh dari tanah, tapi bukan sejenis dari bahan makanan. Selain dari itu tidak sah sujud di atasnya. Dahulunya Rasulullah SAW. duduk di atas tanah dan menjadikan sebungkal tanah sebagai tempat sujudnya. Beliau juga mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya demikian juga sehingga mereka sujud di atasnya, dan di atas batu-batu kecil. Baginda melarang mereka sujud di atas ujung bajunya. Hal ini diketahui sangat lumrah sekali di sisi kami.
Imam Zainal Abidin dan Sayyid as-Sajidin Ali bin Husain a.s. mengambil tanah dari kuburan ayahnya Abu Abdillah al-Husain as-Syahid sebagai turbahnya. Ini karena tanahnya bersih dan suci dan telah disiram oleh darah Sayyidis-syuhada’ (penghulu para syahid). Dan para Syi’ahnya meneruskan kebiasaan ini sehingga ke hari ini. Kami tidak mengatakan bahwa sujud di atas selainnya bermakna tidak sah. Sujud akan sah di atas sebarang tanah atau sebarang batu yang suci, sebagaimana ia juga akan sah sujud di atas tikar atau tempat ambal yang dibuat dari pelepah kurma dan sejenisnya.”
Kutanyakan lagi tentang peringatan Sayyidina Husain a.s, kenapa Syi’ah menangis dan memukul-mukul dada sehingga berdarah? Bukankah ini haram di dalam Islam. Nabi juga telah bersabda: “Bukan dari golongan kami mereka yang memukul-mukul pipi dan mengoyak-ngoyak baju serta melakukan seperti perbuatan Jahiliah.”
Sayed menjawab : “Hadis itu memang sahih, tapi ia tidak dapat diterapkan untuk peringatan Abu Abdillah al-Husain. Mereka yang menyeru pada perjuangan Husain dan mengikut jejaknya, perbuatan ini bukan sejenis perbuatan Jahiliah. Lalu di dalam mazhab Syi’ah ada manusia yang beragam, ada yang alim dan ada juga yang jahil. Kesemua mereka mempunyai rasa emosi. Jika di dalam mengingat kesyahidan Husain dan apa yang terjadi kepada keluarganya serta para sahabatnya, —yang dibunuh atau yang ditawan—lalu perasaan emosinya menguasai mereka, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Karena niat mereka adalah fi sabilillah semata-mata. Dan Allah memberikan ganjaran kepada hamba-hamba-Nya sekadar niatnya masing-masing. Seminggu yang lalu saya membaca suatu kenyataan resmi dari pemerintahan Mesir “sempena” kematian Jamal Abdul Nasir. Dikatakan bahwa mereka telah mencatat delapan kasus bunuh diri karena mendengar kematian Jamal Abdul Nasir. Ada yang menerjunkan diri dari atas bangunan yang bertingkat; ada yang menerjunkan diri ke bawah rel keretapi dan sebagainya. Adapun mereka yang terluka jumlahnya cukup banyak. Ini saya sebutkan sebagai contoh bagaimana emosi manusia kadang-kadang bisa menguasai manusia itu sendiri. Jika manusia muslim sampai membunuh diri lantaran kematian Jamal Abdul Nasir, padahal dia mati secara wajar, maka tidak ada hak bagi kita untuk menghukumi bahwa Ahlu Sunnah adalah salah. Dan tidak ada hak bagi Ahlu Sunnah juga menghukumi saudara-saudara mereka dari Syi’ah salah lantaran menangisi Sayyid as-Syuhada’ al-Husain. Mereka meratapi penderitaan Husain sampai sekarang. Rasulullah sendiri pernah menangis untuk Husain, dan Jibril juga menangis karena tangisnya Rasulullah.”
“Kenapa Syi’ah menghiasi kuburan wali-wali mereka dengan emas dan perak sementara ia haram di dalam Islam?” Tanyaku lagi.
“Ini tidak hanya ada di dalam Syi’ah dan juga tidak haram. Lihatlah masjid-masjid saudara kami dari golongan Ahli Sunnah, di Iraq, Mesir, Turki atau negara-negara Islam yang lain. Rata-rata dihiasi dengan emas dan perak. Begitu juga dengan masjid Rasulullah SAWW. di Madinah al-Munawwarah dan Baitullah al-Haram di Mekah yang setiap tahun dipakaikan dengan perhiasan emas yang baru dengan perbelanjaan berjuta-juta. Ini tidak hanya ada pada mazhab Syi’ah saja.”
“Ulama-ulama Saudi berkata bahwa mengusap tangan di atas kubur, minta doa dari orang-orang yang sholeh serta mengambil berkat dari mereka semua itu adalah syirik kepada Allah. Bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?”
“Jika mengusap tangan di atas kubur dan menyebut nama-nama penghuninya dengan niat bahwa mereka memberi manfaat atau mendatangkan madharaat (kerugian), maka tak ragu-ragu lagi ia adalah syirik. Orang-orang muslim adalah orang yang muwahhid (bertauhid) dan mengetahui bahwa Allah sajalah yang memberi manfaat atau madharrat. Mereka menyeru para wali dan imam a.s. semata-mata sebagai wasilah atau perantara mereka kepada Allah SWT. Ini tidak syirik. Kaum muslimin, Sunnah dan Syi’ah, sepakat dalam hal ini sejak zaman Rasul sehingga sekarang. Melainkan Wahabiah atau ulama-ulama Saudi seperti yang Anda sebutkan. Mereka telah melanggar ijmak kaum muslimin dengan mazhab mereka yang baru muncul di abad ini. Mereka telah memfitnah kaum muslimin dengan akidah mereka ini, mengkafirkan mereka dan bahkan menghalalkan darah mereka. Para jemaah haji Baitullah al-Haram dipukul lantaran mereka berkata: Assalamu Alaika Ya Rasulullah. Dan tidak diperkenankan siapapun untuk menyentuh kuburan suci Nabi Muhammad SAWW. Mereka telah berdiskusi dengan ulama kami beberapa kali, tapi mereka tetap sombong untuk menerima kebenaran.”
“Sayed Syarafuddin, seorang di antara ulama Syi’ah ketika pergi haji ke Baitullah al-Haram di zaman raja Abdul Aziz Aal Saud, adalah di antara ulama ke istana raja untuk merayakan Hari Raya Aidul Adha bersama raja. Ketika tiba gilirannya untuk bersalaman dengan raja, dihadiahkannya kepada raja sebuah mushaf AlQuran yang bercover kulit binatang. Raja menerima hadiah mushaf tersebut lalu diciumnya dan diletakkannya di atas dahi sebagai tanda penghormatan dan pentakziman. Sayed Syarafuddin kemudian berkata ketika itu: “Wahai Raja, kenapa Anda mencium kulit dan mengagungkannya. Bukankah ia hanya berupa kulit kambing, tidak lebih?” “Yang kumaksudkan adalah pentakziman kepada AlQuran al-Karim yang ada di dalamnya, bukan kepada kulit ini.” jawab Raja. Sayed Syarafuddin berkata: “Anda bijak hai Raja. Begitulah juga ketika kami mencium pintu-pintu kuburan Nabi atau dinding-dindingnya. Kami tahu bahwa itu semua adalah besi yang tidak memberi sembarang menfaat atau mudharrat. Kami bermaksud mencium orang yang ada di balik besi dan kayu-kayu itu. Kami bermaksud mentakzim-kan Rasulullah SAWW., sebagaimana Anda bermaksud mentakzimkan AlQuran dengan mencium kulit kambing yang membungkus AlQuran ini.
Para hadirin mengucapkan takbir sebagai tanda kagum atas Sayed ini. Mereka berkata: Anda benar, Anda benar. Akhirnya raja terpaksa mengizinkan para jemaah haji untuk melakukan tabarruk(mengambil berkat) dari peninggalan-peningalan Nabi SAWW. sehinggalah datang raja berikutnya. Kemudian ia dilarang kembali.
Perkara yang sebenarnya bukan karena mereka takut kaum muslimin akan syirik kepada Allah. Tetapi disana ada motifasi politik untuk menguasai kaum muslimin dan memperkuat kerajaan mereka. Sejarah adalah sebaik-baik bukti atas apa yang mereka lakukan terhadap Ummat Muhammad SAWW “
Aku tanya juga tentang tarikat-tarikat Sufi. Jawabnya singkat, “Ada yang positif dan ada juga yang negatif. Yang positif seperti membina diri dan mendidiknya untuk sederhana di dalam hidup dan bersikap zuhud atas kenikmatan-kenikmatan dunia serta melatih diri untuk berangkat tinggi ke alam ruh yang suci. Sementara yang negatif seperti menyendiri dan lari dari realitas kehidupan, terbatas hanya berzikir kepada Allah secara lafzi dan sebagainya. Islam seperti yang diketahui mengabsahkan yang positif dan membuang jauh-jauh yang negatif. Kita layak mengatakan bahwa semua prinsip Islam adalah positif.”



RAGU-RAGU DAN BINGUNG
JAWABAN Sayed Muhammad Eaqir as-Sadr jelas dan meyakinkan. Tetapi apakah mungkin ia akan mempengaruhi orang seumpamaku yang telah menghabiskan umurnya selama dua puluh lima tahun dalam prinsip mengkultuskan para sahabat dan menghormati mereka. Temtama Khulafa’ ar-Rasyidin yang diperintahkan oleh Rasul kepada kita untuk berpegang teguh pada sunnah mereka dan berjalan di bawah bimbingan mereka. Di atas semua mereka adalah Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq dan Sayyidina Umar al-Faaruq.
Sejak kedatanganku ke Iraq tidak pernah kudengar nama mereka. Yang kudengar adalah nama-nama yang kelihatannya asing bagiku serta nama dua belas imam. Orang-orang syi’ah ini juga mengklaim bahwa Nabi SAWW telah menunjuk Ali sebagai Khalifah sebelum wafatnya. Bagaimana mungkin aku bisa percaya bahwa para sahabat yang mulia, manusia yang paling utama setelah Nabi, sepakat dalam menentang Ali Karamallah wajhahu. Dan sejak kecil juga kami diajar bahwa para sahabat r.a. sangat menghormati Imam Ali dan mengetahui haknya. Beliau adalah suaminya Fatimah az-Zahra’, ayahanda Hasan dan Husain dan pintu kotanya ilmu. Begitu juga Sayyidina Ali. Beliau tahu haknya Abu Bakar as-Siddiq, orang pertama yang masuk Islam dan menemani Rasul saat beliau berada di gua sebagaimana yang disebutkan dalam AlQuran. Rasulullah SAWW juga telah menyuruhnya menjadi imam jamaah ketika baginda sakit. Untuk itu beliau pernah bersabda:
“Seandainya aku harus mengambil Khalil (teman dekatku), maka Abu Bakar yang akan kuambil sebagai khalilku.”
Itulah kenapa kaum muslimin memilihnya sebagai khalifah mereka. Imam Ali juga tahu tentang keutamaan Sayyidina Umar yang dengannya Islam telah diangkat oleh Allah; dan Rasul telah memberinya gelar sebagai al-Faruq, yakni yang memisahkan antara hak dan batil. Beliau juga tahu tentang keutamaan Sayyidina Utsman di mana Malaikat Rahman malu kepadanya dan yang telah menyediakan Pasukan al-U’srah, serta dinamakan Rasulullah sebagai Zun Nurain (empunya dua cahaya).
Kenapa saudara-saudara kami mazhab Syi’ah tidak mengetahui semua itu. Apakah mungkin mereka berpura-pura tidak tahu lalu menjadikan mereka sebagai manusia-manusia biasa yang diombang-ambingkan oleh hawa nafsu dan kerakusan duniawi serta berpaling dari kebenaran. Karena itu maka mereka kemudian dikatakan sebagai orang yang melanggar perintah nabi setelah wafatnya. Padahal sebelumnya mereka adalah para sahabat nabi yang berlomba-lomba dalam mematuhi perintahnya, bahkan ada yang membunuh anak-anak mereka, ayah-ayah mereka dan keluarga mereka demi kemuliaan Islam dan kejayaannya. Mereka yang rela membunuh ayah dan anaknya lantaran patuh pada Allah dan Rasulnya tidak mungkin akan dipengaruhi oleh dunia yang fana ini, seperti merebut jabatan khalifah, atau pura-pura jahil apalagi meninggalkan perintah Rasul SAWW.
Karena alasan-alasan itu maka aku tidak percaya pada apa yang dikatakan oleh Syi’ah walaupun dalam banyak hal aku yakin akan hujah-hujahnya. Aku bingung dan ragu-ragu. Ragu-ragu lantaran kata-kata ulama Syi’ah sangat rasional dan logis. Bingung dan tidak percaya lantaran para sahabat ra dipandang sedemikian rupa sehingga mereka seperti manusia biasa; seperti diri kita ini. Tiada cahaya risalah menyinari mereka dan tiada pula bimbingan Muhammad mendidik mereka. Ya Ilahi, bagaimana mungkin terjadi begini? Mungkinkah para sahabat berada dalam taraf yang dikatakan orang-orang Syi’ah itu? Yang penting sikap ragu-ragu dan bingung ini adalah mulanya kelemahan dan pengakuan bahwa di sana ada hal-hal tersembunyi yang harus dibongkar agar dapat sampai kepada kebenaran.
Temanku Mun’im datang dan kami pergi ke Karbala. Di sana aku ikut serta dalam sebuah majlis takziah mengenang Sayyidina Husain sebagaimana yang dihayati oleh orang-orang Syi’ah. Waktu itu aku sadar bahwa Sayyidina Husain sebenarnya belum mati. Orang-orang begitu ramai dan saling berdesakan di sekitar pusara Sayyidina Husain. Mereka menangis terisak-isak yang tak pernah kusaksikan seumpamanya sebelum ini yang seakan-akan Husain baru saja syahid. Kudengar para penceramah menggugah emosi dan perasaan para hadirin dengan menceritakan tragedi Karbala dengan suara yang mengharukan. Hampir setiap orang yang mende-ngarnya tidak dapat menahan diri kecuali ikut menangis. Aku menangis dan terus menangis. Kubiarkan diriku melepaskan deritanya yang seakan-akan sebelum ini terbelenggu. Kurasakan suatu kelegaan jiwa yang luar biasa yang tidak pernah kuketahui sebelum ini. Seakan-akan dahulunya aku berada di barisan musuh-musuh Imam Husain, dan tiba-tiba sekarang berbalik dan ikut serta para sahabat Husain dan pengikutnya yang berkorban untuknya.
Waktu itu si penceramah bercerita tentang al-Hur, salah seorang komandan pasukan musuh yang diperintahkan untuk memerangi Husain. Namun ketika beliau berdiri di front paling depan, dia rasakan dirinya bergemetar dahsyat. Ketika ditanya oleh sebagian temannya, apakah dia takut mati? Hur menjawab, demi Allah tidak. Tetapi aku kini tengah mempertaruhkan nyawaku antara sorga dan neraka. Kemudian dia sebat kudanya dengan agak keras dan pergi ke arah Husain. Katanya, wahai putra Rasulullah, apakah masih ada luang untukku bertaubat?
Mendengar ini aku tidak dapat menahan diri. Aku jatuh dan menangis seakan aku tengah melakukan peranan Hur. Aku berkata, wahai putra Rasulullah, apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat? Maafkan aku wahai putra Rasulullah.
Waktu itu suara si penceramah sangat mengharukan. Terdengar suara tangisan para hadirin menguak suasana. Temanku mendengar suara jeritan tangisku. Dia datang dan memelukku sambil menangis bagaikan seorang ibu yang memeluk anaknya. Dia menyebutkan kata-kata, ya Husain… ya Husain… secara perlahan. Saat itu benar-benar mengajarku makna suatu tangisan. Air mataku seakan mencuci semua kalbuku dan jasadku dari dalam. Waktu itu aku baru paham maksud hadis Nabi:“Apabila kalian tahu apa yang kuketahui, maka kalian akan tertawa sejenak dan menangis banyak.”
Satu hari penuh aku hanya berdiam diri. Temanku berusaha menghiburku dan mengucapkan takziah padaku. Diberinya aku sedikit manisan, tapi rasa minatku untuk makan hari itu sama sekali hilang. Aku minta temanku menceritakan kepadaku kisah syahidnya Sayyidina Husain, karena aku tidak tahu sama sekali tentang tragedi Karbala ini. Apa yang aku tahu adalah cerita orang-orang tua kami yang mengatakan bahwa orang-orang munafik yang membunuh Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali, mereka jugalah yang membunuh Sayyidina Husain. Selebihnya kami tidak tahu. Bahkan pada hari Asyura kami menyambutnya dengan suka-ria, karena dianggap sebagai hari raya Islam. Hari itu zakat-zakat harta dikeluarkan, berbagai makanan yang lezat dihidangkan dan anak-anak pergi meminta uang dari orang-orang tua mereka untuk belanja mainan dan manisan.
Memang ada sebagian adat di sejumlah daerah di mana para penduduknya pada hari itu menyalakan api, tidak bekerja, tidak kawin dan tidak bersuka ria. Tetapi hal itu kami katakan sebagai adat semata-mata, tanpa mengetahui makna yang tersirat di baliknya. Ulama-ulama kami meriwayatkan berbagai hadis tentang keutamaan hari Asyura serta berbagai berkat dan rahmat yang ada di dalamnya. Sungguh aneh.
Dari sana kemudian kami ziarah ke kuburan Abbas, adiknya Husain. Waktu itu aku tidak kenal siapa Abbas. Temanku menceritakan padaku tentang kegagahan dan kepahlawanannya. Di sana juga kami berjumpa dengan berbagai ulama yang tidak kuingat betul siapa nama-nama mereka, melainkan gelarnya saja, seperti Bahrul Ulum, Sayed al-Hakim, Kasyif al-Ghitho’, Ali Yasin, Thabathabai, Fairuz Abadi, Asad Haidar dan sebagainya.
Secara jujur harus kukatakan bahwa mereka sebenarnya adalah para ulama yang bertakwa, berwibawa dan terhormat. Orang-orang Syi’ah sangat menghormati mereka dan membayarkan khumus(seperlima dari keuntungan niaganya) kepada mereka. Dengan dana itu mereka menjalankan urusan Hauzah Ilmiah, mendirikan berbagai sekolah dan percetakan, serta memberi biasiswa kepada parathalabah (pelajar) yang datang dari berbagai dunia Islam. Mereka benar-benar berdikari dan tidak bergantung kepada para penguasa, baik yang dekat atau yang jauh; tidak seperti kondisi ulama-ulama kita yang tidak akan mengeluarkan sebuah fatwa atau pendapat melainkan terlebih dahulu minta restu para penguasa yang menjamin kehidupan mereka dan yang dapat menyingkirkan atau mengangkat mereka.
Sungguh merupakan suatu dunia baru yang kutemukan; atau ditunjukkan oleh Allah padaku. Kini aku menyukainya dan dapat menyesuaikan diri dengannya setelah sekian lama aku memusuhinya. Orang alim ini telah membukakan untukku berbagai pemikiran-pemikiran yang baru. Beliau juga telah membangkitkan diriku untuk mencintai pengkajian, penelitian dan belajar sungguh-sungguh sampai harus kutemukan sebuah kebenaran yang kucari. Apalagi Nabi pernah bersabda: “Bani Israel telah terpecah kepada tujuh puluh satu golongan, Nasrani telah berpecah kepada tujuh puluh duagolongan sementara ummatku akan terpecah kepada tujuh puluh tiga golongan. Semua berada di neraka kecuali satu.” Hadis ini sangat mengusikku untuk mengetahui lebih jauh tentang suatu kebenaran yang dimaksudkan.
Kita tidak perlu mengaitkan maksud hadis ini dengan berbagai agama yang mengklaim bahwa dirinya adalah yang benar sementara yang lain salah. Aku bingung dan takjub melihat maksud hadis ini. Lebih bingung lagi melihat sikap kaum muslimin yang sering membaca dan mengulang-ulang hadis ini dalam ceramah-ceramahnya, namun tetap tidak pernah mau meneliti maksudnya agar dapat membedakan mana golongan yang hak dari golongan yang batil. Anehnya setiap golongan menklaim bahwa dia adalah satu-satunya yang kelak akan selamat, dan yang lain sesat. Dalam urutan hadis itu tertulis, “Sahabat bertanya, siapa mereka ya Rasuhdlah?” Nabi menjawab: “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”
Apakah ada suatu golongan yang tidak berpegang pada Kitab dan Sunnah, atau mengaku tidak ikut AlQuran dan Sunnah? Seandainya Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i atau Ahmad bin Hanbal ditanya, adalah tidak mungkin mereka akan berkata bahwa mereka tidak berpegang pada AlQuran dan Sunnah yang sahih. Inibaru sekadar mazhab-mazhab yang ada di dekitar dunia Sunni. Bagaimana pula dengan golongan Syi’ah? Mazhab ini juga mengklaim bahwa ia berpegang pada Kitab Allah dan Sunnah yang shahih yang kesemuanya diriwayatkan oleh Ahlul Bait yang suci. Bak kata pepatah, “Ahlul Bait lebih tahu akan isi rumahnya ketimbang orang luar.” Apakah mungkin semuanya benar seperti yang diklaim oleh masing-masing. Hal ini rasanya tidak mungkin sama sekali, karena ia bermaksud sebaliknya. Lain halnya apabila dinyatakan bahwa hadis tersebut palsu atau dusta. Tetapi ini tidak mungkin. Sebab hadis itu adalah hadis yang mutawatir, baik menurut Sunnah atau pun Syi’ah. Apakah mungkin hadis ini tidak mempunyai makna dan maksud? Jauh sekali Nabi akan berkata sesuatu yang sia-sia tanpa maksud, karena apa yang dikatakannya adalah wahyu semata-mata; dan setiap hadisnya mengandung hikmat dan pelajaran. Nah, suka atau tidak, kita terpaksa harus mengakui bahwa hanya ada satu golongan yang benar dan lainnya salah. Hadis ini memang menimbulkan kebingungan, tetapi ia juga melahirkan sikap ingin tahu dan kesungguhan untuk meneliti bagi mereka yang menginginkan keselamatan.
Karena itu, sikap ragu-ragu, bingung dan ingin tahu kemudian timbul dalam benakku setelah perjumpaanku dengan orang-orang Syi’ah. Siapa tahu mungkin mereka mengatakan sesuatu yangbenar danberkata jujur. Kenapa aku tidak teliti dan kaji. Islam telah mewajibkanku mengkaji, memperbandingkan dan meneliti seperti yang disebutkan dalam AlQuran dan Sunnah Nabi. Allah berfirman: “Siapa yang sungguh-sungguh meniti dijalan Kami maka pasti Kami tunjukkan padanya jalan-jalan Kami” (Al-Ankabut: 69). Dia juga berfirman: “Mereka yang mendengar suatu perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antamnya, maka mereka adalah orang-orang yang diberi hidayat oleh Allah dan mereka adalah orang-orang yang berfikir.” (Al-Zumar: 18)
Dengan keputusan dan niat yang jujur ini aku kemudian berjanji pada diriku dan kepada teman-teman Syi’ahku di Iraq untuk memulai penelitianku. Aku sangat terharu ketika berpisah dengan mereka. Aku telah sangat mencintai mereka dan mereka juga mencintaiku. Aku telah tinggalkan teman-teman yang mukhlis dan mulia, yang telah mengorbankan waktu mereka karenaku dan tiada menyimpan sebarang maksud. Tujuan mereka semata-mata ingin memperoleh keredhaan Allah SWT. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Satu orang yang mendapatkan hidayah Allah di tanganmu adalah lebih baik bagimu dari apa yang diterbitkan oleh matahari.”
Aku meninggalkan Iraq setelah dua puluh hari berada di sekitar makam para imam Syi’ah. Semua berlalu seperti mimpi indah yang teramat sukar untuk dilepaskan. Kutinggalkan Iraq dengan perasaan sedih lantaran waktunya yang sangat singkat; dan karena perpisahan yang mesti dengan orang-orang yang sangat baik hati dan berpaut cinta kepada Ahlul Bait Nabi SAWW. Aku pergi menuju Hijaz ingin berkunjung ke Baitullah al-Haram dan makam Sayyidil Awwalin Wal Akhirin Sallallahu Alaihi Wa Alihi at-Thayyibin at-Thahirin.

BERANGKAT KE HIJAZ
AKU tiba di Jeddah. Di sana aku berjumpa dengan temanku Bashir yang hangat menyambut kedatanganku. Dibawanya aku ke rumahnya dan dihormatinya aku dengan penuh mesra. Dia luangkan waktunya untuk menemaniku pergi bersiar dan ziarah dengan mobilnya. Kami pergi umrah bersama-sama dan kami lalui waktu-waktu kami dengan amal ibadah dan ketakwaan. Aku mohon maafkarena terlambat sampai lantaran perjalanan ke Iracj sebelum ini. Kuceritakan kepadanya temuan baruku. Dia bersikap terbuka dan ingin tahu. Katanya: “Aku memang pernah mendengar bahwa mereka mempunyai banyak ulama yang agung dan bersandar pada dalil-dalil yang kuat. Tetapi di antara mereka banyakjuga golongan yang sesat. Pada setiap musim haji mereka menciptakan berbagai kemusykilan pada kami.” Kutanya kemusykilan seperti apa? “Seperti, shalat di sekitar kuburan, masuk ke pekuburan baqi’ beramai-ramai, menangis disana dan membawa potongan batu untuk sujud. Jika mereka pergi ke kuburan Sayyidina Hamzah di Uhud, mereka akan mengadakan acara takziah, memukul-mukul dada dan menangis kuat seakan-akan Hamzah baru saja meninggal hari itu. Karena itulah kenapa kerajaan Saudi melarang mereka masuk ke makam-makam ziarah.”
Aku hanya tersenyum. Kukakatakan padanya apakah dengan ini berarti mereka dihukumkan telah keluar dari Islam? “Ya, ada lagi yang lainnya.” Jawabnya. “Mereka datang ziarah ke kuburan Nabi, tetapi dalam waktu yang sama mereka berdiri di depan kuburan Abu Bakar dan Umar, kemudian mencaci dan melaknat mereka. Sebagian mereka bahkan ada yang melempari kuburan Abu Bakar dan Umar dengan benda-benda najis dan kotoran.”
Kata-kata ini mengingatkanku pada cerita ayahku saat beliau baru pulang dari Haji. Katanya, orang-orang Syi’ah melemparkan najis ke kuburan Nabi. Ayahku memang tidak pernah menyaksikannya sendiri. Katanya dia hanya melihat unit keamanan Saudi memukul sebagian jemaah haji dengan tongkat. Ketika diprotesnya, mereka menjawab bahwa yang dipukul itu bukan orang-orang Islam. Mereka adalah orang-orang Syi’ah, yang datang membawa benda-benda najis untuk dilemparkan ke pusara Nabi SAWW. Ayahku kemudian berkata: “Seketika itu juga kami laknat mereka dan meludahi muka mereka.”
Sekarang ini kudengar dari temanku seorang Saudi asal Madinah bahwa orang-orang Syi’ah itu berziarah ke kuburan Nabi, tapi melemparkan benda-benda najis ke pusara Abu Bakar dan Umar. Aku meragukan kebenaran dua cerita ini. Karena kulihat sendiri ruang kuburan Nabi dan kuburan Abu Bakar dan Umar semuanya tertutup. Siapa pun tidak akan dapat mendekat untuk memegang dan mengusap dari pintu atau jendelanya. Apalagi ingin melemparkan sesuatu ke dalamnya. Di samping tidak ada celah-celah, ia dijaga sangat ketat oleh polisi-polisi yang kasar yang silih berganti berdiri di hadapan setiap pintu. Mereka memegang cambuk dan memukul setiap orang yang mendekat atau yang berusaha melihat ruang dalam. Kebanyakan polisi adalah orang-orang Saudi sendiri. Mereka mengkafirkan Syi’ah agar punya alasan untuk memukul mereka; dan supaya kaum muslimin tergugah untuk memerangi mereka atau paling tidak akan diam atas penghinaan terhadap mereka. Kelak nanti kalau pulang ke negeri masing-masing, mereka akan mengatakan bahwa Syi’ah adalah mazhab yang membenci Rasulullah SAWW dan melemparkan benda-benda najis ke kuburannya. Dengan demikian maka mereka telah dapat melempar dua burung dengan satu batu.
Hal ini serupa dengan cerita seorang alim yang kupercaya. Katanya: “Ketika kami sedang tawaf di Baitullah, tiba-tiba seorang anak muda termuntah akibat perutnya yang mual dan desakan orang ramai. Polisi-polisi yang menjaga Hajarul Aswad kemudian datang dan memukulnya. Ditariknya anak muda ini dengan cara yang sangat memilukan. Kemudian ia dituduh sengaja datang ke Ka’bah dengan membawa benda najis untuk mengotorinya. Setelah “dibuktikan” maka anak muda ini dihukum mati pada hari itu juga.
Drama-drama seperti itu mulai mengusik benakku. Aku sejenak merenungkan kata-kata temanku Saudi ini yang mengkafirkan Syi’ah. Sebabnya tiada lain karena orang-orang Syi’ah itu menangis, memukul-mukul dada, sujud di atas tanah dan shalat di sekitar kuburan. Aku bertanya-tanya apakah ini dalilnya untuk mengkafirkan orang yang bersaksi Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Hamba-Nya dan Utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan, pergi haji ke Baitullah al-Haram dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Aku tidak ingin membantah dan berselisih dengannya. Aku hanya berkata: semoga AUah membimbing kita dan mereka ke jalan yang lurus; dan semoga laknat Allah ditimpakan kepada musuh-musuh agama yang telah menipu-daya Islam dan kaum muslimin.
Setiap kali aku bertawaf ketika umrah dan ketika ziarah ke Makkah al-Mukarramah, yang ada hanya segelintir manusia saja. Aku shalat dan memohon kepada Allah dengan segala jiwa ragaku agar dibukanya hatiku dan dibimbingnya aku ke jalan yang benar.
Aku berdiri di belakang makam Ibrahim a.s. Aku baca ayat berikut: “Dan berjihadlah kamu padajalan Allah denganjihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak rnenjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu. Dan (begitu pula) dalam (AlQumn) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan snpaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik Penolong” (Al-Haj: 78).
Lalu aku mulai bermunajat dengan Sayyidina Ibrahim atau bapak kita seperti yang disebut oleh AlQuran. ” Wahai bapak kami. Duhai yang menamakan kami sebagai Muslimin. Lihatlah anak-anakmu yang telah berselisih setelah ketiadaanmu. Mereka telah menjadi Yahudi, Nasrani dan Muslimin. Dan Yahudi telah berpecah kepada tujuh puluh satu golongan; Nasrani telah berpecah kepada tujuh puluh dua golongan, dan kaum muslimin telah berpecah juga kepada tujuh puluh tiga golongan. Semua mereka tersesat seperti yang diberitakan oleh puteramu Muhammad dan satu golongan saja yang masih setia di jalanmu.
Apakah ini telah jadi sunnah Allah seperti yang dikatakan oleh Qadariah, sehingga Dia telah tetapkan kepada semua manusia untuk menjadi Yahudi, Nasrani, Muslim, ateis atau musyrik. Atau lantaran cinta kepada dunia dan menjauh dari ajaran-ajaran Allah. Mereka telah lupa kepada Allah lalu Allah melupakan diri mereka. Akalku tidak berdaya mempercayai yang qadha dan qadar itu menentukan nasib manusia. Aku condong bahkan hampir pasti mengatakan bahwa Allah SWT setelah menciptakan kami, Dia juga membimbing kami dan menunjukkan kami mana yang baik dan mana yang buruk. Diutus-Nya kepada kami para Rasul-Nya untuk menjelaskan apa yang kami tidak tahu dan mengajarkan mana yang hak dari yang batil. Tetapi manusia telah ditipu oleh dunia dan hiasannya. Karena sikap ego, sombong, jahil, angkuh, zalim dan melewati batas maka mereka kemudian berpaling dari kebenaran dan ikut jejak setan. Mereka telah lari dari ar-Rahman dan masuk ke jalan yang lain. AlQuran telah mengungkapkan ini dengan ungkapan yang sangat baik dan ringkas, “Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali menzalimi manusia, tetapi manusia itu sendiri yang menzalimi diri mereka.” (Yunus: 44)
Duhai ayah kami Ibrahim. Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah cela karena menginkari kebenaran setelah datangnya bukti-bukti yang jelas dengan sikap mereka yang angkuh itu. Lihatlah pula ummat ini yang telah diselamatkan oleh Allah dengan datangnya puteramu Muhammad, dan telah dikeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan telah dijadikan mereka sebagai ummat yang terbaik yartg pernah diciptakan untuk manusia. Lihatlah mereka juga bertengkar dan berpecah, bahkan saling mengkafirkan. Rasulullah telah memperingatkan mereka dan membatasi mereka dengan sabdanya:“Seorang muslim tidak diperkenankan meninggalkan saudara muslimnya yang lain lebih dari tiga hari.”Kenapa ummat ini berpecah dan terbagi menjadi negara-negara kecil yang saling bermusuhan, berperang dan saling mengkafirkan. Bahkan mereka saling tidak mengenal sehingga mereka berpisah sepanjang hidupnya. Apa yang telah terjadi pada ummat padahal sebelum ini mereka adalah sebaik-baik ummat. Dahulu mereka telah kuasai barat dan timur dan menghantarkan ummat manusia pada kebenaran ilmu pengetahuan, kesadaran dan peradaban. Tetapi kini mereka telah menjadi ummat yang hina dan tidak penting. Tanah-tanah mereka dirampas. Rakyat mereka diusir. Masjid al-Aqso mereka diduduki oleh segelintir orang-orang Zionis tanpa mereka sanggup membebaskannya. Kalaulah Engkau mengunjungi negara-negara mereka, maka yang kau lihat hanyalah kemiskinan, kelaparan, ketandusan, penyakit-penyakit yang berbahaya, moral-moral yang rusak, keterbela-kangan pemikiran dan teknologi, penindasan dan kekotoran. Cukup Engkau bandingkan antara toilet-toilet umum Eropa dengan toilet-toilet umum di negara-negara kami. Ketika seorang musafir masuk ke toilet di negara Eropa mereka akan melihatnya bersih dan tidak berbau. Sementara jika ia pergi ke negara-negara Islam ia akan melihatnya kotor dan berbau. Padahal agama Islam kita mengajarkan bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman dan kekotoran adalah bagian dari setan.” Apakah iman telah berhijrah ke Eropa sementara setan hijrah ke mari? Kenapa kaum muslimin takut menampakkan akidah mereka hatta di negara sendiri, dan tidak berani hatta sekadar menunjukkan wajah. Mereka takut memelihara janggut mereka atau memakai pakaian Islam. Sementara orang-orang fasik secara terang-terangan meminum arak, berzina dan memperkosa kehormatan Islam, tanpa seorang muslim mampu menolak mereka apalagi menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Aku dengar di sebagian negara Islam seperti Mesir dan Morocco, seorang ayah menjual anak-anak perempuannya melacur semata-mata karena kemiskinan yang sudah sangat mencekik. Wala Haula Wala Quwwata llla Billah al-A’li al-A’zim.
Ya Ilahi. Kenapa Kau menjauh dari ummat ini dan mening-galkannya jatuh ke dalam kegelapan. Tidak…tidak. Aku mohon ampunanMu ya Ilahi dan mohon tubat dariMu. Merekalah yang menjauh dari-Mu dan memilih jalan setan. Maha Agung Hikmah-Mu dan Maha Tinggi Kekuasaan-Mu. Kau telah berfirman:“Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (AlQuran) Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.(Az-Zukhruf: 36) Kau juga berfirman: “Muhammad itn tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh maka kamu berbalikke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orangyang bersyukur.” (Ali Imran: 144)
Tidak syak lagi bahwa kemunduran, keterbelakangan, kehinaan dan kemiskinan adalah bukti jelas akan jauhnya mereka dari jalan yang lurus. Dan tidak syak lagi bahwa kelompok yang sedikit atau kelompok yang satu dari tujuh puluh tiga kelompok yang ada tidak akan dapat mempengaruhi perjalanan ummat ini secara keseluruhan. Rasulullah SAWW telah bersabda: “Hendaklah kalian perintahkan yang ma’ruf dan cegah yang munkar, atau Allah akan tempatkan orang-orang yang paling jahat menguasai kalian. Saat itu apabila orang-orang yang terbaik di antam kalian berdoa, kelak Dia tidak kabulkan permohonan-nya.”
Ya Tuhan kami. Kami telah beriman dengan apa yang Kau turunkan dan kami telah mengikuti Rasul-Mu. Maka golongkanlah kami bersama orang-orang yang bersaksi.
Ya Tuhan kami. Jangan Kau palingkan hati-hati kami setelah Kau berikan kami hidayah. Karuniakan kepada kami dari sisi-Mu rahmat. Sesungguhnya Kau Maha Pemberi.
Ya Tuhan kami. Kami telah aniaya diri kami, apabila Kau tidak ampuni kami dan mengasihi kami niscaya kami akan menjadi orang-orang yang rugi.
Aku berangkat ke Madinah al-Munawwarah sambil membawa sepucuk surat dari temanku Basyir kepada salah seorang kerabatnya di sana. Maksudnya agar aku dapat tinggal di rumahnya saja. Dan Basyir juga telah memberitahunya melalui telefon. Sesampainya di sana aku disambut dengan hangat dan diajak tinggal di rumahnya. Segera setelah itu aku pergi ziarah ke kuburan Rasulullah SAWW. Sebelum pegi aku mandi dan mengenakan pakaianku yang paling baik dan paling bersih. Tak lupa aku juga pakai wewangian yang harum semerbak. Waktu itu para pengunjung tidak seramai di musim haji. Karena itu aku dapat berdiri di hadapan kuburan Nabi SAWW dan kuburan Abu Bakar dan Umar. Pada musim haji yang lalu, aku tidak bisa berdiri karena sesaknya pengunjung yang datang ziarah. Kemudian secara iseng aku coba ingin menyentuh salah satu dari pintu kuburan Nabi untuk tabarruk (mengambil berkat). Tiba-tiba seorang penjaga yang berdiri di situ menghentakku. Di setiap pintu ada seorang penjaga yang berdiri. Ketika aku berdiri lama untuk berdoa dan menyampaikan salam temanku, para penjaga di situ menyuruhku pergi. Aku coba meyakinkannya, tapi tidak berhasil.
Aku kembali ke taman Raudhah. Di sana aku membaca ayat-ayat AlQuran dengan bacaan yang terbaik. Kuulangi berkali-kali karena kubayangkan seakan Nabi sedang mendengar bacaanku. Kukatakan kepada diriku apakah mungkin Nabi mati seperti orang-orang lain yang mati. Lalu kenapa kita baca salam kepadanya di waktu-waktu shalat kita, “Assalamu Alaika Ayyuhan Nabiyyu Wa Rahmatullahi Wci Barakatuh “. Apabila kaum muslimin percaya bahwa Sayyidiria Khidhir as tidak mati dan menyahut salam setiap orang yang mengucapkan padanya; bahkan apabila syaikh-syaikh tarekat sufi percaya bahwa syaikh mereka seperti Ahmad Tijani atau Abdul Qadir Jailani dapat datang kepada mereka secara nyata atau dalam tidur, lalu kenapa kita meragukan yang Rasulullah SAWW mempunyai keramat seumpama itu. Padahal baginda Nabi adalah mahkluk Allah yang paling utama.
Sebenarnya kaum muslimin tidak meragukan kemampu-an Rasulullah seperti ini kecuali kelompok Wahabiah yang mulai tidak kusakai itu. Sebab lain, karena mereka juga bersikap kasar terhadap sesama orang-orang mukmin yang tidak seakidah dengan mereka.
Suatu hari aku berziarah ke Taman Baqi’. Aku berdiri di sana membaca Fatihah untuk arwah Ahlul Bait. Di dekatku ada seorang tua yang sedang menangis. Dari tangisnya aku tahu bahwa dia adalah seorang Syi’ah. Kemudian dia menghadap kiblat dan shalat. Tiba-tiba secepat kilat seorang polisi datang menghampirinya. Polisi ini telah memperhatikan gerak-gerik orang tua ini dari tadi. Ketika orang tua ini sujud, dia ditendang dengan keras sekali hingga jatuh tersungkur. Dia pingsan tak sadarkan diri beberapa saat. Kemudian si polisi ini memukulnya lagi dan mencaci-maki dengan kata-kata yang keji. Hatiku tak terharu melihat nasib orang tua ini, khawatir ia akan mati karena derita yang kejam itu. Kukatakan pada polisi ini, wahai Polan, haram bagimu memperlakukan orang tua seperti ini. Kenapa kau pukul dia padahal dia sedang shalat? Dia menghentakku sambil berkata: “Diam kau dan jangan ikut campur, biar tidak kuperlakukan seperti itu.” Ketika kulihat wajahnya yang merah karena marah padaku, aku pergi menghindarinya dengan hati yang sangat kesal lantaran tak dapat menolong orang yang dizalimi ini. Aku juga sangat kesal kenapa orang-orang Saudi yang ada di sekitar tidak berani mencegahnya.
Sebagian penziarah lain juga menyaksikan kejadian itu. Ada yang berkata La Haula Wala Quwwata llla Billahi al-A’li al-A’zim sebagai tanda kesal. Tapi ada juga yang mendukung perlakuan seperti itu karena konon dia sembahyang di sekitar kuburan; dan ini hukumnya haram. Aku tidak dapat menahan diriku melihat sikap orang tni. Kukatakan padanya, siapa yang berkata bahwa sembahyang di sekitar kuburan adalah haram? “Rasulullah yang melarangnya” jawabnya. “Kalian berdusta atas nama Rasulullah.” Kataku tanpa sadar. Karena khawatir orang-orang yang ada di sekitar akan menangkapku atau akan memanggil si polisi itu, lalu aku diperlakukan seperti orang tua itu, akhirnya aku berkata dengan lemah lembut: “Jika memang Nabi SAWW melarang ini, kenapa jutaan jemaah haji dan penziarah tidak melaksanakannya dan terus melakukan perbuatan yang haram. Mereka shalat di sekitar kuburan Nabi dan kuburan Abu Bakar dan Umar ketika berada di Masjid Nabawi; atau ketika berada di berbagai masjid kaum muslimin yang lain di belahan dunia ini. Katakanlah bahwa shalat di sekitar kubur adalah haram, tapi apakah dengan cara kasar seperti ini kita lalu melarangnya atau dengan cara halus dan lemah lembut?
Izinkan aku menceritakan kisah seorang Badwi yang kencing di masjid Nabi di hadapan baginda Nabi dan sahabat-sahabatnya tanpa segan silu. Ketika sebagian sahabat berdiri menghunuskan pedang untuk membunuhnya, Nabi melarang mereka. Katanya: “Biarkan dia, dan jangan perlakukan dia dengan kasar. Siramkan setimba air pada air kencingnya, karena kalian dibangkitkan untuk mempermudah bukan untuk mempersulit; untuk membawa berita gembira bukan untuk menimbulkan rasa enggan.” Semua sahabat mematuhi perintahnya. Kemudian Rasulullah memanggil si Badwi ini dan didudukkannya di sisinya. Disambutnya dengan mesra dan dikatakan kepadanya dengan lemah lembut bahwa tempat ini adalah Rumah Allah dan tidak boleh dinajisi. Akhirnya si Badwi ini masuk Islam. Pada hari-hari berikutnya, dia datang ke masjid dengan pakaiannya yang paling suci. Benarlah firman Allah kepada Rasul-Nya: “Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekeliling-mu.” ( Ali Imran: 159)
Mendengar ini sebagian yang hadir merasa terkesima. Salah seorang dari mereka mengajakku ke sebuah sudut dan bertanya siapa aku. Dari Tunisia, jawabku. Disalaminya aku, kemudian dia berkata: “Ya akhi, demi Allah, jagalah dirimu dan jangan kau berkata-kata seperti itu lagi di sini. Aku menasihatimu hanya karena Allah semata-mata.”
Sejak itu bertambahlah kebencianku pada mereka yang mengaku sebagai Khadimul Haramain,karena perlakuan mereka yang kasar terhadap tamu-tamu Allah. Di sana tidak ada orang yang berani mengeluarkan pendapatnya atau meriwayatkan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan cara mereka, atau mempercayai sesuatu yang tidak sama dengan kepercayaan mereka.
Aku kembali ke rumah temanku yang masih belum kukenal namanya. Dia hidangkan untukku makan malam. Kami duduk bersama saling menyapa. Sebelum makan, ditanyanya kemana aku pergi hari ini. Kuceritakan padanya apa yang kusaksikan dari awal hingga akhir. Kukatakan juga padanya: “Ya akhi, terus terang kukatakan kepadamu bahwa aku mulai merasa muak dengan Wahhabiah, dan mulai condong kepada Syi’ah.” Tiba-tiba saja mukanya berubah. Katanya kepadaku: “Jangan kau ucapkan kata-kata serupa itu sekali lagi!” Ditinggalkannya aku sendirian dan tidak kembali sampai aku tertidur. Pagi berikutnya aku bangun setelah mendengar suara azan Masjid Nabawi. Kulihat makanan malam tadi masih berada di tempatnya. Aku sadar bahwa dia tidak kembali malam tadi. Aku merasa khawatir kalau-kalau dia adalah seorang agen intel. Aku segera berdiri dan bergegas meninggalkan rumah. Sepanjang hari itu aku berada di masjid saja, berziarah dan shalat. Aku hanya keluar untuk wudhu’ atau buang hajat.
Usai shalat Asar aku duduk mendengarkan ceramah yang sedang diberikan pada sekumpulan jemaah sekitar. Melalui orang yang hadir akhirnya aku tahu bahwa penceramah adalah seorang Qadhi atau pemuka kota Madinah. Aku mendengarkan kuliah tafsir AlQuran yang diajarnya. Usai kuliah, aku menghadapnya dan mengajukan beberapa pertanyaan. Kataku, “Tuan, dapatkah Anda memberikan penjelasan kepadaku maksud ayat “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (Al-Ahzab: 33). Siapa Ahlul Bait yang dimaksudkan dalam ayat ini?” “Mereka adalah isteri-isteri Nabi. Sebab ayat ini bermula dengan menyebut mereka, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain…” Jawabnya.
Kukatakan padanya bahwa “Ularna-ulama Syi’ah berkata bahwa ayat ini adalah khusus untuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Aku juga telah kritik mereka dan kukatakan bahwa permulaan ayat tersebut adalah kata-kata “Hai isteri-isteri Nabi…” Mereka menjawab: “Ketika ayat tersebut berkata kepada isteri-isteri Nabi, dhomir (kata ganti) yang digunakan semuanya Nun Niswah (menunjuk perempuan). Firman Allah, “Lastunna inittaqoitunna”, “Fala Takhdho’na”, “Wa Qulna”, ” Wa Qirna fi buyutikunna”, “Wa la Tabarrajna”, “Wa Aqimnas Sholah WaAtinaz Zakah”, “Wa Athi’nallaha Wa Rasulahu”. Ketika bagian ayat itu khusus kepada Ahlul Bait, maka dhomir ayat itu pun berubah (menunjuk lelaki). Firman-Nya “Li Yuzhiba A’nkum”, “Wa Yutohhirakum”.
Sambil mengangkat cermin matanya, dia pandang wajahku dan berkata: “Hati-hati dari jenis pemikiran yang bahaya seperti ini. Orang-orang Syi’ah mentakwilkan Kalam Allah mengikut hawa nafsu mereka. Mereka juga mempunyai berbagai ayat yang berkenaan dengan Ali dan anak-anaknya yang tidak kita ketahui. Mereka mempunyai AlQuran tersendiri yang diberi nama dengan Mushaf Fatimah. Kuingatkan engkau jangan sampai tertipu.”
“Jangan khawatir wahai Tuan!” kataku padanya.” Aku senantiasa waspada dan banyak tahu tentang mereka. Aku hanya ingin mengkaji.”
“Anda berasal dari mana?” Tanyanya kepadaku.
“Dari Tunisia”.
“Siapa nama Anda?”
“At-Tijani”.
Dia tertawa lebar. “Anda tahu siapa itu Ahmad Tijani”. Tanyanya. “Syaikh Tarekat.” Jawabku. “Dia adalah boneka Perancis. Perancis dapat bertapak di Algeria dan Tunisia karena bantuannya. Jika kau pergi ke Paris, pergilah ke Perpustakaan Nasional dan baca Kamus Perancis pada bab “A”. Di sana kau akan temukan bahwa Perancis telah memberinya medali kehormatan karena baktinya yang sangat besar kepada mereka.” Jiwaku terasa tersentak mendengar kata-katanya itu. Kemudian kuucapkan rasa terima kasih dan kami pun berpisah.
Aku berada di Madinah selama seminggu. Di sana aku telah dapat tunaikan sebanyak empat puluh shalat (wajib). Aku juga mengunjungi tempat-tempat ziarah. Selama di sana aku mengamati berbagai hal yang menarik perhatianku. Tapi perasaanku terhadap Wahhabiah semakin hari semakin kecewa. Aku berangkat dari Madinah ke Jordan. Di sana aku berjumpa dengan teman-teman yang kukenal pada waktu musim haji yang lalu, seperti yang kusebutkan di atas.
Selama tiga hari aku berada di sana. Kulihat rasa benci mereka pada Syi’ah lebih banyak dari yang kusaksikan di Tunisia. Cerita dan alasannya satu. Setiap kali kutanya apa dalilnya, mereka berkata bahwa mereka juga telah mendengarnya dari orang lain. Tidak satupun dari orang yang kutanya pernah suatu saat berdiskusi dengan orang Syi’ah sendiri; atau membaca kitab Syi’ah bahkan bertemu dengan mereka.
Dari sana aku pergi ke Syria. Aku berkunjung ke Jami’ Umawiyah di Damascus. Disebelahnya ada makam yang dinisbahkan kepada kepala Sayyidina Husain. Aku juga sempat berkunjung ke pusara Salahuddin al-Ayyubi dan Sayyidah Zainab.
Dari Beirut aku pergi ke Tripoli. Perjalanan laut memakan waktu selama empat hari. Di saat itulah aku benar-benar bisa istirahat. Kuulangi rekaman perjalananku yang hampir habis. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa aku condong dan menaruh rasa hormat pada Syi’ah. Dan sebaliknya merasa benci dan muak pada Wahabiah yang telah kukenal liku-likunya. Aku memuji Allah atas karunia yang diberikan-Nya padaku sambil berdoa kepada-Nya agar ditunjukkan jalan yang benar.
Aku kembali ke tanah air dengan penuh kerinduan kepada keluarga dan teman-temanku. Semuanya kudapati dalam keadaan baik. Ketika tiba di rumah, aku dikejutkan dengan banyak bungkusan buku yang telah sampai sebelumku. Aku tahu siapa pengirimnya. Ketika kubuka buku-buku yang memenuhi ruangan rumah, hatiku semakin cinta dan menghargai mereka yang tidak mengingkari janjinya itu. Kulihat buku-buku yang dikirim lebih banyak dari yang dihadiahkannya padaku waktu itu.


MULANYA SUATU KAJIAN
AKU sangat gembira. Kususun buku-buku itu di ruangan khas yang kunamakan perpustakaan. Beberapa hari aku istirahat. Daftar kerja untuk awal tahun pelajaran baru telah kuterima. Tugasku mengajar tiga hari berturut-turut dan selebihnya aku bebas.
Aku mulai membaca buku-buku itu. Kubaca buku Aqaid al-Imamiah (Aqidah Syi’ah Imamiyah), danAshlus Syi’ah Wa Ushuluha. Hatiku tenang melihat akidah dan pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Syi’ah. Kemudian kubaca kitab al-Muraja’at ( Dialog Sunnah Syi’ah) oleh ayed Syarafuddin al-Musawi. Setelah beberapa lembar kubaca, isinya sangat memikat sehingga tidak kutinggalkan kecuali betul-betul terdesak. Kadang-kadang kubawa kitab itu ke sekolah. Kitab itu sangat menarik perhatianku lantaran sikap ketegasan orang alim Syi’ah itu dan kemampuannya di dalam menjawab setiap persoalan yang diajukan oleh seorang alim Sunni Syaikh al-Azhar.
Kitab itu sangat mengenai jiwaku karena ia berbeda dengan kitab-kitab lain. Biasanya penulis sebuah buku akan menulis apa saja yang ia kehendaki tanpa ada orang yang menyangkal atau mengkritiknya. Tetapi kitab ini adalah dialog antara dua alim dari dua mazhab yang berbeda. Masing-masing membahas secara rinci setiap apa yang mereka permasalahkan, kecil atau besar, dengan berpegangkan kepada dua asas semua kaum muslimin, yakni AlQuran dan Sunnah sahih yang disepakati. Buku itu benar-benar sangat memadai dalam memberikan curahan ilmu kepadaku sebagai seorang yang tengah mencari suatu kebenaran. Itulah kenapa buku itu sangat berguna sekali bagiku dan punya jasa besar yang tak terhingga kepadaku.
Aku sangat heran ketika si penulis berbicara tentang ketidak-patuhan sebagian sahabat terhadap perintah-perintah Rasul SAWW. Disebutkan di situ berbagai contoh, antara lain Tragedi Hari Kamis. Tidak terbayangkan betapa Sayyidina Umar bin Khattab memprotes perintah Nabi dan mengatakan bahwa Nabi meracau. Mula-mula terpikir olehku bahwa riwayat itu mesti dari kitab-kitab Syi’ah. Lebih mengherankan lagi ketika kulihat bahwa orang alim Syi’ah ini meriwayatkannya dari kitab Shahih Bukharidan Shahih Muslim. Kukatakan kepada diriku bahwa jika memang kujumpai ini di dalam Shahih Bukharimaka ia akan menjadi sebuah masalah besar bagiku.
Aku berangkat ke ibu kota. Di sana aku membeli kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Shahih Turmuzi, Muwaththa’ Imam Malik dan kitab-kitab lain yang terkenal. Belum sempat sampai ke rumah, sepanjang jalan ke Qafsah dengan bis umum, aku buka lembaran-lembaran Kitab Bukhari. Kucari riwayat Tragedi Hari Kamis, dengan harapan aku tidak akan menjumpainya di sana. Di luar dugaan kudapati ada di sana dan kubaca berulang kali. Teksnya sama dengan apa yang ditulis oleh Sayed Syarafuddin.
Aku berusaha untuk tidak mempercayai bahwa semua tragedi ini benar-benar terjadi. Karena rasanya tidak mungkin Sayyidina Umar melakukan perbuatan yang sangat “bahaya” ini terhadap Nabi SAWW. Tetapi bagaimana aku akan mendustakan riwayat yang ada di dalam kitab shahih kami sendiri, yakni kitab shahihnya Ahlu SunnahWal Jamaah. Bukankah kita telah mewajibkan diri kita untuk mempercayai bahwa kitab itu adalah kitab shahih. Meragukan atau mendustakan, hatta sebagian darinya, berakibat bahwa kita telah mengabaikannya? Mengingat akibatnya kita akan mengabaikan seluruh kepercayaan kita.
Seandainya orang alim Syi’ah itu menukilnya dari kitab mereka maka aku tidak akan mempercayainya sama sekali. Tetapi ketika beliau nukil dari kitab shahih Ahlu Sunnah sendiri yang tak ada jalan untuk mencelanya, sementara kita juga mengatakan bahwa hal itu adalah kitab yang paling shahih setelah AlQuran, maka perkara tersebut menjadi lain dan menyiratkan suatu kemestian. Kalau tidak, maka hal itu akan bermakna bahwa kita telah meragukan terhadap kesahihan kitab ini. Hal itu bermakna bahwa kita tidak mempunyai sebarang pegangan di dalam melihat hukum-hukum Allah SWT. Mengingat hukum-hukum yang ada di dalam Kitab Allah datang secara umum dan tidak terinci. Dan karena jarak kita dengan zaman Risalah begitu jauh, maka kita telah mewarisi hukum-hukum agama kita melalui leluhur kita dengan perantara kitab shahih seperti ini. Dengan demikian maka kita tidak boleh mengabaikan kitab-kitab seperti ini sama sekali.
Aku berjanji kepada diriku ketika mula mengkaji masalah yang panjang dan rumit ini untuk semata-mata berpegang kepada hadis yang shahih yang disepakati oleh Sunnah dan Syi’ah. Aku akan mengabaikan setiap hadis yang hanya dipegang oleh satu mazhab saja dan ditolak oleh yang lain. Dengan cara yang adil seperti ini, aku akan dapat menjauhi diriku dari segala jenis pengaruh-pengaruh emosional, sikap fanatik (ta’ashshub) mazhab atau perselisihan kaum dan bangsa. Dalam waktu yang sama aku akan memotong jalan keragu-raguan untuk dapat sampai ke puncak keyakinan, yakni jalan Allah yang lurus.

AWAL TELAAH SECARA MENDALAM
SAHABAT DALAM PANDANGAN SYI’AH DAN SUNNAH
DI ANTARA tema penting yang kuanggap sebagai pokok dari
setiap permasalahan yang bisa menghantar pada suatu
kebenaran adalah masalah kehidupan para sahabat, sikap
mereka dan prinsip-prinsip mereka. Mengingat mereka adalah
tiang segala sesuatu. Dari mereka kita mengambil ajaran
agama kita. Dan dari merekajuga kita memperoleh sinar untuk
mengetahui hukum-hukum Allah SWT. Dahulu para ulama
telah meneliti kehidupan mereka secara rinci. Buah karya
mereka antara lain Usud al-Ghabah Fi Tamyiz as-Sahabah,
Kitab al-Ishobah Fi Ma’rifah as-Sahabah, Kitab Mizan al-
I’tidal dan lain sebagainya. Semua berbicara di sekitar biografi
para sahabat secara teliti dan kritis. Dan semna juga dari
sudut pandang Ahlu SunnahWal Jamaah.
Ada beberapa keberatan lahir di sekitar masalah yang sangat penting ini. Mayoritas ulama yang membukukan fakta-fakta sejarah tidak sedikit yang ikut rentak para penguasa, baik Bani Umaiyah atau Bani Abbasiah. Sementara sikap permusuhan mereka terhadap Ahlul Bait Nabi dan bahkan terhadap orang-orang yang mengikuti mereka adalah rahasia umum yang diketahui oleh semua. Karena itu akan tidak adil apabila kita hanya mengambil pendapat mereka saja dan mengabaikan pendapat para ulama lain yang mengalami kondisi berbeda. Para ulama ini karena dikenal sebagai pengikut Ahlul Bait Nabi dan tidak sejalan dengan kehendak para penguasa, maka mereka sering dikejar-kejar, ditekan dan diburu.
Kemusykilan berikutnya berasal dari kalangan sahabat sendiri. Mereka telah berselisih ketika Nabi SAWW ingin menuliskan kepada mereka sebuah wasiat yang akan menjamin mereka dari kesesatan sampai akhir zaman. Perselisihan mereka telah mengakibatkan ummat Islam tidak memperoleh karunia ilahi. Bahkan telah menghantar mereka pada kesesatan dimana mereka terpecah akibat perselisihan itu dan menjadi suatu ummat yang lemah.
Sebelumnya mereka juga telah berselisih dalam masalah khilafah atau kepemimpinan, hingga mereka terbagi pada pendukung partai yang memerintah dan pendukung partai oposan. Akibatnya ummat ini terkorban dan terciptalah kelompok pengikut Ali yang bernama Syi’ah dan kelompok pengikut Muawiyah.
Mereka juga pernah berselisih dalam menafsirkan Kitab Allah dan hadis-hadis Nabi SAWW. Akibatnya terciptalah berbagai mazhab, golongan, kelompok dan aliran. Dari sana kemudian tumbuh pula berbagai aliran Ilmu Kalam dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Juga muncul berbagai aliran filsafat yang bermotifkan kepentingan politik melulu serta berkaitan rapat dengan cita-cita kekuasaan.
Seandainya bukan karena sahabat maka kaum muslimin tidak akan terpecah dan berselisih seperti ini. Setiap perselisihan yang ada pasti berakar dari mereka. Semua percaya bahwa Tuhannya Satu, AlQurannya satu, Rasulnya satu dan kiblatnya juga satu. Tiada siapa yang menginkarinya. Perselisihan dan pertikaian antara sahabat bermula sejak hari pertama setelah wafatnya Rasul SAWW di Saqifah Bani Sai’dah. Dan akibatnya sampai hari ini dan sampai suatu hari yang dikehendaki Allah akan terus berkelanjutan.
Dari serangkaian diskusiku dengan sejumlah ulama Syi’ah, mereka berpendapat bahwa para sahabat terbagi pada tiga golongan. Pertama, golongan sahabat yangbaik yang telah mengenal Allah dan Rasul-Nya dengan pengetahuan yang sempurna. Mereka pernah membaiat Rasul dan bersedia berkorban untuknya; menemaninya dengan jujur dalam ucapan dan bersikap penuh ikhlas dalam tindakan. Mereka tidak berpaling dari jalan Rasul sepeninggalnya, bahkan tetap setia dengan janji-janjinya. Mereka telah memperoleh pujian dari Allah dalam sejumlah ayat-ayatnya. Rasul juga telah memujinya di dalam berbagai tempat. Mereka disebut oleh orang-orang Syi’ah dengan penuh hormat dan takzim. Apabila nama mereka disebut, maka ia disebut dengan mengucapkan kalimat Radhiallah A’nhum .
Kedua, kelompok sahabat yang memeluk Islam dan ikut Rasulullah karena suatu tujuan: menginginkan sesuatu atau takut pada sesuatu. Mereka meminta jasa dari Rasul atas keislaman mereka. Kadang-kadang mereka mengganggunya dan tidak patuh pada perintah atau larangannya. Bahkan mengutamakan pendapat sendiri di hadapan nas-nas yang jelas, sehingga Allah turunkan untuk mereka ayat yang mencela atau kadang-kadang yang mengancam mereka. Dalamberbagai ayat Allah telah mempermalukan mereka; dan Rasul juga telah memperingatkan mereka dalam berbagai sabdanya. Kepada sahabat sejenis ini orang-orang Syi’ah memang tidak menghormati mereka apalagi mengkultuskan.
Ketiga, kelompok munafik yang “menemani” Rasul karena ingin memperdayakannya. Mereka menampakkan diri sebagai Muslim sementara hati mereka menyirnpan kekufuran. Mereka mendekat kepada Islam agar dapat memperdayakan kaum muslimin. Allah telah turunkan kepada mereka satu surah penuh. Disebutnya mereka dalam berbagai tempat dan diancamnya mereka dengan siksa api neraka yang sangat pedih. Rasul juga telah menyebut mereka dan mengancam mereka. Sebagian sahabat telah diberitahu nama-nama mereka dan tanda-tandanya. Sunnah dan Syi’ah sepakat untuk melaknat dan menjauhkan diri dari mereka.
Tambah satu lagi. Ada kelompok sahabat yang sangat istimewa, lantaran kekerabatan mereka dengan nabi, ketinggian akhlak dan kemurnian jiwa yang dimiliki dan kekhususan yang telah dikaruniakan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka hingga tiada satu pun orang yang dapat menyainginya. Mereka adalah golongan Ahlul Bait yang telah dibersihkan oleh Allah dari segala dosa dan disucikan mereka sesuci-sucinya (33: 33); diwajibkan kepada kaum muslimin untuk bersalawat pada mereka sebagaimana juga pada Rasul; mereka disertakan sebagai golongan yang wajib diberikan khumus (8: 41); diwajibkan kepada orang-orang Islam untuk mencintai mereka sebagai imbalan dari Risalah Muhammad (42: 23); sebagai ulul amri yang wajib dipatuhi (4: 59); sebagai orang-orang yang rusukh di dalam ilmu pengetahuan dan arif dalam mentakwil AlQuran serta membedakan antara yangmutasyabih dengan yang muhkam (3:7); sebagai Ahli Zikr yang dijadikan oleh Rasul sebagai pendamping AlQuran dan wajib berpegang teguh kepadanya seperti dalam hadis as-Tsaqalain (lihatKanzul Ummal (1: 44); Musnad Ahmad (5: 182); sebagai Bahtera Nabi Nuh sehingga siapa yang mengikutinya akan selamat dan yang tinggal akan tenggelam (lihat Mustadrak al-Hakim 3:151;SAWWaiq al-Muhriqah Oleh Ibnu Hajar hal. 184 dan 234).
Para sahabat mengetahui kedudukan Ahlul Bait, menghormati bahkan mentakzimkan mereka. Dan Syi’ah ikut jejak mereka serta mendahulukan mereka atas semua sahabat. Dalam hal ini kelompok Syi’ah memegang nas-nas yang tak terbantahkan.
Sementara Ahlu Sunnah Wal Jamaah walaupun mereka menghormati, mengutamakan dan mentakzimkan Ahlul Bait, namun mereka tidak menerima adanya klasifikasi sahabat seperti ini. Mereka tidak menganggap orang-orang munafik sebagai bagian dari sahabat. Bagi mereka sahabat adalah manusia yang paling baik setelah Nabi SAWW. Apabila ada pembagian, maka pembagiannya di sisi lain, seperti kelompok sahabat tingkatan as-Sabiqun al-Awwalun, yang mula pertama masuk agama Islam; kelompok sahabat yang menderita karena agama Islam dst. Empat Khulafa’ Rasyidin adalah pada tingkatan yang pertama, kemudian menyusul enam sahabat lain yang telah dijamin sorga, seperti yang tertulis dalam sejumlah riwayat. Itulah kenapa ketika mereka bersalawat kepada Nabi dan Ahlu Baitnya maka mereka juga akan menyebut nama para sahabat secara keseluruhan, seperti Wa Ala Alihi Wa Sahbihi Ajmai’n.
Demikianlah yang kuketahui dari ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah seperti juga yang kudengar dari para ulama Syi’ah perihal sahabat ini. Hal ini telah mendorongku untuk menelaah secara rinci segala sesuatu yang berkaitan dengan sahabat. Aku berjanji kepada Tuhanku untuk menghindari segala jenis fanatisme dan sikap emosional agar dapat benar-benar objektif dalam menilai pendapat kedua mazhab ini. Kemudian mengambil yang terbaik darinya.
Bahan pertimbangan yang kugunakan dalam hal ini adalah:
1. Kaedah mantik (logika) yang benar. Yakni aku tidak akan berpegang kecuali pada apa yang telah disepakati olehkedua mazhab ini, dalam menafsirkan Kitab Allah dan
Sunnah Nabi yang saheh.
2. Akal sehat. la adalah nikmat Allah yang paling besar pada ummat manusia. Karenanya maka manusia dimuliakan dan diutamakan di atas segenap makhluk yang lain. Bukankah
Allah SWT menyeru manusia untuk berpikir ketika berhujah dengan mereka. FirmanNya “Apakah kalian tidak berfikir”,
“Apakah mereka tidak memahami”, “Apakah mereka tidak
meneliti”, “Apakah mereka tidak melihat” danlain sebagainya.
Prinsip telaahku juga harus Islami. Yakni beriman kepada Allah, para malaikatNya, para RasulNya, kitab-kitabNya dan bahwa Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya dan hanya Islam sebagai Din yang sah di sisi Allah SWT. Aku tidak akan merujuk kepada sahabat manapun kendati ia memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi; atau memiliki kedudukan yang tinggi. Aku bukan dari pengikut Bani Umaiyah atau Bani Abbasiah atau Fatimiah atau Sunnah ataupun Syi’ah. Tapi aku juga tidak menyimpan rasa permusuhan dengan Abu Bakar, Umar, Utsman atau Ali bahkan Wahsyi pembunuh Sayyidina Hamzah sekalipun selama dia telah ikut agama Islam. Bukankah Islam mengampuni segala apa yang telah berlalu di alam kekufuran dan Rasul juga telah memaafkannya?
Karena aku telah bertekad untuk mengkaji secara mendalam agar dapat sampai pada suatu kebenaran; dan karena aku telah mengambil keputusan untuk membebaskan pikiranku dari segala ikatan maka aku memulai penelitianku berkenaan dengan sahabat dengan penuh tawakkal dan mengharap berkat dari sisi Allah SWT.

I. PERDAMAIAN HUDAIBIYAH DAN SAHABAT
Singkat ceritanya adalah sebagai berikut:
Pada tahun keenam hijriah Rasulullah bersama seribu empat ratus para sahabatnya keluar dari Madinah dengan tujuan umrah. Diperintahkannya para sahabat menyarungkan pedangnya masing-masing. Mereka berihram di Zil Hulaifah dan membawa binatang korban agar orang-orang Quraisy tahu bahwa mereka datang untuk umrah bukan untuk perang. Karena sifat angkuhnya, orang-orang Quraisy tidak mau kelak ada penduduk Arab mendengar bahwa Muhammad telah masuk ke Mekah dan memecahkan benteng mereka. Diutusnya serombongan delegasi yang diketuai oleh Suhail bin A’mr bin Abdu Wud al-A’miri agar meminta Nabi kembali ke tempat asalnya. Tahun depan mereka akan diizinkan untuk umrah selama tiga hari. Orang-orang Quraisy juga meletakkan syarat yang berat yang kemudian diterima oleh Nabi berdasarkan kemaslahatan yang dilihatnya dan wahyu Allah kepadanya.
Namun sebagian sahabat tidak senang dengan sikap Nabi seperti ini. Mereka menentangnya dengan keras. Umar bin Khattab datang dan berkata: “Apakah benar bahwa engkau adalah Nabi Allah yang sesungguhnya?”
“Ya”, jawab Nabi.
“Bukankah kita dalam hak dan musuh kita dalam batil?”
“Ya”.Sahut Nabi.
“Lalu kenapa kita hinakan agama kita?” Desak Umar.
“Aku adalah Rasulullah. Aku tidak melanggar perintah-Nya dan Dialah penolongku.” Jawab Nabi.
“Bukankah engkau mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Rumah Allah dan bertawaf di sana ?”
“Ya. Tetapi apakah aku katakan kepadamu pada tahun ini juga?” Tanya Nabi.
“Tidak”.JawabUmar.
“Engkau akan datang ke sana dan tawaf di sekitarnya.” Kata Nabi mengakhiri.
Kemudian Umar datang kepada Abu Bakar dan bertanya:
“Wahai Abu Bakar! Benarkah bahwa dia adalah seorang Nabi yang sesungguhnya?”
“Ya” Jawab Abu Bakar.
Kemudian Umar mengajukan pertanyaan serupa kepada Abu Bakar dan dijawab dengan jawaban yang serupa juga.
“Wahai saudara!” Kata Abu Bakar kepada Umar. “Beliau adalah Rasul Allah yang sesungguhnya. Beliau tidak melang-gar perintah-Nya dan Dialah Penolongnya. Maka percayalah padanya.”
Usai Nabi menulis piagam perdamaian, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Hendaklah kalian sembelih binatang-binatang korban yang kalian bawa itu dan cukurlah rambut kalian.” Demi Allah tidak satu sahabatpun berdiri mematuhi perintah itu sampai Nabi mengucapkannya sebanyak tiga kali. Ketika dilihatnya mereka tidak mematuhi perintahnya Nabi masuk ke dalam kemahnya dan keluar kembali tanpa berbicara dengan siapa pun. Beliau sembelih korbannya dengan tangannya sendiri lalu memanggil tukang cukurnya kemudian bercukur. Melihat ini para sahabat kemudian menyembelih juga korban mereka, kemudian saling mencukur sehingga hampir-hampir mereka saling berbunuhan. (Lihat buku-buku sejarah dan sirah. Juga lihat Shahih Bukhori dalam Bab as-Syuruthi Jihad 2:122; juga Shahih Muslim Bab Sulhul Hudaibiyah Jil. 2)
Demikianlah kisah Perdamaian Hudaibiyah yang disepakati oleh Sunnah dan Syi’ah secara singkat. Para ahli sejarah dan Sirah seperti Thabari, Ibnul Athir dan Ibnu Sa’ad menuliskan cerita ini pada buku mereka masing-masing. Begitu juga Bukhori dan Muslim.
Membaca kisah seperti ini aku sempat terdiam dan berhenti. Tidak mungkin cerita seumpama ini tidak menimbul-kan sebarang pertanyaan atas sikap para sahabat terhadap Nabi mereka seperti itu. Apakah seorang yang berpikir waras akan dapat menerima ucapan orang yang mengatakan bahwa semua sahabat Nabi r.a. telah mematuhi seluruh perintah Nabi dan melaksanakannya. Bukti sejarah ini menafikan kebenaran ucapan seperti itu. Dapatkah seseorang yang berpikir rasional menilai bahwa sikap seperti itu terhadap Nabi adalah hal yang kecil, atau dapat diterima atau dimaafkan? Allah berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (4: 65)
Dalam peristiwa ini apakah Umar tidak merasa berat dalam menerima keputusan Nabi SAWW ataukah dia bersikap ragu-ragu terhadap perintah Nabi, khususnya ketika dia berkata: “apakah engkau benar-benar Nabi Allah yang sesungguhnya? Bukankah engkau berkata kepada kami…” dan seterusnya. Apakah Umar juga menerima jawaban Nabi yang memuaskan itu? Tidak. Dia tidak puas dengan jawaban Nabi lalu pergi kepada Abu Bakar mengajukan pertanyaan yang serupa. Apakah dia menerima jawaban Abu Bakar dan nasihatnya agar mematuhi perintah Nabi? Tidak tahu aku apakah dia terima lantaran jawaban Abu Bakar atau jawaban Nabi! Kalau tidak kenapa dia berkata terhadap dirinya, “Lalu aku tehh lakukan beberapa perkara yang …” Hanya Allah dan RasulNya saja yang tahu apa yang dilakukan oleh Umar. Dan aku juga tidak tahu sebab keengganan sahabat-sahabat lain atas perintah nabi setelah itu ketika Nabi berkata: “Sembelihlah binatang korban kalian dan cukurlah rambut kalian!” Tidak satupun dari mereka mendengar perintah Nabi ini hingga beliau terpaksa mengulanginya tiga kali tanpa ada kesan.
Subhanallah! Aku hampir-hampir tidak percaya apa yang kubaca ini. Apakah sampai tahap ini para sahabat bersikap terhadap perintah Nabi? Jika cerita ini diriwayatkan hanya oleh golongan Syi’ah saja, maka aku akan katakanbahwa ini adalah tuduhan Syi’ah kepada para sahabat yang mulia. Permasalahnya sedemikian terkenal dan benar hingga semua ahli hadis Ahlu Sunnah Wal Jamaah meriwayatkannya dalam buku mereka masing-masing. Dan karena aku telah berjanji untuk menerima apa yang telah disepakati, maka aku tidak ada pilihan kecuali menerima dan bingung. Apa yang harus kukatakan? Dengan apa aku harus “maafkan” sikap sejumlah sahabat yang telah hidup bersama Nabi selama hampir dua puluh tahun, dari awal Bi’thah sampai periode Perdamaian Hudaibiyah di mana mereka telah saksikan berbagai mukjizat dan cahaya kenabian. AlQuran juga telah diajarkan kepada mereka siang dan malam. Bagaimana seharusnya mereka bersikap dan beradab di hadapan baginda Nabi SAWW, dan bagaimana cara berbicara dengannya. Allah pernah mengancam untuk menggugurkan amal-amal baik mereka apabila suara mereka diangkat lebih keras melebihi suara Nabi.
Aku berandai bahwa Umar bin Khattablah yang mempengaruhi sahabat-sahabat lain untuk mengabaikan perintah Nabi. Hal ini dapat dilihat lewat pengakuannya bahwa dia telah melakukan beberapa perkara yang tidak mau disebutnya; atau sebagian ucapannya yang berkata: “Aku terus berpuasa, bersedekah, sembahyang dan membebaskan hamba sahaya karena takutkan akan kata-kataku yang kuncapkan itu… ” dan sebagainya seperti yang tercatat dalam berbagai buku. (lihat As-Sirah al-Halabiyah Bab Sulhul Hudaibiyah 2: 706)
Bukti ini menunjukkan bahwa Umar sendiri sebenarnya mengetahui implikasi sikapnya seperti itu. Suatu cerita yang aneh dan ajaib, tetapi benar dan nyata.

II. TRAGEDI HARI KAMIS DAN SAHABAT
Berikut adalah uraian peristiwa secara ringkas:
Tiga hari menjelang wafatnya Nabi SAWW para sahabat berkumpul di rumah Rasul SAWW. Nabi yang mulia memerintahkan mereka untuk mengambil kertas dan dawat agar dituliskan kepada mereka suatu wasiat yang akan memelihara mereka dari kesesatan. Namun para sahabat berselisih. Sebagian mereka enggan mematuhinya dan bahkan menuduhnya telah meracau sampai Nabi marah sekali dan mengusir mereka dari mmahnya tanpa menuliskan apa-apa. Perinciannya adalah sebagai berikut:
Ibnu Abbas berkata: “Hari Khamis, oh hari Khamis. Waktu Rasul merintih kesakitan, beliau berkata, mari kutuliskan untuk kalian suatu pesan agar kalian kelak tidak akan tersesat. Umar berkata bahwa Nabi sudah terlalu sakit sementara AlQuran ada di sisi kalian. Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Orang yang berada dalam rumah berselisih dan bertengkar. Ada yang mengatakan berikan kepada Nabi kertas agar dituliskannya suatu pesan di mana kalian tidak akan tersesat setelahnya. Ada sebagian lain berpendapat seperti pendapatnya Umar. Ketika pertengkaran di sisi Nabi semakin hangat dan riuh Rasul pun lalu berkata, “Pergilah kalian dari sisiku.” Ibnu Abbas berkata: “Tragedi yang paling menyayat hati Nabi adalah larangan serta pertengkaran mereka di hadapan Rasul yang ingin menuliskan suatu pesan untuk mereka.”1
Peristiwa ini benar-benar terjadi. Para ulama, ahli hadis dan ahli sejarah Syi’ah dan Sunnah mencatat riwayat ini dalam buku-buku mereka. Dan ini harus kuterima lantaran ikrarku dan janji yang telah kubuat. Di sini juga aku merasa sangat heran atas sikap yang ditunjukkan oleh Umar terhadap perintah Nabi SAWW. Perintah apa? Sebuah perintah yang akan menyelamatkan ummat ini dari kesesatan. Tidak syak lagi bahwa wasiat tersebut menyirat sesuatu yangbaru bagi kaum muslimin dan akan menghapuskan segala keraguan yang ada dalam diri mereka.
Kita tinggalkan pendapat Syi’ah yangberkata bahwa Nabi sebenarnya ingin menuliskan nama Ali sebagai khalifahnya lalu Umar lebih cerdik dan segera melarangnya. Karena tafsiran mereka seperti ini tidak dapat kita terima sejak awal. Tetapi apakah kita mempunyai tafsiran lain yang logis dari peristiwa yang menyakitkan hati ini, sampai Nabi marah dan mengusir mereka dari kamarnya. Bahkan menyebabkan Ibnu Abbas sedemikianbanyaknya menangis sehingga membasahi tanah. Beliau menyebut peristiwa ini sebagai tragedi yang paling besar.
Ahlu Sunnah juga berkata bahwa Umar melakukan semua itu justru karena dia merasakan penderitaan Nabi dan tidak ingin membebankannya lebih banyak. Namun tafsiran seperti ini tidak dapat diterima hatta oleh orang awam, apalagi orang-orang yang alim. Aku berkali-kali berusaha mencari alasan untuk memaafkan Umar, tetapi realitas kejadian enggan menerimanya, sekalipun kalimat “yahjur”(meracau) telah diganti oleh perawi (semoga Allah melindungi kita) dengan kalimat “ghalabahul waja’”(karena terlalu sakit). Kita juga masih tidak akan dapat menemukan alasan apologis lain atas kata-kata Umar, “l’ndakum AlQuran” (di sisi kalian ada AlQuran) dan “Hasbuna Kitabullah” (cukup bagi kami Kitab Allah). Apakah beliau lebih arif tentang AlQuran daripada Nabi yang telah menerimanya, atau Nabi tidak sadar apa yang diucapkannya? (Semoga Allah melindungi kita). Atau Nabi ingin meniupkan api perpecahan dan pertengkaran dengan perintahnya ini? (Astaghfirullah).
Kalau memang tafsiran Ahlu Sunnah ini benar, maka Rasululllah akan tahu niat baik Umar ini dan akan berterima kasih padanya. Bahkan beliau akan lebih mendekatkannya daripada harus marah dan berkata, “Keluarlah kalian dari kamarku…”
Aku juga ingin bertanya kenapa mereka ikut perintah Nabi ketika mereka diusir keluar dari kamarnya dan tidak berkata bahwa Nabi tengah meracau. Sungguh mereka telah berhasil dalam rencana mereka dalam menghalangi Nabi dari menuliskan surat wasiat tersebut. Itulah kenapa tiada sebab mereka harus terus berada di sana. Bukti bahwa mereka bertengkar di hadapan Nabi dan terbagi kepada dua golongan adalah kalimat riwayat yang tertulis “…Ada yang berkata dekatkan kepada Rasulullah apa yang dimintanya agar dituliskannya untuk kalian pesanan itu; dan ada sebagian lagi yang berkata seperti kata-katanya Umar, yakni Nabi tengah meracau.”
Peristiwa ini tidak sesederhana seperti yang dibayangkan, dimana hanya Umar yang terlibat. Seandainya demikian maka Nabi akan memarahinya dan akan berkata bahwa dirinya tidak mengucapkan sesuatu mengikut hawa nafsunya; dan beliau tidak meracau di dalam membimbing ummat ini. Namun masalahnya lebih serius dari itu. Beliau merasakan bahwa Umar bersama sahabat-sahabatnya telah bersepakat sebelum itu. Lantaran kesepakatan itu kemudian mereka bertengkar danberselisih di hadapan Nabi sampai mereka lupa atau pura-pura lupa dengan firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak gugur (pahala) amalmu sedangkan kamu tidakmenyadari” (49: 2).
Dalam peristiwa ini mereka juga telah melampaui batas “meninggikan suara” dan “berkata keras”. Mereka bahkan telah mengatakan bahwa Nabi telah meracau (semoga Allah melindungi kita). Lalu bertengkar ramai dan hiruk-pikuk di hadapannya.
Aku hampir memastikan bahwa kebanyakan yang hadir berpihak pada Umar. Karena itu maka Rasulullah melihat kemaslahatan untuk tidak menuliskan isi wasiatnya. Nabi juga tahu bahwa mereka sudah tidak menghormatinya dan tidak patuh pada perintah Allah atas haknya sebagai Nabi dimana kaum muslimin dilarang berkata kasar dan keras di hadapannya. Nah, jika mereka enggan patuh pada perintah Allah apalagi pada perintah Rasul-Nya SAWW.
Kebijaksanaan Rasul untuk tidak menuliskan wasiat itu adalah karena (penolakan seperti itu) merupakan sebuah celaan baginya di masa hidupnya; maka bagaimana pula nantinya setelah wafatnya. Kelak orang-orang yang mencela-nya akan berkata bahwa Nabi saat itu sedang meracau. Mungkin juga mereka akan meragukan sebagian dari hukum yang disyariatkan Nabi pada masa sakitnya itu juga atas keyakinan mereka bahwa Nabi sedang meracau.
Aku mohon ampunan Allah dari ucapan seperti ini terhadap Nabi utusan Allah. Bagaimana aku dapat meyakinkan diriku bahwa Umar bin Khattab tidak bermaksud sungguh-sungguh ketika mengucapkan itu. Padahal sebagian sahabat yang hadir menangis dalam kejadian ini hingga air matanya membasahi tanah dan dikatakan sebagai tragedi Hari Kamis.
Aku berkesimpulan untuk menolak setiap alasan yang diajukan untuk menjustifikasi kejadian itu; dan berusaha juga untuk menginkarinya secara total agar hati ini dapat tenterarrt. Tetapi sayangnya semua buku-buku shahih telah meriwayat-kannya dan membuktikan kebenarannya.
Aku lebih condong kepada pendapat Syi’ah dalam menafsirkan kejadian ini, karena tafsirannya rasional dan mempunyai bukti yang kuat. Aku masih teringat jawaban Sayed Muhammad Baqir Sadr ketika kutanya bagaimana Sayyidina Umar—dari segenap sahabat—dapat mengerti maksud Nabi yang ingin menjadikan Ali sebagai khalifahnya seperti yang kalian duga. Bukankah ini adalah bukti kepandaiannya?
Sayed Sadr menjawab: “Bukan Umar sendiri yang tahu maksud Rasul. Semua yang hadir juga tahu. Karena sebelum itu beliau juga pernah berkata kepada mereka, “Kutinggalan kepada kalian dua peninggalan yang besar (tsaqalain): Kitab Allah dan itrah Ahlul Baitku. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya”. Pada saat sakitnya Nabi berkata kepada mereka, “Biar kutuliskan kepada kalian suatu pesan di mana kalian tidak akan tersesat selama-lamanya” Semua yang hadir termasuk Umar tahu maksud Nabi yang ingin menegaskan secara tertulis apa yang diucapkannya di Ghadir Khum sebelum itu: yakni berpegang teguh pada Kitab Allah dan Itroh Ahlu Baitnya. Dan penghulu itroh adalah Ali. Jadi seakan-akan Nabi ingin berkata, “Berpeganglah kalian kepada AlQuran dan Ali.” Ucapan-ucapan seperti ini pernah dikatakannya juga di berbagai tempat yang lain seperti yang diungkapkan oleh sejumlah ahli hadis.
Mayoritas Quraisy tidak suka dengan Ali, karena beliau adalah yang paling muda, yang pernah menghancurkan pembesar-pembesar mereka dan membunuh pahlawan-pahlawannya. Tetapi mereka tidak berani menentang Nabi ke tahap yang pernah terjadi pada Perdamaian Hudaibiyah; atau ketika Nabi menyembahyangkan jenazah Abdullah bin Ubai, seorang munafik; dan dalam berbagai kejadian yang telah dicatat oleh sejarah. Sikap seperti ini, seperti yang Anda lihat dalam penentangan mereka atas penulisan wasiat di saat-saat akhir hayatnya, menimbulkan keberanian kepada yang lain untuk menentang dan bertengkar di hadapan baginda Nabi.
Kata-kata “AlQuran sudah ada disisi kalian” atau “cukuplah bagi kita Kitab Allah”, adalah bantahan yang nyata kepada maksud Hadis yang menyuruh mereka berpegang kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Nabi. Seakan maksud bantahan itu begini: “Cukuplah bagi kami Kitab Allah dan tidak perlu kepada Itrah”. Selain ini tidak ada penafsiran lain yang dapat diterima, melainkan kalau kita katakan bahwa maksudnya adalah taat pada Allah tanpa perlu taat pada Rasul. Hal demikian sudah pasti salah dan tak dapat diterima.
Apabila kubuang jauh-jauh rasa fanatisme buta dan sikap emosi yang negatif serta dapat berpikir secara rasional dan objektif maka aku harus terima penafsiran seperti ini bahwa Umarlah orang pertama yang menolak Sunnah Nabi dengan kata-katanya, “Cukuplah bagi kita Kitab Allah”.
Jika sebagian penguasa menolak Sunnah Nabi karena alasan “kontradiktif”, sebenarnya ia hanya ikut pengalaman sejarah kehidupan kaum muslimin sebelumnya. Aku juga tidak mengatakan bahwa Umar adalah satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas tragedi ini sehingga ummat kehilangan bimbingan yang sepatutnya diterimanya. Untuk lebih adil harus kukatakan bahwa ada sahabat lain yang bersamanya dan mempunyai pendapat seperti pendapatnya Umar. Mereka menyebelahi Umar di dalam sikapnya yang menentang perintah Nabi SAWW.
Aku merasa agak aneh pada mereka yang membaca peristiwa ini kemudian menganggapnya ringan yang seakan tidak menyirat sebuah implikasi yang besar. Padahal ia adalah tragedi yang paling besar seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas. Lebih aneh lagi adalah usaha mereka yang coba menjaga kemuliaan seorang sahabat dan membenarkan perbuatan salahnya dengan mengorbankan kemuliaan Rasulullah dan prinsip-prinsip Islam.
Kenapa kita harus lari dari suatu fakta dan berusaha menguburkannya ketika ia tidak sejalan dengan kehendak kita? Kenapa kita tidak menerima kenyataan bahwa para sahabat sebenarnya adalah manusia biasa seperti kita juga. Mereka punya hawa nafsu, kehendak dan keinginan serta bisa benar dan salah. Bagaimanapun rasa aneh ini akhirnya hilang ketika kubaca Kitab Allah yang mengisahkan kepada kita kisah-kisah para Nabi as dan penderitaan yang mereka alami karena sikap ummatnya yang menentang, kendatipun telah mereka saksikan berbagai mukjizat.
Ya Allah, jangan Kau palingkan hati kami setelah Kau berikan kepada kami hidayah-Mu. Karuniakan kepada kami dari sisi-Mu rahmat-Mu. Sesungguhnya Kau Maha Pemberi.
Aku mulai mengerti latar belakang sikap Syi’ah terhadap Khalifah Kedua yang dikatakan sebagai penanggungjawab terbesar atas segala tragedi yang terjadi dalam kehidupan kaum muslimin sejak Tragedi Hari Khamis dimana penulisan wasiat yang kelak akan menyelamatkan ummat manusia dari kesesatan itu dihalangi. Harus kita akui bahwa seorang yang berpikir rasional, dimana sebuah kebenaran diketahuinya bukan lantaran seseorang tokoh, akan mudah memahami sikap Syi’ah seperti ini. Namun bagi mereka yang tidak tahu kebenaran melainkan karena tokoh tertentu, maka pembicaraan ini tidak akan bermanfaat pada mereka.

III. SARIYYAH (EXPEDISI) USAMAH DAN SAHABAT
Berikut ceritanya secara ringkas:
Dua hari menjelang wafatnya Rasulullah, beliau telah siapkan sebuah pasukan untuk memerangi Roma. Usamah bin Zaid yang saat itu berusia delapan belas tahun diangkat sebagai komandan pasukan perang. Tokoh-tokoh muhajirin dan anshar seperti Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan sahabat-sahabat besar lainnya diperintahkan untuk berada di bawah pasukan Usamah ini. Sebagian mereka mencela pengangkatan Usamah. Mereka berkata, bagaimana Nabi bisa menunjuk seorang anak muda yang belum tumbuh janggut sebagai komandan pasukan kami. Sebelum itu mereka juga pernah mencela pengangkatan ayahnya oleh Nabi. Sedemikian rupa mereka protes Nabi sampai beliau marah sekali. Dengan kepalanya yang terikat karena deman panas yang dideritanya, Nabi keluar dipapah oleh dua orang dalam keadaan dua kakinya yang terseret-seret menyentuh bumi. Nabi naik ke atas mimbar, memuji Allah dan bertahmid padaNya. Sabdanya: “Wahai muslimin, apa gerangan kata-kata sebagian di antara kalian yang telah sampai ke telingaku berkenaan dengan pengangkatanku Usamah sebagai pemimpin. Demi Allah, jika kamu kini mengecam pengangkatannya; sungguh hal itu sama seperti dahulu kamu telah mengecam pengangkatanku terhadap ayahnya sebagai pemimpin. Demi Allah, sesungguhnya ia amat layak memegang jabatan kepemimpinan itu. Begitu juga puteranya—setelah ia—sungguh amat layak untuk itu.”2
Kemudian beliau mendesak mereka untuk segera berangkat. Katanya: “Siapkan pasukan Usamah. Lepaskan pasukan Usamah. Berangkatlah Sariyyah Usamah. Beliau mengulang-ulang ucapannya seperti itu, tapi mereka tetap enggan dan bermalas-malasan di Jurf.
Sikap seperti ini mendorongku untuk bertanya, alangkah beraninya mereka terhadap Allah dan RasulNya? Kenapa harus durhaka terhadap Nabi SAWW yang begitu kasih dan sayang pada kaum mukminin? Aku tidak dapat membayangkan, begitu juga orang lain, taf siran apa yang bisa membenarkan pelanggaran dan pengabaian seperti ini?
Seperti biasa, ketika membaca peristiwa-peristiwa yang menyentuh tentang kemuliaan para sahabat, maka aku berusaha untuk tidak mempercayainya terlebih dahulu. Namun bagaimana mungkin aku dapat mendustakannya sementara ahli sejarah dan ahli hadis, Sunnah dan Syi’ah, telah meriwayatkannya secara ijma’.
Aku telah berjanji pada Tuhanku untuk bersikap adil dan jujur. Aku tidak boleh bersikap fanatisme pada mazhabku. Aku harus meletakkan kebenaran semata-mata sebagai ukuran. Dan memang kebenaran adalah pahit seperti yang dikatakan. Nabi bersabda, “Katakanlah kebenaran walau untuk dirimu sekali pun; katakanlah kebenaran walau pahit sekalipun”. Dalam hal ini adalah sikap sejumlah sahabat yang telah mengecam Nabi dalam pengangkatannya Usamah sebagai pemimpin mereka, sebenarnya telah menunjukkan sikap ketidakpatuhan mereka pada perintah Allah. Mereka telah mengabaikan nas-nas yang sangat jelas yang tidak dapat diragukan lagi atau ditakwilkan. Mereka tidak mempunyai alasan dalam hal ini. Usaha sebagian orang untuk menjaga kemuliaan sahabat atau salaf as-sholeh dengan mengajukan berbagai alasan apologis sangatlah rapuh. Seorang yang rasional tidak dapat menerimanya, melainkan mereka yang tidak memahami makna hadis tersebut, atau yang tidak berpikir, atau mereka yang fanatisme buta yang tidak dapat membedakan antara yang wajib dipatuhi dengan yang wajib dihindari.
Aku juga sering merenung kalau-kalau bisa mendapatkan suatu jawaban yang memuaskan. Tapi sayang semua itu gagal meyakinkanku. Aku baca alasan-alasan Ahlu Sunnah yang mengatakan bahwa mereka yang menolak kepemimpinan Usamah sebenarnya adalah karena mereka tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka Qurasiy. Mereka adalah orang yang pertama memeluk Islam sementara Usamah masih baru dan tidak pernah ikut serta dalam berbagai peperangan yang menentukan seperti Perang Badar, Perang Hunain dan Perang Uhud. Usamah juga waktu itu masih terlalu muda. Dan kebiasaannya jiwa orang-orang tua tidak akan rela berada di bawah perintah anak muda. Itulah kenapa mereka mengecam Nabi dalam pengangkatannya ini dengan maksud agar menggantikannya dengan salah seorang tokoh sahabat lain.
Alasan seumpama ini sama sekali tidak bersandar pada dalil akal atau naql (syariat). Seorang muslim yang membaca AlQuran dan mengetahui hukum-hukumnya akan menolak alasan ini. Karena Allah berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (59:7).
Juga firmannya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (33:36).
Setelah adanya nas-nas yang jelas ini alasan apa yang kiranya dapat diterima oleh orang-orang yang berakal. Apa yang harus kukatakan kepada kaum yang telah menyebabkan Rasulullah marah sementara mereka tahu bahwa Allah akan murka lantaran murkanya Rasul-Nya. Mereka telah menuduhnya “meracau” dan bertengkar di hadapannya, padahal—demi ayah dan ibuku—baginda tengah sakit sampai mereka diusir dari kamarnya. Tidak hanya sampai di situ. Yang sepatutnya mereka kembali ke jalan yang benar dan memohon ampun kepada Allah atas apa yang telah mereka lakukan dan memohon kepada Rasul agar memintakan ampunan bagi mereka seperti yang diajarkan oleh AlQuran, namun mereka tetap melakukan protes terhadapnya tanpa memperdulikan kasih sayang yang diberikannya pada mereka. Mereka tidak memberikan penghormatan yang sewajarnya kepada baginda Nabi. Dua hari setelah tuduhan yang mereka lontarkan, mereka kemudian mengecam pengangkatan Usamah sebagai pemimpin pasukannya sehingga beliau terpaksa mendesak mereka keluar dengan keadaan yang menyedihkan seperti yang dikatakan oleh para ahli sejarah. Lantaran terlalu sakit, baginda tidak dapat berjalan dan terpaksa diapit oleh dua orang. Kemudian beliau bersumpah kepada Allah bahwa Usamah sebenarnya sangat layak dalam memimpin. Rasul juga mengatakan bahwa sebelum ini mereka juga pernah mengecamnya karena mengangkat Zaid bin Harisah sebagai pemimpin pasukan, agar kita tahu betapa sikap seperti ini telah mereka lakukan jauh hari sebelum itu. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bukan di antara orang-orang yang mudah bisa menerima ketentuan Nabi dan berserah sepenuhnya kepadanya. Tetapi mereka tergolong di antara orang-orang yang rela memprotes dan mengkritik walaupun ia bertentangan dengan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
Bukti atas sikap protes mereka ini adalah sikap mereka yang enggan pergi walaupun Nabi sendiri telah memberikan bendera kepemimpinan kepada Usamah dan dengan nada marah menyuruh mereka segera pergi berangkat. Demi ayah dan ibuku, mereka tidak juga pergi sampailah beliau wafat dengan hati yang kesal atas sikap ummatnya yang dikhawatir-kan kelak akan berbalik ke belakang dan terjerumus ke neraka. Tiada yang akan selamat kecuali sedikit sekali, bagaikan segelintir binatang ternak seperti yang diumpamakan oleh Nabi.
Jika kita ingin jujur dalam melihat peristiwa ini maka kita akan dapati bahwa Khalifah Kedua adalah tokoh yang paling berperan di sini. Beliau datang menghadap Khalifah Abu Bakar setelah wafatnya Rasulullah dan memintanya agar menyingkirkan Usamah serta menggantinya dengan orang lain. Abu Bakar menjawab: “Wahai Ibnu Khattab, apakah kau suruh aku menyingkirkannya sementara Rasulullah telah mengangkatnya?”
Di mana Umar dibandingkan dengan Abu Bakar yang mengetahui kebenaran ini? Ataukah di sana ada rahasia tersendiri yang tidak diketahui oleh ahli-ahli sejarah. Atau mungkin juga ada pihak lain yang menyembunyikannya lantaran ingin menjaga “kemuliaan” sahabat, seperti yang mereka lakukan dalam mengganti kalimat “yahjur” dengan kalimat “ghalabahul waja’”‘.
Aku juga heran dengan sikap para sahabat yang membangkitkan amarah Nabi pada hari Khamis itu dan menuduhnya telah meracau serta berkata, “cukup bagi kita Kitab Allah”. Sementara Kitab Allah sendiri berfirman: “Katakanlah jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad) kelak Allah akan mencintai kalian” (Ali Imron:31). Seakan-akan mereka lebih tahu akan Kitab Allah daripada orang yang menerimanya sendiri. Lihatlah hanya setelah dua hari dari tragedi yang menyayat hati itu dan dua hari sebelum hari pertemuannya dengan Allah SWT mereka telah membangitkan amarahnya lebih banyak dengan mengecam pengangkatan Usamah dan tidak mematuhi perintahnya. Jika dalam tragedi pertama baginda terbaring sakit di atas tikarnya, tetapi di kali kedua ini baginda terpaksa keluar dengan kepala yang terikat dan badan yang berbalut selimut sambil berjalan tertatih-tatih diapit oleh dua orang. Baginda naik ke atas mimbar dan berkhutbah lengkap. Mula-mula memuji Allah dan mengucapkan Tahmid atas-Nya agar menunjukkan kepada mereka bahwa dirinya tidaklah meracau. Kemudian diberitahunya bahwa beliau sadar akan protes dan kecaman mereka. Diingatkannya mereka dengan suatu peristiwa di mana mereka telah memprotesnya juga empat tahun yang lalu. Apakah setelah itu mereka masih menganggap bahwa baginda meracau dan tidak sadar apa yang diucapkannya?
Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu. Bagaimana mereka begitu berani terhadap Rasul-Mu, tidak setuju dan menentang keras dengan perjanjian damai yang dilakukannya sehingga beliau sebanyak tiga kali menyuruh mereka berkorban dan mencukur rambur masing-masing tetapi tiada siapa pun yang mematuhinya. Di waktu lain mereka tarik bajunya dan melarangnya menyembahyangkan jenazah Abdullah bin Ubai. Mereka berkata kepada beliau: “Sesungguhnya Allah telah melarangmu menyembahyangi jenazah orang-orang munafik”. Seakan-akan mereka mengajarkan apa yang diturunkan Allah kepadanya. Padahal Allah berfirman dalam kitab-Nya: “Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) AlQumn agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (16: 44) Dan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (4: 105). Dan firman-Nya lagi: “Sebagaimana (Kami telali menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamn yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamii dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu AlKitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (2:151)
Aneh memang terhadap mereka yang meletakkan diri mereka lebih tinggi dari diri Rasulullah SAWW. Kadang-kadang mereka tidak patuh pada perintahnya, atau menuduhnya telah meracau, atau bertengkar di hadapannya tanpa adab, dan pada tempat yang lain mengecam pemilihan Usamah sebagai pimptnan pasukan mereka sebagaimana yang mereka lakukan terhadap ayahnya Zaid bin Harisah sebelum itu. Apa yang harus diragu-ragukan lagi oleh orang yang meneliti secara kritis bahwa Syi’ah sebenarnya mempunyai alasan yang sangat kuat ketika mempertanyakan sikap sebagian sahabat seumpama itu. Mereka memang lebih menghormati dan mencintai Nabi SAWW dan kerabat keluarganya.
Empat atau lima contoh yang kusebutkan di atas hanya sebagian kecil dari fakta-fakta yang ada. Ulama-ulama Syi’ah telah merincinya hingga ratusan di mana para sahabat telah mengabaikan nas-nas yang nyata dan jelas. Mereka tidak berhujah melainkan dengan riwayat ulama-ulama Ahlu Sunnah sendiri dalam berbagai kitab shahih yang muktabar.
Ketika kuketahui sikap sebagian sahabat terhadap Rasulullah SAWW adalah seperti itu, aku kemudian merasa bingung dan heran. Sebagaimana aku juga heran melihat sikap ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang menggambarkan kepada kita bahwa para sahabat senantiasa dalam keadaan benar dan tidak boleh dikritik. Ini berarti mereka tidak mengizinkan seorang peneliti untuk sampai kepada suatu kebenaran, dan membiarkan mereka terus tenggelam dalam suasana pemikiran yang kontradiktif. Aku ingin membawa beberapa contoh sebagai tambahan, yang kiranya akan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang sahabat. Dan dari sini kita akan memahami sikap Syi’ah terhadap mereka.
Bukhari telah meriwayatkan dalam kitabnya Jil. 4 hal. 47 dalam Bab as-Sabru a’lal adza (Sabar Dari Gangguan) tentang maksud firman Allah, ” Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan diberikan ganjaran”. Katanya: “Al-A’masy meriwayatkan kepada kami bahwa beliau pernah mendengar Syaqiq bercerita tentang Abdullah yang berkata: “Suatu hari Nabi membagikan sesuatu kepada sahabat-sahabatnya sebagaimana yang biasa beliau lakukan. Seorang dari Anshar memprotes dan berkata: pembagian ini bukan karena Allah SWT. Kukatakan padanya bahwa aku akan lapor kepada Nabi (apa yang dikatakannya). Aku menghampiri Nabi yang ketika itu berada di antara para sahabatnya. Kuceritakan kepadanya apa yang terjadi. Tiba-tiba mukanya berubah dan marah sekali sampai aku rasa menyesal karena memberitahunya. Nabi kemudian berkata: “Nabi Musa as telah diganggu lebih dari itu, tetapi beliau bersabar.”
Bukhari juga meriwayatkan dari Bab yang sama pada pasal at-Tabassum wa ad-Dhahk (Bab Tersenyum dan Tertawa). Katanya, Anas bin Malik meriwayatkan: “Suatu hari aku berjalan bersama Rasulullah yang waktu itu memakai syal Najrani yang berpinggiran tebal. Datang seorang Badwi yang tiba-tiba saja menarik dengan kuat syalnya. Anas berkata, aku lihat kulit leher Nabi lebam akibat tarikan keras yang dilakukan oleh si Badwi ini. Kemudian dia berkata: “Hai Muhammad, berikan padaku sebagian dari harta Allah yang ada padamu.” Lalu Nabi melihatnya sambil tertawa dan menyuruh sahabatnya untuk memberinya.
Dalam Bab yang sama, pasal Man Lam Yuwajih an-Nas Bil Atab Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah pernah berkata bahwa Nabi pernah melakukan sesuatu dan mengizinkan para sahabatnya untuk melakukan yang serupa. Tiba-tiba sebagian sahabat menolak melakukannya. Berita ini sampai ke telinga Nabi lalu baginda berkhotbah dan memuji-muji Allah. Kemudian baginda berkata: “Kenapa orang-orang ini menghindari dari melakukan sesuatu yang kulakukan. Demi Allah aku lebih tahu dari mereka tentang Allah dan lebih takut kepadaNya di banding mereka.”
Orang yang merenungkan contoh riwayat serupa ini akan merasakan bahwa para sahabat telah meletakkan diri mereka lebih tinggi dari kedudukan Nabi sendiri; mereka percaya bahwa Nabi bisa berbuat salah dan merekalah yang benar. Sebagian ahli sejarah terikut-ikut dalam membenarkan tindakan sahabat walaupun ia bertentangan dengan perbuatan Nabi; atau kadang-kadang menunjukkan bahwa kedudukan ilmu dan ketakwaan para sahabat lebih tinggi dibandingkan dengan Nabi, seperti yang dikatakan konon Nabi keliru dalam menyelesaikan masalah tawanan perang Badar dan Umar bin Khattablah yang benar. Mereka telah meriwayatkan berbagai hadis palsu yang konon Nabi SAWW bersabda: “Seandainya Allah turunkan suatu bencana maka tiada yang akan selamat melainkan Umar bin Khattab.” Seakan-akan mereka ingin berkata “Kalau Umar tiada maka celakalah Nabi”. Semoga Allah melindungi kita dari kepercayaan yang salah seperti ini.
Demi jiwaku! Mereka yang mempunyai kepercayaan seperti ini akan jauh dari Islam sejauh dua kutub barat dan timur. Dia wajib merujuk kembali akalnya atau mengusir setan dari hatinya. Allah berfirman: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya; dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambilpelajaran?” (45: 23)
Demi jiwaku! Mereka yang percaya bahwa Rasulullah SAWW bisa diombang-ambingkan oleh nafsunya dan lari dari jalan yang benar sehingga pernah membagi sesuatu bukan semata-mata karena Allah, tetapi karena nafsu dan kepentingannya; dan mereka yang menghindar dari berbuat sesuatu yang Rasulullah lakukan lantaran menduga bahwa mereka lebih bertakwa dan lebih arif pada Allah dibandingkan Rasul-Nya? orang-orang seperti ini memang sangat tidak layak untuk dihormati oleh kaum muslimin apalagi menempatkan mereka seperti para malaikat, lalu menghukumkan mereka sebagai makhluk terbaik setelah Rasulullah, dan kaum muslimin harus ikut mereka dan berjalan di bawah naungan sunnah mereka hanya semata-mata karena mereka adalah sahabat Nabi. Hal ini bertentangan dengan sikap Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang menyertakan semua sahabat dalam salawat mereka kepada Nabi dan keluarganya. Allah Mahatahu akan kedudukan mereka. Karena itu mereka ditempatkan pada posisi yang layak bagi mereka. Mereka diperintahkan untuk bersalawat kepada Nabi dan kelurganya yang suci agar mereka tunduk dan tahu kedudukan Ahlul Bait yang sebenarnya di sisi-Nya. Lalu bagaimana tiba-tiba kita menempatkan mereka lebih tinggi dari kedudukan keluarga Nabi atau menyamakan mereka dengan orang-orang yang telah diutamakan oleh Allah atas alam semesta ini.
Aku berkesimpulan bahwa Bani Umaiyah dan Bani Abbasiah yang telah memusuhi Ahlul Bait Nabi, mengejar-ngejar dan membunuh mereka beserta para Syi’ahnya, mengetahui keutamaan keluarga Nabi dan kedudukan mereka yang tinggi. Apabila Allah tidak terima sembahyang seseorang melainkan di dalamnya ada salawat pada Nabi dan keluarga-nya, maka apa alasan permusuhan dan bersikap lari dari garis Ahlul Bait? Itulah kenapa kita lihat mereka telah mengiring-kan kalimat sahabat dengan Ahlul Bait semata-mata agar dapat memberikan gambaran kepada orang banyak bahwa antara sahabat dan Ahlul Bait sebenarnya adalah sama. Terutama apabila kita ketahui bahwa “master mind” mereka yang sebenarnya adalah sebagian sahabat itu sendiri. Mereka telah upah sebagian sahabat lain yang lemah akal dan karakter atau golongan tabi’in agar meriwayatkan berbagai hadis palsu tentang keutamaan sahabat, khususnya mereka yang pernah menjabat kedudukan khilafah, yang merupakan sebagai sebab utama naiknya mereka (Bani Umaiyah dan Abbasiah) ke puncak kekuasaan. Sejarah adalah sebaik-baik bukti atas apa yang kukatakan ini.
Lihatlah Umar bin Khattab yang sangat terkenal dengan pengontrolannya pada semua gubernurnya, dan akan memecat mereka serta merta lantaran suatu keraguan yartg dilihatnya. Lihatlah betapa beliau sangat berlemah lembut terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan dan tidak pernah mengontrolnya sama sekali. Dahulunya Abubakarlah yang mengangkat Muawiyah sebagai gubernur kota Syam, lalu kemudian dilanjutkan oleh Umar sepanjang hayatnya. Beliau juga tidak pernah memprotesnya bahkan menegur atau mengecamnya sekalipun; walau banyak keluhan yang mengatakanbahwa Muawiyah memakai emas dan sutera yang telah diharamkan oleh Rasulullah SAWW kepada kaum lelaki. Umar menjawab mereka dengan kata-kata: “Biarkan dia. Dia adalah Kisra (Raja) Arab”. Dan Muawiyah terus berkuasa selama dua puluh tahun tanpa ada yang menegur dan memecatnya. Ketika Utsman berkuasa diberinya lagi wilayah-wilayah lain untuk diurusnya, sehingga dia dapat menguasai tidak sedikit dari kekayaan negara Islam dan dapat memobilisasi kekuatan militer menentang kepemimpinan Imam Ali. Kemudian secara kekerasan dan dengan tangan besi, dia dapat kuasai semua kaum muslimin, lalu kemudian memaksa mereka memberikanbai’atkepada Yazid, puteranya yang fasik dan pemabok. Kisah Yazid ini adalah cerita panjang yang tak dapat kita muatkan dalam buku yang ringkas seperti ini. Apa yang penting adalah pengetahuan kita akan mentalitas para sahabat yang duduk di jabatan khilafah dan yang telah menyiapkan secara langsung berdirinya suatu kerajaan Bani Umaiyah berdasarkan keputusan Quraisy yang enggan menerima Nubuwah dan Khilafah berada di tangan Bani Hasyim.3
Dinasti Bani Umaiyah mempunyai hak, bahkan kewajiban untuk berterima kasih pada mereka yang telah menyiapkan berdirinya kerajaannya itu. Paling tidak sebagai ungkapan rasa terima kasih adalah dengan mengupah sejumlah perawi yang mau meriwayatkan berbagai “hadis” tentang keutamaan para leluhur mereka dengan mengangkatnya lebih tinggi dari kedudukan Ahlul Bait, musuh utama mereka. Jika hadis-hadis keutamaan ini dikaji berdasarkan hujah-hujah syariah dan akliah, maka keabsahannya akan cepat diragukan. Melainkan jika ada kelainan dalam mentalitas kita dan tidak mampu membedakan antara perkara-perkara yang kontradiktif.
Sebagai contoh, kita banyak mendengar tentang keadilan Umar yang diceritakan oleh berbagai perawi, sehingga dikatakan:” Wahai Umar, kau telahbersikap sangat adil; karena itu kau dapat tidur”. Atau konormya Umar dikebumikan dalam keadaan berdiri agar keadilan tidak mati bersamanya. Dan berbagai cerita lain yang menarik tentang keadilannya. Namun sejarah yang benar mengatakan kepada kita bahwa Umar ketika membagi-bagikan harta baitul mal pada tahun 20 hijriah, beliau tidak mengikuti sunnah Nabi. Nabi SAWW telah membagi sama rata antara segenap kaum muslimin dan tidak mengutamakan satu dari yang lainnya. Begitu juga Abu Bakar di dalam masa khilafahnya. Tetapi kemudian Umar menciptakan suatu cara baru, mengutamakan golongan yang sabiqin (muslimin senior) atas yang lainnya, dan golongan muhajirin Quraisy atas muhajirin selain Quraisy, golongan muhajirin atas golongan anshar, golongan Arab atas non-Arab, golongan orang merdeka atas hamba-hamba sahaya;4mengutamakan suku Mudhir atas suku Rabi’ah dengan memberikan suku yang pertama tiga ratus dan suku kedua dua ratus;5 serta mengutamakan suku Aus atas suku Khazraj.6
Di mana letaknya keadilan dalam sistem kelas seperti ini wahai orang-orang yang berpikir? Kita telah banyak mendengar tentang cerita-cerita Umar. Bahkan dikatakan bahwa beliau adalah sahabat yang paling alim. Konon Allah banyak membenarkan pendapat Umar ketika terjadi perselisihan antara Nabi dan Umar, dengan menurunkan ayat-ayat yang mendukung pendapatnya. Namun sejarah yang benar membuktikan kepada kita bahwa Umar banyak menyalahi ayat-ayat AlQuran hatta setelah turunnya sekalipun. Ketika seorang sahabat bertanya kepadanya di zaman khilafahnya: “Ya Amir al-Mukminin, aku kini berjunub tetapi tidak kujumpai air, bagaimana hukumnya?” Umar menjawab: “Tidak perlu shalat!” Ammar bin Yasir mengingatkan sang khalifah bahwa kewajibannya adalah tayammum. Tetapi Umar tidak peduli. Katanya: “Ya Ammar, engkau hanya bertanggung jawab atas tugas-tugasmu saja.”7
Di mana ilmu Umar tentang ayat tayammum yang diturunkan di dalam AlQuran? Mana ilmu Umar tentang sunnah Nabi yang mengajarkan kepada mereka bagaimana bertayammum sebagaimana baginda ajarkan wudhu? Di dalam berbagai peristiwa, Umar banyak mengakui dirinya tidak alim. Bahkan—menurutnya—semua orang lebih alim darinya hatta para wanita sekalipun. Beliau juga berulang kali mengatakan demikian, “Kalaulah tiada Ali maka Umar telah celaka”. Dan sampai akhir hayatnya beliau tidak tahu hukum Kalalah, yang sering dihukumkannya di zaman pemerintahannya seperti yang dicatat dalam sejarah.
Mana ilmunya wahai orang-orang yang berakal? Kita juga sering rnendengar akan kepahlawanan, keperkasaan dan keberaniannya sehingga dikatakan bahwa kaum Qurasiy merasa gentar setelah Islamnya Umar, dan agama Islam sendiri menjadi kuat. Konon Allah telah muliakan Islam karena Umar bin Khattab, dan Nabi tidak menyatakan dakwahnya secara terang-terangan melainkan setelah Islamnya Umar. Namun sejarah yang benar tidak menunjukkan kepada kita keperkasaan dan kepahlawanan itu. Bahkan sejarah juga tidak pernah menunjukkan kepada kita ada seorang yang dikenal atau orang biasa sekalipun yang dibunuh oleh Umar dalam peperangan seperti Badar, Uhud, Khandak dan lain sebagainya. Bahkan sejarah membuktikan sebaliknya, Umar pernah lari bersama sahabat-sahabat lain dalam peperangan Uhud dan Hunain. Ketika Rasulullah mengutusnya untuk membebaskan kota Khaibar, beliau kembali dalam keadaan kalah. Bahkan di dalam berbagai peperangan sariyyah (peperangan yang tidak diikut-sertai oleh Nabi) sekalipun, Umar tidak pernah menjadi komandan pasukannya. Dalam sariyyah Usamah—sariyyah terakhir—juga beliau hanya ditunjuk sebagai anggota pasukan Usamah bin Zaid, seorang anak muda berusia belasan tahun. Mana klaim keperkasaan tersebut wahai orang-orang yang berakal?
Kita juga sering mendengar tentang ketakwaan Umar bin Khattab serta rasa takutnya yang amat sangat sehingga menangis karena takutkan Allah SWT. Konon dikatakanbahwa beliau takut dihisab oleh Allah jika seekor keledai di Irak sekalipun tersesat lantaran tidak disediakan jalan untuknya. Tetapi sejarah yang benar mengatakan kepada kita bahwa beliau sesungguhnya seorang yang keras dan kasar. Beliau tidak berhati-hati dan tidak segan memukul orang yang bertanya kepadanya tentang suatu ayat Kitab Allah sehingga melukainya tanpa suatu dosa yang dilakukannya. Bahkan seorang wanita pernah jatuh dan tergugur kandungannya lantaran melihatnya dengan penuh ketakutan. Kenapa beliau tidak takut kepada Allah ketika menghunuskan pedangnya dan mengancam setiap orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah mati. Beliau bersumpah bahwa Muhammad sebenarnya tidak mati, dia hanya pergi bermunajat kepada Tuhannya seperti yang dilakukan oleh Musa bin Imran. Umar mengancam akan memukul leher setiap orang yang mengatakan bahwa Nabi telah mati.8 Kenapa beliau tidak takut kepada Allah ketika mengancam akan membakar rumah Fatimah jika orang-orang yang berada di dalamnya tidak mau keluar untuk membai’at (Abu Bakar) .9 Ketika dikatakan padanya bahwa Fatimah ada di dalamnya, dia menjawab, “Sekalipun dia ada.”
Beliau juga “berani” terhadap Kitab Allah dan Sunnah Rasulnya dengan melakukan berbagai hukum—di masa pemerintahannya—yang bertentangan dengan nas-nas AlQuran dan Sunnah Nabi SAWW.10
Nah, dimana letaknya wara’ dan ketakwaan setelah me-nyaksikan serangkaian fakta yang menyedihkan ini wahai hamba-hamba Allah yang shaleh?
Aku hanya ingin menjadikan sahabat yang agung dan terkenal ini sebagai contoh semata-mata. Itupun telah kuringkaskan sedemikian rupa agar tidak panjang dan sederhana. Jika aku ingin tuliskan secara terperinci maka ia akan memuatkan berjilid-jilid buku. Seperti yang kukatakan di atas, aku hanya mengetengahkannya sebagai contoh semata-mata tidak lcbiln
Apa yang kusebutkan di atas, hanya segelintir kecil dari peristiwa yang terjadi. Tetapi ia telah memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang jelas tentang mentalitas para sahabat dan sikap para ulama Ahlu Sunnahyang kontradiktif. Mereka melarang setiap orang untuk mengkritik dan meragukan sahabat, tetapi dalam masa yang sama mereka riwayatkan dalam berbagai buku mereka fakta-fakta yang bisa menimbulkan keragu-raguan dan kecaman. Kalaulah para ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah tidak menyebutkan fakta-fakta yang jelas yang menyentuh tantang sahabat dan melukai keadilan mereka, maka mereka akan berjasa dalam menghilangkan segala jenis keraguan dari benak kita.
Aku teringat akan perjumpaanku dengan salah seorang ulama dari Najaf al-Asyraf, Asad Haidar, penulis buku Al-Imam as-Shodiq Wa al-Mazahib al-Arba’ah (Imam Shodiq Dan Empat Mazhab). Waktu itu kami berbicara tentang Sunnah Syi’ah. Diceritakannya kepadaku tentang ayahnya yang berjumpa dengan seorang alim dari Tunisia pada waktu musim haji lima puluh tahun yang lalu. Mereka berdua berdiskusi panjang tentang keimamahan Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib. Orang alim Tunisia ini mendengar ayahku menghitung hadis-hadis yang membuktikan tentang kepemimpinan Imam Ali as. dan haknya dalam masalah khilafah. Dihitungnya sehingga empat atau lima dalil. Ketika selesai, ditanyanya apakah ada dalil selain ini. “Tidak” jawabnya. Kemudian dia berkata: “Keluarkan tasbihmu dan mulai hitung.” Orang alim Tunisia ini menyebutkan dalil-dalil berkenaan sehingga seratus, yang hatta ayahku sendiri tidak mengetahuinya.” Syaikh Asad meneruskan: “Jika Ahlu Sunnah membaca kitab-kitab mereka, maka mereka akan berpendapat seperti kami; dan perselisihan ini telah selesai sejak lama.”
Demi jiwaku! Sesungguhnya ini adalah kebenaran yang tidak dapat dihindari bagi mereka yang telah membebaskan dirinya dari fanatisme buta dan bagi mereka yang setia pada dalil yang shahih.

PANDANGAN ALQURAN TENTANG SAHABAT

PERTAMA-TAMA harus kuingatkan bahwa Allah SWT telah
memuji di dalam berbagai ayat AlQuran sahabat-sahabat Rasul
yang memang benar-benar mencintainya dan mematuhinya
tanpa pamrih atau tantangan atau keangkuhan. Mereka hanya
menginginkan keredhaan Allah dan Rasul-Nya semata-mata;
dan Allah juga redha kepada mereka lantaran takwa mereka
kepada-Nya. Ini adalah golongan sahabat yang dinilai tinggi
oleh segenap kaum muslimin lantaran sikap dan perilaku
mereka yang luhur terhadap Nabi SAWW. Setiap kali mereka
disebut, maka kaum muslimin akan mencintai mereka,
mengagungkan kedudukan mereka dan mengucapkan kalimat
Radhiallahu A’nhum kepada mereka.
Penelitianku bukan di sekitar golongan sahabat jenis ini yang sangat dihormati dan disanjung tinggi oleh Sunnah dan Syi’ah. Sebagaimana aku juga tidak akan sentuh kelompok sahabat yang dikenal sebagai munafikin yang telah dilaknat oleh segenap kaum muslimin, Sunnah dan Syi’ah. Aku hanya akan meneliti kelompok sahabat yang dipertikaikan oleh kaum muslimin, dan yang kadang-kadang dicela dan diancam oleh AlQuran. Sahabat jenis ini seringkali diperingatkan oleh Rasulullah SAWW dalam berbagai kesempatan, atau Nabi memperingatkan kaum muslimin dari mereka. Disinilah letak perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah dalam menilai sahabat. Syi’ah meragukan keadilan mereka dan mengkritik ucapan dan tindak tanduk mereka sementara Ahlu Sunnah Wal Jama’ah menghormati mereka walau terbukti telah melakukan berbagai pelanggaran.
Penelitianku hanya pada golongan sahabat jenis ini agar aku dapat sampai pada suatu kebenaran, atau sebagian kebenaran sekalipun. Kunyatakan ini agar jangan sampai ada orang berkata bahwa aku telah melupakan sejumlah ayat yang memuji para sahabat Rasulullah SAWW, dan hanya mengungkapkan ayat-ayat yang bernada celaan saja. Namun dalam penelitianku, aku menjumpai berbagai ayat yang bernada memuji, tetapi pada masa yang sama ia juga menyirat suatu celaan dan sebaliknya.
Aku tidak akan memuatkan di sini semua hasil penelitian-ku selama tiga tahun itu. Aku hanya akan sebutkan sebagian ayat sebagai contoh agar tulisan ini menjadi ringkas. Namun bagi mereka yang menginginkan kerincian dan pendalaman, hendaknya dia menyempatkan waktu untuk meneliti, membuat perbandingan dan menelaah seperti yang kulakukan, agar kebenaran yang didapati adalah benar-benar hasil dari titik peluh sendiri seperti yang dituntut oleh Allah dan juga oleh hati nurani masing-masing. Dengan cara itu ia akan memperoleh keyakinan yang sangat dalam yang tidak akan dapat digoyahkan oleh sebarang angin yang bertiup. Sudah pasti bahwa kebenaran yang didapati lantaran kepuasan diri adalah lebih baik dari sekadar pengaruh unsur luar yang diterima.
Allah SWT berfirman ketika memuji Nabi-Nya: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk” (93 : 7). Yakni, Dia menunjukkanmu kepada kebenaran ketika kau mencarinya. Allah juga berfirman: “Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-snngguh) di dalam (mencari) jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”. (29 : 69)

I. AYAT INQILAB
Allah berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orangrasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbdik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (3 : 144).
Ayat ini dengan amat jelas menunjukkan bahwa sahabat akan berbalik ke belakang segera setelah waf atnya sang Nabi; dan hanya sedikit dari mereka yang masih tetap konsisten seperti yang tersirat di dalam kandungan ayat tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari ungkapan kalimat “as-Syakirin” (orang-orang bersyukur) yang menunjukkan masih adanya orang-orang yang tetap dan tidak balik ke belakang. Kelompok as-Syakirin ini tidak berjumlah banyak. Allah berfirman dalam ayat lain: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima-kasih” (34:13).
Sejumlah hadis Nabi juga mendukung penafiran di atas seperti yang akan kita sebutkan sebagian. Walaupun dalam ayat ini Allah tidak menyebut balasan apa yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang berbalik dan hanya memuji serta akan memberi ganjaran pada orang-orang yang bersyukur, namun sudah sangat jelas bahwa mereka yang berbalik sudah pasti tidak akan memperoleh sebarang ganjaran. Hal ini akan kita bincangkan Insya Allah ketika menelaah hadis-hadis Nabi yangberkenaan dengannya. Ayat ini juga tidak dapat ditafsirkan untuk orang-orang seperti Thulaihah, Sujah dan al-Aswad al-A’nsi, dengan alasan ingin memelihara kemuliaan sahabat. Sebab tiga orang di atas telah murtad dari Islam dan mengaku sebagai nabi di zaman risalah. Nabi telah perangi mereka dan mengalahkan mereka. Ayat ini juga tidak dapat ditafsirkan untuk Malikbin Nuwairah dan para pengikutnya yang enggan memberikan zakat pada periode Abu Bakar lantaran berbagai alasan, yang antara lain, karena mereka berhati-hati dan ingin tahu perkara yang sebenarnya. Mengingat ketika mereka pergi haji bersama Rasulullah di Hujjah al-Wada’ (Haji Terakhir) mereka telah berikan bai’at pada Ali di Ghadir Khum usai dilantik oleh Nabi sendiri sebagai khalifahnya. Abu Bakar juga termasuk dalam daftar orang-orang yang pernah memberinya bai’at. Tiba-tiba mereka terkejut dengan kedatangan seorang utusan sang khalifah yang memberitahu bahwa Nabi telah meninggal, dan atas nama khalifah baru, yakni Abu Bakar mereka meminta harta zakat. Peristiwa ini juga hampir diabaikan oleh sejarah dengan alasan ingin menjaga kemuliaan sahabat. Padahal Malik dan para pengikutnya juga adalah orang-orang muslim. Keislaman mereka disaksikan sendiri oleh Umar dan Abu Bakar serta beberapa sahabat yang lain. Ketika Khalid bin Walid membunuh Malik bin Nuwairah, Umar memprotesnya. Dan sejarah sendiri membuktikan bahwa Abu Bakar membayar diyah (ganti rugi) Malik kepada saudaranya Mutammim dari harta Baitul Mal dan meminta maaf atas tragedi pembunuhan ini. Padahal dalam Islam sangat jelas bahwa mereka yang murtad wajib dibunuh, diyahnya tidak boleh diberikan dari Baitul Mal dan tidak perlu minta maaf.
Maksud ayat inqilab ini adalah para sahabat yang hidup di zaman nabi dan yang berada di kota Madinah itu sendiri. Ayat ini menunjukkan akan adanya sejumlah sahabat yang akan berbalik segera setelah wafatnya Nabi SAWW. Hadis-hadis nabi yang lain juga menerangkan sejelas-jelasnya tentang hal ini tanpa keraguan sedikitpun. Kita akan membicarakan hal ini dalam babnya tersendiri Insya Allah. Sejarah juga sebaik-baik bukti atas inqilab mereka setelah wafatnya nabi ini. Dan kita akan lihatbetapa sedikitnya yang selamat ketika kita teliti peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara kalangan para sahabat itu sendiri
.
II. AYAT JIHAD
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan kehidupan di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyaiah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (9 : 38,39) Maha Benar Allah Yang Maha Agung.
Ayat ini juga amat jelas mengatakan bahwa sahabat merasa berat untuk pergi berjihad di jalan-Nya. Mereka lebih memilih untuk hidup di dunia walau mereka tahu nikmatnya hanya sedikit sekali. Sikap mereka seperti ini dicela oleh Allah dan diancam dengan azab yang pedih. Dan Allah akan mengganti mereka dengan orang-orang mukmin lain yang jujur. Ancaman penggantian ini tersurat dalam berbagai ayat AlQuran. Hal ini menunjukkan bahwa mereka seringkali merasa berat hati ketika diseru pada jihad di jalan Allah SWT. Di dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain dan mereka tidakakan seperti kamu (ini)” (47: 38). Atau firman Allah yang lain: “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mendntai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (5: 54).
Kalau kita ingin rincikan ayat-ayat yang menyirat makna seperti ini dan mengungkapkan kebenaran adanya pembagian kelas sahabat seperti yang dikatakan oleh Syi’ah, khususnya mereka seperti yang kita bincangkan ini, maka tak syak lagi ia akan memerlukan buku tersendiri. AlQuran telah mengungkapkannya dengan nada yang ringkas dan sangat fasih. Firman Allah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula yang menjadi hitam muram. Adapun orang-orang yang menjadi hitam muram mukanya (kepada mereka dika-takan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”. Adapun orang-orang yang menjadi putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (syurga); mereka kekal di dalamnya” (3: 104,105,106,107). Maha Benar Allah Yang Maha Tinggi Dan Maha Agung.
Bagi para penelaah dan peneliti, mereka tahu bahwa ayat ini berbicara dengan para sahabat dan mengingatkan mereka akan perselisihan dan perpecahan setelah datangnya hujah-hujah yang jelas. la mengancam mereka dengan azab yang pedih, sekaligus membagi mereka pada dua golongan. Yang satu akan dibangkitkan kelak dengan muka yang putih berseri-seri; mereka adalah orang-orang yang bersyukur dan berhak menerima rahmat Allah SWT. Yang lain akan dibangkitkan kelak dengan muka yang hitam dan muram. Mereka adalah orang-orang yang telah murtad setelah mereka beriman. Dan Allah telah mengancam mereka dengan azab yang pedih.
Jadi jelas bahwa para sahabat telah berpecah dan berselisih setelah wafatnya Nabi SAWW. Mereka telah nyalakan api fitnah sehingga mereka saling berperang dan menumpahkan darah yang mengakibatkan kemunduran kaum muslimin dan menjadi sasaran musuh-musuhnya. Ayat di atas tidak dapat ditakwilkan atau dirobah pengertiannya lain dari apa yang bisa dipahami oleh akal.

III. AYAT KHUSYU’
Firman Allah: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka ingat pada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang yang sebelumnya yang telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yangfasik” (57: 16). Maha Benar Allah Yang Maha Tinggi Dan Maha Agung.
Di dalam kitab al-Dur al-Mantsur, karya Jalaluddin as-Suyuthi, tertulis berikut: “Ketika sahabat-sahabat Nabi datang ke Madinah, mereka merasakan kenyamanan hidup dibandingkan dengan penderitaan yang mereka alami sebelurnnya (di Mekkah). Karenanya seakan mereka menjadi lemah dan malas dibandingkan waktu-waktu yang lalu. Kemudian mereka dihukum lantaran “perobahan” seumpama itu. Dalam riwayat lain, Nabi SAWW pernah bersabda bahwa Allah SWT melihat keengganan hati para muhajirin meskipun telah tujuh belas tahun mereka saksikan turunnya AlQuran. Kemudian Allah berfirman berikut, “Bukankah telah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman…”
Nah, jika para sahabat—manusia yang paling baik dalam pandangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah—masih belum mempunyai hati yang khusyu’ dan tunduk ketika mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah diturunkan sepanjang tujuh belas tahun, sehingga Allah melihat keengganan mereka dan menegur mereka, serta mengingatkan mereka dari memiliki hati yang keras yang mungkin bisa membawa kepada kefasikan, maka kita tidak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy yang baru menerima Islam pada tahun ketujuh Hijriah, usai Fathu Makkah.
Demikianlah sebagian contoh yang dapat kusimpulkan dari Kitab Allah. Buktinya sangat kuat. Dan ia menunjukkan bahwa tidak semua sahabat adalah adil seperti yang dikatakan oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Apabila kita teliti hadis-hadis Nabi, segera kita akan dapati contoh-contoh lain yang berlipat ganda. Karena aku telah berjanji untuk membuatnya secara ringkas, maka aku tuliskan sebagian contoh saja; dan biarlah penelaah-penelaah kritis lain yang meneliti permasalahan ini dengan lebih dalam.


PANDANGAN RASUL TENTANG SAHABAT

I. HADIS AL-HAUDH
Bersabda Rasulullah SAWW:
“Ketika aku sedang berdiri tiba-tiba datang sekelompok orang yang kukenal. Lalu keluarlah seorang di antara kami dan berkata, “Mari” . Kutanya, “Kemana?” Jawabnya, “Ke neraka, demi Allah”. “Apa kesalahan mereka?” Tanyaku. “Mereka telah murtad setelahmu dan berbdik dari kebenaran, dan kuperhatikan tiada yang tersisa melainkan (sedikit sekali yang) seperti sekelompok unta yang tersisih”, jawabnya.11
Rasulullah SAWW bersabda:
“Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang kukenal dan mereka juga mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata: sahabatku, sahabatku. Lalu dijawab: engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu. Dan aku pun berkata: Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku” .
Orang yang merenungkan makna hadis-hadis seperti ini yang diriwayatkan sendiri oleh ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah dalam berbagai kitab shahih mereka, tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan sahabat telah berubah bahkan telah berbalik setelah wafatnya Nabi SAWW; melainkan segelintir kecil saja yang diibaratkan oleh Nabi seperti sekelompok unta yang tersisih. Hadis ini tidak dapat ditafsirkan bahwa ia ditujukan untuk golongan orang-orang munafik, mengingat nas yang berkata: sahabatku, sahabatku. Dan ia juga adalah tafsir atau realisasi dari ayat-ayat AlQuran yang menyebutkan tentang sikap mereka yang berbalik sehingga diancam oleh Allah dengan api neraka, seperti yang telah disentuh di atas.
II. HADIS: BERSAING UNTUK DUNIA
Bersabda Nabi SAWW:
“Aku akan mendahului kalian dan akan menjadi saksi kalian. Demi Allah aku kini melihat haudhku (telagaku di syurga) dan aku juga telah diberikan kunci kekayaan bumi (atau kunci bumi). Demi Allah aku tidak khawatir kalian akan mensyirikkan Allah setelahku, tetapi aku khawatir kalian akan bersaing untuknya (dunia)”.12
Sungguh benar apa yang disabdakan oleh Rasululah SAWW. Mereka telah bersaing dan berlomba-lomba untuk dunia ini sehingga pedang-pedang mereka dihunuskan, berperang dan saling mengkafirkan. Sebagian sahabat yang besar bahkan telah menimbun emas dan perak. Para ahli sejarah seperti al-Masu’di di dalam kitabnya Muruj az-Dzahab, Thabari dan lain sebagainya telah mencantumkan bahwa kekayaan Zubair saja—misalnya—mencapai lima puluh ribu Dinar, seribu ekor kuda, seribu orang hamba sahaya dan sejumlah tanah di Bashrah, Kufah, Mesir dan lain sebagainya.13 Thalhah mempunyai kekayaan pertanian di Irak yang setiap harinya menghasilkan seribu Dinar, bahkan konon lebih dari itu. Abdurrahman bin A’uf mempunyai seratus kuda, seribu onta dan sepuluh ribu kambing. Seperempat dari seperdelapan hartanya yang dibagi-bagikan kepada para isterinya setelah wafatnya mencapai delapan puluh empat ribu.14 Ketika Usman bin Affan meninggal, beliau telah meninggalkan sejumlah seratus lima puluh ribu Dinar, tidak terhitung binatang ternak dan tanah-tanah subur yang tak terkira. Emas dan perak yang ditinggalkan oleh Zaid bin Tsabit sedemikian banyaknya sehingga harus dipecahkan dengan kapak, selain dari harta dan tanah yang bernilai seratus ribu Dinar.15
Demikian sebagian contoh yang dapat kita lihat dalam sejarah. Kita tidak bermaksud membahasnya secara rinci dan cukup sekadar bukti betapa mereka tergoda oleh kemewahan dunia dan kenikmatannya.

PANDANGAN SAHABAT SATU SAMA LAIN
1. KESAKSIAN MEREKA ATAS PERUBAHAN SUNNAH NABI
Abi Sa’id al-Khudri berkata: “Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah SAWW keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan perintah.” Abu Sa’id melanjutkan: “Cara seperti ini dilanjutkan oleh para sahabatnya sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul Fitri atau Idul Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah. Sesampainya di sana Marwan langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh KAtsir bin Shalt. Aku tarik bajunya. Tapi dia menolakku. Marwan kemudian memulai khotbah Idnya sebelum shalat. Kukatakanpadanya: “Demi Allah kalian telah robah.” “Wahai Aba Sa’id” Tukas Marwan, “Telah sirna apa yang kau ketahui” Kukatakan padanya: “Demi Allah, apa yang kutahu adalah lebih baik dari apa yang tidak kuketahui.” Kemudian Marwan berkata lagi: “Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khotbah kami seusai shalat. Karena itu kulakukan khotbah sebelumnya.”16
Aku coba teliti gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini berani merobah Sunnah Nabi. Akhirnya kutemukan bahwa Bani Umaiyah—yang mayoritasnya adalah sahabat Nabi—terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang konon sebagai Penulis Wahyu, senantiasa memaksa kaum muslimin untuk mencaci dan melaknat Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar masjid. Muawiyah memerintahkan orang-orangnya di setiap negeri untuk menjadikan cacian dan laknat pada Ali sebagai suatu tradisi yang mesti dinyatakan oleh para khatib. Ketika sejumlah sahabat protes atas ketetapan ini, Mua wiyah tidak segan-segan memerintahkan mereka dibunuh atau dibakar. Muawiyah telah membunuh sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti Hujur bin U’dai beserta para pengikutnya, dan sebagian lain dikuburkan hiduphidup. “Kesalahan” mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata karena enggan mengutuk Ali dan bersikap protes atas dekrit Muawiyah.
Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah Dan Kerajaan) menukil dari Hasan al-Bashri yang berkata: “Ada empat hal dalam diri Muawiyah, yang apabila satu saja ada pada dirinya, itu sudah cukup sebagai alasan untuk mencelakakannya:
1. Dia berkuasa tanpa melakukan sebarang musyawarah
sementara sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya
kemuliaan masih hidup.
2.Dia melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin
setelahnya, padahal sang putera adalah seorang pemabuk
dan pecandu minuman keras dan musikus.
3.Dia menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai
puteranya, padahal Nabi SAWW bersabda: “Anak adalah milik
sang ayah, sementara yang melacur dikenakan sanksi
rajam.
4.Dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya. Karena
itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur; dan
celakalah dia karena Hujur dan para pengikutnya.17
Sebagian sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena tidak mau mendengar khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan keluarganya. Itulah kenapa Bani Umaiyah merobah Sunnah Nabi ini dengan mendahulukan khotbah sebelum shalat agar yang hadir terpaksa mendengarny a.
Nah, sahabat jenis apa yang berani merobah Sunnah Nabinya, bahkan hukum-hukum Allah sekalipun semata-mata demi meraih cita-citanya yang rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah terukir. Bagaimana mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari segala dosa dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bersalawat kepadanya sebagaimana kepada Rasul-Nya. Allah juga telah mewajibkan kepada semua manusia untuk mencintainya hingga Nabi SAWW bersabda: “Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak.”18
Namun sahabat-sahabat seperti ini telah merobahnya. Mereka berkata, kami telah dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak mematuhinya. Seharusnya mereka bersalawat kepadanya, mencintainya dan taat patuh kepadanya; namun sebaliknya mereka telah mencaci dan melaknatnya sepanjang enam puluh tahun, seperti yang dicatat oleh sejarah. Apabila sahabat-sahabat Musa pernah sepakat mengancam nyawa Harun dan hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat Muhammad SAWW telah membunuh “Harun-nya” (yakni Ali) dan mengejar-ngejar anak keturunannya serta para Syi’ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah hapuskan nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka. Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agungpun mereka paksa untuk melakukan hal yang serupa.
Demi Allah, aku berdiri heran dan terpaku ketika membaca buku-buku referensi kita yang memuat berbagai hadis yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah hadis-hadis lain yang mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain. Sehingga Nabi SAWW bersabda: “Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.19
Atau sabdanya: “Engkau dariku dan aku darimu”.20
Dan sabdanya lagi: “Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak”.21
Sabdanya: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya “.22
Dan sabdanya: “Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku.”23
Dan sabdanya: “Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila’nya dan musuhilah mereka yang memusuhinya.”24
Apabila kita ingin mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan oleh Nabi SAWW dan yang diriwayatkan oleh para ulama kita dengan sanadnya yang shahih, maka ia pasti akan memerlukan suatu buku tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah sahabat seperti itu pura-pura tidak tahu akan hadis ini, lalu mencacinya, memusuhinya, melaknatnya dari atas mimbar dan membunuh atau memerangi mereka?
Aku tidak temukan sebarang alasan dari sikap dan perlakuan seperti ini melainkan semata-mata karena cinta pada dunia dan berlomba-lomba mengejarnya; atau karena sifat nifak dan berpaling dari kebenaran. Aku juga coba melemparkan tanggung jawab ini kepada sebagian sahabat yang terkenal buruk, atau sebagian dari orang-orang munafik. Namun sayang sekali, yang kutemukan dari penelitianku itu adalah sejumlah sahabat yang agung dan masyhur. Orang pertama yang pernah mengancam akan membakar rumahnya (Ali) beserta para penghuni yang ada di dalamnya adalah Umar bin Khattab; orang pertama yang memeranginya adalah Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar, Muawiy ah bin Abu Sufyan dan A’mer bin A’sh dan sebagainy a.
Rasa terkejut dan kagetku bertambah dalam dan seakan tidak akan berakhir. Setiap orang yang berpikir rasional akan segera mendukung pendapatku ini. Bagaimana ulama-ulama Ahlu Sunnah sepakat mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil sambil mengucapkan “Radhiallahu Anhum”,bahkan mengucapkan salawat untuk mereka tanpa kecuali. Sehingga ada yang berkata, “Laknatlah Yazid tapi jangan berlebihan”. Apa yang dapat kita bayangkan tentang Yazid yang telah melakukan tragedi yang sangat tragis ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh akal dan agama. Aku nyatakan kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah, jika mereka benar-benar mengikut Sunnah Nabi, agar meninjau hukum AlQuran dan Sunnah Nabi secara cermat dan seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan kekufurannya. Rasululah SAWW telah bersabda: “Siapa yang mencaci Ali maka dia telah mencaciku; dan siapa yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah; dan siapa yang mencaci Allah maka Aku akan menjatuhkannya ke dalam api neraka.”15
Demikian itu adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka bagaimana pula apabila ada orang yang melaknatnya dan memeranginya. Mana alim-ulama kita dari hakikat kebenaran ini? Apakah hati mereka telah tertutup rapat? Katakanlah, ya Allah, aku mohon lindunganMu dari bisikan syaitan dan dari kehadirannya.

II. SAHABAT MERUBAH HATTA SEMBAHYANG
Anas bin Malik berkata: “Tiada sesuatu yang kuketahui di zaman nabi lebih baik dari (hukum) shalat.” Kemudian dia bertanya: “Tidakkah kalian kehilangan sesuatu di dalam shalat?” Az-Zuhri pernah bercerita: “Suatu hari aku berjumpa dengan Anas bin Malik di Damsyik. Saat itu beliau sedang menangis. “Apa yang menyebabkan Anda menangis?”, tanyaku. “Aku telah lupa segala yang kuketahui melainkan shalat ini. Itupun telah kusia-siakan.” Jawab Anas.26
Agar jangan sampai terkeliru dengan mengatakan bahwa para Tabi’inlah yang merobah segala sesuatu setelah terjadinya sejumlah fitnah, perselisihan dan serta peperangan, ingin kunyatakan di sini bahwa orang pertama yang merobah Sunnah Rasul dalam hal shalat adalah khalifah muslimin yang ketiga, yakni Utsman bin Affan. Begitu juga Ummul Mukminin Aisyah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitabnya bahwa Rasulullah SAWW menunaikan shalat di Mina dua rakaat (qashar). Begitu juga Abu Bakar, Umar dan periode awal dari kekhalifahan Utsman. Setelah itu Utsman Shalat di sana (Mina) sebanyak empat rakaat.”27
Muslim juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Zuhri berkata: “Suatu hari aku bertanya pada Urwah kenapa Aisyah shalat empat rakaat dalam perjalanan musafirnya?” “Aisyah telah melakukan takwil sebagaimana Utsman”28 jawabnya. Umar bin Khattab juga tidak jarang berijtihad dan bertakwil di hadapan nas-nas Nabi yang sangat jelas, bahkan di hadapan nas-nas AlQuran, lalu kemudian menjatuhkan hukuman mengikut pendapatnya. Beliau pernah berkata: “Dua mut’ah yang dahulunya (halal) dan dilakukan di zaman Nabi, kini aku melarangnya dan mengenakan hukuman bagi orang yang melaksanakannya, (bertamattu’ dalam haji dan nikah mut’ah pent.) Beliau juga pernah berkata kepada orang yang junub tetapi tidak memperoleh air untuk mandi, “Jangan sembahyang”. Walaupun ada firman Allah di dalam surah al-Maidah ayat 6: “… Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih”.
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Idza Khofa al-Junub A’la Nafsihi (Apabila Orang Junub Takut Akan Dirinya) berikut: “Kudengar Syaqiq bin Salmah berkata, suatu hari aku hadir dalam majlis Abdillah dan Abu Musa. Abu Musa bertanya pada Abdillah bagaimana pendapatmu tentang orang yang junub kemudian tidak memperoleh air untuk mandi?” Abdillah menjawab, “dia tidak perlu shalat sampai ia temukan air.” Abu Musa bertanya lagi, “bagaimana pendapatmu tentang jawaban Nabi kepada Ammar dalam masalah yang sama ini?” Abdullah menjawab, “Umar tidak begitu yakin dengan itu.” Abu Musa melanjutkan, “lalu bagaimana dengan ayat ini, (al-Maidah: 6)?” Abdullah diam tidak menjawab. Kemudian dia berkata, “apabila kita izinkan mereka (melakukan tayammum), niscaya mereka akan bertayammum saja dan tidak akan menggunakan air apabila udaranya dirasakan dingin. ” Kukatakan pada Syaqiqbahwa Abdillah sebenarnya tidak suka lantaran ini semata-mata; dan Syaqiq pun mengiakan”

III. KESAKSIAN SAHABAT ATAS DIRI MEREKA.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda kepada kaum Anshar: “Suatu hari kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat sepeninggalku. Karena itu bersabarlah sehingga kalian menemui Allah dan Rasul-Nya di telaga haudh.” Anas berkata, “Kami tidak sabar.”30
Ala’ bin Musayyab dari ayahnya pernah berkata: “Aku berjumpa dengan Barra’ bin A’zib ra. Kukatakan padanya, “berbahagialah Anda karena dapat bersahabat dengan Nabi SAWW dan membai’atnya di bawah pohon (bai’ah tahta syajarah). Barra’ menjawab, “wahai putera saudaraku, engkau tidak tahu apa yang telah kami lakukan sepeninggalnya. “31
Jika sahabat utama yang tergolong di antara as-Sabiqin al-Awwalin dan pernah membai’at Nabi di bawah pohon, serta Allah rela kepada mereka dan Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka sehingga diberinya ganjaran yang besar; apabila sahabat-sahabat ini kemudian bersaksi bahwa dirinya dan para sahabat yang lain telah melakukan “sesuatu” sepeninggal Nabi, bukankah pengakuan mereka ini adalah bukti kebenaran yang disabdakan oleh Nabi SAWW bahwa sebagian dari sahabatnya akan berpaling darinya sepeninggalnya. Apakah seseorang yang berpikir rasional akan tetap mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil seperti yang diklaim oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Mereka yang mengklaim seperti itu jelas telah menyalahi nas dan akal. Karena dengan demikian hilanglah segala kriteria intelektual yang sepatutnya dijadikan pegangan sebuah penelitian dan kajian.

IV. KESAKSIAN SYAIKHAIN ATAS DIRINYA
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Manaqib Umar bin Khattab (Keistimewaan Umar Bin Khattab) sebagai berikut: “Ketika Umar menderita karena tikaman, beliau merintih kesakitan. Ibnu Abbas datang menghiburnya sambil berkata, “Ya Amir al-Mukminin, apabila memang sudah waktunya tiba, bukankah engkau adalah sahabat Rasulullah yang baik. Ketika kau berpisah dengannya, bukankah dia juga rela padamu. Kemudian kau telah bersahabat dengan Abu bakar dengan persahabatan yang baik, lalu kau berpisah dengannya juga dalam keadaan dia rela padamu. Kau juga bersahabat dengan yang lainnya dengan baik. Jika seandainya kau harus meninggalkan mereka, maka mereka akan rela padamu.” Tidak lama berselang Umar kemudian menjawab, “Adapun tentang persahabatan dan kerelaan Rasulullah yang kau sentuh tadi, maka itu adalah anugerah yang Allah telah berikan padaku. Persahabatan dan kerelaan Abu Bakar yang kau katakan tadi, itu juga adalah anugerah yang Allah limpahkan padaku. Namun apa yang kau saksikan dari rasa khawatir pada wajahku adalah semata-mata karena kamu dan sahabat-sahabatmu. Demi Allah, apabila aku punya segunung emas maka aku akan korbankan demi dapat terselamat dari azab Allah sebelum aku datang menjumpai-Nya.”32
Sejarah juga mencatat kata-kata Umar berikut:
Oh, alangkah beruntungnya apabila aku hanyalah seekor kambing milik keluargaku. Digemukkannya aku seperti yang mereka suka kemudian menjadi lahapan orangyang menyenanginya. Mereka iris sebagian dariku dan dipanggangnya sebagian yang lain. Kemudian aku dimakan dan dikeluarkan pula sebagai najis. Oh, kalaulah aku seperti itu dan tidak menjadi manusia.”33
Sejarah juga mencatat kata-kata Abu Bakar berikut: “Ketika Abu Bakar melihat seekor burung hinggap di suatu pohon, dia berkata, berbahagialah engkau duhai burung. Engkau makan buah-buahan dan hinggap di pohon, tanpa ada hisab atau balasan. Aku lebih suka kalau aku ini adalah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan, kemudian datanglah seekor onta lalu memakanku. Kemudian aku dikeluarkan dan tidak menjadi seorang manusia.”34
Di tempat lain beliau juga pernah berkata: “Oh, kalaulah ibuku tidak pernah melahirkanku. Oh, kalaulah aku hanya sebiji pasir dari satu batu bata.”35
Demikianlah sebagian kecil dari bukti yang dapat kita contohkan di sini sebagai renungan semata-mata. Danberikut adalah firman Allah SWT yang memberikan berita gembira kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin: “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tiada (pula) mereka bersedih hati; (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (S: 10: 62, 63,64). Dan firman Allah dalam surat lain, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka teguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) sorga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (S. 41: 30, 31,32).
Kenapa Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) berangan-angan untuk tidak jadi manusia, makhluk yang sangat dimuliakan oleh Allah SWT atas makhluk-makhluknya yang lain. Apabila seorang mukmin yang biasa yang istiqamah dalam hidupnya bisa didatangi oleh malaikat dan diberinya kabar gembira dengan kedudukan di sorga, lalu dia tidak khawatir pada azab Allah dan tidak bersedih hati dengan masa lalunya di dunia, bahkan baginya berita gembira di dalam kehidupan di dunia sebelum kehidupan di akhirat, maka kenapa tokoh-tokoh sahabat yang dikatakan sebagai makhluk terbaik setelah Rasulullah berangan-angan ingin menjadi najis atau sehelai rambut atau sebiji pasir? Seandainya para malaikat telah memberinya berita gembira akanhal sorga, semestinya mereka tidak akan berangan-angan untuk memiliki segunung emas agar dapat dikorbankan sebagai tebusan atas azab Allah sebelum berjumpa dengan-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan kalau setiap diri yang zalim itu mempunyai segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka menyem-bunyikan penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan azab itu, dan telah diberi keputusan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dianiaya” (S. 10: 54).
Allah juga berfirman: “Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai semua apa yang ada di bumi dan sebanyak itu (pula) besertanya, niscaya mereka menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkan” (5.39:47,48).
Aku bercita-cita sepenuh hatiku agar ayat ini tidak meliputi sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar as-Siddiq dan Umar al-Faruq. Tetapi aku seringkali terjebak dengan adanya nas-nas seperti ini. Itulah kenapa aku coba menelaah aspek-aspek menarik dari hubungan mereka dengan Rasul SAWW. Namun di situ juga aku dihadapkan dengan sikap mereka yang enggan melaksanakan perintah-perintah Nabi, terutama pada saat-saat akhir dari umurnya yang penuh berkat itu, di mana menyebabkan Nabi marah dan mengusir mereka dari kamarnya. Aku juga dihadapkan dengan suatu fakta akan perilaku mereka setelah wafatnya Nabi, serta sikap mereka yang menggangu puterinya Fatimah az-Zahra’. Padahal Nabi SAWW bersabda, “Fatimah adalah belahan nyawaku, siapa yang menyebabkannya marah maka dia telah menyebabkan aku marah.”36
Fatimah juga pernah berkata kepada Abu Bakar dan Umar demikian: “Aku minta persaksian dari Allah kepada kalian berdua, apakah kalian tidak mendengar Rasulullah bersabda, “Keredhaan Fatimah adalah keredhaanku dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku. Siapa yang mencintai puteriku Fatimah, maka dia telah mencintaiku, siapa yang membuat Fatimah rela maka dia telah membuatku rela, siapa yang membuat Fatimah marah maka dia telah membuatku marah.” “Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah.” Jawab mereka berdua. Lalu Fatimah berkata lagi, “Sungguh, aku minta persaksian Allah dan para malaikat-Nya bahwa kalian berdua telah membuatku marah dan tidak rela. Jika kelak aku berjumpa dengan Rasulullah maka pasti akan kusampaikan keluhanku ini kepadanya.”37
Biarlah riwayat yang menyayat hati ini kita tinggalkan dahulu. Mungkin Ibnu Qutaibah, seorang ulama Ahlu Sunnah yang sangat terkemuka dalam berbagai ilmu pengetahuan dan mempunyai banyak karya seperti Tafsir, Hadis, Bahasa, Nahu dan sejarah, mungkin beliau juga telah ikut Syi’ah seperti yang pernah dikatakan oleh seseorang ketika kutunjukkan padanya kitab Tarikh al-Khulafa’. Dan ini hanya sekadar alasan yang dicari-cari saja oleh ulama kita ketika mereka harus mengakui fakta-fakta tersebut. Di daerah kami, Thabari dikatakan telah ikut Syi’ah; Nasai yang telah menulis satu buku khusus tentang keutamaan Imam Ali juga dikatakan telah ikut Syi’ah; Ibnu Qutaibah juga Syi’ah; bahkan Taha Husain, ketika menulis buku al-Fitnah al-Kubro (Fitnah Besar) dan menyebutkan di sana hadis-hadis al-Ghadir serta mengakui kebenaran-kebenaran yang lain juga dikatakan telah ikut Syi’ah.
Padahal sebenarnya mereka bukan orang Syi’ah. Bahkan ketika mereka berbicara tentang Syi’ah, yang mereka sebutkan hanyalah keburukannya semata-mata. Mereka membela para sahabat dengan segala daya upaya mereka. Tetapi mereka yang menyebut keutamaan-keutamaan Ali bin Abi Thalib dan mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sahabat tertentu, tiba-tiba kita tuduh mereka sebagai Syi’ah. Cukup—misalnya—Anda sebutkan di hadapan mereka salawat Nabi yang diiringi dengan kalimat Wa Alihi atau menyebut alaihissalam untuk Imam Ali, maka mereka segera akan mengatakan bahwa Anda adalah seorang Syi’ah.
Suatu hari aku berdiskusi dengan seorang ulama. Kutanyakan padanya, “apa pendapatmu tentang Bukhari?” “Beliau adalah imam hadis.” Jawabnya. “Kitabnya adalah yang paling benar setelah Kitab Allah. Hal ini adalah kesepakatan para ulama kita.” Kukatakan padanya bahwa Bukhari adalah seorang Syi’ah. Dia tertawa terbahak-bahak mengejekku. Katanya, “Tidak mungkin sama sekali Imam Bukhari akan jadi Syi’ah.” Kukatakan lagi padanya bahwa Anda pernah menyatakan siapa saja yang menyebut kalimat alaihissalam untuk Ali maka dia adalah orang Syi’ah. Ya, jawabnya. Kemudian kutunjukkan padanya dan pada orang-orang yang duduk di sekitarnya kitab Shahih Bukhari yang memuat kata-kataalaihissalam ketika menyebut nama Ali, Husain bin Ali serta nama Fatimah puteri Nabi.38 Menyaksikan itu orang ini merasa sangat kaget dan bingung apa yang harus dikatakannya.
Mari kita kembali pada riwayat Ibnu Qutaibah yang mencatat bahwa Fatimah marah pada Abu Bakar dan Umar. Apabila aku meragukan kebenaran riwayat ini karena semata-mata ada dalam kitab Ibnu Qutaibah, maka aku tidak akan dapat mengelak lagi ketika riwayat yang sama kudapati dalam kitab Shahih Bukhari, sebuah kitab yang paling “benar” setelah AlQuran. Karena kita telah nyatakan bahwa kitab Shahih Bukhori adalah kitab yang paling benar, dan kini Syi’ah berargumentasi dengan kitab tersebut, maka adalah sangat adil dan fair apabila orang-orang yang rasional menerimanya.
Bukhari meriwayatkan dalam Bab Manaqib Qarabah Rasulillah (Keistimewaan Kerabat Nabi) bahwa Rasulullah SAWW bersabda: “Fatimah adalah belahan nyawaku, siapa yang membuatnya marah maka dia telah membuatku marah.” Dalam Bab Ghazwah Khaibar, dari Aisyah (yangberkata) bahwa Fatimah putri Nabi, suatu hari mengutus seseorang menghadap Abu Bakar untuk meminta hak pusakanya yang diwarisi-nya dari ayahandanya. Abu Bakar enggan memberikannya kepada Fatimah walau sedikit sekalipun. Fatimah sangat marah kepada Abu Bakar, lalu ditinggalkannya dan tidak diajaknya berbicara sampai beliau wafat.”39
Alhasil, konklusinya satu. Bukhari menyebutnya secara ringkas, sementara Ibnu Qutaibah mencatatnya secara lebih rinci: yakni Rasulullah SAWW akan marah lantaran marahnya Fatimah dan akan rela lantaran kerelaan Fatimah. Dan ketika Fatimah meninggal, beliau masih dalam keadaan marah dan murka pada Abu Bakar dan Umar.
Jika Bukhari berkata bahwa “Fatimah meninggal masih dalam keadaan marah pada Abu Bakar, dan sampai akhir hayatnya tidak berbicara dengannya”, riwayat Bukhari ini sama maknanya dengan riwayat Ibnu Qutaibah di atas. Kemudian, apabila Fatimah adalah Penghulu Wanita Alam Semesta seperti yang disebutkan oleh Bukhari dalam Bab al-Istidzan bagian Man Naja Baina Yadai an-Nas; dan Fatimah adalah satu-satunya wanita dari ummat ini yang dibersihkan dari segala dosa dan disucikan sebersih-bersihnya, maka hal itu berarti bahwa sikap marahnya adalah karena kebenaran semata-mata. Dan dengan alasan inilah kenapa Rasulullah akan marah karena marahnya Fatimah, dan akan murka lantaran murkanya Fatimah. Dan karena menyadari konsekwensi inilah kemudian Abu bakar berkata: “Aku berlindung pada Allah dari murkaNya dan dari murkamu wahai Fatimah”; dan Abu Bakar menangis tersedu-sedu sampai dadanya sesak.
Fatimah juga berkata kepada Abu Bakar: “Demi Allah, aku akan mohonkan keburukanmu di dalam setiap doa yang kupanjatkan seusai shalat. “Kemudian Abu Bakar menangis dan berkata berikut: “Aku tidak perlu pada bai’at kalian; lepaskan aku dari bai’at kalian.”40
Para ahli sejarah dan ulama-ulama kita tahu bahwa Fatimah as telah mendakwa Abu Bakar dalam berbagai kasus, seperti kasus harta pusaka dan bagian hak kerabat Nabi. Tetapi semua dakwaannya ditolak sehinggalah beliau meninggal dalam keadaan murka. Namun sayang sekali, para ulama kita hanya membacanya saja dan enggan mendiskusikannya. Alasannya—seperti biasa—ingin menjaga segala kemuliaan Abu Bakar.
Di antara hal aneh yang pernah kubaca tentang cerita ini adalah komentar sebagian penulis yang menukilkan cerita tersebut secara agak rinci, kemudian berkata: “Jauh sekali kemungkinan Fatimah akan mendakwa sesuatu yang bukan haknya; dan jauh sekali Abu bakar akan melarang Fatimah dari haknya.” Penulis tersebut menduga bahwa dengan cara ini dia telah dapat menyelesaikan kemusykilan dan telah memberi jawaban yang memuaskan kepada para pencari kebenaran. Padahal logika seperti itu nyaris sama dengan logika yang beralasan: “Jauh sekali AlQuran akan berkata sesuatu yang bukan haq; atau jauh sekali Bani Israel akan menyembah anak sapi.”
Kita sering berjumpa dengan para ulama yang berbicara tentang sesuatu yang tidak mereka fahami, atau mempercayai sesuatu yang kontradiktif. Dalam kasus ini—misalnya— Fatimah yang mendakwa sementara Abu Bakar yang menolak dakwaan. Kita dihadapkan pada dua pilihan, apakah Fatimah yang berbohong (semoga Allah melindungi kita dari berkata demikian) atau Abu Bakar yang berlaku zalim kepadanya. Tidak ada kemungkinan ketiga dalam menilai kasus ini seperti yang diasumsikan oleh ulama-ulama kita. Apabila andaian dan kemungkinan Fatimah berbohong adalah tertolak, karena terbukti ayahnya bersabda untuk dirinya, “Fatimah adalah belahan nyawaku; siapa yang mengganggunya berarti dia telah menggangguku…” dan orang yang berbohong sudah pasti tidak akan memperoleh rekomendasi Nabi seperti ini (di samping hadis ini sendiri adalah bukti akan kemaksumannya dari berkata dusta dan dari segala perbuatan yang munkar, sebagaimana yang didukung oleh ayat Tathhir (33: 33) yang diturunkan untuknya, suaminya dan dua puteranya dengan persaksian Aisyah41) jika hal ini tertolak maka tidak ada jawaban lain bagi orang-orang yang berpikir rasional kecuali harus mengakui bahwa Fatimah sebenarnya adalah pihak yang dizalimi. Dan mudah untuk kita duga bahwa sekadar menolak dakwaan Fatimah seperti itu jauh lebih mudah bagi mereka yang tidak takut sekalipun untuk membakar rumahnya.42 Itulah kenapa Fatimah as tidak mengizinkan Abu Bakar dan Umar masuk ke dalam rumahnya; dan ketika Ali membawa mereka masuk, Fatimah juga memalingkan wajahnya dan tidak mau melihat merekaberdua.43
Fatimah wafat dan berwasiat agar dikebumikan secara rahasia di malam hari, supaya tidak satupun dari mereka yang dimurkainya dapat menghadiri jenazahnya.44 Dan—memang— sampai kini kita tidak akan dapat menjumpai dimana kuburan puteri Rasul tersebut. Kenapa alim-ulama kita berdiam diri dari hakikat kebenaran ini, dan tidak mau mengkajinya bahkan menyebutnya sekalipun. Mereka menggambarkan kepada kita bahwa para sahabat bagaikan para malaikat yang tidak bersalah atau berbuat dosa. Jika kita tanyakan pada mereka kenapa Khalifah Utsman sampai bisa terbunuh, mereka akan segera menjawab bahwa penduduk Mesirlah—orang-orang kafir—yang telah membunuhnya. Cukup dengan dua kalimat itu saja. Tetapi ketika aku mulai membaca dan mengkaji seja-rah, kudapati bahwa tokoh-tokoh penting di sebalik pembunuhan Utsman adalah para sahabat itu sendiri, terutama Ummul Mukminin Aisyah yang menyeru pembunuhannya di hadapan publik ramai. Aisyah berkata, “Bunuhlah si Na’tsal (orang tua yang keras kepala yakni Utsman) itu. Sungguh dia telah kafir.”45 Di sana kita juga dapati nama-nama seperti Thalhah, Zubair, Muhammad bin Abu Bakar dan tokoh-tokoh sahabat lain yang terkenal. Mereka telah kepung rumah Utsman dan memotong suplai air agar ia meletak jawatan. Para ahli sejarah juga mencatat bahwa mayat Utsman dilarang oleh para sahabat lain dikebumikan di pekuburan kaum muslimin. Akhirnya beliau dikuburkan di Hash Kaukab tanpa dimandikan dan tanpa dikafankan. Subhanallah. Bagaimana lalu dikatakan kepada kita bahwa Utsman dibunuh dalam keadaan dizalimi, dan yang membunuhnya adalah orang-orang bukan muslim.
Dalam melihat masalah ini hampir sama dengan masalah antara Fatimah dan Abu Bakar serta Umar di atas. Apakah Utsman yang dizalimi, sehingga para sahabat yang terlibat divonis sebagai pembunuh-pembunuh yang jahat, karena telah membunuh seorang Khalifah muslimin dengan penuh aniaya dan permusuhan, bahkan kemudian melempar mayatnya dengan batu sampai Utsman dikatakan konon sebagai orang yang teraniaya pada masa hidupnya dan setelah matinya. Atau para sahabat itu yang dizalimi karena menyaksikan sejumlah tindakan Utsman yangbertentangan dengan Islam, kemudian menghalalkan darahnya, seperti yang terbukti dalam buku-buku sejarah. Tidak ada kemungkinan ketiga yang dapat kita cari jawabannya, melainkan kalau kita ingin memalsukan sejarah dan menerima alasan bahwa orang-orang “kafir” Mesirlah yang membunuhnya.
Dari dua andaian di atas kita terjebak pada konsekwensi logis akan ketidakjujuran teori yang mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Karena apakah Utsman yang tidak adil sehingga para pembunuhnya yang benar, atau para pembunuhnya, yang juga para sahabat yang terkemuka. Dengan demikian maka batallah klaim kita dan benarlah klaim Syi’ah yang mengatakan bahwa hanya sebagian sahabat sajalah yang adil, bukan semua.
Kita juga bertanya tentang peperangan Jamal yang diapi-apikan oleh Ummul Mukminin Aisyah bahkan dipimpin olehnya sendiri. Bagaimana Ummul Mukminin Aisyah keluar dari rumahnya sementara Allah SWT memertntahkannya untuk tinggal di rumahnya saja. Firman Allah: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu…”(33: 33)
Kita juga bertanya, atas hak apa Ummul Mukminin membolehkan perang menentang khalif ah muslimin yang sah, yakni Ali bin Abi Thalib? Bukankah beliau adalah wali (pemimpin) bagi orang-orang mukmin dan mukminah? Seperti biasa, para ulama kita dengan mudah saja menjawab bahwa Aisyah tidak suka dengan Imam Ali, lantaran Ali menyarankan kepada Rasul untuk mentalaknya dalam peristiwa Ifik. Mereka ingin katakan kepada kita bahwa peristiwa ini adalah alasan yang cukup kuat untuk Aisyah melanggar perintah Tuhannya dan Rasulnya serta menunggangi seekor onta yang dilarang oleh Rasul dan diperingatkannya dari gongongan anjing Hauab.46 Aisyah telah menempuh jarak yang cukup jauh, dari Madinah ke Mekah kemudian Basrah hanya untuk memerangi Amir al-Mukminin dan para sahabat lain yang membai’atnya. Perang Jamal tersebut telah mengakibatkan ribuan manusia terkorban seperti yang dicatat dalam buku sejarah.47 Semua ini adalah karena beliau tidak suka pada Imam Ali yang pernah menyarankan Nabi untuk menceraikannya dalam peristiwa Ifik itu. Kenapa Aisyah sampai demikian ekstrem benci pada Imam Ali?
Para ahli sejarah juga mencatat bahwa Aisyah mempunyai sikap-sikap permusuhan kepada Imam Ali yang tidak dapat ditafsirkan. Ketika dalam perjalanan pulang dari Mekah menuju Madinah, Aisyah mendengar berita pembunuhan Utsman. Berita itu disambutnya dengan kegembiraan yang luar biasa. Namun ketika beliau tahu bahwa ummat memberikan bai’atnya pada Ali sebagai Khalifah, Aisyah tiba-tiba marah dan berang. Katanya: “Aku lebih suka kalaulah langit ini menghimpit bumi sebelum Ibnu Abi Thalib mengambil alih jabatan khalifah.” Beliau juga berkata: “Kembalikan aku…” dan seterusnya. Dari situlah kemudian api fitnah dinyalakan untuk menentang Ali yang—seperti kata sejarah—hatta namanya sekalipun enggan disebut oleh Aisyah.
Apakah Ummul Mukminin Aisyah tidak pernah mendengar sabda Rasul SAWW: “Cinta kepada Ali adalah (tanda) iman dan benci kepadanya adalah (tanda) nifak.”48 Bahkan sebagian sahabat berkata, “Kami kenal orang-orang munafik karena sikap benci mereka pada Ali.” Apakah Ummul Mukminin tidak mendengar sabda Nabi SAWW: “Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya.” Tidak syak lagi bahwa beliau pernah mendengar semua itu. Namun beliau tetap tidak suka padanya, tidak mau menyebut namanya bahkan ketika didengarnya bahwa Ali telah mati, beliau bersujud syukur karenanya!!!49
Biarlah kita tinggalkan semua ini. Aku tidak ingin berbicara tentang sejarah Ummul Mukimin Aisyah. Hanya sekadar ingin meneliti dan mencari tahu akan pelanggaran sejumlah sahabat akan prinsip-prinsip Islam dan perintah-perintah Nabi SAWW. Bagiku perang Jamal yang dilancarkan oleh Ummul Mukminin yang telah disepakati kebenarannya oleh para ahli sejarah ini adalah satu bukti kuat atas objektifitas kesimpulanku ini.
Mereka juga mencatat bahwa Aisyah ketika lewat di perairan Hauab, beliau digonggong oleh anjing-anjingnya. Mendengar gonggongan anjing Hauab seperti itu, segera beliau ingat akan pesan suaminya Rasulullah yang melarang-nya dari menunggangi onta tersebut. Beliau sempat menangis dan berkata: “Kembalikan aku, kembalikan aku…” Tetapi Thalhah dan Zubair kemudian membawa lima puluh penduduk setempat dan meminta mereka bersumpah bahwa tempat ini bukanlah wilayah perairan Hauab. Dari sana kemudianbeliau melanjutkan perjalanannya sampai ke Basrah. Para ahli sejarah berkata bahwa itulah kesaksian palsu pertama yang terjadi dalam Islam.50
Duhai pembaca yang berpikiran jernih. Tunjukkan kami bagaimana caranya menyelesaikan kemusykilan ini? Apakah mereka dapat dikatagorikan sebagai sahabat yang agung yang kita sebut sebagai orang-orang adil, bahkan sebagai manusia yang paling mulia setelah Rasulullah SAWW? Tapi mereka tfelah memberikan kesaksian palsu yang digolongkan oleh Rasul sebagai bagian dari dosa-dosa besar yang bisa membawa ancaman api neraka.
Pertanyaan yang sama masih berulang, siapa yang benar dan siapa yang salah? Apakah Ali dan orang-orangnya dalam pihak yang zalim dan batil, ataukah Aisyah dan orang-orangnya beserta Thalhah, Zubair dan orang-orangnya? Hdak ada lagi andaian ketiga yang bisa memberikan jawaban. Seorang peneliti yang objektif saya rasa akan condong kepada pihak Ali yang (disabdakan oleh Nabi) senantiasa bersama kebenaran, dan berupaya untuk mematikan fitnah yang dinyalakan oleh Ummul Mukminin Aisyah serta para pengikutnya. Sung-guh fitnah peperangan ini telah memakan banyak korban dan telah meninggalkan luka yang sangat dalam sampai hari ini.
Untuk pertanggung-jawaban dan ketenangan hati aku sertakan riwayat-riwayat berikut.
Bukhari telah meriwayatkan dalamkitab Shahihnya pada Bab al-Fitnah, bagian al-Fitnah Allati Tamuju Kamauj al-Bahri (Fitnah Yang Mengamuk Seperti Gelombang Samudra) riwayat berikut: “Ketika Thalhah, Zubair dan Aisyah pergi ke Basrah, Ali mengutus Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali pergi ke Kufah. Sesampainya di sana, mereka naik ke atas mimbar. Hasan duduk di atas sementara Ammar berdiri di bawahnya. Kami berkumpul mengelilingi mereka. Kudengar Ammar berkata: ” Aisyah telah pergi ke Basrah. Demi Allah dia adalah isteri Nabi kalian di dunia dan di akhirat. Tetapi Allah ingin menguji kalian agar Dia tahu apakah kalian berada pada pihak Ali atau pada pihak Aisyah?”51
Bukhari juga meriwayatkan dalam Bab as-Syurut bab Ma Ja`a Fi Buyut Azwaj an-Nabi (Apa Yang Terjadi Di Rumah Isteri-isteri nabi): “Suatu hari Nabi berdiri berpidato. Sambil menunjuk ke arah tempat tinggal Aisyah beliau bersabda: “Disinilah fitnah, disinilah fitnah, disinilah fitnah darimana munculnya tanduk syaitan.” 52
Bukhari juga meriwayatkan berbagai sikap aneh dan keburukan akhlaknya di hadapan Nabi SAWW sampai pernah ditampar oleh ayahnya; atau tentang kepura-puraannya di hadapan Nabi sehingga Allah mengancamnya dengan talak dan akan digantikan dengan isteri lain yang lebih baik. Ini adalah cerita-cerita lain yang akan memakan ruangan yang panjang jika dijelaskan.
Setelah ini semua, aku tertanya-tanya kenapa Aisyah memperoleh penghormatan yang demikian agung dari pihak Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Apakah karena dia adalah isteri Nabi, padahal Nabi juga mempunyai banyak isteri lain, bahkan ada yang lebih utama dari Aisyah sekalipun seperti ucapan Nabi sendiri.53 Ataukah karena dia adalah puterinya Abu Bakar. Atau mungkin karena dia telah memainkan peranan besar dalam mengingkari wasiat Nabi kepada Ali, sehingga ketika disebutkan di hadapannya bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali, dia berkomentar: “Siapa yang berkata demikian? Waktu itu (saat wafat Nabi) akulah yang bersama Nabi. Kuletakkan kepalanya di dadaku, kemudian dia meminta talam. Ketika aku tunduk tiba-tiba dia mati tanpa kurasakan apa-apa. Bagaimana lalu dikatakan bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali?”54 Atau karena dia telah perangi Ali dan anak-anaknya secara total, sampai-sampai jenazah Sayyidina Hasan putera Ali, penghulu pemuda syurga, dihalanginya untuk bisa dikebumikan di sisi pusara datuknya Rasulullah SAWW. Katanya: “Jangan masukkan orang yang tidak kusukai ke rumahku.”
Entahlah, apakah dia lupa atau berpura-pura lupa akan sabda nabi pada Hasan dan saudaranya:“Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga”; atau sabdanya yang lain: “Allah akan mencintai orang yang mencintai keduanya, dan akan bencipada orang yang membenci keduanya”; atau sabdanya:“Aku akan memerangi orang yang memerangi kalian (berdua) dan berdamai pada orang yang berdamai dengan kalian”; atau sabda-sabdanya yang lain. Betapa tidak, bukankah mereka berdua adalah bunga kuntumnya yang semerbak bagi ummat iru?
Tidak begitu mengejutkan memang. Jauh hari sebelumnya beliau pernah mendengar dari Nabi hadis-hadis yang lebih banyak tentang keistimewaan Ali, tetapi beliau tetap enggan dan bertekad tetap memeranginya, memisahkan kaum muslimin darinya serta mengingkari segala keutamaan-keutamaannya. Itulah alasan yang sangat kuat kenapa Bani Umaiyah sangat mencintai Aisyah ini dan meletakkannya pada kedudukan yang sangat tinggi tanpa tara. Mereka telah tulis baginya berbagai keistimewaan dan keutamaan yang memenuhi lembaran buku sehingga beliau ditokohkan sebagaimarja’ (pakar rujuk) yang paling besar bagi Ummat ini, sebab di sisinya tersimpan separuh agama. Dan mungkin separuh lain telah mereka jatahkan pada Abu Hurairah yang telah meriwayatkan untuk mereka segala sesuatu yang mereka inginkan. Dan lantaran itulah maka Abu Hurairah mereka letakkan sebagai orang dekatnya, dibertnya kekuasaan sebagai Gubernur kota Madinah dan istana al-Aqiq serta gelar sebagai “perawi Islam”. Dengan demikian maka mudahlah bagi Bani Umaiyah untuk memiliki satu agama baru yang sempurna, yang tidak memuat apa-apa dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul melainkan yang sesuai dengan kehendak nafsu mereka dan mendukung kerajaan serta kekuasaan mereka semata-mata.
Agama seperti ini adalah lebih layak apabila dikatakan sebagai bahan mainan dan olok-olok saja yang hanya penuh dengan berbagai khurafat dan kontradiksi. Itulah kenapa kebenaran yang sejati terkubur sementara yang batil muncul ke permukaan. Mereka juga memaksa atau mengelabui orang banyak dengan cara keagamaan mereka ini, sehingga agama Allah yang sejati menjadi semacam tiada nilai dan rasa takut kepada Muawiyah adalah lebih besar dari takut kepada Allah.
Ketika kita bertanya pada sebagian ulama kenapa Muawiyah memerangi Imam Ali yang telah dibai’at oleh Muhajirin dan Anshar, dimana akibatnya telah memecah kaum muslimin kepada Sunnah dan Syi’ah, dan telah melukai Islam hingga kini, maka—seperti biasa—mereka akan segera menjawab dengan begitu mudahnya bahwa Ali dan Muawiyah adalah dua sahabat Rasul yang agung. Kedua mereka berijtihad: Ali berijtihad dan benar lalu dia dapat dua pahala, sementara Muawiyah berijtihad dan salah, lalu dia memper-oleh satu pahala. Dan bukan hak kita untuk menghukum mereka, baik positif atau negatif. Karena Allah SWT berfirman: “Itu adalah ummat yang lain; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggung-jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan” (S. 2:134).
Demikianlah jawaban kita. Seperti yang Anda perhatikan jawaban seperti ini adalah jawaban yang sangat daif yang tidak dapat diterima oleh akal, agama ataupun Syara’. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari pendapat yang salah dan hawa nafsu yang terjerat. Aku mohon lindunganMu dari bisikan syaitan dan kehadirannya.
Bagaimana akal sehat dapat menerima bahwa Muawiyah melakukan ijtihad dan karenanya diberi satu pahala dalam tindakannya yang memerangi Imam kaum muslimin serta membunuh orang-orang mukmin dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak terhitung banyaknya. Para ahli sejarah mencatat betapa Muawiyah telah membunuh para penentangnya dengan caranya tersendiri yang sangat dikenal: memberi minuman beracun. Muawiyah senantiasa berkata: “Allah mempunyai bala tentara dari madu”.
Bagaimana mereka katakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dan tersalah, padahal dia adalah pemimpin kelompok yang baghi (kelompok yang memerangi Khalifah muslimin yang sah). Dalam suatu hadis yang sangat populer yang diriwayatkan oleh semua ahli hadis, Nabi SAWW bersabda: “Berbahagialah Ammar. Dia akan dibunuh oleh kelompok yang baghi.” Muawiyah beserta sahabat-sahabatnyalah yang membunuh Ammar.
Bagaimana mereka katakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dalam peristiwa pembunuhan terhadap Hujur bin A’dy beserta sahabat-sahabatnya, yang kemudian dikuburkan di tempat sampah pada suatu padang pasir Syam, semata-mata lantaran mereka tidak mau mencaci Ali bin Abi Thalib. Bagaimana mereka mengatakannya sebagai seorang sahabat yang adil sementara dia telah meracuni Hasan Bin Ali, pemuka pemuda sorga.
Bagaimana mereka menganggapnya bersih padahal dia telah paksa ummat Islam untuk membai’atnya dan membai’at puteranya Yazid setelahnya, dan menggantikan sistem syuro dengan dinasti kerajaan.55 Bagaimana mereka mengatakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dan diberi satu pahala, padahal dia telah paksa kaum muslimin untuk melaknat Ali dan keluarga Nabi SAWW dari atas mimbar. Dia telah bunuh para sahabat yang enggan melakukan laknat sampai hal itu menjadi sebuah tradisi yangberkepanjangan. Fala Haula Wala Quwwata Illa Billah al-A’li al-A’zim.
Persoalan yang sama juga timbul: mana kelompok yang benar dan naana kelompok yang salah? Apakah Ali dan Syi’ahnya sebagai orang-orang yang zalim dan dalam pihak yang salah, atau Muawiyah dan para pengikutnya. Rasul SAWW telah menjelaskan segala sesuatunya di sana. Dalam dua kemungkinan di atas, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali adalah adil adalah hal yang mustahil yang tidak sesuai dengan akal sehat.
Semua yang kami katakan di atas, sebenarnya adalah bagian kecil dari fakta-fakta sejarah yang terlalu banyak untuk ditulis dalam buku kecil ini. Apabila kita ingin muat secara rinci hal-hal di atas maka kita akan memerlukan berjilid-jilid buku untuk menampungnya. Namun karena buku ini adalah ringkas, maka dengan sengaja kusajikan sejumlah contoh sebagai pelengkap semata-mata. Dan Alhamdulillah sekadar itupun sudah cukup merepotkan orang sekitarku yang telah membekukan pikiranku dengan mitos-mitos palsu dalam waktu yang cukup lama, dan yang mencegahku dari memahami hadis serta meneliti sejarah dengan kriteria akal dan syariah yang telah diajarkan oleh AlQuran dan Sunnah Nabi SAWW.
Aku akan tetap bertarung dengan jiwaku dan menyisihkan setiap debu-debu fanatisme buta yang membungkusku. Aku akan tetap berupaya untuk membebaskan segala belenggu dan rantai yang telah mengikat jiwaku lebih dari dua puluh tahun. Hatiku berkata pada mereka: oh, alangkah indahnya seandainya kaumku mengetahui akan ampunan Tuhanku kepadaku dan dijadikan-Nya aku dari golongan orang-orang yang dimuliakan. Oh, kalaulah kaumku menemukan dunia yang belum mereka ketahui ini dan membebaskan diri mereka dari bersikap memusuhinya tanpa sadar ini. •

MULANYA PERUBAHAN
SELAMA tiga bulan aku merasa kebingungan dan gelisah,dalam waktu tidurku sekali pun. Berbagai pikiran dan bayangan berkecamuk dalam benakku. Jiwaku luluh melihat sikap sebagian sahabat yang terungkap dalam sejarah yang kuteliti itu. Aku berada dalam sebuah kondisi yang dilematis.Sebab sepanjang hidupku aku dididik untuk menghormati dan mengkultuskan para wali Allah serta orang-orang yang sholeh. Apabila ada orang yang mengkritik mereka maka akan terasa suatu keresahan yang luar biasa.
Dahulu aku pernah membaca tulisan ad-Dumairi dalam bukunya Hayat al-Hayawan al-Kubro56yang berbunyi antara lain: “Pernah suatu hari ada seseorang mencaci Umar bin Khattab. Perlakuannya ini dicegah oleh teman-temannya sekafilah. Ketika dia pergi membuang air kecil, tiba-tiba seekor ular hitam mematuknya dan dia mati seketika. Teman-temannya menggali lubang untuk menguburnya, tetapi setiap kali digali, didapati ular yang sama tengah menantinya. Digali lagi kuburan yang lain, tetap saja ular itu takbergeming dari tempatnya. Begitulah seterusnya. Akhirnya seorang yang arif di antara mereka ber-kata: “Kuburkan dia di mana saja. Sebab jika kalian gali seluruh bumi ini maka kalian akan dapati ular yang sama. Ini adalah azab Allah kepadanya di dunia sebelum di akhirat lantaran cacian yang dilakukannya terhadap Sayyidina Umar.”
Itulah mengapa aku begitu takut dan gelisah. Ketika akumasih belajar di Ma’had az-Zaituni aku diajarkan bahwa khalifah yang paling utama secara absah adalah Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, kemudian Sayyidina Umar al-Khattab atau al-Faruq, pemisah antara haq dan batil, kemudian Sayyidina Utsman bin Affan, empunya dua cahaya yang malaikat Rahman pun malu kepadanya, kemudian Sayyidina Ali, gerbang kota ilmu. Setelah empat di atas, lalu enam orang lain dari sepuluh orang yang telah dijamin sorga. Mereka adalah Thalhah, Zubair, Sa’ad, Sa’id, Abdurrahman dan Aba U’baidah; kemudian baru semua sahabat yang lain. Dalil yang diajarkan kepada kami adalah ayat AlQuran yang bermaksud: “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasid-rasul-Nya” (S. 2: 285). Dan kepada sahabat juga mesti dilihat mengikut cara yang serupa tanpa mencelakan mereka sedikitpun.
Berdasarkan ini aku takut terhadap diriku. Aku memohon ampunan dari Allah berkali-kali. Aku tidak ingin lagi meneruskan penelitian hal-hal seperti ini, sebab ia menanamkan keraguan dalam diriku tentang sahabat Rasulullah, dan seterusnya keraguan terhadap agamaku. Namun dalam setiap diskusiku dengan berbagai ulama selama masa-masa tersebut, aku dapati bahwa jawaban-jawaban mereka sentiasa kontradiktif dan tidak rasional. Semula mereka mengingatkan agar aku tidak lagi meneruskan kajian tentang sahabat. Sebab katanya, nikmat Allah akan terangkat dariku dan mungkin juga akan mencelakakanku. Dan karena kuatnya bantahan dan penolakan mereka atas setiap pendapatku, maka aku terdorong lagi untuk meneruskan kajian dan penelitianku agar dapat sampai kepada suatu kebenaran yang dicita-citakan.

DIALOG DENGAN ORANG ALIM
KUKATAKAN kepada salah seorang ulama: “Jika Muawiyah
telah membunuh orang-orang yang tak berdosa dan
memperkosa segala kehormatan, lalu kalian hukumkan bahwa
dia telah berijtihad namun salah dan dia mendapat satu pahala;
dan jika Yazid telah membunuh anak-anak Rasul serta
menghalalkan (pertumpahan darah) di Madinah, lalu kalian
hukumkan bahwa dia telah berijtihad dan salah dan dia
mendapatkan satu pahala sehingga ada sebagian orang berkata
bahwa “Husain terbunuh oleh pedang datuknya” sebagai
alasan untuk membenarkan perlakuan Yazid; apabila demikian
kenapa pula aku tidak boleh berijtihad di dalam penelitianku
tentang para sahabat yang menimbulkan suatu tanda tanya
besar dalam diriku. Ini tentu tidak ada artinyajika
dibandingkan dengan tindakan Muawiyah dan puteranya
Yazid di dalam membunuh keluarga Nabi yang suci. Jika
ijtihadku benar maka aku akan mendapatkan dua pahala, dan
jika salah aku akan memperoleh satu pahala. Penelitianku
tentang sahabat juga bukan karena ingin mencaci, mencerca
atau melaknat mereka. Aku hanya ingin sampai kepada suatu
kebenaran untuk mengetahui mana golongan yang selamat di
antara banyak golongan yang sesat. Ini adalah kewajibanku
dan kewajiban setiap Muslim. Allah Maha Tahu apa yang
tersembunyi dan yang tersirat di balik dada.”
Orang alim ini menjawab :
“Wahai puteraku. Pintu ijitihad telah tertutup sejak lama.”
“Siapa yang menutupnya?”
“Imam empat mazhab”.
“Alhamdulillah, jika yang menutupnya bukanlah Allah, bukan juga Rasul-Nya dan bukan Khulafa’ Rasyidin (empat khalifah) yang kita disuruh untuk mengikuti mereka.” Ini berarti bahwa tidak cela apabila aku berijtihad sebagaimana mereka dahulu berijtihad.”
“Engkau tidak boleh berijtihad kecuali apabila telah kau kuasai tujuh belas cabang ilmu pengetahuan. Antara latn ilmu tafsir, lughah, nahu, sharaf, balaghah, hadis, sejarah dan lain sebagainya.”
“Aku bukan ingin berijtihad untuk menerangkan kepada orang tentang hukum AlQuran dan Sunnah, atau ingin menjadi imam suatu mazhab di dalam Islam. Aku hanya ingin tahu siapa yang berada dalam pihak yang benar dan siapa yang salah, untuk mengetahui apakah Imam Ali dalam pihak yang benar ataukah Muawiyah, misalnya. Hal ini tentu tidak akan memerlukan tujuh belas cabang ilmu pengetahuan. Cukup hanya dengan mempelajari kehidupan dan tingkah laku mereka agar dapat diketahui suatu kebenaran.”
“Apa perlunya kau ingin ketahui semua itu. Itu adalah ummat yang lalu. Baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan (S. 2:134).
“Bagaimana Anda membacanya. Apakah La Tus-alun (kamu tidak akan diminta pertanggunganjawab) atau La Tas-alun (jangan kamu bertanya …)”
“Tentu La Tus-alun.” Jawabnya.
“Alhamdulillah. Kalau ayat tersebut dibaca dengan La Tas-alun maka artinya kita dilarang untuk membuat suatu penelitian. Namun karena dibaca dengan La Tus-alun, maka maknanya adalah Allah tidak akan menghisab kita atas apa yang mereka dahulu lakukan. Dan ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya ” (S. 74:38); dan firman Allah yang lain: “Dan bahwa seorang tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah diusahakan-nya” (S.53:39). AlQuran juga mendorong kita untuk mempelajari tentang sejarah ummat-ummat yang lalu agar dijadikan suatu ibrah (nasihat). Allah telah menceritakan kepada kita tentang Firaun, Haman, Namrud, Qarun dan para nabi dahulu beserta pengikut-pengikutnya. Semua ini bukan untuk sekadar hiburan, tetapi untuk mengajarkan kepada kita mana yang hak dan mana yang batil.
Tentang kata-kata Anda “apa perlunya semua ini”, maka memang sangat perlu. Pertama-tama: agar aku kenal siapa Wali Allah yang sebenarnya sehingga aku harus me-wila’ (setia) mereka; dan siapa musuh Allah yang sesungguhnya sehingga aku harus memusuhinya. Ini adalah permintaan AlQuran, bahkan kewajiban yang dipikulkannya kepada kita.
Kedua, untuk mengetahui dengan sungguh-sungguh bagaimana cara menyembah dan mendekatkan diri pada Allah melalui hukum-hukum yang diwajibkan-Nya kepada kita seperti yang Dia inginkan; bukan seperti yang “diinginkan” oleh Malik, atau Abu Hanifah atau mujtahid-mujtahid yang lain. Hal ini karena kulihat—misalnya—Malik menghukumkan makruh membaca Basmalah di dalam shalat sementara Abu Hanifah menghukumkan wajib; dan yang lainnya menghukumkan batal jika shalat tanpa Basmalah.Padahal shalat adalah tiang agama. Apabila ia diterima maka diterimalah selainnya, dan bila ia ditolak maka ditolaklah juga yang lain. Aku tidak ingin shalatku ditolak. Contoh lain, Syi’ah mengatakan bahwa kaki wajib diusap saat berwudhu’ sementara Sunnah mengatakan wajib dicuci. Padahal apabila kita baca AlQuran jelas ayatnya mengatakan bahwa kaki wajib diusap. Lalu bagaimana Anda harapkan seorang Muslim yang berpikir rasional akan bisa menerima pendapat yang satu dan menolak yang lain tanpa suatu penelitian dan kajian.”
“Anda bisa ambil dari setiap mazhab apa yang Anda rasakan cocok, karena semua adalah mazhab Islam dan semuanya juga bersumber dari Rasulullah SAWW.”
“Aku takut tergolong di antara orang-orang yang difirmankan oleh Allah:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya; dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (S. 45:23)
Wahai Tuan yang mulia. Aku tidak percaya bahwa semua mazhab adalah benar. Bayangkan yang satu menghalalkan dan yang lain mengharamkan. Tidak mungkin ada sesuatu yang halal dan haram dalam satu ketika. Rasul tidak pernah berdebat dahulu sebelum menguraikan suatu hukum yang akan diajarkannya. Karena ia adalah wahyu dari AlQuran. Allah berfirman: “Kalau kiranya AlQuran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (S. 4: 82). Dan karena di antara empat mazhab ini kudapati banyak pertentangan, maka ia pasti bukan dari sisi Allah, bukan juga dari sisi Rasul-Nya, mengingat Rasul tidak mungkin bertentangan dengan AlQuran.”
Ketika orang alim ini melihat argumentasiku sangat rasional dan tak dapat ditolak, dia berkata kepadaku :
“Demi Allah. Aku menasihatimu agar jangan sekali-kali meragukan Khulafa’ Rasyidin betapapun keraguan yang kau hadapi. Mereka adalah empat tiang agama ini. Apabila kau robohkan yang satu, maka akan runtuhlah bangunan ini.”
“Astaghfirullah.” Sahutku. “Tuan, jika mereka adalah tiang agama Islam maka di mana Rasulullah SAWW? “
“Rasulullah adalah bangunan itu semua. Beliau adalah Islam secara keseluruhan.”
Aku tersenyum mendengar penilaian seperti ini. Kukatakan lagi:
“Astaghfirullah. Wahai tuan yang mulia, tanpa disadari tuan telah berkata bahwa Rasulullah SAWW tidak akan istiqamah melainkan dengan empat orang ini. Hal ini berlawanan dengan firman Allah, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cuknplah Allah sebagai saksi.” (S. 48: 28)
Allah telah mengutus Rasul-Nya Muhammad dengan risalah dan tidak menyertakan bersamanya seorangpun dari empat orang ini atau yang lainnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (S. 2:151).
“Itulah apa yang pernah kami pelajari dari guru-guru kami dahulu. Pada zaman kami tiada siapapun yang boleh atau pernah mendebat dan membantah para ulama seperti yang dilakukan oleh generasi sekarang ini. Kini kalian mulai meragukan segala sesuatu dan membuat keragu-raguan dalam agama. Ini adalah di antara tanda-tanda hari kiamat. Rasulullah SAWW pernah bersabda: “Hari kiamat tidak akan muncul melainkan pada zaman makhluk yang paling jahat.”
“Wahai Tuan, kenapa mesti marah. Aku berlindung kepada Allah dari bersikap ragu terhadap agama atau membuat keragu-raguan di dalamnya. Aku beriman kepada Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya; beriman pada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya. Aku beriman bahwa Sayyidina Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Beliau adalah Nabi dan Rasul yang paling utama dan penutup seluruh Nabi, dan aku adalah orang muslim. Bagaimana Anda menuduhku seperti itu?”
“Lebih dari itu sepatutnya kukatakan padamu, sebab kau meragukan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Sedangkan Nabi SAWW pernah bersabda: “Jika iman ummatku ditimbang dengan iman Abu Bakar, maka iman Abu Bakar akan lebih berat.” Untuk Sayyidina Umar Nabi pernah bersabda: “Aku pernah ditunjukkan tentang umatku. Mereka memakai baju panjang tetapi tidak sampai menutup dada. Aku juga ditunjukkan tentang Umar. Kulihat dia tengah menyeret-nyeret bajunya. Sahabat bertanya: apa takwilnya (tafsirnya) ya Rasulullah? Nabi menjawab: agama. Tiba-tiba kau datang pada abad ke empat belas ini membuat keraguan-raguan tentang para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar. Tahukah kau bahwa penduduk Irak adalah penduduk yang kafir, munafik dan berpecah?”
Apa yang harus kukatakan pada orang yang mengaku dirinya alim ini. Majlis yang tadinya berjalan dengan cara akrab dan ilmiah kini berubah menjadi semacam tuduhan dan luapan emosi di hadapan sekumpulan hadirin yang mengaguminya. Kuperhatikan wajah-wajah mereka merah dan mata-mata mereka terbelalak menunjukkan sikap protes. Tiada cara lain, aku segera pergi ke rumah dan mengambil kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik dan kitab Shahih al-Bukhari. Kukatakan kepadanya:
” Wahai Tuan yang mulia! Yang menyebabkan aku ragu-ragu terhadap Abu Bakar adalah Rasulullah sendiri.”
Lalu kubukakan kitab al-Muwattha’ yang memuat suatu riwayat yang bermaksud, “Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda kepada para syuhada’ Uhud: “Aku adalah saksi mereka.” Abu Bakar as-Siddiq bertanya: “Ya Rasulullah, bukankah kami adalah saudara-saudara mereka. Kami juga ikut Islam sebagaimana mereka. Kami juga berjihad sebagaimana mereka.” Rasulullah SAWW menjawab: “Ya betul. Tetapi aku tidak tahu apa yang akan kalian lakukan setelahku.” Mendengar ini Abu Bakar menangis tersedu-sedu. Kemudian dia berkata: “Memang, kami melakukan banyak perkara setelah ketiadaanmu.”57
Aku bukakan juga kitab Shahih Bukhari. Riwayat itu berkata: “Suatu hari Umar bin Khattab datang ke rumah Hafsah. Di sana ada Asma’ binti U’mais. Ketika melihat Asma’ Umar bertanya:
“Siapa wanita ini?”
“Saya Asma’ binti U’mais.”
“Orang Habsyiah itu. Orang laut itu.” Gerutu Umar.
“Ya”.JawabAsma’.
“Kami lebih dahulu berhijrah.” Kata Umar. “Maka itu kami lebih berhak kepada Rasulullah ketimbang kalian.”
“Demi Allah, tidak.” Jawab Asma’. “Dahulu kalian bersama Nabi. Diberinya kalian makan-minum dan diajarkannya kalian. Sementara kami berada di suatu tempat yang jauh dan asing (di Habsyah) semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak makan atau minum kecuali kuingat dahulu Rasulullah. Kami juga menghadapi ancaman dan gangguan. (Wahai Umar) aku akan mengadu pada Rasulullah dan akan kuberitahu (apa yang kaukatakan tadi) tanpa aku akan berdusta, menambahi atau mengurangi.”
Ketika Asma’ datang kepada Nabi, dia berkata, “Ya Nabi Allah, Umar berkata begini dan begitu.” “Apa yang kau jawab? ” Tanya Nabi.
“Begini dan begitu”.
“Dia tidak berhak atasku lebih dari kalian.” Jawab Nabi. “Dia dan teman-temannya hanya berhijrah sekali saja, sementara kalian, penghuni bahtera, dua kali berhijrah.”
Asma’ berkata lagi: “Aku perhatikan Abu Musa dan kawan-kawan yang dahulunya sekapal (saat berhijrah ke Habsyah) yang lain mendatangiku dan bertanya padaku tentang sabda Nabi tersebut. Tiada sesuatu di dunia ini yang sedemikian membahagiakan mereka lebih dari sabda Nabi untuk mereka ini”.58
Setelah orang alim dan para hadirin membaca dua hadis ini, tiba-tiba saja wajah mereka berubah. Mereka saling berpandangan dan menunggu reaksi sang guru yang tak berkutik. Dengan mengangkat sedikit dua keningnya sebagai tanda heran sang guru berkata: “Katakanlah, ya Rabbi, tambahkan untukku ilmu pengetahuan.”
“Jika Rasulullah SAWW adalah orang pertama yang ragu terhadap Abu Bakar dan tidak mempersaksikannya lantaran beliau tidak tahu apa yang akan terjadi sepeninggalnya kelak; dan apabila Rasulullah tidak merestui keutamaan Umar bin Khattab atas Asma’ binti U’mais, bahkan Asma’ lebih diutamakan ketimbang Umar; maka aku mempunyai alasan kuat untuk tidak mengutamakan siapapun sehingga kebenaran itu tampak dan kuketahui dengan pasti. Dan jelas sekali bahwa dua hadits ini berlawanan bahkan menafikan setiap hadis yang mengatakan keutamaan Abu Bakar dari Umar. Sebab dua hadis ini ditunjang oleh fakta-fakta yang objektif dan rasional dibandingkan dengan hadis-hadis keutamaan yang diduga itu.”
Para hadirin bertanya: “Apa maksud hadis tersebut? “
“Rasulullah SAWW tidak mau menjadi saksi pada Abu Bakar.” Jawabku.” Beliau bersabda: “Aku tidak tahu apa yang akan kalian lakukan sepeninggalku kelak. “Hadis ini jelas sekali maksudnya. Sebab AlQuran mengatakan dan sejarah juga membuktikan bahwa mereka telah melakukan perobahan-perobahan sepeninggal Nabi. Itulah kenapa Abu Bakar menangis. Abu Bakar telah merubah dan membuat Fatimah az-Zahra’ puteri Nabi marah, seperti yang telah disentuh di atas. Sedemikian dia telah merobah sehingga beliau menyesal pada akhir hayatnya dan berangan-angan untuk tidak menjadi manusia.
Hadis yang dikatakan bahwa “Jika iman ummatku ditimbang dengan iman Abu Bakar maka imam Abu Bakar akan lebih berat” hadis ini jelas lemah dan tidak masuk akal. Tidak mungkin seseorang yang telah melewati empat puluh tahun dari usianya dalam syirik pada Allah dan menyembah berhala akan memiliki iman yang lebih berat dari iman seluruh ummat Nabi Muhammad SAWW. Sedangkan di antara ummat ini ada para wali Allah yang sholihin, orang-orang syahid dan para imam yang telah menghabiskan semua umurnya dalam berjihad di jalan Allah SWT. Lalu apakah Abu Bakar memang sesuai dengan makna dan maksud hadis ini? Jika memang hadis ini shahih, maka beliau seharusnya tidak akan pernah berangan-angan untuk tidak menjadi manusia. Apabila imannya lebih tinggi dari iman Fatimah Zahra’, pemuka wanita alam semesta, maka puteri Rasul itu tidak akan pernah marah kepadanya, atau berdo’a untuk keburukannya.”
Orang alim ini tidak memberi sebarang komentar. Sebagian yang hadir menyelah: “Demi Allah, apa yang Anda katakan telah menimbulkan keragu-raguan dalam diri kami.” Tiba-tiba si alim ini menyentakku: “Apakah seperti ini yang kau inginkan? Kau telah membuat mereka ragu-ragu di dalam agama mereka.” Muncul lagi suara lain yang mencela dan berkata: “Tidak. Dia benar. Sepanjang hayat kita, kita belum pernah membaca suatu buku yang sempurna. Kami mengikuti Anda hanya dengan perasaan yakin tanpa sikap kritis sedikitpun. Jelas bagi kami bahwa apa yang dibicarakan oleh Haji ini nampaknya benar. Sudah sewajibnya kita membaca dan mengkaji.” Sebagian yang hadir menyetujui pendapat yang terakhir ini. Dan itu adalah suatu kemenangan bagi suatu kebenaran. Bukan kemenangan dalam bentuk kekuatan atau paksaan, tetapi kemenangan dalam bentuk hujjah dan dalil yang rasional. “Katakanlah, bawalah dalil-dalil kalian jika memang kalian benar-benar sebagai orang yang jujur.”
Aku lanjutkan penelitianku dengan cara yang sangat cermat sepanjang tiga tahun lagi. Kuulangi segala yang kubaca dari awal hingga akhir. Kubaca buku al-Muraja’at (Dialog Sunnah Syi’ah) karya Imam Syarafuddin, dan kuulangi berkali-kali. la telah membuka luas wawasanku dan menyebabkanku mendapat petunjuk dan hidayah dari Allah SWT serta cinta kepada Ahlul Bait.
Aku juga membaca kitab al-Ghadir karya Syaikh al-Amini dan kuulangi hingga tiga kali lantaran isinya yang sangat padat, tepat dan jelas sekali. Juga kitab Fadak karya Sayed Muhammad Baqir as-Sadr dan kitab as-Saqifah karya Syaikh Muhammad Ridha al-Muzaffar. Dari dua buku ini aku temukan berbagai jawaban yang sangat memuaskan. Juga kubaca kitab an-Nas wal-Ijtihad yang menambah lagi keyakinanku. Kemudian kitab Abu Hurairah karya Syarafuddin, dan Syaikh al-Mudhirah karya Syaikh Mahmud Abu Rayyah al-Mishri. Dari sana baru aku ketahui bahwa sahabat yang melakukan perobahan setelah zaman Rasulullah ada dua bagian. Pertama, yang merobah hukum dengan kekuasaan yang dimilikinya; kedua, yang merobah hukum dengan meletakkan berbagai hadis palsu yang dinisbahkan kepada Rasul SAWW.
Kemudian kubaca kitab al-lmam as-Shadiq Wal Mazahib al-Arba’ah karya Asad Haidar. Dari sana kukenal perbedaan antara ilmu mauhub (yang dikaruniakan) dan ilmu maksub (yang dipelajari). Dari situ juga aku baru tahu perbedaan antara Hikmah yang Allah berikan kepada orang yang Dia kehendaki, dan sikap berlagak berilmu dan berijtihad dengan pendapat pribadi yang menjauhkan ummat ini dari jiwa Islam yang sebenarnya.
Kubaca juga berbagai buku karya Sayed Ja’far Murtadha al-A’mili, Sayed Murtadha al-Askari, Sayed al-Khui, Sayed Thabatabai, Syaikh Muhammad Amin Zainuddin, Fairuz Abadi, karya Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili dalam bukunya Syarh Nahjul Balaghah, Taha Husain dalam bukunya al-Fitnah al-Kubro.Dari buku sejarah kubaca kitab Tarikh at-Thabari, Tarikh Ibnul Atsir, Tarikh al-Masu’di dan Tarikh al-Ya’qubi. Dan banyak lagi buku-buku lain yang kubaca sehingga aku merasa betul-betul puas bahwa Syi’ah Imamiah ini adalah yang benar. Dari situ kemudian aku mulai menjadi pengikut mazhab Syi’ah, dan dengan berkat Allah kuikuti bahtera Ahlul Bait serta kupegang erat-erat tali wila’ mereka. Karena kudapati Alhamdulillah, merekalah sebagai alternatif dari sebagian sahabat yang terbukti bagiku telah berbalik, dan tiada yang selamat melainkan sekelompok kecil saja. Kini aku menggantikan mereka dengan Ahlul Bait Nabi yang telah Allah bersihkan mereka dari segala dosa dan Dia sucikan mereka dengan sesuci-sucinya, bahkan diwajibkan kepada seluruh ummat manusia untuk mencintai mereka.
Syi’ah bukan seperti yang didakwa oleh sebagian ulama kita sebagai orang-orang Parsi dan Majusi yang dihancurkan oleh Sayyidina Umar di dalam peperangan al-Qadisiah dahulu. (Karena itu mereka benci kepada Umar!).
Aku katakan kepada mereka bahwa Syi’ah Ahlul Bait tidak hanya terbatas pada orang-orang Parsi saja. Syi’ah juga ada di Irak, Hijaz (Saudi Arabia), Syria dan Lebanon. Mereka adalah orang-orang Arab. Syi’ah juga ada di Pakistan, India, Afrika dan Amerika. Mereka bukan dari bangsa Parsi atau bangsa Arab. Apabila kita batasi Syi’ah hanya pada Iran saja maka alasan kita akan lebih kuat lagi. Mengingat mereka mempercayai dua belas imam yang kesemuanya adalah orang-orang Arab dari suku Quraisy, dari keluarga bani Hasyim keluarga Nabi SAWW. Apabila orang-orang Parsi bersikap fanatik dan benci pada orang-orang Arab seperti yang diklaim oleh sebagian orang, maka tentu mereka akan menjadikan Salman al-Farisi sebagai imam mereka. Sebab beliau berbangsa Parsi dan seorang sahabat yang sangat agung serta ketokohannya diakui oleh Sunnah dan Syi’ah.
Sementara pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah, kuperhatikan, kepemimpinan mereka berakhir pada keturunan Parsi. Mayoritas imam mereka berbangsa Parsi, seperti Abu Hanifah, Imam Nasa-i, Turmuzi, Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, ar-Razi, Imam al-Ghazali, Ibnu Sina, al-Farabi dan masih banyak lagi. Jika Syi’ah berasal dari Parsi, lalu mereka benci kepada Umar yang telah menghancurkan keagungan mereka dahulu, maka bagaimana kita akan tafsirkan orang-orang Syi’ah Arab atau non-Parsi lain yang menolak Umar? Itulah contoh suatu dalih tanpa alasan yang kuat. Penolakan Syi’ah terhadap Umar adalah lantaran peranannya dalam menyingkirkan Imam Ali, Amir al-Mukminin dan Sayyidil Wasiyyin dari jabatan Khilafah setelah wafatnya Rasul SAWW. Di samping fitnah dan berbagai malapetaka lain yang menimpa ummat ini akibatnya. Bagi seorang peneliti yang objektif dan rasional, memang dia akan mengambil sikap sedemikian jika tabir sejarah yang menutupinya terungkap, tanpa perlu memiliki rasa permusuhan sebelumnya.
Yang benar adalah orang-orang Syi’ah baik yang berbangsa Parsi, Arab atau lainnya, mereka tunduk pada nas-nas AlQuran dan Hadis Nabawi. Mereka patuh setia dan ikut para imam yang menunjukkan mereka jalan yang lurus. Mereka tidak rela pada selain para imam, walaupun sepanjang tujuh abad Bani Umaiyah dan Bani Abbasiah melakukan politik kotor dan bersikap kejam terhadap mereka hingga setiap pengikut mereka diburu dan dikejar-kejar. Mereka dibunuh, diusir, dilarang dari mendapatkan bagian dari Baitul Mal dan dilemparkan berbagai tuduhan yang menimbulkan rasa marah orang kepada mereka sampai hari ini.
Namun orang-orang Syi’ah tetap kukuh dengan pendirian mereka. Mereka bersabar dan memegang erat kebenaran yang dipercayainya tanpa memperdulikan cacian siapa pun. Dan nilai kekukuhan ini memang mereka nikmati hingga hari ini. Saya menantang siapa saja dari alim ulama kita yang berani duduk berdiskusi dengan para alim ulama mereka. Saya yakin usai diskusi mereka akan keluar sebagai orang yang memperoleh bimbingan Allah SWT.
Ya. Aku kini memang telah mendapatkan alternatif. Segala puji bagi Allah yang telah membimbingku ke jalan ini. Tanpa hidayah-Nya maka tidak mungkin aku akan mendapatkan petunjuk-Nya. Segala puji bagi Allah dan hanya kepada-Nya akubersyukur karena telah ditunjukkan-Nya padaku golong-an yang selamat yang sejak lama kucari dengan penuh semangat. Aku tidak ragu-ragu lagi bahwa mereka yang berpegang kepada Ali dan Ahlul Baitnya berarti telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus selama-lamanya. Bukti-bukti dari nas Nabi yang disepakati oleh semua kaum muslimin berjumlah cukup banyak. Dan akal saja sebenarnya sudah cukup sebagai bukti bagi orang yang benar-benar bijak dan teliti. Ijma’ ummat mengatakan bahwa Ali adalah sahabat yang paling berilmu dan paling berani. Dua ini saja sudah cukup sebagai bukti akan keutamaan Ali dibandingkan dengan orang lain atas jabatan hak khilafah. Allah berfirman: “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui” (S. 2:247).
Rasulullah SAWW bersabda: “Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali. Dia adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku.”59
Imam Zamakhsyari berkata dalam syairnya:
Telah banyak keraguan dan perselisihan
Semua mengaku berada dalam jalan yang lurus
Kupegang erat-erat dengan Lailaha Illallah
Dan cintaku kepada Ahmad dan Ali
Telah selamat anjing lantaran cinta pada Penghuni Gua
Bagaimana aku akan celaka dengan cinta pada keluarga Nabi.
Alhamdulillah aku kini telah menemukan alternatif. Setelah Rasulullah aku mengikuti Amir al-Mukminin, pemim-pin orang-orang mukmin, singa Allah al-Ghalib al-Imam Ali bin Abi Thalib; juga kepada dua pemuka pemuda syurga, cahaya mata Nabi, al-Imam Abu Muhammad al-Hasan az-Zaki dan al-Imam Abu Abdillah al-Husain; juga kepada darah dagingnya Baginda Rasulullah, induk zuriat nubuwah, ibu seluruh imam, seseorang yang murkanya adalah murka Allah, marahnya adalah marah Allah, pemuka wanita alam semesta, Sayyidah Fatimah az-Zahra’ as.
Kini aku menggantikan Imam Malik dengan gurunya para Imam dan ummat secara keseluruhan, yakni Imam Ja’far as-Shodiq. Aku berpegang pada sembilan imam yang maksum dari zuriat Husain, imam-imamnya kaum muslimin dan wali-wali Allah as-Sholihin.
Aku juga telah menggantikan sahabat yang berpaling seperti Muawiyah, A’mar bin A’sh, Mughirah bin Syu’bah, Abu Hurairah, A’kramah dan Ka’bul Ahbar serta orang-orang yang sejenisnya dengan para sahabat yang bersyukur kepada Tuhannya dan yang tidak menginkari janji mereka kepada Nabi. Seperti Ammar bin Yasir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Ghaffari, Miqdad bin Aswad, Khuzaimah bin Thabit Zu Syahadatain, Ubai bin Ka’ab dan sejenisnya. Segala puji bagi Allah atas petunjukNya ini.
Aku juga telah menukar para ulama tempatku yang telah menjumudkan akal-akal kami dan yang kebanyakan mengi-kuti para penguasa di setiap zaman dengan ulama-ulama Syi’ah yang solihin, yang tidak pernah menutup pintu ijtihad, tidak pernah merasa hina atau meminta kasihan dari pemimpin-pemimpin yang zalim ini.
Ya, aku telah menukar alam pikiranku yang sempit dan percaya pada berbagai khurafat dan kontradiktif dengan alam pkiran yang cerah, terbuka, bebas dan percaya pada setiap dalil dan hujjah. Atau dengan kata lain, aku telah mencuci otakku dari daki-daki kesesatan Bani Umaiyah yang telah membekas sepanjang tiga puluh tahun, dan kini mensucikannya dengan akidah orang-orang yang maksum yang Allah bersihkan mereka dari segala dosa dan mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Ya Allah. Hidupkanlah kami di atas agama mereka. Matikanlah kami di atas sunnah mereka. Bangkitkanlah kami bersama-sama mereka. Karena Nabi-Mu bersabda, “Seseorang kelak akan dibangkitkan bersama orang yang dicintainya.”
Dengan demikian maka aku kini kembali lagi ke akar asalku. Ayah dan paman-pamanku dahulu pernah mengatakan kepada kami bahwa asal mulanya kami adalah dari golongan Sayed-Sayed yang lari dari Irak lantaran tekanan Bani Abbasiah. Kemudian meminta perlindungan di Afrika Utara sehingga akhirnya menetap di Tunisia yang sehingga kini masih meninggalkan bekas-bekas sejarah. Di Afrika Utara sendiri banyak kalangan yang berstatus Sayed atau dalam istilah mereka al-Asyraf lantaran tali keturunan dari silsilah Ahlul Bait yang suci. Namun mereka telah banyak yang tenggelam dalam kesesatan Bani Umaiyah atau Bani Abbasiah. Tiada tersisa dari mereka suatu kebenaran sedikitpun melainkan sikap hormat dan penuh takzim yang ditunjukkan orang banyak kepada mereka saja. Segala puji bagi Allah karena hidayah-Nya ini. Segala puji bagi Allah karena petunjuk-Nya kepadaku ini dan karena dibukakan-Nya mataku dan pemahamanku untuk mengetahui suatu kebenaran.
SEBAB-SEBAB IKUT MAZHAB AHLU BAIT
Banyak sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Ahlu Bait (Syi’ah). Dan tidak mungkin bagiku menyebutnya secara rinci di sini kecuali sebagiannya saja.
1. Nas Khilafah
Aku telah berjanji pada diriku ketika memasuki pembahasan ini untuk tidak berpegang pada sebarang dalil melainkan ia benar-benar dianggap shahih oleh kedua mazhab, dan mengabaikan setiap dalil yang hanya diriwayatkan oleh satu mazhab saja. Lalu aku mulai menelaah masalah perselisihan antara Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, apakah khilafah (kekhalifahan) pada dasarnya adalah hak Ali bila dilihat dari sisi nas seperti yang diklaim oleh mazhab Syi’ah, atau ia ditentukan oleh syura seperti yang dikatakan oleh mazhab Sunnah.
Seandainya mereka yang menelaah masalah ini benar-benar tulus untuk mencari sebuah kebenaran, mereka akan dapati bahwa nas yang mengatakan Ali sebagai khalifah adalah nas yang tak terbantahkan, seperti sabda Nabi SAWW: “Siapa yang menganggap aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah Ali sebagai maulanya”. Hadis ini beliau ucapkan sekembalinya beliau dari hajinya yang terakhir yang dikenal dengan hujjatul-wada’. Usai pengangkatan, berduyun-duyun orang datang mengucapkan tahniah atau selamat kepada Ali, termasuk Abu Bakar dan Umar sendiri. Mereka berkata: “Selamat untukmu wahai Putera Abu Thalib. Kini kau adalah maulaku dan maula setiap orang mukmin, laki-laki dan perempuan” 60
Hadis ini telah disepakati keabsahannya oleh Sunnah dan Syi’ah. Referensi yang kusebutkan dalam telaahku ini adalah referensi yang berasal dari Ahlu Sunnah saja. Itupun bukan semua. Karena yang semestinya adalah jauh lebih banyak dari apa yang kusebutkan. Agar dapat memperoleh dalil-dalil yang lebih rinci aku mengajak para pembaca untuk menelaah kitab Al-Ghadir karya al-Allamah al-Amini. Buku ini setebal tiga belas jilid. Dan penulisnya telah mendaftarkan nama para perawi hadis ini dari golongan Ahlu Sunnah cukup banyak.
Adapun ijma’ yang dinyatakan sebagai dasar dipilihnya Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’idah, lalu kemudian ia dibaiat di masjid adalah pernyataan yang tidak kokoh. Bagaimana hal itu bisa dikatakan sebagai ijma’ sementara sejumlah pemuka sahabat seperti Ali, Abbas dan anggota Bani Hasyim yang lain tidak ikut serta membaiatnya. Begitu juga Usamah bin Zaid, Zubair, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Ghaffari, Miqdad bin al-Aswad, Ammar bin Yasir, Huzaifah bin Yaman, Khuzaimah bin Thabit, Abu Buraidah al-Aslami, Barro’ bin Azib, Ubai bin Ka’ab, Sahal bin Hunaif, Sa’ad bin Ubadah, Qais bin Sa’ad, Abu Ayyub al-Anshori, Jabir bin Abdullah, Khalid bin Sa’ad dan lain sebagainya.61
Dimana ijma’ yang dikatakan itu wahai hamba-hamba Allah? Seandainya hanya Ali yang tidak membaiat, itu sudah cukup bukti tercelanya ijma’ seumpama itu. Hal ini karena beliau adalah satu-satunya calon khalifah yang ditunjuk oleh Rasul SAWW, seandainya kita tolak pengertian secara eksplisit nas-nas tentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Adalah fakta bahwa bai’at pada Abu Bakar terjadi tanpa syuro atau musyawarah. Bai’at itu diambil ketika orang-orang sekitarnya, terutama ahlul halli wal ‘aqdi, sedang bingung dan sibuk dalam mengurus jenazah Nabi SAWW. Saat itu penduduk kota Madinah sedang berkabung atas wafatnya Nabi mereka. Kemudian tiba-tiba dipaksa untuk membai’at sang khalifah.62 Hal ini dapat kita rasakan dari cara mereka mengancam untuk membakar rumah Fatimah apabila penghuni yang berada di dalamnya enggan memberikan baiat. Nah, bagaimana dapat kita katakan bahwa pemilihan sang khalifah tersebut terjadi secara musyawarah dan ijma’?
Umar sendiri pernah berkata bahwa bai’at yang diambil waktu itu adalah tergesa-gesa, dan Allah telah memelihara kaum muslimin dari kejahatannya. Beliau juga berkata bahwa siapa saja yang mengulangi cara bai’at seperti itu, ia mesti dibunuh, atau—paling tidak—bai’atnya tidak sah dan tidak diakui.
Imam Ali pernah berkata tentang haknya ini, yang antara lain: “Demi Allah, Ibnu Abi Qahafah (Abu Bakar) telah memakainya (hak khilafahku) sedangkan beliau tahu bahwa kedudukanku dengan khilafah ini bagaikan kedudukan kincir dengan roda” 64 (Nahjul Balaghah).
Sa’ad bin Ubadah pemuka kaum Anshar yang menyerang Abu Bakar dan Umar di hari Saqifah danberusaha mati-matian untuk mencegah mereka dari jabatan khilafah, namun tak mampu karena sakit dan tak dapat berdiri, pernah berkata setelah kaum Anshar membaia’t Abu Bakar: “Demi Allah, sekali-kali Aku tidak akan membai’at kalian sampailah kulemparkan anak-anak panahku dan kulumurkan tombakku serta kupukulkan pedangku dan kuperangi kalian bersama-sama keluarga dan kaumku. Demi Allah, seandainya manusia dan jin berkumpul untuk membai’at kalian niscaya aku tetap tidak akan memberikartnya, sampai aku berjumpa dengan Tuhanku.” Sa’ad bin Ubadah tidak shalat sama-sama mereka dan tidak ikut serta kumpul bersama mereka bahkan tidak mau haji bersama-sama mereka. Seandainya ada sekelompok orang yang mau memerangi mereka niscaya ia akan membantunya. Dan seandainya ada orang yang membaiatnya untuk memerangi mereka niscaya ia akan perangi. Begitulah sikap Sa’ad terhadap Abu Bakar sampai beliau wafat di Syam pada periode pemerintahan Umar.65
Apabila bai’at tersebut dilakukan secara tergesa-gesa dimana Allah telah pelihara kaum muslimin dari keburukannya, seperti yang disinyalir oleh Umar sendiri, arsitektur rencana ini dan tahu akibat yang akan diderita oleh kaum muslimin karenanya; dan apabila khilafah ini merupakan “pakaian” Abu Bakar saja, (seperti yang diibaratkan oleh Imam Ali karena dia bukan empunya yang sah); dan apabila bai’at ini diambil secara zalim seperti yang dikatakan oleh Sa’ad bin Ubadah, pemuka Anshar yang memisahkan diri dari jamaah karenanya; dan apabila bai’at ini tidak sah secara syareat meng-ingat sahabat-sahabat yang besar seperti Abbas paman Nabi tidak memberinya, lalu apa dasar dan alasan keabsahan khilafah Abu Bakar? Jawabnya: tidak ada alasan yang diberikan oleh kalangan Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Dengan demikian maka benarlah alasan dan hujjah Syi’ah dalam hal ini, karena nas tentang kekhalifahan Ali nyata ada dalam Ahlu Sunnah sendiri. Namun mereka telah menakwilkannya karena ingin memelihara “kemuliaan” sahabat. Tetapi bagi orang yang insaf dan adil, dia tidak akan memperoleh sebarang alasan kecuali harus menerima kenyataan nas ini; terutama apabila ia ketahui rangkaian peristiwa yang menyelubungi sejarah ini.66
2. Perselisihan antara Fatimah dan Abu Bakar
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunnah dan Syi’ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah, dan ia tidak bisa menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah menzalimi Penghulu Alam semesta ini. Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Siti Fatimah Zahra’ dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah tidak mempunyai alasan untuk berhujjah dengan nash-nash al-Ghadir dan lainnya akan keabsahan hak khilaf ah suaminya dan putra-pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib. Kami telah temukan bukti-bukti yang cukup kuat dalam hal ini.
Diantaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah Zahra’, (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan) pernah keluar mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka membantu dan membai’at Ali. Mereka menjawab: “Wahai putri Rasulullah, kami telah berikan bai’at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan putra pamanmu mendahului Abu Bakar niscaya kami tidak akan berpaling darinya.” Ali berkata: “Apakah aku harus tinggalkan Nabi di rumahnya dan tidak kuurus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan ini?” Fatimah menyahut, “Abul Hasan telah melakukan apa yang sepatutnya beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan sesuatu yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya.”67
Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru maka kata-kata Fatimah telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah masih tetap marah padanya dan tidak berbicara dengannya sampai beliau wafat. Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah dan tidak menerima kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya Fatimah murka pada Abu Bakar sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang dia wasiatkan pada suaminya Ali. Fatimah juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.68 Untuk pembuktian ini saya sendiri telah berangkat ke Madinah untuk memastikan kebenaran fakta sejarah ini. Di sana kudapati bahwa pusaranya memang masih tidak diketahui oleh siapa pun. Sebagian berkata ada di Kamar Nabi, dan sebagian lain berkata ada di rumahnya yang berhadapan dengan Kamar Nabi. Ada juga yang berpendapat bahwa pusaranya terletak di Baqi’, di tengah-tengah pusara keluarga Nabi yang lain. Tapi tiada satupun pendapat yang berani memastikan dimana letaknya.
Alhasil, aku berkesimpulan bahwa Fatimah Zahra’ sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah sampai memohon pada suaminya agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran lewat telaah-telaahnya yang intensif dalam bidang sejarah.
Aku juga mendapati bahwa penziarah yang ingin berziarah ke kuburan Utsman bin Affan terpaksa harus menempuh jalan yang cukup jauh agar bisa sampai ke sudut akhir dari wilayah tanah pekuburan Jannatul Baqi’. Di sana dia juga akan dapati bahwa kuburan Utsman berada persis di bawah sebuah dinding, sementara kebanyakan sahabat lain dikubur-kan di tempat yang berhampiran dengan pintu masuk Baqi’. Hatta Malik bin Anas, imam mazhab Maliki, seorang tabi’it-tabi’in (generasi keempat setelah Nabi) juga dikuburkan dekat dengan istri-istri Nabi.
Hal ini bagiku bertambah jelas apa yang dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Utsman dikuburkan di Hasy Kaukab, sebidang tanah milik seorang Yahudi. Pada mulanya kaum muslimin melarang jasad Utsman dikebumikan di Baqi’. Ketika Mua’wiyah menjabat sebagai khalifah dia beli tanah milik si Yahudi, kemudian memasukkannya sebagai bagian dari wilayah Baqi’, agar kuburan Utsman juga termasuk di dalamnya. Mereka yang ziarah ke Baqi’ pasti akan dapat melihat hakekat ini dengan jelas sekali.
Aku semakin heran ketika kuketahui bahwa Fatimah Zahra’ as adalah orang pertama yang menyusul kepergian ayahnya. Antara wafat Rasul dengan wafat Fatimah hanya dipisahkan selang waktu enam bulan saja. Demikian pendapat sebagian ahli sejarah. Tapi—anehnya—beliau tidak dikubur-kan di sisi ayahnya!!
Apabila Fatimah Zahra’ berwasiat agar dikebumikan secara rahasia, dan beliau tidak dikuburkan dekat dengan pusara ayahnya seperti yang disebutkan di atas, lalu apa pula gerangan yang terjadi dengan jenazah putranya Hasan yang tidak dikuburkan dekat dengan pusara datuknya Muhammad SAWW.? Ummul-mukminin Aisyah melarang jasad Hasan dikebumikan di sana. Ketika Husain datang untuk mengebumikan saudaranya Hasan di sisi pusara datuknya, Aisyah datang dengan menunggangi baghalnya sambil berteriak, “jangan kuburkan di rumahku orang yang tidak kusukai.” Bani Umaiah dan Bani Hasyim nyaris perang. Tetapi Imam Husain kemu-dian berkata bahwa dia hanya membawa jenazah saudaranya untuk “tabarruk” pada pusara datuknya, kemudian dikuburkan di Baqi’. Imam Hasan pernah berpesan agar jangan tertumpah setetes pun darah karenanya.
Dalam kontek ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah:
Kau tunggangi onta 69
Kau tunggangi baghal 70
Kalau kau terus hidup
kau akan tunggangi ga]ah
Sahammu kesembilan dari seperdelapan
tapi telah kau ambil semuanya
Ini adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua rumah Nabi sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas.
Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar—karenanya dia melarangnya dari Fatimah, lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam AlQuran suatu ayat yang memberikan hak waris pada istri tapi melarangnya dari anak perempuan? Ataukah politik yang telah merobah segala sesuatu sehingga anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si istri diberi segala sesuatu?
Saya akan membawakan suatu kisah yang diceritakan oleh sebagian ahli sejarah. Cerita ini ada kaitannya dengan hak pusaka ini.
Ibnu Abil-Hadid al-Mu’tazili dalambukunya Syarhu Nahjil Balaghah pernah berkata: “Suatu hari Aisyah dan Hafshah datang kepada Utsman pada periode pemerintahannya. Mereka minta agar pusaka Nabi tersebut diberikan kepada mereka. Sambil membetulkan cara duduknya, Utsman berkata kepada Aisyah:” Engkau bersama orang yang duduk ini pernah datang membawa seorang badui yang masih hadas menyaksikan Nabi SAWW bersabda: “Kami para Nabi tidak meninggalkan harta pusaka.” Jika memang benar bahwa Nabi tidak meninggalkan sebarang warisan, lalu apa yang kalian minta ini? Dan jika memang Nabi meninggalkan warisan pusaka, kenapa kalian larang haknya Fatimah? Lalu Aisyah keluar dari rumah Utsman sambil marah-marah dan berkata: “Bunuh si na’tsal. Sungguh, dia telah kufur.”71
3 Ali Lebih Utama untuk Diikuti
Di antara sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Syi’ah dan meninggalkan tradisi para leluhur adalah pertim-bangan akal dan naqal antara Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar.
Seperti yang kusebutkan pada halaman-halaman yang lalu bahwa aku sepenuhnya berpegang pada ijma’ yang disepakati oleh Ahlu Sunnah dan Syi’ah. Aku juga telah menelaah berbagai kitab dari dua mazhab ini. Di sana tidak kutemui sebuah ijma’ atau kesepakatan pendapat yang sempurna melainkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sunnah dan Syi’ah telah sepakat tentang keimamahannyasebagaimana yang dicatatkan dalam nas-nas berbagai kitab rujukan dua mazhab itu. Semen-tara tentang keimamahan (kepemimpinan) Abu Bakar hanya dikatakan oleh sekelompok tertentu kaum muslimin saja. Di atas telah kami sebutkan ucapan Umar tentang pembai’atan terhadap Abu Bakar.
Demikian juga tentang keutamaan dan keistimewaan Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Syi’ah di kitab-kitab mereka. Semua bersandar pada sanad dan otentisitas yang tak dapat digugat hatta oleh kitab-kitab Sunnah. Sebagaimana ia juga diriwayatkan melalui berbagai jalur yang tak dapat diragukan. Banyak sahabat telah meriwayatkan hadis berkenaan dengan keutamaan Ali ini, sehingga Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Tidak satupun dari sahabat Nabi yang memiliki keutamaan sebagaimana Ali bin Abi Thalib.” 72
Al-Qadhi Ismail dan an-Nasai serta Abu Ali an-Naisaburi berkata: “Tidak satupun hadis-hadis keutamaan sahabat yang diriwayatkan dengan isnad-isnad yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali” 73
Meskipun Bani Umaiyah telah memaksa setiap orang yang berada di Barat dan di Timur untuk mencaci, mengutuk, serta tidak menyebutnyebut tentang keutamaan Ali, bahkan mela-rang siapa pun untuk menggunakan namanya, bagaimanapun keutamaan-keutamaannya tetap memancar dan menguak ke permukaan. Imam Syafei berkata berkenaan dengan ini:
“Aku sungguh takjub akan seseorang yang karena dengki, musuh-musuhnya telah menyembunyikan keutamaannya; dan karena takut, para pecintanya tidak berani menyebut-nyebut namanya. Namun tetap saja keutamaannya tersebar dan memenuhi lembaran-lembaran buku. “
Berkenaan dengan Abu Bakar juga telah kutelaah dengan kritis dan teliti dari berbagai kitab dua mazhab ini. Namun kitab-kitab Sunnah yang menyebut tentang keutamaannya juga tidak dapat menyaingi keutamaan-keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib. Itupun diriwayatkan oleh putrinya Aisyah yang kita kenal bagaimana sikapnya terhadap Imam Ali, dimana beliau berusaha keras untuk menonjolkan ayahnya walau dengan menciptakan hadis-hadis sekalipun; atau diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, seorang yang terbilang jauh dengan Imam Ali. Abdullah bin Umar pernah menolak memberikan bai’at pada Imam Ali setelah semua kaum muslimin sepakat untuk mengangkatnya sebagai Imam. Dia pernah berkata bah-wa orang yang paling utama setelah Nabi adalah Abu Bakar kemudian Umar dan kemudian Utsman, lalu tiada seorang punyang lebih utama dari yang lainnya, semua adalah sama.”74 Yakni Abdullah bin Umar ingin mengatakan bahwa Imam Ali adalah manusia awam biasa yang tidak memiliki sebarang keutamaan. Aneh memang. Bagaimana Abdullah bin Umar dapat menyembunyikan dirinya dari fakta-fakta yang telah dinyatakan oleh para pemuka ummat bahwa tiada suatu hadispun berkenaan dengan sahabat yang diriwayatkan secara isnad yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib? Apakah Abdullah bin Umar tidak pernah mendengar satu keutamaan pun tentang diri Ali bin Abi Thalib? Demi Allah beliau pernah mendengarnya. Tetapi politik, ya politik, yang telah memutar belitkan segala kebenaran dan menciptakan berbagai keanehan.
Mereka yang meriwayatkan tentang keutamaan Abu Bakar antara lain adalah ‘Amr bin ‘Ash, Abu Hurairah, Urwah dan Akramah. Sejarah menyingkapkan bahwa mereka adalah lawan-lawan Ali dan pernah memeranginya. Baik dengan senjata atau menciptakan berbagai keutamaan untuk musuh-musuh dan lawan-lawannya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: ” Ali banyak mempunyai musuh. Mereka berupaya untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa mencelanya, namun mereka tidak menemukannya. Kemudian mereka cari seseorang yang pernah memeranginya lalu diciptakanlah keutamaan-keutamaannya.”75 Tapi Allah berfirman: ” Sebenarnya mereka merencanakan tipu-daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhhh mereka itu barang sebentar” (86:15,16 17)
Sungguh merupakan mukjizat Allah bahwa keutamaan-keutamaan Ali dapat terungkap atau mencuat keluar setelah enam abad serangkaian pemerintahan yang zalim menganiaya dirinya dan kaum kerabatnya. Dinasti Bani Abbas tidak kurang dari Bani Umaiyah dalam membenci, mendengki dan memperdaya kaum kerabat Nabi SAWW. sehingga Abu Faras al-Hamdani berkata :
Apa yang dilakukan oleh putra-putra Banu Harb terhadap
mereka
Walau sunguh dahsyat
Tapi tidaklah sedahsyat kezaliman yang kalian lakukan
Berapa banyak pelanggaran terhadap agama yang kalian
lakukan
Dan berapa banyak darah keluarga Rasulullah yang kalian
tumpahkan
Kalian mengaku sebagai pengikutnya
Sementara tangan kalian penuh berlumuran darah anak-anaknya yang suci
Setelah dalil-dalil itu semua dan setelah semua kekaburan menjadi terang maka biarlah Allah yang menjadi Hujjah Yang Unggul, dan manusia tidak lagi mempunyai alasan dihadapan-Nya.
Walaupun Abu Bakar adalah khalifah pertama dan mempunyai kekuasaan seperti yang kita ketahui; walaupun pemerintahan Umawiyah menyogokkan segala bonus dan upah kepada setiap orang yang meriwayatkan keutamaan Abu Bakar, Umar dan Utsman; walaupun riwayat-riwayat keutamaan Abu Bakar diciptakan begitu banyak dan memenuhi lembaran-lembaran buku; walaupun itu semua dilakukan namun ia tetap tak dapat menyamai hatta sepersepuluh dari keutamaan Ali.
Bahkan jika Anda teliti “hadis-hadis” tentang keutamaan Abu Bakar, Anda akan dapati bahwa ia tidak sejalan dengan apa yang dicatat oleh sejarah tentang berbagai tindakannya. Bukan saja ia bertentangan dengan apa yang dikatakan dalam “hadis” itu bahkan juga bertentangan dengan akal dan syara’. Dan ini telah kami jelaskan ketika membicarakan hadis yang bermaksud: “Seandainya iman Abu Bakar ditimbang dengan imannya ummatku maka iman Abu Bakar akan lebih berat”. Seandainya Rasulullah SAWW tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian hebatnya maka beliau tidak akan meletakkannya di bawah pimpinan komandan pasukan seperti Usamah bin Zeid; dan beliau juga tidak akan enggan untuk memberikan kesaksian padanya sebagaimana yang pernah beliau berikan kepada para syuhada’ di Uhud. Nabi pernah berkata kepadanya: “Sungguh aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan sepeninggalku kelak”, sampai Abu Bakar menangis.76 Nabi juga tidak akan mengutus Ali bin Abi Thalib untuk mengambil surah Baraah yang telah diberikannya kepada Abu Bakar dan melarangnya membaca-kannya.77 Beliau juga tidak akan berkata pada hari pemberian panji dalam peperangan Khaibar: “Akan kuberikan panjiku ini esok kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia senantiasa akan maju dan tidak pernah akan berundur sedikitpun. Sungguh Allah telah menguji hatinya dengan iman. “Kemudian Nabi memberikannya pada Ali dan tidak memberikannya kepada Abu Bakar.”78
Seandainya Allah tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian tingginya hingga melebihi iman seluruh ummat Muhammad SAWW maka Allah tidak akan pernah mengancamnya untuk menggugurkan amal-amalnya ketika beliau mengangkat suaranya lebih dari suara Nabi.79 Seandainya Ali dan sahabat-sahabatnya tahu bahwa Abu Bakar memiliki keimanan yang demikian tinggi maka mereka tidak punya alasan untuk menolak memberikan bai’at kepadanya. Seandainya Fatimah Zahra’, penghulu seluruh wanita, mengetahui ketinggian derajat imannya Abu Bakar maka dia tidak akan pernah marah kepadanya dan tidak akan enggan berbicara dengannya atau menjawab salamnya dan berdo’a untuk kecelakaannya pada akhir setiap sholatnya,80 atau tidak mengizinkannya (seperti yang diwasiatkannya) hadir dalam pemakaman jenazahnya. Seandainya Abu Bakar sendiri tahu tentang ketinggian imannya maka beliau tidak akan mendobrak rumah Fatimah Zahro’ walau mereka telah menutupnya sebagai tanda protes. Abu Bakar juga tidak akan membakar al-Fujaah al-Salami dan akan menyerahkan kepada Umar atau Abu Ubaidah perkara khalifah pada hari Saqifah itu.81
Seorang yang mempunyai derajat iman sedemikian tinggi dan lebih berat dari iman seluruh ummat yang ada tentu tidak akan pernah menyesal di akhir-akhir hayatnya atas sikapnya terhadap Fatimah, tindakannya yang membakar al-Fujaah al-Salami serta kekhalifahan yang dipegangnya. Sebagaimana dia juga tidak akan pernah berangan-angan untuk tidak menjadi manusia, dan ingin sekadar menjadi sehelai rambut atau kotoran hewan. Apakah iman orang seperti ini setaraf dengan iman seluruh ummat Islam bahkan lebih berat?
Jika kita teliti hadis yang bermaksud: “Seandainya aku harus mengambil seorang sahabat (khalil) maka akan kuambil Abu Bakar sebagai khalilku”, hadis ini serupa dengan hadis sebelumnya. Di mana Abu Bakar pada hari persaudaraan-terbatas (Muakhoh-sughro) di Mekah sebelum Hijrah; dan pada hari persaudaraan-besar (Muakhoh-kubro) di Madinah setelah Hijrah. Dalam dua peristiwa ini, Nabi hanya menjadikan Ali sebagai saudaranya, sampai beliau berkata: “Engkau adalah saudaraku di Dunia dan di Akherat. “82 Nabi tidak menoleh kepada Abu Bakar dan enggan mengikat tali persaudaraan dengannya, baik untuk dunia ataupun akherat.
Saya tidak bermaksud untuk menjelaskan permasalahan ini dengan lebih panjang. Saya cukupkan dengan dua contoh di atas yang saya kutip dari sejumlah referensi Ahlu Sunnah sendiri. Adapun mazhab Syi’ah memang mereka telah menolak kesahehan hadis ini. Mereka mengatakan—dengan alasan yang sangat kuat—bahwa ia diciptakan tidak lama setelah wafatnya Abu Bakar.
Jika kita tinggalkan sifat-sifat utama Ali dan meneliti kemungkinan dosa yang pernah dilakukannya, maka kita tidak akan menemukan satu dosa pun yang pernah dilakukan Ali bin Abi Thalib yang tercatat dalam buku dua mazhab ini. Namun dalam masa yang sama kita akan temukan dari orang-orang lain yang melakukan perbuatan-perbuatan dosa yang tidak sedikit. Hal ini bisa kita temukan dalam berbagai buku Ahli Sunnah, seperti buku-buku hadis, buku sirah dan dan sejarah.
Ini berarti bahwa ijma’ dua mazhab ini berimplikasi bahwa hanya Ali sajalah yang tidak terbukti melakukan sebarang dosa, sebagaimana sejarah juga menegaskan bahwa bai’at yang pernah diberikan secara benar hanya bai’at yang diberikan kepada Ali semata-mata. Ali enggan menerima jabatan khali-fah, namun dipaksa oleh Muhajirin dan Anshar. Beliau juga tidak memaksa orang yang enggan memberikan bai’at padanya. Sementara bai’at Abu Bakar dilakukan sangat tergesa-gesa dimana Allah telah pelihara kaum muslimin dari keburukannya, seperti yang diistilahkan oleh Umar. Kekuasaan Umar diperoleh berdasarkan penobatan yang diberikan oleh Abu Bakar kepadanya, sementara pengangkatan Utsman sebagai khalifah terjadi secara menggelikan. Lihatlah, Umar menominasi enam orang sebagai calon khalifah dan mewajibkan mereka memilih satu di antaranya. Beliau berkata, apabila empat orang sepakat dan dua orang yang lain menentang, bunuh yang dua. Apabila enam orang ini berpecah tiga tiga dan membentuk dua kelompok, maka pilihlah pendapat kelompok yang di dalamnya ada Abdurrahman bin A’uf. Apabila waktu telah berakhir sementara mereka belum sepakat menemukan sang “khalifah” maka bunuh saja mereka semua. Ceritanya panjang dan aneh sekali.
Alhasil, Abdurrahman bin A’uf mula-mula memilih Ali dengan syarat beliau memerintah berdasarkan pada Kitab Allah, Sunnah Nabi dan Sunnah Syaikhain, yakni Sunnah Abu Bakar dan Umar. Ali menolak syarat ini dan Utsman meneri-manya. Maka jadilah Utsman sebagai khalifah. Ali keluar dari majlis itu, dan beliau sejak awal sudah tahu hasil yang akan keluar. Hal ini pernah diucapkannya dalam khutbahnya yang terkenal dengan nama Khutbah as-Syiqsyiqiyah.
Setelah Ali, Muawiyah yang ‘memegang’ jabatan khalifah. Di tangannya sistem khilafah telah diganti dengan sistem monarki dan dinasti kekaisaran yang berpindah-tangan dari generasi ke generasi Banu Umaiyah. Kemudian berpindah pula ke tangan Bani Abbasiah.
Khalifah berikutnya hanya dipilih dengan ketentuan sang khalifah atau dengan kekuatan pedang atau penggulingan. Sistem bai’at yang paling benar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam, sejak zaman para khulafa’ hingga ke zaman Kamal Ataturk yang telah menghapus sistem kekhalifahan, hanya bai’ah yang pernah diberikan kepada Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib saja.
HADIS-HADIS SEPUTAR ALI MENYIRAT ARTI WAJIB IKUT
Di antara hadis-hadis yang mengikatku dan mendorongku untuk ikut Imam Ali adalah hadis yang diriwayatkan dalam berbagai Kitab Saheh Ahlu Sunnah sendiri. Dalam mazhab Syi’ah mereka juga memiliki hadis-hadis serupa itu berlipat-ganda. Namun saya—seperti biasa—tidak akan berhujah dan berpegang kecuali kepada hadis-hadis yang telah disepakati oleh kedua mazhab. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:
1. Hadis berikut:
“Aku kota ilmu dan Ali gerbangnya.” 83
Hadis ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menentukan siapa teladan yang mesti diikuti setelah Nabi SAWW. Mengingat orang yang berilmu adalah lebih utama untuk diikuti dibandingkan dengan orang yang jahil. Allah berfirman: “Katakanlah apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” Dan firman-Nya: “Apakah seseorang yang menunjukkanmu kepada kebenaran lebih utama untuk diikuti ataukah orang yang tidak membimbingmu kecuali ia perlu dibimbing. Maka bagaimana kalian membuat keputusan”? Jelas bahwa orang alimlah yang tahu membimbing sementara orang jahil perlu mendapatkan bimbingan, bahkan ia perlu bimbingan lebih dari orang lain.
Dalam hal ini sejarah telah mencatatkan kepada kita bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling alim tanpa sedikitpun bantahan. Dahulunya para sahabat merujuk Ali dalam perkara-perkara yang pokok yang tidak dapat mereka selesaikan. Dan kita tidak pernah menemukan yang Ali pernah merujuk mereka walau satu kali sekalipun. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar: “Semoga Allah tidak menetapkanku di suatu tempat yang ada masalah kalau Abu Hasan (Ali) tidak hadir di sana.” Umar berkata: “Kalaulah Ali tiada maka celakalah Umar.” 84 Ibnu Abbas berkata: “Apalah ilmuku dan ilmu sahabat-sahabat Muhammad dibandingkan dengan ilmu Ali. Perbandingannya bagaikan setetes air dengan tujuh samudera.”
Imam Ali sendiri berkata: “Tanyalah aku sebelum kalian kehilanganku. Demi Allah, tiada soalan yang kalian hadapkan padaku sampai hari kiamat kecuali aku beritahu kalian apa jawabannya. Tanyakan kepadaku tentang Kitab Allah. Demi Allah, tiada suatu ayatpun kecuali aku tahu dimana ia diturunkan; di waktu malam atau siang, di tempat yang datar atau di pegunungan.”85
Sedangkan Abu Bakar ketika ditanya makna Abban dari firman Allah: wa fakihatan wa abban, beliau berkata: “Langit mana yang dapat melindungiku, bumi mana yang dapat kujadikan tempat berpijak daripada berkata sesuatu di dalam Kitab Allah apa yang tidak kuketahui.”
Umar bin Khattab pernah berkata: “Semua orang lebih faqih dari Umar, hatta wanita-wanita.” Ketika beliau ditanya tentang suatu ayat dalam Kitab Allah, beliau marah sekali pada orang yang bertanya itu, lalu memukulnya dengan cambuk sampai melukainya. Katanya: “Jangan kalian tanya tentang sesuatu yang jika nampak kepada kalian, maka kalian akan terasa tidak enak.”85 Sebenarnya beliau ditanya tentang makna Kalalah, tapi tak tahu menjawabnya.
Di dalam tafsirnya, Thabari meriwayatkan dari Umar yang berkata: “Seandainya aku tahu apa makna kaldah maka itu lebih kusukai daripada memiliki seperti istana-istana Syam.”
Ibnu Majah dalam Sunannya meriwayatkan dari Umar bin Khattab yang berkata: “Tiga hal yang apabila Rasulullah SAWW telah menjelaskannya maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya: al-Kalalah, ar-Riba dan al-Khilafah.
Subhanallah! Mustahil Rasulullah diam dan tidak menjelaskan perkara-perkara itu.
2. Hadis berikut:
“Hai Ali, kedudukanmu di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.
Hadis ini seperti yang dipahami oleh orang-orang yang berakal sehat menyirat makna keutamaan dan kekhasan amir al-Mukminin Ali di dalam menyandang kedudukan wazir, washi dan khalifah, sebagaimana Harun yang menjadi wazir, washi dan khalifahnya Musa ketika beliau berangkat menemui Tuhannya. la juga menyirat arti bahwa kedudukan Imam Ali adalah umpama kedudukan Harun as. Kedua mereka memiliki kemiripan, melainkan kenabian saja seperti yang dikecualikan oleh hadis itu sendiri. la juga berarti bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling utama dan paling mulia setelah Nabi SAWW itu sendiri.
3. Hadis berikut:
“Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Alilah pemimpinnya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila’nya, dan musuhilah mereka yang memusuhinya. Jayakanlah mereka yang menjayakannya, dan hinakanlah mereka yang menghinakannya, liputilah haq bersamanya dimanapun dia berada.”
Hadis ini saja sudah cukup untuk menolak dugaan orang yang mengutamakan Abu Bakar, Umar dan Utsman atas seseorang yang telah dilantik oleh Rasulullah SAWW sebagai pemimpin kaum mukmin setelahnya. Mereka yang mentakwilkan kalimat maula dalam hadis ini dengan arti sebagai pecinta dan pembantu semata-mata karena ingin memalingkan arti yang sebenarnya dengan alasan ingin memelihara kemuliaan para sahabat. Karena ketika Nabi SAWW menyampaikan pesannya ini beliau berkhutbah dalam keadaan matahari panas terik. Katanya: “Bukankah kalian menyaksikan bahwa aku adalah lebih utama dari orang-orang mukminin atas diri mereka sendiri?” Mereka menjawab: ya, wahai Rasulullah. Kemudian beliau melanjutkan: “Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah Ali maulanya…”
Nas ini sangat jelas dalam melantik Ali sebagai khalifah untuk ummatnya. Orang yang berakal, adil dan insaf tak dapat menolak pengertian maksud hadis ini lalu menerima takwilan yang direka oleh sebagian orang demi menjaga kemuliaan sahabat dengan mengorbankan kemuliaan Rasul SAWW. Karena dengan demikian ia telah meremehkan dan mencela kebijaksanaan Rasul yang telah menghimpun ribuan manusia dalam keadaan cuaca yang sangat terik dan panas hanya semata-mata karena ingin mengatakan bahwa Ali adalah pecinta kaum mukminin dan pembela mereka. Bagaimana mereka akan menafsirkan ucapan selamat yang diberikan oleh barisan orang-orang mukminin kepada Ali setelah pelantikan itu, yang sengaja diciptakan oleh Nabi SAWW? Pertama-tama yang mengucapkannya adalah para istri Nabi, kemudain Abu Bakar dan menyusul Umar yang berkata: “Selamat, selamat untukmu wahai putra Abu Thalib. Kini kau adalah pemimpin orang-orang mukminin, laki-laki atau perempuan.”
Fakta sejarah juga telah menyaksikan bahwa mereka yang mentakwil adalah orang-orang yang berdusta. Celakalah apa yang mereka tulis dengan tangan mereka. Firman Allah: “Dan sesungguhnya sebagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui” (al-Baqarah: 146)
4. Hadis berikut:
“Ali dariku dan aku dari Ali. Tiada siapa yang mewakili tugasku kecuali aku sendiri atau Ali “S7
Hadis ini juga dengan jelas menyatakan bahwa Imam Ali adalah satu-satunya orang yang diberikan kepercayaan oleh Nabi untuk mewakili tugasnya. Nabi nyatakan ini ketika beliau mengutusnya untuk mengambil dan membacakan surah al-Baraah yang pada mulanya diserahkan pada Abu Bakar. Abu Bakar kembali dan menangis. Katanya, “Duhai Rasulullah, apakah ada ayat turun berkenaan denganku?” Rasulullah menjawab: “Allah hanya menyuruhku atau Ali saja yang melaksanakan tugas ini.”
Hadis ini juga mendukung sabda Nabi yang lain kepada Ali: “Engkau hai Ali, menjelaskan kepada ummatku apa yang mereka perselisihkan setelah ketiadaanku.”88
Jika tiada orang yang diberikan kepercayaan oleh Rasulullah kecuali Ali, dan Alilah yang paling layak untuk menjelaskan kepada ummat ini segala permasalahan yang dihadapi, maka kenapa orang yang tidak tahu akan makna kalimat abbaa dan kalimat kalalah mengambil alih haknya? Sungguh ini adalah musibah besar yang menimpa ummat ini, dan yang menghalanginya dari menjalankan tugas penting yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Telah cukup hujjah dan alasan dari Allah, dari RasulNya dan dari Amir al-Mukminin. Mereka yang ingkar dan tidak patuh kelak harus mengajukan alasan di hadapan Allah SWT. Allah berfirman: “Apabila dikatakan kepada mereka: marilah mengikuti apa yang ditunmkan oleh Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab: cukuplah untukkami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidakpula menda-pat petunjuk.” (al-Maidah:104)
5. Hadis berikut:
Bersabda Nabi SAWW sambil menunjuk kepada Ali:
“Sesungguhnya ini adalah saudaraku, washiku dan khalifahku setelahku. Maka dengarlah dan taatilah dia.”89
Hadis ini juga terbilang di antara hadis-hadis shahih yang dinukil oleh para ahli sejarah ketika bercerita tentang peristiwa pertama yang terjadi pada masa periode awal dari era kebangkitan Nabi SAWW. Mereka menganggap hadis ini sebagai bagian dari mukjizat Nabi SAWW. Namun politik telah merobah dan memalsukan kebenaran-kebenaran dan fakta-faktanya. Tidak aneh memang. Karena apa yang pernah terjadi di zaman kegelapan tersebut kini berulang lagi di zaman sekarang. Lihatlah Muhammad Husain Haikal. Beliau telah mencatat hadis ini secara sempurna dalam kitabnya “Riwayat Hidup Muhammad halaman 104, cetakan pertama tahun 1354 H. Tetapi dalam cetakan kedua dan seterusnya sebagian dari isi hadis nabawi ini, yakni kalimat “washiku dan khalifahku setelahku” dihapus dan digunting. Mereka juga telah menghapus dari kitab Tafsir Thabari jilid 19 halaman 121 bagian dari sabda Nabi berikut “Washiku dan khalifahku”, dan menggantinya dengan kalimat “Inilah saudaraku dan beginidan begitu…”!! Mereka lalai bahwa Thabari telah menyebutnya secara sempurna dalam kitab sejarahnya jilid ke 2 pada halaman 319. Lihatlah betapa mereka telah robah kalimat dari tempatnya yang asal dan memutar-balikkan fakta-fakta. Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, dan Allah tetap akan menyalakan cahaya-Nya…
Ketika aku masih menelaah dan mengkaji, aku ingin menyaksikan dengan mataku sendiri segala apa yang telah terjadi. Aku cari buku Riwayat Hidup Muhammad cetakan pertama. Akhirnya kujumpai juga setelah mengarungi berbagai liku-liku yang sulit dan melelahkan. Alhamdulillah atas semua ini. Yang penting aku telah saksikan sendiri perobahan itu. Aku tambah yakin bahwa tangan-tangan jahat berupaya dengan segala usaha untuk menghapuskan kebenaran-kebenaran yang memang telah terbukti ada. Karena mereka menganggap bahwa ini adalah dalil kuatyang akan digunakan oleh “musuhnya”!
Tetapi bagi seorang peneliti yang adil akan merasa bertambah yakin ketika menyaksikan perobahan seumpama ini. Tanpa ragu-ragu dia akanberkata bahwa pihak kedua yang enggan menerima dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak memiliki alasan yang kuat. Mereka hanya melakukan makar dan tipu muslihat serta memutar balik fakta walau dengan membayar mahal sekalipun. Mereka telah mengupah penulis-penulis tertentu dan mengulurkan kepada mereka berbagai kekayaan, gelar dan ijazah-ijazah perguruan tinggi yang palsu, agar dapat menuliskan segala sesuatu yang mereka inginkan baik buku atau makalah-makalah tertentu. Yang penting tulisan itu mencaci Syi’ah dan mengkafirkan mereka, serta membela dengan segala upaya (walau itu batil) “kemuliaan” sebagian sahabat yang telah belok dari kebenaran dan yang telah merobah hak menjadi batil sepeninggal Rasul SAWW. Firman Allah: “Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah jelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (al-Baqarah: 118) Maha Benar Allah Yang Maha Agung.

HADIS-HADIS SHAHIH YANG MEWAJIBKAN IKUT AHLUL BAIT
1. HADIS TSAQALAIN
Bersabda Rasulullah SAWW: “Wahai manusia, telah kutinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang padanya, maka kalian tidak akan tersesaf selama-lamanya: Kitab Allah dan itrah ahlu baitku.”
Sabdanya lagi: “Utusan Tuhanku tidak lama lagi akan datang, dan aku segera menyahutinya. Sungguh, kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan yang berat (Tsaqalain): pertama Kitab Allah. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Kedua: ahlu baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku ini, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku ini.”90
Jika kita renungkan makna hadis mulia yang diriwayatkan oleh buku-buku hadis shohih Ahlu Sunnah wal Jamaah ini, maka kita dapati bahwa hanya Syi’ah saja yang mengikuti Tsaqalain ini: Kitab Allah dan keluarga Nabi yang suci. Semen-tara Ahlu Sunnah ikut kata-kata Umar: “Cukup bagi kita Kitab Allah saja”.
Oh, alangkah bahagianya jika mereka benar-benar ikut Kitab Allah, tanpa menakwilkannya mengikut hawa nafsu mereka. Jika Umar sendiri tidak paham apa makna Kalalah, tidak tahu ayat tayammum dan berbagai hukum-hukum yang lain, maka bagaimana mereka yang datang kemudian lalu mentaklidnya tanpa berijtihad, atau berijtihad dengan pandangannya semata-mata di dalam nas-nas Qurani.
Mereka tentu akan menjawabku dengan suatu hadis yang diriwayatkan di sisi mereka: “Kutinggalkan kepada kalian Kitab Allah dan Sunnahku” 91
Hadis ini kalaulah shahih dari segi sanadnya, maka ia menyirat makna hadis Tsaqalain di atas di mana kaum muslimin diperintahkan untuk merujuk kepada Ahlu Bait yang mengajarkan sunnah, atau meriwayatkan hadis-hadis yang shahih, mengingat mereka adalah orang-orang suci dari segala sifat dusta dan Allah telah mensucikan mereka dengan ayat Tathir-Nya. Tambahan lagi agar mereka menafsirkan kepada kalian makna-makna ayat dan maksud-maksudnya, mengingat kitab Allah semata-mata tidak cukup sebagai bimbingan. Betapa banyak golongan yang sesat berdalil dengan kitab Allah. Sebagaimana juga sabda Nabi SAWW:” Berapa banyak pembaca AlQuran sementara AlQuran sendiri melaknatnya.” Kitab Allah bersifat diam dan membawa berbagai kemungkinan tafsiran. Di dalamnya ada yang mutasyabih dan ada juga yang muhkamat. Untuk memahaminya mesti merujuk kepada orang-orang yang rusukh—ikut istilah AlQuran—atau yang sangat dalam ilmunya, dan ikut bimbingan Ahlu Bait Nabi seperti yang ada di dalam hadis-hadis Nabi SAWW.
Syi’ah merujukkan segala sesuatunya kepada para imam yang maksum dari kalangan keluarga Nabi SAWW. Dan mereka tidak berijtihad melainkan jika memang tidak ada nas berkenaan dengannya. Sementara kita merujukkan segala sesua-tunya kepada sahabat, baik dalam tafsir AlQuran atau Sunnah Nabawi. Kita telah tahu sikap-sikap sahabat, apa yang mereka kerjakan dan ijtihadkan dengan menggunakan pandangan mereka semata-mata yang bertentangan dengan nas-nas yang jelas. Jumlahnya ratusan. Dan kita tidak bisa berpegang kepada seumpama itu setelah kita ketahui apa yang mereka lakukan.
Jika kita tanyakan para ulama kita sunnah apa yang mereka ikuti mereka akan menjawab: Sunnah Rasulullah SAWW. Sementara fakta sejarah mengingkari kenyataan itu. Mereka meriwayatkanbahwa Rasulullah SAWWbersabda: “Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah para khukfa’ Rasyidin setelahku. Peganglnh ia sedemikian kuat bagaikan kalian menggigitnya dengan gigi-gigi geraham kalian.” Dengan demikian, sunnah yang diikuti kebanyakannya adalah sunnah para khulafa’ Rasyidin, hatta sunnah Rasul yang mereka katakan itu adalah riwayat dari jalur mereka.
Kita juga menyaksikan di dalam sejumlah kitab hadis shahih bahwa Rasul pernah melarang mereka menuliskan sunnahnya agar kelak tidak bercampur dengan ayat-ayat AlQiiran. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar ketika mereka memerintah. Dengan demikian kata-kata“Kutinggalkan kepada kalian Sunnahku…”92 tidak mempunyai landasan yang kuat lagi.
Contoh-contoh yang saya sebutkan ini—dan yang tidak disebutkan jumlahnya jauh berlipatganda—sudah cukup untuk menolak keabsahan hadis ini. Hal ini karena sebagian dari sunnahnya Abu Bakar, Umar dan Utsman bertentangan dengan sunnahnya Nabi bahkan membatalkannya sama sekali seperti yang nampak jelas.
Contoh pertama yang bisa kita lihat adalah insident yang terjadi segera setelah wafatnya Nabi SAWW di mana Abbubakar memerangi orang-orang yang disebutnya sebagai “penahan” harta zakat.
Mengingat aku tidak mau berdalil dengan apa yang dikatakan oleh Syi’ah, maka aku serahkan saja kepada para pembaca yang ingin mencari kebenaran untuk menelitinya sendiri.
Sebagai perbandingan, saya catatkan di sini suatu cerita berkenaan dengan Rasulullah dan Tsa’labah. Suatu hari Tsa’labah memohon kepada Rasulullah agar mendoakannya biar dia menjadi kaya raya. Dia mendesak Rasulullah dan berjanji kepada Allah akan bersedekah apabila dia kaya kelak. Rasulullah mendoakannya dan Allahpun mengayakannya. Karena banyaknya onta dan kambing ternaknya, kota Madinah yang luas akhirnya terasa sempitbaginya. Dia pindah dari kota Madinah dan tidak lagi sempat menghadiri shalat Juma’t. Ketika Nabi mengutus para a’milin (pengumpul zakat) untuk mengambil zakat dari Tsa’labah, dia menolak untuk memberinya. Katanya, ini adalah upeti (jizyah) atau sejenisnya. Tetapi Nabi tidak memeranginya dan tidak juga memerintah-kan orang untuk memeranginya. Berkenaan dengan ini Allah turunkan ayat berikut: “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnyajika Allah memberikan sebagian dari kanmia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersede-kah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling. Dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (S. at-Taubah: 75-76)
Setelah ayat ini turun, Tsa’labah kemudian datang sambil menangis. Dia minta kepada Nabi untuk menerima zakatnya kembali. Tetapi Nabi enggan menerimanya, seperti yang dikatakan oleh riwayat.
Jika Abu Bakar dan Umar benar-benar mengikuti Sunnah Rasul, kenapa ia menyalahinya dalam tindakan ini dan menghalalkan darah kaum muslimin yang tak berdosa semata-mata karena alasan enggan memberikan zakat. Dari cerita Tsa’labah di atas yartg menginkari kewajiban zakat dan bahkan menganggapnya sebagai upeti, tidak ada lagi alasan untuk kita mempertahankan dan menjustifikasi kesalahan yang dilakukan oleh Abu Bakar atau mentakwilkannya. Nampaknya Abu Bakar dapat meyakinkan sahabatnya Umar untuk memerangi orang-orang ini, semata-mata karena khawatir sikap Malik bin Nuwairah dan kaumnya ini akan diketahui oleh negeri-negeri Islam yang lain, yang kemudian dapat menghidupkan kembali nas-nas al-Ghadir yang memilih Ali sebagai khalifah. Itulah kenapa Umar sangat gembira sekali untuk memerangi mereka, karena beliau sendirilah yang pernah mengancam untuk membunuh atau membakar orang-orang yang enggan memberikan bai’at di rumah Fatimah.
Peristiwa lain yang terjadi pada periode pertama kekuasaan Abu Bakar adalah perselisihannya dengan Umar bin Khattab, ketika beliau menakwilkan nas-nas AlQuran dan hadis-hadis Nabawi. Ringkas ceritanya, Khalid bin Walid membunuh Malik bin Nuwairah dan meniduri istrinya di malam itu juga. Umar berkata kepada Khalid: “Wahai musuh Allah, engkau telah bunuh seorang muslim dan meniduri istrinya. Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu.”94 Tetapi Abu Bakar membela Khalid dan berkata: “Biarkanlah wahai Umar. Khalid telah mentakwil kemudian tersalah. Tutup mulutmu dari Khalid.
Ini adalah musibah dan aib lain yang telah dilakukan oleh seorang sahabat besar yang sempat direkam oleh sejarah, sedemikian besar namanya sehingga kita menyebut namanya dengan penuh hormat dan takzim, seperti Saifullah al-Maslul, “Pedang Allah Yang Terhunus”!!!
Apa yang harus kukatakan tentang sahabat yang melakukan tindakan keji seperti ini: membunuh Malik bin Nuwairah, seorang sahabat agung, pemimpin Bani Tamim dan Bani Yarbu’; seorang yang dijadikan contoh dalam kemurahan dan keberanian. Para ahli sejarah telah mencatat bahwa Khalid membunuh Malik dan sahabat-sahabatnya setelah mereka meletakkan senjata dan shalatberjamaahbersamanya. Sebelum dibunuh mereka diikat dengan tali. Bersama mereka hadir juga Laila binti Minhal, istri Malik, seorang wanita yang sangat terkenal cantik. Khalid sangat terpikat dengan kecantikannya ini. Malik berkata kepada Khalid: wahai Khalid, bawa kami kepada Abu Bakar, biar dia yang memutuskan perkara kita ini. Abdullah bin Umar dan Abu Qatadah al-Anshori mendesak Khalid agar membawa mereka berjumpa dengan Abu Bakar. Tetapi ditolak. Katanya: Allah tidak akan mengampuniku jika aku tidak membunuhnya. Kemudian Malik melihat istrinya Laila dan berkata kepada Khalid: karena dia kemudian engkau membunuhku. Lalu Khalid menyuruh untuk memancung leher Malik, kemudian menawan istrinya Laila. Dan pada malam yang sama, Khalid pun menidurinya.95
Biarlah didalam melihat peristiwa yang terkenal ini kita nukilkan pengakuan Ustadz Haikal dalam kitabnya As-Shiddiq Abu Bakar. Di dalam bab Pendapat Umar Dan Hujjahnya Dalam Suatu Perkara,Haikal menulis:
“Adapun Umar, beliau adalah model dalam keadilan dan ketegasan. Beliau melihat bahwa Khalid telah melakukan kezaliman terhadap seorang muslim dan menikahi istrinya sebelum usai masa iddahnya. Dengan demikian ia tidak layak duduk sebagai pemimpin tertinggi sebuah pasukan, agar kasus yang sama tidak berulang dan bisa merusak kehidupan kaum muslimin serta merusak kedudukan mereka di mata orang-orang Arab.” Katanya lagi: “Khalid tidak boleh dibiarkan tanpa pengajaran atas apa yang dilakukannya terhadap Laila. Katakanlah Khalid mentakwil pada kasus Malik ini dan salah (alasan yang tidak dapat diterima oleh Umar) namun biarlah hukum hudud itu berjalan atas apa yang dilakukannya terhadap istrinya, Laila. Sebagai “Pedang Allah” dan sebagai pemimpin pasukan yang menentukan kemenangan, sangat tidak layak melakukan apa yang telah dia lakukan itu. Kalau tidak maka orang-orang seperti Khalid nantinya akan menyalahgunakan semua peraturan. Dan ini akan menjadi sebuah contoh yang sangat buruk bagi kaum muslimin di dalam menghormati Kitab Allah. Itulah kenapa Umar terus mendesak Abu Bakar sehingga Khalid dipangggil dan dimarahi.”96
Bolehkah kita bertanya kepada Ustaz Haikal dan para ulama seumpamanya yang berusaha menjaga “kemuliaan” sahabat, kenapa Abu Bakar tidak melaksanakan hukum hudud terhadap Khalid? Seandainya Umar—seperti yang dikatakan oleh Haikal—adalah model keadilan dan ketegasan, kenapa beliau puas dengan sekadar menyingkirkan Khalid dari kepemimpinan pasukan dan tidak melaksanakan hukum hudud terhadapnya, agar ia tidak menjadi contoh yang buruk yang akan dilemparkan kepada kaum muslimin di dalam menghormati Kitab Allah, seperti yang disebutkannya? Apakah mereka telah menghormati Kitab Allah dan melaksanakan hudud-hudud-Nya? Tidak sama sekali. Inilah korban politik dan korban permainan yang licik. la telah menciptakan berbagai keanehan dan memutar-belitkan berbagai kebenaran. Sebagaimana ia juga telah membuang nas-nas AlQuran sejauh-jauhnya.
Bolehkah kita bertanya kepada sebagian ulama kita yang menulis sejumlah kitab tentang bagaimana Rasulullah SAWW sangat marah pada Usamah yang datang mau menjamin seorang wanita ningrat yang telah mencuri. Nabi SAWW berkata: “Celaka engkau (wahai Usamah), apakah engkau akan memberi jaminan dalam huknm hudud Allah. Demi Allah, seandainya Fatimah mencuri akan kupotong tangannya. Orang-orang dahulu celaka lantaran mereka diam apabila kaum ningratnya yang mencuri; apabila golongan lemah yang mencuri maka mereka terapkan padanya hukum hudud.”
Bagaimana mereka bisa diam pada seseorang yang telah membunuh kaum muslimin yang tak berdosa, kemudian menikahi istrinya pada malam yang sama sementara dia masih menderita karena kematian sang suami. Belum puas sampai di sana. Mereka lalu berusaha mencari alasan untuk membenarkan tindakan Khalid dengan menciptakan berbagai kebohongan dan keutamaan-keutamaannya, sehingga menobatkan padanya gelar Pedang Allah Yang Terhunus.
Seorang teman yang terkenal dengan gelagatnya yang lucu berseloroh suatu hari di majlisku yang waktu itu tengah membahas keutamaan-keutamaan Khalid bin Walid. Kukatakan bahwa Khalid bin Walid adalah Pedang Allah Yang Terhunus. Sahabat itu menjawab: Saifus Syaithan al-Masylul, Dia adalah Pedang Syaitan Yang Berlumuran (darah). Aku agak tersentak ketika itu. Namun setelah mengkaji, akhirnya Allah bukakan pandanganku dan dikenalkannya aku pada mereka yang pernah memegang kekuasaan dan yang merobah hukum-hukum Allah, meliburkannya serta melampaui batas-batasnya.
Khalid bin Walid juga menyimpan cerita yang terkenal di zaman Nabi SAWW. Suatu hari Nabi mengutusnya pergi ke Bani Juzaimah agar menyeru mereka kepada agama Islam dan tidak memeranginya. Kabilah ini tidak fasih dalam menyebutkan kalimat Aslamna (kami telah masuk Islam). Mereka menyebutnya Saba’na, Saba’na. Lalu Khalid membunuh dan menawan mereka. Sebagian tawanan diserahkannya kepada sahabat sepasukannya dan menyuruh mereka membunuhnya. Tetapi sahabat-sahabat tersebut enggan melakukan perintah Khalid karena tahu bahwa mereka telah menganut agama Islam. Ketika kembali dan diceritakan peristiwa itu kepada Nabi, beliau mengangkat tangannya kepada Allah seraya berdo’a: “ya Allah, aku mohon perlindungan-Mu dari apa yang telah dilakukan oleh Klialid bin Walid” (dibacanya dua kali)97 Kemudian Nabi mengutus Ali bin Abi Thalib pergi ke kabilah Banu Juzaimah tersebut sambil membawa harta untuk membayar ganti-rugi (diyat) nyawa dan harta yang telah terkorban hatta bejana jilatan anjing sekalipun. Rasulullah berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat kedua tangannya ke langit sehingga nampak bagian ketiaknya. Nabi berdo’a: “ya Allah, kumohon perlindungan-Mu dari apa yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid.” Dibacanya hingga tiga kali.98
Bolehkah kita bertanya, mana letak keadilan sahabat yang diasumsikan itu? Seandainya Khalid bin Walid, seorang yang kita anggap sebagai tokoh yang agung hingga diberi gelar dengan sebutanPedang Allah, apakah Allah akan mengizinkannya menghunuskan pedang untuk menguasai kaum muslimin, orang-orang yang tak berdosa dan kaum wanita, dan dia bebas melakukan apa saja? Sungguh suatu hal yang sangat pelik dan kontradiktif. Allah melarang membunuh satu nyawa dan mencegah perlakuan munkar, keji dan kezaliman, tetapi Khalid telah menghunuskan pedang kezalimannya, memperkosa kehormatan kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta mereka serta menawan wanita dan anak-anak mereka. Sungguh suatu kata-kata yang pelik dan gelar yang aneh apabila kita nisbahkan pedang Khalid kepada Allah SWT. Maha Suci Engkau hai Tuhan kami. Kau lebih Mulia dan lebih Tinggi dari itu semua, Maha Suci Engkau, tiada Kau ciptakan langit-langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya dengan sia-sia. Demikianlah dugaan orang-orang kafir. Dan neraka Waillah tempat mereka kembali.
Bagaimana Abu Bakar, khalifah muslimin bisa berdiam diri setelah mendengar tindakan-tindakan kriminal seperti itu. Bahkan bisa menyuruh Umar bin Khattab menutup mulutnya tentang perkara Khalid, dan marah kepada Abi Qatadah karena sikapnya yang mencemooh kelakuan Khalid. Apakah beliau benar-benar yakin bahwa Khalid melakukan takwil dan tersalah? Dalil apa kelak yang akan bisa dia katakan kepada orang-orang fasik dan haus darah, atau kepada mereka yang melanggar hukum apabila mereka juga mengatakan bahwa mereka tersalah takwil?
Secara pribadi saya tidak percaya bahwa Abu Bakar melakukan takwil terhadap kasus Khalid ini, yang dikatakan oleh Umar bin Khattab sebagai musuh Allah. Umar berpendapat bahwa Khalid mesti dihukumbunuh karena dia telah membunuh seorang muslim, atau merajamnya dengan batu karena telah berzina dengan Laila, istrinya Malik. Namun tidak satupun tuntutan Umar tersebut terlaksana. Bahkan Khalid keluar sebagai pemenang atas dakwaan Umar tersebut mengingat Abu Bakar berdiri membelanya, padahal beliau sangat mengetahui Khalid lebih dari orang lain.
Para ahli sejarah telah mencatat bahwa Abu Bakar mengutus Khalid—setelah tragedi yang memalukan itu—ke al-Yamamah di mana dia kembali dengan kemenangan. Di sana Khalid juga telah meniduri seorang perempuan sama seperti yang dia lakukan terhadap Laila sebelumnya, sedangkan darah kaum muslimin dan darah pengikut-pengikut Musailamah belum sempat kering. Abu Bakar marah sekali kepada Khalid lebih dari saat dia melakukan hal serupa terhadap Laila.
Tidak diragukan lagi bahwa wanita kedua ini juga mempunyai suami. Kemudian dibunuh oleh Khalid dan istrinya diperlakukannya seperti Laila istri Malik. Kalau tidak maka Abu Bakar tidak akan memarahinya lebih keras dari waktu dia melakukannya terhadap Laila. Para ahli sejarah mencatat teks surat yang diutus Abu Bakar kepada Khalid waktu itu: “Demi nyawaku wahai putra ibunya Khalid. Sungguh engkau tidak melakukan apa-apa melainkan menikahi perempuan saja, sedangkan di halaman rumahmu darah seribu dua ratus kaum muslimin masih belum kering.”100 Ketika Khalid membaca isi surat tersebut dia berkata: “Ini pasti ulah si A’asar”; yakni Umar bin Khattab.
Inilah di antara sebab kuat kenapa saya tidak sebegitu memberikan sikap hormat pada sahabat-sahabat seumpama itu, pengikut-pengikut mereka yang rela atas perbuatan mereka dan yang membela mereka dengan begitu gigih hingga berani mentakwilkan nas-nas yang jelas dan menciptakan berbagai riwayat yang khurafat. Semua ini untuk membenar-kan tindakan-tindakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Khalid bin Walid, Muawiyah, A’mer bin A’sh dan saudara-saudaranya yang lain.
Ya Allah, kumohon ampunan-Mu dan aku bertaubat pada-Mu. Ya Allah, aku mohon lindungan-Mu dari segala perbuatan dan ucapan mereka yang menyalahi hukum-hukum-Mu, menghalalkan hukum-hukum haram-Mu dan melampaui batas-batas-Mu. Ya Allah, aku mohon lindungan-Mu dari pengikut-pengikut mereka, Syi’ah-Syi’ah mereka dan orang-orang yang membantu mereka dengan penuh pengetahuan dan kesadaran. Ampunilah daku karena dahulunya me-wila’ mereka lantaran kejahilanku. Padahal Rasul-Mu telah bersabda: “Orang jahil tidak akan dimaafkan karena kejahilannya”.
Ya Allah, para leluhur itu telah menyesatkan kami dan telah mengulurkan tirai yang menutupi kebenaran pada kami. Mereka telah gambarkan kepada kami para sahabat yang berpaling dari kebenaran sebagai makhluk yang paling mulia setelah Nabi-Mu. Dan para leluhur kami juga adalah korban penipuan Bani Umaiyah dan Bani Abbasiah.
Ya Allah, ampunkanlah mereka dan ampunkanlah kami. Sungguh Kau Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan apa yang tersirat di balik dada. Cinta para leluhur dan penghormatan mereka kepada sahabat-sahabat seumpama itu tidak lain kecuali bertolak dari sangka-baik bahwa mereka adalah pembela-pembela serta pecinta-pecinta Rasul-Mu Muhammad SAWW. Dan Kau Maha Tahu duhai Tuhanku akan rasa cinta mereka dan kami pada itrah keluarga Nabi yang suci, para imam yang telah Kau bersihkan mereka dari segala nista dan mensucikan mereka sesuci-sucinya. Terutama Pemuka kaum muslimin, Amir Mukminin, Pemimpin Ghur al-Muhajjalin dan Imam Para Muttaqin,Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Jadikanlah aku ya Allah di antara Syi’ah-Syi’ahnya dan di antara orang-orang yang berpegang-teguh pada tali wila’ mereka dan yang berjalan di atas jalan mereka. Jadikanlah aku ya Allah di antara orang-orang yang bernaung di bawah naung-an mereka, dan di antara orang-orang yang masuk dari pintu-pintu mereka, senantiasa mencintai mereka, mengamalkan ucapan dan teladan mereka serta bersyukur atas kemurahan dan anugerah mereka. Ya Allah, bangkitkanlah aku di dalam golongan mereka, karena Nabi-Mu SAWW telah bersabda: “Seseorang akan dibangkitkan bersama orang yang dicintainya.”
2. HADIS BAHTERA
Bersabda Nabi SAWW: “Sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku di sisi kalian bagaikan bahtera Nabi Nuh di sisi kaumnya. Siapa yang ikut selamat dan yang tertinggal akan tenggelam.” 101
“Dan sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku di sisi kalian bagaikan Pintu Pengampunan bagi Bani Israel. Siapa yang memasukinya maka dia akan diampuni.” 102
Ibnu Hajar telah meriwayatkan hadis ini dalam kitabnya al-Showaiq al-Muhriqoh. Katanya: “Dasar keserupaan mereka dengan bahtera (Nabi Nuh) menunjukkan bahwa siapa saja yang mencintai mereka dan mengagung-agungkan mereka sebagai tanda terima kasih atas nikmat kemuliaan mereka, serta ikut bimbingan ulama-ulama mereka, akan selamat dari kegelapan perselisihan. Sementara mereka yang tidak ikut akan tenggelam di dalam lautan kekufuran nikmat dan akan celaka dibawa arus kezaliman. Adapun alasan keserupaan mereka dengan pintu pengampunan adalah Allah SWT telah tentukan bahwa masuk pintu itu — pintu Ariha atau pintu Bait al-Muqaddis — dengan sikap rendah hati dan mohon ampunan sebagai sebab pengampunan-Nya (pada Bani Israel). Dan Al-lah juga telah menentukan bagi ummat ini bahwa cinta pada Ahlu Bait Nabi adalah sebab terampuninya mereka.”
Saya ingtn bertanya pada Ibnu Hajar, apakah beliau di antara orang-orang yang ikut Bahtera itu dan masuk Pintu Ampunan serta ikut bimbingan para ulama mereka? Atau beliau termasuk dalam kategori orang-orang yang mengatakan sesuatu tapi tidak mengamalkannya bahkan menginkari apa yang dipercayainya. Tidak sedikit orang yang keliru ketika kutanyakan pada mereka tentang Ahlu Bait. Mereka sering berkata: “Kamilah orang yang lebih utama terhadap Ahlul Bait dan Imam Ali ketimbang yang lain. Kami menghormati mereka dan menjunjung tinggi kedudukan mereka. Tiada siapa pun yang menginkari keutamaan-keutamaan mereka.”
Ya, mereka telah katakan sesuatu yang tidak sama dengan isi hatinya; atau menghormati dan menjunjung tinggi Ahlul Bait namun secara praktis tetap ikut dan taklid pada musuh-musuh mereka atau pada orang-orang yang memusuhi dan menentang mereka. Seringkali mereka tidak kenal siapa itu Ahlul Bait. Dan jika kutanyakan, mereka menjawab secara sepontan, Ahlul Bait adalah istri-istri Nabi yang telah Allah bersihkan mereka dari nestapa dan disucikan-Nya sesuci-sucinya. Sebagian yang lain berkata: “Semua Ahlu Sunnah Wal Jamaah adalah pengikut Ahlul Bait.” Aku terasa sangat heran. Bagaimana mungkin? Tanyaku. Mereka menjawab: “Karena Nabi SAWW pernah bersabda, Ambillah separuh dari agama kalian pada Hunwira’ ini, yakni Aisyah. Nah, kami telah ambil separuh dari agama kami dari Ahlul Bait Nabi.” Katanya.
Dengan cara pandang sepeti ini maka tidak sulit untuk kita memahami bagaimana mereka menghormati dan menyanjung Ahlul Bait Nabi. Dan ketika kutanyakan pada mereka siapa itu Imam Dua Belas, mereka hanya mengenal Ali, Hasan dan Husain saja. Itupun tanpa pengakuan akan keimamahan (kepemimpinan) Hasan dan Husain. Mereka bahkan mengagungkan Muawiyah bin Abi Sufyan yang telah meracuni Hasan sampai syahid sedemikian rupa sampai mereka mengatakan bahwa Mu’awiyah adalah penulis wahyu. Mereka juga menyanjung A’mr bin A’sh, dan dalam waktu yang sama juga hormat pada Ali bin Abi Thalib.
Sungguh sikap seperti ini adalah sikap yang sepenuhnya kontradiktif dan peramuan antara haq dan batil; suatu upaya untuk menutup-nutupi yang terang dengan kegelapan. Karena bagaimana mungkin hati seorang mukmin dapat memadukan antara rasa cinta pada Allah dan juga cinta pada setan. Allah SWT berfirman:
“Kamu tidak akan dapati suatn kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasid-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan merekn dengan pertolongan yang dntang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengdir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekcil di dalamnya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itidah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung” (al-Mujadalah: 22)
Firman-Nya lagi: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Mnhammad) karena rasa kasih-sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (Al-Mumtahanah: 1)
3. Hadis: Siapa Yang Ingin Hidup Seperti Hidupku
Bersabda Nabi SAWW: “Siapa yang ingin hidup seperti hidupku, mati seperti matiku, tinggal di sorga A’dn yang telah ditanam oleh Tuhanku maka jadikanlah Ali sebagai Walinya sepeninggalku dan me-wila’ walinya, serta ikut Ahlul Baitku yang datang setelahku. Mereka adalah itrah keluargaku, diciptakan dari bagian tanahku dan dilimpahkan kepahaman serta ilmuku. Maka celakalah orang-orang yang telah mendustakan keutamaan mereka dari ummatku, dan yang telah memutuskan tali rahimnya dengan mereka. Kelak Allah tidakakan memberi mereka syafaatku kepadariya.” 303
Hadis ini, seperti yang kita perhatikan, adalah terbilang di antara sejumlah hadis yang gamblang dan tegas yang tak dapat ditakwilkan. la tidak memberi hak-pilih dan alternatif lain kepada seorang muslim, bahkan menafikan dan menyangkal sebarang alasan. Apabila dia tidak me-wila’ Ali (menjadikannya sebagai wali atau pemimpin) dan tidak ikut itrah kekiarga Nabi maka dia akan diharamkan dari memperoleh syafaat datuk mereka, yakni Nabi SAWW.
Perlu kutegaskan di sini bahwa pada tahap pertama penelitianku, aku pernah meragukan otentisitas dan kebenaran hadis ini. Terasa sangat berat untuk menerima hadis ini lantaran ia menyirat suatu ancaman kepada mereka yang berseberangan dengan Ali dan keluarga Nabi. Apalagi hadis ini sulit untuk ditakwil. Kemudian aku merasa agak ringan ketika kubaca pendapat Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam kitabnya al-Ishabah. Antara lain beliau berkata: “Dalam sanad hadis ini ada Yahya bin Ya’la al-Muharibi, seorang perawi yang lemah.” Pendapat Ibnu Hajar ini telah menghilangkan seba-gian keberatan yang ada pada benakku. Karena—kupikir— Yahya bin Ya’la al-Muharibilah yang pasti memalsukan hadis ini; dan karenanya maka ia tidak dapat dipercaya.
Namun Allah SWT tetap ingin menunjukkan padaku sebuah kebenaran dengan sejelas-jelasnya. Suatu hari aku terbaca sebuah fouku yang berjudul Munaqasyat Aqaidiyah Fi Maqalat Ibrahim al-Jabhan.104 Buku ini telah menyingkap kebenaran dengan begitu jelasnya. Dikutipkan bahwa Yahya bin Ya’la al-Muharibi adalah di antara perawi-perawi yang tsiqah (yang dipercaya) yang dipegang oleh Bukhori dan Muslim. Kemudian aku telusuri dan kudapati bahwa Bukhori telah meriwayatkan hadis riwayat Yahya ini dalam Bab Ghazwah al-Hudaibiyah jilid III halaman 31. Muslim juga telah meriwayatkan hadis darinya dalam Bab al-Hudud jilid V halaman 119. Az-Zahabi sendiri—betapapun ketatnya dia—menganggap Yahya ini sebagai perawi yang dipercaya. Para imam al-Jarhu wa at-Ta’dilmenganggapnya sebagai tsiqah; bahkan Bukhori dan Muslim sendiri berhujah dengan riwayatnya.
Nah, lalu kenapa pendustaan, pemutarbalikan fakta, dan tuduhan terhadap orang yang terbilangtsiqah seperti itu bisa terjadi? Apakah karena dia telah menyingkap kebenaran tentang wajib ikut Ahlul Bait, lalu Ibnu Hajar di kemudian hari mengecapnya sebagai seorang perawi yang lemah dan tidak bisa dipercaya? Namun sayang. Ibnu Hajar seakan lupa bahwa di kemudian hari ada sejumlah ulama yang pakar dan piawai yang akan menilai setiap karyanya, kecil atau besar. Mereka akan menyingkapkan segala fanatisme dan kejahilannya lantaran ikut cahaya nubuwwah dan berjalan di bawah bimbingan Ahlul Bait as.
Setelah itu aku mulai sadar bahwa ada sebagian ulama kita yang berupaya sungguh-sungguh untuk menutupi kebenaran agar setiap masalah yang berkaitan dengan para sahabat dan khulafa’, yang menjadi pemimpin dan teladan mereka tidak terungkap. Itulah kenapa kadang-kadang mereka menakwilkan hadis-hadis shahih dan menafsirkannya dengan makna yang tidak tepat; atau mendustakan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan mazhab mereka walau itu tertulis dalam buku-buku shahih dan diriwayatkan dengan sanad-sanad yang bisa dipercaya. Mereka juga kadangkala menghapus setengah atau dua pertiga dari isi hadis lalu menggantinya dengan kalimat begitu danbegini; atau meragukan para perawi yang tsiqah lantaran ia meriwayatkan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan kehendak mereka; atau mengutip suatu hadis pada edisi pertama dari buku terbitannya, kemudian menghapusnya pada cetak-ulang berikutnya tanpa memberi sedikitpun alasan betapapun para pemerhati mengetahui sebab musababnya.
Semua ini telah kusaksikan sendiri ketika aku masih melakukan penelitian dalam mencari sebuah kebenaran. Untuk ini aku mempunyai bukti-bukti yang tidak dapat dibantah sedikitpun. Aku harap mereka tidak mengulangi lagi usaha yang sia-sia ini sekadar untuk menjustifikasi tindakan para sahabat yang telah berpaling itu. Hal ini karena ucapan-ucapan mereka saling bertentangan dan bahkan tidak sesuai dengan fakta sejarah. Alangkah indahnya apabila mereka mengikuti kebenaran walau ia pahit sekali pun. Dengannya mereka akan berbahagia dan juga membahagiakan orang lain. Dan dengan demikian hal itu akan menjadi sebab persatuan ummat yang telah bercerai-berai ini.
Sejumlah sahabat generasi pertama juga pernah tidak jujur dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAWW. Mereka telah menafikan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan kehendak nafsu mereka, terutama apabila ia termasuk dalam kategori hadis-hadis wasiat yang diwasiatkan oleh Nabi SAWW pada saat-saat menjelang wafatnya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW berwasiat akan tiga hal saat menjelang wafatnya: Pertama, keluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab. Kedua, berikan hadiah kepada delegasi seperti yang biasa kulakukan. Kemudian si perawi berkata, aku lupa isi wasiat yangketiga.”105
Apakah akal sehat dapat menerima bahwa para sahabat yang hadir dan mendengar tiga wasiat Nabi itu tiba-tiba lupa pada isi wasiat yang ketiga, sementara mereka adalah orang-orang yang hafal syair-syair panjang seusai mendengarnya sekali saja? Sama sekali tidak. Politiklah yang memaksa mereka melupakan isi wasiat itu dan enggan menyebutnya. Hal ini merupakan rantaian musibah lain yang kita saksikan dari para sahabat seperti itu. Tidak syak lagi bahwa isi wasiat yang “terlupa” itu adalah wasiat Nabi akan perlantikan Ali sebagai khalifah dan imam sepeninggalnya. Namun si perawi enggan menyebutkannya.
Orang yang meneliti sejarah dan masalah-masalah seperti ini akan merasakan bahwa isi wasiat yang diabaikan itu sebe-narnya adalah pesan Nabi akan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, walau diupayakan untuk disembunyi. Bukhari dalam kitab Shahihnya Bab al-Washaya, dan Muslim dalam BabAl-Wasiyah meriwayatkan bahwa Nabi pernah berwasiat pada Ali di tengah kehadiran Aisyah.106Lihatlah betapa Allah pancarkan cahaya-Nya walau orang-orang yang zalim berusaha untuk menutupinya.
Aku tegaskan lagi bahwa apabila sejumlah sahabat tidak tsiqah dalam meriwayatkan hadis-hadis wasiat Nabi SAWW, maka tidak terlalu mengagetkan apabila sejumlah Tabiin dan Tabi’-Tabi’in melakukan hal yang serupa.
Apabila Ummul Mukminin Aisyah, tidak senang mendengar nama Ali disebut-sebut, seperti yang laporkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya, 107 dan Bukhari dalam kitab Shahihnya Bab Nabi Sakit Dan Wafat; dan apabila Aisyah sujud syukur saat mendengar kematian Ali, lalu harapan apa yang masih tersisa darinya untuk mau meriwayatkan hadis wasiat Nabi untuk Ali bin Abi Thalib. Aisyah sangat dikenal oleh kalangan khusus dan umum akan sikap permusuhan dan kebenciannya pada Ali, putera-puteranya serta itrah Ahlu Bait Nabi SAWW.
Fa la haula wala quwwata illa billa al-A’li al-A’zim.
MUSIBAH KITA : IJTIHAD VERSUS NAS
DARI telaah dan penelitian, akhirnya dapat kusimpulkan
bahwa musibah ummat Islam yang sebenarnya adalah berasal
dari “keberanian” sejumlah sahabat yang melakukan ijtihad di
hadapan nas-nas yang sangat jelas maknanya. Karena batas-
batas hukum Allah terlampaui dan Sunnah-Sunnah Nabi
dilanggar, maka para ulama dan imam yang datang setelah
mereka mengambil qiyas dari ijtihad para sahabat; dan kadang-
kadang menolak nas Nabibahkan AlQuranapabila
diasumsikan bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh
seorang sahabat. Saya tidak bermaksud memprovokasi atau
melebih-lebihkan. Telah kita lihat di atas betapa mereka
mengingkari nas AlQumn dan nas Nabi tentang tayamum,
dan berijtihad meninggalkan shalat semata-mata karena tidak
menemukan air. Dan Abdullah bin Umar telah
menjustifikasikan ijtihadnya ini dengan cara yang kita
sebutkan di atas.
Di antara sahabat awal yang membuka pintu ini sepeninggal Nabi adalah Khalifah Kedua, dimana dia mengutamakan “ijtihadnya” atas nas-nas yang tak terbantah, sekalipun bertentangan dengan nas Quran. Misalnya, beliau telah hentikan saham Muallaf—bagian dari penerima harta zakat—yang telah Allah wajibkan dalam AlQuran. Katanya: “kami tidak lagi memerlukan kalian”. Contoh ijtihadnya seperti ini tidak sedikit. Pada periode hayat Rasulullah beliau juga pernah melakukan ijtihadnya, bahkan menantangnya beberapa kali. Di atas telah kita contohkan pertentangannya dengan Nabi dalam masalah perdamaian Hudaibiyah, dan bagaimana dia melarang Nabi menulis wasiat. Kata-katanya, “Cukuplah bagi kita Kitab Allah” adalah sedikit dari sekian contoh yangbisa kita temukan dalam buku-buku hadis.
Peristiwa lain yang mungkin akan memberikan kepada kita gambaran yang jelas tentang pribadi Umar adalah sikapnya yang berani membantah dan menentang utusan Allah ini dalam sebuah peristiwa yang populer dengan istilah “berita gembira perihal syurga.” Kala itu Nabi mengutus Abu Hurairah dan berkata padanya: “Siapa saja yang kau jumpai menyaksikan bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dengan penuh keyakinan, maka berilah berita gembira akan sorga padanya. Abu Hurairah keluar untuk membawa berita gembira ini. Di jalan beliau berjumpa dengan Umar. Umar melarangnya, bahkan memukulnya sampai jatuh. Abu Hurairah kembali menjumpai Rasulullah sambil menangis. Diberitahunya tentang apa yang dilakukan Umar padanya. Nabi bertanya kepada Umar alasan apa yang menyebabkan ia memper-lakukan Abu Hurairah sedemikian? Jawab Umar: Apakah Anda telah mengutusnya untuk memberitahu kabar gembira kepada setiap orang yang mengatakan Lailaha Illallah dengan penuh keyakinan? Ya, jawab Nabi. Lalu Umar menjawab: Jangan kau lakukan itu, karena aku khawatir kelak orang-orang akan bersandar pada Lailaha Illallah saja!!”
Demikian juga putranya, Abdullah bin Umar, yang khawatir orang-orang akan bersandar pada hukum tayammum semata-mata. Karenanya dia perintahkan agar meninggalkan shalat saja.
Bukankah lebih baik seandainya mereka biarkan nah-nas itu seperti apa adanya, dan tidak merobah nas dengan ijtihad yang dangkal itu, yang menyebabkan terhapusnya syareah dan terlanggarnya ketentuan-ketentuan Allah serta terpecahnya ummat ke dalam berbagai mazhab, sekte dan aliran.
Dari rangkaian sikap Umar terhadap Nabi dan sunnahnya seperti itu dengan mudah dapat dipahami bahwa beliau pada dasarnya tidak sehari pun pernah percaya bahwa sang Nabi memiliki sifat maksum(tidak berdosa); bahkan beliau melihat bahwa Nabi adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar.
Dari sinilah kemudian timbul gagasan—mengikut versi ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah—bahwa Nabi hanya maksum pada saat menyampaikan wahyu semata-mata. Selainnya beliau sama dengan manusia biasa yang kadangkala juga melakukan kesalahan. Alasannya karena Umar pernah mengkoreksi Nabi dalam sejumlah peristiwa.
Apabila Nabi SAWW—seperti yang diriwayatkan oleh seba-gian orang yang jahil—pernah menerima tawaran setan di rumahnya, saat ketika beliau tengah berbaring di sana dan (menonton) sejumlah wanita yang memukul gendang dengan setan yang tengah menari dan bersuka-ria di sisinya, sampai kemudian Umar masuk, dan setan lari serta para wanita itu juga menyembunyikan gendang-gendangnya kemudian Nabi berkata kepada Umar, begitu setan melihatmu lewat di suatu jalan, dia melarikan diri ke jalan lain; apabila riwayat-riwayat seperti itu (secara tidak kritis) kita terima, maka tidak sukar untuk kemudian menyatakan bahwa Umar mempunyai ‘hak pendapat’ dalam urusan agama danbahkan juga berhak untuk menentang Nabi dalam urusan politik, dan hukum syareat sekalipun, seperti contoh di atas.
Sikap seperti ini kemudian melahirkan sekelompok sahabat-—dipimpin oleh Umar bin Khattab—yang berani melakukan ijtihad di hadapan nas. Seperti yang kita saksikan di atas, mereka mendukung pendapat Umar dalam Tragedi Hari Kamis, walau hal itu jelas-jelas bertentangan dengan nas Nabi SAWW. Dan dari sini juga kita dapat simpulkan bahwa mereka sebenarnya tidak bisa atau enggan menerima sabda Nabi pada peristiwa al-Ghadir, ketika Nabi SAWW melantik Ali sebagai khalifah setelahnya. Dan sikap penolakan seperti ini kemudian ditunjukkan lagi saat menjelang wafat baginda Nabi SAWW. Selain dari itu, serangkaian peristiwa seperti perkumpulan di Balairung Saqifah Bani Saidah atau pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah adalah di antara hasil dari ijtihad sejenis ini.
Ketika kekuasaan mereka semakin kokoh dan mayoritas orang telah lupa akan nas-nas Nabi, terutama yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan, kemudian mereka mulai melakukan ijtihad-ijtihad lain yang mencakup hatta sebagian hukum dalam AlQuran. Mereka telah abaikan beberapa hukum hudud dan merobah sejumlah hukum yang lain.
Di antara ijtihad yang bertentangan dengan nas adalah tragedi Fatimah Az-Zahra’, yang dialaminya segera setelah hak khilafah suaminya dirampas. Kemudian tragedi pembunuhan orang-orang muslirnin yang konon “enggan” membayar zakat, pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah oleh Abu Bakar berdasarkan ijtihad dengan pendapatnya sehingga membatalkan konsep syura yang dahulu pernah dijadikannya sebagai alasan untuk keabsahan khilafahnya. Kemudian, ketika Umar telah menjabat sebagai khalifah, dihalalkannya apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya108 serta diharamkannya apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya.109 Ketika Utsman berkuasa pada zaman berikutnya, beliau bahkan telah melakukan sesuatu yang jauh lebih “radikal” dari dua khalifah sebelumnya, sehingga ijtihadnya telah banyak mempengaruhi kehidupan politik dan agama secara luas. Hal itulah yang kemudian berakibat munculnya suatu revolusi menentangnya hingga beliau terbunuh akibat ijtihadnya itu.
Ketika Imam Ali memegang kekuasaan dan menjabat sebagai khalifah, beliau mendapatkan kesulitan yang tidak kecil dalam mengembalikan kaum muslimin kepada sunnah Nabi dan AlQuran. Beliau telah berusaha sungguh-sungguh untuk menghilangkan segala jenis bid’ah yang telah dimasukkan ke dalam agama. Namun sebagian sahabat berteriak: sunnah Umar, sunnah Umar..!!
Saya yakin bahwa orang-orang yang memerangi Imam Ali dan yang menentangnya mendapati semata-mata karena Ali as berupaya untuk mengembalikan mereka kepada jalan yang benar dan kepada nas-nas yang shahih, sembari mematikan segala bid’ah dan ijtihad yang telah dinisbahkan pada agama sepanjang seperempat abad. Bid’ah-bid’ah tersebut telah sedemikian rupa mendarah daging dalam diri mayoritas publik terutama mereka yang mengejar hawa nafsu dan keta-makan dunia; yang telah menyalahgunakan harta Allah dan memperhambakan hamba-hamba-Nya; yang telah memanipulasi emas dan perak; dan yang mengharamkan orang-orang lemah dari memperoleh hak-hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah.
Kadang-kala kita dapati bahwa para mustakbirin di setiap zaman sering cenderung melakukan “ijtihad”, karena dengannya ia punya alasan untuk dapat sampai pada cita-citanya. Sementara nas-nas yang ada dianggap sebagai unsur yang akan menghambat cita-cita itu dan bahkan menghalanginya. Ijtihad juga memperoleh dukungan di setiap masa dan tempat, dari golongan orang-orang yang lemah sekali pun. Hal ini karena ia mudah dipraktekkan dan tidak memiliki suatu komitmen yang tegas. Berbeda dengan nas. la memiliki suatu ketegasan dan keterikatan. Para politikus kadang-kadang menamakannya dengan istilah hukum teokrasi, yang bermakna hukum Allah, dan ijtihad—karena menyimpan suatu kebe-basan dan non-komitmen, mungkin diistilahkan dengan hukum demokrasi, yakni kuasa rakyat.
Mereka yang berkumpul di saqifah setelah wafatnya Nabi SAWW telah menghapuskan kekuasaan teokrasi yang telah dibangun oleh Nabi berdasarkan nas-nas AlQuran, dan menggantikannya dengan kekuasaan demokrasi yang dipilih oleh “rakyat”, untuk memilih pemimpin yang dianggapnya layak untuk memimpin. Namun para sahabat waktu itu belum mengenal istilah demokrasi, karena ia bukan bahasa Arab. Yang mereka ketahui hanyalah konsep Syura.
Mereka yang enggan menerima keberadaan nas dalam masalah khilafah saat ini, adalah pendukung-pendukung demokrasi. Mereka sangat bangga dengan predikat ini. Mereka mengklaim bahwa Islam adalah agama pertama yang melaksanakan konsep demokrasi. Mereka adalah pendukung-pendukung ijtihad dan pembaharuan, yang saat ini dekat dengan konsep-konsep barat. Itulah mengapa hari ini kita mendengar keberpihakan dunia barat kepada mereka dan menamakan mereka sebagai kaum muslimin yang modernis dan toleran.
Syi’ah adalah pendukung-pendukung teokrasi, atau kekuasaan Allah. Mereka menolak ijtihad yang bertentangan dengan nas yang memisahkan antara kekuasaan Allah dan konsep syuro. Bagi mereka, syuro tidak ada kaitannya sama sekali dengan nash. Syuro dan ijtihad bisa dilakukan dalam sejumlah hal yang tidak memuat nas di dalamnya. Bukankah Anda saksikan bahwa Allah SWT yang telah memilih Rasul-Nya Muhammad SAWW. Tetapi Dia juga berfirman: “Dan musyawarahilah mereka dalam urusan itu (3: 159). Adapun berkaitan dengan pemilihan kepemimpinan yang akan memimpin manusia, Allah berfirman: “Dan Tuhanmu menciptakan apa Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. (28: 68)
Ketika syi’ah menyatakan bahwa Ali adalah khalifah setelah Nabi SAWW, hal ini karena mereka berpegang pada nas. Dan ketika mereka mencela sebagian sahabat, yang dicela adalah mereka yang telah menggantikan nas-nas dengan ijtihad, lalu mereka sia-siakan hukum Allah dan Rasul-Nya serta melukai agama Islam yang sampai sekarang belum terobati.
Itulah kenapa dunia barat dan para pemikirnya berupaya mendiskreditkan Syi’ah dan menamakannya sebagai mazhab yang fanatik dan reaksioner. Hal ini karena mereka ingin kembali kepada AlQuran yang menghukum potong tangan terhadap pencuri, merajam si penzina dan memerintahkan berjihad di jalan Allah SWT. Bagi dunia barat semua ini identik dengan barbarism dan kebrutalan.
Dari telaah dan kajian ini dapat juga kupahami mengapa sebagian ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah menutup pintu ijtihad sejak kurun kedua Hijriah. Mungkin karena ijtihad serupa itu telah dan akan mengakibatkan malapetaka bahkan pertumpahan darah yang tidak sedikit atas ummat ini. Ijtihad seperti itu telah merobah ummat yang terbaik ini menjadi ummat yang saling berperang dan saling berselisih.
Adapun Syi’ah. Mereka masih membuka pintu ijtihad selagi nas-nasnya ada. Tiada siapapun yangbisa merobahnya. Dan mereka dibantu dengan wujud dua belas imam yang mewarisi ilmu datuknya, yakni Nabi SAWW. Mereka berkata bahwa semua permasalahan ada hukumnya di sisi Allah, dan telah dijelaskan oleh Nabi SAWW.
Kita juga dapat memahami kenapa Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang bertaklid kepada para sahabat yang ‘mujtahidin’, dan yang melarang penulisan sunnah Nabi SAWW, akhirnya terpaksa melakukan ijtihad dengan ra’yu atau qiyas atau istishab atau sad bab dzara-i’ dan sebagainya ketika tidak menjumpai nas-nas nabi. Dan kita juga dapat memahami kenapa orang-orang Syi’ah yang duduk di sekitar Ali, seseorang yang dikatakan sebagai Pintu Kota Ilmu dan pernah berkata, “Tanyakan aku segala sesuatu, karena Nabi telah mengajarku seribu bab ilmu dan setiap bab dapat membuka seribu bab yang lain”110 tidak seperti itu. Orang-orang non-Syi’ah seringberada di seputar lingkaran Muawiyah bin Abi Sufyan yang memiliki pengetahuan tentang sunnah Nabi dalam kadar yang sangat sedikit sekali. Pemimpin kelompok yang baghi (zalim) ini akhirnya menjadi “Amir al-Mukminin” setelah syahadah Imam Ali as. Kemudian dia mulai campur-adukkan agama Allah dengan pendapatnya lebih dari orang-orang sebelumnya. Ahlu Sunnah menganggapnya sebagai Penulis Wahyu, dan di antara ulama yang mujtahid. Bagaimana mereka mengatakan bahwa itu adalah ijtihad sedangkan dialah yang telah racuni Hasan bin Ali sampai mati. Padahal, seperti sabda Nabi Hasan adalah pemuka pemuda sorga. Mungkin para pembela Muawiyah akan segera menampik bahwa itu adalah di antara ijtihadnya yang tersalah (dan karenanya dapat satu pahala).
Bagaimana mereka katakan bahwa itu adalah ijtihad, padahal dia telah ambil bai’at dari ummat secara paksa, baik untuk dirinya sendiri atau untuk putranya Yazid. Dia juga telah robah prinsip ‘syuro’ dengan prinsip monarki dan kerajaan. Bagaimana mereka katakan bahwa itu adalah ijtihadnya bahkan memberinya satu pahala, padahal dialah yang memerintahkan kaum muslimin untuk melaknat Ali dan keluarga Nabi yang lain dari atas mimbar sehingga menjadi sebuah tradisi Bani Umawiyah sepanjang enam puluh tahunan.
Bagaimana mereka menamakan Muawiyah sebagai Penulis Wahyu, sementara wahyu sendiri turun kepada Nabi SAWW sepanjang dua puluh tiga tahun dan sebelas tahunnya Mu’awiyah masih dalam keadaan syirik. Ketika beliau masuk Islam, kita tidak dapati satu riwayat pun mengatakan bahwa Muawiyah tinggal di Madinah, sementara Nabi SAWW tidak pernah tinggal di Mekah setelah Fathu Makkah. Darimana Muawiyah dapat menyandang gelar Penulis Wahyu tersebut? La Haula Wala Quwwata Illa Billa Al-’Ali Al-’Azim.
Pertanyaan yang terus menggugat adalah, mana kelompok yang benar dan mana yang batil? Apakah Ali dan Syi’ahnya adalah orang-orang yang zalim dan batil ataukah Muawiyah dan pengikut-pengikutnya?
Sebenarnya Rasulullah SAWW telah menjelaskan segala sesuatunya secara sempurna. Namun sebagian orang yang mengklaim diri mereka sebagai Ahlu Sunnah telah menafsirkannya secara salah. Sepanjang telaah dan kajianku (dan pembelaanku dahulunya terhadap Muawiyah) kudapati bahwa mereka sebenarnya bukan pengikut sunnah, tetapi pengikut Muawiyah dan Bani Umaiyah; khususnya setelah kukaji secara teliti sikap-sikap mereka yang membenci Syi’ahnya Ali dan ikut bergembira pada hari Asyuro, atau membela para sahabat yang pernah mengganggu Rasulullah SAWW dalam masa hayatnya dan setelah wafatnya. Mereka tetap menjustifikasi kesalahan para sahabat seperti itu dan terus berupaya untuk membenarkan tindakan-tindakannya.
Coba Anda renungkan, bagaimana mungkin Anda mencintai Ali dan Ahlul Bait Nabi sementara dalam masa yang sama Anda juga mencintai dan rela pada musuh-musuh serta para pembunuhnya? Bagaimana mungkin Anda mencintai Allah dan Rasul-Nya sementara dalam waktu yang sama Anda juga membela mereka yang merobah-robah hukum Allah dan Rasul-Nya serta berijtihad dan menakwilkan dengan pendapatnya segala apa yang ada dalam hukum-hukum Allah? Bagaimana mungkin Anda bisa menghormati seseorang yang tidak menghormati Rasulullah, bahkan menuduhnya dengan kata-kata ‘pikun’ saat beliau ingin melantik penggantinya? Bagaimana mungkin Anda mematuhi para pemimpin yang dilantik oleh Bani Umawiyah atau Bani Abbasiah lalu mening-galkan para imam yang telah dilantik oleh Rasulullah SAWW lengkap dengan jumlah111 dan nama-nama mereka.112 Bagaimana mungkin Anda mematuhi orang-orang yang tidak mengenal Nabi dengan baik lalu meninggalkan “Pintu Kota Ilmu” atau seseorang yang seumpama Harun di sisi Musa?
Siapa yang pertama kali menciptakan istilah Ahlu Sunnah Wal Jamaah? Saya juga coba menelitinya dalam sejarah, tetapi tidak kudapati sebuah jawaban yang memuaskan. Yang ada hanya berupa sebuah kesepakatan untuk menamakan tahun pengambilalihan kekuasaan oleh Muawiyah sebagai Tahun Jama’ah. Karena saat itu ummat Islam terbagi kepada dua kelompok: pengikut Ali dan pengikut Muawiyah. Ketika Imam Ali syahid dan Muawiyah mengambil alih kekuasaan setelah perdamaian dengan Imam Hasan, maka Muawiyah dijadikan sebagai “Amir al-Mukminin”. Tahun pengangkatan itu dinamakan sebagai Tahun Jama’ah.
Nah, dengan demikian penamaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah sebenarnya menunjukkan identitas pengikut sunnah Muawiyah dan sepakat menerimanya sebagai pemimpin bukan pengikut sunnah Rasulullah SAWW. Para Imam keturunan Nabi dan Ahlul Baitnya lebih tahu tentang sunnah datuknya ketimbang para bekas-tawanan perang (Fathu Makkah) itu. Pepatah mengatakan bahwa si tuan rumah lebih tahu akan isi rumah tangganya ketimbang orang lain dan penduduk Mekah lebih tahu akan seluk beluk negerinya ketimbang penduduk lain. Namun—sayangnya—kita telah abaikan dua belas imam yang telah disabdakan oleh Nabi SAWW itu dan kita ikut para musuh mereka.
Walaupun kita mengakui keabsahan hadis yang memaparkan dua belas imam sepeninggal Nabi, yang kesemuanya adalah berketurunan Quraisy namun kita selalu terhenti pada empat khalifah saja. Hal ini mungkin karena Muawiyah yang telah menamakan kita sebagai Ahlu Sunnah wal Jamaah bermaksud agar kita sepakat pada sunnahnya dalam mencaci Ali dan Ahlul Bait Nabi yang telah dilakukannya sepanjang enam puluh tahunan. Hanya Umar bin Abdul Aziz ra sajalah yang mampu menghilangkan sunnah yang buruk ini. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa sekelompok dari Bani Umawiyah berplot untuk membunuhnya, walau ia berasal dari kalangan keluarga yang sama. Hal ini semata-mata karena beliau telah mematikan sunnah mereka, yakni melaknat Ali bin Abi Thalib .
Wahai sahabat-sahabatku, marilah kita cari kebenaran di bawah bimbingan Allah SWT. Buanglah jauh-jauh segala jenis fanatisme buta. Kita adalah korban Bani Abbasiyah, korban sejarah yang gelap, korban kejumudan berpikir yang dipaksa-kan oleh generasi sebelum kita. Tidak syak lagi kita juga adalah korban makar perbuatan Muawiyah, A’mer bin A’sh, Mughi-rah bin Syu’bah dan sejenisnya.
Telitilah sejarah Islam agar dapat kita temukan kebenaran, dan Allah akan melipat gandakan pahala-Nya kepada kita. Semoga Allah menyatu-padukan ummat yang telah bercerai-berai sepeninggal Nabinya ini dan yang telah terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Marilah kita bersatu-padu di bawah bendera Lailaha Illallah Muhammadur Rasulullah, dan patuh pada Ahlul Bait Nabi yang telah diperintahkan oleh Rasulullah untuk diikuti. Nabi bersabda: “Jangan kalian lewati mereka, kelak kalian akan celaka, dan jangan ketinggalan dari mereka, karena kelak kalian (juga) akan celaka, dan jangan ajari mereka karena mereka lebih tahu dari kalian.” 113
Apabila kita amalkan wasiat Nabi ini maka Allah pasti akan angkat murkaNya dari kita, akan menggantikan rasa takut kita dengan kedamaian, menjadikan kita di bumi-Nya ini sebagai khalifah-khalifah-Nya serta mendatangkan untuk kita makhluk pilihan-Nya, yakni Imam Mahdi as. Nabi SAWW pernah berjanji bahwa Mahdi akan datang ke dunia ini membawa keadilan setelah ia dicemari penuh kezaliman.
MENDAPAT TEMAN DISKUSI
PERUBAHAN itu adalah bermulanya suatu kegembiman
jiwa. Mulai kurasakan jiwa yang tenang dan dada yang lapang
atas mazhab hak yang kutemukan ini; atau katakanlah agama
Islam yang tulen yang tiada keragu-raguan sama sekali. Aku
sungguh berbahagia dan bangga atas nikmat, petunjuk dan
bimbingan yang Allah limpahkan kepadaku. Dan aku tak dapat
berdiam diri atau menyembunyikan apa yang tengah bergolak
di dadaku. Kukatakan kepada diriku: aku mesti ungkapkan
kebenaran ini kepada orang-orang lain juga. Firman Allah:
“Adapun tentang nikmat Tuhanmu maka ucapkanlah.”
Sementara ini adalah nikmat yang paling agung di dunia dan
di akherat. ” Orang yang diam atas kebenaran adalah setan
yang bisu”, dan tiada sesuatu selain dari yang haq melainkan
kesesatan semata-mata.
Yang menambah keyakinanku lagi untuk menyebarkan kebenaran ini adalah kedudukan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang tak berdosa itu. Mereka mencintai Rasulullah dan Ahlul Baitnya. Bagi mereka cukup dihilangkan tabir yang telah ditenun oleh sejarah saja, agar mereka ikut yang haq. Dan ini berlaku pada diriku sendiri. Allah berfirman: “Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmatnya atas kamu, maka telitilah…” (S: an-Nisa’: 94)
Suatu hari aku memangggil empat temanku yang sama-sama mengajar di Akademi. Dua dari mereka mengajar subjek pendidikan agama, yang satu lagi mengajar subjek Bahasa Arab, dan yang terakhir guru dalam bidang falsafah Islam. Mereka bukan dari Qafsah, tetapi dari Tunis, Jammal dan Soseh. Aku ajak mereka untuk sama-sama mengkaji subjek yang penting ini. Aku beritahu mereka bahwa aku tidak mampu memahami sebagian makna (nas), dan ragu-ragu dalam sebagian masalah. Mereka pun menerima tawaranku dan bersedia untuk datang ke rumah setelah jam kerja.
Aku biarkan mereka membaca kitab al-Muraja’at (Dialog Sunnah Syi’ah) dimana pengarangnya menulis berbagai perkara yang aneh dan asing di dalam agama. Tiga dari mereka telah menghabiskan buku itu, dan yang satu lagi, guru yang mengajar subjek bahasa arab, telah menarik diri setelah hadir empat atau lima majlis yang kami adakan itu. Beliau berkata: orang-orang barat kini telah sampai ke bulan, sementara kalian masih membahas tentang perkara Khilafiah di dalam Islam.
Setelah satu bulan mengkaji, tiga dari mereka kemudian ikut mazhab Syi’ah ini. Dan aku telah banyak membantu mereka untuk dapat sampai pada kebenaran ini dari jalan yang paling dekat, mengingat kajianku yang bertahun-tahun itu telah memberiku pengetahuan yang cukup banyak dalam bidang ini.
Aku rasakan betapa manisnya hidayat Allah. Aku sangat optimis dengan masa depan mazhab ini. Setiap kali aku ajak teman-teman baik yang dari Qafsah, atau yang hadir di majlis-majlisku di masjid, atau yang mempunyai hubungan denganku karena tarekat sufi, sebagian murid-muridku yang sering menemaniku, alhamdulillah semua mereka menyahuti ajakanku. Sehingga dalam masa satu tahun saja Alhamdulillah bilangan kami yang mewila’ (ikut) Ahlul Bait cukup banyak. Kami mewila’ kepada mereka yang mewila’ Ahlul Bait, dan memusuhi mereka yang memusuhi Ahlul Bait. Kami bergembira di hari-hari raya mereka, sebagaimana kami juga bersedih di hari-hari A’syura dan mengadakan majlis-majlis takziyah.
Surat pertamaku yang membawa berita kesyia’hanku kepada Sayed Al-Khui dan Sayed Muhammad Baqir As-Sadr adalah suratku dalam rangka hari raya Aidul Ghadir. Waktu itu untuk pertama kalinya kami merayakan hari itu di Qafsah. Perkara kesyia’hanku dan aktifitasku mengajak orang ikut mazhab Syi’ah keluarga Rasul ini telah diketahui oleh kalangan khusus dan umum. Maka mulailah berbagai tuduhan dan gunjingan dilemparkan kepadaku. Mereka bilang aku adalah mata-mata Israel yang bekerja menggoyangkan agama masyarakat; aku mencaci sahabat dan sumber fitnah serta lain sebagainya.
Di ibu kota Tunisia aku menghubungi dua temanku Rasyid al-Ghannusyi dan Abdul Fattah Moro. Penentangan mereka terhadapku sangat keras sekali. Di dalam suatu diskusi kami di rumah Abdul Fattah, aku berkata bahwa sudah sewajarnya kita sebagai kaum muslimin merujuk kitab-kitab kita dan mengkaji ulang sejarah kita. Aku contohkan kitab Shahih Bukhari yang memuat berbagai perkara yang bertentangan dengan akal dan agama. Tiba-tiba saja emosi mereka melonjak sambil berkata kepadaku: siapa Anda sehingga boleh mengkeritik Bukhari? Aku berusaha dengan berbagai upaya untuk meyakinkan mereka supaya dapat membahas berbagai perkara. Tetapi mereka menolak dan berkata: jika Anda telah ikut Syi’ah maka jangan Syia’hkan kami. Kami mengemban sesuatu yang lebih penting dari itu, yakni menentang pemerintahan yang tidak melaksanakan Islam. Aku bertanya apa faedahnya jika kalian dapat berkuasa. Mungkin kalian akan melakukan sesuatu yang lebih dari mereka selagi kalian tidak mengetahui kebenaran Islam ini. Bagaimanapun pertemuan kami itu berakhir dengan rasa saling jengkel.
Setelah itu bertambahlah tuduhan dan gunjingan terhadap kami dari pihak sebagian pengikut Ikhwan Muslimin yang waktu itu belum kenal dengan Harakah al-Ittijah al-Islami. Mereka sebarkan fitnah mengatakan yang aku adalah agen pemerintah yang bekerja memporak-porandakan agama kaum muslimin, sehingga mereka lupa akan perjuangan pokok mereka: menentang pemerintahan.
Mulailah aku mengasingkan diri dari pemuda-pemuda yang aktif di Ikhwan Muslimin dan dari syaikh-syaikh yang ikut tarekat sufi. Dalam masa tertentu akhirnya kami hidup terasing di sekitar kampung kami dan di sekitar saudara-saudara kami sendiri. Tetapi Allah SWT akhirnya menggantikan kepada kami orang-orang yang lebih baik dari mereka. Sebagian pemuda dari berbagai kota datang kepada kami dan bertanya tentang kebenaran ini. Aku berusaha sebaik mungkin menjawab pertanyaan mereka sehingga sejumlah mereka dari ibu kota, Qairawan, Souseh,dan Sayyidi Bu zeid ikut mazhab yang benar ini.
Di dalam perjalananku ke Irak di suatu musim panas, aku transit ke Eropa. Di sana aku berjumpa dengan sebagian teman kami di Perancis dan Belanda. Di sana juga kami diskusi tentang perkara ini sehingga mereka memperoleh hidayah Allah ini. Alhamdulillah atas semua ini.
Betapa gembiranya hatiku ketika berjumpa dengan Sayed Muhammad Baqir As-Sadr di Najaf al-Asyraf. Waktu itu sekumpulan ulama berada di sekelilingnya. Sayed Sadr memperkenalkanku kepada mereka dan mengatakan bahwa aku adalah benih Ahlul Bait Nabi di Tunisia. Beliau juga bercerita bahwa beliau menangis terharu ketika membaca suratku yang membawa berita tentang perayaan kami akan Aidul Ghadir untuk pertama kalinya; serta keluhanku akan berbagai derita, tuduhan dan gunjingan yang dilemparkan kepada kami di Tunisia.
Sayed berkata antara lain: “Hendaknya Anda tanggung semua derita ini, karena jalan Ahlul Bait sukar dan sulit. Pernah seorang datang kepada Nabi dan berkata: “Ya Rasulullah aku mencintaimu” Rasulullah menjawab: “Maka bersiap-siaplah engkau dengan banyaknya ujian.” Katanya lagi: “Aku juga mencintai anak pamanmu Ali.” Rasulullah menjawab: “Maka bersiap-siaplah akan banyaknya musuh.” Katanya lagi: “Aku mencintai Hasan dan Husain.” Jawab Nabi: “Maka bersiap-siaplah akan kefakiran dan banyaknya ujian.” Apa yang telah kita berikan di dalam menyeru jalan kebenaran ini, dibandingkan Abu Abdillah Husain as yang telah mengorbankan nyawanya, keluarganya dan anak keturunannya serta sahabat-sahabatnya demi agama Allah. Begitu juga Syi’ahnya di sepanjang sejarah dan sehingga kini masih terus membayar dengan harga yang mahal lantaran wila’ mereka kepada Ahlul Bait. Maka sudah semestinya, ya akhi, menanggung sedikit kesusahan dan pengorbanan di dalam jalan yang hak ini. Kalau seseorang mendapatkan hidayah Allah lantaran usahamu maka itu lebih baik bagimu dari dunia dan seisinya.”
Sayed Sadr juga menasehatiku agar tidak mengisolir diri dan bahkan lebih mendekat pada saudara-saudaraku Ahlu Sunnah setiap kali mereka berusaha menjauhiku. Beliau juga menyuruhku agar sembahyang di belakang mereka sehingga tidak terputus tali hubungan antara sesama, mengingat mereka adalah orang-orang yang tak berdosa. Mereka adalah korban sejarah dan propaganda murahan. Dan manusia adalah musuh kejahilan.
Sayed Khui juga menasehatiku hampir sama. Begitu juga Sayed Muhammad Ali Thabathabai al-Hakim yang senantiasa menyurati kami dengan nasehat-nasehatnya yang banyak dan membimbing perjalanan saudara-saudara Syi’ah kami di sana.
Begitulah akhirnya aku seringkali berziarah ke Najaf al-Asyraf dan mengunjungi ulama-ulama di sana di dalam berbagai kesempatan. Aku berazam untuk menggunakan masa cuti musim panasku setiap tahun di “pangkuan” Imam Ali, serta menghadiri pelajaran-pelajaran Sayed Muhammad Baqir As-Sadr yang sangat bermanfaat bagiku. Aku juga berniat untuk menziarahi tempat-tempat suci Imam dua belas. Dan Allah telah sampaikan cita-citaku itu sampai makam Imam Ridha sekalipun yang terletak di Masyhad, suatu negeri yang berhampiran dengan perbatasan Rusia dan Iran. Di sana juga aku berkenalan dengan berbagai ulama yang agung sambil belajar banyak dari mereka.
Sayed Khui, marja’ yang kami taklid, juga memberiku izin untuk menggunakan wang khumus dan zakat yang kami terima, serta menggunakannya untuk kepentingan Syi’ah-Syi’ah yang ada di sekitar kami seperti keperluan buku dan sebagainya. Di sana aku juga telah mendirikan suatu perpustakaan yang mengoleksi berbagai buku referensi dan buku-buku lain dari kedua mazhab. Nama perpustakaan itu adalah Perpustakaan Ahlul Bait as. Dan Alhamdulillah telah banyak menyumbangkan faedah untuk masyarakat yang lebih luas.
Allah juga telah menambah kegembiraan dan kebahagiaan kami berlipat ganda. Sekitar lima belas tahun yang lalu, Allah telah takdirkan nama jalan tempat tinggalku sebagai Jalan Imam Ali Bin Abi Thalib as. Nama jalan ini telah disetujui oleh ketua kampung Qafsah. Tak lupa kuucapkan rasa terima kasihku pada ketua kampung itu, seorang yang cukup kuat berpegang pada agama dan memiliki rasa cinta yang dalam terhadap Imam Ali as. Kuberikan padanya kitab al-Muraja”at (Dialog Sunnah Syi’ah) yang kemudian dia tunjukkan rasa cintanya dan sikap hormatnya yang lebih dalam terhadap kami. Semoga Allah membalas kebaikannya ini dengan setimpal dan mengabulkan apa yang dicita-citakannya.
Sebagian orang yang menaruh rasa dendam berusaha merubah nama jalan itu, namun Allah menginginkannya tetap ada dan kekal. Begitulah sehingga surat-surat yang datang kepada kami dari segenap penjuru dunia menggunakan nama jalan Imam Ali bin Abi Thalib as, yang karena namanya maka kota kami yang indah dan nyaman terberkati.
Berpandukan pada nasehat-nasehat para Imam Ahlul Bait as dan ulama-ulama di Najaf, kami senantiasa mendekat pada saudara-saudara kami dari berbagai mazhab yang lain. Kami juga ikut sembahyang berjamaah bersama mereka. Dengan itu maka ketegangan terasa lebih reda, dan kami juga berhasil meyakinkan sebagian pemuda di sekitar kami tentang akidah, cara wudhu’ dan shalat kami.
PETUNJUK KEBENARAN
Di sebuah desa selatan Tunisia, saat berlangsungnya sebuah
kenduri, wanita-wanita yang hadir tengah asyik membicarakan
tentang seorang istri dari suami si Fulan. Seorang wanita tua
yang hadir sangat terkejut mendengar berita perkawinan dua
orang ini. Ketika ditanya kenapa dia terkejut, jawabnya bahwa
dua suami istri tersebut sebenarnya pernah menyusu darinya,
dan mereka adalah kakak adik dari satu ibu susu.
Berita besar ini dibawa pulang oleh wanita-wanita yang hadir kepada suami masing-masing. Kaum laki-laki yang ada di sekitar ingin membuktikan kebenaran berita ini. Akhirnya ayah si perempuan menyaksikan bahwa anak perempuannya memang pernah menyusu dari ibu susu yang terkenal ini, sebagaimana ayah si lelaki ini juga menyaksikan tentang kebenaran kata-kata si ibu tua ini. Akibatnya dua suku ini berperang dengan tongkat dan kayu. Masing-masing menuduh yang lain sebagai sebab musibah yang akan menyebabkan turunnya bencana dari Allah. Apalagi perkawinan itu telah berusia sepuluh tahun dan telah membuahkan tiga anak.
Mendengar berita ini si istri lari ke rumah ayahnya. Dia tidak mau makan dan minum. Bahkan dia berusaha bunuh diri lantaran tidak tahan menerima “bencana” yang sangat besar itu. Bagaimana mungkin dia dapat melihat kenyataan bahwa suaminya adalah saudaranya sendiri, dan bahkan kini telah melahirkan anak-anak. Bilangan korban yang luka berjatuhan di kedua belah pihak, hinggalah seorang tua yang disegani menghentikan peperangan dan menasehati mereka agar menanyakan para alim-ulama tentang hukumnya dan mencari jalan keluar.
Mereka pergi ke kota-kota besar yang berhampiran menanyakan para ulamanya tentang jalan keluar dari problema ini. Setiap kali mereka bertanya, jawaban mereka adalah perkawinan tersebut adalah haram dan suami istri wajib dipisahkan seumur hidup. Mereka juga wajib membayar fidyah dengan membebaskan hamba sahaya atau puasa dua bulan berturut-turut; dan fatwa-fatwa sejenisnya.
Mereka juga pergi ke Qafsah dan menanyakan perkara tersebut kepada para alim ulamanya. Namun jawaban mereka tetap senada. Mengingat ulama-ulama mazhab Maliki menghukumkan muhrim pada setiap anak susuan walau sekedar satu tetes sekalipun, berdasarkan pendapat Imam Malik yang mengkiaskan air susu dengan arak. Dalam hukum arak dikatakan bahwa “jika banyaknya memabukkkan maka sedikitnya juga haram”. Dengan itu maka menyusui, walau setetes sekalipun adalah berhukum muhrim.
Seorang yang hadir mencelah dan menunjukkan rumahku. Katanya: “Tanyakan pada Tijani masalah-masalah seperti ini karena beliau mengetahu pendapat semua mazhab. Aku saksikan beliau berhujah dengan ulama-ulama tadi berkali-kali dan dia dapat mematahkan dalil-dalil mereka.”
Ketika kuajak mereka masuk ke dalam perpustakaanku, dan si suami menceritakan segalanya kepadaku secara rinci, dia juga berkata berikut: “Tuan, istriku mau bunuh diri dan anak-anakku tidak terurus. Kami tidak memperoleh jalan keluar dari kemusykilan ini. Mereka telah memberitahuku alamatmu. Aku sangat yakin pada Anda karena melihat buku-buku yang begini banyak di perpustakaan ini yang tidak pernah kulihat sebelum ini. Mudah-mudahan saja Anda dapat menyelesaikan problemaku ini.”
Kemudian kuhidangkan untuknya secangkir kopi. Aku berpikir sejenak. Kemudian kutanyakan padanya bilangan susu yang dia hisap dari si ibu tua itu. Beliau menjawab: “Aku tidak tahu pasti. Tetapi istriku menyusu dari orang tua itu dua kali atau tiga kali saja. Ayahnya juga menyaksikan bahwa dia hanya dua atau tiga kali saja membawanya pergi ke tempat wanita tua itu.” Lalu kujawab: “Jika ini benar, maka kalian bukanlah kakak-adik susu dan perkawinan kalian tetap sah.”
Mendengar ini laki-laki tersebut terus menerpaku dan mencium-cium kepalaku dan tanganku. Katanya: “semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Anda telah membukakan pintu kedamaian di hadapanku.” Dia terus pergi dan tidak sempat menghabiskan kopinya, bahkan tidak bertanya lagi rinciannya atau dalilnya dariku. Dia hanya permisi pulang agar dengan segera dapat menemui istrinya dan membawa berita gembira untuknya, anak-anaknya serta kaum kerabatnya.
Namun esoknya dia kembali bersama tujuh orang laki-laki yang lain. Katanya: “Ini ayahku, dan ini ayah istriku. Yang ketiga itu ketua desa dan keempat Imam Jum’at dan Jama’ah, kelima Penghulu agama, keenam kepala suku dan ketujuh kepala sekolah. Semua datang untuk bertanya tentang masalah menyusui tersebut dan dengan alasan apa Anda menghalalkannva?”
Semua kuajak masuk ke dalam perpustakaan. Sebelumnya aku memang telah menduga mereka akan mendebatku. Kuhidangkan buat mereka minuman kopi dan kusambut mereka dengan mesra. Mereka berkata: “Kami datang untuk bertanya akan fatwamu yang menghalalkan susuan itu sementara Allah telah mengharamkannya di dalam AlQuran dan telah diharamkan juga oleh Rasul-Nya, dengan sabdanya: “Telah diharamkan dengan susuan segala apa yang diharamkan dengan cara nasab.” Begitu juga Imam Malik telah mengharamkannya.”
Aku berkata: “Wahai tuan-tuan, kalian—Masya Allah— berjumlah delapan orang dan aku seorang diri. Jika aku berbicara dengan kesemua kalian maka aku tidak akan dapat meyakinkan kalian dengan hujahku, dan diskusi kita nantinya akan bertele-tele. Aku usulkan agar kalian memilih salah satu di antara kalian sebagai juru bicaranya sehingga aku bisa berdiskusi dengannya dan yang lainnya menjadi hakim kami.”
Mereka terima usul tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada penghulu agama sebagai wakil mengingat beliaulah yang paling alim dan paling arif di antara mereka. Maka penghulu pun memulai pertanyaannya mengapa aku menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, Rasul-Nya dan para Imam?
Aku jawab: “Aku berlindung kepada Allah dari berbuat demikian. Allah mengharamkan susuan dengan ayat yang mujmal (ringkas) dan tidak menjelaskannya secara rinci. Diserahkan-Nya kepada Rasul cara dan bagaimana rincian hukumnya.”
“Tetapi Imam Malik menghukumkan muhrim hatta dari setetes air susu.”
“Aku tahu. Namun Imam Malik bukanlah hujah (dalil) bagi semua kaum muslimin. Kalau tidak, bagaimana kita akan menilai pendapat imam-imam yang lain?”
“Semoga Allah meridhai mereka. Semua mereka mengambil dari Rasul SAWW.”
“Lalu bagaimana nantinya hujahmu di sisi Allah atas taklidmu kepada pendapat Imam Malik yang bertentangan dengan Nas Nabi ini?”
“Subhanallah” katanya sambil merasa heran. “Aku tidak pernah tahu Imam Malik, Imam Dar al-Hijrah, menyalahi nas-nas Nabi.”
Yang hadir juga merasa heran dengan ucapanku ini. Mereka sangat terkejut atas sikapku yang sangat “berani” terhadap Imam Malik yang tidak pernah dilihatnya sebelum ini dari ulama-ulama yang lain. Kemudian kukatakan lagi:
“Apakah Imam Malik dulunya dari kalangan sahabat?”
“Bukan.” Jawabnya.
” Apakah beliau dari kalangan Tabi’in?”
“Bukan. Bahkan dari kalangan tabi’it-tabi’in, generasi keempat setelah Nabi SAWW.”
“Mana yang lebih dekat kepada Rasul, Imam Malik atau Imam Ali bin Abi Thalib?”
“Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah satu dari empat Khulafa’ Rasyidin.”
Salah seorang dari yang hadir berkata: “Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu adalah gerbang kota ilmu.”
“Mengapa kalian tinggalkan gerbang kota ilmu dan ikut seorang bukan sahabat dan bukan tabi’in sekalipun. Bahkan seseorang yang lahir setelah terjadinya berbagai perselisihan di antara kaum muslimin, dan setelah kota Madinah Nabi dicemari oleh tentera Yazid dan diperlakukan sedemikian rupa sehingga sahabat-sahabat yang terbaik terbunuh, para wanita diperkosa dan sunnah-sunnah Nabi dirobah. Bagaimana seseorang bisa percaya sepenuhnya kepada imam-imam yang direkomendasi oleh para penguasa saat itu, yang memberikan fatwanya mengikut persetujuan mereka. “
Salah seorang dari mereka berkata: “Memang kami pernah dengar bahwa Anda adalah orang Syi’ah yang menyembah Imam Ali.”
Serta merta sahabat yang duduk di sampingnya menamparnya dengan agak kuat, sambil berkata: “Diam. Apakah Anda tidak malu berkata seperti ini kepada seseorang yang terhormat seperti beliau. Aku banyak kenal ulama, tetapi aku tidak pernah melihat perpustakaan sebesar ini. Beliau berbicara dengan pengetahuan yang dalam dan penuh keyakinan.”
Aku jawab: “Memang benar saya seorang Syi’ah. Tetapi Syi’ah tidak menyembah Ali. Mereka ikut Imam Ali sebagai ganti dari ikut Imam Malik. Karena Ali adalah gerbang kota ilmu seperti yang kalian saksikan.”
Penghulu agama berkata: “Apakah Imam Ali menghalalkan perkawinan dua kakak-adik susuan?”
“Tidak. Beliau menghukum-muhrimkannya jika si bayi menyusu sebanyak lima belas kali dengan kenyang dan berturut-turut atau sehingga menumbuhkan daging dan tulang .”
Mendengar ini ayah si istri merasa sangat lega dan berkata: “Alhamdulillah. Anakku hanya menyusu dua atau tiga kali saja. Fatwa Imam Ali ini adalah jalan keluar bagi kami dari kemusykilan ini dan rahmat Allah kepada kami setelah puas kami mencari dan hampir-hampir putus asa. “
Penghulu berkata: “Berikan kami dalilnya agar kami dapat puas hati.”
Lalu kuberikan kepada mereka kitab Minhaj as-Sholihin, fatwa Sayed al-Khui. Dibacanya Bab Hukum Menyusui kepada mereka. Semua mereka sangat bergembira terutama si suami yang takut kalau-kalau saya tidak mempunyai dalil yang memuaskan. Mereka memohon agar aku meminjamkan buku tersebut kepada mereka sehingga ia akan dapat berdalil di kampungnya kelak. Lalu kuserahkan buku tersebut setelah mereka permisi pulang.
Mereka keluar dari rumahku. Di jalan mereka berjumpa dengan seseorang yang akhirnya membawa mereka kepada beberapa ulama upahan. Diancamnya mereka dan dikatakan bahwa aku adalah agen Israel. Kitab Minhaj as-Sholihin yang kuberikan itu adalah sesat. Penduduk Irak semuanya kafir dan munafik dan Syi’ah adalah Majusi yang menghalalkan perkawinan antara kakak-adik. Karena itu tidak heran kalau aku menghalalkan perkawinan antara dua kakak adik-susu; dan berbagai tuduhan lain yang tidak berdasar. Sedemikian rupa ancamannya sehingga semua mereka kembali seperti semula dan tidak percaya akan kebenaran pendapat yang kuberikan.
Dipaksanya sang suami mengangkat perkara ini ke mahkamah negeri di Qafsah. Ketua mahkamah meminta mereka pergi ke pusat dan meminta penyelesaian dari Mufti Besar negara. Maka pergilah orang yang malang ini ke sana dan menunggu selama satu bulan penuh untuk dapat menghadap mufti. Diceritakannya masalahnya dari awal hingga akhir. Mufti bertanya tentang pendapat ulama yang menganggap sah perkawinan mereka. Katanya tiada siapa pun yang mengatakan demikian kecuali seorang yang bernama Tijani Samawi. Mufti mencatat namaku dan berkata kepada orang ini: pulanglah! Aku akan kirimkan sepucuk surat kepada ketua mahkamah negeri di Qafsah.
Tak lama setelah itu tibalah sepucuk surat dari mufti besar. Kemudian wakil orang ini memberitahunya bahwa mufti juga menghukumkan haram perkawinan mereka dan dianggap tidak sah.
Itulah apa yang diceritakan oleh orang yang malang dan lemah ini kepadaku. Dia meminta maaf karena telah menyebabkanku terganggu. Aku juga berterima kasih kepadanya atas timbang rasanya yang tinggi. Tetapi aku heran kenapa mufti besar menganggap perkawinan seumpama itu tidak sah. Aku minta orang ini mencari lembaran tulisan yang dikirimkan oleh mufti kepada mahkamah di sini agar supaya bisa kumuat dalam majalah atau koran lokal. Aku ingin katakan bahwa mufti tidak mengetahui mazhab-mazhab Islam dan jahil akan perbedaan-perbedaan fiqh mereka di dalam perkara susu-menyusu ini.
Orang ini berkata bahwa dia tidak dapat melihat fail perkaranya, apalagi untuk mendapatkannya. Akhirnya kami berpisah.
Setelah beberapa hari sepucuk surat panggilan datang kepadaku dari mahkamah. Mereka memerintahkanku agar datang membawa kitab rujukan dan dalil atas keabsahan perkawinan “dua kakak-adik susu” ini. Aku datang dengan membawa berbagai buku rujukan yang telah kuteliti sebelumnya. Setiap Bab Menyusui kuletakkan tanda agar mudah dapat mengenalnya kelak. Aku pergi pada waktu dan jam yang ditentukan itu. Sekretaris ketua menerima kedatanganku dan memintaku masuk ke ruang ketua. Di sana aku dikejutkan dengan kehadiran ketua mahkamah negeri, ketua mahkamah kampung dan wakil dari pusat beserta tiga anggotanya yang lain. Semua mereka mengenakan pakaian kebesaran mahkamah yang seakan-akan tengah berada dalam suatu perjumpaan resmi. Aku perhatikan juga di sana ada laki-laki yang malang itu duduk di sisi lain. Aku ucapkan salam kepada semua. Semua mereka memandangku dengan sikap menghina dan jengkel. Ketika aku duduk, sang ketua memulai pembicaraannya padaku dengan nada yang kasar:
“Anda Tijani Samawi?” “Ya.”Jawabku.
“Anda yang memberikan fatwa akan sahnya perkawinan ini?”
“Bukan saya. Tetapi imam-imam fiqh dan ulama kaum muslimin yang memberikan fatwa akan sahnya perkawinan tersebut.”
“Itulah kenapa kami memanggil Anda. Anda sekarang dalam tuduhan. Jika Anda tidak dapat membuktikan kebenaran dakwaan Anda maka Anda akan dihukum penjara. Dan dari sini Anda akan terus di giring ke penjara. “
Aku sadar bahwa aku kini dalam suatu tuduhan. Bukan karena aku memberikan fatwa tersebut, tetapi ada beberapa ulama jahat (ulama su’) yang mengatakan kepada penguasa bahwa aku adalah penyulut fitnah, mencaci sahabat dan menyebarkan Syi’ah Ahlul Bait Nabi. Ketua mahkamah berkata bahwa jika ada dua saksi yang membuktikan kesalahanku maka dia akan memasukkanku ke dalam penjara.
Di sisi lain, Jama’ah Ikhwan Muslimin memanipulasi fatwa ini. Mereka sebarkan kepada kalangan umum dan khusus bahwa aku menghalalkan nikah antara kakak-adik. Dan ini adalah pendapat Syi’ah! Begitulah dugaan mereka.
Semua ini aku sadari ketika ketua mahkamah mengancamku dengan penjara. Tiada lain bagiku waktu itu kecuali menentang dan mempertahankan diri dengan penuh keberanian. Kukatakan kepada ketua:
“Apakah saya boleh berbicara dengan terus terang dan tanpa takut?”
“Bicaralah. Tetapi Anda tidak mempunyai pembela.”
“Pertama-tama, aku tidak mengangkat diriku sebagai mufti.” Kataku perlahan. “Tanyakan pada lelaki, suami wanita yang malang itu yang kebetulan hadir di sekitar kita. Dialah yang datang ke rumahku dan bertanya padaku. Sudah tentu aku wajib menjawabnya mengikut apa yang aku tahu. Aku tanyakan kepadanya berapa kali dia menghisap susu tersebut. Katanya sang istri hanya pernah menyusu dua atau tiga kali saja dari ibu yang sama. Lalu kuberitahu padanya hukum Islam yang sebenarnya. Dalam hal ini aku bukan seorang yang mujtahid dan bukan pula seorang yang mengada-adakan syareat baru.”
“Aneh. Anda sekarang mendakwa yang Anda tahu akan hukum Islam dan kami jahil.”
“Astaghfirullah. Aku tidak bermaksud demikian. Semua orang di sini tahu apa pendapat mazhab Imam Malik dan hanya berhenti pada pendapatnya saja. Sementara aku menelitinya dalam berbagai mazhab dan mendapatkan cara penyelesaiannya di sana.”
“Dimana Anda dapatkan jalan penyelesaiannya?” Tanya ketua.
“Sebelum itu bisakah saya ajukan satu pertanyaan wahai ketua?”
“Tanyakanlah”.
“Apa pendapat Anda tentang mazhab-mazhab Islam yang lain?”
“Semua benar. Semua mereka mengambilnya dari Nabi, dan perselisihan yang ada adalah rahmat.”
“Kalau demikian maka kasihanilah orang yang malang ini (sambil menunjuk ke arah orang tersebut) yang telah dua bulan lebih berpisah dengan istri dan anak-anaknya. Padahal di sana ada mazhab Islam lain yang memberinya penyelesaian.”
Dengan nada marah ketua itu berkata: “Bawakan dalilnya dan jangan bertele-tele. Kami telah berikan hak kepadamu untuk membela dirimu, dan sekarang kau mau membela orang lain.”
Kuberikan kepadanya kitab Minhaj as-Sholihin, fatwa Sayed al-Khui. Kukatakan kepadanya bahwa ini adalah mazhab Ahlul Bait. Di dalamnya memuat berbagai dalil. Kemudian beliau memotong kata-kataku: “Jangan libatkan kami dengan mazhab Ahlul Bait. Kami tidak mengenalnya dan tidak beriman kepadanya.”
Aku memang menduga demikian. Karena itu aku bawa bersamaku beberapa buku rujukan Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang telah kukaji dan kususun sejauh pengetahuanku. Kuletakkan Sahih Bukhari di bagian pertama. Kemudian Sahih Muslim. Lalu kitab fatwa Mahmud Syaltut, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid karangan Ibnu Rusyd, kitab Zad al-Masir Fi I’lmi at-Tafsir karangan Ibnu al-Jauzi dan beberapa buku rujukan lain dari kalangan Ahli Sunnah.
Ketika ditolaknya kitab Sayed al-Khui, kutanyakan kepadanya kitab apa yang beliau pegang dan jadikan rujukan.
“Bukhari dan Muslim.” Katanya.
Lalu kuambil kitab Sahih Bukhari dan kubukakan halaman yang telah kutandai. “Silahkan baca!” Kataku mempersilahkan.
“Engkaubaca.” Mintanya kepadaku.
Lalu kubaca: “Telah diriwayatkan oleh Fulan dari Fulan dan A’isyah Ummul Mukminin yang berkata:“Rasulullah SAWW wafat dan tidak menjatuh-muhrimkan (kakak-adik) melainkan setelah lima susuan atau lebih.”
Sang Hakim mengambil buku itu dariku dan membacanya. Kemudian diberikannya kepada wakil dari pusat yang duduk di sampingnya. Lalu dibacanya dan diberikannya pula kepada orang yang duduk di sisinya. Kemudian aku keluarkan pula kitab Sahih Muslim dan kubukakan pula hadis yang sama. Lalu kitab Fatwa Syaikh al-Azhar Mahmud Syaltut, dimana beliau telah menjelaskan berbagai perbedaan pendapat para imam fiqh tentang perkara susu-menyusu ini. Ada sebagian pendapat mengatakan bahwa ia akan jatuh muhrim setelah lima belas kali susuan; pendapat lain mengatakan setelah tujuh kali susuan; dan pendapat berikutnya di atas lima kali susuan. Melainkan Imam Malik yang menyalahi nas dan menjatuh-muhrimkan walau satu tetes sekali pun. Kemudian Syaltut berkata: aku condong pada pendapat yang tengah, yakni tujuh kali susuan atau lebih.
Setelah ketua mahkamah mengetahui semua itu, beliau berkata: Cukuplah. Kemudian beliau memandang pada suami wanita tersebut dan berkata: Engkau pergi dan bawa ayah istrimu ke mari untuk menyaksikan di hadapanku bahwa anaknya menyusu hanya dua atau tiga kali saja. Kalau betul, maka kau boleh ambil istrimu semula hari ini juga.
Orang yang malang ini pun pergi. Wakil dari pusat dan hadirin yang lain minta izin keluar meneruskan tugas masing-masing. Ketika majlis itu agak lengang, sang ketua mendatangiku sambil minta maaf. Katanya: “Maafkan aku wahai ustaz. Mereka telah membuat aku keliru tentang dirimu. Mereka berkata akan hal yang aneh-aneh tentang dirimu. Sekarang aku tahu bahwa mereka hasad dan dengki kepadamu.”
Hatiku sangat gembira melihat perubahan kilat seperti itu. Aku berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanku di tanganmu wahai Hakim yang arif .”
“Aku dengar Anda memiliki perpustakaan yang besar. Apakah Anda juga menyimpan buku Hayat al-Hayawan al-kubro karya ad-Dumairi?’ Tanyanya kepadaku.
“Ya.” Jawabku.
“Bisa Anda pinjamkan padaku. Telah dua tahun aku mencari buku itu.”
“la adalah milik Anda kapanpun Anda perlukan.”
“Apakah Anda punya waktu untuk datang ke kantorku agar kita bisa berdiskusi dan saya bisa belajar darimu.” Pintanya.
“Astaghfirullah. Saya yang seharusnya belajar dari Anda. Anda adalah orang yang lebih tua dan lebih agung dariku. Saya ada waktu luang empat hari dalam seminggu. Saya senantiasa hadir untuk menerima undangan Anda.”
Akhirnya kami sepakat setiap hari Sabtu untuk dapat duduk bersama, karena hari itu beliau tidak disibukkan dengan urusan mahkamah. Setelah beliau memintaku meninggalkan kitab Bukhari dan Muslim serta kitab Fatwa Syaltut untuk dapat disalinnya semua nas yang ada, beliau sendiri yang kemudian berdiri dan menghantarku pulang sampai ke pintu keluar sebagai tanda penghormatan.
Aku keluar dengan hati yang sangat gembira sambil memuji-muji Allah atas kejayaan ini dimana sebelumnya aku masuk dalam keadaan takut dan diancam penjara. Kini aku keluar dari mahkamah sementara sang ketuanya telah menjadi seorang sahabat yang dekat, menghormatiku dan memintaku menemaninya agar dapat “belajar”. Semua ini adalah berkat Ahlul Bait yang tiada akan rugi orang yang berpegang kepada mereka, dan akan aman orang yang merujuk kepada mereka.
Suami yang malang tadi menceritakan semua apa yang dilihatnya kepada penduduk desanya sehingga berita itu tersebar ke seluruh pelosok desa yang ada di sekitarnya. Dia kini kembali bersama istrinya dan perkara perkawinannya telah dianggap sah. Orang ramai mulai berkata bahwa aku lebih alim dari semua, hatta dari mufti besar sekalipun.
Si suami kemudian datang ke rumahku dengan mobilnya yang besar, ingin mengajak aku dan keluargaku ke desanya. Dia bilang bahwa semua keluarganya tengah menunggu kedatanganku. Mereka akan menyembelih tiga ekor anak onta sebagai tanda syukur. Tetapi aku minta maaf lantaran tidak dapat hadir karena kesibukanku di Qafsah. Kukatakan kepadanya bahwa aku akan mengunjungi mereka di waktu lain Insya Allah.
Lalu sang Hakim tadi pun menceritakan kejadian itu kepada sahabat-sahabatnya hingga tersebarlah cerita itu dan Allah telah menolak tipu daya orang-orang yang berniat jahat. Sebagian mereka datang meminta maaf, dan sebagian lain Allah bukakan hatinya untuk menerima hidayat dan kebenaran sehingga mereka ikut mazhab Ahlul Bait dan menjadi orang-orang yang ikhlas. Semua ini adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada mereka yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Pemberi karunia yang agung.
Wa Akhiru Da’wana Anil Hamdulillahi Rabbil A’lamin. Wa
Sollallahu A’la Sayyidina Muhammadin Wa A’la A’lihi at-
Thayyibin Wat Thahirin
CATATAN-CATATAN
1. Shahih Bukhori jil.2 dan 5 Hal. 75; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 1 hal. 355; jil. 5 hal. 116; Tarikh Thabari jil. 3 hal. 193; Tarikh Ibnu Atsir Jil. 2 hal. 320.
2.Thabaqat Ibnu Sa’ad jil.2 hal.l90; Tarikh Ibnu Atsir Jil. 2 hal. 317; Sirah al-Halabiyah jil. 3 hal. 207;Tarikh Thabari jil. 3 hal 226.
3.Lihat al-khilafah Wal Muluk oleh al-Maududi Dan Yaum al-Islam oleh Ahmad Amin.
4.Sharh Nahjul Balaghah Oleh ibnu Abil Hadid jil. 8 hal. 111.
5.Tarikh Ya’qubi jil. 2 hal. 106.
6.Futuh al-Buldan hal. 437.
7.Shahih Bukhori jil. 1 hal. 52.
8.Tarikh Thabari dan Tarikh Ibnu Atsir.
9.Al-Imamah Wa Siyasah Oleh Ibnu Qutaibah.
10.Lihat An-Nash Wal Ijtihad oleh Syarafuddin al-Musawi.
11.Shahih Bukhori jil. 4 hal. 94-96,156; jil. 3 hal. 32; Shahih Muslim jil. 7 hal. 66.
12.Shahih Bukhori jil. 4 hal. 100-101.
13.Muruj az-Zahab oleh al-Masu’di jil. 2 hal. 341.
14.Ibid.
15.Ibid.
16.Shahih Bukhori jil. 1 hal. 122.
17.Al-Khilafah Wal Muluk Oleh al-Maududi hal. 106.
18.ShahihMuslimjil.2hal.61.
19.Shahih Bukhori jil. 2 hal. 305; Shahih Muslim jil. 2 hal. 366
Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109.
20.Shahih Bukhori jil. 1 hal. 76; Shahih Turmidzi jil. 5 hal. 300; Shahih Ibnu Majahjil. 1 hal. 44
21.Shahih Muslim jil. 1 hal. 61; Sunan an-Nasai jil. 6 hal. 177; Shahih Turmudzi jil. 8 hal. 306.
22.Shahih Thurmudzi jil. 5 hal. 201; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 126.
23.Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 5 hal. 25; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 134.
24.Shahih Muslim jil.2 hal.362; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal, 281.
25.Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 121; Khasais an-Nasai hal. 24; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 6 hal. 33; Manaqib al-Khawarizmi hal. 81; ar-Riyadh an Nadhirah oleh Thabari jil. 2 hal. 219; Tarikh as-Suyuti hal. 73.
26.Shahih Bukhori jil.l hal.74
27.Shahih Bukhori jil. 2 hal. 154; Shahih Muslim jil. 1 hal. 260.
28.Shahih Muslim jil. 2 hal.134.
29.Shahih Bukhori jil. 1 hal. 54.
30.Shahih Bukhori jil. 2 hal. 135.
31.Shahih Bukhori jil.3 hal.32.
32.Shahih Bukhori jil. 2 hal. 201.
33.Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah jil. 3 hal.131; Hilyat al-Auliya’ Oleh Ibnu Nu’aim jil. 1 hal. 52.
34.Tarikh Thabari hal. 41; ar-Riyadh an-Nadhirah jil. 1 hal. 134; Kanzul Ummal hal. 361; Minhaj as-Sunnah jil. 3 hal. 120.
35.Tarikh Thabari hal.41; Riyadh an-Nadhirah jil. 1 hal. 134; KanzulUmmalhal.361 Minhaj as-Sunnah jil. 3 hal. 120
36.Shahih Bukhori jil. 2 hal.206.
37.Al-Imamah was Siyasah jil.l hal. 20; Fadak Oleh Muhammad Baqir Sadr hal. 92.
38.Shahih Bukhori jil.l hal. 127,130; jil. 2 hal. 126,205.
39.Shahih Bukhori jil. 3 hal. 39.
40.Tarikh al-Khulafa’ Oleh Ibnu Qutaibah jil. 1 hal. 20.
41.Shahih Muslim jil. 7 hal. 121,130.
42.Tarikh al-Khulafa’ jil. 1 hal. 20.
43.Ibid.
44.Shahih Bukhori jil.3 hal.39.
45.Tarikh Thabari jil.4 hal.407; Tarikh Ibnu Atsir jil. 3 hal. 206; Lisanul Arab jil. 14 hal. 193; Tajal-Arus jil.8 hal.141; Al-I’qdul Farid jil. 4 hal. 290.
46.Al-Imamah was Siyasah.
47.Lihat Tarikh Thabari, Ibnu Atsir dan Madaini Tentang Tahun 36 H.
48.Shahih Muslim jil. 1 hal. 48.
49.Lihat Tarikh Thabari, Ibnu Atsir dll Tentang Sejarah Tahun 40 H.
50.Lihat Ibid Tahun 36 H.
51.Shahih Bukhori jil.4 hal. 161.
52.Ibid jil. 2 hal. 128
53.Shahih Turmizi, al-Istia’b dan al-Ishobah.
54.Shahih Bukhori Jil.3 hal.68.
55.Lihat al-Khilafah Wal Muluk Dan Yaum al-Islam.
56.Hayat al-Hayawan al-Kubro Oleh ad-Dumairi.
57.Muwatto’ Imam Malik jil. 1 hal. 307; Maghazi al-Waqidi hal. 307.
58.Shahih Bukhori jil. 3 hal. 307.
59.ShahihTurmizijil.5hal.296; Khasais an-Nasai hal. 87; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 110.
60.Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal. 241; Siyar al-Alamin Oleh Imam Ghazali hal. 12; Tazkirah al-Khawas Oleh Ibnu al-Jauzi hal. 29; ar-Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 169; Kanzul Ummal jil. 6 hal. 397; Al-Bidayah wan Nihayah Oleh Ibnu KAtsir jil. 5 hal. 212; Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 50; Tafsir ar-Razi jil. 3 hal. 63; Al-Hawi Lil Fatawi Oleh Suyuthi jil. 1 hal. 112.
61.Tarikh Thabari, Ibnu Atsir, Suyuthi, al-Istia’b dll.
62.Tarikh al-Khulafah Oleh Ibnu Qutaibah jil. 1 hal. 18.
63.Shahih Bukhori jil. 4 hal. 127.
64.Syarh Nahjul Balaghah Oleh Muhammad Abduh jil. 1 hal. 34.
65.Tarikh al-Khulafa’ jil. 1 hal. 17.
66.Lihat as-Saqifah Wal Khilafah Abduh Fattah Abdul Maksud dan as-Saqifah Shaikh Muhammad Ridha al-Muzaffar.
67.Tarikhal-Khulafa jil. 1 hal.19; Syarh Nahjul Balaghah Oleh Ibnu Abil Hadid.
68.Shahih Bukhori jil.3 hal.36; Shahih Muslim jil. 2 hal. 72.
69.Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau menunggangi onta.
70.Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal dalam usaha menghalangi Hasan dari dikuburkan dekat pusara datuknya.
71.Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid jil. 16 hal. 220-223.
72.Mustadrak al-Hakim jil.3 hal.107; Manaqib al- Khawaizmi hal. 3, 9; Tarikh al-Khulafa hal. 168; Sawa’iq al-Muhriqah hal. 72; Tarikh Ibnu Asakir jil. 3 hal. 63; Syawahid at-Tanzil jil. 1 hal. 10.
73.Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 282; as-Shawa’iq al-Muqhriqah hal. 118,72.
74.Shahih Bukhori jil. 2 hal. 202.
75.Fathul Bari Fi Syarhil Bukhori jil. 7 hal. 83; Tarikh al-Khulafa’ hal. 199; as-Shawa’iq al-Muhriqah hal. 125.
76.Muwatto’ Imam Malik jil. 1 hal. 307; Maghazi al-Waqidi hal. 310.
77.Shahih Turmizi jil. 4 hal. 339; Musnad Ahmad bin Hanbal jil. 2 hal. 319; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 51.
78.Shahih Muslim.
79.Shahih Bukhori jil.4 hal. 184.
80.Al-Imamah was-Siyasah jil. 1 hal. 14; Al-Jahiz hal.301; A’lam an-Nisa jil. 3 hal. 12,15.
81.Tarikh al-Khawas hal. 23; Tarikh Ibnu Asakir jil. 1 hal. 107; Tarikh Masu’di jil. 1 hal. 414.
82.Tazkirah al-Khawas hal. 234; Tarikh Ibnu Asakir jil. 1 hal. 107; Manaqib al-Khawarizmi hal. 7; al-Fushul al-Muhimmah Oleh al-Maliki hal.21.
83.Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 127; Tarikh Ibnu Katsir jil. 7 hal. 358.
84.Al-Isti’ab jil. 3 hal. 39; Manaqib al-Khawarizmi hal.48; Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 194.
85.Ibid. Jil. 2 hal. 198; Tarikh al-Khulafa` hal. 124; Al-Itqan jil. 2 hal. 319; Fath al-Bari jil. 8 hal. 485; Tahzib at-Tahzib jil. 7 hal. 338.
86.Sunan ad-Darimi jil. 1 hal. 54; Tafsir Ibnu Katsir jil. 4 hal. 232; Ad-Dur al-Mantsur jil. 6 hal. 111.
87.Sunan lbnu Majah jil. 1 hal.44; Khasais Nasai hal. 20; Shahih Turmizi jil. 5 hal. 300; Jami’ Ushul Oleh Ibnu KAtsir jil. 9 hal. 471; Jami’ Shagir Oleh Suyuthi jil. 2 hal. 56 Riyadh; Nadhirah jil. 2 hal. 229.
88. Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 448; Kunuz al-Haqaiq Oleh al-Maulawi hal. 203; Kanzul Ummal jil. 5 hal. 33.
89. TarikhThabari jil.2 hal.319; Tarikh Ibnu Atsir jil. 2 hal. 62
As-Sirah al-Halabiah jil. 1 hal. 311;Syawahid at-Tanzil Oleh al-Hasakani jil. 1 hal. 371; Kanzul Ummal jil. 15 hal. 15; Tarikh Ibnu Asakir jil. 1 hal. 85; Tafsir al-Khazin Oleh Alaudin as-Syafei; Hayat Muhammad Oleh Hasanain Haikal Edisi pertama.
90.ShahihMuslimjil.5hal.122; Shahih Turmuzi jil. 5 hal. 328; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 148; Musnad Ahmad bin Hanbal jil. 3 hal. 17.
91.Lihat Sunan Nasai, Turmuzi, Ibnu Majah dan Abu Daud.
92.Kata-kata “Sunnahku”, tidak diriwayatkan oleh kitab enam (shihah as-Sittah). Ini hanya ada di dalam al-Muwatto’ karangan Imam Malik bin Anas. Hatta Thabari ketika meriwayatkan hadis ini beliau merujuk kepada kitab Imam Malik ini.
93.Shahih Muslim jil. 8 hal. 151.
94.TarikhThabari jil.3hal.280; Tarikh al-Fida’ jil. 1 hal. 158; Tarikh al-Ya’qubi jil. 2 hal. 110; Al-Isabah jil.3 hal.336.
95.Tarikh al-Fida’ jil. hal. 158; Tarikh al-Ya’qubi jil. 2 hal. 110; Tarikh Ibnu Shihnah jil. 11 hal. 114; Wafayat al-A’yan jil. 6 hal. 14.
96.As-Siddiq Abu Bakar oleh Haikal hal. 151.
97.Shahih Bukhori jil.4 hal.171.
98.Sirah Ibnu Hisham jil.4 hal.53; Thabaqat Ibnu Saad; Usud al-Ghabah jil. 3 hal. 102.
99.As-Siddiq Abu Bakar hal. 151.
100.TarikhThabarijil.3hal.254; Tarikh al-Khamis jil. 3 hal. 343.
101.Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 151; Yanabi’ al-Mawaddah hal. 30,370; as-Shawa’iq al-Muhriqah hal. 184,234.
102.Lihat Is’afar-Raghibin danJami’ as-Shagir.
103.Mustadrak al-Hakimjil. 3hal. 128; Jami’ al-Kabir oleh Thabarani; Al-Isobah Oleh Ibnu Hajar al-Asqalini; Kanzul Ummal jil. 6 hal. 155; Al-Manaqib oleh khawarizmi hal. 34; Yanabi al-Mawaddah hal. 149; Haliyah al-Auliya’jil. 1 hal. 86; Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 95.
104.Manaqasyat Aqaidiyah Fi Maqalat Ibrahim al-Jabhan hal. 29.
105.Shahih Bukhori jil. 7 hal. 121; Shahih Muslim jil. 5 hal. 75.
106.Shahih Bukhori jil. 3 hal. 68; Shahih Muslim jil. 2 hal. 14.
107.Thabaqat Ibnu Saad Bag. 2 hal. 29.
108.Seperti perkara talak tiga. Lihat Shahih Muslim Bab Talak tiga. Juga Lihat Sunan Abi Daud jil. 1 hal. 344
109.Seperti perkara mengenai larangan atas Mut’ah Haji dan Mut’ah Wanita. Lihat Shahih Muslim Bab Haji dan Bukhori bab Tamattu’
110.Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 484; Maqtal Husain oleh Khawarizmi jil. 1 hal. 38 Al-Ghadir oleh al-Amini jil. 3 hal. 120.
111.Shahih Bukhori jil. 4 hal. 164; Shahih Muslim hal.119.
112.Yanabi al-Mawaddah oleh al-Qunduzi al-Hanafi.
113.Ad-Dur al-Mantsur oleh Suyuthi jil. 2 hal. 60; Usud al-Ghabah jil. 3 hal. 137; as-Shawa’iq al-Muhriqah hal. 148,226; Yanabi’ al-Mawaddah hal. 41,335; Kanzul Ummal jil. 1 hal. 168 Maima az-Zawaid jil. 9 hal. 163.
BIBLIOGRAFI
1.AlQuran al-Karim
2.Tafsir Thabari
3.Ad-Dur al-Mantsur oleh Suyuthi
4.Tafsir al-Mizan oleh Thabatabai
5.Tafsir al-Kabir oleh Fakhrur-Razi
6.Tafsir Ibnu KAtsir
7.Zad al-Masir Fi Ilmit Tafsir oleh Ibnu Jauzi
8.Tafsir al-Qurtubi
9.Syawahid at-Tanzil oleh al-Hasakani
10.Al-Hawi Lil Fatawi oleh Suyuthi
11.Al-Itqan Fi Ulum al-Quran
II. HADIS
1. Shahih Bukhori
2.Shahih Muslim
3.Shahih Turmuzi
4.Shahih Ibnu Majah
5.Mustadrak al-Hakim
6.Musnad Ahmad bin Hanbal
7.Sunan Abi Daud
8.Kanzul Ummal
9.Muwatto’ Imam Malik
10.Jami’ al-Usul oleh Ibnu Atsir
11.Jami’ as-Saghir dan Jami’ al-Kabir oleh Suyuthi
12.Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah
13.Majma’ az-Zawaid oleh al-Haithami
14.Kunuz al-Haqaiq oleh al-Manawi
15.Fath al-Bari Fi Syarh al-Bukhori
III. SEJARAH
1.Tarikh al-Umam wal Muluk oleh Thabari
2.Tarikh al-Khulafa’ oleh Suyuthi
3.Tarikh al-Kamil oleh Ibnu Atsir
4.Tarikh al- Dimisyq oleh Ibnu Asakir
5.Tarikh al-Masu’di Muruj az-Zahab
6.Tarikh al-Ya’qubi
7.Tarikh al-Khulafa’ oleh Ibnu Qutaibah
8.Tarikh Abul Fida’
9.Tarikh Ibnu Shuhnah
10.Tarikh Baghdad
11.Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’ad
12.Al-Maghazi al-Waqidi
13.Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid
IV. SIRAH
1. Sirah Ibnu Hisyam
2.Sirah al-Halabiah
3.Al-Isti’ab
4.Al-Isabah Fi Tamyiz as-Sahabah
5.Usud al-Ghabah Fi Ma’rifat as-Sahabah
6.Hilyah al-Auliya oleh Abu Nuaim
7.Al-Ghadir Fil Kitab Was Sunnah oleh al-Amini
8.At-Ta’rif oleh Ibnu Thaus
9.Al-Fitnah al-Kubro oleh Taha Husain
10.Hayat Muhammad oleh Muhammad Husain Haikal
11.Ar-Riyadh an-Nadhirah oleh Thabari
12.Al-Khilafah Wal Muluk oleh al-Maududi.
V. LAIN-LAIN
1. Is’af ar-Raghibin.
2.Tahzib at-Tahzib.
3.Tazkirah al-Khawas oleh Ibnu Jauzi.
4.Al-Bidayah Wan Nihayah oleh Ibnu Katsir.
5.Sir al-Alamin oleh al-Ghazali.
6.as-Shaa’q al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar al-Haithami.
7.Al-Manaqib oleh Khawarizmi.
8.Yanabi al-Mawaddah oleh al-Qunduzi al-Hanafi.
9.An-Nas Wal Ijtihad oleh Syarafuddin al-Musawi.
10.Al-Muraja’at oleh Syarafuddin al-Musawi.
11.As-Shaqifah oleh Syaikh al-Muzaffar.
12.Fadak oleh Sayed Muhammad Baqir as-Sadr.
13.As-Siddiq Abu Bakar oleh Husain Haikal.
14.Munaqasyat Aqidiyah Fi Maqalat Ibrahim al-Jabhan..
15.Lisanul Arab oleh Ibnu Manzur.
16.Syarh Nahjul Balaghah oleh Muhammad Abduh.
17.Abu Hurairah oleh Syarafuddin al-Musawi.
18.As-Saqifah Wal Khalifah oleh Abdul Fattah Abdul Maksud.
19.Syaikh al-Mudhirrah Oleh Muhammad Abu Rayyah.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...